Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

HIV/AIDS

Disusun oleh :
Samdaniel Sutanto (112016350)

Pembimbing :
dr. Dewi Anggreni, Sp.KK
dr. Iwan Trihapsoro, Sp.KK, Sp.KP, FINSDV, FAADV
dr. A. A. Sri Budhyani

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR. ESNAWAN ANTARIKSA
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
JAKARTA
PERIODE 27 Agustus 2018 – 29 September 2018
HIV/AIDS

I. PENDAHULUAN
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan sekumpulan
gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan
oleh infeksi human immunodeficiency virus (HIV).1 Virus ini ditemukan oleh Luc
Montagnier, seorang ilmuan Perancis (Institute Pasteur, Paris 1983), yang
mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati,
sehingga pada waktu itu dinamakan Lymphadenophaty Associated Virus
(LAV).2
HIV/AIDS merupakan sebuah masalah besar yang sangat mengancam,
tidak hanya bagi Indonesia tapi juga banyak negara di dunia. HIV/AIDS
menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan meliputi krisis kesehatan,
pembangunan negara, ekonomi, pendidikan, dan kemanusiaan. HIV/AIDS
tidak hanya menyerang dewasa tapi juga anak-anak.
Menurut UNAIDS tahun 2017, jumlah kasus baru infeksi HIV di seluruh
dunia semakin berkurang. Hal ini ditunjukkan bahwa infeksi baru (semua
kalangan usia) berkurang dari 3,4 juta pada tahun 1996 menjadi 1,8 juta pada
tahun 2017. Namun, perkembangan ini berjalan lebih lambat dari yang
diperlukan untuk mencapai tujuan di tahun 2020 di mana angka infeksi baru
ditargetkan < 500.000. Berdasarkan UNAIDS tahun 2017, Asia-Pasifik memiliki
kemajuan dalam merespons angka infeksi HIV. Usaha yang ditujukan untuk
melakukan pendekatan terhadap populasi kunci telah berhasil dalam
menurunkan infeksi HIV di Kamboja, India, Myanmar, Thailand, dan Vietnam
antara tahun 2010 dan 2017. Namun epidemi tersebut terus berkembang di
Pakistan dan Filipina. Infeksi HIV pada usia muda (15-24 tahun) meningkat
sebesar 170% di Filipina dan 29% di Pakistan.3
Dengan semakin meningkatnya pengidap HIV dan kasus AIDS yang
memerlukan terapi ARV, maka strategi penanggulangan HIV/AIDS
dilaksanakan dengan memadukan upaya pencegahan dengan upaya
perawatan, dukungan serta pengobatan.

1
II. EPIDEMIOLOGI
Penularan HIV/AIDS terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung
virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun
heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen
darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. 2
Sejak 1985 hingga 1996 kasus AIDS masih sangat jarang ditemukan di
Indonesia. Sebagian besar ODHA, dikenal sebagai “orang dengan HIV/AIDS”,
pada waktu itu berasal dari kelompok homoseksual. Kemudian pada
pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan terutama diakibatkan oleh
penularan melalui jarum suntik.2
Di seluruh dunia pada tahun 2013 ada 35 juta orang hidup dengan HIV
yang meliputi 16 juta perempuan dan 3,2 juta anak usia < 15 tahun. Jumlah
infeksi baru pada tahun 2013 sebesar 2,1 juta yang terdiri dari 1,9 juta dewasa
dan 240.000 anak usia < 15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1,5
juta, terdiri dari 1,3 juta dewasa dan 190.000 anak usia < 15 tahun. 1
Di Indonesia, HIV/AIDS pertama kali ditemukan di provinsi Bali pada
tahun 1987. Hingga saat ini HIV/AIDS sudah menyebar di 386 kabupaten/kota
di seluruh provinsi di Indonesia. 1
Jumlah kasus HIV/AIDS dari tahun 1987 – 2014 menunjukkan adanya
suatu peningkatan (Gambar 1). Jumlah kumulatif penderita HIV dari tahun 1987
– 2014 adalah 150.296 orang, sedangkan AIDS sebesar 55.799 orang. 1

Gambar 1. Jumlah Kasus HIV/AIDS Tahun 1987 sampai Tahun 2014 Berdasarkan
Survei Kementerian Kesehatan RI
Sumber: Kementrian Kesehatan RI Pusat Data dan Informasi. Situasi dan analisis
HIV/AIDS.2014.http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin%20AIDS.pdf.
Diakses 5 September 2018.

