Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengendalian Internal

Pengendalian internal merupakan bagian yang sangat penting agar tujuan

organisasi dapat tercapai. Pengendalian internal memberikan dampak yang positif

terhadap organisasi/instansi, sebaliknya organisasi tanpa pengendalian internal

tujuan organisasi tidak dapat dicapai secara efektif dan efisien. Semakin besar

suatu organisasi semakin penting pula arti dari pengendalian internal dalam

organisasi tersebut.

2.1.1 Pengertian Pengendalian Internal

Pengendalian Internal mempunyai peranan yang cukup penting dalam

suatu organisasi. Organisasi pada umumnya menggunakan pengendalian internal

untuk mengarahkan operasi organisasi dan mencegah terjadinya kecurangan,

seperti yang didefinisikan oleh Arens et al (2006: 270) yaitu:

“Internal Control is broadly defined as a process, effected by entity’s


board of directors, management and other personal, designed to provide
reasonable assurance regarding the achievement of objectives in the
following categories: effectiveness and efficiency of operations, reliability
of financial reporting, and compliance with applicable laws and
regulation.”

Menurut pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa pengendalian internal

adalah suatu proses yang dipengaruhi oleh dewan direksi, manajemen dan

personal lain dalam suatu entitas, yang dirancang untuk memberikan keyakinan

yang wajar (reasonable assurance) tentang pencapaian tujuan yang akan tercapai

12
13

yaitu: efektivitas dan efisiensi operasi, keandalan pelaporan keuangan, dan

ketaatan terhadap hukum yang berlaku dan peraturan yang ditetapkan.

Pengendalian internal bukan hanya sebagai tambahan dari infrastruktur organisasi,

namun suatu rangkaian tindakan yang menjadi bagian tidak terpisahkan dalam

organisasi (Feggy triani pratiwi, 2014).

Secara prinsip definisi pengedalian internal menurut Arens et al (2006)

tidaklah ada perbedaan mendasar dengan pengertian sebelumnya, seperti halnya

yang dikemukakan oleh Romney dan Steinbart (2009:229) yakni:

“The plan of organization and the methods a business uses to safeguard


assets, provide accurate and reliable information, promote and improve
operational efficiency, and encourage adherence to prescribed
management policies”.

Menurut pernyataan tersebut pengendalian internal memberikan beberapa manfaat

bagi organisasi dalam hal ini instansi pemerintah, untuk dapat mendorong dan

memperbaiki jalannya organisasi dengan kebijakan yang ada.

Pengertian pengendalian internal banyak dikemukakan oleh para ahli,

penulis dapat simpulkan pada intinya semua memandang pengendalian internal

sebagai suatu fungsi yang independen, yang memberikan pelayanan kepada

organisasi untuk memberikan keyakinan yang memadai bukan hanya terdiri dari

pedoman kebijakan namun dijalankan oleh dari setiap jenjang organisasi, yang

mencakup komisaris, manajemen, dan personel lain yang saling berkaitan dengan

pelaporan keuangan, ketaatan, efektivitas dan efisiensi operasi organisasi.


14

2.1.2 Tujuan Pengendalian Internal

Tujuan pengendalian internal adalah membantu manajemen agar tujuan

suatu organisasi dapat tercapai, COSO (2013: 3) dalam kerangka kerja

(framework) terbarunya menyatakan mengenai tujuan-tujuan pengendalian

internal sebagai berikut :

“The Framework provides for three categories of objectives, which allow


organizations to focus on differing aspects of internal control:
1. Operations Objectives—These pertain to effectiveness and efficiency
of the entity’s operations, including operational and financial
performance goals, and safeguarding assets against loss.
2. Reporting Objectives—These pertain to internal and external
financial and non-financial reporting and may encompass reliability,
timeliness, transparency, or other terms as set forth by regulators,
recognized standard setters, or the entity’s policies.
3. Compliance Objectives—These pertain to adherence to laws and
regulations to which the entity is subject.”

Berdasarkan konsep COSO, dapat dipahami bahwa pengendalian internal

ditujukan untuk mencapai tiga kategori tujuan yang memungkinkan organisasi

untuk fokus pada aspek pengendalian internal yang berbeda. Tujuan pengendalian

internal tersebut untuk membantu organisasi/instansi dalam aspek operasi,

pelaporan dan ketaatan.

Lima tujuan pengendalian yang sesuai dengan General standar 300

standards for the profesional practice of internal auditing, the institute of internal

auditor (IIA) seperti dikutip oleh Hiro Tugiman (2006: 44) yaitu:

“1. Dapat dipercaya dan intergritas informasi.


