1. Tuan X kisaran usia 51 tahun, dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit tipe
A oleh keluarganya karena mengalami penurunan kesadaran. Riwayat penyakit pasien
diketahui batuk-batuk disertai demam sejak 1 minggu dan mulai sesak 3 hari terakhir
a. Apa hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan yang dialami Tuan X?
Keluhan yang dialami Tn. X (batuk-batuk dan demam) dapat dialami oleh setiap orang
pada usia berapapun, namun balita dan usia lanjut lebih rentan terhadap penyakit
infeksi karena pada balita sistem pertahanan tubuh belum stabil, sedangkan pada usia
lanjut sistem pertahanan tubuhnya sudah menurun (Maryani & Muliani, 2010).
Berdasarkan Riskesdas 2013, prevalensi tertinggi pneumonia (salah satu diagnosis
banding berdasarkan keluhan Tn. X) pada kelompok usia 1-4 tahun. Insidens tertinggi
pada usia 12-23 bulan (21,7 permil), usia 24-35 bulan (21 per mil), 36-47 bulan (18 per
mil), 48-59 bulan (17 per mil) dan 0-11 bulan (13,6 per mil). Prognosis penyakit akan
lebih baik pada usia muda karena respon inflamasi yang terjadi lebih baik dibandingkan
usia tua. Tidak terdapat perbedaan kejadian baik jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
c. Apa makna klinis dari riwayat batuk-batuk disertai demam sejak 1 minggu dan sesak 3
hari terakhir?
Riwayat batuk-batuk disertai demam sejak 1 minggu dan sesak 3 hari terakhir
merupakan gejala klinis yang dapat ditemukan pada pasien yang mengalami infeksi
saluran pernapasan. Pasien dengan riwayat infeksi saluran pernapasan salah satu
penyebab paling umum dari terjadinya sepsis. Infeksi saluran napas akut yang paling
sering menjadi penyebab sepsis adalah pneumonia.
Skala GCS dibuat untuk menilai keparahan penurunan kesadaran dan memprediksi
awal tingkat kerusakan otak. Terdiri dari 3 indikator yaitu bukaan mata, respon verbal,
dan respon motorik.
(1) Bukaan Mata (nilai 1-4).
- (E4) Spontan: mata terbuka dan fokus, pasien bisa mengenali pemeriksa dan
mengikuti pergerakan mata.
- (E3) Terhadap suara: pasien membuka mata ketika diajak bicara, dipanggil atau
diperintahkan.
- (E2) Terhadap nyeri: pasien membuka mata jika diberi stimulus nyeri.
- (E1) Tidak membuka mata dengan respon apapun.
l. Apa interpretasi dan mekanisme abnormalitas dari hasil skor quick SOFA?
No. Hasil Nilai Normal Interpretasi Mekanisme
Pemeriksaan Abnormalitas
(quickSOFA atau qSOFA) diperkenalkan oleh kelompok Sepsis-3 pada Februari 2016
sebagai versi sederhana dari Skor SOFA sebagai cara awal untuk mengidentifikasi
pasien yang berisiko tinggi dengan prognosis yang buruk dengan infeksi. Skor qSOFA
menyederhanakan skor SOFA hanya memasukkan 3 kriteria klinis. Skor qSOFA dapat
dengan mudah dan cepat diulang secara serial pada pasien.
Skor tersebut berkisar dari 0 sampai 3 poin. Skor qSOFA ≥2 mengindikasikan terdapat
disfungsi organ dan <2 tidak berisiko mengalami disfungsi organ, namun jika pasien
masih suspek sepsis lanjutkan terapi, monitor, dan evaluasi ulang dengan melakukan
pemeriksaan serial qSOFA. qSOFA merupakan salah satu dasar untuk mendiagnosis
apakah pasien dengan kecurigaan infeksi mengalami sepsis atau tidak sehingga
diperkirakan skor tersebut dapat menjadi prediktor mortalitas pada sepsis dan syok
sepsis.
SYOK SEPTIK
ALGORITMA DIAGNOSIS
Diagnosis syok septik meliputi diagnosis klinis syok dengan konfirmasi
mikrobiologi etiologi infeksi seperti kultur darah positif atau apus gram dari buffy coat
serum. Spesimen darah, urin, dan cairan serebrospinal sebagaimana eksudat lain, abses dan
lesi kulit yang terlihat harus dikultur dan dilakukan pemeriksaan apus untuk menentukan
organisme. Pemeriksaan hitung sel darah, hitung trombosit, waktu protrombin dan
tromboplastin parsial, kadar fibrinogen serta D-dimer, analisis gas darah, profil ginjal dan
hati, serta kalsium ion harus dilakukan. Pasien yang menderita sepsis atau suspek sepsis
harus dirawat di ruang rawat intensif yang mampu melakukan pemantauan secara intensif
serta kontinu diukur tekanan vena sentral, tekanan darah, dan cardiac output.
