Anda di halaman 1dari 22

1.

INITIAL ASSESEMENT PADA TRAUMA

I. Primary Survey
Primary Survey merupakan tindakan yang dilakukan dengan cepat untuk menilai
keadaan pasien dan mengenali kondisi maupun cedera pada pasien yang mengancam
jiwa. Primary Survey terdiri dari A-B-C-D-E, yaitu :
A. Airway with C-Spine Protection
B. Breathing and Ventilation
C. Circulation with hemorrhage control
D. Disability : neurostatus
E. Exposure with environmental control

A. Airway with C-spine Protection


Pada korban kecelakaan /kekerasan khususnya yang mengalami penurunan
kesadaran perlu dinilai apakah jalan nafas dalam keadaan bebas tanpa ada hambatan,
atau terdapat benda cair (darah, muntahan) maupun padat (makanan padat, gigi palsu,
lidah) yang menghambat jalan nafas. Sumbatan jalan nafas ditandai dengan adanya
suara suara serak maupun kesulitan bicara pada pasien yang masih sadar, pasien gelisah
karena hipoksia, adanya gerakan otat nafas tambahan saat bernafas, terapat suara nafas
yang tidak normal seperti snoring, stridor (suara mendengkur), gargling ( seperti
berkumur) maupun hoarseness dan munculnya sianosis pada pasien. Jika terdapat tanda
terjadinya sumbatan jalan nafas, maka perlu dilakukan :
 Head tilt/chin lift technique maneuver
Letakkan dua jari di bawah tulang dagu, kemudian hati-hati angkat ke atas hingga
rahang bawah terangkat ke depan. Selama tindakan ini, perhatikan leher jangan sampai
menengadah berlebihan (hiperekstensi).
 Jaw thrust maneuver
Doronglah sudut rahang bawah (angulus mandibulae) ke depan hingga rahang bawah
terdorong ke depan.
Kedua tindakan tersebut bukanlah usaha mempertahankan jalan nafas secara
definitif, sehingga obstruksi jalan nafas dapat kembali terjadi. Pada pasien yang tidak
sadar, di mana sumbatan jalan nafas terjadi lagi saat maneuver dilepaskan, maka perlu
dilakukan pemasangan oropharingeal airway (OPA) untuk menahan lidah agar tidak
menghambat jalan nafas. Jika terdengar suara gargling, lakukan suction untuk
menghisap cairan yang ada di sekitar rongga mulut yang mungkin berasal dari
perdarahan maupun muntahan pasien. Bila cara-cara tersebut tidak cukup untuk
mengatasi sumbatan jalan nafas pada pasien, maka perlu dilakukan upaya menjaga jalan
nafas secara definitif dengan melakukan intubasi trakea (pemasangan endotracheal
tube/ETT) langsung ke saluran nafas. Indikasi tindakan ini adalah :
• Obstruksi jalan nafas yang sukar diatasi
• Luka tembus leher dengan hematoma yang membesar
• Apnea
• Hipoksia
• Trauma kepala berat
• Trauma dada
• Trauma wajah / maxillofacial
Pemasangan C-spine perlu dipertimbangkan pada pasien dengan keadaan maupun
riwayat mekanisme cidera sebagai berikut : Cidera multiple maxillofacial, Cidera di
daerah leher dan atas leher, Jatuh dari ketinggian, Kecelakaan lalu lintas dengan
kecepatan kendaraan yang tinggi, Jatuh terlempar dari kendaraan.

B. Breathing and Ventilation


Setelah dipastikan jalan nafas bebas, maka dinilai apakah oksigenisasi pasien sudah
cukup baik atau belum dengan cara : inspeksi (apakah pasien bernafas spontan/tidak,
simetris gerakan dinding dada saat bernafas, adanya retraksi dan penggunaan otot
tambahan saat bernafas, tanda cedera yang mengenai jalan nafas seperti luka ataupun
jejas di daerah dada dan leher, ada deviasi trakea/tidak), palpasi (adakah krepitasi
daerah dada dan leher, tanda fraktur tulang iga, deviasi /pergeseran trakea), auskultasi
(dengarkan suara nafas di kedua dinding dada, adakah bunyi nafas tambahan, apakah
suara nafas melemah). Jika terdapat kecurigaan cidera di dinding dada yang
menyebabkan pneumothorax, lakukan dekompresi rongga pleura dan lakukan
penutupan luka dengan verband tiga sisi apabila terdapat luka terbuka di daerah dada.
Berikan oksigen sesuai dengan kebutuhan untuk memberikan kecukupan oksigen pada
pasien. Jika terjadi henti nafas, maka berikan nafas buatan pada pasien (cara
memberikan nafas buatan dapat dilihat pada executive summary basic life support).

