Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Apotek

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/ Menkes/ SR/ X/

2002 tentang Perubahan Peraturan Mentri Kesehatan No. 922/ Menkes/ Per/ X/

1993. Pasal 1 ayat (a) “Apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat melakukan

pekerjaan kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi, perbekalan kesehatan

lainnya kepada masyarakat.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun 2009 tentang

pekerjaan kefarmasian, disebutkan bahwa pekerjaan kefarmasian adalah

pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan

obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta

pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/ Menkes/ Per/ X/ 1993

pasal 10, pekerjaan kefarmasian atau pengelolaan apotek meliputi: pembuatan,

pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan

penyerahan obat atau bahan obat, pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan

penyerahan perbekalan farmasi lainnya serta pelayanan informasi mengenai

perbekalan farmasi. Sediaan farmasi yang disalurkan apotek meliputi obat, bahan

obat, obat asli Indonesia (obat tradisional), alat kesehatan, dan kosmetika.
B. Tugas dan Fungsi Apotek

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009, apotek

mempunyai tugas dan fungsi sebagai :

a. Tempat pengabdian profesi apoteker yang telah mengucapkan Sumpah

Apoteker.

b. Sarana pelayanan farmasi dalam melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk,

pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat.

c. Penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyebarkan secara luas dan

merata obat yang diperlukan oleh masyarakat.

d. Sarana informasi obat kepada masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya.

Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut

Peermenkes RI. Nomor 35 tahun 2014 bertujuan untuk:

a. Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;

b. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan

c. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional

dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).

C. Peraturan Perundang-undangan Apotek

Peraturan dan perundang-undangan yang mengatur tentang apotek meliputi:

1. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 28/MenKes/Per/1/1978 Tentang

Penyimpanan Narkotika.

2. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 26/MenKes/Per/1/1981 tentang

Pengelolaan dan Perizinan Apotek.


3. Keputusan Menteri Kesehatan No. 280/MenKes/SK/V/1981 tentang

Ketentuan dan Tata Cara Pengelolaan Apotek.

4. Keputusan Menteri Kesehatan No. 347/Menkes/SK/VII/1990 tentang Daftar

Obat Wajib Apotek.

5. UU RI No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.

6. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang

Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan No.922/Menkes/Per/X/1993

tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Ijin Apotek.

7. UU RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

8. UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

9. Peraturan Pemerintah RI No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.

10. Peraturan Menteri Kesehatan RI. No. 889/MENKES/PER/V/2011 tentang

Registrasi, Izin Praktik, Dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian.

11. Peraturan Menteri Kesehatan RI. No. 35 Tahun 2014 tentang Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek.

D. Persyaratan Apotek

1. Perizinan Apotek

Beberapa persyaratan pendirian apotek dalam Keputusan Menteri

Kesehatan No.1332/Menkes/SK/X/2002 tentang ketentuan cara pemberian izin

apotek meliputi:

a. Untuk mendapatkan ijin apotek sebagai apoteker pribadi atau apoteker yang

bekerjasama dengan Pemilik Sarana Apotek (PSA) yang telah memenuhi


persyaratan harus siap dengan tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi

dan perbekalan lainnya yang merupakan milik sendiri atau pemilik pihak lain.

b. Perbekalan farmasi yang dimaksud sekurang–kurangnya terdiri dari obat

generik sesuai dengan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) atau rumah sakit

tipe C.

c. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan

pelayanan komoditi lainnya diluar sediaan farmasi.

d. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya diluar sediaan

farmasi.

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pendirian suatu apotek

meliputi : Lokasi, dimana perlu dipertimbangkan ada atau tidaknya apotek lain,

kepadatan penduduk, keberadaan dokter praktek ataupun pelayanan kesehatan

lainnya, serta rumah sakit, poliklinik maupun puskesmas.

2. Dasar Perizinan Apotek

Hal-hal yang menjadi dasar dalam pemeriksaan pemberian izin apotek

menurut Kepmenkes Nomor 1332/ menkes/SK/X/2002 yaitu :

2.1 Memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).

Untuk memperoleh NPWP harus memiliki SIUP (Surat Ijin Usaha

Perdagangan) dan untuk memperoleh SIUP harus memiliki HO (Hinder

Ordonantie) terlebih dahulu.