2. Ketaatan pada kebijakan, rencana, prosedur undang-undang dan
peraturan.
3. Pengamanan Aktiva.
4. Ekonomi dan efisiensi pemanfaatan sumber daya.
5. Efektivitas pencapaian tujuan yang telah ditetapkan atas program dan
kegiatan.”
15

Dengan memperhatikan apa yang telah dikemukakan diatas, bahwa tujuan

pengendalian internal bukan hanya merupakan prosedur untuk memeriksa dan

menganalisa ketelitian data akuntansi, tetapi juga meliputi semua metode dan

kebijakan yang digunakan perusahaan dalam mengendalikan jalannya operasional

perusahaan agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Resthoe Jeb, 2013).

Sebagai perbandingan, tujuan pengendalian internal yang dirumuskan oleh

James. A. Hall (2007:181), pengendalian internal diterapkan untuk mencapai

empat tujuam utama, yaitu:

“ 1.Untuk menjaga aktiva perusahaan


2.Untuk mempromosikan efisiensi operasi perusahaan
3.Untuk memastikan akurasi dan dapat diandalkannya catatan dan
informasi akuntansi
4.Untuk mengatur kesesuaian dengan kebijakan dan prosedur yang
ditetapkan manajemen.”

Pimpinan dan Dewan Pengawas Organisasi perlu memahami dengan jelas tujuan

dari pelaksanaan pengendalian internal. Adanya pemahaman mengenai tujuan,

tugas, dan tanggungjawab dari pengendalian internal, diharapkan akan mendorong

manejemen atau pihak-pihak yang berkepentingan untuk memberikan dukungan

sepenuhnya terhadap pelaksanaan fungsi dari tujuan pengendalian internal.

2.1.2 Karateristik Pengendalian

Karakteristik pengendalian yang baik dalam buku Standar Profesi Audit

Internal menurut Hiro Tugiman (2000) adalah sebagai berikut:


16

1. Tepat waktu

Pengendalian harus mampu mendeteksi sedini mungkin penyimpangan

yang terjadi dengan membatasi biaya yang tidak perlu.

2. Cukup hemat

Pengendalian menyajiakan hasil dengan menimbulkan biaya yang

paling minimum dan efek samping yang sekecil mungkin.

3. Dapat dipertanggungjawabkan

Pengendalian membantu menunjukan pertanggungjawaban kepada

mereka atas tugas-tugas yang dibebankan kepadanya.

4. Dapat ditempatkan

Pengendalian harus dapat ditempatkan atau diposisikan pada tempat

dimana pengendalian dapat bekerja secara efektif.

5. Fleksibel

Pengendalian dapat menyesuaikan akan perubahan-perubahan dalam

pelaksanaan kegiatan untuk mengantisipasi kebutuhan akan perubahan.

6. Mampu mengidentifikasi penyebab

Tindakan korektif segera dapat dilakukan jika pengendalian bukan

hanya mengidentifikasikan masalah tetapi juga penyebab.

7. Sesuai atau pantas

Pengendalian harus dapat memenuhi kebutuhan manajemen dan cocok

dengan orang dalam struktur organisasi.

Sedangkan menurut Mulyadi (2002: 180) pengendalian Internal yang baik

memiliki karakteristik yang meliputi hal-hal sebagai berikut:


17

“1. Suatu rencana organisasi yang memungkinkan adanya pemisahan


pertanggungjawaban fungsi secara tepat,
2. Suatu sistem otoritas dan prosedur pencatatan yang tepat untuk
memungkinkan Accounting Control, yang memadai terhadap aktiva,
hutang, pendapatan dan biaya,
3. Praktek yang sehat diikuti dalam pelaksanaan tugas dan fungsi dari
setiap bagian organisasi, dan
4. Kualitas pengamat yang cocok dengan tanggungjawabnya.”
Karakteristik yang dikemukakan diatas sudah tersusun cukup baik dalam

mendukung dan membantu organisasi/instansi untuk terciptanya pengendalian

internal yang efektif.

2.1.3 Komponen Pengendalian Internal

Menurut COSO (2013: 4) menyatakan mengenai komponen-komponen

pengendalian internal sebagai berikut:

“Internal control consists of five integrated components:


1. Control Environment
2. Risk assessment
3. Control Activities
4. Information and Communication
5. Monitoring”

Adapun hubungan di antara kelima tujuan dan komponen-komponen

pengendalian internal tersebut digambarkan oleh COSO (2013: 5) dalam bentuk

kubus sebagai berikut:

Sumber: COSO (2013: 5)


Gambar 2.1 Relationship of Objectives and Components of Internal Control
18

Berdasarkan gambar 2.1 menjelaskan bahwa suatu hubungan langsung

antara tujuan-tujuan yang hendak dicapai entitas dengan komponen-komponen

pengendalian internal yang mewakili apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan-

tujuan itu, serta struktur organisasi entitas pada setiap tingkatan (divisi, unit

operasi, fungsi, dan lainnya). Ketiga kategori tujuan tersebut (operasi, pelaporan,

dan ketaatan) diwakili oleh kolom, kemudian kelima komponen pengendalian

internal diwakili oleh baris, sedangkan struktur organisasi entitas direpsentasikan

oleh ketiga dimensinya (Peggy Triani, 2014).

