Anda di halaman 1dari 7

VANIA PANGESTIKA P

TUGAS MATRIKULASI
131711123047

1. Anatomi Fisiologi Sistem Imun dan Hematologi


a. Sistem imun
Sistem Imun (bahasa Inggris: immune system) adalah sistem
pertahanan manusia sebagai perlindungan terhadap infeksi dari
makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk virus, bakteri,
protozoa dan parasit.
Sistem imun terdiri dari ratusan mekanisme dan proses yang berbeda
yang semuanya siap bertindak begitu tubuh kita diserang oleh berbagai bibit
penyakit seperti virus, bakteri, mikroba, parasit dan polutan. Sebagai contoh
adalah cytokines yang mengarahkan sel-sel imun ke tempat infeksi, untuk
melakukan proses penyembuhan.
Organ –Organ dalam Sistem Imun (Organ Limfoid). Berdasarkan
fungsinya :
1) Organ Limfoid Primer : organ yang terlibat dalam sintesis/ produksi sel
imun, yaitu kelenjar timus dan susmsum tulang.
2) Organ Limfoid Sekunder : organ yang berfungsi sebagai tempat
berlangsungnya proses-proses reaksi imun. Misalnya : nodus limfe, limpa,
the loose clusters of follicles, peyer patches, MALT (Mucosa Assosiated
Lymphoid Tissue), tonsil.
Faktor yang mempengaruhi sistem imun yaitu usia, gender (jenis
kelamin), nutrisi, faktor psikoneuroimunologi, dan kelainan organ lain.
Abnormalitas fungsi sistem imun menyebabkan timbulnya penyakit imun
melalui dua cara yaitu penyakit defisiensi dan serangan imun yang tidak sesuai.
Respon imun non spesifik merupakan imunitas bawaan yakni respon terhadap
zat asing yang berperan menyertakan beberapa agens pertahanan tubuh,
misalnya pada peradangan menyertakan neutrofil dan makrofag, interferon
menahan serangan virus, natural killer cell menahan serangan virus dan sel
tumor, dan sistem komplemen, suatu plasma protein. Sedangkan pada respon
imun spesifik, terdapat dua kelas, yakni imunitas yang diperantarai oleh antibodi
yang melibatkan pembentukan antibodi oleh turunan limfosit B dan imunitas
yang diperantarai oleh sel seluler yang melibatkan pembentukan limfosit T.
b. Sistem hematologi
Darah merupakan cairan didalam pembuluh darah yang memiliki fungsi
transportasi oksigen, karbohidrat dan metabolik, mengatur keseimbangan pH,
mengatur suhu tubuh, pengaturan hormon dengan membawa dan menghantarkan
dari kelenjar ke sasaran.
Komponen darah yaitu sel darah merah (eritrosit) yang mengandung banyak
hemoglobin yang berfungsi mengikat oksigen. Sel darah merah dibuat disumsum
tulang yang memerlukan zat besi, vitamin B12, asam folat dan rantai goblin.
Komponen kedua adalah sel darah putih (leukosit) yang memiliki fungsi sebagai
pertahanan tubuh dengan cara menghancurkan antigen (kuman, virus, dan toksin).
Jenis leukosit terbagi menjadi lima, yaitu neutrofil polimorfonuklear, eosofil
polimorfonuklear, basofil polimorfonuklear, monosit dan limfosit. Sel
polimorfonuklear dan monosit dibentuk hanya dalam sumsum tulang, sedangkan
limfosit dan sel plasma dihasilkan dari beberapa organ limfogen termasuk kelenjar
limfe, timus, tonsil, dsb. Imunitas dilakukan oleh neutrofil, limfosit, dan monosit
dengan tiga cara merespon kekebalan, yaitu respon fagositosis (menelan benda
asing yang masuk), respon antibodi humoral (berubah menjadi sel plasma bila
bertemu dengan antigen tertentu, lalu membuat antibodi untuk mematahkan
kuman dengan cara menghancurkan bakteri dan toksin yang masuk) dan antibodi
seluler (mengubah diri menjadi spesial killer T-cell)