Tanda-tanda klinis yang dapat menyebabkan dokter untuk mempertimbangkan
sepsis dalam diagnosis diferensial, yaitu demam atau hipotermia, takikardi yang tidak jelas,
takipnea yang tidak jelas, tanda-tanda vasodilatasi perifer, syok dan perubahan status
mental yang tidak dapat dijelaskan. Pengukuran hemodinamik yang menunjukkan syok
septik, yaitu curah jantung meningkat dengan resistensi vaskuler sistemik yang rendah.
Diagnosis pasien syok septik akan menjadi lebih pasti dengan hasil pemeriksaan
laboraturium dimana terjadi abnormalitas hitung darah lengkap, faktor pembekuan, dan
reaktan fase akut yang menunjukkan pasien mengalami sepsis.
Gambar 1. Kriteria Klinis Pasien Sepsis dan Syok Sepsis.
Sumber:http://www.kalbemed.com/.pdf
Variable Umum
Temperatur >38.3° c atau < 36° c
HR > 90x/menit
Takipnea
Penurunan status mental
Signifikan edema > 20 ml/kg dalam 24 jam
Hiperglikemia (>120 mg/dl) pada pasien non
diabetes
Variabel inflamasi
WBC >12000,<4000 mm
C-reaktif protein meningkat
Prokalsitonin plasma meningkat
Variabel heodinamik
Sistolik BP <90 mmHg/
MAP < 70 mmHg
SVO2 > 70 %
DEFINISI
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon tubuh yang
berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme ditandai dengan panas, takikardia,
takipnea, hipotensi dan disfungsi organ berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah.
Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory response
syndrome) dengan etiologi mikroba yang terbukti atau dicurigai. Biomarker sepsis (CCM
2003) adalah prokalsitonin (PcT); C-reactive Protein (CrP).
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan 2 dari gejala sebagai
berikut:
Hipertermia/hipotermia (>38,3°C; <35,6°C)
Takipnea (respiratory rate >20/menit)
Takikardia (pulse >100/menit)
Leukositosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm dengan >10% cell immature
Sepsis
SIRS disertai infeksi
Sepsis Berat
Sepsis yang disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ, hipotensi, atau
hipoperfusi seperti menurunnya fungsi ginjal (ditandai oliguria atau anuria), hipoksemia,
dan perubahan status mental. Syok septik merupakan sepsis dengan tekanan darah arteri
Syok Septik
Syok septik seperti juga syok yang lain merupakan suatu sindrom di mana terjadi
suplai oksigen ke sel/ jaringan yang tidak adekuat. Syok septik merupakan salah satu
bentuk dari sepsis berat (severe sepsis) yang memiliki karakteristik hipotensi yang sulit
diatasi dan penurunan perfusi jaringan. Biasanya hal ini terjadi ketika intervensi awal yang
dilakukan untuk menanggulangi masalah hemodinamik gagal dilakukan. Syok septik
merupakan keadaan di mana terjadi penurunan tekanan darah (tekanan darah sistolik
kurang dari 90 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 40 mmHg) disertai
tanda kegagalan sirkulasi, meskipun telah dilakukan resusitasi cairan secara adekuat atau
memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ.
Syok septik merupakan keadaan gawat darurat yang memerlukan penanganan
segera, karena semakin cepat syok dapat teratasi, keberhasilan pengobatan akan
meningkatkan dan menurunkan risiko kegagalan organ dan kematian. Oleh karena itu
strategi penatalaksanaan syok septik yang tepat dan optimal perlu diketahui untuk
mendapatkan hasil yang diharapkan.
EPIDEMIOLOGI
Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian di Amerika
Serikat dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis. Sekitar 80% kasus sepsis
berat di unit perawatan intensif di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun 1990-an terjadi
setelah pasien masuk untuk penyebab yang tidak terkait. Kejadian sepsis meningkat hampir
empat kali lipat dari tahun 1979-2000, menjadi sekitar 660.000 kasus (240 kasus per
100.000 penduduk) sepsis atau syok septik per tahun di Amerika Serikat (Martin GS et al,
2012).
Angka mortalitas pasien sepsis mencapai 30% dan akan meningkat menjadi 40%
pada pasien usia tua sedangkan angka mortalitas penderita syok septik mencapai 50%.