Menurut Arens dan Loebbecke sebagaimana diadaptasi oleh Jusuf (2003:

261) juga menyatakan mengenai lima komponen pengendalian internal sebagai

berikut:

“Kelima kategori ini disebut sebagai komponen sistem pengendalian


interndan terdiri dari: (1) lingkungan pengendalian, (2) penetapan risiko
manajemen (3) sistem informasi dankomunikasi akuntansi, (4) aktivitas
pengendalian, (5) pemantauan.”

Dari uraian di atas dapat jelaskan bahwa, pengendalian internal yang harus ada di

dalam suatu perusahaan/instansi terdiri dari lima komponen. Komponen-

komponen pengendalian internal ini saling berkaitan antara satu dengan yang

lainnya (Feggy Triani, 2014)

Agar lebih jelas, berikut ini akan dijelaskan kelima komponen

pengendalian internal tersebut:

1. Lingkungan Pengendalian

Lingkungan pengendalian merupakan landasan untuk semua

komponen pengendalian internal yang membentuk disiplin dan struktur,

seperti apa yang dikemukakan oleh COSO (2013: 4-6) menjelaskan


19

mengenai komponen lingkungan pengendalian (control environment)

sebagai berikut:

“The control environment is the set of standards, processes, and


structures that provide the basis for carrying out internal control
across the organization. The board of directors and senior
management establish the tone at the top regarding the importance of
internal control including expected standards of conduct.
Management reinforces expectations at the various levels of the
organization. The control environment comprises the integrity and
ethical values of the organization; the parameters enabling the board
of directors to carry out its governance oversight responsibilities; the
organizational structure and assignment of authority and
responsibility; the process for attracting, developing, and retaining
competent individuals; and the rigor around performance measures,
incentives, and rewards to drive accountability for performance. The
resulting control environment has a pervasive impact on the overall
system of internal control.”

Lingkungan pengendalian yang dihasilkan memiliki dampak yang

luas bagi operasi organisasi/instansi dan sistem secara keseluruhan

pengendalian internal.

2. Penilaian Risiko (Risk Assessment)

Risiko dapat di pahami sebagai kemungkinan terhadap ketidakpastian

tentang kejadian atau dampak yang akan terjadi terhadap pencapaian

tujuan organisasi, seperti halnya COSO (2013: 4) menjelaskan mengenai

komponen penilaian risiko (risk assessment) sebagai berikut:

“Risk is defined as the possibility that an event will occur and


adversely affect the achievement of objectives. Risk assessment
involves a dynamic and iterative process for identifying and assessing
risks to the achievement of objectives. Risks to the achievement of
these objectives from across the entity are considered relative to
established risk tolerances. Thus, risk assessment forms the basis for
determining how risks will be managed.”
20

Dengan begitu, penilaian risiko melibatkan proses yang dinamis dan

interaktif untuk mengidentifikasi dan menilai risiko terhadap pencapaian

tujuan.

Selanjutnya, Arens dan Loebbecke yang diadaptasi oleh Jusuf (2003:

263) menyebutkan bahwa penilaian risiko manajemen harus mencakup

pertimbangan khusus terhadap risiko yang dapat timbul dari perubahan

keadaan, seperti :

“(1) Bidang baru bisnis atau transaksi yang memerlukan prosedur


akuntansi yang belum pernah dikenal.
(2) Perubahan standar akuntansi.
(3) Hukum dan peraturan baru.
(4) Perubahan yang berkaitan dengan revisi sistem dan teknologi
baru yang digunakan untuk pengolahan informasi.
(5) Pertumbuhan pesat entitas yang menuntut perubahan fungsi
perubahan dan pelaporan (Jusuf, 2003: 263) .”

Oleh karena itu, penilaian risiko membentuk suatu dasar untuk

menentukan bagaimana risiko harus dikelola oleh organisasi, agar tidak

menghambat terhadap pencapaian lain.

3. Aktivitas Pengendalian (Control Activities)

COSO (2013: 5) menjelaskan mengenai aktivitas pengendalian

(control activities) sebagai berikut :

“Control activities are the actions established through policies and


procedures that help ensure that management’s directives to mitigate
risks to the achievement of objectives are carried out. Control
activities are performed at all levels of the entity, at various stages
within business processes, and over the technology environment.

Bagi organisasi/instansi aktivitas pengendalian dilakukan agar arahan

manajemen untuk mengurangi resiko terhadap pencapaian tujuan telah

dilakukan melalui kebijakan dan prosedur.