2.2 Bangunan.

Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan

pelayanan dan komiditi lainnya diluar sediaan farmasi. Bangunan apotek


sekurang-kurangnya memiliki ruang khusus untuk ruang tunggu, ruang

peracikan dan penyerahan obat, ruang administrasi dan kamar kerja apoteker,

ruang tempat pencucian alat, kamar mandi. Kelengkapan bangunan calon

apotek meliputi : sumber air harus memenuhi persyaratan kesehatan,

penerangan harus cukup terang sehingga dapat menjamin pelaksanaan tugas

dan fungsi apotek, alat pemadam kebakaran harus berfungsi dengan baik,

ventilasi yang baik serta memenuhi persyaratan hygiene lainnya, sanitasi

harus baik serta memenuhi persyaratan hygiene lainnya.

2.3 Perlengkapan.

Apotek harus memiliki perlengkapan sebagai berikut :

a. Alat pembuatan, pengolahan dan peracikan : Mortir garis tengah 5-10 cm dan

10-15 cm beserta stamfer, timbangan milligram dengan anak timbang yang

sudah ditera minimal satu set, timbangan gram dengan enam timbangan yang

sudah ditera, gelas ukur, batang pengaduk. Termometer berskala 100, rak

tempat pengeringan alat, dan perlengkapan lain disesuaikan dengan

kebutuhan.

b. Perlengkapan dan alat penyimpanan perbekalan farmasi :Lemari dan rak

untuk penyimpanan obat, lemari narkotika dan psikotropika, lemari

pendingin.

c. Wadah pengemas dan pembungkus :Etiket, wadah pengemas dan

pembungkus untuk penyerahan obat.

Perlengkapan administrasi : Surat pesanan obat, kartu stock obat, copy resep,

faktur dan nota penjualan, buku daftar obat habis, buku penerimaan obat,
buku pembukuan keuangan, alat tulis, kertas, surat pesanan narkotika, surat

pesanan psikotropika, surat pesanan perkursor dan formulir laporan narkotika

dan psikotropika.

d. Buku standar :Farmakope Indonesia edisi terbaru dan kumpulan peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan apotek serta buku-buku lain

yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.

e. Almari khusus :Tempat penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika.

E. Pengelolaan Apotek

Pengelolaan apotek adalah segala upaya dan kegiatan yang dilakukan oleh

seorang apoteker pengelola apotek dalam rangka tugas dan fungsi apotek yang

meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian

(Syamsuni, 2007).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MenKes/SK/X/2002

pengelolaan apotek meliputi :

1. Pembuatan, pengelolaan, peracikan, pengubahan bentuk, penyampuran,

penyimpanan, dan penyerahan obat atau bahan obat.

2. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran, dan penyerahan perbekalan farmasi

lainnya.

3. Pelayanan informasi mengenai sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan

lainya meliputi :

1). Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi yang diberikan

baik kepada dokter, tenaga kesehatan lainnya maupun kepada


masyarakat.

2). Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan,

bahaya dan mutu suatu obat serta perbekalan farmasi lainnya.

Menurut UU Kesehatan nomor 36 tahun 2009 pasal 37, pengelolaan

perbekalan kesehatan dilakukan agar kebutuhan dasar masyarakat akan

perbekalan kesehatan terpenuhi. Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan

kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi:

1. Perencanaan

Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu

diperhatikan:

a) Pola penyakit endemik.

b) Kemampuan masyarakat / daya beli masyarakat.

c) Budaya masyarakat.

d) Metode konsumsi berdasarkan stok pemakaian bulan sebelumnya.

2. Pengadaan

Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan

farmasi harus melalui jalur resmi sesuai peraturan perundang -undangan.

3. Penerimaan

Merupakan kegiatan penerimaan barang dari PBF kepada pihak apotek.

Penerimaan dilakukan dengan cara mencocokan nama barang dan jumlahnya

dengan faktur pembelian.

4. Penyimpanan
a. Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal

pengecualian atau darurat di mana isi dipindahkan pada wadah lain, maka

harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang

jelas pada wadah baru, wadah sekurang -kurangnya memuat nama obat,

nomor batch dan tanggal kadaluarsa.

b. Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layakdan

menjamin kestabilan bahan (Kepmenkes No. 1027/Menkes/SK/IX/2004).

