Anda di halaman 1dari 15

EPIDEMIOLOGI

Malaria adalah penyakit yang mengancam kehidupan yang disebabkan oleh parasit
yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi. Pada tahun 2009,
diperkirakan malaria menyebabkan 781 000 kematian, sebagian besar terjadi pada anak-anak
di Afrika. Menurut Laporan Badan Kesehatan Dunia tahun 2010, terdapat 225 juta kasus
malaria dan diperkirakan 781 000 meninggal pada tahun 2009. Data ini mengalami penurunan
dari 233 juta kasus dan 985 000 kematian pada tahun 2000. Sebagian besar kematian terjadi di
antara anak yang tinggal di Afrika di mana seorang anak meninggal setiap 45 detik akibat
malaria dan penyakit ini menyumbang sekitar 20% dari semua kematian anak di dunia.
Di Indonesia, hingga akhir 2008 kasus malaria menunjukkan kecenderungan menurun,
namun masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Berdasarkan data Departemen
Kesehatan Indonesia baik API (Annual Parasite Incidence) maupun AMI (Annual Malaria
Incidence) menunjukan penurunan selama periode 2000-2008. API pada tahun 2000 berada
pada angka 0,81 per 1000 penduduk terus turun hingga 0,15 per 1000 penduduk pada tahun
2004. Angka ini meningkat menjadi 0,19 pada tahun 2006, untuk kemudian kembali turun pada
angka 0,16 per 1000 penduduk pada tahun 2007-2008. Hal yang sama terjadi pada AMI. Pada
periode 2000-2004 AMI cenderung menurun dari 31,09 menjadi 21,2 per 1000 penduduk
kemudian hingga tahun 2008 turun menjadi 18,82 per 1000 penduduk. Kemudian berdasarkan
data dari Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI Tahun 2010,
angka AMI turun hingga 12,27 per 1000 penduduk.
Sedangkan daerah endemis malaria dibedakan menjadi endemis tinggi, endemis sedang
dan endemis rendah. Dikatakan endemis tinggi bila API-nya lebih besar dari 50 per 1.000
penduduk yaitu di Provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Sumatera Utara (Kab.
Nias dan Nias Selatan), dan NTT. Endemis Sedang bila API-nya berkisar antara 1 sampai
kurang dari 50 per 1.000 penduduk yaitu di provinsi Aceh (Kab. Siemeulu), Bangka Belitung,
Kepri (Kab. Lingga), Jambi (Kab. Batang Hari, Merangin, dan Sorolangun), Kalimantan
Tengah (Kab. Sukamara, Kota waringin barat), Mura), Sulteng (Kab. Toli-toli, Banggai,
Banggai Kepulauan, Poso), Sultra (Kab. Muna), NTB (Sumbawa Barat, Dompu, Kab.Bima,
dan Sumbawa), Jawa Tengah (Wonosobo, Banjarnegara, Banyumas, Pekalongan dan Sragen),
Jawa Barat (Sukabumi, Garut, dan Ciamis). Endemis rendah bila API-nya 0 - 1 per 1.000,
diantaranya sebagian Jawa, Kalimantan dan Sulawesi.
Provinsi Sumatera Selatan adalah daerah endemis malaria, dimana tahun 2009 terdapat
7 kabupaten endemis malaria sedang dan 8 kabupaten/kota lainnya digolongkan pada daerah
endemis rendah. Satu kota diantara daerah endemis rendah yaitu Kota Palembang adalah
daerah bebas malaria dalam arti kasus yang ada adalah kasus impor dari kabupaten lain
(Kabupaten Banyuasin). Angka kesakitan malaria dari tahun 2003 ke tahun 2004 menurun
secara drastis. Hal ini disebabkan Kabupaten Bangka dan Belitung berpisah dari Povinsi
Sumatera Selatan. Kedua Kabupaten tersebut adalah penyumbang kasus malaria paling tinggi.
Angka kesakitan (malaria klinis) per 1000 penduduk di Provinsi Sumatera Selatan tahun 2009
(AMI) adalah 8,45% dengan kematian (CFR 0,27%), dengan jumlah sediaan darah yang
diperiksa / ABER ( Annual Blood Examination rate) 0,42% dan persentase dari sediaan darah
yang positif dari seluruh sediaan darah yang diperiksa (SPR) 21,9%.
Angka kesakitan (malaria klinis) per 1000 penduduk di kabupaten/kota Provinsi
Sumatera Selatan dalam tahun 2009 tertinggi adalah di Kabupaten Ogan Komering Ulu 27,07%
(7.217 kasus), Kabupaten Lahat 22,08% (7.531 kasus), Kota Lubuk Linggau 17,88% (3.326
kasus), sedangkan terendah di Kabupaten Ogan Ilir 0,34%.

