Abstract Abstrak
The 1992 Traffic and Transportation Act Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan
perceives transportation as an important and Jalan 1992 memandang transportasi seba
strategic tool to improve economic develop gai alat yang penting dan strategis untuk
ment. However, problems such as traffic jam mendorong perkembangan ekonomi. Namun
and bad infrastructure remain unsolved; demikian, banyak masalah yang belum
with community behaviour as one of its root. terselesaikan, seperti kemacetan dan infra
Therefore, transportation problems ought to struktur yang buruk. Masalah-masalah itu
be resolved through socio-cultural approach berakar dari perilaku masyarakat. Dengan
besides physical improvement. demikian, masalah transportasi mesti di
pecahkan melalui pendekatan sosial-budaya
selain perbaikan fisik.
*
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Rektor Universitas Pancasila Jakarta (e-mail: edie_toet@
yahoo.com).
1
Gumilar R. Somantri, 2007, Migration Within Cities: A Study of Socio-economic Processes, Intra-city Migra
tion, and Grass-roots politics in Jakarta, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta,
hlm. 3.
Hendratno, Masalah Transportasi Kota 495
there are many other priorities such as panjang jalan hanya bertambah kurang dari
health, education, industry, and rural deve 1%, penambahan kendaraan rata-rata 11%
lopment. per tahun.
Hampir semua kota besar di Indonesia Ilustrasi perbandingan pertumbuhan
mengalami masalah transportasi yang jumlah kendaraan terhadap luas jalan di
kompleks, terutama kemacetan lalu lintas DKI Jakarta yang dibuat oleh Direktorat
yang semakin parah. Bahkan kota Jakarta Lalu Lintas Polda Metro Jaya sebagaimana
Ibukota Negara Republik Indonesia dipe ditampilkan pada Gambar 1 menunjukkan
ringatkan oleh beberapa pengamat akan grafik pertumbuhan jalan yang tidak
mengalami stagnasi yang sangat akut akibat seimbang dibandingkan laju pertumbuhan
kemacetan lalulintas yang berlarut-larut. jumlah kendaraan hingga tahun 2008.
Penyebabnya karena jumlah kendaraan yang Jika tidak ada perubahan keseimbangan
tinggi di DKI Jakarta tidak seimbang dengan pertumbuhan antara keduanya, diperkirakan
ketersediaan ruas jalan. Berdasarkan data pada tahun 2014 akan terjadi stagnasi lalu
Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, lintas di DKI Jakarta.
Gambar 1
Ilustrasi Perbandingan Pertumbuhan Jumlah Kendaraan terhadap Luas Jalan di
DKI Jakarta
2
William S.W. Lim, 1980, An Alternative Urban Strategy, Select Books PTE. LTD., Singapore, hlm. 62.
3
Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, Membangun Sistem Transportasi Publik Menuju Jakarta yang
Aman dan Damai, Jakarta, April 2007.
4
Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Data Jumlah Kendaraan Bermotor, Februari 2008.
496 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 3, Oktober 2009, Halaman 409 - 628
Tabel 1
Jumlah Kendaraan Bermotor di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi
s.d. Bulan Desember 2007
Tabel 2
Pertambahan Jumlah Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta
5
ibid.
6
ibid.
Hendratno, Masalah Transportasi Kota 497
Tabel 3
Pertambahan Jumlah Kendaraan Bermotor di JaDeTaBek (Wilayah Hukum Polda
Metro Jaya)
Dengan rata-rata pertumbuhan 9% per bermotor yang berasal dari wilayah luar
tahun di wilayah DKI Jakarta dan 12,2% kota lainnya seperti Bogor dan Bandung
di wilayah Jadetabek (Jakarta, Depok, yang memberi pengaruh signifikan terhadap
Tangerang, dan Bekasi) jumlah kendaraan tingkat kepadatan lalu lintas di kota Jakarta.