C. Circulation and Hemorrhage Control


Prinsip pada tahap ini adalah menjaga sirkulasi darah dan mengontrol perdarahan
agar korban tidak jatuh dalam keadaan syok (tidak tercukupinya aliran darah ke seluruh
tubuh sehingga terjadi kekurangan oksigen pada jaringan tubuh terutama organ-organ
vital), yang diantaranya ditandai dengan penurunan kesadaran, menurunnya tekanan
darah, meningkatnya denyut jantung dan berkurangnya produksi urine. Produksi urine
yang normal adalah 1 cc/kg BB/jam. Pada pasien yang diduga mengalami syok,
sebaiknya langsung dipasang kateter urine, sehingga dapat dipantau secara obyektif
produksi urine pasien. Apabila terdapat luka terbuka sebagai sumber perdarahan, maka
dilakukan penekanan pada daerah tersebut sebagai upaya emergency untuk
mengurangi/menghentikan perdarahan. Pada pasien langsung dilakukan pemasangan
infus dua line pada tangan kanan dan kiri untuk pemberian cairan. Cairan kristaloid
yang diberikan (misalnya NaCl 0,9%) dihangatkan terlebih dahulu untuk menghindari
terjadinya hipotermia. Keadaan hipotermia dapat menyebabkan terjadinya gangguan
pembekuan darah. Sebelum diberikan cairan infus diambil sampel darah untuk
pemeriksaan laboratorium dan cross match golongan darah.

D. Disability
Penilaian disability ditujukan untuk menilai kesadaran pasien secara cepat, apakah
pasien sadar dan dapat berkomunikasi dengan baik, hanya respon dengan rangsangan
nyeri atau sama sekali tidak sadar. Perlu dilakukan pemeriksaan pupil untuk menilai
ada tidaknya dilatasi. Pada korban juga dilakukan pemeriksaan untuk menilai ada
tidaknya lateralisasi yang menunjukkan adanya defisit neurologis pada satu sisi tubuh.
Tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan Pemeriksaan neurologis secara keseluruhan
sesuai metoda Glasgow Coma Scale belum dianjurkan pada tahap Primary Survey.

E. Exposure
Perlu dilakukan penilaian secara menyeluruh terhadap tubuh pasien untuk melihat
cedera yang mungkin belum terdeteksi karena tertutup pakaian. Seluruh pakaian pasien
dilepaskan, sehingga seluruh permukaan tubuh sisi depan dan belakang terekspose
untuk diperiksa. Segera tutupi tubuh pasien dengan selimut untuk menghindari
terjadinya hipotermia. Hati-hati ketika melakukan pemeriksaan sisi belakang pasien
yang dicurigai mengalami cedera leher. Pastikan mobilisasi yang dilakukan terhadap
pasien tidak memperberat cidera servical yang ada. Umumnya diperlukan 3 orang untuk
tetap mempertahankan posisi imobilisasi in-line sesuai prosedur pada pasien dengan
cidera servical.

Melakukan imobilisasi in-line pasien dengan cidera servical

II. Secondary Survey


Secondary Survey hanya dilakukan setelah kondisi ABC (Airway – Breathing dan
Circulation) pasien stabil. Jika saat melakukan Secondary Survey kondisi pasien
memburuk, maka penolong harus mengulang ke tahap Primary Survey kembali. Pada
secondary survey dilakukan pemeriksaan menyeluruh dari kepala hingga kaki (head to
toe examination), yaitu :
Pemeriksaan kepala :
• Kelainan kulit kepala dan bola mata
• Telinga bagian luar dan membrana timpani
• Cidera jaringan lunak periorbital Pemeriksaan leher
• Luka tembus leher
• Emfisema subkutan
• Deviasi trachea
• Distensi vena leher

Pemeriksaan neurologis :
• Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
• Penilaian fungsi medula spinalis dengan aktivitas motorik
• Penilaian rasa raba / sensasi dan refleks

Pemeriksaan dada:
• Clavicula dan semua tulang iga
• Bunyi nafas dan bunyi jantung
• Pemantauan ECG (bila tersedia)