Etiologi
Penyakit malaria disebabkan oleh Protozoa genus Plasmodium.Terdapat empat spesies
yang menyerang manusia yaitu:
• Plasmodium falciparum (Welch, 1897) menyebabkan malaria falciparum atau malaria
tertiana maligna/malaria tropika/malaria pernisiosa.
• Plasmodium vivax (Labbe, 1899) menyebabkan malaria vivax atau malaria tertiana benigna.
• Plasmodium ovale (Stephens, 1922) menyebabkan malaria ovale atau malaria tertiana
benigna ovale.
• Plasmodium malariae (Grassi dan Feletti, 1890) menyebabkan malaria malariae atau
malaria kuartana.
Selain empat spesies Plasmodium diatas, manusia juga bisa terinfeksi oleh Plasmodium
knowlesi, yang merupakan plasmodium zoonosis yang sumber infeksinya adalah kera.
Penyebab terbanyak di Indonesia adalah Plasmodium falciparum dan Plasmodium
vivax. Untuk Plasmodium falciparum menyebabkan suatu komplikasi yang berbahaya,
sehingga disebut juga dengan malaria berat.

Faktor Risiko
1. Faktor Manusia (Host)
a. Karakteristik manusia
- Umur
Anak-anak lebih rentan terhadap infeksi malaria. Beberapa studi menunjukkan
bahwa anak yang bergizi baik justru lebih sering mendapat kejang dan malaria
serebral dibanding dengan anak yang bergizi buruk. Akan tetapi anak yang bergizi
baik dapat mengatasi malaria berat dengan lebih cepat dibandingkan anak bergizi
buruk.
- Jenis Kelamin
Infeksi malaria tidak membedakan jenis kelamin, tetapi apabila menginfeksi ibu
yang sedang hamil akan menyebabkan anemia yang berat. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa perempuan mempunyai respon yang kuat dibandingkan laki-
laki, namun kehamilan menambah risiko malaria.
- Imunitas
Orang yang pernah terinfeksi malaria sebelumnya biasanya terbentuk imunitas
dalam tubuhnya, demikian juga yang tinggal di daerah endemis biasanya
mempunyai imunitas alami terhadap malaria.
- Ras
Beberapa ras di Afrika mempunyai kekebalan terhadap malaria, misalnya sickle
cell anemia dan ovalositas. Plasmodium falciparum dapat gagal matang pada anak
dengan dengan sel sabit serta tidak mampu mencapai densitas tinggi pada anak
dengan defisiensi glukose-6-fosfat dehidrogenase.
- Status gizi
Masyarakat dengan gizi kurang baik dan tinggal di daerah endemis malaria lebih
rentan terhadap infeksi malaria. Hubungan antara penyakit malaria dan kejadian
Kurang Energi Protein (KEP) merupakan masalah yang hingga saat ini masih
kontrovesial. Ada kelompok peneliti yang berpendapat bahwa penyakit malaria
menyebabkan kejadian KEP, tetapi sebagian peneliti berpendapat bahwa keadaan
KEP yang menyebabkan anak mudah terserang penyakit malaria. Rice et al.
mengatakan terdapat hubungan yang kuat antara malnutrisi dalam hal
meningkatkan risiko kematian pada penyakit infeksi termasuk malaria pada anak-
anak di negara berkembang. Penelitian Shankar yang menguji hubungan antara
malaria dan status gizi menunjukkan bahwa malnutrisi protein dan energi
mempunyai hubungan dengan morbiditas dan mortalitas pada berbagai malaria
(Wanti,2008). Penelitian yang dilakukan oleh Suwadera menunjukkan bahwa
balita dengan status gizi kurang berisiko menderita malaria 1,86 kali dibandingkan
dengan yang berstatus gizi baik.
b. Perilaku manusia
Manusia dalam keseharian mempuyai aktifitas yang beresiko untuk terkena penyakit
malaria, diantaranya:
- Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut malam, dimana vektornya
bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan kontak dengan nyamuk. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Suwito (2005) menunjukkan bahwa responden yang
mempunyai kebiasaan keluar rumah pada malam hari mempunyai risiko menderita
malaria 4 kali lebih besar di banding dengan yang tidak mempunyai kebiasaan
keluar pada malam hari.
- Tingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria akan mempengaruhi
kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria dengan menyehatkan
lingkungan, menggunakan kelambu. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Babba (2009) diperoleh bahwa orang yang tidur malam tidak menggunakan
kelambu, mempunyai risiko terjangkit malaria sebesar 2,28 kali lebih besar
dibandingkan yang menggunakan kelambu.
- Memasang kawat kasa pada rumah dapat mengurangi masuknya nyamuk ke dalam
rumah untuk menggigit manusia. Hasil penelitian Suwadera (2003) bahwa ada
hubungan ventilasi yang di lengkapi kasa dengan kejadian malaria pada balita.
Balita yang tinggal dalam rumah tidak di lengkapi dengan kawat kasa akan berisiko
terkena malaria sebesar 3,41 kali dibandingkan balita yang tinggal di rumah dengan