5. Pendistribusian

Yaitu proses penyampaian obat sampai ketangan pasien /

konsumen.Dalam pengelolaan sebuah apotek, berlaku juga cara mengelola

fungsi - fungsi manajemen dalam menyusun rencana kerja (planning) untuk

mencapai suatu tujuan. Karena untuk melaksanakan rencana kerja tidak

mungkin dilakukan oleh satu fungsi, maka organisasi apotek membagi - bagi

pekerjaan (organization) yang ada di apotek dengan tugas, wewenang dan

tanggung jawab pada setiap fungsi. Kemudian masing - masing fungsi

melaksanakan rencana kerja (actuating) sesuai dengan fungsi pekerjaan dan

sasaran yang akan dicapainya.

1) Perencanaan (planning). Rencana dibuat agar organisasi dapat

mengarahkan dana dan sumber daya yang ada serta mempunyai komitmen

untuk mencapai suatu tujuan.

2) Pengorganisasian (organising). Organisasi merupakan sekelompok orang

yang bekerjasama dengan berbagai aktivitas untuk mencapai suatu tujuan

yang ditentukan bersama. Proses pengorganisasian meliputi: pembagian


atau pengelompokan aktivitas yang sama dan seimbang dengan pendidikan

setiap karyawan, penentuan tugas masing-masing kelompok, pemilihan

orang yang tepat dalam setiap bidang dan disesuaikan dengan pendidikan,

sifat dan tanggung jawabnya, pelimpahan wewenang dan tanggung jawab,

pengkoordinasian berbagai aktivitas, berhubungan dengan tanggung jawab

terhadap kesehatan manusia.

3) Penggerakan (actuating). Kemampuan dalam memberikan dorongan atau

motivasi kepada bawahan sehingga mereka bekerja dengan baik demi

tercapainya tujuan organisasi. Penggerakan mencakup 4 kegiatan yaitu :

pengambilan keputusan, memotivasi karyawan, berkomunikasi dan

pembinaan karyawan.

4) Pengawasan (controlling). Pengawasan merupakan pengendalian apakah

semua kegiatan telah berjalan sebagaimana mestinya. Penilaian dilakukan

dengan membandingkan hasil dengan rencana, kemudian dilakukan

koreksi atau usaha perbaikan terhadap rencana-rencana berikutnya.

Pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan bertujuan untuk

:Melaksanakan efisiensi dan menghemat biaya - biaya yang dikeluarkan,

menjaga aktivitas agar tidak digunakan secara boros, menjaga semua

pendapatan dapat diterima serta harus dipertanggung jawabkan.

Peraturan ini menekankan pengabdian profesi apoteker untuk melakukan

pengelolaan apotek secara bertanggung jawab sehingga dapat menjamin

kualitas pelayanan obat kepada masyarakat.


F. Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan

Menurut Undang - Undang Republik IndonesiaNo. 36 tahun 2009

pengertian sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan adalah sebagai berikut:

 Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.

 Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan

untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 917/MENKES/PER/X/1993 tentang

Wajib Daftar Obat Jadi, golongan obat adalah penggolongan yang dimaksudkan

untuk peningkatan keamanan dan ketetapan penggunaan serta pengamanan

distribusi yang terdiri dari obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotek, obat

keras, psikotropika dan narkotika.

1. Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang tidak dinyatakan sebagai obat narkotika atau

psikotropika atau obat keras atau obat bebas terbatas yang dapat diberikan tanpa

resep dokter.Tanda khusus untuk obat bebas yaitu lingkaran berwarna hijau

dengan garis tepi berwarna hitam, tanda khusus dimaksud harus diletakkan

sedemikian rupa sehingga jelas terlihat dan mudah dikenali.

Gambar 2. Logo obat bebas

2. Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat keras yang dapat diserahkan kepada

pasien tanpa resep dokter dalam jumlah terbatas. Tanda khusus untuk obat bebas
terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam dan tanda khusus

dimaksud harus diletakkan sedemikian rupa sehingga jelas terlihat dan mudah

dikenali.

Gambar 3. Logo obat bebas terbatas

Untuk obat bebas terbatas harus dicantumkan pula tanda peringatan P.

No.1, P. No.2, P. No.3, P. No.4, P. No.5, atau P. No.6 yang ditetapkan dalam

Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 6355/Dir.Jend./SK/69 tanggal 28

Oktober 1969. Tanda peringatan tersebut adalah sebagai berikut :

 P.No.1 Awas! Obat Keras. Bacalah aturan memakainya.