2. Konsep Penyakit Systemic Lupus Erythethematosus


Penyakit Systemic Lupus Erythethematosus merupakan sebuah penyakit
autoimun yang menyerang seluruh organ tubuh mulai dari ujung kaki hingga ujung
rambut, yang disebabkan oleh penurunan kekebalan tubuh manusia, dan lebih dikenal
penyakit sebagai autoimun. Penyakit ini sebenarnya telah dikenal sejak jaman Yunani
kuno oleh Hipokrates, namun pengobatan yang tepat belum diketahui. Penyakit ini
tidak menular, tetapi didapatkan hampir seluruh penderita Systemic Lupus
Erythematosus adalah perempuan (80%-89%). Dalam penelitian di Amerika Serikat
ditemukan pula bahwa penyakit ini lebih banyak ditemukan pada ras Asia, Indian
Amerika dan Afrika dibandingkan dengan Ras Kaukasia (Roviati, 2013).
Menurut American College Of Rheumatology 1997 dalam Roviati (2013)
diagnosis SLE harus memenuhi 4 dari 11 kriteria yang ditetapkan. Adapun penjelasan
singkat dari 11 gejala tersebut, adalah sebagai berikut:
a. Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga seperti ada
bentukan kupu-kupu, istilah kedokterannya Malar Rash/Butterfly Rash.
b. Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang ditandai adanya
jaringan parut yang lebih tinggi dari permukaan kulit sekitarnya.
c. Fotosensitive, yaitu timbulnya ruam pada kulit oleh karena sengatan sinar
matahari
d. Luka di mulut dan lidah seperti sariawan (oral ulcers).
e. Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan bengkak. Gejala ini
dijumpai pada 90% odapus.
f. Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi cairan.
g. Gangguan pada ginjal yaitu terdapatnya protein di dalam urine.
h. Gangguan pada otak/sistem saraf mulai dari depresi, kejang, stroke, dan lain-
lain.
i. Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan trombosit
berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia
j. Tes ANA (antinuclear Antibody) positif
k. Gangguan sistem kekebalan tubuh.
Penyebab penyakit lupus masih belum diketahui secara pasti sampai dengan
saat ini, namun beberapa ahli berpendapat bahwa penyebab lupus berasal dari
beberapa faktor, yaitu: genetik, lingkungan (sinar UV, obat-obatan, infeksi,
trauma/kecelakaan), faktor internal (stres emosional, stres fisik, demam, dan
hormon estrogen) (Lupus Foundation of America 2012; Stichweh & Pascual 2005).
Lupus dapat menyebabkan inflamasi dan merusak berbagai organ tubuh, seperti
persendian, kulit, ginjal, jantung, paru-paru, pembuluh darah, dan otak (NIAMS
2012; Ferenkeh-Koroma 2012; Nery et al. n.d. dalam Putu 2014).
Gejala lupus yang paling sering dilaporkan oleh odapus adalah demam,
ruam kulit karena fotosensitif, sendi yang bengkak/nyeri, kelemahan/kelelahan, dan
gangguan ginjal (Gallop et al. 2012; FerenkehKoroma 2012; NIAMS 2012; Nery et
al. n.d.). Komplikasi renal, neurologikal, dan hematologikal adalah yang paling
sering ditemukan pada odapus (Kannangara et al. 2008)
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mengetahui pasien
SLE dapat dilakukan pemeriksaan penunjang dan diagnostik berikut:
a. Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA)
Pemeriksaan untuk menentukan apakah auto antibodi terhadap inti
sel sering muncul di dalam darah.
b. Pemeriksaan anti ds DNA (Anti double stranded DNA)
Untuk menentukan apakah pasien memiliki antibodi terhadap
materi genetik di dalamsel.
c. Pemeriksaan anti-Sm antibody
Untuk menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (protein
yang ditemukan dalam sel proin inti)
d. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan immune complexes
(kekebalan ) di dalam darah.
e. Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari serum complement
(kelompok protein yang dapat terjadi pada reaksi kekebalan)
f. Pemeriksaan sel LE (LE cell prep)
Pemeriksaan darah untuk mencari keberadaan jenis sel tertentu
yang dipengaruhi membesarnya antibodi terhadap lapisan inti sel
lain. Pemeriksaan ini jarang digunakan jika dibandingkan dengan
pemeriksaa ANA, karena pemeriksaan ANA lebih peka untuk
mendeteksi penyakit lupus dibandingkan dengan LE cell prep.
g. Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit
h. Urine Rutin
i. Antibodi Antiphospholipid
j. Biopsy Kulit
k. Biopsy Ginjal
Penatalaksanaan pada SLE Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat

penting diperhatikan dalam penatalaksanaan penderita SLE, terutama pada

penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan

langsung kepada penderita atau dengan membentuk kelompok penderita yang

bertemu secara berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya. Pada

umumnya, penderita SLE mengalami fotosensitifitas sehingga penderita harus

selalu diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Selain

itu, penderita SLE juga harus menghindari rokok.


Karena infeksi sering terjadi pada penderita SLE, penderita harus selalu

diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada

penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik,

penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa.

Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada penderita SLE yang akan

menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.

Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita SLE, terutama


penderita dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang
merupakan kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau
siklofosfamid. Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut SLE dan
memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas
penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.

Sebelum penderita SLE diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah

penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang

agresif. Pada umumnya, penderita SLE yang tidak mengancam nyawa dan tidak

berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila

penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka

dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis

tinggi dan imunosupresan lainnya.


3. WOC Sytemic Lupus Erythethematosus
4. Daftar Referensi
Christopher-Stine, L. 2006. Systemic Lupus Erythematosus. A.D.A.M. Medical
Encyclopedia. Departement of Medicine, John Hopkins University, Baltimore.
NIAMS, N.I. of A. and M. and S.D., 2012. Handout on health: systemic lupus
erythematosus. Available at: www.niams.nih.gov.
Putu, N.W.P.S. Precipitating Factors and Preventive Behavior towards the Exposures
of Systemic Lupus Erythematosus. Jurnal Ners Volume 11 No. 2: 213-219
Roviati, Eri. 2013. Systemic Lupus Erithematosus (Sle): Kelainan Autoimun Bawaan
Yang Langka Dan Mekanisme Molekulernya (Review Terhadap Jurnal Systemic
Lupus Erythematosus, Oleh Rahman dan Isenberg. 2008. NEJM). Jurnal Scientiae
Educatia Volume 2 Edisi 1
Smeltzer. Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8. Volume 3. Jakarta : EGC.
Syaifuddin, H. 2014. Anatomi Fisiologi. Edisi 4. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai