Anda di halaman 1dari 20

PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN ATAS DASAR

WANPRESTASI TERHADAP AKAD MURABAHAH

Oleh : Drs. H. Abd. Salam, S.H. M.H.


Wakil Ketua Pengadilan Agama Mataram
Pendahuluan
Murabahah sebagai salah satu bentuk akad jual-beli amanah. karena dalam proses
transaksinya penjual diharuskan dengan jujur menyampaikan harga perolehan (ats-tsaman al-
awwal) dan keuntungan yang ingin/hendak diambil ketika akad.1 Murabahah juga marupakan
jual-beli muthlaq karena obyek akadnya adalah barang („aiyn) dan uang (daiyn).2
Dalam praktek perbankan syariah, murabahah merupakan skema yang paling dominan
digunakan dibandingkan dengan produk akad syariah lainnya,3 sehingga ada stigma bahwa Bank
Syariah di Indonesia adalah Bank Murabahah. Ini dipilih oleh bank karena sebagai lembaga
intermediary prinsip kehati-hatian (prudential) bank bisa diterapkan dengan efektif dan efesien
sehingga resiko kerugian bank bisa diminimalisir.
Murabahah sebagai bentuk jual-beli, harga bisa dibayar secara tunai (naqdan), angsur
(taqhsith) atau dalam bentuk sekaligus (mu‟ajjal), akan tetapi berdasarkan kebutuhan pasar,
kebanyakan nasabah menghendaki pembayaran harga murabahah secara angsur.
Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko
macet. bank diperbolehkan bahkan “selalu” meminta jaminan dari nasabah yang diikat dengan
pembebanan Hak Tanggungan maupun penjaminan lainnya. Sehingga ketika nasabah mengalami
macet, dapat dinilai sebagai wanprestasi dan bank berhak melelang sendiri atau mengajukan
permohonan eksekusi lelang baik kepada KPKNL maupun Pengadilan Agama.
Bentuk-bentuk dari wanprestasi menurut hukum perdata antara lain:
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali; Misal, debitur tidak memenuhi dan melaksanakan
kewajibannya sesuai yang telah ditentukan dalam perjanjian;
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya; misal debitur selalu telat melaksanakan
kewajibannya;

1
Wahbah Az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Bairut, Daar al-Fikr, 2002, Juz V, hal. 3600,
2
Menurut ahli fikih dari segi obyek pertukarannya (badalayin), jual-beli dibagi menjadi empat macam; 1. Barter (al-
muqayyadah) obyek tukarnya sama-sama barang („aiyn). 2. Jual-beli mutlak, obyek tukarnya barang („ayn) dengan
uang/harga (dayn). 3. Jual-beli sharf, obyek tukarnya sama-sama uang (dayn). 4. Jual-beli al-salam, yaitu obyek
tukarnya piutang barang yang masih menjadi piutang dengan uang yang telah ada ketika akad.
3
Dr. Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal . 123;

1
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Misal, debitur selalu melaksanakan
kewajibannya namun qualitas dan quantity-nya tidak sesuai dengan ketentuan yang
diperjanjiakan.
4. Debitur melaksanakan/melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Berdasarkan cakupan bentuk-bentuk wanprestasi sebagai tersebut diatas, maka
permohonan eksekusi lelang bagi bank terbuka meskipun belum jatuh tempo. Akan tetapi
eksekusi lelang pada akad murabahah yang belum jatuh tempo sering memunculkan perlawanan
dari nasabah karena dirasakan tidak sesuai dengan rasa keadilan. Kasus telah banyak
bermunculan, sebagai ilustrasi kasus adalah sebagai berikut:
- Bank BRI Syariah sepakat mengadakan akad murabahah atas property obat-obatan (apotek)
pada bulan Maret 2015, diikiat dengan Pembebanan Hak Tanggungan atas 4 obyek tanah dan
bangunan toko milik nasabah;
- Harga perolehan bank (al-tsaman al-awwal) seharga Rp.400.000.000,- ditambah keuntungan
bank/margin (al-ribh) sebesar Rp.374.304.000,- sehingga harga jual bank kepada nasabah
disepakati sebesar Rp.774.304.000,- ; Harga awal (perolehan bank) dan harga akhir (harga
jual bank) terpaut sangat tinggi karena karena ada pricing yaitu bank senantiasa
memperhitungkan keuntungan yang diperoleh atas berbagai faktor yang dipertimbangkan,
yaitu waktu pelunasan, indek bunga pada bank konvensional dll.4
- Diperjanjikan, harga obyek murabahah dapat diangsur oleh nasabah selama 10 tahun atau
120 kali sebesar angsuran Rp.6.453.000,- perbulan, angsuran akan berakhir/jatuh tempo
bulan Nopember 2025;
- Akad murabahah baru berjalan 8 bulan, usaha nasabah ludes karena perampokan, sehingga
nasabah macet mulai bulan Nopember 2015;
- Bulan Desember 2016 atau 20 bulan setelah akad Murabahah, atau 13 bulan setelah
angsuran macet, Bank mengajukan eksekusi lelang obyek jaminan bank kepada KPKNL
Mataram untuk memenuhi pembayaran sebesar Rp. 722.680.000,- (dari Rp. 774.304.000,-
dikurangi angsuran masuk Rp. 51.624.000,-)

4
Pricing adalah memperhitungkan harga jual dengan mempertimbangkan waktu dengan acuan bunga dalam kredit
konpensional. Ini adalah delema system syariah sehingga aplikasi harga murabahah harus mempertimbangkan
berbagai aspek; waktu pelunasan, resiko, bunga dalam konpensional, sehingga harga murabahah terpaut sangat
tingga dengan harga perolehan bank.