Pemeriksaan rongga perut (abdomen)


• Luka tembus abdomen memerlukan eksplorasi bedah
• Pasanglah pipa nasogastrik pada pasien trauma tumpul abdomen, kecuali bila
ada trauma wajah
• Pemeriksaan dubur (rectal touche)
• Pasang kateter kandung seni jika tidak ada darah di meatus externus

Pelvis dan ekstremitas


• Cari adanya fraktura (pada kecurigaan fraktur pelvis jangan melakukan tes
gerakan apapun karenaberisiko untuk memperberat perdarahan)
• Cari denyut nadi-nadi perifer pada daerah trauma
• Cari adanya luka, memar dan cidera lain

Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang (adjuncts) perlu dilakukan saat secondary
survey, sesuai dengan indikasi seperti :
- Pemeriksaan rontgen (bila memungkinkan) untuk :
- Dada dan tulang leher (semua 7 ruas tulang leher harus nampak)
- Pelvis dan tulang panjang
- Tulang kepala untuk melihat adanya fraktura bila trauma kepala tidak disertai
defisit neurologis fokal Foto dada dan pelvis mungkin sudah diperlukan
sewaktu primary survey

Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)


Dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam rongga
perut. Hasilnya dapat amat membantu. Tetapi DPL ini hanya berfungsi sebagai alat
diagnostik. Bila ada keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard).
Indikasi untuk melakukan DPL sebagai berikut :
- Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya
- Trauma pada bagian bawah dari dada
- Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas
- Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,alkohol, cedera otak)
- Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang belakang)
- Patah tulang pelvis.
Kontra indikasi relatif melakukan DPL sebagai berikut.:
- Hamil
- Pernah operasi abdominal
- Operator tidak berpengalaman
- Bila hasilnya tidak akan merubah penata-laksanaan

2. Fraktur tertutup (tibia dan fibula) + anatomi ekstremitas terkait fraktur

Fraktur
Tujuan dari imobilisasi fraktur awal adalah untuk meluruskan kembali ekstremitas yang
cedera sedekat mungkin dengan posisi anatomis dan mencegah gerakan berlebihan di
lokasi fraktur. Ini dilakukan dengan menerapkan traksi inline untuk menyetel kembali
ekstremitas dan mempertahankan traksi dengan perangkat imobilisasi. Aplikasi yang
tepat dari belat membantu mengontrol kehilangan darah, mengurangi rasa sakit, dan
mencegah neurovaskular lebih lanjut kompromi dan cedera jaringan lunak. Jika ada
fraktur terbuka, tarik tulang yang terbuka kembali ke luka, karena fraktur terbuka
memerlukan pembedahan debridement. Hapus kontaminasi kasar dan partikulat dari
luka, dan berikan pemberian antibiotik berdasarkan dosis sedini mungkin pada pasien
dengan fraktur terbuka.

Dokter yang memenuhi syarat dapat mencoba mengurangi dislokasi sendi. Jika reduksi
tertutup berhasil merelokasi sendi, melumpuhkannya dalam posisi anatomi dengan
splints prefabrikasi, bantal, atau plester untuk mempertahankan ekstremitas dalam
posisi berkurang. Jika pengurangan tidak berhasil, belat bersama dalam posisi di mana
ia ditemukan. Terapkan splint sesegera mungkin, karena mereka dapat mengontrol
perdarahan dan nyeri. Namun, upaya resusitasi harus lebih diprioritaskan daripada
aplikasi splint. Nilai status neurovaskular ekstremitas sebelum dan sesudah manipulasi
dan splinting.

