Salah satu perubahan yang diperlukan untuk memenuhi keperluan masyarakat sekarang ialah
kemahiran abad ke-21. Kemahiran abad ke-21 adalah kemahiran pembelajaran yang diperlukan
oleh pelajar untuk berdaya saing pada milenium baru. Kemahiran abad ke-21 dapat dikaitkan
dengan perbagai kemahiran yang diperlukan pada zaman ini.
Salah satu kemahiran abad ke 21 ialah penggunaan teknologi maklumat dan komunikasi
(ICT) yang sejajar dengan perkembangan pendidikan pada masa sekarang. Kebanyakan
kemahiran abad ke-21 adalah berdasarkan kepada pendekatan terhadap ICT. Jika dahulu, literasi
cuma merangkumi membaca, menulis, dan mengira namun literasi abad ke-21 melibatkan literasi
digital. Guru memainkan peranan utama dalam membimbing pelajar untuk melayari internet,
mencari laman sesawang, memilih perisian yang sesuai dan mengumpul serta mengulas
maklumat. Dengan bimbingan guru juga kesedaran global pada era digital sepatutnya mudah
dicapai dan seharusnya meningkat. Pembelajaran berasaskan projek (project-based learning)
adalah satu pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang boleh memupuk kemahiran abad ke
21. Topik-topik tertentu dalam mata pelajaran Sejarah dan Sains contohnya boleh diberi sebagai
tugasan projek di mana pelajar perlu mendapatkan maklumat daripada pelbagai sumber
seperti google.
B. MULTIMEDIA LEARNING
William Ditto (2006) menyatakan definisi multimedia dalam ilmu pengetahuan mencakup
beberapa aspek yang saling bersinergi, antara teks, grafik, gambar statis, animasi, film dan suara.
Sejumlah penelitian membuktikan bahwa penggunaan multimedia dalam pembelajaran
menunjang efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran. Penelitian tersebut antara lain yang
dilakukan oleh Francis M. Dwyer. Hasil penelitian ini antara lain menyebutkan bahwa setelah
lebih dari tiga hari pada umumnya manusia dapat mengingat pesan yang disampaikan melalui
tulisan sebesar 10 %, pesan audio 10 %, visual 30 % dan apabila ditambah dengan melakukan,
maka akan mencapai 80 %. Berdasarkan hasil penelitian ini maka multimedia interaktif
(user melakukan) dapat dikatakan sebagai media yang mempunyai potensi yang sangat besar
dalam membantu proses pembelajaran.
Dalam perkembangannya multimedia dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu:
1. Multimedia linier
Multimedia linier adalah suatu multimedia yang tidak dilengkapi dengan alat pengontrol
apapun di dalamnya. Sifatnya sekuensial atau berurutan dan durasi tayangannya dapat diukur.
Film dan televisi termasuk dalam kelompok ini.
2. Multimedia interaktif
Multimedia interaktif adalah suatu multimedia yang dilengkapi dengan alat pengontrol yang
dapat dioperasikan oleh pengguna, sehingga pengguna dapat memilih apa yang dikehendaki
untuk proses selanjutnya. Ciri khasnya, multimedia ini dilengkapi dengan beberapa navigasi
yang disebut juga dengan graphical user interface (GUI), baik berupa icon maupun button, pop-
up menu, scroll bar, dan lainnya yang dapat dioperasikan oleh user untuk sarana browsing ke
berbagai jendela informasi dengan bantuan sarana hyperlink. Penerapan multimedia interaktif ini
didapat pada multimedia pembelajaran serta aplikasi game. Multimedia interaktif tidak memiliki
durasi karena lama penayangannya tergantung seberapa lama pengguna mem-browsing media
ini.
Manfaat media pendidikan dalam proses belajar menurut Hamalik (1986) antara lain sebagai
peletakkan dasar-dasar yang kongkrit dalam berfikir untuk mengurangi ‘verbalisme’,
memperbesar minat siswa, membuat pelajaran lebih menyenangkan sehingga berdampak kepada
hasil pembelajaran yang lebih memuaskan.
Di samping itu, multimedia pembelajaran dapat juga unggul dalam hal:
Ø Memperbesar benda yang sangat kecil dan tidak tampak oleh mata, seperti kuman,
bakteri, electron.
Ø Memperkecil benda yang sangat besar, yang tidak mungkin dihadirkan ke sekolah, seperti gajah,
rumah, gunung.
Ø Menyajikan benda atau peristiwa yang kompleks, rumit dan berlangsung cepat atau lambat,
seperti sistem tubuh manusia, bekerjanya suatu mesin, beredarnya planet, berkembangnya bunga.
Ø Menyajikan benda atau peristiwa yang jauh, seperti bulan, bintang, salju.