ventilasi memakai kawat kasa.
- Menggunakan obat nyamuk maupun repelen dapat menghindarkan diri dari gigitan
nyamuk, baik hanya bersifat menolak ataupun membunuh nyamuk. Mereka yang
mempunyai kebiasaan tidak menggunakan obat nyamuk mempunyai risiko terkena
malaria sebesar 10,8 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang
menggunakan obat anti nyamuk (Suwito,2005).
Selain perilaku-perilaku tersebut, berbagai kegiatan manusia seperti pembendungan,
pembuatan jalan, pertambangan dan pembangunan pemukiman/transmigrasi sering
mengakibatkan perubahan lingkungan yang menguntungkan penularan malaria.
Selain hal tersebut diatas, terdapat juga beberapa karakteristik dari manusia yang
dapat menyebabkan terjadinya malaria seperti pendidikan, pekerjaan, pengetahuan
dan pendapatan.
Pendidikan yang semakin tinggi diharapkan berbanding lurus dengan tingkat
pengetahuan, terutama untuk pencegahan malaria. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Yahya, dkk (2005) makin tinggi tingkat pendidikan ibu cenderung makin tinggi
tingkat pengetahuannya tentang malaria pada anak. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Babba (2008) bahwa ada hubungan antara pendidikan yang rendah dengan
kejadian malaria dengan risiko terkena malaria sebesar 2,23 kali dibanding dengan
orang yang berpendidikan tinggi.
Pekerjaan yang dilakukan seseorang mempunyai peranan dalam kejadian malaria.
Hasil penelitian oleh Balai Penelitian Vektor dan Reservoar Penyakit (BPVRP) juga
menunjukkan hasil bahwa pekerjaaan yang berkaitan dengan pertanian mempunyai
risiko untuk menderita malaria sebesar 4,1 kali lebih besar daripada yang bekerja
selain dibidang pertanian.
Pendapatan berkaitan dengan kemampuan responden untuk mengupayakan
pencegahan atau meminimalkan kontak dengan nyamuk misalnya dengan
penggunaan kawat kasa atau membeli obat anti nyamuk. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Babba (2008) menunjukkan bahwa orang yang mempunyai
penghasilan yang kurang mempunyai risiko sebesar 4, 32 kali untuk menderita
malaria.
2. Faktor Nyamuk
Nyamuk anopheles terutama hidup didaerah tropik dan sub tropik, namun dapat juga hidup
di daerah beriklim sedang bahkan dapat hidup di daerah Arktika. Jarang ditemukan pada
ketinggian lebih dari 2000-2500 m. Efektifitas vektor untuk menularkan dipengaruhi hal-
hal berikut:
a. Kepadatan vektor dekat pemukiman manusia
b. Kesukaan menghisap darah manusia
c. Frekuensi menghisap darah (tergantung pada suhu)
d. Lamanya sporogoni (berkembangnya parasit dalam nyamuk sehingga menjadi
infektif)
e. Lamanya hidup nyamuk harus cukup untuk sporogoni dan kemudian menginfeksi.
Selain itu, perilaku nyamuk sangat menentukan dalam proses penularan malaria. Beberapa
yang penting meliputi:
a. Tempat istirahat di dalam rumah atau luar rumah (endofilik dan eksofilik)
b. Tempat menggigit di dalam rumah atau luar rumah (endofagik dan eksofagik)
c. Obyek yang di gigit, suka menggigit manusia atau hewan (antrofofilik dan zoofilik).
3. Faktor Lingkungan
a. Lingkungan Fisik
- Suhu Udara
Suhu udara berpengaruh terhadap lamanya masa inkubasi ekstrinsik (panjang
pendeknya siklus sprorogoni). Hal ini berperan dalam transmisi malaria. Semakin
tinggi suhu antara 20-30 ᵒC akan berakibat pada makin pendeknya masa inkubasi
ekstrinsik, begitu juga sebaliknya. Pengaruh suhu terhadap masing-masing spesies
tidak sama. Pada suhu 26,7 ᵒC masa inkubasi ekstrinsik pada spesies plasmodium
berbeda yaitu : Plasmodium falciparum (10-12 hari), P. Vivax (8-11hari), P.
Malariae (14 hari) dan P. Ovale ( 15 hari)
- Kelembaban udara
Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk, dengan tingkat
kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk hidupnya nyamuk. Pada
kelembaban yang lebih tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering
menggigit.
- Ketinggian
Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang semakin bertambah, ini
berkaitan dengan menurunnya suhu rata-rata. Pada ketinggian diatas 2000 m jarang
ada transmisi malaria, namun ini bisa berubah dengan adanya pemanasan bumi dan
pengaruh dari El-Nino. Ini menyebabkan terjadinya perubahan pola musim di
Indonesia yang berpengaruh terhadap perilaku nyamuk.
- Angin
Kecepatan dan arah angin berpengaruh terhadap kemampuan jarak terbang (flight
range) nyamuk. Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam
berpengaruh terhadap nyamuk yang keluar masuk rumah. Jarak terbang nyamuk
dapat diperpendek atau diperpanjang sebagai akibat pengaruh adanya kecepatan