Dokter harus secara mental merekonstruksi adegan cedera, mempertimbangkan cedera


potensial lainnya yang mungkin diderita pasien, dan menentukan sebanyak mungkin
informasi berikut ini:
1. Di mana pasien berada sebelum kecelakaan? Dalam kecelakaan kendaraan bermotor,
lokasi precrash pasien (yaitu pengemudi atau penumpang) dapat menyarankan jenis
fraktur — misalnya, fraktur kompresi lateral pelvis dapat terjadi akibat tabrakan
benturan samping.
2. Di mana pasien berada setelah kecelakaan — di dalam kendaraan atau dikeluarkan?
Apakah sabuk pengaman atau kantong udara sedang digunakan? Informasi ini dapat
menunjukkan pola cedera tertentu. Jika pasien dikeluarkan, tentukan jarak pasien
terlempar, begitu juga dengan kondisi pendaratan. Ejeksi umumnya menghasilkan pola
cedera yang tidak dapat diprediksi dan cedera yang lebih parah.
3. Apakah bagian luar kendaraan rusak, seperti ujung depannya cacat akibat tabrakan
langsung? Informasi ini meningkatkan kecurigaan dari dislokasi panggul.
4. Apakah interior kendaraan rusak, seperti dasbor yang cacat? Temuan ini
menunjukkan kemungkinan lebih besar cedera ekstremitas bawah.
5. Apakah pasien terjatuh? Jika demikian, berapa jarak jatuhnya, dan bagaimana pasien
itu mendarat? Informasi ini membantu mengidentifikasi spektrum cedera.
6. Apakah pasien dihancurkan oleh suatu benda? Jika demikian, kenali berat benda
yang menghancurkan, lokasi cedera, dan durasi berat yang diterapkan ke situs.
Tergantung pada apakah permukaan tulang subkutan atau daerah otot hancur, berbagai
tingkat kerusakan jaringan lunak dapat terjadi, mulai dari luka memar yang sederhana
hingga cedera ekstremitas ekstrem berat dengan sindrom kompartemen dan kehilangan
jaringan.
7. Apakah terjadi ledakan? Jika ya, berapa besarnya ledakan itu, dan berapa jarak pasien
dari ledakan itu? Seseorang yang dekat dengan ledakan dapat mempertahankan cedera
ledakan utama dari kekuatan gelombang ledakan. Cedera ledakan sekunder dapat
terjadi dari serpihan dan benda lain yang dipercepat oleh ledakan (misalnya, fragmen),
yang menyebabkan luka tembus, laserasi, dan kontusio. Pasien mungkin juga
dilemparkan dengan keras ke tanah atau melawan benda lain dengan efek ledakan, yang
mengarah ke tumpul muskuloskeletal dan cedera lainnya (yaitu, cedera ledakan tersier).

Fraktur Tibial
Imobilisasi fraktur tibialis untuk meminimalkan rasa sakit dan cedera jaringan lunak
lebih lanjut dan mengurangi risiko sindrom kompartemen. Jika tersedia, plester splints
imobiisasi paha bawah, lutut, dan pergelangan kaki.