2
- Nasabah keberatan dan mengajukan perlawanan atas eksekusi lelang oleh KPKNL kepada
Pengadilan Agama Mataram ;
- Alasan perlawanan, tuntutan pelunasan hutang tidak proposrional ; harga pinjaman Rp.
400.000.000,- baru berjalan 20 bulan dan baru macet 13 bulan, bank minta pelunasan atas
pembayaran seluruh angsuran sebesar Rp. 774.304.000,- yang mestinya akan jatuh tempo
pada Nopember 2025 ;
- Proses perlawanan terhadap penetapan lelang oleh KPKNL Mataram masih sedang berjalan
di Pengadilan Agama Mataram.
Rumusan Kamar Agama dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 4
Tahun 2016, tanggal 9 Desember 2016, halaman 9 pada angka 3, membenarkan eksekusi lelang
Hak Tanggungan yang belum jatuh tempo. Sebagai berikut: “Hak Tanggungan dan jaminan
utang lainnya dalam akad ekonomi syariah tetap dapat dieksekusi jika terjadi wanprestasi
meskipun belum jatuh tempo pelunasan sesuai dengan yang diperjanjikan setelah diberi
peringatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.
Eksekusi Hak Tanggungan mempunyai sifat-sifat istimewa mudah, sederhana dan pasti
seperti sifat putusan serta-merta. Akan tetapi untuk akad murabahah sifat istemewa Hak
Tanggungan pada saat angsuran belum jatuh tempo perlu dikaji secara yuridis, karena faktanya
melahirkan ketidak adilan pada nasabah;
Contoh kasus diatas, cukup menggambarkan hal tersebut. Jika eksekusi juga harus
menunggu jatuh tempo, maka bank sebagai lembaga intermediary akan dirugikan, disinlah
delematisnya eksekusi lelang dalam akad murabahah atas dasar gugatan wanprestasi.
Hal lain yang perlu diingat adalah, bahwa karakteristik akad murabahah sangat berbeda
dengan akad mudharabah maupun musyarakah dan akad-akad syariah lainnya, apalagi dengan
kredit konvensional.
Tulisan ini mencoba menganalisa problem hukum dan mengungkap ketidak adilan
permohonan eksekusi lelang atas akad murabahah yang belum jatuh tempo.
Prinsip –Prinsip Hak Tanggungan
Peraturan hukum mengenai Hak Tanggungan adalah suatu perangkat hukum yang
digunakan ketika terjadinya perikatan (kesepakatan) pinjam-meminjam uang/pembiayaan antara
Peminjam (Debitur) dengan Pemberi Pinjaman (Bank).

3
Didalam prakteknya calon debitur mengajukan permohonan pinjaman/pembiayaan
kepada bank dengan menyertakan segala bentuk surat-surat, yaitu identitas peminjam, jaminan
pinjaman berupa Akta Kepemilikan atas Tanah dan Bangunan serta surat-surat perizinan usaha
jika Debiturnya adalah badan hukum. Jika menurut Bank permohonan yang diajukan oleh
Debitur memenuhi kriteria, maka terjadilah kesepakatan pemberian Fasilitas Kredit (Bank
Konvensional) atau Pembiayaan (Bank Syariah) kepada Debitur.
Tindak lanjut dari kesepakatan pinjam meminjam tersebut, bank memberikan sejumlah
dana (uang) sebagai bentuk pinjaman kepada Debitur, kemudian Debitur memberikan surat-surat
kepemilikan tanah/bangunan ataupun benda lainnya sebagai jaminan pelunasan pinjaman.
Jaminan berupa tanah dan bangunan biasanya dibebani dengan pemasangan Sertifikat Hak
Tanggungan yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Dari kesepakatan Fasilitas Kredit atau pembiayaan tersebut, Bank memberikan syarat
kewajiban agar Debitur membayar pinjaman/kredit/pembiayaan dengan sistem angsuran/cicilan
setiap bulan dengan tenggang waktu pelunasan antara 1 (satu) s/d 20 (dua puluh) tahun.
Apabila Debitur melakukan pembayaran angsurannya secara tepat waktu sampai dengan
adanya pelunasan, maka Bank tentu akan memberikan penilaian bahwa Debitur tersebut adalah
debitur/nasabah dengan predikat baik, sehingga kemudian Bank akan lebih percaya untuk
kembali memberikan pinjaman kepada Debitur dengan predikat baik tersebut.
Dari semua transaksi pinjam meminjam/kredit/pembiayaan tersebut, tentunya ada juga
Debitur yang tidak melakukan pembayaran angsuran dengan tepat waktu atau lajimnya disebut
Kredit Macet. Oleh karenanya Bank tentu akan berusaha melakukan penagihan kepada Debitur
dengan alasan menghindari resiko kredit macet.
Upaya Bank dalam menghindari adanya kredit macet adalah dengan menggunakan aturan
kesepakatan atas Jaminan Hak Tanggungan pada sertifikat kepemilikan nasabah jika bentuknya
asset tak bergerak (tanah dan bangunan) atau penerapan Jaminan Fidusia jika jaminan berupa
benda bergerak (mobil, mesin dan lain-lain).
Terhadap ketentuan pembebanan Hak Tanggungan atas jaminan pinjaman, negara telah
menerbitkan peraturan hukum pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang-undang tersebut
mengatur tentang Jaminan antara Bank dengan Debitur dalam transaksi pinjam meminjam serta

