Anda di halaman 1dari 40

Analisis Masalah

1. Tuan X kisaran usia 51 tahun, dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit tipe
A oleh keluarganya karena mengalami penurunan kesadaran. Riwayat penyakit pasien
diketahui batuk-batuk disertai demam sejak 1 minggu dan mulai sesak 3 hari terakhir
a. Apa hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan yang dialami Tuan X?
Keluhan yang dialami Tn. X (batuk-batuk dan demam) dapat dialami oleh setiap orang
pada usia berapapun, namun balita dan usia lanjut lebih rentan terhadap penyakit
infeksi karena pada balita sistem pertahanan tubuh belum stabil, sedangkan pada usia
lanjut sistem pertahanan tubuhnya sudah menurun (Maryani & Muliani, 2010).
Berdasarkan Riskesdas 2013, prevalensi tertinggi pneumonia (salah satu diagnosis
banding berdasarkan keluhan Tn. X) pada kelompok usia 1-4 tahun. Insidens tertinggi
pada usia 12-23 bulan (21,7 permil), usia 24-35 bulan (21 per mil), 36-47 bulan (18 per
mil), 48-59 bulan (17 per mil) dan 0-11 bulan (13,6 per mil). Prognosis penyakit akan
lebih baik pada usia muda karena respon inflamasi yang terjadi lebih baik dibandingkan
usia tua. Tidak terdapat perbedaan kejadian baik jenis kelamin laki-laki dan perempuan.

b. Apa penyebab penurunan kesadaran yang dialami Tuan X?


Patofisiologi syok septik tidak terlepas dari patofisiologi sepsis itu sendiri dimana
endotoksin (lipopolisakarida) yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses
inflamasi yang melibatkan berbagai mediator inflamasi yaitu sitokin, neutrofil,
komplemen, NO dan berbagai mediator lain. Sepsis dimulai dari adanya tanda klinis
respons inflamasi sistemik (meliputi demam, takikardi, takipnea, dan leukositosis),
kemudian berkembang menjadi hipotensi pada kondisi vasodilatasi perifer. Hipotensi
menyebabkan resistensi vaskular meningkat dan aliran darah menuju otak terganggu.
Akibatnya, otak tidak mampu menerima oksigen secara adekuat, dan hal ini
mengakibatkan penurunan kesadaran.

c. Apa makna klinis dari riwayat batuk-batuk disertai demam sejak 1 minggu dan sesak 3
hari terakhir?
Riwayat batuk-batuk disertai demam sejak 1 minggu dan sesak 3 hari terakhir
merupakan gejala klinis yang dapat ditemukan pada pasien yang mengalami infeksi
saluran pernapasan. Pasien dengan riwayat infeksi saluran pernapasan salah satu
penyebab paling umum dari terjadinya sepsis. Infeksi saluran napas akut yang paling
sering menjadi penyebab sepsis adalah pneumonia.

d. Bagaimana mekanisme penurunan kesadaran yang dialami Tuan X?


Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostatis dimana terjadi
keseimbangan antara proses inflamasi dan antiinflamasi. Kemampuan homeostasis
pada proses inflamasi ini terkait dengan faktor suseptibilitas individu terhadap proses
inflamasi tersebut. Bilamana terjadi proses inflamasi yang melebihi kemampuan
homeostatis, maka akan terjadi proses inflamasi yang maladaptif, sehingga terjadi
berbagai proses inflamasi yang bersifat destruktif. Keadaan tersebut akan menimbulkan
gangguan pada tingkat selular pada berbagai organ.
Gangguan pada tingkat sel yang juga menyebabkan disfungsi endotel,
vasodilatasi akibat pengaruh NO menyebabkan terjadinya maldistribusi volume darah
sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Proses ini mendasari terjadinya
hipotensi dan syok pada sepsis.
Berlanjutnya proses inflamasi yang maladapatif akan menyebabkan gangguan fungsi
berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/ MOF).
Salah satu organ yang dapat mengalami gangguan adalah otak. Proses MOF merupakan
kerusakan (injury) pada tingkat selular (termasuk disfungsi endotel), gangguan perfusi
ke organ/jaringan sebagai akibat hipoperfusi, iskemia reperfusi dan mikrotrombus.
Akibatnya, otak tidak mampu menerima oksigen secara adekuat, dan hal ini
mengakibatkan penurunan kesadaran.

2. Airway : Bersuara saat dipanggil


Breathing : RR: 42x/menit, SpO2: 92,5% (dengan udara bebas), gerakan
thoraks statis dan dinamis: simetris, auskultasi paru: vesikuler (+)
normal, ronkhi basah sedang paru kanan, tidak ada wheezing
Circulation : nadi:145x/menit (isi dan tegangan kurang)
Disability : respond to verbal (Skala AVPU), GCS E3M5V3
Exposure : temperatur: 39,5°C
Skor quick SOFA :3
a. Apa interpretasi dari hasil pemeriksaan airway?
No. Hasil Pemeriksaan Interpretasi

1. Bersuara saat dipanggil Normal


(Tidak ada gangguan obstruksi jalan napas

b. Bagaimana tatalaksana (patensi) airway pada kasus?

c. Apa interpretasi dan mekanisme abnormalitas dari hasil pemeriksaan breathing?


No. Hasil Nilai Normal Interpretasi Mekanisme Abnormalitas
Pemeriksaan
1. RR: 42x/menit 16-24x/menit Abnormal Infeksi  Pelepasan
(Takipnea) endotoksin mikroba
penyebab infeksi  Proses
inflamasi yang maladaptif
 Tahap awal syok septik
depresi miokard,
vasodilatasi masif,
maldistribusi volume
intravaskuler dan
pembentukan
mikrothrombus 
penurunan cardiac output
dan hipotensi  hipoperfusi
oksigen ke jaringan 
Takipnea terjadi karena
tubuh berusaha untuk
mengkompensasi
kekurangan perfusi
oksigen ke jaringan

2. SpO2: 92,5% 95-100% Abnormal Proses inflamasi pada sel


(dengan udara (Saturasi endotel  permeabilitas
bebas) oksigen endotel meningkat  darah
menurun) yang terkumpul menembus
membran pembuluh darah
(protein dan cairan bergeser
ke kompartemen interstisial
dan intrasellular) 
berkurangnya volume
intravaskular  volume
sirkulasi yang efektif
berkurang  Saturasi
oksigen di perifer
menurun
3. Gerakan Pergerakan Normal -
thoraks statis thoraks statis
dan dinamis: dan dinamis
simetris simetris, tidak
ada bagian
yang tertinggal
4. Auskultasi
paru:
- Vesikuler (+) Vesikuler Normal -
- ronkhi basah Tidak ada Abnormal Bunyi tambahan ronkhi
sedang paru ronkhi basah basah disebabkan oleh
kanan (suara napas adanya sekret di dalam
tambahan yang alveoli atau bronkiolus
terdengar tidak sehingga udara yang masuk
kontinyu pada saat inspirasi akan melewati
waktu inspirasi media cair sehingga timbul
seperti bunyi suara ronkhi basah. Ronkhi
ranting kering basah halus dan sedang
yang terbakar dapat disebabkan cairan di
alveoli misalnya pada
pneumonia dan edema paru,
sedangkan ronkhi basah
kasar misalnya pada
bronkiekstatis.
- tidak ada Tidak ada Normal -
wheezing wheezing
(tidak ada
obstruksi jalan
napas)

d. Bagaimana tatalaksana breathing pada kasus?