21

Arens dan Loebbecke sebagaimana diadaptasi oleh Jusuf (2003: 263)

menyebutkan bahwa: “Aktivitas pengendalian adalah kebijakan dan

prosedur, selain dari empat komponen yang lain, yang dibuat manajemen

untuk memenuhi tujuannya.” Aktivitas pengendalian memiliki berbagai

macam tujuan yang diterapkan dalam berbagai tindakan dan fungsi

organisasi.

Menurut Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) dalam Ikatan

Akuntan Indonesia (IAI) (2001: 319), bahwa prosedur pengendalian dapat

dikelompokkan ke dalam prosedur yang bersangkutan dengan hal-hal

berikut :

“(1) Otorisasi yang semestinya atas transaksi dari kegiatan.


(2) Pemisahan tugas yang dapat melakukan dan sekaligus menutupi
kekeliruan atau ketidakberesan dalam pelaksanaan tugasnya
sehari-hari. Oleh sebab itu, tanggung jawab untuk memberikan
otorisasi transaksi, mencatat transaksi, dan menyimpan aktiva
perlu dipisahkan di tangan karyawan yang berbeda.
(3) Perancangan dan penggunaan dokumen serta catatan yang
memadai untuk membantu pencatatan secara semestinya
transaksi dan peristiwa.
(4) Pengamanan yang cukup atas akses dan penggunaan aktiva
perusahaan dan catatan.
(5) Pengecekan secara independen atas pelaksanaan dan penilaian
yang semestinya atas jumlah yang dicatat”

Prosedur pengendalian diperlukan untuk meyakinkan langkah dalam

penerapan struktur pengendalian internal dalam organisasi yang

melengkapi pembentukan lingkungan pengendalian.

4. Informasi dan Komunikasi (Information and Communication)

Informasi dan komunikasi diperlukan dalam suatu organisasi/instansi,

seperti yang dikemukakan oleh COSO (2013: 5) menjelaskan mengenai


22

komponen informasi dan komunikasi (information and communication)

dalam pengendalian internal sebagai berikut:

“Information is necessary for the entity to carry out internal control


responsibilities to support the achievement of its objectives.
Management obtains or generates and uses relevant and quality
information from both internal and external sources to support the
functioning of other components of internal control. Communication
is the continual, iterative process of providing, sharing, and obtaining
necessary information. Internal communication is the means by which
information is disseminated throughout the organization, flowing up,
down, and across the entity.”
Informasi dan komunikasi sangat dibutuhkan didalam organisasi/instansi

untuk menunjang aktivitas perusahaan, guna melaksanakan tanggung

jawab pengendalian internal dan mendukung pencapaian tujuan-tujuannya.

Organisasi/instansi membangun suatu sistem informasi untuk memenuhi

kebutuhan informasi yang andal, relevan, dan tepat waktu.

Khusus berkenaan dengan informasi akuntansi, menurut Arens dan

Loebbecke seperti diadaptasi oleh Jusuf (2003: 127), indikator-indikator

dari informasi dan komunikasi terdiri dari:

“(1) Eksistensi, yang menunjukkan apakah angka-angka yang


dimasukkan dalam laporan keuangan memang seharusnya
dimasukkan.
(2) Kelengkapan, merupakan angka-angka transaksi yang
seharusnya dimasukkan dan diikutsertakan secara lengkap serta
mempertimbangkan materialitas dan biaya.
(3) Akurasi, yakni mengacu kepada jumlah yang dimasukkan
dengan jumlah yang benar.
(4) Klasifikasi, bahwa transaksi yang dicantumkan dalam jurnal
telah diklasifikan dengan tepat.
(5) Tepat waktu, di mana pencatatan transaksi dicatat pada tanggal
yang tepat.
(6) Posting pengikhtisaran, di mana transaksi yang tercatat secara
tepat dimasukkan dalam berkas induk dan diikhtisarkan dengan
benar.”
23

Informasi dan komunikasi memungkinkan orang dalam organisasi

untuk mendapatkan berbagai informasi yang diperlukan untuk mengelola,

melaksanakan, dan mengendalikan operasi organiasi.