4
peraturan-peraturan tentang tata cara apabila terjadinya keadaan wanprestasi (tidak membayar)
apabila Debitur tidak melaksanakan kewajibannya.
Karakteristik Hak Tanggungan
Perjanjian Hak Tanggungan bukanlah merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, akan
tetapi mengikuti perjanjian yang ada sebelumnya yang disebut perjanjian induk. Perjanjian induk
yang terdapat pada Hak Tanggungan adalah perjanjian utang-piutang yang menimbulkan utang
yang dijamin, termasuk akad pembiayaan syariah. Perjanjian yang mengikuti perjanjian induk ini
dalam terminology hukum disebut perjanjian accessoir. Penegasan terhadap asas accesoir ini,
dijelaskan dalam poin 8 penjelasan UU Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang
menyatakan bahwa:
Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatu
piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain,
maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya.
Karena itu sudah sangat tepat dan logis jika eksekusi Hak Tanggungan atas akad-akad
syariah merupakan kewenangan Pengadilan Agama.
Selain penegasan yang termuat dalam penjelasan umum poin 8 di atas, secara tegas diatur
pula dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 4 'Tahun 1996. Dalam Pasal 10
ayat (1) dinyatakan bahwa perjanjian untuk memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian tak
terpisahkan dari perjanjian Utang-piutang yang bersangkutan, sedangkan Pasal 18 ayat (1) huruf
a menyatakan bahwa Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak
Tanggungan.
Selain itu Hak Tanggungan menurut undang-undangnya mempunyai kedudukan
diutamakan. Penjelasan umum Undang Undang Hak Tanggungan (UUHT) dinyatakan bahwa:
Bahwa jika debitur cedera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui
pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului daripada keditor-kreditor lain.
Walaupun demikian dalam menjalankan eksekusi lelang atas Hak Tanggungan perlu
diingat bahwa kedudukan diutamakan tersebut tidak mengurangi preferensi piutang-piutang
Negara. Karena menurut ketentuan hukum yang berlaku. piutang negara yang harus didahulukan
dibandingkan dengan kreditor lainnya tersebut, Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 9 Tahun
1994 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

5
Perpajakan dijumpai ketentuan yang menentukan tagihan pajak mempunyai hak mendahului
lainnya. Hal ini sesuai Pasal 21 UU Nomor 9 Tahun 1994 dinyatakan bahwa:
Hak mendahulu tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya kecuali terhadap:
(a) biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu
barang;
(b) biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang;
(c) biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
Dalam penjelasan umum UUHT ditemukan pengertian mengenai kalimat "kedudukan
yang diutamakan tertentu terhadap kreditor lain, juga dapat ditemukan dalam Pasal 20 ayat (1)
UUHT ketentuan yang berbunyi bahwa: Apabila debitor cedera janji, maka berdasarkan: (a)
hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6; atau (b) titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek Hak Tanggungan dijual
melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditemukan dalam peraturan perundang-
undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului
daripada kreditor-kreditor lainnya.
Berdasarkan ketentuan di atas, walaupun kreditor tertentu lebih didahulukan
dibandingkan dengan kreditor lainnya, akan tetapi tetap harus mengalah kepada piutang-piutang
negara.
Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Mudah dan Pasti
Selain berkedudukan utama, Hak Tanggungan berasas eksekusi mudah karena dapat
dilakukan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum tanpa melaui persetujuan lagi kepada
Pemberi Hak Tanggungan, ketentuan ini bermaksud mencegah terjadinya cedera janji yang
dilakukan pemberi Hak Tanggungan. Oleh karena itu, apabila terjadi cedera janji, pemegang Hak
Tanggungan pertama mendapatkan prioritas pertama menjual objek Hak Tanggungan. Hal ini
sesuai ketentuan Pasal 6 UUHT dinyatakan bahwa: “Apabila debitor cedera janji, pemegang
Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan tersebut”.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 6 UUHT di atas, dalam penjelasan Pasal 6 tersebut
dijelaskan sebagai berikut: “Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri

6
merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang
Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang
diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cedera janji, pemegang Hak
Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa
memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain.
Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemegang Hak Tanggungan”.
Mengacu pada ketentuan Pasal 6 di atas, maka apabila debitor cedera janji, hal ini dapat
dimintakan untuk melaksanakan eksekusi atau yang lazim disebut parate eksekusi. Oleh karena
itu, parate eksekusi yang terdapat di dalam Hipotek berbeda dengan parate eksekusi yang
terdapat di dalam Hak Tanggungan. Pada parate eksekusi yang terdapat pada Hipotek, pemegang
Hipotek hanya mempunyai hak untuk melakukan parate eksekusi apabila sebelumnya telah
diperjanjikan hal yang demikian itu dalam pemberian Hak Hipoteknya. Sementara dalam Hak
Tanggungan, hak pemegang Hak Tanggungan untuk dapat melakukan parate eksekusi adalah hak
yang diberikan oleh Pasal 6 UUHT. Dengan kata lain, diperjanjikan atau tidak diperjanjikan, hak
itu demi hukum dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu Sertifikat Hak
Tanggungan yang merupakan tanda bakti adanya Hak Tanggungan yang diberikan oleh Kantor
Pertanahan dan yang memuat irahirah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA", mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlalu sebagai pengganti
grosse acte Hipotek sepanjang mengenai tanah."
Akibat Hukum Wanprestasi
Dalam transaksi perbankan, tidak bisa terlepas dari perjanjian. Dalam suatu perjanjian
umumnya dicantumkan klausul tentang wanprestasi yang menerangkan suatu keadaan yang
dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang
telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun bentuk-bentuk
dari wanprestasi, bisa dalam bentuk:
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali; Misal, debitur tidak memenuhi dan melaksanakan
Kewajibannya sesuai yang telah ditentukan dalam perjanjian;
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya; misal debitur selalu telat melaksanakan
kewajibannya;

7
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Misal, debitur selalu melaksanakan
kewajibannya namun qualitas dan quantity-nya tidak sesuai dengan ketentuan yang
diperjanjiakan.
4. Debitur melaksanakan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Berdasarkan cakupan wanprestasi sebagai tersebut dias, maka nasabah yang mecet tidak
melakukan angsuran untuk beberapa bulan, dapat dikategorikan sebagai wanprestasi. Disinlah
rawannya akad murabahah yang pembayaran secara angsuran berkala (installment) yang
membutuhkan waktu lama, maka LKS sebagai lembaga intermediary keuangan yang kegiatan
utamanya menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat
umum dalam bentuk pembiayaan, sering harus berhadapan dengan resiko angsuran macet. Maka
untuk mengantisipasi resiko tersebut dalam akad murabahah bank diperbolehkan meminta
jaminan yang lazimnya diikat dengan Pembebanan Hak Tanggungan, sehingga ketika nasabah
benar-benar mengalami macet, bank punya dasar pijak menilai nasabah sebagai wanprestasi dan
terbukalah hak bagi bank untuk memohon eksekusi meskipun belum jatuh tempo.
Dalam praktek, tergantung pada perjanjian/kesepakatan, terkadang ditemukan adanyanya
batasan waktu seorang debitur dapat dianggap telah berbuat wanprestasi. Batasan waktu ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata yang pada pokoknya menegaskan bahwasanya
debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Tetapi, jika
dalam perjanjian tersebut tidak ditentukan batasan waktu, maka untuk menyatakan seseorang
debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan
kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.
Pasal 1238 KUH Perdata menyatakan, “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat
perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri,
ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan”.
Dalam hukum, ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur yang telah
dianggap wanprestasi, yaitu :
1) Membayar kerugian yang diderita kreditur;
2) Pembatalan perjanjian;
3) Peralihan resiko;
4) Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.