Dalam tatalaksana hipoksemia dan hipoksia semua faktor yang mempengaruhi baik
ventilasi, perfusi, delivery dan penggunaan oksigen perlu mendapat perhatian dan
dikoreksi. Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan
penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik perlu segera
dilakukan. Oksigenisasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya meningkatkan
saturasi oksigen di darah, meningkatkan transport oksigen dan memperbaiki utilisasi
oksigen di jaringan.
Metode dan peralatan minimal yang harus diperhatikan pada terapi O2:
1. Mengatur % fraksi O2 (% FiO2)
2. Mencegah akumulasi kelebihan CO2
3. Resistensi minimal untuk pernafasan
4. Efesiensi & ekonomis dalam penggunanan O2
5. Diterima oleh pasien PaO2 kurang dari 60 mmHg
Perkiraan konsentrasi oksigen pada alat masker semi rigid. Kecepatan aliran O2 % FiO2
yang pasti 4 L/mnt 0,35 ; 6 L/mnt 0,50 ; 8 L/mnt 0,55 ; 10 L/mnt 0,60 ; 12 L/mnt 0,64
; 15 L/mnt 0,70 ; Tidak ada peralatan yang dapat memberi O2 100 %, walaupun O2
dengan kecepatan > dari Peak Inspiratory Flow Rate (PIFR).
Metode Pemberian Oksigen
I. Sistem Aliran Rendah
1. Kateter Nasal Oksigen : Aliran 1 - 6 liter/ menit menghasilkan oksigen dengan
konsentrasi 24-44 % tergantung pola ventilasi pasien. Bahaya: Iritasi lambung,
pengeringan mukosa hidung, kemungkinan distensi lambung, epistaksis.
2. Kanula Nasal Oksigen : Aliran 1 - 6 liter / menit menghasilkan O2 dengan
konsentrasi 24 - 44 % tergantung pada polaventilasi pasien. Bahaya : Iritasi
hidung, pengeringan mukosa hidung, nyeri sinus dan epitaksis
3. Sungkup Muka Sederhana Oksigen : Aliran 5-8 liter/ menit O2 dengan
konsentrasi 40 - 60 %. Bahaya : Aspirasi bila muntah, penumpukan CO2 pada
aliran O2 rendah, Empisema subcutan kedalam jaringan mata pada aliran O2
tinggi dan nekrose, apabila sungkup muka dipasang terlalu ketat.
4. Sungkup muka Rebreathing dengan kantong O2 : Aliran 8-12 liter/menit
menghasilkan oksigen dnegan konsentrasi 60 - 80%. Bahaya : Terjadi aspirasi
bila muntah, empisema subkutan kedalam jaringan mata pada aliran O2 tinggi.
5. Sungkup muka Non Rebreathing dengan kantong O2 : Aliran 8-12 liter/menit
menghasilkan konsentrasi O2 90 %. Bahaya : Sama dengan sungkup muka
"Rebreathing".
II. Sistem Aliran Tinggi
1. Sungkup muka venturi (venturi mask) Oksigen : Aliran 4 -14 liter/menit
menghasilkan konsentrasi O2 30 - 55 %. Bahaya : Terjadi aspirasi bila muntah
dan nekrosis karena pemasangan sungkup yang terlalu ketat.
2. Sungkup muka Aerosol (Ambu Bag) Oksigen : Aliran lebih dari 10 liter/menit
menghasilkan konsentrasi O2 100 %. Bahaya : Penumpukan air pada aspirasi
bila muntah serta nekrosis karena pemasangan sungkup muka yang terialu
ketat.
e. Apa interpretasi dan mekanisme abnormalitas dari hasil pemeriksaan circulation?
No. Hasil Pemeriksaan Nilai Normal Interpretasi Mekanisme
Abnormalitas

1. Nadi:145x/menit 60-100x/menit Abnormal Tahap awal syok septik


(isi dan tegangan isi dan (Takikardi) (fase hiperdinamik)
kurang) tegangan atau hangat disebabkan
cukup pengeluaran pirogen 
mekanisme kompensasi
diaktifkan 
vasodilatasi besar
terjadi di pembuluh
vena dan arteri, 
dilatasi vena
menurunkan preload
dan dilatasi arteri
menurunkan afterload
 penurunan tekanan
darah (hipotensi) 
Takikardia terjadi
karena tubuh
berusaha untuk
mengkompensasi
penurunan output
jantung dan hipotensi.

f. Bagaimana tatalaksana circulation pada kasus?


Terapi Cairan
Hipovolemia dapat terjadi pada sepsis sebagai akibat peningkatan kapasitas
vaskular (penurunan aliran balik vena), dehidrasi (karena asupan yang menurun,
kehilangan cairan melalui pernapasan atau keringat), terjadinya perdarahan dan
kebocoran kapiler. Pada keadaan hipovolemik akan terjadi gangguan transpor oksigen
dan nutrisi ke jaringan dan menyebabkan terjadinya hipotensi dan renjatan.
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan baik
kristaloid (NaCl 0,9% atau ringer laktat), maupun koloid. Volume cairan yang
diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Secara
klinis respons terhadap pemberian cairan terlihat dari peningkatan tekanan darah,
penurunan frekuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas,
produksi urin dan membaiknya penurunan kesadaran. Pada sarana yang lebih lengkap
atau di unit rawat intensif dapat dipantau dengan mengukur tekanan vena sentral dan
tekanan arteri pulmonalis. Perlu diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa
peningkatan tekanan vena jugular, ronkhi, galop dan penurunan saturasi oksigen.
Albumin merupakan protein plasma yang juga berfungsi sebagai koloid.
Albumin berfungsi mempertahankan tekanan onkotik plasma. Pada keadaan serum
albumin yang rendah ( <2 g/dl) disertai tekanan hidrostatik melebihi tekanan onkotik
plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
Transfusi eritrosit (packed red cell) diperlukan pada keadaan perdarahan aktif,
atau bilamana kadar hemoglobin (Hb) yang rendah pada keadaan tertentu misalnya
iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis
dipertahankan di atas 8 hingga 10 g/dl. Namun pertimbangan dalam memberikan
transfusi bukan berdasarkan kadar Hb semata, tetapi juga keadaan klinis pasien, sarana
yang tersedia, keuntungan dan kerugian pemberian transfusi.

Vasopresor dan lnotropik


Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan
pemberian cairan secara adekuat, akan tetapi pasien masih mengalami hipotensi.
Hipotensi terjadi sebagai akibat vasodilatasi atau sebagai akibat disfungsi miokardial
sehingga terjadi penurunan curah jantung. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis
terendah secara titrasi untuk mencapai tekanan arteri rata-rata (MAP) 60 mmHg, atau
tekanan darah sistolik 90 mmHg. Pemantauan terhadap tingkat kesadaran dan produksi
urin dapat menggambarkan adanya perbaikan perfusi dan fungsi organ. Untuk
vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis >8 mikrogram(mcg)/ kg/menit;
norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8 mcg/kg/menit atau epinefrin 0,
1-0,5 mcg/kg/menit.
Inotropik yang dapat digunakan dobutamin dosis 2-28 mcg/kg/menit, dopamin
3-8 mcg/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterase
(amrinon dan milrinon).

g. Apa interpretasi dan mekanisme abnormalitas dari hasil pemeriksaan dissability?


No. Hasil Nilai Normal Interpretasi Mekanisme
Pemeriksaan Abnormalitas

1. Respond to Alert and oriented Abnormal


verbal (Skala (Respond to
AVPU) verbal pada
pemeriksaan Infeksi  Pelepasan
dengan endotoksin mikroba
menggunak penyebab infeksi 
an skala Proses inflamasi yang
AVPU maladaptif  terjadi
memberi peningkatan
makna klinis permeabilitas endotel,
bahwa vasodilatasi, dan
pasien agregasi trombosit 
hanya darah yang terkumpul
merespons menembus membran
jika diberi pembuluh darah (protein
rangsangan dan cairan bergeser ke
verbal kompartemen interstisial
seperti dan intrasellular) dan
panggilan terbentuk mikrothrombi
atau  maldistribusi volume
teriakan). darah  gangguan
2. GCS E3M5V3 E = 4, M = 6, V = Abormal perfusi ke jaringan otak
skor = 11 5 (Delirium)  iskemia jaringan otak
14-15  Compos  penurunan
mentis kesadaran
12-13  Apatis
10-11  Delirium
7-9  Somnolen
6-5  Stupor
<5  Koma

h. Bagaimana tatalaksana dissability pada kasus?

i. Bagaimana cara pemeriksaan skala AVPU dan GCS?


Skala AVPU adalah metode cepat untuk menilai penurunan kesadaran pasien.
Tingkatan kesadaran pasien dilaporkan dengan A, V, P, atau U.
(1) A: Alert and oriented
Penilaian kesadaran dan orientasi terhadap orang, tempat, waktu, dan kejadian.
Pada level ini, pasien dalam kondisi sadar sepenuhnya. Untuk menilainya, caranya
dengan menanyakan pertanyaan yang jawabannya bukan berupa ‘ya’ atau ‘tidak’
seperti ‘Tahun berapa sekarang?’atau ‘Sekarang anda ada dimana?’
(2) V: response to Verbal stimulus
Hal ini mengindikasikan bahwa pasien hanya merespon (menjadi fully alert atau
partially alert) jika diberi rangsangan verbal seperti panggilan atau teriakan.
(3) P: response to Pain
Pada level ini, menandakan pasien sudah tidak responsive lagi dengan rangsangan
verbal dan harus dirangsang dengan perlakuan fisik seperti cubitan atau pukulan.
Positif jika ketika dicubit atau dipukul, pasien meringis atau mengerang.
(4) U: Unresponsive
Level terendah kesadaran. Terjadi jika sudah dilakukan rangsangan nyeri di kedua
sisi dan pasien tetap dalam kondisi flasid atau tidak sadarkan diti tanpa adanya
pergerakan atau suara.
Semua level dibawah Alert interpretasinya adalah gangguan kesadaran. Maka pada
kasus ini, Tn. X mengalami gangguan kesadaran dengan tingkat kesadaran di level
sadar jika distimulus dengan verbal.