5. Aktivitas Pemantauan (Monitoring Activities)

Pemantauan dilakukan untuk dasar evaluasi organisasi, COSO (2013:

5) menjelaskan mengenai komponen aktivitas pemantauan (monitoring

activities) dalam pengendalian internal sebagai berikut:

“Ongoing evaluations, separate evaluations, or some combination of


the two are used to ascertain whether each of the five components of
internal control, including controls to effect the principles within each
component, is present and functioning. Ongoing evaluations, built into
business processes at different levels of the entity, provide timely
information. Separate evaluations, conducted periodically, will vary
in scope and frequency depending on assessment of risks, effectiveness
of ongoing evaluations, and other management considerations.
Findings are evaluated against criteria established by regulators,
recognized standard setting bodies or management and the board of
directors, and deficiencies are communicated to management and the
board of directors as appropriate”

Aktivitas pemantauan merupakan kegiatan evaluasi. Evaluasi bertujuan

untuk melihat tingkat keberhasilan pengelolaan kegiatan, melalui kajian

terhadap manajemen dan output pelaksanaannya serta permasalahan yang

dihadapi, untuk selanjutnya menjadi bahan evaluasi kinerja program dan

kegiatan selanjutnya (Didi Rasidi, 2011). Aktivitas pemantauan atau

evaluasi digunakan untuk memastikan apakah masing-masing dari lima

komponen pengendalian internal mempengaruhi prinsip-prinsip dalam

setiap komponen, ada dan berfungsi.


24

Menurut Arens dan Loebbecke sebagaimana diadaptasi oleh Jusuf

(2003: 54) menyebutkan bahwa, aktivitas pemantauan berkaitan dengan

hal-hal berikut ini:

“(1) Frekuensi penilaian aktivitas, merupakan tingkat keseringan dari


kegiatan penilaian aktivitas.
(2) Fungsi internal audit, yakni efektif atau tidaknya fungsi dari internal
audit yang ditandai dengan adanya dukungan kompetensi, integritas
dan objektivitas.
(3) Saran dari akuntan, di mana tanggung jawab untuk menentukan
kebijakan akuntansi yang sehat dan terlaksananya struktur
pengendalian intern dengan baik serta tersajinya laporan keuangan
yang wajar terletak pada manajemen, bukannya auditor. Namun
demikian, auditor berkewajiban memberikan saran-sarannya.
(4) Rekonsiliasi laporan, merupakan rekonsiliasi secara periodik antara
fisik aktiva dengan catatan-catatan atau perkiraan-perkiraan buku
besar.
(5) Stock opname, merupakan pemeriksaan secara tiba-tiba dengan
maksud untuk melindungi atau mengamankan aktiva dan catatan.
(6) Rancangan struktur pengendalian intern, merupakan penelaahan
yang hati-hati dan berkesinambungan atas keempat prosedur yang
lain, yaitu: pemisahan tugas yang cukup, otorisasi yang pantas atas
transaksi dan aktivitas, dokumen dan catatan yang memadai, serta
pengendalian fisik atas aktiva dan catatan.”

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pemantauan dilakukan untuk

memberikan keyakinan apakah pengendalian internal telah dilakukan

secara memadai atau tidak. Dari hasil pemantauan tersebut dapat

ditemukan kelemahan dan kekurangan pengendalian sehingga dapat

diusulkan pengendalian yang lebih baik.


25

2.1.4 Keterbatasan Pengendalian Internal

Pelaksanaan struktur pengendalian internal yang efisien dan efektif

haruslah mencerminkan keadaan yang ideal (Pujiati, 2014). Namun dalam

kenyataannya hal ini sulit untuk dicapai, karena dalam pelaksanaannya struktur

pengendalian internal mempunyai keterbatasan-keterbatasan.

Menurut COSO (2013: 9) menjelaskan mengenai keterbatasan-

keterbatasan pengendalian internal sebagaimana yang dirumuskan dalam Internal

Control Integrated Framework sebagai berikut:

“The Framework recognizes that while internal control provides


reasonable assurance of achieving the entity’s objectives, limitations do
exist. Internal control cannot prevent bad judgment or decisions, or
external events that can cause an organization to fail to achieve its
operational goals. In other words, even an effective system of internal
control can experience a failure. Limitations may result from the:
1. Suitability of objectives established as a precondition to internal
control.
2. Reality that human judgment in decision making can be faulty and
subject to bias.
3. Breakdowns that can occur because of human failures such as simple
errors.
4. Ability of management to override internal control.
5. Ability of management, other personnel, and/or third parties to
circumvent controls through collusion.
6. External events beyond the organization’s control.

Kegagalan untuk mencapai tujuan operasionalnya bisa saja dialami oleh

organisasi, karena pengendalian internal tidak bisa mencegah penilaian buruk

akan suatu keputusan.

Keterbatasan bawaan yang melekat dalam setiap pengendalian internal

sebagaimana dikemukakan oleh Mulyadi (2003: 181) yaitu:


26

“(1) Kesalahan dalam pertimbangan


(2) Gangguan
(3) Kolusi
(4) Pengabaian oleh manajemen
(5) Biaya lawan manfaat.”