 P.No.2 Awas! Obat Keras. Hanya untuk kumur, jangan ditelan.

 P.No.3 Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar dari badan.

 P.No.4 Awas! Obat Keras. Hanya untuk dibakar.

 P.No.5 Awas! Obat Keras. Tidak boleh ditelan.

 P.No.6 Awas! Obat Keras. Obat wasir, jangan ditelan.

3. Obat Keras

Obat keras adalah obat daftar G tidak boleh dibeli bebas, hanya boleh

diberikan kepada seseorang dengan resep dokter, kecuali untuk keperluan teknik.

Tanda khusus berupa lingkaran bulat berwarna merah dengan garis tepi berwarna

hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi. Tanda khusus tersebut harus

diletakkan sedemikian rupa sehingga jelas terlihat dan mudah dikenali. Selain hal

itu harus dicantumkan pula kalimat “Harus dengan resep dokter”.


Gambar 4. Logo obat keras

1. Psikotropika

Dalam Undang – Undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1997

psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika,

yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat

yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Dalam

penjelasan atas Undang - Undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1997

psikotropika dibedakan menjadi 4 golongan sebagai berikut :

Psikotropika golongan I: Hanya untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan

mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.

Psikotropika golongan II: digunakan untuk terapi dan pengembangan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma

ketergantungan.

Psikotropika golongan III: Banyak digunakan dalam terapi dan pengembangan

ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma

ketergantungan.

Psikotropika golongan IV: Sangat luas digunakan dalam terapi dan

pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan

ketergantungan.
Tandanya berupa : lingkaran bulat berwarna merah dengan garis tepi

hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi.

Gambar 5. Logo obat psikotropika

2. Narkotika

Undang - Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 menyatakan

bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan

atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan

rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam

golongan - golongan. Dalam penjelasan atas Undang - Undang Republik

Indonesia No. 35 tahun 2009 golongan narkotika dibedakan sebagai berikut :

Narkotika golongan I: Hanya digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan

dan mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Narkotika golongan II: Digunakan untuk terapi pilihan terakhir dan

pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan

ketergantungan.

Narkotika golongan III: Banyak digunakan dalam terapi dan pengembangan

ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan

ketergantungan.
Tandanya adalah sebagai berikut :

Gambar 6. Logo obat narkotika

3. Obat Wajib Apotek (OWA)

Obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh

apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter.Obat yang termasuk daftar

OWA ditetapkan SK Menteri Kesehatan RI No. 347/MenKes/SK/VII/1990

tanggal 16 Juli 1990 tentang OWA No. 1. Permenkes No.

924/MenKes/SK/X/1993 tentang OWA No. 2 yang merupakan tambahan

lampiran Kepmenkes No. 347/MenKes/VII/1990 tentang OWA yang terlampir

dan Kepmenkes No. 1176/MenKes/SK/X/1999 tentang OWA No. 3. Obat yang

tercantum dalam lampiran surat keputusan ini dapat diserahkan apoteker di

apotek dan dapat ditinjau kembali dan disempurnakan setiap waktu sesuai

dengan ketentuan Undang – Undang yang berlaku. Dengan adanya SK tersebut

diharapkan dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong

dirinya sendiri untuk mengatasi masalah kesehatan.

4. Kosmetik

Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan

pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ

genital bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan,

mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau

melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik (Keputusan Kepala Badan
Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.4.1745).

5. Alat Kesehatan

Menurut UU Kesehatan No.36 tahun 2009, alat kesehatan merupakan

instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang

digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan

penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau

membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.

G. Pengelolaan Resep

Menurut KepMenKes RI No.1332/MENKES/SK/X/2002, resep adalah

permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada APA untuk

menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan perundang -

undangan yang berlaku.

Copy resep atau salinan resep adalah salinan tertulis dari suatu resep.

Selain memuat semua keterangan yang termuat dalam resep asli harus memuat

pula: nama dan alamat apotek, nama dan nomor SIK APA, tanda tangan atau

paraf APA, cap apotek, tanda det atau ne det, nomer resep, dan tanggal

pembuatan.