angin.
- Hujan
Siklus hidup dan perkembangan nyamuk dapat dipengaruhi oleh fluktuasi curah
hujan. Hujan yang di selingi panas akan memperbesar kemungkinan perkembang
biakan nyamuk anopheles berlangsung sempurna. Tetapi tidak semua spesies
mempunyai kecenderungan yang sama.
- Sinar matahari
Sinar matahari memberikan pengaruh berbeda pada spesies nyamuk. Nyamuk An.
Aconitus lebih menyukai tempat untuk berkembang biak dalam badan air yang ada
sinar mataharinya dan ada peneduh. Spesies yang lain lebih menyukai tempat yang
rindang. Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-
beda. Anopheles sundaicus lebih suka di tempat yang teduh, Anopheles hyrcarnus
spp. Lebih suka di tempat yang terbuka sedangkan Anopheles balabacensis dapat
hidup beradaptasi baik di tempat yang teduh maupun yang terang. Jentik
An.maculatus di Kabupaten Banjarnegara (Yunianto,dkk.,2002) banyak ditemukan
di antara batuan atau di bawah tanaman air yang terlindung dari sinar matahari
langsung.
- Arus air
An. Balabacensis lebih menyukai tempat perindukan yang airnya tergenang atau
mengalir sedikit, An. minimus menyukai tempat perindukan yang aliran airnya
cukup deras dan An. letifer menyukai tempat yang airnya tergenang. Menurut
laporan penelitian (Yunianto,2002) menyatakan bahwa An. maculatus
berkembangbiak pada genangan air di pinggir sungai dengan aliran lambat atau
berhenti.
Selain hal tersebut diatas, beberapa lingkungan fisik yang terdapat disekitar manusia
dan dalam kondisi yang sesuai dapat meningkatkan resiko kontak dengan nyamuk
infeksius, diantaranya seperti keberadaan tempat perindukan nyamuk, tempat
pemeliharaan ternak besar serta konstruksi dinding rumah. Depkes RI (1999), adanya
ternak besar seperti sapi dan kerbau dapat mengurangi gigitan nyamuk pada manusia
apabila kandang tersebut diletakan di luar rumah pada jarak tertentu (cattle barrier).
Demikian juga lokasi rumah dekat tempat perindukan vektor serta desain, konstruksi
rumah dapat mengurangi kontak antara manusia dengan vektor. Rumah dengan
dinding yang terbuka karena konstruksi yang tidak lengkap ataupun karena bahan
baku yang membuatnya bercelah, meningkatkan resiko kontak dengan nyamuk.
b. Lingkungan kimia
Dari lingkungan ini yang baru di ketahui pengaruhnya adalah kadar garam dari tempat
perindukan. Sebagai contoh An. sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar
garamnya berkisar antara 12-18 % dan tidak dapat berkembang biak pada kadar garam
40% keatas. Meskipun di beberapa tempat di sumatra Utara An. sundaicus ditemukan
pula dalam air tawar dan An. letifer dapat hidup di tempat yang asam/ pH rendah.
c. Lingkungan Biologi
Lingkungan biologi berpengaruh terhadap kehidupan nyamuk, baik bersifat
menguntungkan maupun merugikan. Keberadaan tanaman air seperti tanaman bakau,
ganggang, lumut dapat melindungi larva nyamuk dari sinar matahari langsung
maupun serangan makhluk lainnya. Demikian juga keberadaan binatang pemakan
jentik seperti ikan nila, mujair, gambusia dan ikan kepala timah.
4. Faktor Parasit
Parasit harus ada dalam tubuh manusia untuk waktu yang cukup lama dan menghasilkan
gametosit jantan dan betina pada saat yang sesuai untuk penularan. Parasit juga harus
menyesuaikan diri dengan sifat spesies vektor anopheles agar sporogoni di mungkinkan
dan menghasilkan sporozoit yang infektif.
Sifat parasit berbeda-beda untuk setiap spesies dan mempengaruhi terjadinya manifestasi
klinis dan penularan. Plasmodium falciparum mempunyai masa infeksi yang paling
pendek namun menghasilkan parasitemia paling tinggi, gejala yang paling berat dan masa
inkubasi yang paling pendek. P. falciparum baru berkembang setelah 8-15 hari sesudah
masuknya parasit ke dalam darah. Gametosit P.falciparum menunjukkan periodisitas dan
infektivitas yang berkaitan dengan kegiatan menggigit vektor. P. vivax dan P. ovale pada
umumnya menghasilkan parasitemia yang rendah, gejala yang lebih ringan dan masa
inkubasi yang lebih lama. Sporozoit P. vivax dan ovale dalam hati berkembang menjadi
sizon jaringan primer dan hipnozoit. Hipnosoit ini yang menjadi sumber untuk terjadinya
relaps.
Sebagian besar kematian karena malaria disebabkan oleh malaria berat karena infeksi
plasmodium falciparum. Penelitian in vitro Chotivanich, dkk menunjukkan parasit pasien
malaria berat mempunyai kemampuan multiplikasi 3 kali lebih besar dibandingkan parasit
yang didapat dari pasien malaria tanpa komplikasi. Selain itu parasit malaria berat juga
mampu menghasilkan toksin yang sangat banyak.
Patofisiologi