8
Atas sanksi-sanksi tersebut, terkait dengan barang yang dijadikan jaminan, ada 2 cara
yang dapat ditempuh Bank sebagai pemegang barang jaminan yakni :
1) Proses litigasi :
Apabila seorang debitur sudah diperingatkan dan secara tegas ditagih janjinya, tetapi ia
tetap tidak melaksanakan prestasinya, maka Bank sebagai kreditur dapat mengajukan gugatan
wanprestasi disertai permohonan penetapan sita jaminan harta milik Anda sebagai debitur
(conservatoir beslag) kepada Pengadilan. Jika pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan
putusan secara sukarela (vrijwilling), berdasarkan ketentuan Pasal 196-197 HIR, Ketua
Pengadilan dapat melaksanakan putusan dengan upaya paksa terhadap harta benda yang telah
disita jaminankan untuk dijual melalui Kantor Lelang Negara.
2) Eksekusi Hak Tanggungan :
Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menyatakan, apabila debitor
cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Bank sebagai pemegang hak tanggungan, secara hukum, berhak atas kekuasaan sendiri
menjual obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi
dari pemberi Hak Tanggungan (debitur) dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya, jika
terdapat sisa hasil penjualan, maka sisa tersebut menjadi hak pemberi Hak Tanggungan (debitur).
Didalam praktek, apabila terdapat Debitur yang wanprestasi, biasanya Bank akan
mengirimkan Surat Peringatan kepada Debitur agar melaksanakan kewajibannya dalam
pembayaran angsuran sesuai dengan yang diperjanjikan. Peringatan tersebut biasanya diajukan
paling sedikit sebanyak 3 (tiga) kali untuk memenuhi syarat keadaan wanprestasinya debitur.
Apabila telah diperingati secara patut tetapi Debitur tidak juga melakukan pembayaran
kewajibanya, maka Bank melalui ketentuan hukum yang terdapat pada Pasal 6 dan Pasal 20 UU
RI No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, akan melakukan proses Lelang terhadap Jaminan
Debitur.
Bank biasanya lebih banyak mengajukan permohonan Lelang Jaminan Hak Tanggungan
kepada Balai Lelang Swasta. Selanjutnya Balai Lelang Swasta akan meneruskan permohonan
tersebut kepada KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang) yang merupakan
salah satu unit kerja pada Dit. Jend Kekayaan Negara Departemen Keuangan RI.

9
Ketika Balai Lelang Swasta bertindak sebagai Fasilitator pelaksanaan Lelang, landasan
aturan hukum yang dipakai adalah Pasal 14 UU RI No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
yang mengisyaratkan bahwa Pelaksanaan Lelang Hak Tanggungan memiliki kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan hukum pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde). Tetapi perlu penulis sampaikan apabila objek lelang Jaminan Hak
Tanggungan terdapat perlawanan hukum dari Debitur ataupun pihak lain, maka Balai Lelang
Swasta ataupun KPKNL tidak memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi pengosongan
atas objek lelang yang sudah dibeli oleh peserta/pembeli lelang. Kewenangan pelaksanaan
Eksekusi Pengosongan terhadap suatu objek merupakan kewenangan badan peradilan.
Sedangkan didalam prakteknya Pengadilan tidak dapat langsung melaksanakan Eksekusi
Pengosongan terhadap objek Lelang bermasalah yang dilelang oleh Balai Lelang Swasta. Hal
tersebut terjadi karena Pengadilan menganggap bahwa terhadap Objek Lelang yang dijual oleh
Balai Lelang Swasta tidak terdapat peletakkan sita (beslag) oleh badan Pengadilan. Sementara
prosedur hukum untuk melakukan eksekusi pengosongan mewajibkan harus adanya penetapan
sita terlebih dahulu oleh Pengadilan, kemudian dengan dasar itu dapat dilakukan eksekusi
pengosongan (Pasal 200 ayat (11) HIR / Pasal 218 ayat (2) RBg).
Perlu disampaikan bahwa Badan Peradilan adalah lembaga yang dapat melakukan proses
Lelang pada Jaminan Hak Tanggungan. Hal tersebut merupakan salah satu wewenang Badan
Peradilan sebagai lembaga Negara yang ditugaskan untuk melaksanakan penegakkan peraturan
hukum.
Prosedur Dan Tatacara Permohonan Eksekusi Hak Tanggungan
Prosedurnya, Pemohon Lelang Eksekusi (Bank) mengajukan permohonan melalui
Kepaniteraan Pengadilan, kemudian Pengadilan menerbitkan Surat Anmaning (Peringatan
kepada debitur) sebanyak 2 (dua) kali untuk diberi kesempatan melakukan pelunasan pinjaman
kepada bank. Apabila Debitur tidak melaksanakan kewajibannya meskipun sudah diperingati
(anmaning) maka selanjutnya Pengadilan meletakkan sita jaminan terhadap objek lelang lalu
meneruskan prosesnya sampai dilakukannya Pelaksanaan Lelang oleh KPKNL sebagai
penyelenggara lelang yang difasilitasi oleh Badan Peradilan. Selanjutnya apabila terhadap objek
lelang yang terjual tersebut terdapat pihak-pihak yang tidak mau menyerahkan objek lelang
kepada pemenang lelang, maka Pengadilan berdasarkan ketentuan Pasal 14 UU RI No. 4 Tahun
1996 Tentang Hak Tanggungan memiliki kewenangan untuk melaksanakan eksekusi