Gambar 1. Derajat kesadaran berdasarkan skala AVPU

Skala GCS dibuat untuk menilai keparahan penurunan kesadaran dan memprediksi
awal tingkat kerusakan otak. Terdiri dari 3 indikator yaitu bukaan mata, respon verbal,
dan respon motorik.
(1) Bukaan Mata (nilai 1-4).
- (E4) Spontan: mata terbuka dan fokus, pasien bisa mengenali pemeriksa dan
mengikuti pergerakan mata.
- (E3) Terhadap suara: pasien membuka mata ketika diajak bicara, dipanggil atau
diperintahkan.
- (E2) Terhadap nyeri: pasien membuka mata jika diberi stimulus nyeri.
- (E1) Tidak membuka mata dengan respon apapun.

(2) Respon Verbal (poin 1-5).


- (V5) Sadar penuh: pasien bias berbicara dan menjawab pertanyaan perihal
lokasi, tempat, dan waktu saat ini. Bisa juga ditanyakan bagaimana kejadian ini
bias terjadi.
- (V4) Bingung: pasien bias berbicara jelas, namun tidak terorientasi dengan
baik.
- (V3) Kata-kata tidak sesuai: pasien menjawab rangsangan verbal dengan
jawaban tidak sesuai dengan situasi, tidak jelas dan terkadang dengan jawaban
kasar atau tidak senonoh
- (V2) Meracau: mengeluarkan kata kata yang tidak dimengerti orang normal.
- (V1) Tidak ada respon suara apapun

(3) Respon Motorik (poin 1-6).


- (M6) Mengikuti perintah: pasien bisa mengerti dan melakukan tindakan sesuai
perintah. Perlu diperhatikan kesesuaian respon motoric pasien untuk
memastikan ada tidaknya jejas di belahan otak yang berbeda.
- (M5) Nyeri terlokalisir: jika pasien dapat dengan akurat mendorong atau
melepaskan cubitan yang dilakukan pemeriksa dengan tangannya, maka pasien
tersebut responsif dengan nyeri terlokalisir.
- (M4) Mengelak dari nyeri: hal ini mengindikasikan bahwa tubuh pasien hanya
menjauh ketika diberikan rangsangan nyeri.
- (M3) Fleksi (postur dekortikasi): tubuh pasien menekuk menjadi postur
protektif dengan lengan fleksi ke dada. Hal ini terjadi pada trauma otak berat.
- (M2) Ekstensi (postur decerebrasi): tubuh pasien ekstensi, kaki tungkai dan
lengan ekstensi dan kaku, bahkan sulit digerakkan.
- (M1) Benar-benar flaksid.

j. Apa interpretasi dan mekanisme abnormalitas dari hasil pemeriksaan exposure?


No. Hasil Nilai Normal Interpretasi Mekanisme
Pemeriksaan Abnormalitas
1. Temperatur: 36,5°C - 37,2°C Abnormal
39,5°C (Hiperpireksia)

k. Bagaimana tatalaksana exposure pada kasus?

l. Apa interpretasi dan mekanisme abnormalitas dari hasil skor quick SOFA?
No. Hasil Nilai Normal Interpretasi Mekanisme
Pemeriksaan Abnormalitas

1. Skor qSOFA : 3 Skor ≥2: Abnormal Disfungsi organ terbagi


mengindikasikan menjadi disfungsi primer
terdapat disfungsi dimana gangguan fungsi
organ organ disebabkan
Skor <2 : tidak langsung oleh infeksi
berisiko atau trauma pada organ-
mengalami organ tersebut. Misal,
disfungsi organ gangguan fungsi
jantung/paru pada
keadaan pneumonia
yang berat sedangkan
disfungsi sekunder
gangguan fungsi organ
disebabkan oleh respons
peradangan yang
menyeluruh terhadap
serangan. Misal, ALI
atau ARDS pada
keadaan urosepsis.

m. Bagaimana cara pemeriksaan skor qSOFA?


Penilaian Skor qSOFA

Tekanan darah rendah (SBP ≤ 100 mmHg) 1 Quick


SOFA
Frekuensi pernapasan (≥ 22 kali / menit) 1
Score
Penurunan kesadaran (GCS <15) 1

(quickSOFA atau qSOFA) diperkenalkan oleh kelompok Sepsis-3 pada Februari 2016
sebagai versi sederhana dari Skor SOFA sebagai cara awal untuk mengidentifikasi
pasien yang berisiko tinggi dengan prognosis yang buruk dengan infeksi. Skor qSOFA
menyederhanakan skor SOFA hanya memasukkan 3 kriteria klinis. Skor qSOFA dapat
dengan mudah dan cepat diulang secara serial pada pasien.
Skor tersebut berkisar dari 0 sampai 3 poin. Skor qSOFA ≥2 mengindikasikan terdapat
disfungsi organ dan <2 tidak berisiko mengalami disfungsi organ, namun jika pasien
masih suspek sepsis lanjutkan terapi, monitor, dan evaluasi ulang dengan melakukan
pemeriksaan serial qSOFA. qSOFA merupakan salah satu dasar untuk mendiagnosis
apakah pasien dengan kecurigaan infeksi mengalami sepsis atau tidak sehingga
diperkirakan skor tersebut dapat menjadi prediktor mortalitas pada sepsis dan syok
sepsis.

n. Apa indikasi dilakukan pemeriksaan qSOFA?


Skor qSOFA direkomendasikan untuk identifikasi pasien berisiko tinggi mengalami
perburukan dan memprediksi lama pasien dirawat baik di ICU atau non-ICU. Pasien
diasumsikan berisiko tinggi mengalami perburukan jika terdapat dua atau lebih dari 3
kriteria klinis. Untuk mendeteksi kecenderungan sepsis dapat dilakukan uji qSOFA
yang dilanjutkan dengan SOFA.

SYOK SEPTIK

 ALGORITMA DIAGNOSIS
Diagnosis syok septik meliputi diagnosis klinis syok dengan konfirmasi
mikrobiologi etiologi infeksi seperti kultur darah positif atau apus gram dari buffy coat
serum. Spesimen darah, urin, dan cairan serebrospinal sebagaimana eksudat lain, abses dan
lesi kulit yang terlihat harus dikultur dan dilakukan pemeriksaan apus untuk menentukan
organisme. Pemeriksaan hitung sel darah, hitung trombosit, waktu protrombin dan
tromboplastin parsial, kadar fibrinogen serta D-dimer, analisis gas darah, profil ginjal dan
hati, serta kalsium ion harus dilakukan. Pasien yang menderita sepsis atau suspek sepsis
harus dirawat di ruang rawat intensif yang mampu melakukan pemantauan secara intensif
serta kontinu diukur tekanan vena sentral, tekanan darah, dan cardiac output.
Tanda-tanda klinis yang dapat menyebabkan dokter untuk mempertimbangkan
sepsis dalam diagnosis diferensial, yaitu demam atau hipotermia, takikardi yang tidak jelas,
takipnea yang tidak jelas, tanda-tanda vasodilatasi perifer, syok dan perubahan status
mental yang tidak dapat dijelaskan. Pengukuran hemodinamik yang menunjukkan syok
septik, yaitu curah jantung meningkat dengan resistensi vaskuler sistemik yang rendah.
Diagnosis pasien syok septik akan menjadi lebih pasti dengan hasil pemeriksaan
laboraturium dimana terjadi abnormalitas hitung darah lengkap, faktor pembekuan, dan
reaktan fase akut yang menunjukkan pasien mengalami sepsis.
Gambar 1. Kriteria Klinis Pasien Sepsis dan Syok Sepsis.
Sumber:http://www.kalbemed.com/.pdf

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Syok Septik.