Gejala malaria tumbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit. Gejala yang
paling mencolok adalah demam yang diduga disebabkan oleh pirogen endogen, yaitu TNF dan
interleukin-1. Akibat demam terjadi vasodilatasi perifer yang mungkin disebabkan oleh bahan
vasoaktif yang diproduksi oleh parasit. Pembesaran limpa disebabkan oleh terjadinya
peningkatan jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit, teraktivasinya sistem retikuloendotelial
untuk memfagositosis eritrosit yang terinfeksi parasit dan sisa eritrosit akibat hemolisis. Juga
terjadi penurunan jumlah trombosit dan leukosit neurtofit. Terjadinya kongesti pada organ lain
meningkatkan resiko terjadinya ruptur limpa.
Anemia terutama disebabkan oleh pecahnya eritrosit dan difagositosis oleh sistem
retikuloendotelial. Hebatnya hemolisis tergantung pada jenis Plasmodium dan status imunitas
pejamu. Anemia juga disebabkan oleh hemolisis autoimun, sekuestrasi oleh limpa pada
eritrosit yang terinfeksi maupun yang normal, dan gangguan eritropoiesis. Pada hemolisis berat
dapat terjadi hemoglobinuria dan hemoglobinemia. Hiperkalemia dan hiperbilirubinemia juga
sering ditemukan.
Kelainan patologik pembuluh darah kapiler pada malaria tropika, disebabkan karena
sel darah merah yang terineksi menjadi kaku dan lengket, sehingga perjalanannya dalam
kapiler teganggu dan mudah melekat pada endotel kapiler karena adanya penonjolan membran
eritrosit. Setelah terjadi penumpukan sel dan bahan pecahan sel, maka aliran kapiler terhambat
dan timbul hipoksia jaringan, terjadi gangguan pada integritas kapiler dan dapat terjadi
perembesan cairan bahkan pendarahan ke jaringan sekitarnya. Rangkaian kelainan patologis
ini dapat menimbulkan manifestasi klinis sebagai malaria serebral, edema paru, gagal ginjal
dan malabsorpsi usus.
Pertahanan tubuh individu terhadap malaria dapat berupa faktor yang diturunkan
maupun yang didapat. Pertahanan terhadap malaria yang diturunkan terutama penting untuk
melindungi anak kecil/bayi karena sifat khusus eritrosit yang relatif resisten terhadap masuk
dan berkembang-biaknya parasit malaria. Masuknya parasit tergantung pada interaksi antara
organel spesifik pada merozoit dan struktur khusus pada permukaan eritrosit. Sebagai contoh
eritrosit yang mengandung glikoprotein A penting untuk masuknya Plasmodium falciparum.
Individu yang tidak mempunyai determinan golongan darah Duffy (termasuk kebanyakan
negro Afrika) mempunyai resistensi alamiah terhadap Plasmodium vivax; spesies ini mungkin
memerlukan protein pada permukaan sel yang spesifik untuk dapat masuk ke dalam eritrosit.
Resistensi relatif yang diturunkan pada individu dengan HbS terhadap malaria telah lama
diketahui dan pada kenyataannya terbatas pada daerah endemis malaria. Seleksi yang sama
juga dijumpai pada hemoglobinopati tipe lain, kelainan genetik tertentu dari eritrosit,
thalasemia, difisiensi enzim G6PD dan difisiensi pirufatkinase. Masing-masing kelainan ini
menyebabkan resistensi membran eritrosit atau keadaan sitoplasma yang menghambat
pertumbuhan parasit.
Imunitas humoral dan seluler terhadap malaria didapat sejalan dengan infeksi ulangan.
Namun imunitas ini tidak mutlak dapat mengurangi gambaran klinis infeksi ataupun dapat
menyebabkan asimptomatik dalam periode panjang. Pada individu dengan malaria dapat
dijumpai hipergamaglobulinemia poloklonal, yang merupakan suatu antibodi spesifik yang
diproduksi untuk melengkapi beberapa aktivitas opsonin terhadap eritrosit yang terinfeksi,
tetapi proteksi ini tidak lengkap dan hanya bersifat sementara bilamana tanpa disertai infeksi
ulangan. Tendensi malaria untuk menginduksi imunosupresi, dapat diterangkan sebagian oleh
tidak adekuatnya respon ini. Antigen yang heterogen terhadap Plasmodium mungkin juga
merupakan salah satu faktor. Monosit/makrofag merupakan partisipan seluler yang terpenting
dalam fagositosis eritrosit yang terinfeksi.