10
pengosongan terhadap objek lelang tersebut. Oleh karena itu Pelaksanaan Lelang melalui
Pengadilan adalah cara yang tepat dalam mencari kepastian hukum terhadap proses lelang hak
tanggungan antara Bank dan Nasabah.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, tanggal 29 Agustus
2012, Badan Peradilan Agama merupakan lembaga yang berwenang melakukan proses lelang
pada jaminan Hak Tanggungan atas akad-akad syariah. Maka atas dasar pemikiran demikian
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 4 Tahun 2016, tanggal 9 Desember 2016
Rumusan Hukum Kamar Agama pada halaman 9 angka 3 menentukan bahwa “Hak Tanggungan
dan jaminan utang lainnya dalam akad ekonomi syariah tetap dapat dieksekusi jika terjadi
wanprestasi meskipun belum jatuh tempo pelunasan sesuai dengan yang diperjanjikan setelah
diberi peringatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.
Konsep Dasar Murabahah
Murabahah dari segi bahasa berarti saling menguntungkan. Dalam perbankan disebut
Deferred Payment Sale. Secara terminologis, murabahah dalam fikih klasik merupakan salah
satu bentuk jual-beli tertentu, dimana penjual harus menyatakan dengan jujur biaya perolehan
barang (al-tsaman al-awwal) dan keuntungan yang diinginkan.5 Karena menuntut adanya
transparansi harga perolehan (al-tsaman al-awal), maka dalam suatu terminologinya murabahah
disebut pula dengan jual-beli amanah.
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, murabahah adalah pembiayaan saling
menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-maal dengan pihak yang membutuhkan melalui
transaksi jual-beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai
lebih yang merupakan keuntungan atau labah bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan
secara tunai atau angsur.6
Para ulama telah sepakat (ijmak) akan kebolehan jual-beli murabahah walapun baik Al-
Qur-an maupun Hadis secara spesifik tidak membicarakannya. Dasar pijak ulamak dalam
menentukan kebolehan jual-beli murabahah adalah al-maslahah, karena model jual-beli
murabahah tersebut sangat dibutuhkan masyarakat karena sebagian dari mereka ketika akan
membeli barang tidak mengetahui kualitasnya maka ia sangat membutuhkan pertolongan pihak
lain yang lebih tahu untuk membelikan barang yang dikehendakinya dan menjual kepadanya

5
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Indonesia, Al-Ma‟arif t.th, I, hal 178); Juga Dr.
Mardani dalam Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal . 123;
6
Pasal 20 ayat (6) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

11
dengan keharusan menyebutkan harga perolehannya (al-tsaman al-awwal) dengan ditambah
keuntungan (ribh).7 Oleh karena itu murabahah semula dihajatkan untuk membantu seseorang
agar tidak terjadi jual-beli ghassy maupun juhalah yang berakibat merugikan pembeli.
Selain alasan al-maslahah, Al-Kasani berpendapat bahwa kebolehan murabahah adalah
berdasarkan prinsip kaidah “al-„Uruf” yaitu “Atsaabit bil „urfi katsaabit bisy syar‟i”; Artinya apa yang
lazim menurut kebiasaan seolah-olah berlaku lazim menurut syara‟ selama kebiasaan tersebut tidak
bertentangan dengan kaidah umum syari‟a, karena jual-beli murabahah telah berjalan lama dari
generasi ke generasi sepanjang masa dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya.
Hal penting lain yang menjadi prinsip pada murabahah dalam pembahasan fikih
muamalah klasik adalah komoditas atau barang yang menjadi obyek murabahah telah tersedia
dan menjadi milik penjual (bank) pada waktu akad berlangsung. Kemudian ia menjual barang
tersebut kepada pembeli dengan menjelaskan harga pembelian dan keuntungan yang akan
diperoleh. Karena itu dapat dikatakan bahwa praktek tersebut adalah jual-beli biasa.
Kelebihannya terletak pada pengetahuan pembeli tentang harga pembelian awal sehingga
menuntut kejujuran penjual dalam dalam menjelaskan harga awal yang sebenarnya.
Ketentuan murabahah secara lengkap baik definisi, karakteristik, syarat dan rukun dan
lain sebagainya telah diatur secara detail dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
dari pasal 116 s/d pasal 133.
Murabahah Dalam Lembaga Keuangan Syariah
Dalam praktek di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) termasuk perbankan syariah,
karakteristik murabahah dalam fikih klasik tersebut mengalami modifikasi yang sebagian dapat
dinilai menyimpang dari konsep dasar murabahah dalam fikih muamalah klasik. Murabahah
yang dipraktekkan pada LKS dikenal dengan murabaha li al-amr bi al-syira‟,8yaitu transaksi
jual-beli dimana seorang nasabah datang kepada bank untuk membelikan komoditas dengan
criteria tertentu dan ia berjanji akan membeli komoditas tersebut secara murabahah, yakni sesuai
dengan harga pokok pembelian ditambah dengan keuntungan bank yang disepakati kedua belah
pihak dan nasabah akan melakukan pembayaran secara installment (cicilan berkala) sesuai
dengan kemapuan financial yang dimiliki.

7
Hisam Ad-Diin Hafanah, Bai‟ al-Murabbaha lil Amr bi Asy-Syira‟, Dar al-ma‟arif wal Kutub, 1992, h.4;
8
Mengenai hokum murabaha li al-amr bi al-syira‟ para ulama kontemporer (lakhaf) berbeda pendapat; Ada yang
membolehkan dan ada pula yang mengharamkan; Yusuf Qardhawi menghalalkan sedangkan Muhammad Sulayman
Al-Asyqar mengharamkannya.