Resep yang lengkap memuat hal-hal sebagai berikut :

a. Nama, alamat, dan nomor izin praktik dokter, dokter gigi atau dokter hewan

b. Tanggal penulisan resep (inscriptio)

c. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep (invocatio)

d. Nama setiap obat dan komposisinya (praescriptio/ordonatio)

e. Aturan pemakaian obat yang tertulis (signatura)


f. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku (subsciptio)

g. Jenis hewan dan nama serta alamat pemiliknya untuk resep dokter hewan

h. Tanda seru dan/atau paraf dokter untuk resep yang melebihi dosis maksimal

(Syamsuni, 2007).

Pengelolaan resep dikerjakan untuk resep – resep yang sudah dilayani

(sudah diserahkan obatnya kepada pasien), disimpan menurut tanggal dan

nomer pembuatan resep, lalu resep tersebut dibendel dan diberi tanggal agar

mudah dicari. Resep yang mengandung narkotika dan psikotropik harus

dikelompokkan terpisah dari resep lainnya dan ditandai garis merah dibawah

nama obat yang mengandung narkotika dan psikotropik.

Resep yang telah disimpan melebihi tiga tahun dapat dimusnahkan

dengan cara dibakar. Berita acara pemusnahan harus disebutkan hari dan

tanggal pemusnahan, tanggal awal dan akhir resep, serta berat resep yang

dimusnahkan.Pemusnahan resep dilakukan oleh apoteker bersama dengan

sekurang – kurangnya seorang asisten apoteker.

H. Pengelolaan Narkotika

Ketentuan umum Undang-undang RI No. 35 tahun 2009 tentang narkotika

mendefinisikan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau

bukan dari tanaman, baik sintetis dan semi sintetis yang dapat menyebabkan

penurunan dan perubahan kesadaran dan kehilangan rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan rasa ketergantungan.


Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di

bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu

pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat

merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat

dan seksama.

Untuk mempermudah pengawasan terhadap pengadaan dan distribusi

narkotika, maka pemerintah hanya mengizinkan PT. Kimia Farma (PERSERO)

sebagai satu – satunya perusahaan farmasi yang diizinkan untuk memproduksi,

mengimpor dan mendistribusikan narkotika di Indonesia.Hal ini dimaksudkan

untuk menghindari penyalahgunaan narkotika yang dapat menimbulkan adiksi,

maka diadakan pengawasan oleh pemerintah meliputi penanganan khusus

dalam hal pembelian, penyimpanan, penjualan, administrasi serta

pelaporannya.

1. Pemesanan Narkotika

Pemesanan narkotika dilakukan melalui PBF Kimia Farma sebagai

distributor tunggal. Pemesanan dilakukan dengan menggunakan surat pesanan

Narkotika rangkap empat di tanda tangani oleh APA dan dilengkapi dengan

nomor SIK atau SP serta stempel apotek. Pemesanan narkotika dalam satu

lembar surat pesanan adalah satu item (satu jenis obat) dan dibuat rangkap

empat, tiga lembar Surat Pesanan tersebut dikirim ke PBF dan satu lembar lagi

digunakan untuk arsip apotek.


2. Penyimpanan Narkotika

Narkotika di apotek wajib disimpan secara khusus sesuai dengan

ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dalam peraturan perundang

– undangan No. 28/Menkes/Per/I/1978 pasal 5 tentang tata cara penyimpanan

narkotik, yaitu :

a. Apotek harus menyimpan narkotika dalam lemari khusus sebagimana yang

dimaksud dalam pasal 5 peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No. 28/MENKES/PER/I/1978.

b. Lemari khusus tidak boleh dipergunakan untuk menyimpan barang selain

narkotika, kecuali ditentukan oleh menteri kesehatan.Anak kunci lemari

khusus di kuasai penanggung jawab atau pegawai lain yang dikuasakan.

c. Lemari khusus harus ditaruh di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh

umum. Tempat khusus tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai

berikut : Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat

dengan ukuran 40 x 80 x 100 cm, harus mempunyai kunci yang kuat,

dibagi dua masing – masing dengan kunci yang berlainan bagian pertama

di pergunakan untuk menyimpan morfin, petidine dan garam – garamnya

serta persediaan narkotika, bagian kedua di pergunakan untuk menyimpan

narkotika lainnya yang dipakai sehari – hari, lemari tersebut harus

menempel pada tembok atau lantai.