bermotor terus meningkat setiap tahun- Tingginya jumlah kendaraan bermo-
nya (Lihat Tabel 2 dan Tabel 3). Walaupun tor ditambah dengan berbagai penyebab ke-
pertambahan jumlah kendaraan dari tahun macetan lainnya, antara lain seperti kondisi
2004 hingga 2007 menunjukkan penurunan, jalan yang rusak, penyempitan lebar jalan,
namun jumlah kendaraan bermotor terus dan penyempitan ruang jalan akibat berba
bertambah. Mengapa demikian? Karena gai hal seperti parkir kendaraan, pedagang
angka tersebut merupakan hasil penjumlah kaki lima, dan pangkalan ojek di badan ja-
an kendaraan lama ditambah kendaraan lan; kendaraan mogok, serta perbaikan ja-
baru. Dengan demikian perlu diperhatikan, lan, menyebabkan kemacetan di kota Jakarta
bahwa masalah kemacetan lalulintas akibat menjadi semakin krusial.
tingginya jumlah kendaraan bermotor, tidak Kemacetan lalulintas semakin meluas
terlepas dari kontribusi jumlah kendaraan secara ruang dan waktu. Kemacetan lalulintas
lama. tidak hanya terjadi di kota intinya tetapi
Sebagai catatan, data tersebut hanya merambah ke wilayah sekitarnya. Tidak ha
menampilkan jumlah kendaraan bermotor nya di jalan-jalan utama (protokol), namun
di wilayah hukum Polda Metro Jaya. juga terjadi hingga ke jalan lingkungan.
Jumlah tersebut akan semakin meningkat Kemacetan lalulintas tidak hanya pada jam-
jika ditambah dengan jumlah kendaraan jam sibuk pada pagi hari saat masyarakat
7
ibid.
498 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 3, Oktober 2009, Halaman 409 - 628
8
Masfar Gazali, “Solusi Ekstrem Atasi Kemacetan”, Harian Suara Pembaruan, 15 November 2007.
9
Ralph Gakenheimer, “Six Strategic Decisions for Transportation in Mega-cities”, Fuchs, Roland J. (eds.),
1994, Mega-city Growth and the Future, United Nations University Press, Tokyo, hlm. 332.
Hendratno, Masalah Transportasi Kota 499
karena lembur di kantor tetapi karena syaratan ringan. Bahkan beberapa fasilitas
terjebak kemacetan arus balik, atau sengaja kredit sepeda motor cukup dengan menun-
pulang lebih malam untuk menghindari jukkan KTP dan tanda bukti pembayaran
kemacetan. Dengan ritme mobilitas seperti rekening listrik atau telepon. Tidak meng-
itu ia memilih menggunakan kendaraan herankan jika saat ini jumlah sepedamotor
pribadi, karena sarana angkutan umum yang membludak.
ada belum memenuhi harapan masyarakat. Akibatnya ruas-ruas jalan yang diba
Rutinitas jadwal berangkat dan pulang ngun di kota lebih banyak dipenuhi oleh
kerja tersebut menyebabkan banyak anggota kendaraan pribadi yang notabene hanya
masyarakat yang kehilangan waktu interaksi mengangkut penumpang jauh lebih sedikit
sosial dirinya dengan keluarga dan lingkung dibandingkan daya angkut sarana angkutan
annya. Kondisi seperti ini yang turut me- umum massal. Sebagai perbandingan satu
nyebabkan sifat individual masyarakat di bus angkutan massal (rapid transit bus)
perkotaan semakin tinggi. Dalam perjalanan mampu mengangkut lebih kurang 85 pe
menuju tempat kerjanya, tidak jarang ia me- numpang, sedangkan untuk mengangkut 85
langgar aturan lalulintas dan kepentingan orang dibutuhkan sekitar 51 mobil pribadi.