12
Setidak-tidaknya ada tiga model atau tipe penerapan jual-beli murabahah dalam
perbankan syariah;
Pertama; Tipe yang konsisten dengan fikih muamalah, yaitu bank membeli dahulu
barang yang akan dibeli oleh nasabah setelah ada perjanjian sebelumnya. Setelah barang dibeli
atasnama bank kemudian dijual ke nasabah dengan harga perolehan ditambah margin
keuntungan sesuai dengan kesepakatan bank dengan nasabah.
Kedua; mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan langsung dari
supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan bank langsung kepada penjual
pertama/supplier.
Ketiga bank melakukan akad murabahah dengan nasabah dan pada saat yang sama
mewakilkan kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya.
Dari tiga tipe tersebut, tipe ke dua dan ke tiga yang paling sering digunakan perbankan
syariah dengan alasan efektif dan efesien terutama berkaitan dengan ketentuan pajak
pertambahan nilai. Padahal tipe pertama adalah yang paling ideal dan sesuai dengan konsep fikih
muamalah. Oleh karena itu telah menjadi pengetahuan umum bahwa akad dalam produk
perbankan syariah senantiasa bukan akad tunggal tetapi multi akad.
Harga Jual Dalam Akad Murabahah di Perbankan Syariah
Sudah menjadi pengetahuan bersama, bahwa hal yang paling banyak mengundang
perdebatan adalah penentuan harga produk jasa perbankan syariah, baik penentuan harga
(pricing) produk pendanaan maupun produk pembiayaan.
Penentuan harga pada produk pembiayaan syariah hingga saat ini pada umumnya masih
menggunakan metode atau teknis pricing yang dilakukan oleh bank konvensional, dalam arti
menggunakan dan memperhitungkan suku bunga (bank konvensional) sebagai rujukan dalam
penentuan harga produk-produknya. Padahal jika prinsip perbankan syariah benar-benar
dijalankan dan infrastruktur pasar yang tersedia lengkap, maka para bankir tidak akan
menghadapi kesulitan dalam melakukan pricing yang murni syar‟i. Pada pembiayaan berbasis
jual-beli dan bagi hasil (investasi), tidak membuat metode pricingnya berbeda. Yang berbeda
hanya representasi harga hasil pricing.
Untuk produk berbasis jual-beli seperti murabahah representasi harganya berupa tingkat
margin, sementara untuk produk berbasis bagi hasil representasi harganya adalah nisbah bagi
hasil. Oleh karenanya dalam akad murabahah dengan jangka waktu angsuran 10 tahun, harganya

13
jauh lebih mahal dari pada murabahah yang berjangka waktu ansurannya hanya 5 tahun. Dengan
kata lain, untuk harga property perolehan bank (tsaman al-awwal) sebesar Rp. 400.000.000,-
yang diangsur jangka waktu 10 tahun (120 angsuran) bisa berharga sebesar Rp.775.000.000,-
sedangkan untuk jangka waktu 5 tahun harganya bisa jadi hanya Rp.587.500.000,-. Nah ketika
jangka waktu angsuran murabahah disepakati 10 tahun, kemudian berjalan 3 tahun angsuran
macet dan bank secara hukum dibolehkan mengajukan eksekusi lelang atas Hak Tanggungan
untuk memenuhi seluruh harga yang harus dibayar lunas dalam tempo 10 tahun akan terdapat
ketidakadilan kepada nasabah. Disinlah delematisnya eksekusi lelang dalam akad murabahah
atas dasar gugatan wanprestasi. Jika eksekusi Hak Tanggungan harus menunggu jatuh tempo,
maka bank akan dirugikan.
Problema Hukum Eksekusi Murabahah yang belum jatuh tempo
Murabahah sebagai transaksi jual-beli karakteristiknya berbeda dengan transaksi bagi
hasil atau transaksi sewa menyewa, karena dalam transaksi jual-beli hubungan yang ada bukan
antara pemodal dan yang memproduktifkan tetapi antara penjual dan pembeli. Sesuai prinsip
pada jual-beli murabahah, pembeli akan membayar harga yang telah dipatok (ditetapkan) dengan
cara angsur dalam rentang waktu yang disepakati, 2 tahun, 5 tahun 10 tahun dst. Prinsip
penyelesaian hutang murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan
nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali property
tersebut dengan keuntungan atau kerugian. Ia tetap berkewajiban menyelesaikan utangnya
kepada bank, Jikapun nasabah menjual property tersebut sebelum masa angsuran berakhir, Ia
tidak wajib melunasi angsurannya. Jikapun penjualan property tersebut menyebabkan kerugian,
nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Kesepakatan harga dan
margin dalam murabahah ditentukan hanya sekali pada awal transaksi dan tidak dibenarkan
adanya perubahan selama priode pembiayaan. Oleh karena itu eksekusi lelang Hak Tanggungan
dalam akad murabahah sebelum jatuh tempo dirasa tidak tepat dengan alasan:
Pertama, hutang dalam murabahah tidak sama dengan modal milik shahib al-mal dalam
mudharabah maupun musyarakah. Maka mengkonstruksi tuntutan dalam gugatan mudharabah,
musyarakah dan kredit konvensional saat kredit belum jatuh tempo akan lebih mudah dan
rasional dari pada menutut pemenuhan pembayaran dalam akad murabahah;
Sebagaimana diketahui bahwa menurut hukum, ada beberapa sanksi yang dapat
dijatuhkan kepada debitur yang telah dianggap wanprestasi, yaitu :