Variable Umum
Temperatur >38.3° c atau < 36° c
HR > 90x/menit
Takipnea
Penurunan status mental
Signifikan edema > 20 ml/kg dalam 24 jam
Hiperglikemia (>120 mg/dl) pada pasien non
diabetes

Variabel inflamasi
WBC >12000,<4000 mm
C-reaktif protein meningkat
Prokalsitonin plasma meningkat
Variabel heodinamik
Sistolik BP <90 mmHg/
MAP < 70 mmHg
SVO2 > 70 %

Variabel perfusi jaringan


Laktat serum >1 mmol/L
CRT> 2 detik

Variable gangguan organ


PaO2/FiO2 <300
Urine output < 0,5 ml/kgbb/jam
Kreatinin > 0,5 mg/dl
INR> 1.5 atau aPTT>60 detik
Platelet <100000mm
Hiperbilirubin > 4 mg/dl
Sumber : Levy MN et al, 2001,Crit Care Med 31:1250, 2003.

 DEFINISI
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon tubuh yang
berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme ditandai dengan panas, takikardia,
takipnea, hipotensi dan disfungsi organ berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah.
Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory response
syndrome) dengan etiologi mikroba yang terbukti atau dicurigai. Biomarker sepsis (CCM
2003) adalah prokalsitonin (PcT); C-reactive Protein (CrP).

Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan 2 dari gejala sebagai
berikut:
 Hipertermia/hipotermia (>38,3°C; <35,6°C)
 Takipnea (respiratory rate >20/menit)
 Takikardia (pulse >100/menit)
 Leukositosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm dengan >10% cell immature
Sepsis
SIRS disertai infeksi
Sepsis Berat
Sepsis yang disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ, hipotensi, atau
hipoperfusi seperti menurunnya fungsi ginjal (ditandai oliguria atau anuria), hipoksemia,
dan perubahan status mental. Syok septik merupakan sepsis dengan tekanan darah arteri
Syok Septik
Syok septik seperti juga syok yang lain merupakan suatu sindrom di mana terjadi
suplai oksigen ke sel/ jaringan yang tidak adekuat. Syok septik merupakan salah satu
bentuk dari sepsis berat (severe sepsis) yang memiliki karakteristik hipotensi yang sulit
diatasi dan penurunan perfusi jaringan. Biasanya hal ini terjadi ketika intervensi awal yang
dilakukan untuk menanggulangi masalah hemodinamik gagal dilakukan. Syok septik
merupakan keadaan di mana terjadi penurunan tekanan darah (tekanan darah sistolik
kurang dari 90 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 40 mmHg) disertai
tanda kegagalan sirkulasi, meskipun telah dilakukan resusitasi cairan secara adekuat atau
memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ.
Syok septik merupakan keadaan gawat darurat yang memerlukan penanganan
segera, karena semakin cepat syok dapat teratasi, keberhasilan pengobatan akan
meningkatkan dan menurunkan risiko kegagalan organ dan kematian. Oleh karena itu
strategi penatalaksanaan syok septik yang tepat dan optimal perlu diketahui untuk
mendapatkan hasil yang diharapkan.
 EPIDEMIOLOGI
Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian di Amerika
Serikat dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis. Sekitar 80% kasus sepsis
berat di unit perawatan intensif di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun 1990-an terjadi
setelah pasien masuk untuk penyebab yang tidak terkait. Kejadian sepsis meningkat hampir
empat kali lipat dari tahun 1979-2000, menjadi sekitar 660.000 kasus (240 kasus per
100.000 penduduk) sepsis atau syok septik per tahun di Amerika Serikat (Martin GS et al,
2012).
Angka mortalitas pasien sepsis mencapai 30% dan akan meningkat menjadi 40%
pada pasien usia tua sedangkan angka mortalitas penderita syok septik mencapai 50%.
Meskipun selalu terjadi perkembangan antibiotik dan terapi perawatan intensif, Sepsis
menimbulkan angka kematian yang tinggi dihampir semua ICU (Kasper,2005). Dalam
beberapa tahun terakhir, kejadian syok septik cukup tinggi. Hal ini disebabkan cukup
banyak faktor predisposisi untuk terjadinya sepsis antara lain diabetes mellitus, sirosis
hepatis, alkoholisme, leukemia, limfoma, keganasan, penggunaan obat sitotoksik dan
immunosupresan, nutrisi parenteral dan sonde, infeksi traktus urinarius dan
gastrointestinal. Di Amerika Serikat syok septik adalah penyebab kematian yang sering di
ruang ICU (Schwarz dan Hilfiker, 2004)

 ETIOLOGI
Sepsis merupakan respon terhadap setiap kelas mikroorganisme. Dari hasil kultur
darah ditemukan bakteri dan jamur 20-40% kasus dari sepsis. Bakteri gram negatif dan
gram positif merupakan 70% dari penyebab infeksi sepsis berat dan sisanya jamur atau
gabungan beberapa mikroorganisme. Pada pasien yang kultur darahnya negatif, penyebab
infeksi tersebut biasanya diperiksa dengan menggunakan kultur lainnya atau pemeriksaan
mikroskopis (Munford, 2008). Penelitian terbaru mengkonfirmasi bahwa infeksi dengan
sumber lokasi saluran pernapasan dan urogenital adalah penyebab paling umum dari sepsis
(Shapiro, 2010).
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan persentase 60-70%
dari kasus, yang menghasilkan berbagai macam produk yang dapat menstimulasi sel imun.
Sel tersebut kemudian dipacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan
penting dalam sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS berfungsi merangsang
peradangan pada jaringan, demam, dan syok pada pasien yang mengalami infeksi. Bakteri
gram positif lebih jarang menyebabkan sepsis jika dibandingkan bakteri gram negatif.
Angka kejadiannya hanya berkisar 20-40% dari keseluruhan kasus. Peptidoglikan
diketahui dapat menyebabkan agregasi trombosit.
Eksotoksin berbagai kuman juga dapat menjadi faktor penyebab karena dapat
merusak integritas membran sel imun secara langsung, namun dari semua faktor tersebut
LPS endotoksin gram negatif yang dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. LPS
tidak mempunyai sifat toksik, tetapi merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang
bertanggung jawab terhadap sepsis.
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Jenis infeksi yang
sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:
1. Infeksi paru-paru (pneumonia)
2. Flu (influenza)
3. Appendisitis
4. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
5. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)
6. Infeksi kulit, seperti selulitis (sering disebabkan ketika infus atau kateter telah
dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit)
7. Infeksi pasca operasi
8. Infeksi sistem saraf pusat, seperti meningitis atau ensefalitis.

Tabel 2. Patogen Penyebab Sepsis.


Sumber lokasi Mikroorganisme

Kulit Staphylococcus aureus dan bakteri gram


positif bentuk cocci lainnya

Saluran kemih Eschericia coli dan gram negatif bentuk


batang lainnya

Saluran pernafasan Streptococcus pneumonia


Usus dan kandung empedu Enterococcus faecalis, E.coli dan gram
negatif bentuk batang lainnya, Bacteroides
fragilis

Organ pelvis Neissseria gonorrhoea

Sumber: Moss et al, 2012.