Secara prinsip keterbatasan pengendalian internal menurut Mulyadi (2003)

ini tidaklah ada perbedaan mendasar dengan prinsip sebelumnya, seperti halnya

yang dikemukakan oleh Susanto (2004), ada beberapa keterbatasan dari

pengendalian internal, yaitu:

1) Kesalahan (Error), dimana kesalahan timbul ketika pegawai melakukan

pertimbangan yang salah atau perhatianya selama bekerja terpecah.

2) Kolusi (Collusion), terjadi ketika dua atau lebih pegawai berkonspirasi

untuk melakukan pecurian (korupsi) ditempat mereka bekerja.

3) Penyimpangan manajemen, karena manajer memiliki lebih banyak

otoritas dibandingkan pegawai biasa, proses pengendalian efektif pada

tingkat manajemen bawah dan tidak efektif pada tingkat atas.

4) Manfaat dan biaya, biaya pengendalian internal tidak melebihi manfaat

yang dihasilkan, pengendalian yang masuk akal adalah pengendalian

yang memberi manfaat lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkannya.

Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa pengendalian internal memiliki

keterbatasan yang dapat menghambat terciptanya pengendalian itu sendiri. Oleh

karena itu, pengendalian internal terutama bukanlah untuk mencari kesalahan

yang ada, melainkan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kecurangan dan

kesalahan sehingga dapat diketahui dan di atasi dengan cepat.


27

2.2 Kinerja Pegawai

Kinerja pegawai dalam organisasi jawaban dari berhasil atau tidaknya

tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Organisasi/instansi yang tidak

mengetahui secara langsung buruknya kinerja pegawai yang telah merosot,

berdampak terhadap tujuan organisasi yang tidak tercapai.

2.2.1 Pengertian Kinerja Pegawai

Definisi kinerja dari kamus Bahasa Indonesia yang diartikan sebagai

sesuatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan dari kemampuan kerja (Randy

Nur, 2012). Kata kinerja merupakan terjemahan dari performance, hal ini

dikemukakan oleh Sedarmayati (2000: 52) yaitu:

“Performance diterjemahkan menjadi kinerja, yang juga berarti prestasi


kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kinerja atau hasil kerja. Dengan
demikian kinerja meliputi prestasi apa yang diperoleh oleh pegawai,
bagaimana pegawai melaksanakan pekerjaannya, apa yang telah dicapai
oleh pegawai dan apa yang telah dihasilkan oleh pegawai tersebut.”

Kinerja Pegawai secara definitif merupakan hasil kerja secara kualitas dan

kuantitas yang ingin dicapai oleh seorang pegawai dalam melakukan tugasnya

sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2009).

Menurut hasibuan (2006: 94) menjelaskan bahwa, kinerja merupakan hasil

kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan

kepadanya didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan serta waktu.

Sedangkan menurut Prawirosentono (2008: 2) kinerja atau performance adalah :

“Perfomance adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau
sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan tanggungjawab
masing-masing, dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan
secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai moral maupun etika.”
28

Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan, penulis dapat

menyimpulkan bahwa kinerja pegawai memberikan kontribusi bagi

organisasi/instansi, dimana suatu target kerja dapat diselesaikan pada waktu yang

tepat atau tidak melampaui batas waktu yang disediakan sehingga tujuannya akan

sesuai dengan moral maupun ketentuan organisasi.

2.2.2 Faktor-faktor Kinerja Pegawai

Menurut Mangkunegara (2007: 67) menyatakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi pencapaian kinerja pegawai adalah sebagai berikut :

“1. Faktor kemampuan, secara psikologis kemampuan dari potensi dan


kemampuan realita, artinya karyawan yang memiliki IQ yang rata-rata
(IQ 110-120) dengan memadai untuk jabatannya dan terampil dalam
mengerjakan pekerjaannya sehari-hari, maka akan terasa lebih mudah
dalam mencapai kinerja yang diharapkan oleh karena itu karyawan
perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya.
2. Faktor Motivasi, motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang
karyawan dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan
kondisi yang menggerakkan diri karyawan yang terarah untuk
mencapai tujuan organisasi. Sikap mental merupakan kondisi mental
yang mendorong diri karyawan untuk berusaha mencapai prestasi
kerja secara maksimal.”
Menurut Hasibuan (2006: 94) mengemukakan bahwa, kinerja gabungan

tiga faktor penting yaitu kemampuan dan minat seorang pekerja, kemampuan dan

penerimaan atas penjelasan delegasi tugas dan peran serta tingkat motivasi

pekerja. Apabila kinerja tiap individu atau karyawan baik, maka diharapkan

kinerja perusahaan akan baik pula.

Pendapat lain dikemukakan oleh Soemadji Nitisemito (2001: 109),

terdapat berbagai faktor kinerja pegawai antara lain :


29

“1. Jumlah dan komposisi dari kompensasi yang diberikan,


2. Penempatan kerja yang tepat,
3. Pelatihan dan promosi,
4. Rasa aman di masa depan (dengan adanya pesangon dan sebagiannya),
5. Hubungan dengan rekan kerja,
6. Hubungan dengan pemimpin.”