14
1. Membayar kerugian yang diderita kreditur;
2. Pembatalan perjanjian;
3. Peralihan resiko;
4. Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.
Maka tuntutan wanprestasi pada akad mudharabah, musyarakah dan kredit konvensional
dapat dikonstruksi sebagai berikut:
1. Tuntutan wanprestasi atas akad mudharabah dan musyarakah adalah pengembalian modal
dan nisbah bagi hasil;
2. Tuntutan wanprestasi atas kredit konvensional adalah sisa angsuran pokok/kredit plus bunga;
Tuntutan sanksi atas transaksi diatas, bisa dikonstruksi secara rasional jika dimohonkan
eksekusi lelang ketika kredit belum jatuh tempo. Sedangkan untuk akad murabahah unsurnya
tidak ada modal/kredit dan tidak ada bunga. Memang dalam murabahah ada al-tsaman al-awwal
(harga perolehan bank) tetapi bank tidak mungkin mau hanya menuntut al-tsaman al-awwal,
karena bank akan merasa rugi. Jika bank menuntut pelunasan atas sisa kewajiban yang mestinya
akan berakhir 8 tahun kemudian, maka akan sangat memberatkan/merugikan nasabah. Disinilah
delematisnya penerapan akad murabahah pada perbankan syariah jika terjadi macet.
Kedua, pada dasarnya semua akad syari‟ah tidak berbasis bunga, sehingga semestinya tidak ada
pengaruh waktu. Maka dalam Ekonomi Syariah, terdapat prinsip tidak boleh ada “time velue of
money” yaitu prinsip yang menyebutkan bahwa uang sebesar satu rupiah yang diterima saat ini,
lebih bernilai dibanding satu rupiah yang akan diterima pada waktu yang akan datang, karena
prinsip ini merupakan ciri dari transaksi konvensional yang menjalankan prinsip bunga yang
ribawi; Dengan kata lain bahwa dalam Akad Murabahah secara hukum tidak dapat dibenarkan
eksekusi lelang atas Hak Tanggungan atas dasar Wanprestasi di tengah-tengah masa angsuran
masih berjalan atau masa angsuran belum berakhir. Jika demikian sama halnya menjalankan
“time-velue of money” yang merupakan ciri menjalankan riba al-nasi‟ah yaitu riba karena
penagguhan; Tepatnya dalam Akad Murabahah eksekusi lelang atas Hak Tanggungan untuk
pembayaran seluruh harga yang disepakati harus menunggu sampai berakhirnya masa angsuran;
Maka disinilah kreditur yang niat dan tujuan semula ingin membantu nasabah agar
perekonomiannya dapat berkembang dengan membuka usaha, mengetrapkan firman Allah dalam
Al Qur‟an Surat Al Baqarah ayat 280 mengajarkan bahwa bilamana si berhutang mendapatkan
kesulitan, hendaklah ia diberikan tangguh :

15
       

Artinya: Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia

kelapangan”

Moral etis yang terkandung dalam ayat tersebut mengajarkan kepada Bank selaku
kreditur, untuk memberikan tangguh kepada debitur yang tengah mendapatkan kesulitan,
bukankah Bank telah mendapatkan jaminan pelunasan dari nasabah berupa yang telah diikat
dengan Pembebanan Hak Tanggungan;
Ketiga; Angsuran dalam akad murabahah substansinya hanya satu, yaitu bayar harga tidak ada
unsur bunga. Sedangkan angsuran dalam kredit konvensional komponennya berupa angsuran
pokok dan bunga, mungkin ditambah denda dan lain-lain. Dari angsuran ke angsuran atau dari
bulan ke bulan, angsuran pokok terus berkurang dan mengecil. Tuntutan gugatan wanprestasi
atas kredit konvensional adalah pengembalian sisa pokok (pinjaman) plus bunga, kerugian, biaya
dan lain sebagainya .
 Pada akad mudharabah, tuntutan wanprestasi yang logis adalah pengembalian modal
shahibul maal plus nisbah keuntungan yang diperjanjikan;
 Pada akad musyarakah, tuntutan wanprestasi yang logis adalah pengembalian modal
musyarik plus nisbah yang diperjajikan;
Karenanya jika Bank menuntut pemenuhan pembayaran seluruh harga yang
komposisinya adalah harga perolehan Bank (al-tsaman al-awwal) plus keuntungan bank (al-ribh)
atau margin, padahal pengangsuran masih belum jatuh tempo, sama halnya Bank menutut
pemenuhan seluruh harga, walaupun sisa waktu angsuran belum berakhir. Jika demikian dalam
gugatan wanprestasi Bank Syariah akan melanggar prinsip Time value of momey.
Keempat: Sifat serta merta eksekusi lelang atas Hak Tanggungan tidak dapat begitu saja
dilaksanakan dalam akad murabahah yang belum jatuh tempo, dengan alasan rasa keadilan.
Karena itu proses mediasi maupun litigasi perlu ada terlebih dahulu untuk mencari titik temu
antara Bank dengan nasabah terhadap pembayaran harga yang proporsional.
Kelima: Nampaknya alasan wanprestasi sebagai lembaga yang semual untuk menyelesaikan
sengketa-sengketa utang-piutang konvensional yang diatur dalam hukum perdata yang diatur
dalam BW, tidak tepat untuk dasar tuntutan dalam akad syariah;

16
Contoh Kasus:
Untuk lebih memperjelas paparan diatas, penulis paparkan sebuah kasus yang telah
diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Agama Mataram yang kasus posinya pada pokoknya
sebagai berikut:
- Nasabah “S” pada bulan Maret 2015, mengadakan 2 transaksi akad murabahah masing-masin
sebesar Rp. 400.000.000,- dengan Bank BRI Syariah Mataram untuk barang obat-
obatan/modal dagangan untuk mengisi Apoteknya;
- Disetujui harga perolehan Bank (al-tsaman al-awwal) sebesar Rp. 800.000.000,- dijual oleh
Bank dengan keuntungan Bank (al-ribh) sebesar Rp. 748.608.000,- sehingga harga yang
harus dibayar oleh nasabah “S” sebesar Rp. 1.548.608.000,- (satu milyat lima ratus juta enam
ratus delapan ribu rupiah) yang dapat diangsur selama 10 tahun = 120 bulan sebesar Rp.
12.906.000,-. Setiap bulan, angsuran akan berakhir Maret 2026.
- Akad murabahah diikuti dengan pengikatan/pembebanan Hak Tanggungan No 51/2015,
tanggal 4 April 2015 dan nomor 54/2015 tanggal 19 April 2015 dengan 4 (empat) bidang
tanah hak milik nasabah “S” sebagai jaminan;
- Nasib sial menimpa nasabah “S”, karena akad pembiayaan Murabahah baru berjalan 8 bulan
tepatnya pada bulan Nopember 2015, Apotek milik nasabaha “S” dibobol maling dan barang
dagangan dikuras habis oleh pencuri, Akibatnya nasabah “S” tidak dapat berdagang obat
apotek tutup, sehingga sejak Nopember 2015 nasabah “S” tidak dapat mengangsur bank
(pembayaran macet).
- Setelah berkali-kali negoisasi antara Bank dan Nasabah, bahkan pernah dilakukan
restrukturisasi dengan perjanjian addendum dengan konversi murabahah dengan akad
musyarakah, tetapi tetap saja nasabah tidak berkemampuan membayar angsuran;
- Pada bulan Januari 2017 Bank BRI Syari‟ah mengajukan eksekusi lelang kepada KPKNL
Mataram, setelah Bank melakukan somasi 3 kali kepada nasabah “S”.
- Dalam surat permohonan lelangnya kepada KPKNL, Bank BRI Syariah memohon pada
KPKNL melelang 4 obyek jaminan untuk pemenuhan sisa pembayaran utang nasabah “S”
sebesar Rp. 1.496.974.000,- yang telah diperjanjikan dalam Akta Hak Tanggungan; (dari
total pembayaran sebesar Rp. 1.548.608.000,- dikurangi angsuran yang telah masuk selama 4
bulan sebesar Rp. 12.906.000,- x 4 = Rp. 51.624.000,-