 FAKTOR RISIKO
 Usia
Pada usia muda dapat memberikan respon inflamasi yang lebih baik dibandingkan usia
tua.
 Jenis kelamin
Perempuan kurang mungkin untuk mengalami kematian yang berhubungan dengan
sepsis dibandingkan laki-laki di semua kelompok ras/etnis. Laki-laki 27% lebih
mungkin untuk mengalami kematian terkait sepsis, namun risiko untuk pria Asia dua
kali lebih besar, sedangkan untuk laki-laki Amerika Indian/Alaska Pribumi
kemungkinan mengalami kematian berhubungan dengan sepsis hanya 7%.
 Ras
Tingkat mortalitas terkait sepsis tertinggi di antara orang kulit hitam dan terendah di
antara orang Asia.
 Penyakit komorbid
Kondisi komorbiditas kronis yang mengubah fungsi kekebalan tubuh (gagal ginjal
kronis, diabetes mellitus, HIV, penyalahgunaan alkohol) lebih umum pada pasien
sepsis non kulit putih, dan komorbiditas kumulatif dikaitkan dengan disfungsi organ
akut yang lebih berat.
 Genetik
Pada penelitian Hubacek JA, et al menunjukkan bahwa polimorfisme umum dalam gen
untuk Lipopolysaccharide Binding Protein (LBP) dalam kombinasi dengan jenis
kelamin laki-laki berhubungan dengan peningkatan risiko untuk pengembangan sepsis
dan, lebih jauh lagi, mungkin berhubungan dengan hasil yang tidak menguntungkan.
Penelitian ini mendukung peran imunomodulator penting dari LBP di sepsis Gram-
negatif dan menunjukkan bahwa tes genetik dapat membantu untuk identifikasi pasien
dengan respon yang tidak menguntungkan untuk infeksi Gram-negatif.
 Terapi kortikosteroid
Pasien yang menerima steroid kronis memiliki peningkatan kerentanan terhadap
berbagai jenis infeksi. Risiko infeksi berhubungan dengan dosis steroid dan durasi
terapi. Meskipun bakteri piogenik merupakan patogen yang paling umum, penggunaan
steroid kronis meningkatkan risiko infeksi dengan patogen intraseluler seperti Listeria,
jamur, virus herpes, dan parasit tertentu. Gejala klinis yang dihasilkan dari sebuah
respon host sistemik terhadap infeksi mengakibatkan sepsis.
 Kemoterapi
Obat-obatan yang digunakan dalam kemoterapi tidak dapat membedakan antara sel-sel
kanker dan jenis sel lain yang tumbuh cepat, seperti sel-sel darah, sel-sel kulit. Orang
yang menerima kemoterapi berisiko untuk terkena infeksi ketika jumlah sel darah putih
mereka rendah. Sel darah putih adalah pertahanan utama tubuh terhadap infeksi.
Kondisi ini, yang disebut neutropenia, adalah umum setelah menerima kemoterapi.
Untuk pasien dengan kondisi ini, setiap infeksi dapat menjadi serius dengan cepat.
Menurut Penack O et al, sepsis merupakan penyebab utama kematian pada pasien
kanker neutropenia.
 Obesitas
Obesitas dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan
sepsis akut. Menurut penelitian Henry Wang, Russell Griffin et al, didapatkan hasil
bahwa obesitas pada tahap stabil kesehatan secara independen terkait dengan kejadian
sepsis di masa depan. Lingkar pinggang adalah prediktor risiko sepsis di masa depan
yang lebih baik daripada BMI, namun pada penelitian Kuperman EF et al, diketahui
bahwa obesitas bersifat protektif pada mortalitas sepsis rawat inap dalam studi kohort,
tapi sifat protektif ini berhubungan dengan adanya komorbiditas resistensi insulin dan
diabetes.

 MANIFESTASI KLINIS
1. Manifestasi Kardiovaskular
- Perubahan sirkulasi
Karakteristik hemodinamik utama dari syok septik adalah rendahnya tahanan
vaskular sitemik, sebagian besar karena vasodilatasi yang terjadi sekunder terhadap efek-
efek berbagai mediator ( prostaglandin, kinin, histamin dan endorfin). Mediator-mediator
yang sama tersebut juga dapat menyebabkan meningkatnya permeabelitas kapiler,
mengakibatkan berkurangnya volume intravaskular menembus membran yang bocor,
dengan demikian mengurangi volume sirkulasi yang efektif. Dalam berespon terhadap
penurunan dan volume yang bersirkulasi, curah jantung biasanya tinggi tetapi tidak
mencukupi untuk mempertahankan perfusi jaringan dan organ. Aliran darah yang tidak
mencukupi sebagian dimanifestasikan oleh terjadinya asidosis laktat.
Dalam hubungnnya dengan vasodilatasi dan tahanan vaskular sitemik yang rendah,
terjadi maldistribusi aliran darah. Mediator-mediator vasoaktif yang dilepaskan oleh
sistemik menyebabkan vasodilatasi dan vasokonstriksi dari pembuluh darah jaringan
tertentu, mengarah pada aliran yang tidak mencukupi ke beberapa jaringan sedangkan
jaringan lainnya menerima aliran yang berlebihan. Selain itu terjadi respon inflamasi massif
pada jaringan, mengakibatkan sumbatan kapiler karena adanya agregasi leukosit dan
penimbunan fibrin, dan berakibat kerusakan organ dan endotel yang tidak dapat pulih.
- Perubahan miokardial
Kinerja miokardial mengalami gangguan dalam bentuk penurunan fraksi ejeksi
ventrikel dan juga gangguan kontraktilitas. Terganggunya fungsi jantung juga diakibatkan
oleh keadaan metabolik abnormal yang diakibatkan oleh syok, yaitu adanya asidosis laktat,
yang menurunkan responsivitas terhadap katekolamin.
Dua bentuk pola disfungsi jantung yang berbeda terdapat pada syok septik. Bentuk
pertama dicirikan dengan curah jantung yang tinggi dan tahanan vaskular sitemik yang
rendah, kondisi ini disebut dengan syok hiperdinamik. Bentuk kedua ditandai dengan curah
jantung yang rendah dan peningkatan tahanan vaskular sitemik disebut sebagai syok
hipodinamik.

2. Manifestasi Hematologi
Bakteri dan toksinnya menyebabkan aktivasi komplemen. Karena sepsis melibatkan
respon inflamasi global, aktivasi komplemen dapat menunjang respon-respon yang akhirnya
menjadi keadaan yang lebih buruk ketimbang melindungi. Komplemen menyebabkan sel-
sel mast melepaskan histamin. Histamin merangsang vasodilatasi dan meningkatnya
permeabelitas kapiler. Proses ini selanjutnya menyebabkan perubahan sirkulasi dalam
volume serta timbulnya edema interstisial.
Abnormalitas platelet juga terjadi pada syok septik karena endotoksin secara tidak
langsung menyebabkan agregasi platelet dan selanjutnya pelepasan lebih banyak bahan-
bahan vasoaktif (serotonin, tromboksan A). Platelet teragregasi yang bersirkulasi telah
diidentifikasi pada mikrovaskular, menyebabkan sumbatan aliran darah dan melemahnya
metabolism selular. Selain itu endotoksin juga mengaktivasi sistem koagulasi, dan
selanjutnya dengan menipisnya faktor-faktor penggumpalan, koagulapati berpotensi untuk
menjadi koagulasi intravaskular disemanata.

3. Manifestasi Metabolik
Tubuh menunjukkan ketidakmampuan progresif untuk menggunakan glukosa,
protein, dan lemak sebagai sumber energi. Hiperglikemia sering dijumpai pada pada awal
syok karena peningkatan glukoneogenesis dan resisten insulin, yang menghalangi ambilan
glukosa ke dalam sel. Seiring berlanjutnya syok, terjadi hipoglikemia karena persedian
glikogen menipis dan suplai protein dan lemak perifer tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan metabolik tubuh.
Pemecahan protein terjadi pada syok septik, ditunjukkan oleh tingginya eksresi
nitrogen urin. Protein otot dipecah menjadi asam-asam amino, yang sebagian digunakan
untuk oksidasi dan sebagian lain dibawa ke hepar untuk digunakan pada proses
glukoneogenesis. Pada syok tahap akhir, hepar tidak mampu menggunakan asam-asam
amino karena disfungsi metaboliknya, dan selanjutnya asam amino tersebut terakumulasi
dalam darah.
Dengan keadaan syok berkembang terus, jaringan adiposa dipecah untuk
menyediakan lipid bagi hepar untuk memproduksi energi, metabolisme lipid menghasilkan
keton,yang kemudian digunakan pada Siklus Krebs (metabolisme oksidatif), dengan
demikian menyebabkan pembentukan laktat. Pengaruh dari pada kekacauan metabolik ini
menyebabkan sel menjadi kekurangan energi. Defisit energi menyebabkan timbulnya
kegagalan banyak organ Pada keadaan multiple organ failure terjadi gangguan koagulasi,
respiratory distress syndrome, cedera ginjal akut, disfungsi hepatobilier, dan disfungsi
susunan saraf pusat.
Pada penelitian para ahli didapatkan bahwa tambah banyak disfungsi organ akan
meningkatkan angka mortalitas akibat sepsis. Pada susunan saraf pusat karena
terganggunya permeabelitas kapiler menyebabkan terjadinya edema otak sehingga terjadi
peningkatan tekanan intrakranial yang akan menyebabkan terjadinya destruksi seluler atau
nekrosis jaringan otak (Plum, 1983). Defisit neurologik fokal dapat terjadi akibat
meningkatnya agregasi platelet dan eritrosit sehingga menyumbat aliran darah serebral
sedangkan DIC dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan intra serebral.