Patogenesis
lnfeksi parasit malaria pada manusia mulai saat nyamuk anopheles betina menggigit
manusia dan nyamuk akan melepaskan sporozoit ke dalam pembuluh darah dimana sebagian
besar dalam waktu 45 menit akan menuju ke hati dan sebagian kecil sisanya akan mati di darah.
Di dalam sel parenkim hati mulailah perkembangan bentuk aseksual skizon intrahepatik atau
skizon pre eritrosil. Perkembangan ini memerlukan waktu 5,5 hari untuk Plasmodium
falciparum dan 15 hari untuk Plasmodium malariae. Setelah sel parenkim hati terinfeksi,
terbentuk skizon hati yang apabila pecah akan dapat mengeluarkan 10.000-30.000 merozoit ke
sirkulasi darah. Pada P vivax dan ovale. sebagian parasit di dalam sel hati membentuk hipnozoit
yang dapat bertahan sampai bertahun-tahun, dan bentuk ini yang akan menyebabkan terjadinya
relaps pada malaria.
Setelah berada dalam sirkulasi darah merozoit akan menyerang eritrosit dan masuk
melalui reseptor permukaan eritrosit. Pada P. vivax reseptor ini berhubungan dengan faktor
antigen Duffy Fya atau Fyb. Hal ini menyebabkan individu dengan golongan darah Duffy
negatif tidak dapat terinfeksi malaria vivax. Reseptor untuk P. falciparum diduga suatu
glycophorins, sedangkan pada P malariae dan P. ovale belum diketahui. Dalam waktu kurang
dari 12 jam parasit berubah menjadi bentuk ring, pada P. falciparum menjadi bentuk stereo
headphones, yang mengandung kromatin dalam intinya dikelilingi sitoplasma. Parasit tumbuh
setelah memakan hemoglobin dan dalam metabolismenya membentuk pigmen yang disebut
hemozoin yang dapat dilihat secara mikroskopik. Eritrosit yang berparasit menjadi lebih elastik
dan dinding berubah lonjong, pada P. falciparum dinding eritrosit membentuk tonjolan yang
disebut knob yang nantinya penting dalam proses sitoaderens dan rosetting. Setelah 36 jam
invasi ke dalam eritrosit, parasit berubah menjadi skizon, dan bila skizon pecah akan
mengeluarkan 6-36 merozoit dan slap menginfeksi eritroslt yang lain. Siklus aseksual ini pada
P. falciparum, P. vivax, dan P. ovale ialah 48 jam dan pada P. malariae adalah 72 jam.
Di dalam darah sebagian parasit akan membentuk gamet jantan dan betina, dan bila
nyamuk menghisap darah manusia yang sakit akan terjadi siklus seksual dalam tubuh nyamuk.
Setelah terjadi perkawinan akan terbentuk zigot dan menjadi lebih bergerak menjadi ookinet
yang menembus dinding perut nyamuk dan akhirnya menjadi bentuk oocyst yang akan menjadi
masak dan mengeluarkan sporozoit yang akan bermigrasi ke kelenjar ludah nyamuk dan siap
menginfeksi manusia.
Pada surveilens malaria di masyarakat, tingginya slide positive rate (SPR) menentukan
endemisitas suatu daerah dan pola kiinis penyakit malaria akan berbeda.
Secara tradisi endemisitas daerah dibagi menjadi:
• HIPOENDEMIK: bila parasit rate atau spleen rate 0 10%
• MESOENDEMIK: bila paraslt rate atau spleen rate 10 50%
• HIPERENDEMIK: bila parasit rate atau spleen rate 50 75%
• HOLOENDEMIIK: bila paraslt rate atau spleen rate > 75%
Parasit rate dan spleen rate ditentukan pada pemeriksaan anak-anak usia 2-9 tahun.
Pada daerah holoendemik banyak penderita anak-anak dengan anemia berat, pada daerah
hiperendemik dan mesoendemik mulai banyak malaria serebral pada usia kanak-kanak (2-10
tahun), sedangkan pada daerah hipoendemik/daerah tidak stabil banyak dijumpai malaria
serebral, malaria dengan gangguan fungsi hati atau gangguan fungsi ginjal pada usia dewasa.
Setelah melalui jaringan hati P. falciparum melepaskan 18-24 merozoit ke dalam
slrkulasl. Merozoit yang dilepaskan akan masuk dalam sel RES di limpa dan mengalami
fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lolos dari filtrasi dan fagositosis di limpa akan
menginvasi entrosit. Selanjutnya parasit berkembang biak secara aseksual dalam eritrosit.
Bentuk aseksual parasit dalam entrosit yang berpotens: (EP) inilah yang bertanggungjawab
dalam patogenesis terjadinya malaria pada manusia. Patogenesis malaria yang banyak diteliti
adalah patogenesis malaria yang disebabkan oleh P. falclparum.
Patogenesis malaria falsiparum dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor pejamu
(host). Termasuk dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi. Densitas parasit dan virulensi
parasit. Sedangkan yang masuk dalam faktor penjamu adalah tingkat endemisitas daerah