Meskipun selalu terjadi perkembangan antibiotik dan terapi perawatan intensif, Sepsis
menimbulkan angka kematian yang tinggi dihampir semua ICU (Kasper,2005). Dalam
beberapa tahun terakhir, kejadian syok septik cukup tinggi. Hal ini disebabkan cukup
banyak faktor predisposisi untuk terjadinya sepsis antara lain diabetes mellitus, sirosis
hepatis, alkoholisme, leukemia, limfoma, keganasan, penggunaan obat sitotoksik dan
immunosupresan, nutrisi parenteral dan sonde, infeksi traktus urinarius dan
gastrointestinal. Di Amerika Serikat syok septik adalah penyebab kematian yang sering di
ruang ICU (Schwarz dan Hilfiker, 2004)
ETIOLOGI
Sepsis merupakan respon terhadap setiap kelas mikroorganisme. Dari hasil kultur
darah ditemukan bakteri dan jamur 20-40% kasus dari sepsis. Bakteri gram negatif dan
gram positif merupakan 70% dari penyebab infeksi sepsis berat dan sisanya jamur atau
gabungan beberapa mikroorganisme. Pada pasien yang kultur darahnya negatif, penyebab
infeksi tersebut biasanya diperiksa dengan menggunakan kultur lainnya atau pemeriksaan
mikroskopis (Munford, 2008). Penelitian terbaru mengkonfirmasi bahwa infeksi dengan
sumber lokasi saluran pernapasan dan urogenital adalah penyebab paling umum dari sepsis
(Shapiro, 2010).
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan persentase 60-70%
dari kasus, yang menghasilkan berbagai macam produk yang dapat menstimulasi sel imun.
Sel tersebut kemudian dipacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan
penting dalam sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS berfungsi merangsang
peradangan pada jaringan, demam, dan syok pada pasien yang mengalami infeksi. Bakteri
gram positif lebih jarang menyebabkan sepsis jika dibandingkan bakteri gram negatif.
Angka kejadiannya hanya berkisar 20-40% dari keseluruhan kasus. Peptidoglikan
diketahui dapat menyebabkan agregasi trombosit.
Eksotoksin berbagai kuman juga dapat menjadi faktor penyebab karena dapat
merusak integritas membran sel imun secara langsung, namun dari semua faktor tersebut
LPS endotoksin gram negatif yang dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. LPS
tidak mempunyai sifat toksik, tetapi merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang
bertanggung jawab terhadap sepsis.
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Jenis infeksi yang
sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:
1. Infeksi paru-paru (pneumonia)
2. Flu (influenza)
3. Appendisitis
4. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
5. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)
6. Infeksi kulit, seperti selulitis (sering disebabkan ketika infus atau kateter telah
dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit)
7. Infeksi pasca operasi
8. Infeksi sistem saraf pusat, seperti meningitis atau ensefalitis.
FAKTOR RISIKO
Usia
Pada usia muda dapat memberikan respon inflamasi yang lebih baik dibandingkan usia
tua.
Jenis kelamin
Perempuan kurang mungkin untuk mengalami kematian yang berhubungan dengan
sepsis dibandingkan laki-laki di semua kelompok ras/etnis. Laki-laki 27% lebih
mungkin untuk mengalami kematian terkait sepsis, namun risiko untuk pria Asia dua
kali lebih besar, sedangkan untuk laki-laki Amerika Indian/Alaska Pribumi
kemungkinan mengalami kematian berhubungan dengan sepsis hanya 7%.
Ras
Tingkat mortalitas terkait sepsis tertinggi di antara orang kulit hitam dan terendah di
antara orang Asia.
Penyakit komorbid
Kondisi komorbiditas kronis yang mengubah fungsi kekebalan tubuh (gagal ginjal
kronis, diabetes mellitus, HIV, penyalahgunaan alkohol) lebih umum pada pasien
sepsis non kulit putih, dan komorbiditas kumulatif dikaitkan dengan disfungsi organ
akut yang lebih berat.
Genetik
Pada penelitian Hubacek JA, et al menunjukkan bahwa polimorfisme umum dalam gen
untuk Lipopolysaccharide Binding Protein (LBP) dalam kombinasi dengan jenis
kelamin laki-laki berhubungan dengan peningkatan risiko untuk pengembangan sepsis
dan, lebih jauh lagi, mungkin berhubungan dengan hasil yang tidak menguntungkan.
Penelitian ini mendukung peran imunomodulator penting dari LBP di sepsis Gram-
negatif dan menunjukkan bahwa tes genetik dapat membantu untuk identifikasi pasien
dengan respon yang tidak menguntungkan untuk infeksi Gram-negatif.
Terapi kortikosteroid
Pasien yang menerima steroid kronis memiliki peningkatan kerentanan terhadap
berbagai jenis infeksi. Risiko infeksi berhubungan dengan dosis steroid dan durasi
terapi. Meskipun bakteri piogenik merupakan patogen yang paling umum, penggunaan
steroid kronis meningkatkan risiko infeksi dengan patogen intraseluler seperti Listeria,
jamur, virus herpes, dan parasit tertentu. Gejala klinis yang dihasilkan dari sebuah
respon host sistemik terhadap infeksi mengakibatkan sepsis.