pengguna jalan lainnya agar dapat tiba tepat Sementara saat ini di DKI Jakarta, rasio jum-
waktu di tempat kerja. Ia sering menerabas lah kendaraan pribadi dibandingkan kenda-
antrian kendaraan, berkendara zigzag den- raan umum adalah 98% dibanding 2%. Rasio
gan kecepatan tinggi, beberapa kali pernah penggunaan kendaraan pribadi dibanding-
menerabas lampu lalulintas, dan melanggar kan kendaraan umum adalah 44% dibanding
rambu dilarang menikung. Demikian halnya 56% dari total 17 juta perjalanan.10
pada saat pulang kerja menuju rumah. Kondisi ini mengingatkan kepada kritik
Dengan kondisi sarana angkutan umum Jane Jacobs terhadap bangkitan kendaraan
yang belum memadai, masyarakat lebih me- bermotor di jalan-jalan kota-kota besar di
milih menggunakan kendaraan pribadi. Se- Amerika seperti Los Angeles dan Detroit
mentara dari sisi sosial budaya, keinginan pada tahun 1950-an, yang disebutnya, the
seseorang untuk memiliki kendaraan pribadi paradox of increasing car accessibility and
sedikit banyak dipengaruhi adanya pandang decreasing intensity of users… where only a
an bahwa memiliki kendaraan bermotor small minority of users are accommodated
mencerminkan status sosial di masyarakat. by the increase in surface traffic flow.11
Memiliki mobil pribadi menjadi tolok ukur
kesuksesan dalam bekerja, walaupun pan- C. Perilaku Masyarakat dalam Berlalu
dangan tersebut kemudian menjadi relatif Lintas
karena saat ini semakin mudah untuk me- Dalam berbagai literatur tentang pros-
miliki kendaraan bermotor melalui fasili- es perilaku (behavioural processes) diung-
tas kredit kendaraan bermotor dengan per- kapkan bahwa perilaku manusia dipenga-
10
Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, op. cit.
11
Jane Jacobs, 1961, The Death and Life of Great American Cities, Penguin Books, New York, hlm. 365.
500 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 3, Oktober 2009, Halaman 409 - 628
ruhi kondisi lingkungannya dalam aktivitas kaki tampak menyeberang di tempat yang
sehari-harinya. Hal ini digambarkan Chapin, telah ditetapkan, walaupun penulis pernah
what individuals actually do in their daily melihat terjadi pelanggaran lalu lintas na-
routine is ‘the result of a complex and vari mun jarang.
able mix of incentives and constraints serv Tidak demikian dengan kondisi yang
ing to mediate choice, often functioning kedua, paling sering ditemui kendaraan ber-
in differentially lagged combination, with jalan zigzag, ada yang menerabas lampu
some activities directly traceable to positive merah atau antrian kendaraan, berhenti di
choices, and some attributable to negative sembarang tempat bahkan di bawah rambu
choices in the sense that constraints over dilarang berhenti. Pejalan kaki menyeberang
shadow opportunities for choice’.12 Teori ini jalan di sembarang tempat sekehendak hati
dapat dijelaskan dalam bidang transportasi, nya, bahkan tidak jarang tanpa malu-malu
dalam hal ini perilaku masyarakat dalam menyeberang di bawah jembatan penye-
berlalu lintas. berangan. Kondisi ini diistilahkan oleh Emile
Sebagai ilustrasi, perhatikan perilaku Durkheim sebagai anomie, berpudarnya pe-
pengguna jalan (pengemudi dan pejalan gangan pada kaidah-kaidah yang ada, me
kaki) di sepanjang Jalan Sudirman dan Jalan nimbulkan keadaan yang tidak stabil dan
Thamrin Jakarta (istilahnya jalan protokol/ keadaan tanpa kaidah. Perilaku menyimpang
utama). Bandingkan dengan perilaku (deviant behaviour) terjadi apabila manusia
pengguna jalan di Jalan Raya Pasar Minggu, mempunyai kecenderungan untuk lebih me-
Jalan Daan Mogot menuju Tangerang, atau mentingkan suatu nilai sosial budaya, dari-
contoh lain yang lebih ekstrem di luar kota pada kaidah-kaidah yang ada untuk menca-
sepanjang jalur Pantura antara Cikampek pai cita-cita atau kepentingannya.13
sampai Cirebon. Koentjaraningrat mengungkapkan ke
Berdasarkan pengalaman penulis, peri adaan semacam itu dapat dijumpai pada ma-
laku pengemudi kendaraan di Jalan Sudir- syarakat Indonesia, terutama yang tinggal
man dan Thamrin cenderung tertib. Tingkat di kota-kota besar, pada khususnya setelah
perhatian terhadap rambu lalu lintas tinggi, Perang Dunia II. Gejala tersebut berwujud
cenderung waspada karena khawatir me- sebagai mentalitas menerabas yang pada
langgar rambu-rambu lalu lintas (termasuk hakikatnya menimbulkan sikap untuk men-
pengalaman penulis). Penulis hampir tidak capai tujuan secepatnya tanpa mengikuti
pernah melihat pengemudi sepeda motor dan kaidah-kaidah (aturan) yang telah ditentu-
penumpangnya tidak mengenakan helm di kan.14 Mentalitas menerabas antrian kenda-
ruas jalan tersebut. Demikian halnya pejalan raan di jalan menyebabkan aliran kendaraan
12
Chapin F.S. Jr., 1974, Human Activity Patterns and the City: Things People Do in Time and in Space, Wiley,
New York, hlm. 9. Lihat juga D.J. Walmsley, Urban Living: The Individual in The City, John Wiley & Sons,
New York, hlm. 92 dan 139.