Proses Penyembuhan Fraktur


Fraktur akan menyatu baik di bebat atau tidak, tanpa suatu mekanisme alami
untuk menyatu. Namun tidak benar bila dianggap bahwa penyatuan akan terjadi jika
suatu fraktur dibiarkan tetap bergerak bebas. Sebagian besar fraktur dibebat, tidak
untuk memastikan penyatuan, tetapi untuk meringankan nyeri, memastikan bahwa
penyatuan terjadi pada posisi yang baik dan untuk melakukan gerakan lebih awal dan
mengembalikan fungsi (Smeltzer & Bare, 2002).
Proses penyembuhan fraktur beragam sesuai dengan jenis tulang yang terkena
dan jumlah gerakan di tempat fraktur. Penyembuhan dimulai dengan lima tahap, yaitu
sebagai berikut:
a) Tahap kerusakan jaringan dan pembentukan hematom (1-3hari)
Pada tahap ini dimulai dengan robeknya pembuluh darah dan terbentuk
hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, yang tidak
mendapat persediaan darah, akan mati sepanjang satu atau dua milimeter. Hematom
ini kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskuler
sehingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis dengan kapiler di dalamnya
(Black & Hawks, 2001).
b) Tahap radang dan proliferasi seluler (3 hari–2minggu)
Setelah pembentukan hematoma terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi
sel di bawah periosteum dan di dalam saluran medula yang tertembus. Ujung fragmen
dikelilingi oleh jaringan sel yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang
membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke
dalam daerah tersebut (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2010).
c) Tahap pembentukan kalus (2-6minggu)
Sel yang berkembangbiak memiliki potensi kondrogenik dan osteogenik, bila
diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan dalam
beberapa keadaan, juga kartilago. Populasi sel juga mencakup osteoklas yang mulai
membersihkan tulang yang mati. Massa sel yang tebal, dengan pulau-pulau tulang
yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada permukaan periosteal
dan endosteal. Sementara tulang fibrosa yang imatur menjadi lebih padat, gerakan
pada tempat fraktur semakinberkurang pada empat minggu setelah fraktur menyatu
(Sjamsuhidajat dkk, 2010).
d) Osifikasi (3 minggu-6bulan)
Kalus (woven bone) akan membentuk kalus primer dan secara perlahan–lahan
diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi
struktur lamellar dan kelebihan kalus akan di resorpsi secara bertahap. Pembentukan
kalus dimulai dalam 2-3 minggu setelah patah tulang melalaui proses penulangan
endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar bersatu
(Smeltzer & Bare, 2010).
e) Konsolidasi (6-8bulan)
Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik berlanjut, fibrosa yang imatur
berubah menjadi tulang lamellar. Sistem itu sekarang cukup kaku untuk
memungkinkan osteoklas menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan dekat
di belakangnya osteoblas mengisi celah-celah yang tersisa antara fragmen dengan
tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu sebelum tulang
cukup kuat untuk membawa beban yang normal (Sjamsuhidajat dkk,2010).
f) Remodeling (6-12bulan)
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa
bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses
resorpsi dan pembentukan tulang akan memperoleh bentuk yang mirip bentuk
normalnya (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2010; Smeltzer & Bare, 2002).
Penatalaksanaan Fraktur
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke
posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan
patah tulang (imobilisasi) (Sjamsuhidajat dkk, 2010).
a) Reposisi
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi
dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada fraktur
radius distal. Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus selama masa tertentu,
misalnya beberapa minggu, kemudian diikuti dengan imobilisasi. Tindakan ini
dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi
kembali dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat, misalnya
fraktur femur (Smeltzer, 2010).
Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator
tulang secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada fraktur kolum femur.
Fragmen direposisi secara non-operatif dengan meja traksi, setelah tereposisi,
dilakukan pemasangan prosthesis secara operatif pada kolum femur
(Smeltzer,2010).Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar (OREF)
dilakukan untuk fiksasi fragmen patahan tulang, dimana digunakan pin baja yang
ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja disatukan secara kokoh dengan
batangan logam di kulit luar. Beberapa indikasi pemasangan fiksasi luar antara lain
fraktur dengan rusaknya jaringan lunak yang berat (termasuk fraktur terbuka), dimana
pemasangan internal fiksasi terlalu berisiko untuk terjadi infeksi, atau diperlukannya
akses berulang terhadap luka fraktur di sekitar sendi yang cocok untuk internal fiksasi
namun jaringan lunak terlalu bengkak untuk operasi yang aman, pasien dengan cedera
multiple yang berat, fraktur tulang panggul dengan perdarahan hebat, atau yang terkait
dengan cedera kepala, fraktur dengan infeksi (Smeltzer, 2010).
Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan
pemasangan fiksasi interna (ORIF), misalnya pada fraktur femur, tibia, humerus, atau
lengan bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum tulang
panjang, bisa juga plat dengan skrup di permukaan tulang. Keuntungan reposisi secara
operatif adalah dapat dicapai reposisi sempurna, dan bila dipasang fiksasi interna yang
kokoh, sesudah operasi tidak diperlukan pemasangan gips lagi dan segera bisa
dilakukan imobilisasi. Indikasi pemasangan fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa
di reduksi kecuali dengan operasi, fraktur yang tidak stabil dan cenderung terjadi
displacement kembali setelah reduksi fraktur dengan penyatuan yangburukdan
perlahan (fraktur femoral neck), fraktur patologis, fraktur multiple dimana dengan
reduksi dini bisa meminimkan komplikasi, fraktur pada pasien dengan perawatan
yang sulit (paraplegia, pasien geriatri) (Smeltzer, 2010; Sjamsuhidajat dkk, 2010;
Bucholz; Heckman; Court-Brown, 2010).
b) Imobilisasi
Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi,
tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara
ini adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting.
Imobilisasi yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot dan kakunya sendi. Oleh
karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin (Smeltzer,2010).
c) Rehabilitasi
Rehabilitasi berarti upaya mengembalikan kemampuan anggota yang cedera
atau alat gerak yang sakit agar dapat berfungsi kembali seperti sebelum mengalami
gangguan atau cedera (Smeltzer, 2010).
Anatomi Ekstremitas

Tibia

Tlbia merupakan tulang medial tungkai bawah yang besar dan berfungsi menyanggah berat
badan. Di proksimal, tibia bersendi dengan condylus femoris dan caput fibulae dan di distal
dengan talus dan ujung distal fibula. Tibia mempunyai uiung atas yang melebar dan ujung
bawah vang lebih kecil, serta sebuah corpus.