4. Manifestasi Pulmonal
Endotoksin mempengaruhi paaru-paru baik langsung maupun tidak langsung.
Respon pulmonal awal adalah bronkokonstriksi, mengakibatkan hipertensi pulmonal dan
peningkatan kerja pernapasan. Neutrofil teraktivasi dan menginfiltrasi pembuluh darah
pulmonal, menyebabkan akumulasi air ekstravaskular paru-paru (edema pulmonal).
Neutrofil yang teraktivasi menghasilkan bahan-bahan lain yang mengubah integritas sel-sel
parenkim pulmonal, mengakibatkan peningkatan permeabilitas. Dengan terkumpulnya
cairan di interstisium, compliance paru berkurang, terjadinya gangguan pertukaran gas dan
terjadi hipoksemia.

 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi syok septik tidak terlepas dari patofisiologi sepsis itu sendiri dimana
endotoksin (lipopolisakarida) yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses
inflamasi yang melibatkan berbagai mediator inflamasi yaitu sitokin, neutrofil,
komplemen, NO dan berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan
proses homeostatis dimana terjadi keseimbangan antara proses inflamasi dan antiinflamasi.
Kemampuan homeostasis pada proses inflamasi ini terkait dengan faktor suseptibilitas
individu terhadap proses inflamasi tersebut. Bilamana terjadi proses inflamasi yang
melebihi kemampuan homeostatis, maka akan terjadi proses inflamasi yang maladaptif,
sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang bersifat destruktif. Keadaan tersebut akan
menimbulkan gangguan pada tingkat selular pada berbagai organ.
Gangguan pada tingkat sel yang juga menyebabkan disfungsi endotel, vasodilatasi
akibat pengaruh NO menyebabkan terjadinya maldistribusi volume darah sehingga terjadi
hipoperfusi jaringan dan syok. Proses ini mendasari terjadinya hipotensi dan syok pada
sepsis.
Berlanjutnya proses inflamasi yang maladapatif akan menyebabkan gangguan
fungsi berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/ MOF).
Proses MOF merupakan kerusakan (injury) pada tingkat selular (termasuk disfungsi
endotel), gangguan perfusi ke organ/jaringan sebagai akibat hipoperfusi, iskemia reperfusi
dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut berperan adalah
terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant substance), malnutrisi
kalori-protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit dan efek samping dari
terapi yang diberikan.
Gambar 1. Disfungsi organ multipel sebagai hasil akhir dari proses inflamasi
yang berlanjut.

Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; Modifikasi dari Dhainaut.


ENDOTOXIN

Production, Release and/or activation of endogenous Mediators

↑ Capillary Vasodilation
Permiability

Platelet Clotting
Aggregation Cascade

Shunting of Fluids
intravascular to Interstitial

Distributional Hypovolemia Intravascular Microemboli

Hypermetobolism &
Metabolic
Derangements

Decreased Tissue
Perfusion
Catabolism of
Protein Direct Endothelial
Lactic Acidosis Cell Damage

Cellular Death

Multiple Organ Failure

Death

Tahap awal syok septik dicirikan oleh fase hiperdinamik atau hangat sebagai
mekanisme kompensasi diaktifkan. Selama fase ini, vasodilatasi besar terjadi di pembuluh
vena dan arteri, menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik. Dilatasi vena
menurunkan arus vena kembali ke jantung dan menurunkan preload. Dilatasi arteri
menurunkan afterload. Vasodilatasi ini menyebabkan penurunan tekanan darah, tekanan
nadi melebar dan hangat, kulit flused. Peningkatan denyut jantung merupakan
kompensasi untuk mengimbangi hipotensi, peningkatan asidosis metabolik,
terstimulasinya sistem saraf simpatik, dan adrenal. Ventilasi/perfusi yang tidak seimbang
terjadi di paru-paru sebagai akibat dari vasokonstriksi paru sehingga frekuensi napas akan
meningkat untuk mengimbangi hipoksemia tersebut. Crackles terjadi karena
permeabilitas kapiler membran paru meningkat sehingga menyebabkan edema paru. Hasil
penilaian gas darah arteri menunjukkan alkalosis pernafasan, asidosis metabolik, dan
hipoksemia. Tingkat kesadaran menurun, pasien menjadi disorientasi, bingung, agresif,
atau lesu. Suhu tubuh pasien meningkat sebagai reaksi terhadap pirogen yang dibebaskan
oleh mikroorganisme yang menyerang. Ketika proses syok septik terus berlangsung,
kondisi pasien memburuk dan masuk ke dalam fase hipodinamik, dengan penurunan
output jantung dan hipotensi. Hasil dari fase kegagalan ventrikel yang disebabkan oleh
hipoksemia miokard, akibat faktor depresan miokardial, dan asidosis, untuk menghasilkan
peningkatan afterload. Takikardia terjadi karena tubuh berusaha untuk mengkompensasi
penurunan output jantung dan hipotensi. Vasokonstriksi perifer menyebabkan
peningkatan tekanan resistensi vaskular sistemik untuk mengimbangi penurunan tekanan
darah. Kulit pasien menjadi pucat, dingin dan lembap.

 PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan Laboraturium
Hasil laboratorium sering ditemukan asidosis metabolik (penurunan PaO2 dan peningkatan
PaCO2), trombositopenia, pemanjangan waktu protrombin dan tromboplastin parsial,
penurunan kadar fibrinogen serum dan peningkatan produk fibrin split, anemia, serta
perubahan morfologi dan jumlah neutrofil. Peningkatan neutrofil serta peningkatan
leukosit imatur, vakuolasi neutrofil, granular toksik, dan badan Dohle cenderung
menandakan infeksi bakteri. Neutropenia merupakan tanda kurang baik yang menandakan
perburukan sepsis. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan neutrofil dan
bakteri. Pada stadium awal meningitis, bakteri dapat dideteksi dalam cairan serebrospinal
sebelum terjadi suatu respons inflamasi.
Tabel 3. Indikator Laboratorium Penderita Sepsis.
Sumber: La Rosa, 2010.

Pemeriksaan penunjang lain yang digunakan foto toraks, pemeriksaan dengan prosedur
radiografi, dan radioisotop lain sesuai dengan dugaan sumber infeksi primer (Opal, 2012).

 Pemeriksaan Radiologi
Pneumonia komunitas dapat didiagnosis berdasarkan manifestasi klinis yang
muncul, misal batuk, demam, produksi sputum dan nyeri dada pleuritis, disertai
pemeriksaan imanging paru, biasanya dengan foto toraks. Temuan pada pemeriksaan foto
toraks dapat berkisar dari suatu bercak infiltrat kecil di area udara sebagai konsolidasi lobar
dengan bronkogram udara hingga infiltrat alveolar difus atau infiltrat interstisial. Efusi
pleura dan terbentuknya kavitas pada rongga paru juga dapat ditemukan. Hasil foto toraks
juga dapat digunakan untuk menentukan derajat keparahan penyakit, dan terkadang juga
dapat menentukan dugaan etiologi, misal pneumatoceles pada infeksi Staphylococcus
aureus.

 Pemeriksaan Mikrobiologi
Pemeriksaan ini bertujuan untuk dapat mengidentifikasi etiologi lebih pasti,
mengetahui jenis patogen yang sering menjadi penyebab infeksi di suatu daerah,
mengetahui tingkat resistensi suatu patogen, serta dapat memperkirakan jenis terapi
empirik apa yang perlu diberikan. Pengecatan gram pada sputum dapat membantu untuk
pemberian obat pada terapi empirik. Panduan IDSA/ATS juga merekomendasikan agar
spesimen sputum dapat diperoleh sebelum pemberian antibiotik untuk pertama kalinya.
Pengecatan gram itu sendiri juga dapat mengidentifikasi patogen tertentu melalui
karakteristik khas masing-masing pathogen seperti Streptococcus pneumoniae,
Staphylococcus aureus, dan bakteri gram lainnya . Tujuan lain dari pengecatan gram pada
sputum adalah untuk memastikan sputum sudah cocok atau belum untuk dijadikan kultur.
Kultur dapat dihasilkan dari spesimen sputum maupun darah. Kultur sputum dapat
membantu untuk mengidentifikasi patogen penyebab pneumonia komunitas kaitannya
dengan signifikansi epidemiologi, pola transmisi yang sering terjadi, atau adanya
resistensi.