13
Robert K. Merton, 1967, Social Theory and Social Structure, The Free Press, New York, hlm. 131-135.
14
Koentjaraningrat dalam Soerjono Soekanto, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, PT RajaGrafindo Persada, Ja-
karta, hlm. 238-239.
Hendratno, Masalah Transportasi Kota 501
sosial itu dia harus menyesuaikan diri penumpang mobil pribadi pada jam dan
atau menderita konsekuensi-konsekuensi ruas jalan tertentu (sistem three in one),
penolakan sosial atau hukuman.15 jalur khusus bus (bus way), dan car free day
Bersamaan dengan penegakan atur dapat berjalan efektif dengan menerapkan
an, harus ditumbuhkan conformity atau tiga pendekatan penegakan hukum tersebut
penyesuaian diri masyarakat dengan cara secara terpadu.
mengindahkan kaidah dan nilai-nilai yang Walaupun masalah kemacetan lalulintas
berlaku di masyarakat, dalam hal ini aturan tidak bisa hanya dipecahkan dengan cara
lalu lintas. Conformity berlalu lintas ini untuk penegakan hukum (aturan) lalulintas, namun
mengubah deviation atau penyimpangan dengan tumbuhnya perilaku tertib berlalu
terhadap kaidah dan nilai-nilai berlalu lintas lintas maka masalah transportasi seperti
yang telah terjadi selama ini.16 kemacetan lalulintas yang disebabkan faktor
Dalam penegakan hukum (aturan) ’ulah’ (perilaku) manusia sebagaimana di
lalulintas, tidak dapat hanya dilakukan secara ungkapkan di muka dapat diminimalkan.
coercive, ketaatan hukum dilakukan dengan
hanya mengetengahkan sanksi-sanksi ne E. Kesadaran Masyarakat terhadap
gatif yang berwujud hukuman apabila Masalah Kemacetan Lalulintas
hukum dilanggar, sehingga mungkin warga Ketidakseimbangan antara tingginya
masyarakat hanya taat (atau takut) kepada penggunaan kendaraan pribadi dan keter
petugas hukum (Polantas) saja. Perlu juga sediaan ruang jalan memberi kontribusi
dilakukan melalui pendekatan persuasion terbesar kemacetan lalulintas. Program pem
yang bertujuan agar warga masyarakat secara batasan penggunaan kendaraan pribadi yang
mantap mengetahui dan mendalami hukum sudah berjalan saat ini akan semakin efektif
(aturan lalulintas), sehingga ada persesuaian jika didukung kesadaran dan peranserta
dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat. masyarakat dalam mengatasi kemacetan
Namun dapat juga diterapkan pendekatan lalulintas. Perlu ditumbuhkan kesadaran
yang menyudutkan atau “memaksa” warga masyarakat untuk memprioritaskan peng
masyarakat yaitu compulsion. Pada cara ini gunaan sarana angkutan umum dan mem
sengaja diciptakan situasi tertentu, sehingga batasi penggunaan kendaraan pribadi.