3. Pelaporan Narkotika

Berdasarkan UU No. 35 tahun 2009 apotek berkewajiban membuat,

menyampaikan, menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan

pengeluaran narkotika yang ada penguasaannya kepada Menteri

Kesehatan.Pelaporan narkotika dilaporkan secara online melaui SIPNAP setiap

bulan.

Hasil pelaporan di print out untuk dijadikan arsip dan ditandatangani oleh

APA disertai nama terang, SIPA dan cap apotek. Laporan bulanan narkotika berisi

nomor urut, nama sediaan, satuan, pemasukan, pengeluaran, persediaan akhir dan

keterangan.

4. Pelayanan Narkotika

Pelayanan narkotika yaitu: apotek boleh melayani salinan resep yang

mengandung narkotika, walaupun resep tersebut baru dilayani sebagian atau

belum dilayani sama sekali, resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau

belum sama sekali, apotek harus membuat salinan resep, resep yang mengandung

narkotika harus ditulis tersendiri yaitu tidak boleh ada iterasi (ulangan), ditulis

nama pasien tidak boleh m.i (mihi ipsi = untuk dipakai sendiri), alamat pasien dan

aturan pakai yang jelas, tidak boleh ditulis pemakaian diketahui (usus cognitus).

5. Pemusnahan Narkotika

Permenkes RI No.28/MENKES/PER/1978 menyebutkan bahwa pemegang

ijin khusus, apoteker pimpinan apotek dan dokter dapat memusnahkan narkotika

yang rusak atau tidak memenuhi persyaratan lagi. Berdasarkan UU RI No.35


tahun 2009 tentang narkotika, menyebutkan bahwa pemusnahan narkotika

dilakukan apabila narkotika tersebut diproduksi tanpa memenuhi standar dan

persyaratan yang berlaku dan atau tidak dapat digunakan dalam produksi,

kadaluarsa, tidak memenuhi persyaratan untuk digunakan pada pelayanan

kesehatan dan atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan berkaitan dengan

tindak pidana.

Pelaksanaan pemusnahan narkotika menurut surat edaran Direktur

Jendral Pengawasan Obat dan Makanan No. 010/EF/SE/1981 tanggal 8

Agustus 1981 yaitu apotek yang berada ditingkat Provinsi disaksikan oleh

Balai Pengawasan Obat dan Makanan dan apotek yang berada ditingkat

Kotamadya atau Kabupaten disaksikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Tingkat

II.

Pelaksanaan pemusnahan narkotika di apotek harus dibuat berita acara

yang memuat hari, tanggal, bulan, tahun pemusnahan, nama apoteker pengelola

apotek, nama saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari apotek tersebut,

nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan, cara pemusnahan dan tanda

tangan penanggung jawab apotek dan saksi – saksi. Berita acara pemusnahan

narkotika tersebut dikirimkan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan

kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat, Kepala Balai Pemeriksaan

Obat dan Makanan serta arsip apotek.


I. Pengelolaan Psikotropika

Menurut UU No. 5 tahun 1997 psikotropika adalah zat atau obat bukan

narkotika, baik alamiah maupun sintetis yang berkhasiat psikoaktif melalui

pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas

pada aktifitas mental dan perilaku pemakainya. Obat psikotropika dapat

menimbulkan ketergantungan dan dapat disalahgunakan. Tujuan pengaturan

psikotropik sesuai pasal 3 adalah : menjamin ketersediaan psikotropika guna

kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya

penyalahgunaan psikotropika, memberantas peredaran gelap psikotropika.

Pengelolaan psikotropika meliputi :

1. Pemesanan Psikotropika

Pemesanan dapat dilakukan dengan menggunakan Surat Pesanan Psikotropika

rangkap empat di tandatangani APA dan dilengkapi dengan nomor SIK atau SP

serta stempel apotek surat pesanan tersebut kemudian di kirim PBF khusus

untuk penyaluran obat keras. Surat Pesanan dibuat rangkap empat, tiga lembar

untuk PBF dan satu lembar untuk arsip apotek. Berdasarkan pasal 14 Undang -

Undang No. 5 tahun 1997 penyerahan psikotropika hanya dapat dilakukan

kepada apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan dan pelayanan resep

dari dokter.

2. Penyimpanan Psikotropika

Penyimpanan obat golongan psikotropika belum diatur dalam perundang –

undangan khusus. Obat – obat golongan psikotropika cenderung lebih banyak

disalahgunakan, maka diminta kepada semua sarana distribusi obat (PBF,


apotek, rumah sakit) agar menyimpan obat – obat golongan psikotropika

dalam suatu rak atau lemari khusus dan kartu stock psikotropika.