Kemoterapi
Obat-obatan yang digunakan dalam kemoterapi tidak dapat membedakan antara sel-sel
kanker dan jenis sel lain yang tumbuh cepat, seperti sel-sel darah, sel-sel kulit. Orang
yang menerima kemoterapi berisiko untuk terkena infeksi ketika jumlah sel darah putih
mereka rendah. Sel darah putih adalah pertahanan utama tubuh terhadap infeksi.
Kondisi ini, yang disebut neutropenia, adalah umum setelah menerima kemoterapi.
Untuk pasien dengan kondisi ini, setiap infeksi dapat menjadi serius dengan cepat.
Menurut Penack O et al, sepsis merupakan penyebab utama kematian pada pasien
kanker neutropenia.
Obesitas
Obesitas dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan
sepsis akut. Menurut penelitian Henry Wang, Russell Griffin et al, didapatkan hasil
bahwa obesitas pada tahap stabil kesehatan secara independen terkait dengan kejadian
sepsis di masa depan. Lingkar pinggang adalah prediktor risiko sepsis di masa depan
yang lebih baik daripada BMI, namun pada penelitian Kuperman EF et al, diketahui
bahwa obesitas bersifat protektif pada mortalitas sepsis rawat inap dalam studi kohort,
tapi sifat protektif ini berhubungan dengan adanya komorbiditas resistensi insulin dan
diabetes.
MANIFESTASI KLINIS
1. Manifestasi Kardiovaskular
- Perubahan sirkulasi
Karakteristik hemodinamik utama dari syok septik adalah rendahnya tahanan
vaskular sitemik, sebagian besar karena vasodilatasi yang terjadi sekunder terhadap efek-
efek berbagai mediator ( prostaglandin, kinin, histamin dan endorfin). Mediator-mediator
yang sama tersebut juga dapat menyebabkan meningkatnya permeabelitas kapiler,
mengakibatkan berkurangnya volume intravaskular menembus membran yang bocor,
dengan demikian mengurangi volume sirkulasi yang efektif. Dalam berespon terhadap
penurunan dan volume yang bersirkulasi, curah jantung biasanya tinggi tetapi tidak
mencukupi untuk mempertahankan perfusi jaringan dan organ. Aliran darah yang tidak
mencukupi sebagian dimanifestasikan oleh terjadinya asidosis laktat.
Dalam hubungnnya dengan vasodilatasi dan tahanan vaskular sitemik yang rendah,
terjadi maldistribusi aliran darah. Mediator-mediator vasoaktif yang dilepaskan oleh
sistemik menyebabkan vasodilatasi dan vasokonstriksi dari pembuluh darah jaringan
tertentu, mengarah pada aliran yang tidak mencukupi ke beberapa jaringan sedangkan
jaringan lainnya menerima aliran yang berlebihan. Selain itu terjadi respon inflamasi massif
pada jaringan, mengakibatkan sumbatan kapiler karena adanya agregasi leukosit dan
penimbunan fibrin, dan berakibat kerusakan organ dan endotel yang tidak dapat pulih.
- Perubahan miokardial
Kinerja miokardial mengalami gangguan dalam bentuk penurunan fraksi ejeksi
ventrikel dan juga gangguan kontraktilitas. Terganggunya fungsi jantung juga diakibatkan
oleh keadaan metabolik abnormal yang diakibatkan oleh syok, yaitu adanya asidosis laktat,
yang menurunkan responsivitas terhadap katekolamin.
Dua bentuk pola disfungsi jantung yang berbeda terdapat pada syok septik. Bentuk
pertama dicirikan dengan curah jantung yang tinggi dan tahanan vaskular sitemik yang
rendah, kondisi ini disebut dengan syok hiperdinamik. Bentuk kedua ditandai dengan curah
jantung yang rendah dan peningkatan tahanan vaskular sitemik disebut sebagai syok
hipodinamik.
2. Manifestasi Hematologi
Bakteri dan toksinnya menyebabkan aktivasi komplemen. Karena sepsis melibatkan
respon inflamasi global, aktivasi komplemen dapat menunjang respon-respon yang akhirnya
menjadi keadaan yang lebih buruk ketimbang melindungi. Komplemen menyebabkan sel-
sel mast melepaskan histamin. Histamin merangsang vasodilatasi dan meningkatnya
permeabelitas kapiler. Proses ini selanjutnya menyebabkan perubahan sirkulasi dalam
volume serta timbulnya edema interstisial.