 TATALAKSANA
Early goal directed treatment, merupakan tatalaksana syok septik, dengan pemberian
terapi yang mencakup penyesuaian beban jantung, preload, afterload dan kontraktilitas
dengan oxygen delivery dan demand. Protokol tersebut mencakup pemberian cairan
kristaloid dan koloid 500 ml tiap 30 menit untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-
12 mmHg. Bila tekanan arteri rata-rata (MAP) kurang dari 65 mmHg, diberikan
vasopressor hingga >65 mmHg dan bila MAP > 90 mmHg berikan vasodilator. Dilakukan
evaluasi saturasi vena sentral (Scv O2), bila ScvO2 <70 %, dilakukan koreksi hematokrit
hingga di atas 30 %. Setelah CVP, MAP dan hematokrit optimal namun scvO2 <70%,
dimulai pemberian inotropik. Inotropik diturunkan bila MAP < 65 mmHg, atau frekuensi
jantung >120x/menit.

Gambar 1. Algoritma Early Goal Directed Therapy.

Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; Rivers, 2001.

Tata laksana syok septik yang biasa digunakan pada Advanced Cardiac Life Support
(ACLS) dan Advanced Trauma Life Support (ATLS), meliputi 9 tahap sebagai berikut.
1. Stages ABC: Immediate Stabilization

Lakukan dengan segera upaya resusitasi untuk mempertahankan patensi dan keadekuatan
jalan napas, dan memastikan oksigenasi dan ventilasi. manajemen Penanganan hipotensi
pertama kali adalah dengan resusitasi volume secara agresif, baik dengan kristaloid
isotonik, atau dalam kombinasi dengan koloid. Jangan mengganggu denyut jantung: karena
takikardia adalah manuver kompensasi.
Airway harus dikontrol dan pasien diberikan oksigen dengan menggunakan ventilasi
mekanik . Hal ini biasanya membutuhkan intubasi endotrakeal dan ventilator. Tujuan dari
semua upaya resusitasi adalah untuk menjaga pengiriman oksigen tetap adekuat. Indikasi
untuk intubasi dan ventilasi mekanik adalah: kegagalan jalan napas, adanya perubahan
status mental, kegagalan ventilasi dan kegagalan untuk oksigenasi. Pada sepsis, oksigen
tambahan hampir selalu diperlukan. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan
kebutuhan oksigen oleh otot-otot pernafasan,bronkokonstriksi dan asidosis; penggunaan
ventilasi mekanis bertujuan untuk mengatasi hal tersebut.

2. Stage C: re-establishing the circulation


Hipotensi disebabkan oleh depresi miokard, vasodilatasi extravascation patologis dan
sirkulasi volume karena kebocoran kapiler luas. Upaya pernafasan awal adalah upaya
untuk memperbaiki hipovolemia absolut dan relatif dengan mengisi pohon vaskular. Ada
bukti yang bagus bahwa tujuan awal diarahkan resusitasi volume agresif meningkatkan
hasil pada sepsis.

Pemberian cairan resusitasi (kristaloid) seperti salin normal atau laktat Ringer. Pemberian
cairan dalam jumlah besar dapat menimbulkan redistribusi ke interstisial (ekstravaskular)
sehingga pasien dapat menjadi sangat edematous . Pemberian resusitasi kristaloid dapat
berhubungan dengan acidemia, karena hyperchloremia (disebut "asidosis dilutional").
Cairan Ringer Laktat tidak aman diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati
parah.

3. Step D = Detective work - history, physical, immediate investigation


Kaji riwayat, lakukan pemeriksaan fisik pada pasien, dan mengukur sejauh mana sepsis:
suhu, jumlah sel putih, asam-basa status dan budaya. Pemilihan antimikroba ditentukan
oleh sumber infeksi dan perkiraan terbaik dari organisme yang terlibat.

4. Step E = Step E: Empiric Therapy – Antibiotics and Activated Protein C


Pemilihan antibiotik tertentu tergantung pada:
- Hasil kultur (menentukan jenis dari bakteri dan resistensi terhadap mikroba)
- Status immun pasien (pasien dengan neutropenia dan penggunaan obat
immunosuppresif ), alergi, kelainan fungsi renal dan hepar.
- Ketersediaan antibiotik, pola resistansi rumah sakit, dan variabel klinis pasien
diperlakukan
- Pemberian activated protein C. Activated protein C memodulasi inflamasi dan
koagulasi pada sepsis berat, dan mengurangi kematian. Activated protein C merupakan
protein endogen yang mempromosikan fibrinolisis dan menghambat trombosis dan
inflamasi.

5. Step F = Find and control the source of infection


Respon inflamasi sistemik terjadi bersamaan dengan infeksi persisten dimana harus
ditemukan sumber infeksi dan melakukan kontrol. Serangkaian kultur dilakukan sebagai
bagian dari penyelidikan sumber infeksi. Pemeriksaan fisik lebih lanjut perlu dilakukan,
yang biasanya akan menunjukkan bagian infeksi, pemeriksaan penunjang lain seperti CT
Scan mungkin perlu dilakukan,. Dengan cara ini 95% dari 100 sumber infeksi dapat
dilokalisasi dan dikendalikan.

6. Step G = Gut: feed it to prevent villus atrophy and bacterial translocation


- Pemberian nutrisi untuk mencegah atropi villus dan bakterial translokasi.
- Pencegahan atrofi vili mukosa usus dan bakteri translokasi melibatkan restorasi aliran
darah splanknik dan gizi lumen usus.
- Efek obat vasoaktif terhadap aliran darah ke usus. Lapisan usus membutuhkan oksigen,
dari darah, dan nutrisi, agar lumen usus tetap utuh. Keberadaan lapisan ini penting
sebagai penghalang terhadap translokasi bakteri.

7. Step H = Hemodynamics: assess adequacy of resuscitation and prevention of


organ failure.
- Kaji keadekuatan resusitasi dan pencegahan gagal organ

- Kecukupan resusitasi dievaluasi dengan melihat pada perfusi organ menggunakan


pemeriksaan klinis dan interpretasi variabel. Pengukuran tekanan darah langsung
(menggunakan jalur arteri) adalah penting untuk membimbing terapi, dan ada
hubungan yang kuat antara pemulihan tekanan darah dan output urin. Tekanan vena
sentral berguna untuk memantau status volume, tapi nilai kecil dalam hal perfusi organ.
Analisa gas darah, pH, defisit dasar dan laktat serum adalah panduan yang berguna dari
semua perfusi tubuh dan metabolisme anaerobik. Selama proses resusitasi, harus
bertahap mengurangi asidosisnya dan defisit dasar dari laktat dalam serum.

8. Step I = Iatrogenic injuries and complications


Monitor pemberian analgesia, sedasi dan psikospiritual pasien, kontrol gula darah dan
monitor adanya adrenal insufisiensi. Pasien kritis di unit perawatan intensif memiliki
kondisi yang rentan terhadap sumber infeksi. Tim kesehatan harus berupaya untuk
melakukan tindakan yang akan memperburuk kondisi pasien, misalkan trombosis vena
dalam (DVT), luka tekanan. Selain itu, penggunaan endotrakealtube dapat menjadi jalan
bagi organisme untuk menginfeksi paru-paru. Penggunaan neuromuscular blocking agents
dan steroids dapat menjadi factor predisposisi terjadinya polymiopati. Semua intervensi
yang diberikan dapat memberikan efek komplikasi pada pasien. Pemasangan central line
dapat menimbulkan pneumothoraks, emboli udara. Sehingga perlu dikaji betul manfaat
dari semua intervensi yang dilakukan.

9. Step J = Justify your therapeutic plan


- Lihat keefektifan rencana terapi dan menilai kembali therapy yang sudah dilakukan
- Tentukan apakah terapi tersebut masih diperlukan. Jika hemodinamik pasien sudah
stabil dan sumber infeksi telah dikendalikan, adalah tidak mungkin bahwa kateter arteri
paru-paru akan terus menjadi manfaat, bahkan dapat memberikan risiko negatif.
Spektrum terapi antimikroba harus dipersempit, sesuai dengan hasil laboratorium.
Secara agresif upaya untuk melakukan penyapihan penggunaan vasopressor dan
ventilasi mekanik harus dilakukan. Jika pasien tidak melakukan perbaikan secara
klinis, Anda harus mempertanyakan mengenai sumber kontrol lain yang belum
teridentifikasi

10. Step KL = Keep Looking. Have we adequately controlled the source? Are
there secondary sources of infection/inflammation.
- Monitor segala sesuatu yang mungkin terjadi, apakah sumber infeksi sudah teratasi dan
apakah ada sumber-sumber sekunder infeksi / peradangan.
- Tim perawatan harus selalu waspada terhadap sumber kontrol. Hal-hal yang harus
diwaspadai misalkan pasien tetap tidak stabil atau jika tanda-tanda infeksi baru muncul,
jumlah sel darah putih meningkat. Ingatlah infeksi baru cenderung datang dari
pernapasan, saluran kemih. Saluran cerna tidak boleh dilupakan karena dapat beresiko
terjadinya kolesistitis dan tukak lambung.