3. Pelaporan Psikotropika

Pengeluaran obat psikotropika wajib dilaporkan. Pelaporan psikotropika

dibuat satu bulan sekali dan perlakuannya sama seperti pelaporan narkotika

seperti yang telah dijelaskan diatas.

4. Pemusnahan Psikotropika

Pemusnahan dilakukan setelah mendapat persetujuan oleh apoteker

pengelola apotek lalu dibuat surat permohonan tertulis kepada Kepala Balai

Pemeriksaan Obat dan Makanan kemudian dibentuk panitia pemusnahan yang

terdiri dari APA, TTK, petugas BPOM, dan Dinas Kesehatan setempat

kemudian ditentukan tanggal pemusnahan dan dibuat berita acara dan

dikirimkan kepada Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan dengan

tembusan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi serta arsip apotek.

J. Pengelolaan Obat Wajib Apotek dan Obat Tanpa Resep

Obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh

apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter.Obat yang termasuk daftar

OWA ditetapkan SK Menteri Kesehatan RI No. 347/Menkes/SK/VII/1990

tanggal 16 Juni 1990.Obat yang tercantum dalam lampiran SK ini dapat

diserahkan apoteker di apotek dan dapat ditinjau kembali dan disempurnakan

setiap waktu sesuai dengan ketentuan Undang - Undang yang berlaku.Dengan


adanya SK tersebut diharapkan dapat meningkatkan kemampuan masyarakat

dalam menolong dirinya sendiri untuk mengatasi masalah kesehatan.

Apoteker di apotek dalam melayani pasien yang memerlukan obat

tersebut diwajibkan: Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per

pasien yang disebutkan dalam Obat Wajib Apotek yang bersangkutan;

Membuat catatan pasien beserta obat yang telah diserahkan; Memberikan

informasi yang meliputi dosis, aturan pakai, kontra indikasi dan efek

sampingnya dan hal lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 919/MenKes/PER/X/1993,

pasal 2 obat yang dapat diserahkan tanpa resep harus memenuhi kriteria:

a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di

bawah usia 2 tahun dan orang tua diatas 65 tahun.

b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada

kelanjutan penyakit.

c. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan

oleh tenaga kesehatan.

d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di

Indonesia.

e. Obat dimaksud memiliki resiko khasiat keamanan yang dapat dipertanggung

jawabkan untuk pengobatan sendiri.


K. Pengelolaan Obat Rusak dan Kadaluwarsa

Obat-obat yang rusak dan kadaluarsa merupakan kerugian bagi apotek,

oleh karenanya diperlukan pengelolaan agar jumlahnya tidak terlalu besar.

Obat-obat yang rusak akan dimusnahkan karena tidak dapat digunakan dan

tidak dapat dikembalikan lagi ke PBF. Berdasarkan Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia No. 922/MenKes/Per/X/1993 pasal 12 ayat (2),

menyebutkan bahwa obat dan perbekalan farmasi lainnya yang karena sesuatu

hal tidak dapat digunakan lagi atau dilarang digunakan, harus dimusnahkan

dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain yang ditetapkan. Pada

pasal 13 menyebutkan bahwa pemusnahan yang dimaksud dilakukan oleh APA

atau apoteker pendamping, dibantu oleh sekurang - kurangnya seorang

karyawan apotek yang bersangkutan, disaksikan oleh petugas yang ditunjuk

Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan setempat. Berita acara

pemusnahan dengan bentuk yang telah ditentukan dibuat rangkap lima yang

ditandatangani oleh APA atau apoteker pendamping dan petugas BPOM

setempat.

Obat kadaluarsa yang dibeli oleh apotek dapat dikembalikan ke PBF

sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati antara kedua belah pihak

mengenai batas waktu pengembalian obat yang kadaluarsa bisa 3-4 bulan

sebelum expired date atau bertepatan dengan waktu kadaluarsa


L. Pemusnahan Resep

Menurut PP 51 mengenai standar pelayanan kefarmasian menyebutkan

bahwa resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka

waktu 5 tahun.Pemusnahan resep dilakukan oleh Apoteker Pengelola Apotek atau

apoteker pengganti dibantu oleh sekurang-kurangnya seorang karyawan apotek

yang bersangkutan dan harus dibuat berita acara pemusnahan sesuai dengan

bentuk yang telah ditentukan dalam empat rangkap serta ditandatangani oleh

Apoteker Pengelola Apotek dan petugas apotek yang melakukan pemusnahan

resep tersebut.