Pada ujung atas terdapat condylus lateralis dan medialis (kadang-kadang disebut tibial plateau
laterai dan medial), yang bersendi dengan condylus lateralis dan medialis femoris, dan
dipisahkan oleh meniscus lateralis dan medialis. Permukaan atas facies articularis condvlus
tibiae terbagi atas area interecondylaris
Margo anterior menonjol dan membentuk tulang kering. Pada pertemuan antara margo anterior
dan ujung atas tibia terdapat tuberositas, yang merupakan tempat lekat ligamentum patellae.
Margo anterior di bawah membulat, dan melanjutkan diri sebagai malleolus medialis. Margo
lateral atau margo interosseus memberikan tempat perlekatan untuk membrana interossea.

Permukaan posterior corpus tibiae mempunyai linea obliqua, yang disebut linea musculi solei,
untuk tempat lekatnya musculus soleus.

Ujung bawah tibia sedikit melebar dan pada aspek inferiornya terdapat permukaan sendi
berbentuk pelana untuk talus. Ujung bawah memanjang ke bawah dan medial untuk
membentuk malleolus medialis. Facies lateralis malleolus medialis bersendi dengan talus. Pada
permukaan lateral ujung bawah tibia terdapat lekukan yang lebar dan kasar untuk bersendi
dengan fibula.

Fibula

Fibula adalah tulang lateral tungkai bawah yang ramping. Tulang ini tidak ikut bersendi pada
articulatio genus, tetapi di bawah tulang ini membentuk malleolus lateralis sendi pergelangan
kaki. Tulang ini tidak berperan dalam menyalurkan berat badan tetapi merupakan tempat
melekat otot- otot. Fibula mempunyai ujung atas yang melebar, corpus, dan uiung bawah.

Ujung atas, atau caput fibulae, ditutupi oleh processus styloideus. Bagian ini mempunyai facies
articularis untuk bersendi dengan condylus lateralis tibiae.

Corpus fibulae panjang dan ramping, Ciri khasnya adalah mempunyai empat margo dan empat
facies. Margo medialis atau margo interossea memberikan tempat perlekatan untuk membrana
interossea.