11. Step MN = Metabolic and Neuroendocrine control. Tight control of blood


sugar. Address adrenal insufficiency. Think about early aggressive dialysis in
renal failure
- Kontrol ketat gula darah. Sepsis adalah penyakit multisistem dipengaruhi oleh respon
neuroendokrin. Hiperglikemia tidak dapat dihindari dan penelitian menunjukkan
bahwa kontrol gula darah meningkatkan harapan hidup.
- Monitor adanya insufisiensi adrenal. Lakukan dialisis bila ditemukan adanya gagal
ginjal akut.
Gambar 2. Stepwise approach to sepsis and septic shock.
Dalam melakukan evaluasi pasien sepsis, diperlukan ketelitian dan pengalaman dalam mencari
dan menentukan sumber infeksi, menduga patogen yang menjadi penyebab (berdasarkan
pengalaman klinis dan pola kuman di RS setempat), sebagai panduan dalam memberikan terapi
antimikroba empirik. Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen penyebab
infeksi, mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan, terapi
antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan organ atau renjatan. Vasopressor dan
inotropik, terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi imunologi bila
terjadi respons imun maladaptif host terhadap infeksi.

 KOMPLIKASI
Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi komplikasi yang
mungkin terjadi meliputi:
1. Cedera Paru Akut (Acute Lung Injury) dan Sindrom Gangguan Fungsi Respirasi
Akut (Acute Respiratory Distress Syndrome)
Proses inflamasi dari sepsis menyebabkan kerusakan terutama pada paru.
Terbentuknya cairan inflamasi dalam alveoli mengganggu pertukaran gas,
mempermudah timbulnya kolaps paru, dan menurunkan komplian, dengan hasil
akhir gangguan fungsi respirasi dan hipoksemia. Komplikasi ALI/ ARDS timbul
pada banyak kasus sepsis atau sebagian besar kasus sepsis yang berat dan biasanya
mudah terlihat pada foto toraks, dalam bentuk opasitas paru bilateral yang konsisten
dengan edema paru. Pasien yang septik yang pada mulanya tidak memerlukan
ventilasi mekanik selanjutnya mungkin memerlukannya jika pasien mengalami
ALI/ ARDS setelah resusitasi cairan.
2. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
DIC yang disebabkan oleh sepsis akan mengaktivasi kaskade koagulasi secara difus
sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat yang sama, sistem fibrinolitik, yang
normalnya bertindak untuk mempertahankan kaskade pembekuan, diaktifkan
sehingga memulai spiral umpan balik dimana kedua sistem diaktifkan secara
konstan dan difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu diuraikan. Sejumlah besar
faktor pembekuan badan dan trombosit dikonsumsi dalam bekuan seperti ini.
Dengan demikian, pasien berisiko mengalami komplikasi akibat thrombosis dan
perdarahan. Timbulnya koagulopati pada sepsis berhubungan dengan hasil yang
lebih buruk.
3. Gagal jantung
Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik, dengan mekanisme
yang diperkirakan kemungkinannya adalah kerja langsung molekul inflamasi
ketimbang penurunan perfusi arteri koronaria. Sepsis memberikan beban kerja
jantung yang berlebihan, yang dapat memicu sindroma koronaria akut atau infark
miokardium, terutama pada pasien usia lanjut. Dengan demikian obat inotropic dan
vasopressor (yang paling sering menyebabkan takikardia) harus digunakan dengan
berhati-hati bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak dianjurkan.
4. Gangguan fungsi hati
Gangguan fungsi hati biasanya bermanifestasi sebagai ikterus kolestatik, dengan
peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkalinfosfatase. Fungsi sintetik
biasanya tidak berpengaruh kecuali pasien mempunyai status hemodinamik yang
tidak stabil dalam waktu yang lama.
5. Gagal ginjal
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama terjadinya gagal ginjal
pada keadaan sepsis, yang bermanifestasi sebagai oliguria, azotemia, dan sel-sel
peradangan pada urinalisis. Jika gagal ginjal berlangsung berat atau ginjal tidak
mendapatkan perfusi yang memadai, maka selanjutnya terapi penggantian fungsi
ginjal (misalnya hemodialisis) diindikasikan.
6. Sindroma disfungsi multiorgan
Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi diperlukan untuk
mempertahankan homeostasis.
 Disfungsi primer : gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh infeksi
atau trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan fungsi
jantung/paru pada keadaan pneumonia yang berat.
 Disfungsi sekunder : gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons
peradangan yang menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau ARDS
pada keadaan urosepsis.

 EDUKASI DAN PENCEGAHAN


Pasien dengan sistem imun yang terganggu mempunyai risiko tinggi terhadap
terjadinya sepsis. Gangguan pada sistem imun dapat disebabkan oleh hal-hal berikut:
(Kalil, 2018)
 Penggunaan obat kemoterapi
 Keganasan
 Trauma berat
 Luka berat
 Diabetes melitus
 Gagal ginjal atau hati
 Usia lanjut
Penggunaan ventilator atau kateter dalam jangka panjang juga dapat meningkatkan
risiko terjadinya infeksi. Oleh karena itu, menghindari penggunaan kateter atau
meminimalkan penggunaan kateter dapat membantu mengurangi risiko terjadinya sepsis.
(Kalil, 2018)
Pencegahan sepsis dengan antibiotik topikal atau sistemik sangat dianjurkan pada
pasien dengan risiko tinggi mengalami infeksi. Penggunaan antibiotik profilaksis pada fase
perioperatif sangat bermanfaat, terutama setelah operasi gastrointestinal. Tindakan
pencegahan lain yang dapat dilakukan adalah dengan mempertahankan nutrisi yang
adekuat, pemberian vaksin pneumokokus pada pasien yang telah menjalani splenektomi,
dan pemberian nutrisi sedini mungkin melalui enteral. (Kalil, 2018)
Untuk mencegah progresivitas infeksi agar tidak sampai menyebabkan syok septik,
yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan identifikasi dini, resusitasi cairan
kristaloid secara agresif, pemberian antibiotik spektrum luas, dan menghilangkan sumber
penyebab infeksi. (Kalil, 2018)
Langkah-langkah dasar yang perlu dilakukan untuk mencegah infeksi nosokomial adalah
sebagai berikut:
 Mempersingkat masa rawat inap di rumah sakit
 Melepas kateter yang sedini mungkin
 Menghindari prosedur invasif yang tidak diperlukan
 Menerapkan teknik aseptik

 PROGNOSIS
Dokter harus mengidentifikasi tingkat keparahan penyakit pada pasien dengan
infeksi dan memulai resusitasi agresif bagi pasien dengan potensi tinggi untuk menjadi
kritis. Meskipun pasien telah memenuhi kriteria SIRS, hal ini hanya mampu memberikan
sedikit prediksi dalam menentukan tingkat keparahan penyakit dan mortalitas. Angka
Mortalitas di Emergency Department Sepsis (MEDS) telah membuat skor sebagai metode
untuk mengelompokkan resiko mortalitas pasien dengan sepsis. Skor total dapat digunakan
untuk menilai risiko kematian. Jadi, semakin besar jumlah faktor risiko, semakin besar
kemungkinan pasien meninggal selama perawatan di ICU/UPI (Shapiro et al, 2010).

Tabel 3. Prognosis Mortalitas di Emergency Department Sepsis (MEDS).


Faktor Risiko Skor MEDS

Penyakit terminal (kemungkinan kematian dalam 30 hari) 6 poin

Takipnea dan hipoksia 3 poin

Syok Septik 3 poin

Trombosit <150.000/min3 3 poin

Bands >5% 3 poin

Umur >65 tahun 3 poin

Pneumonia 2 poin

Pasien panti jompo 2 poin

Perubahan status mental 2 poin

Risiko Kematian Total skor MEDS (% dari


kematian akibat sepsis)

Sangat rendah 0-4 (1,1%)

Rendah 5-7 (4,4%)

Sedang 8-12 (9,3%)

Tinggi 13-15 (16,1%)

Sangat tinggi >15 (39%)

Sumber: Shapiro et al, 2010.


 SKDI

Sumber: Konsil Kedokteran Indonesia (SKDI), 2012.

3B (Gawat darurat)
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan
pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan
pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

Anda mungkin juga menyukai