Abnormalitas platelet juga terjadi pada syok septik karena endotoksin secara tidak
langsung menyebabkan agregasi platelet dan selanjutnya pelepasan lebih banyak bahan-
bahan vasoaktif (serotonin, tromboksan A). Platelet teragregasi yang bersirkulasi telah
diidentifikasi pada mikrovaskular, menyebabkan sumbatan aliran darah dan melemahnya
metabolism selular. Selain itu endotoksin juga mengaktivasi sistem koagulasi, dan
selanjutnya dengan menipisnya faktor-faktor penggumpalan, koagulapati berpotensi untuk
menjadi koagulasi intravaskular disemanata.
3. Manifestasi Metabolik
Tubuh menunjukkan ketidakmampuan progresif untuk menggunakan glukosa,
protein, dan lemak sebagai sumber energi. Hiperglikemia sering dijumpai pada pada awal
syok karena peningkatan glukoneogenesis dan resisten insulin, yang menghalangi ambilan
glukosa ke dalam sel. Seiring berlanjutnya syok, terjadi hipoglikemia karena persedian
glikogen menipis dan suplai protein dan lemak perifer tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan metabolik tubuh.
Pemecahan protein terjadi pada syok septik, ditunjukkan oleh tingginya eksresi
nitrogen urin. Protein otot dipecah menjadi asam-asam amino, yang sebagian digunakan
untuk oksidasi dan sebagian lain dibawa ke hepar untuk digunakan pada proses
glukoneogenesis. Pada syok tahap akhir, hepar tidak mampu menggunakan asam-asam
amino karena disfungsi metaboliknya, dan selanjutnya asam amino tersebut terakumulasi
dalam darah.
Dengan keadaan syok berkembang terus, jaringan adiposa dipecah untuk
menyediakan lipid bagi hepar untuk memproduksi energi, metabolisme lipid menghasilkan
keton,yang kemudian digunakan pada Siklus Krebs (metabolisme oksidatif), dengan
demikian menyebabkan pembentukan laktat. Pengaruh dari pada kekacauan metabolik ini
menyebabkan sel menjadi kekurangan energi. Defisit energi menyebabkan timbulnya
kegagalan banyak organ Pada keadaan multiple organ failure terjadi gangguan koagulasi,
respiratory distress syndrome, cedera ginjal akut, disfungsi hepatobilier, dan disfungsi
susunan saraf pusat.
Pada penelitian para ahli didapatkan bahwa tambah banyak disfungsi organ akan
meningkatkan angka mortalitas akibat sepsis. Pada susunan saraf pusat karena
terganggunya permeabelitas kapiler menyebabkan terjadinya edema otak sehingga terjadi
peningkatan tekanan intrakranial yang akan menyebabkan terjadinya destruksi seluler atau
nekrosis jaringan otak (Plum, 1983). Defisit neurologik fokal dapat terjadi akibat
meningkatnya agregasi platelet dan eritrosit sehingga menyumbat aliran darah serebral
sedangkan DIC dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan intra serebral.
4. Manifestasi Pulmonal
Endotoksin mempengaruhi paaru-paru baik langsung maupun tidak langsung.
Respon pulmonal awal adalah bronkokonstriksi, mengakibatkan hipertensi pulmonal dan
peningkatan kerja pernapasan. Neutrofil teraktivasi dan menginfiltrasi pembuluh darah
pulmonal, menyebabkan akumulasi air ekstravaskular paru-paru (edema pulmonal).
Neutrofil yang teraktivasi menghasilkan bahan-bahan lain yang mengubah integritas sel-sel
parenkim pulmonal, mengakibatkan peningkatan permeabilitas. Dengan terkumpulnya
cairan di interstisium, compliance paru berkurang, terjadinya gangguan pertukaran gas dan
terjadi hipoksemia.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi syok septik tidak terlepas dari patofisiologi sepsis itu sendiri dimana
endotoksin (lipopolisakarida) yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses
inflamasi yang melibatkan berbagai mediator inflamasi yaitu sitokin, neutrofil,
komplemen, NO dan berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan
proses homeostatis dimana terjadi keseimbangan antara proses inflamasi dan antiinflamasi.
Kemampuan homeostasis pada proses inflamasi ini terkait dengan faktor suseptibilitas
individu terhadap proses inflamasi tersebut. Bilamana terjadi proses inflamasi yang
melebihi kemampuan homeostatis, maka akan terjadi proses inflamasi yang maladaptif,
sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang bersifat destruktif. Keadaan tersebut akan
menimbulkan gangguan pada tingkat selular pada berbagai organ.
Gangguan pada tingkat sel yang juga menyebabkan disfungsi endotel, vasodilatasi
akibat pengaruh NO menyebabkan terjadinya maldistribusi volume darah sehingga terjadi
hipoperfusi jaringan dan syok. Proses ini mendasari terjadinya hipotensi dan syok pada
sepsis.