Ø Menyajikan benda atau peristiwa yang berbahaya, seperti letusan gunung berapi, harimau, racun.
Ø Meningkatkan daya tarik dan perhatian siswa.
3. Creative Expression
Metode ekspresi kreatif dapat diterapkan dalam setiap jenis sekolah dan dengan murid dari
berbagai usia, dan juga oleh orang tua dalam pendidikan anak-anak mereka. Aplikasi mereka
dibuat lebih mudah oleh fakta beruntung bahwa efektivitas mereka tidak tergantung pada solusi
sebelumnya dari banyak masalah teoritis yang terlibat. Sebaliknya, mereka yang tertarik pada
masalah ini dapat dengan yakin mengharapkan aplikasi praktis untuk menghasilkan materi yang
akan berkontribusi cukup untuk solusi mereka.
Sebuah titik awal penting, dan salah satu yang perlu jelas menyadari, adalah perbedaan antara
kreativitas pada umumnya, terutama yang berhubungan dengan pendidikan, dan kreativitas seni,
yaitu, produksi karya yang memiliki nilai estetika. Tidak adanya perbedaan ini sangat tepat untuk
membuat confusion- dan menyulitkan subjek tidak perlu. Adopsi, di sisi lain, menyingkirkan
perlunya membahas teori-teori estetika kita, yang beragam dan bertentangan , pertanyaan sulit
dari kriteria penilaian estetika, dan juga semua masalah yang berhubungan dengan keterampilan
dalam ekspresi .
Dua contoh kontras jelas akan menunjukkan titik ini. Dalam satu arah, bisa ada keahlian
besar dalam ekspresi, kemampuan dalam teknik formal, tanpa konten yang bermakna atau
berharga. Sebagai kritikus Perancis tajam berkomentar tentang penulis : "Dia memiliki apa-apa,
tapi seberapa baik dia mengatakan itu! "Di sisi lain, ada penulis dan pekerja kreatif dengan ide-
ide yang berharga tetapi sedikit kemampuan untuk pakaian mereka dalam hal yang jelas dan
memadai. Dalam hubungan ini, seseorang mungkin mungkin menyebutkan Thomas Carlyle,
seorang pemikir besar, bahkan jika beberapa dari ide-idenya mungkin diperdebatkan, yang
kadang-kadang kikuk gaya berbuat banyak untuk mengaburkan presentasi mereka. Mungkin ada
editor kini akan menerbitkan esai -nya tanpa banyak revisi dan perampingan. (apakah ini benar-
benar akan menghasilkan perbaikan adalah pertanyaan yang mungkin dibiarkan terbuka dalam
diskusi ini). Keterampilan dalam presentasi, oleh karena itu, dan kesempurnaan bentuk bermain
sedikit atau tidak ada bagian dalam kegunaan pendidikan ekspresi kreatif .
Sebelum melanjutkan itu akan baik untuk membangun kerangka acuan yang jelas dalam
pandangan doktrin psikologis yang berbeda dan saling bertentangan yang ada saat ini. Dengan
ini saya maksudkan pengertian tertentu tentang konstitusi psikologis manusia, dari apa yang
dapat disebut "ruang psikologis" atau lapangan. Within mana proses kreatif berlangsung .
Diagram dengan deskripsi singkat yang menggambarkan kerangka acuan ini dengan cara yang
sederhana. Telah ditemukan berguna dalam Konteks lain ( Assagioli 1959 1961) .
Creative Process
Ada kesepakatan umum, dan bukti yang cukup untuk mendukung hal itu, bahwa proses
kreatif sering dimulai, dan hampir seluruhnya dilakukan melalui, di bagian bawah sadar dari
keberadaan psikologis kita. Tapi tidak cukup perhatian telah dipanggil untuk keberadaan
berbagai tingkat tingkat sadarkan diri berbeda asal, sifat dan kualitas, dan. Oleh karena itu
menghasilkan hasil yang sangat berbeda dari aktivitas mereka .
• Memiliki karakter sebagai pemikir. Karakter sebagai pemikir ini ditandai dengan terampil
berpikir inovatif lewat kecepatan beradaptasi dengan lingkungan, mampu memecahkan masalah
yang kompleks, dan dapat mengendalikan diri sendiri dalam menghadapi tantangan yang ada,
cerdas, kreatif, dan berani ambil resiko. Selain itu. karakter yang relevan dengan kerja otak ini
meliputi prilaku berpikir yang selalu ingin tahu, berpikir terbuka, dan bersikap reflektif.
• Memiliki etos kerja yang tinggi sehingga produktif. Hal ini ditandai dengan memiliki
kemampuan untuk menentukan prioritas, mengembangkan perencanaan, memetakan hasil
pencapaian, terampil menggunakan perangkat kerja, dan meningkatkan keterampilan yang
sejalan dengan perkembangan teknologi. Di samping itu, terampil mengembangkan kecakapan
yang relevan dengan kebutuhan hidup, dan selalu menghasilkan mutu produk yang tinggi.