17
- Atas pemberitahuan lelang dari KPKNL nasabah “S” berkeberatan dan karenanya kemudian
nasabah “S” mengajukan perlawanan kepada Pengadilan Agama Mataram;
- Alasan keberatan Nasabah “S” adalah karena menurut nasabah “S” permohonan lelang oleh
Bank BRI Syariah kepada KPKNL dirasa tidak adil dan dhalim, karena harga awal yang
hanya sebesar Rp. 800.000.000,- dalam tempo 20 bulan nasabah “S” harus
memenuhi/membayar sisa pembayaran murabahah sebesar Rp.1.496.974.000,- yang
semestinya harus diangsur oleh nasabah “S” dalam tempo selama 120 bulan yang jatuh
temponya masih nanti pada Oktober 2026;
- Menurut nasabah pelelangan hanya bisa dilakukan nanti setelah jatuh tempo, angsuran
murabahah berakhir tahun 2026.
Dilain pihak, Bank BRI Syariah, memang merasa kesulitan mengkonstruksi tuntutan
kerugian yang diderita bank dalam akad murabahah selain menuntut pemenuhan seluruh harga
(al-tsaman al-akhir) yang komposisinya terdiri al-tsaman al-awwal dan al-ribh. Sedangkan
menurut KUHPerdata tuntutan akibat perbuatan wanprestasi meliputi hukuman atau sanksi
berupa:
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi);
2. Pembatalan perjanjian;
3. Peralihan resiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat tidak dipenuhinya
kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Disamping debitur harus menanggung hal tesebut diatas, maka yang dapat dilakukan oleh
kreditur dalam menghadapi debitur yang wanprestasi ada lima kemungkinan sebagai berikut
(Pasal 1276 KUHPerdata):
1. Memenuhi/melaksanakan perjanjian;
2. Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi;
3. Membayar ganti rugi;
4. Membatalkan perjanjian; dan
5. Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi.
Sementara ganti rugi yang dapat dituntut dalam hukum perdata menurut Pasal 1243
KUHPerdata. terdiri dari biaya, rugi, dan bunga” (Pasal 1244 s.d. 1246 KUHPerdata);

18
- Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh
suatu pihak.
- Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan
oleh kelalaian si debitur.
- Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayarkan atau
dihitung oleh kreditur.
Biaya, ganti rugi dan bunga sebagaimana diatur dalam hukum perdata diatas, tidak ada
dalam nomenklatur akad murabahah. Satu-satunya tuntutan wanprestasi dalam akad murabahah
yang logis adalah pemenuhan harga perolehan bank plus margin yang telah diperjanjikan,
walaupun dapat saja Bank memberikan potongan dalam besaran yang wajar tanpa diperjanjikan
dimuka sebagaimana diatur dalam fatwa DSN-MUI nomor 16/DSN-MUI/IX/2000. Namun
secara legal formal tuntutan wanprestasi atas akad murabahah adalah pemenuhan seluruh harga
yang telah diperjanjikan antara Bank dan Nasabah.
Disinilah problem hukum eksekusi lelang akad murabahah saat jatuh tempo belum
terlampaui.
Kesimpulan
1. Permohonan eksekusi lelang Hak Tanggungan untuk pelunasan utang dalam akad
murabahah dengan mendasarkan wanprestasi saat belum jatuh tempo tidak serta merta
sebagaimana sifat istimewa Hak Tanggungan, karena melahirkan ketidakadilan pada nasabah
dan mengesankan bank syariah menjalankan prinsip “time velue of money”, yang menyerupai
(tasabuh) dengan riba al-nasi‟ah karena waktu diberikan nilai harga secara tersendiri;
2. Jika ada pengajuan Eksekusi Hak Tanggungan atas akad murabahah yang belum jatuh tempo
kepada Pengadilan Agama dalam waktu bersamaan ada perlawanan, Maka pengadilan harus
menangguhkan eksekusi sampai adanya putusan perlawanan berkekuatan hukum tetap.
3. Eksekusi Hak Tanggungan atas akad murabahah, harus menunggu pelunasan jatuh tempo ;
4. Alasan wanprestasi dalam KHUPerdata tidak tepat sebagai alas gugat dalam akad
murabahah yang belum jatuh tempo, Wanprestasi dalam akad murabahah jika nasabah telah
tidak memenuhi pembayaran angsuran dan telah jatuh tempo.
5. Solusi yang tepat permohonan eksekusi lelang atas dasar Hak Tanggungan untuk akad
murabahah yang belum jatuh tempo adalah mediasi untuk mencari/menyepakati pembayaran

19
harga secara proposional dengan mempertimbangkan margin yang adil bagi kedua belah
pihak (bank dan nasabah).
Mataram, 20 April 2017

20

Anda mungkin juga menyukai