tempat tinggal, genetik, usia, status nutrisi dan status imunologi. EP secara garis besar
mengalami 2 stadium. yaitu stadium cincin pada 24 jam l dan stadium matur pada 24 jam ke
ll. Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan antigen RESA (ring-erythrocyte surface
antigen) yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan membran EP
stadium matur akan mengalami penonjolan dan membentuk knob dengan Histidin Rich-
protein-I (HRP-l) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut berubah menjadi
merozoid, akan dilepaskan toksin malana berupa GPI atau glikosilfosfatidilinositol yang
merangsang peiepasan TNF-α dan interleukin~1 (IL-1) dari makrofag.
Sitoaderensi. Sitoaderensi ialah perlekatan antara EP stadium matur pada permukaan
endotel vaskular. Perlekatan terjadi molekul adhesif yang terletak di permukaan knob EP
melekat dengan molekul-molekul adhesif yang terletak di permukaan endotel vaskular.
Molekul adhesif di permukaan knob EP secara kolektif disebut PfEMP-l, (P.falciparum
erythrocyte membrane protein-1). Molekul adhesif di permukaan sel endotel vaskular adalah
C036, trombospondin, intercellular adhesion molecule-1 (lCAM-l), vascular cell adhesion
molecule 1 (VCAM), endothel leucacyte adhesion molecule-1 (ELAM1) dan
glycosaminoglycan chondroitin sulfate A. PfEMP-l merupakan protein-protein hasil ekspresi
genetik oleh sekelompok gen yang berada di permukaan knob. Kelompok gen ini disebut gen
VAR. Gen VAR mempunyai kapasitas variasi antigenik yang sangat besar.
Sekuestrasl. Sitoaderen menyebabkan EP matur tidak beredar kembali dalam
sirkulasi. Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskular disebut EP
matur yang mengalami sekuestrasi. Hanya P falciparum yang mengalami sekuestrasi, karena
pada plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh darah perifer. Sekuestrasi
terjadi pada organ-organ vital dan mampu semua janngan dalam tubuh Sekuestrasi tertinggi
terdapat di otak. diikuti dengan hepar dan ginjal, paru jantung, usus dan kulit. Sekuestrasi ini
diduga memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat
Rosetting ialah berkelompoknya EP matur yang diselubungi 10 atau lebih eritrosit
yang tidak mengandung parasit. Plasmodium yang dapat melakukan sitoaderensi juga yang
dapat melakukan rosetting. Rosetting menyebabkan obstruksi aliran darah lokal/dalam jaringan
sehingga mempermudah terjadinya sitoadheren.
Sitokin. Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah mendapat
stimulasi dari malaria toksin (LPS, GPI ). Sitokin ini antara lain TNF-a (tumor necrosis factor-
alpha), interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), intedeukin-3 (ll-3), LT (lymphotoxin) don
interferongamma (INF-g). Dari beberapa penelitian dibuktikan bahwa penderita malaria
serebral yang meninggal atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar
TNF-α yang tinggi. Demikian juga malaria tanpa komplikasi kadar TNF-α. IL-1, IL-6 lebih
rendah dari malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak konsisten karena juga dijumpai
penderita malaria yang mati dengan TNF normal/ rendah atau pada malaria serebral yang hidup
dengan sitokin yang tinggi. Oleh karenanya diduga adanya peran dari neurotransmitter yang
lain sebagai free-radical dalam kaskade ini seperti nitrit-oksida sebagai faktor yang panting
dalam patogenesis malaria berat.
Nitrit Oksida. Akhir-akhir ini banyak diteliti peran mediator nitrit oksid (NO) baik
dalam menimbulkan malaria berat terutama malaria serebral, maupun sebaliknya NO justru
memberikan efek protektif karena membatasi perkembangan parasit dan menurunkan ekspresi
molekuladesi. Diduga produksi NO lokal di organ terutama otak yang berlebihan dapat
mengganggu fungsi organ tersebut. Sebaliknya pendapat lain menyatakan kadar NO tertentu,
memberikan perlindungan terhadap malaria berat. Justru kadar NO yang rendah mungkin
menimbulkan malaria berat, ditunjukkan dari rendahnya kadar nitrat dan nitrit total pada cairan
serebrospiral. Anak-anak penderita malaria serebral di Afrika, mempunyai kadar arginine yang
rendah. Masalah peran sitokin proinflamasi dan NO pada patogenesis malaria berat mash
kontroversial, banyak hipotesis yang belum dapat dibuktikan dengan jelas dan hasil berbagai
penelitian suing saling bartentangan.
ANMAL
a. Apa makna klinis demam tinggi, hilang timbul (intermiten) tiap 2 hari?