Ujung bawah fibula membentuk malleolus lateralis yang berbentuk segitiga dan terletak
subkutan. Pada facies medialis malleolus lateralis terdapat facies articularis yang berbentuk
segitiga untuk bersendi dengan aspek lateral os talus. Di bawah dan belakang facies articularis
terdapat lekukan yang disebut fossa malleolaris.
a. Bagaimana fisiologi pernafasan?
Inspirasi dan Ekspirasi
Paru dan dinding dada merupakan struktur yang elastis. Pada keadaan normal, hanya
ditemukan selapis tipis cairan di antara paru dan dinding dada (ruang intrapleura). Inspirasi
merupakan proses aktif. Kontraksi otot inspirasi akan meningkatkan volume intratoraks.
Tekanan intrapleura di bagian basis paru akan turun dari sekitar -2,5 mmHg (relatif terhadap
tekanan atmosfer) pada awal inspirasi, menjadi -6 mmHg. Jaringan paru akan semakin
teregang. Tekanan di dalam saluran udara menjadi sedikit lebih negatif dan udara akan
mengalir ke dalam paru. Pada akhir inspirasi, daya recoil paru mulai menarik dinding dada
kembali ke kedudukan ekspirasi sampai tercapai keseimbangan kembali antara daya recoil
jaringan paru dan dinding dada. Tekanan di saluran udara menjadi lebih positif dan udara
mengalir meninggalkan paru. Ekspirasi selama pernapasan tenang merupakan proses pasif
yang tidak memerlukan kontraksi otot untuk menurunkan volume intratoraks. Namun, pada
awal ekspirasi, sedikit kontraksi otot inspirasi masih terjadi. Kontraksi ini bertujuan untuk
meredam daya recoil paru dan memperlambat ekspirasi.
Pada inspirasi kuat, tekanan intrapleura turun menjadi -30 mmHg sehingga pengembangan
jaringan paru menjadi lebih besar. Bila ventilasi meningkat, derajat pengempisan jaringan
paru juga ditingkatkan oleh kontraksi aktif otot ekspirasi yang menurunkan volume
intratoraks.
Volume dan Kapasitas Paru
Volume paru dan kapasitas paru merupakan gambaran fungsi ventilasi sistem pernapasan.
Dengan mengetahui besarnya volume dan kapasitas fungsi paru dapat diketahui besarnya
kapasitas ventilasi maupun ada tidaknya kelainan fungsi paru.
a. Volume Paru
Empat macam volume paru tersebut jika semuanya dijumlahkan, sama dengan volume
maksimal paru yang mengembang atau disebut juga total lung capacity, dan arti dari masing-
masing volume tersebut adalah sebagai berikut :
1. Volume tidal merupakan jumlah udara yang masuk ke dalam paru setiap kali inspirasi atau
ekspirasi pada setiap pernapasan normal. Nilai rerata pada kondisi istirahat = 500 ml.
2. Volume cadangan inspirasi merupakan jumlah udara yang masih dapat masuk ke dalam paru
pada inspirasi maksimal setelah inspirasi biasa dan diatas volume tidal, digunakan pada saat
aktivitas fisik. Volume cadangan inspirasi dicapai dengan kontraksi maksimal diafragma,
musculus intercostalis eksternus dan otot inspirasi tambahan. Nilai rerata = 3000 ml.
3. Volume cadangan ekspirasi merupakan jumlah udara yang dapat dikeluarkan secara aktif
dari dalam paru melalui kontraksi otot ekspirasi secara maksimal, setelah ekspirasi biasa.
Nilai rerata = 1000 ml.
4. Volume residual merupakan udara yang masih tertinggal di dalam paru setelah ekspirasi
maksimal. Volume ini tidak dapat diukur secara langsung menggunakan spirometri. Namun,
volume ini dapat diukur secara tidak langsung melalui teknik pengenceran gas yang
melibatkan inspirasi sejumlah gas tertentu yang tidak berbahaya seperti helium. Nilai rerata
= 1200 ml.
b. Kapasitas Paru
Kapasitas paru merupakan jumlah oksigen yang dapat dimasukkan ke dalam paru seseorang
secara maksimal. Jumlah oksigen yang dapat dimasukkan ke dalam paru akan ditentukan
oleh kemampuan compliance sistem pernapasan. Semakin baik kerja sistem pernapasan
berarti volume oksigen yang diperoleh semakin banyak.
1. Kapasitas vital yaitu jumlah udara terbesar yang dapat dikeluarkan dari paru dalam satu kali
bernapas setelah inspirasi maksimal. Kapasitas vital mencerminkan perubahan volume
maksimal yang dapat terjadi di paru. Kapasitas vital merupakan hasil penjumlahan volume
tidal dengan volume cadangan inspirasi dan volume cadangan ekspirasi. Nilai rerata = 4500
ml.
2. Kapasitas inspirasi yaitu volume udara maksimal yang dapat dihirup pada akhir ekspirasi
biasa. Kapasitas inspirasi merupakan penjumlahan volume tidal dengan volume cadangan
inspirasi. Nilai rerata = 3500 ml.
3. Kapasitas residual fungsional yaitu jumlah udara di paru pada akhir ekspirasi pasif normal.
Kapasitas residual fungsional merupakan penjumlahan dari volume cadangan ekspirasi
dengan volume residual. Nilai rerata = 2200 ml.
4. Kapasitas total paru yaitu jumlah udara dalam paru sesudah inspirasi maksimal. Kapasitas
total paru merupakan penjumlahan dari keseluruhan empat volume paru atau penjumalahan
dari kapasitas vital dengan volume residual. Nilai rerata = 5700 ml.
a. Bagaimana penilaian kelayakan transfer pasien?
b. Apa intepretasi dan bagaimana mekanisme abnormalitas dari hasil pemeriksaan fisik
thoraks?