Karakter yang relevan dengan hal ini adalah prilaku hidup yang bersih dan sehat, disiplin,
sportif, tidak kenal menyerah, tangguh, handal, berketetapan hati, kerja keras, dan kompetitif.
• Memiliki keterampilan berkomunikasi. Hal ini ditandai dengan kemampuan bekerja dalam
tim yang bervariasi, berkolaborasi, dan cakap mengembangkan hubungan interpersonal sehingga
selalu dapat menempatkan diri dalam interaksi yang harmonis. Memiliki kecakapan komunikasi
personal, sosial, dan terampil mengejawantahkan tanggung jawab. Yang tidak kalah pentingnya
adalah terampil dalam komunikasi interaktif dengan cerdas dan rendah hati. Karakter yang
relevan dengan keterampilan ini adalah menghargai, toleran, peduli, suka menolong, gotong
royong, nasionalis, kosmopolit, mengutamakan kepentingan umum dan bangga terhadap produk
bangsa sendiri.
• Cakap dalam menggunakan teknologi dan informasi. Hal ini ditandai dengan kecakapan
untuk memvisualisasikan informasi dalam mengembangkan keterampilan multikultural, bekerja
sama dan berkomunikasi dalam ruang lintas bangsa, serta terampil mengembangkan kesadaran
global.
• Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia memandang bahwa kecakapan
intelektual, digital, sosial, dan akademik belum cukup. Anak Indonesia wajib memiliki
kecakapan hidup yang yang lebih bernilai yang ditandai dengan keterampilan beriman dan
bertakwa, terampil hidup jujur, terampil menjalankan amanah, terampil berbuat adil, terampil
menjalankan tanggung jawab, terampil berempati, dan patuh menjalankan hidup beragama
sebagai releksi menjalankan perintah Tuhan.
Seluruh pencapaian ini dinyatakan dalam bentuk keterampilan. Hal ini menandakan bahwa
puncaknya keberhasilan pendidikan bukan pada penguasaan ilmu pengetahuan, melainkan dalam
karya nyata siswa yang mereka tunjukkan dalam prilaku sebagai hasil belajar. Produk hasil
belajar dapat mereka tunjukkan dalam bentuk perbuatan, perkataan, tulisan, karya seni, karya
imajinatif, produk intuitif, seperti rancang bangun, merepleksikan pikiran dalam bentuk disain,
diagram, pola, uraian, deskripsi.
Yang perlu dikembangkan untuk mengasah keterampilan itu adalah melatih dan merefleksikan
keterampilan itu dalam perbuatan sehari-hari di luar kelas, di dalam kelas, di rumah, dan dalam
kehidupan bermasyarakat. Membangun suasana lingkungan dan konsisten berlatih untuk
mengarahkan diri secara berkelanjutan adalah bagian dari kunci keberhasilan.
Untuk itu, demi mewujudkan keterampilan–keterampilan siswa Indonesia yang mampu bersaing
pada abad 21 ini maka pembelajaran disekolah harus merujuk pada 4 karakter belajar abad 21
yang biasanya dirumuskan dalam 4C yakni :
1. Communication. Artinya, pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dan siswa harus terjadi
komunikasi muliti arah dimana terjadi komunikasi timbal balik antara guru dengan siswa, siswa
dengan guru, maupun antar sesama siswa. Siswa hendaknya diberi kesempatan untuk
mengemukakan pendapatnya dalam proses belajar mengajar, sehingga siswa dapat mengkonstruk
pengetahuannya sendiri melalui komunikasi dan pengalaman yang dia alami sendiri. Hal ini
sejalan dengan filsafat pembelajaran modern yang dikenal dengan filsafat Kontruktifisme.
2. Collaboration. Artinya, pada proses pembelajaran guru hendaknya menciptakan situasi
dimana siswa dapat belajar bersama-sama/berkelompok (team work), sehingga akan tercipta
suasana demokratis dimana siswa dapat belajar menghargai perbedaan pendapat, menyadari
kesalahan yang ia buat, serta dapat memupuk rasa tanggung jawab dalam mengerjakan tangung
jawab yang diberikan. Selain itu, dalam situasi ini siswa akan belajar tentang kerjasama tim,
kepemimpinan, ketaatan pada otoritas, dan fleksibilitas dalam lingkungan kerja. Hal ini akan
mempersiapkan siswa dalam menghadapi dunia kerja dimasa yang akan dating.