warga masyarakat tidak mempunyai pilihan Bagaimana cara mengalihkan penggu-
lain, kecuali mematuhi hukum (aturan naan kendaraan pribadi ke kendaraan umum?
lalulintas).17 Untuk dapat melaksanakan hal itu maka
Beberapa sistem pengaturan lalulintas kondisi sarana prasarana angkutan umum
di DKI Jakarta seperti pembatasan jumlah harus sesuai harapan masyarakat. Demikian
15
Tom Campbell, 1994, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
hlm. 168-169.
16
Soerjono Soekanto, op. cit.
17
Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, hlm. 49-50.
Hendratno, Masalah Transportasi Kota 503
halnya berbagai elemen penunjangnya yaitu Kendaraan bermotor yang sudah berusia
kinerja para pengelola transportasi termasuk tua dibesituakan untuk didaur-ulang
petugas Polantas. Di sini perubahan kultural untuk berbagai manfaat lain. Program ini
berlalu lintas (budaya berlalu lintas) harus memang belum “membudaya” di Indonesia.
didahului dengan perubahan instrumental Masalahnya mayoritas pemilik kendaraan
(sarana dan prasarana lalu lintas) dan pem- usia tua 10 tahun ke atas di Indonesia
benahan struktural (kelembagaan dan pen- adalah masyarakat ekonomi menengah
gelola transportasi). ke bawah (kecuali kolektor mobil antik).
Secara ideal, masyarakat menginginkan Sementara di negara maju seperti Amerika
sarana angkutan umum yang nyaman, aman, Serikat, Perancis, Jepang, dan Singapura
tepat waktu, harga terjangkau, jumlah me- yang menerapkan kebijakan ini pendapatan
madai, mudah dicapai bahkan door to door per kapita masyarakatnya relatif tinggi.
dengan jumlah pergantian moda transpor- Masyarakat di berbagai negara maju tersebut
tasi sesedikit mungkin. Artinya penyediaan telah memahami titik impas antara harga beli
sarana dan prasarana angkutan umum perlu (cost) dan nilai manfaat (benefit) kendaraan,
didasarkan pendekatan kebutuhan pengguna sehingga scrapping terhadap kendaraan
(user needs) dalam rangka efektifitas pela bermotor di usia tua sudah memasyarakat.
yanan perkotaan. Seperti dikemukakan Bo Sebaliknya di negara berkembang seperti
zeman dan Straussman (1984) bahwa efek- Indonesia kendaraan bermotor masih
tifitas pelayanan perkotaan yang diberikan menjadi barang mewah. Kendaraan bermotor
oleh Pemerintah Kota akan sangat ditentu- dimanfaatkan semaksimal mungkin usia
kan sejauh mana responsiveness pelayanan pakai.
tersebut terhadap ‘community needs and Tentu saja Pemerintah tidak bisa
desire’, pemahaman yang mendalam atas menerapkan kebijakan yang memaksa
karakteristik sosial, ekonomi, budaya, sikap pembatasan usia kendaraan karena berbagai
(attitudes), perilaku (behaviour), dan pan- pertimbangan di atas dan masalah hak asasi.
dangan (perception) masyarakat.18 Kebijakan pembatasan usia kendaraan dapat
Selain melalui berbagai pendekatan dilakukan dengan menerapkan aturan yang
di atas, pemerintah dapat mengembangkan ketat mengenai emisi gas buang.19 Semakin
program pembatasan jumlah kendaraan tua kendaraan semakin ketat standar baku
yang telah dilaksanakan beberapa negara mutu emisi gas buangnya. Kendaraan yang
lain antara lain program pembesituaan tidak dilengkapi surat keterangan hasil uji
kendaraan bermotor (car scrapping). emisi dikenakan sanksi tidak boleh beroperasi
18
Barry Bozeman dan Jeffrey Straussman, dipetik dalam makalah Widjono Ngoedijo, Pendekatan Pengguna
untuk Mengukur Efektivitas Penyediaan Pelayanan Perkotaan, Seminar Manajemen Perkotaan Masa Depan,
Forum Manajemen Perkotaan, Bandung, 17-19 Januari 1996.