Berlanjutnya proses inflamasi yang maladapatif akan menyebabkan gangguan
fungsi berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/ MOF).
Proses MOF merupakan kerusakan (injury) pada tingkat selular (termasuk disfungsi
endotel), gangguan perfusi ke organ/jaringan sebagai akibat hipoperfusi, iskemia reperfusi
dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut berperan adalah
terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant substance), malnutrisi
kalori-protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit dan efek samping dari
terapi yang diberikan.
Gambar 1. Disfungsi organ multipel sebagai hasil akhir dari proses inflamasi
yang berlanjut.
↑ Capillary Vasodilation
Permiability
Platelet Clotting
Aggregation Cascade
Shunting of Fluids
intravascular to Interstitial
Hypermetobolism &
Metabolic
Derangements
Decreased Tissue
Perfusion
Catabolism of
Protein Direct Endothelial
Lactic Acidosis Cell Damage
Cellular Death
Death
Tahap awal syok septik dicirikan oleh fase hiperdinamik atau hangat sebagai
mekanisme kompensasi diaktifkan. Selama fase ini, vasodilatasi besar terjadi di pembuluh
vena dan arteri, menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik. Dilatasi vena
menurunkan arus vena kembali ke jantung dan menurunkan preload. Dilatasi arteri
menurunkan afterload. Vasodilatasi ini menyebabkan penurunan tekanan darah, tekanan
nadi melebar dan hangat, kulit flused. Peningkatan denyut jantung merupakan
kompensasi untuk mengimbangi hipotensi, peningkatan asidosis metabolik,
terstimulasinya sistem saraf simpatik, dan adrenal. Ventilasi/perfusi yang tidak seimbang
terjadi di paru-paru sebagai akibat dari vasokonstriksi paru sehingga frekuensi napas akan
meningkat untuk mengimbangi hipoksemia tersebut. Crackles terjadi karena
permeabilitas kapiler membran paru meningkat sehingga menyebabkan edema paru. Hasil
penilaian gas darah arteri menunjukkan alkalosis pernafasan, asidosis metabolik, dan
hipoksemia. Tingkat kesadaran menurun, pasien menjadi disorientasi, bingung, agresif,
atau lesu. Suhu tubuh pasien meningkat sebagai reaksi terhadap pirogen yang dibebaskan
oleh mikroorganisme yang menyerang. Ketika proses syok septik terus berlangsung,
kondisi pasien memburuk dan masuk ke dalam fase hipodinamik, dengan penurunan
output jantung dan hipotensi. Hasil dari fase kegagalan ventrikel yang disebabkan oleh
hipoksemia miokard, akibat faktor depresan miokardial, dan asidosis, untuk menghasilkan
peningkatan afterload. Takikardia terjadi karena tubuh berusaha untuk mengkompensasi
penurunan output jantung dan hipotensi. Vasokonstriksi perifer menyebabkan
peningkatan tekanan resistensi vaskular sistemik untuk mengimbangi penurunan tekanan
darah. Kulit pasien menjadi pucat, dingin dan lembap.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboraturium
Hasil laboratorium sering ditemukan asidosis metabolik (penurunan PaO2 dan peningkatan
PaCO2), trombositopenia, pemanjangan waktu protrombin dan tromboplastin parsial,
penurunan kadar fibrinogen serum dan peningkatan produk fibrin split, anemia, serta
perubahan morfologi dan jumlah neutrofil. Peningkatan neutrofil serta peningkatan
leukosit imatur, vakuolasi neutrofil, granular toksik, dan badan Dohle cenderung
menandakan infeksi bakteri. Neutropenia merupakan tanda kurang baik yang menandakan
perburukan sepsis. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan neutrofil dan
bakteri. Pada stadium awal meningitis, bakteri dapat dideteksi dalam cairan serebrospinal
sebelum terjadi suatu respons inflamasi.
Tabel 3. Indikator Laboratorium Penderita Sepsis.
Sumber: La Rosa, 2010.
Pemeriksaan penunjang lain yang digunakan foto toraks, pemeriksaan dengan prosedur
radiografi, dan radioisotop lain sesuai dengan dugaan sumber infeksi primer (Opal, 2012).
Pemeriksaan Radiologi
Pneumonia komunitas dapat didiagnosis berdasarkan manifestasi klinis yang
muncul, misal batuk, demam, produksi sputum dan nyeri dada pleuritis, disertai
pemeriksaan imanging paru, biasanya dengan foto toraks. Temuan pada pemeriksaan foto
toraks dapat berkisar dari suatu bercak infiltrat kecil di area udara sebagai konsolidasi lobar
dengan bronkogram udara hingga infiltrat alveolar difus atau infiltrat interstisial. Efusi
pleura dan terbentuknya kavitas pada rongga paru juga dapat ditemukan. Hasil foto toraks
juga dapat digunakan untuk menentukan derajat keparahan penyakit, dan terkadang juga
dapat menentukan dugaan etiologi, misal pneumatoceles pada infeksi Staphylococcus
aureus.