3. Critical Thinking and Problem Solving. Artinya, proses pembelajaran hendaknya membuat
siswa dapat berpikir kritis dengan menghubungkan pembelajaran dengan masalah-masalah
kontekstual yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Kedekatan dengan situasi yang real yang
dialami oleh siswa ini akan membuat siswa menyadari pentingnya pembelajaran tersebut
sehingga siswa akan menggunakan kemampuan yang diperolehnya untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang dihadapinya.
4. Creativity and Innovation. Artinya, pembelajaran harus menciptakan kondisi dimana siswa
dapat berkreasi dan berinovasi, bukannya didikte dan diintimidasi oleh guru. Guru selalu
hendaknya menjadi fasilitator dalam menampung hasil kreastivitas dan inovasi yang
dikembangkan oleh siswa.
Salah satu hasil inovasi pembelajaran khususnya dalam pembelajaran matematika yang sejalan
dengan karakter belajar abad 21 adalah pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
(PMRI). PMRI merupakan suatu pendekatan pendidikan matematika yang merupakan hasil
adaptasi dari Realistic Mathematics Education (RME) yang telah dikembangkan di Nederland
sejak tahun 1970 (Heuvel-Panhuizen, 2003 ; Hadi,2005). RME menggabungkan pandangan
tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana mengajarkan
matematika (www.pmri.or.id/latarbelakang.html). Pendekatan ini mengacu pada pendapat
Freudenthal (Zulkardi,2003) yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita
dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan siswa
dan relevan dengan situasi siswa sehari-hari. Berdasarkan hal ini, kata ‘realistik’ tidak hanya
mengacu pada dunia nyata, tetapi juga pada situasi real dalam pikiran siswa. Siswa juga harus
diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menemukan kembali ide atau konsep matematika.
Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive receivers of
ready-made mathematics (penerima pasif matematika yang sudah jadi).
PMRI menekankan bagaimana siswa menemukan kembali (reinvention) konsep-konsep atau
prosedur-prosedur dalam matematika melalui masalah-masalah kontekstual. Soedjadi (2001)
mengemukakan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik pada dasarnya
adalah pemanfaatan realita dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar
proses pembelajaran matematika sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika. Lebih lanjut
Soedjadi menjelaskan yang dimaksud dengan realitas yaitu hal-hal yang nyata atau konkret yang
dapat diamati atau dipahami peserta didik lewat membayangkan, sedangkan yang dimaksud
dengan lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada baik lingkungan sekolah,
keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta didik. Lingkungan ini disebut
lingkungan sehari-hari.
Dari uraian di atas, tampak bahwa PMRI merupakan pendekatan pembelajaran yang bertolak
dari masalah-masalah yang sesuai dengan pengalaman siswa. Dalam hal ini, siswa aktif dan guru
berperan sebagai fasilitator. Siswa bebas mengemukakan dan mengkomunikasikan ide-idenya
satu sama lain. Guru hanya membantu siswa secara terbatas untuk membandingkan ide-ide itu
dan membimbing mereka mengambil kesimpulan tentang ide mana yang benar, efisien, dan
mudah dipahami mereka. Dalam kaitannya dengan matematika sebagai kegiatan manusia, siswa
harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menemukan kembali ide atau konsep matematika
secara mandiri sebagai akibat dari pengalaman siswa dalam berinteraksi dengan realitas. Setelah
menemukan konsep-konsep matematika, siswa dapat menggunakannya dalam menyelesaikan
masalah yang terkait untuk memperkuat kemampuan berpikirnya tentang konsep matematika
tersebut.
4) Interaktivitas ( interactivity)
Mengoptimalkan proses pembelajaran melalui interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru
dan siswa dengan sarana prasarana merupakan hal yang penting dalam PMRI. Negosiasi, diskusi,
dan kerjasama adalah elemen-elemen penting dalam PMRI. Metode informal yang
dikembangkan siswa digunakan sebagai acuan menuju metode formal. Dalam hal ini, siswa
dilibatkan dalam menjelaskan, membenarkan, menyatakan kesetujuan atau ketidaksetujuan,
menanyakan alternatif, dan melakukan refleksi. Interaksi terus dioptimalkan sampai konstruksi
yang diinginkan diperoleh, sehingga interaksi tersebut bermanfaat.
Berdasarkan 5 karakteristik diatas, maka jelaslah bahwa PMRI sejalan dengan karakter belajar
Abad 21. Untuk itu sudah sewajibnya PMRI di kembangakan dan dilaksanakan dalam setiap
pembelajaran matematika di Indonesia. Memang, upaya ini tidaklah mudah, butuh kerjasama dan
kesatuan visi yang jelas antara lembaga-lembaga seperti LPTK dan Guru di sekolah. Sekiranya
kerjasama itu dapat dilakukan dengan baik maka harapan siswa-siswa Indonesia untuk dapat
berkancah di abad 21 bisa menjadi kenyataan.