19
Beberapa peraturan yang mengatur tentang emisi gas buang kendaraan bermotor, antara lain: Peraturan Men-
teri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2006 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan
Bermotor Lama dan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara.
504 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 3, Oktober 2009, Halaman 409 - 628
sampai memperoleh surat keterangan tanda pejalan kaki dan sepeda terutama pada ka-
lulus uji emisi. wasan permukiman dan pendidikan. Peralih
Aturan tersebut secara tidak langsung an dari menggunakan kendaraan bermotor
akan menimbulkan efek biaya pemeliharaan ke kendaraan tidak bermotor terutama untuk
yang tinggi (high cost maintenance) bagi perjalanan-perjalan pendek merupakan cara
kendaraan bermotor berusia tua, sehingga efektif bagi konservasi energi dan penurunan
pada akhirnya pemilik kendaraan bermotor polusi terutama pencemaran udara.
berusia tua lebih memilih melakukan
pembesituaan terhadap kendaraannya (car F. Penutup
scrapping). Kalaupun kendaraan miliknya Secara yuridis, aturan tentang lalu
akan dijual kepada orang lain atau ke daerah lintas di Indonesia sebenarnya telah me
lain, akan sulit mencari pembeli karena akan nyiratkan pentingnya pendekatan sosial
menghadapi masalah yang sama. budaya. Undang-Undang Nomor 14 Tahun
Beberapa negara seperti Amerika 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Serikat, Prancis, dan Italia menerapkan menegaskan bahwa transportasi merupakan
pendekatan insentif untuk mendorong sarana yang sangat penting dan strategis
program car scrapping. Pemilik kendaraan dalam memperlancar roda perekonomian,
yang membesituakan kendaraan tua- memperkukuh persatuan dan kesatuan serta
nya, mendapat subsidi dengan besaran mempengaruhi semua aspek kehidupan
tertentu (sesuai usia, merek kendaraan, dan bangsa dan negara. Dengan demikian secara
penaksiran kondisi kendaraan).20 empiris, penanganan masalah transportasi
Namun sekali lagi perlu diperhatikan, harus mempertimbangkan segala aspek
bahwa kebijakan pembatasan usia ken kehidupan dalam hal ini terutama faktor
daraan bermotor dapat berjalan apabila sosial budaya. Diharapkan hakikat trans
sarana angkutan umum sebagai pengalihan portasi untuk meningkatkan taraf hidup
angkutan pribadi sudah siap dan memadai manusia dapat dicapai, bukan sebaliknya
sesuai harapan masyarakat. masalah transportasi menyebabkan menurun
Hal-hal lain penataan sistem trans- nya kualitas kehidupan seseorang atau
portasi kota yang manusiawi tidak hanya masyarakat.
terhadap kebutuhan infrastruktur kenda- Masalah transportasi di perkotaan tidak
raan bermotor dan angkutan umum, namun terlepas dari karakter masyarakat perkotaan
juga menata jalur pejalan kaki dan sepeda, yang heterogen. Masalah transportasi
serta meningkatkan aksesibilitas bagi para perkotaan dalam hal ini kemacetan lalulintas
penyandang cacat. Menyediakan fasilitas menjadi kompleks karena tidak hanya
20
Anna Alberini, dkk., Fleet Turnover and Old Car Scrap Policies, Discussion Paper 98-23, March 1998, Re-
sources for the Future, 1616 P Street, NW, Washington, DC 20036, hlm. 1-2. Garrone, Giovanna, Scrapping
�������������������
Old Cars for Reducing Air Pollution: An Environmental Evaluation of the Italian 1997-1998 Incentive Policy,
Dipartimento di Economia “S. Cognetti de Martiis”, Working Paper Series, Working Paper No. 04/2004,
University of Torino, hlm. 1-5.
Hendratno, Masalah Transportasi Kota 505
DAFTAR PUSTAKA