Pada demam intermitten, suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa
jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tersiana dan
bila terjadi dua hari bebas demam di antara dua serangan demam disebut kuartana. Karena
maturasi skizon Plasmodium vivax terjadi setiap 48 jam, sehingga pola demam yang terjadi
adalah demam tertian (intermitten).

b. Apa makna klinis tidak ditemukan manifestasi perdarahan dan ruam kulit, tidak terdapat
batuk/pilek, sesak, mencret, dan nyeri saat berkemih, buang air besar dan buang air kecil
tidak ada keluhan?

Tidak ditemukan perdarahan pada kasus dapat menyingkirkan diagnosis demam berdarah
dengue sehingaa tidak ada perdarahan spontan yang dapat menimbulkan ruam. Malaria
disebabkan oleh plasmodium yang menyerang sel darah merah dan sel hepar. Plasmodium
menyebabkan pecahnya sel darah merah. Berbeda dengan malaria, DBD disebabkan oleh
virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Setelah masuk ke dalam tubuh
manusia, virus dengue akan menuju organ sasaran yaitu sel kupffer hepar, endotel
pembuluh darah, nodus limfa, sumsum tulang serta paru-paru, lalu terjadi reaksi imun.
Reaksi imun yang terjadi menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah, sehingga
terjadi kebocoran endotel dan ekstravasasi plasma ke jaringan tubuh.
Tidak terdapat batuk atau pilek berarti tidak terdapat gangguan pada sistem pernapasan dan
menyingkirkan diagnosis banding oleh karena infeksi. Bila ditemukan gangguan
pernapasan, maka dapat dikatakan masuk ke dalam malaria berat yang disebabkan oleh
Plasmodium falciparum. Selain itu, tidak ditemukan mencret, nyeri saat berkemih, buang
air besar dan kecil tidak ada keluhan menandakan keluhan yang dialami Dina tidak
dikarenakan infeksi saluran kemih

c. Apa interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik?

Hasil Pemeriksaan Keadaan Normal Interpretasi

Kesadaran: Compos Mentis Compos Mentis Normal

Konjungtiva pucat
Tekanan Darah: 100/70 mmHg 100-120/60-80 mmHg

Nadi: 108x/menit 60–100x/menit Takikardi

RR: 28x/menit 16–24x/menit Takipneu

Temperatur: 39OC 36,5–37,2OC Demam

Hepatosplenomegali Tidak terdapat Abnormal


pembesaran
BB/TB : 30kg/145cm
IMT :

Anda mungkin juga menyukai