Dari beberapa faktor di atas bahwa kinerja pegawai dipengaruhi oleh banyak

faktor, yang dimana faktor tersebut hendaknya perlu diperhatian oleh pemimpin

atau kepala Dinas agar kinerja pegawai dapat optimal. Pegawai juga perlu

melakukan usaha untuk memberikan kinerja yang baik, sebagaimana

organisasi/instansi memberikan perhatikan kepada pegawai.

2.2.3 Standar Kinerja Pegawai

Menurut Wirawan (2009: 67), menyatakan bahwa standar kinerja

merupakan :

“Standar kinerja adalah target, sasaran, tujuan upaya kerja karyawan dalam
kurun waktu tertentu. Dalam melaksanakan pekerjaannya, karyawan harus
mengarahkan semua tenaga, ketrampilan, pengetahuan dan waktu kerjanya
untuk mencapai apa yang ditentukan oleh standar kinerja.”

Menurut Dale Timpe (1999: 247), berpendapat bahwa standar kerja adalah:

“Standar kerja dianggap memuaskan bila pernyataannya menunjukkan


beberapa bidang pokok tanggung jawab karyawan, memuat bagaimana
suatu kegiatan kerja akan dilakukan, dan mengarahkan perhatian kepada
mekanisme kuantitatif bagaimana hasil-hasil kinerja diukur.”

Standar merupakan titik yang perlu dicapai, standar yang diperlukan di sini

mengenai standar kinerja pegawai. Semakin jelas standar kinerjanya, makin akurat

tingkat penilaian kinerjanya (Simamora, 2004). Pencapaian kinerja pegawai dapat

dinilai dari tiga hal, meliputi : penilaian harus mempunyai hubungan dengan
30

pekerjaan, adanya standar pelaksanaan kerja, praktis (Mudah dipahami atau

dimengerti karyawan atau penilai) (Notoatmodjo, 2003: 143).

Kinerja dapat dinilai atau diukur dengan beberapa indikator (Prawirosentono,

2008: 27) yaitu :

“1. Efektifitas, meruapakan tujuan kelompok dapat dicapai dengan


kebutuhan yang direncanakan.
2. tanggung jawab, merupakan bagian yang tak terpisahkan atau sebagai
akibat kepemilikan wewenang.
3. Disiplin, merupakan taat hukum dan aturan yang erlaku. Disiplin
karyawan adalah ketaatan karyawan yang bersangkutan dalam
menghormati perjanjian kerja dengan perusahaan dimana karyawan
bekerja.
4. Inisiatif, merupakan daya piker, kreatifitas dalam bentuk suatu ide
yang berkaitan dengan tujuan perusahaan.”

Penjelasan di atas menerangkan bahwa kinerja pegawai ditentukan dan

dipahami sebagaimana standar kinerja pegawai sebagai acuan agar kinerja yang di

hasilkan sesuai dengan harapan dan tujuan yang telah ditentukan oleh organisai.

Kinerja pegawai memberikan peranan penting bagi organisasi, karena suatu

organisasi bergantung pada kinerja pegawainya.

2.2.4 Manfaat Penilaian Kinerja Pegawai

Menurut Khaerul Umam (2010: 101) manfaat penilaian kinerja bagi

organisasi adalah:

“1. Penyesuaian-penyesuaian kompensasi


2. Perbaikan kinerja
3. Kebutuhan latihan dan pengembangan
4.Pengambilan keputusan dalam hal penempatan promosi, mutasi,
pemecatan, pemberhentian, dan perencanaan tenaga kerja
5. Untuk kepentingan penelitian pegawai
6. Membantu diagnosis terhadap kesalahan desain pegawai.”
31

Penilaian kinerja merupakan faktor yang penting guna mengembangkan suatu

organisasi secara efektif dan efisien, karena adanya kebijakan atau program yang

lebih baik atau sumber daya manusia yang ada dalam organisasi.

Manfaat penilaian kinerja pegawai yang dikemukakan oleh Dessler (2007) adalah

sebagai berikut:

“1. Mengelola operasional organisasi secara efektif dan efisien melalui


pemotivasian karyawan secara maksimal.
2. Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan,
seperti promosi, transfer dan pemberhentian.
3. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan, serta
menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan.
4. Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan menilai
kinerjanya.
5. Menyediakan dasar bagi pendistribusian penghargaan.”

Beerdasarkan uraian diatas maka penilaian terhadap pencapaian hasil kinerja

pegawai harus diterapkan. Penilaian kinerja individu sangat bermanfaat bagi

dinamika pertumbuhan organisasi secara keseluruhan, melalui penilaian tersebut

maka dapat diketahui kondisi sebenarnya tentang bagaimana kinerja pegawai

(Ulumuddin, 2014).