Pemeriksaan Mikrobiologi
Pemeriksaan ini bertujuan untuk dapat mengidentifikasi etiologi lebih pasti,
mengetahui jenis patogen yang sering menjadi penyebab infeksi di suatu daerah,
mengetahui tingkat resistensi suatu patogen, serta dapat memperkirakan jenis terapi
empirik apa yang perlu diberikan. Pengecatan gram pada sputum dapat membantu untuk
pemberian obat pada terapi empirik. Panduan IDSA/ATS juga merekomendasikan agar
spesimen sputum dapat diperoleh sebelum pemberian antibiotik untuk pertama kalinya.
Pengecatan gram itu sendiri juga dapat mengidentifikasi patogen tertentu melalui
karakteristik khas masing-masing pathogen seperti Streptococcus pneumoniae,
Staphylococcus aureus, dan bakteri gram lainnya . Tujuan lain dari pengecatan gram pada
sputum adalah untuk memastikan sputum sudah cocok atau belum untuk dijadikan kultur.
Kultur dapat dihasilkan dari spesimen sputum maupun darah. Kultur sputum dapat
membantu untuk mengidentifikasi patogen penyebab pneumonia komunitas kaitannya
dengan signifikansi epidemiologi, pola transmisi yang sering terjadi, atau adanya
resistensi.
TATALAKSANA
Early goal directed treatment, merupakan tatalaksana syok septik, dengan pemberian
terapi yang mencakup penyesuaian beban jantung, preload, afterload dan kontraktilitas
dengan oxygen delivery dan demand. Protokol tersebut mencakup pemberian cairan
kristaloid dan koloid 500 ml tiap 30 menit untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-
12 mmHg. Bila tekanan arteri rata-rata (MAP) kurang dari 65 mmHg, diberikan
vasopressor hingga >65 mmHg dan bila MAP > 90 mmHg berikan vasodilator. Dilakukan
evaluasi saturasi vena sentral (Scv O2), bila ScvO2 <70 %, dilakukan koreksi hematokrit
hingga di atas 30 %. Setelah CVP, MAP dan hematokrit optimal namun scvO2 <70%,
dimulai pemberian inotropik. Inotropik diturunkan bila MAP < 65 mmHg, atau frekuensi
jantung >120x/menit.
Tata laksana syok septik yang biasa digunakan pada Advanced Cardiac Life Support
(ACLS) dan Advanced Trauma Life Support (ATLS), meliputi 9 tahap sebagai berikut.
1. Stages ABC: Immediate Stabilization
Lakukan dengan segera upaya resusitasi untuk mempertahankan patensi dan keadekuatan
jalan napas, dan memastikan oksigenasi dan ventilasi. manajemen Penanganan hipotensi
pertama kali adalah dengan resusitasi volume secara agresif, baik dengan kristaloid
isotonik, atau dalam kombinasi dengan koloid. Jangan mengganggu denyut jantung: karena
takikardia adalah manuver kompensasi.
Airway harus dikontrol dan pasien diberikan oksigen dengan menggunakan ventilasi
mekanik . Hal ini biasanya membutuhkan intubasi endotrakeal dan ventilator. Tujuan dari
semua upaya resusitasi adalah untuk menjaga pengiriman oksigen tetap adekuat. Indikasi
untuk intubasi dan ventilasi mekanik adalah: kegagalan jalan napas, adanya perubahan
status mental, kegagalan ventilasi dan kegagalan untuk oksigenasi. Pada sepsis, oksigen
tambahan hampir selalu diperlukan. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan
kebutuhan oksigen oleh otot-otot pernafasan,bronkokonstriksi dan asidosis; penggunaan
ventilasi mekanis bertujuan untuk mengatasi hal tersebut.
Pemberian cairan resusitasi (kristaloid) seperti salin normal atau laktat Ringer. Pemberian
cairan dalam jumlah besar dapat menimbulkan redistribusi ke interstisial (ekstravaskular)
sehingga pasien dapat menjadi sangat edematous . Pemberian resusitasi kristaloid dapat
berhubungan dengan acidemia, karena hyperchloremia (disebut "asidosis dilutional").
Cairan Ringer Laktat tidak aman diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati
parah.
10. Step KL = Keep Looking. Have we adequately controlled the source? Are
there secondary sources of infection/inflammation.
- Monitor segala sesuatu yang mungkin terjadi, apakah sumber infeksi sudah teratasi dan
apakah ada sumber-sumber sekunder infeksi / peradangan.