M. Jalur Distribusi Obat

Distribusi khusus untuk obat - obatan daftar O (Opium = narkotik), di

Indonesia hanya dilakukan oleh PBF Kimia Farma.

Obat – obat daftar G (Gevaarlijk= obat keras atau OKT) disalurkan oleh

PBF hanya kepada tiga macam penyalur saja, yaitu PBF lain, apotek, dan IFRS

dengan apoteker. Sedangkan penyaluran obat daftar G ke dokter, klinik,

Rumah Sakit tanpa apoteker, BKIA, Puskesmas dilakukan oleh apotek.

Obat daftar W (Obat Bebas Terbatas) dan obat bebas oleh PBF dapat

disalurkan kepada apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan apoteker, dan

toko obat. Jalur distribusi obat yang berlaku di Indonesia saat ini adalah jalur

distribusi obat yang ditetapkan dalam Paket Deregulasi Oktober 1993 yaitu

sebagai berikut :
Gambar 7. Skema Jalur Distribusi Obat

N. Perpajakan

Pajak merupakan kewajiban setiap warga negara untuk menyerahkan

sebagian dari kekayaan atau penghasilannya kepada negara menurut peraturan

atau Undang Undang yang ditetapkan oleh pemerintah dan dipergunakan untuk

kepentingan masyarakat. Macam-macam pajak yang perlu diketahui adalah

sebagai berikut:

1. PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah pajak yang harus dibayar apotek pada

setiap pembelian obat dari PBF. Besarnya PPN adalah 10%.

2. Pajak reklame atau Iklan (papan nama apotek). Pajak ini dikenakan terhadap

pemasangan papan nama apotek yang nilainya tergantung besar papan nama

apotek, lokasi dan lingkungan apotek.


3. PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). Pajak ini dikenakan setiap tahun dan

besarnya tergantung pada luas tanah, bangunan, serta lokasi.

4. Pajak Penghasilan Pribadi (PPh 21). Besarnya pajak ditentukan berdasarkan

laba atau penghasilan netto dikurangi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak).

Pembayaran pajak penghasilan pribadi dengan ketentuan:

a. Penghasilan sampai dengan 50 juta rupiah dikenakan pajak 5%.

b. Penghasilan diatas 50 juta rupiah – 250 juta rupiah dikenakan pajak 25%.

c. Penghasilan diatas 50 juta rupiah – 500 juta rupiah dikenakan pajak 25%.

d. Penghasilan diatas 500 juta rupiah dikenakan pajak 30%.

5. Pajak penghasilan Pasal 23 (PPh 23). Pajak ini dikenakan pada badan usaha.

Pajak ini merupakan pemotongan pajak oleh pihak lain atas penghasilan

berupa deviden, bunga royalty, sewa, hadiah, penghargaan, dan imbalan jasa

tertentu. Besarnya PPh untuk deviden adalah 15% dari keuntungan yang

dibagikan.

6. Pajak penghasilan Badan (PPh) pasal 25. Pembayaran berupa cicilan yang

diberikan tiap bulan sebesar 1/12 dari pajak keuntungan bersih tahun

sebelumnya, pembayaran paling lambat tanggal 1 setiap bulan dan pada akhir

tahun diperhitungkan pajak sesungguhnya yang harus dibayar. Pajak

keuntungan bersih dihitung berdasarkan pajak penghasilan (PPh) pasal 25

undang - undang perpajakan No. 17 tahun 2000 menyatakan bahwa :


Pajak perusahaan berbentuk badan :

No Keuntungan (Rp) Pajak (%)

1 < 50 juta 5

2 Diatas 50 juta-100 juta 15

3 >100 juta 30

Pajak Perusahaan perseorangan :

No Keuntungan (Rp) Pajak (%)

1 < 25 juta 5

2 Diatas 25 juta - 50 juta 10

3 Diatas 50 juta - 100 juta 15

4 Diatas 100 juta – 200 juta 25

5 >200 juta 35

Anda mungkin juga menyukai