2.3 Kerangka Pemikiran

Peranan pengendalian internal sangat membatu mewujudkan tercapainya

motivasi pegawai sehingga akan menghasilkan kinerja yang baik, karena kinerja

pegawai memberikan peranan penting bagi organisasi, karena suatu organisasi

bergantung pada kinerja pegawainya. Pelaksanaan pengendalian dapat efektif

apabila ada komitmen di antara pihak-pihak yang terkait dalam organisasi, baik

sebagai individu maupun kelompok (Dettie Adhama, 2014). Hal ini dimaksudkan
32

agar tujuan organisasi dapat dicapai dengan baik, seperti yang dikemukakan oleh

Fogelberg dan Griffith (2000) dalam Cecillia (2011) menyatakan:

“Sistem pengendalian internal digunakan oleh suatu organisasi untuk


menjamin bahwa sumber daya organisasi digunakan secara efektif dan
efisien terhadap pecapaian tujuan organisasi. Pencapaian kinerja yang
tinggi dikarenakan penerapan sistem pengendalian secara efektif.
Kegagalan organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan dapat
terjadi karena adanya kelemahan pada salah satu atau beberapa tahap
dalam proses pengendalian internal.”

Pengendalian internal mempermudah dan membantu organisasi terhadap

pencapaian tujuan organisasi, kegagalan bisa saja terjadi dikarenakan kelemahan

dalam penerapan/proses pengendalian yang ada di organisasi/instansi.

Kinerja pegawai akan ditunjukan dengan seberapa besar tujuan dapat

dicapai dan pengendalian internal dapat memberikan keyakinan memadai dalam

mencapai tujuan tersebut, hal ini sejalan dengan pernyataan COSO yang

menjelaskan secara tegas pengaruh pengendalian internal terhadap kinerja

instansi/organisasi. Dalam Executive summary tersebut COSO menyebutkan :

“Internal control can help an entity achieve its performance and


profitability targets, and preverent loss of resourches. It can help ensure
reliable financial reporting, and it can help ensure that he enterprise
complies with laws and regulations, avoiding damage to its reputation and
other consequence. In sum, it can help an entity get to where it wants to
go, and avoid pitfalls and surprises along the way.” (www.coso.org)

pengendalian internal memberikan keuntungan bagi organisasi/instansi,

memastikan organisasi sesuai dengan tujuan yang diinginkan.

Keterkaitan antara pengendalian internal dengan kinerja pegawai bisa

dilihat dari peran pengendalian internal itu sendiri yang tercemin dari definisi,

tujuan, karateristik, dan komponen pengendalian internal yang dihubungkan

dengan prinsip-prinsip kinerja pegawai. Terdapat tiga kategori bahwa


33

pengendalian internal ditujukan untuk mencapai tujuan yang memungkinkan

organisasi untuk fokus pada aspek pengendalian internal yang berbeda, yang

mencakup tujuan-tujuan operasi (Operations Objectives), tujuan-tujuan pelaporan

(Reporting Objectives), dan tujuan-tujuan ketaatan (Compliance Objectives).

Sudah terlihat suatu hubungan antara pengendalian internal dengan suatu kinerja,

semua karateristik, tujuan, dan komponen pengendalian internal dapat

melaksanakan peningkatakan kinerja pegawai.

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Sarita Permata (2012) yang

berjudul pengaruh pengendalian internal dan gaya kepemimpinan terhadap kinerja

karyawan SPBU Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengendalian

internal berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai. Penelitian

yang dilakukan oleh Pilipus Ramandei (2009) yang berjudul pengaruh karateristik

sasaran anggaran dan sistem pengendalian internal terhadap kinerja manajerial

aparat pemerintah daerah. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa pengendalian

internal bepengaruh signifikan terhadap kinerja manajerial. Penelitian yang

dilakukan Hendri yanto (2013) yang berjudul pengaruh budaya organisasi,

komitmen organisasi, dan pengendalian internal terhadap kinerja pegawai yang

dimediasi oleh akuntabilitas publik, hasil penelitian menunjukan pengendalian

internal berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti merancang model kerangka pemikiran

dibawah ini :
34

Pengendalian Internal Kinerja Pegawai

Gambar 2.2
Pengaruh Pengendalian Internal terhadap Kinerja Pegawai

2.3.2 Pengembangan Hipotesis

Berdasarkan Kerangka pemikiran dan identifikasi masalah maka dapat

ditarik hipotesis penelitian bahwa:

Ha : Terdapat pengaruh positif Pengendalian Internal terhadap


Kinerja Pegawai

Anda mungkin juga menyukai