Kasus Normal Intepretasi Mekanisme

Trakea bergeser Trakea berada di Ada yang Trauma tumpul => mengenai
ke kanan tengah menyebabkan thoraks => fraktur iga => tension
trakea pneumothoraks kiri => udara di
terdorong rongga pleura => peningkatan
intra pleural => trakea bergeser ke
kanan/ kontralateral (menjauhi sisi
yang mengalami pneumothoraks).
Distensi vena JVP 5-2 Ada yang Trauma tumpul => mengenai
jugularis menghalangi thoraks => fraktur iga => tension
aliran balik pneumothoraks kiri => udara di
vena rongga pleura => peningkatan
tekanan intrapleura =>
menghambat venous return (vena
cava superior) => distensi vena
jugularis

Thorax: gerakan Simetris Gangguan Akselerasi dan deselerasi =>


dinding dada pada pulmo Trauma pada thorax => Fraktur
asimetris, kiri sinistra ditandai dengan adanya krepitasi)
tertinggal, => nyeri pada dada kanan =>
paru-paru kiri tidak bisa
mengembang sempurna akibat
tertekan dengan costa yang fraktur
=> ditmbah udara dari dalam paru-
paru bocor ke rongga pleura =>
udara tidak dapat keluar lagi dari
rongga pleura (one-way valve) =>
tekanan intrapleural meningkat =>
tension pneumothorax => paru
yang sakit gerankannya tertinggal.

RR 40x/min RR: 16-24 Takipneu Perfusi oksigen ke jaringan


x/menit berkurang (hipoksia)
menyebabkan laju pernapasan
meningkat sebagai kompensasi.
Memar di sekitar - - Trauma tumpul (setir)
dada kiri bawah
sampai samping
perut.

Krepitasi pada - Fraktur iga Benturan pada thoraks yang


costae 9, 10, 11 sangat keras => terjadi fraktur
kiri depan costae 9,10,11 => adanya gesekan
antar patahan tulang costae =>
patahan antar tulang costae
tersebut dapat diindentifikasi pada
saat palpasi => Teraba adanya
derik tulang atau krepitasi tulang.
Perkusi: kiri Sonor kedua paru Pneumothora Trauma dada => robekan pada
hipersonor, kanan ks paru kiri pleura viseralis dan dinding
sonor alveolus => membentuk suatu
fistula yang mengalirkan udara ke
cavitas pleura => ketika inspirasi
cavum thoraks mengembang
sehingga paru-paru dipaksa
mengambang sehingga tekanan
intraalveolar (-) dan udara masuk
=> udara mengalir dari alveolus
lewat fistula ke cavitas pleura
(ketika inspirasi, luka robekan
terbuka tapi ketika ekspirasi,
robekan menutup jalur udara
sehingga udara terjebak di cavitas
pleura (one-way valve) =>
hiperekspansi cavitas pleura oleh
meningkatnya udara => udara
terperangkap di rongga pleura
(tension pneumothorax sinistra)
→ perkusi hipersonor kiri dan
kanan sonor).

Auskultasi bunyi Bunyi napas Ada hambatan Udara yang terakumulasi di


napas kiri jelas untuk cavum pleura => menghambat
melemah bising mendengar penghantaran bunyi saat
napas kanan jalan nafas. dilakukan auskultasi.
normal
Bunyi jantung Bunyi jantung Kompensasi Perfusi oksigen ke jaringan
terdengar jelas, jelas, tidak cepat, berkurang menyebabkan cardiac
cepat dan 60-100x/ menit output berkurang sehingga
frekuensi 122x/ jantung melakukan kompensasi
menit. dengan meningkatkan heart rate.

c. Apa interpretasi dan bagaimana mekanisme abnormalitas dari hasil pemerikaan fisik
abdomen?

Manifestasi pada Nilai normal Interpretasi Mekanisme abnormal


kasus
Dinding perut Dinding perut Abnormal Trauma kompresi abdomen
datar datar merusak organ (rupture),
jaringanperdarahan
Perdarahan internal pada
abdomen memacu otot-otot
perut untuk berkontraksi
secara refleks dan
menyebabkan kekakuan pada
perut sehingga dinding perut
tampak datar.
Bising usus Bising usus Abnormal Trauma kompresi abdomen
melemah normal merusak organ (rupture),
jaringan  perdarahan
inflamasi (peritonitis)
peritoneal mengalami
paralisis  ileus juga
mengalami paralisis  bising
usus melemah
Perdarahan  jaringan keluar
 tubuh kompensasi  otot
kaku  peristaltik
dilemahkan/dihentikan
Nyeri ketok (+) Nyeri ketok (-) Abnormal Trauma kompresi abdomen
merusak organ (rupture),
jaringan perdarahan 
inflamasi (peritonitis) 
pelepasan mediator nyeri
seperti histamine, bradikinin,
kalium  saraf nosiseptor 
ditransfer kesaraf perifer 
sensasi nyeri

Anda mungkin juga menyukai