- Tim perawatan harus selalu waspada terhadap sumber kontrol. Hal-hal yang harus
diwaspadai misalkan pasien tetap tidak stabil atau jika tanda-tanda infeksi baru muncul,
jumlah sel darah putih meningkat. Ingatlah infeksi baru cenderung datang dari
pernapasan, saluran kemih. Saluran cerna tidak boleh dilupakan karena dapat beresiko
terjadinya kolesistitis dan tukak lambung.
KOMPLIKASI
Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi komplikasi yang
mungkin terjadi meliputi:
1. Cedera Paru Akut (Acute Lung Injury) dan Sindrom Gangguan Fungsi Respirasi
Akut (Acute Respiratory Distress Syndrome)
Proses inflamasi dari sepsis menyebabkan kerusakan terutama pada paru.
Terbentuknya cairan inflamasi dalam alveoli mengganggu pertukaran gas,
mempermudah timbulnya kolaps paru, dan menurunkan komplian, dengan hasil
akhir gangguan fungsi respirasi dan hipoksemia. Komplikasi ALI/ ARDS timbul
pada banyak kasus sepsis atau sebagian besar kasus sepsis yang berat dan biasanya
mudah terlihat pada foto toraks, dalam bentuk opasitas paru bilateral yang konsisten
dengan edema paru. Pasien yang septik yang pada mulanya tidak memerlukan
ventilasi mekanik selanjutnya mungkin memerlukannya jika pasien mengalami
ALI/ ARDS setelah resusitasi cairan.
2. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
DIC yang disebabkan oleh sepsis akan mengaktivasi kaskade koagulasi secara difus
sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat yang sama, sistem fibrinolitik, yang
normalnya bertindak untuk mempertahankan kaskade pembekuan, diaktifkan
sehingga memulai spiral umpan balik dimana kedua sistem diaktifkan secara
konstan dan difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu diuraikan. Sejumlah besar
faktor pembekuan badan dan trombosit dikonsumsi dalam bekuan seperti ini.
Dengan demikian, pasien berisiko mengalami komplikasi akibat thrombosis dan
perdarahan. Timbulnya koagulopati pada sepsis berhubungan dengan hasil yang
lebih buruk.
3. Gagal jantung
Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik, dengan mekanisme
yang diperkirakan kemungkinannya adalah kerja langsung molekul inflamasi
ketimbang penurunan perfusi arteri koronaria. Sepsis memberikan beban kerja
jantung yang berlebihan, yang dapat memicu sindroma koronaria akut atau infark
miokardium, terutama pada pasien usia lanjut. Dengan demikian obat inotropic dan
vasopressor (yang paling sering menyebabkan takikardia) harus digunakan dengan
berhati-hati bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak dianjurkan.
4. Gangguan fungsi hati
Gangguan fungsi hati biasanya bermanifestasi sebagai ikterus kolestatik, dengan
peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkalinfosfatase. Fungsi sintetik
biasanya tidak berpengaruh kecuali pasien mempunyai status hemodinamik yang
tidak stabil dalam waktu yang lama.
5. Gagal ginjal
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama terjadinya gagal ginjal
pada keadaan sepsis, yang bermanifestasi sebagai oliguria, azotemia, dan sel-sel
peradangan pada urinalisis. Jika gagal ginjal berlangsung berat atau ginjal tidak
mendapatkan perfusi yang memadai, maka selanjutnya terapi penggantian fungsi
ginjal (misalnya hemodialisis) diindikasikan.
6. Sindroma disfungsi multiorgan
Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi diperlukan untuk
mempertahankan homeostasis.
Disfungsi primer : gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh infeksi
atau trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan fungsi
jantung/paru pada keadaan pneumonia yang berat.
Disfungsi sekunder : gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons
peradangan yang menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau ARDS
pada keadaan urosepsis.
PROGNOSIS
Dokter harus mengidentifikasi tingkat keparahan penyakit pada pasien dengan
infeksi dan memulai resusitasi agresif bagi pasien dengan potensi tinggi untuk menjadi
kritis. Meskipun pasien telah memenuhi kriteria SIRS, hal ini hanya mampu memberikan
sedikit prediksi dalam menentukan tingkat keparahan penyakit dan mortalitas. Angka
Mortalitas di Emergency Department Sepsis (MEDS) telah membuat skor sebagai metode
untuk mengelompokkan resiko mortalitas pasien dengan sepsis. Skor total dapat digunakan
untuk menilai risiko kematian. Jadi, semakin besar jumlah faktor risiko, semakin besar
kemungkinan pasien meninggal selama perawatan di ICU/UPI (Shapiro et al, 2010).
Pneumonia 2 poin
3B (Gawat darurat)
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan
pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan
pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.