2
Menurut UNAIDS tahun 2017, jumlah kasus baru infeksi HIV di seluruh
dunia semakin berkurang. Hal ini ditunjukkan bahwa infeksi baru (semua
kalangan usia) berkurang dari 3,4 juta pada tahun 1996 menjadi 1,8 juta pada
tahun 2017. Namun, perkembangan ini berjalan lebih lambat dari yang
diperlukan untuk mencapai tujuan di tahun 2020 di mana angka infeksi baru
ditargetkan < 500.000. Berdasarkan UNAIDS tahun 2017, Asia-Pasifik memiliki
kemajuan dalam merespons angka infeksi HIV. Usaha yang ditujukan untuk
melakukan pendekatan terhadap populasi kunci telah berhasil dalam
menurunkan infeksi HIV di Kamboja, India, Myanmar, Thailand, dan Vietnam
antara tahun 2010 dan 2017. Namun epidemi tersebut terus berkembang di
Pakistan dan Filipina. Infeksi HIV pada usia muda (15-24 tahun) meningkat
sebesar 170% di Filipina dan 29% di Pakistan.3
Pola penularan HIV berdasarkan kelompok umur dari tahun 2010
sampai 2014 tidak banyak berubah. Infeksi HIV paling banyak terjadi pada
kelompok usia produktif 25-49 tahun, diikuti kelompok 20-24 tahun. Pola
penularan berdasarkan jenis kelamin memiliki pola yang hampir sama dari
tahun 2008 sampai 2014 yaitu lebih banyak ditemukan pada laki-laki
dibandingkan perempuan.1
Hampir di seluruh negara di dunia, prevalensi HIV ditemukan paling
tinggi pada beberapa kelompok masyarakat yang memiliki faktor risiko yang
sama. Populasi kunci tersebut meliputi kelompok lelaki yang berhubungan seks
dengan lelaki, pengguna obat suntik, orang di penjara dan lingkungan tertutup
lainnya, pekerja seks komersial, dan kalangan transgender. Masing-masing
kelompok tersebut memiliki masalah hukum dan sosial yang kompleks
berkaitan dengan perilaku mereka yang meningkatkan risiko untuk tertular HIV
dan menghalangi mereka untuk memperoleh pelayanan pencegahan dan
pengobatan.4

III. ETIOLOGI
Human immunodeficiency virus (HIV), berasal dari lentivirus primata,
adalah agen etiologi dari AIDS. HIV adalah retrovirus, anggota genus
Lentivirus, dan menunjukkan banyak fitur fisikokimia yang khas dari famili virus

3
tersebut (Gambar 2). HIV adalah virus single-stranded RNA positif (ssRNA)
yang berasal dari jenis yang disebut retrovirus, karena menggunakan reverse
transcriptase untuk membuat salinan DNA genomnya.5
Reseptor utama untuk HIV adalah CD4, yang diekspresikan pada
permukaan limfosit T, monosit, makrofag dan sel dendritik. HIV juga
membutuhkan ko-reseptor untuk masuk ke sel inang, biasanya reseptor
kemokin CCR5 dan CXCR4. Antigen kapsid (p24) adalah core antigen HIV
yang merupakan petanda terdini adanya infeksi HIV, ditemukan beberapa hari
– minggu sebelum terjadi serokonversi sintesis antibodi terhadap HIV. Antigen
ini menutupi komponen nukleoid, sehingga membentuk struktur nukleokapsid.
Antigen P17 merupakan bagian dalam sampul HIV. Pada bagian permukaan
virion terdapat tonjolan yang terdiri atas molekul glikoprotein (gp120) dengan
bagian transmembran gp41. Antigen gp120 ini yang mengikat reseptor sel CD4
pada sel T dan makrofag.4
Ada dua jenis virus AIDS manusia yang berbeda, yaitu HIV-1 dan HIV-
2. Kedua jenis dibedakan atas dasar organisasi genom dan hubungan
filogenetik (evolusi) dengan lentivirus primata lainnya. Perbedaan urutan antara
HIV-1 dan HIV-2 melebihi 50%.5
HIV-1 terkenal karena keragaman genetiknya yang luas. Ada empat
garis keturunan yang berbeda yang berada di bawah HIV-1: M, N, O, dan P.
HIV yang paling sering dilaporkan di seluruh dunia adalah grup M. Grup N
kurang umum, dilaporkan hanya dari Kamerun. Grup O bertanggung jawab
untuk 1% dari total kasus HIV-1 dan terutama ditemukan Kamerun dan Gabon.
Grup P adalah yang paling langka dari semua dan telah diidentifikasi pada
wanita hamil Kamerun di Perancis. Infeksi HIV-1 memiliki prevalensi 0,06% dari
total infeksi HIV.6
HIV-2 paling sering dilaporkan di Afrika Barat, dengan Guinea-Bissau
dan Senegal memiliki insiden tertinggi. Delapan jenis HIV-2 berbeda-beda,
meliputi HIV-A hingga HIV-H. Grup A dilaporkan di seluruh wilayah sub-Sahara.
Grup B dilaporkan lebih umum di Pantai Gading. Karena sifat sporadis dari
infeksi dan kejadian, C ke H dikategorikan sebagai satu transmisi "buntu".6

4
Gambar 2. Struktur Morfologi Human Immunodeficiency Virus
Sumber : Bauman RW. Microbiology with diseases by body system. 4th ed. United
States: Pearson; 2015.

IV. PATOFISIOLOGI
Kita dapat mempertimbangkan replikasi HIV terjadi dalam delapan
langkah (Gambar 3). Delapan langkah tersebut meliputi attachment, entry,
uncoating, synthesis of DNA, integration, synthesis of RNA and polypeptides,
release, dan assembly and maturation.7 Berikut adalah penjelasan dari masing-
masing tahap.
A. Attachment
HIV terutama menempel pada empat jenis sel: sel T-helper; sel-sel
garis keturunan makrofag, termasuk monosit, makrofag, dan mikroglia (sel
fagositik khusus dari sistem saraf pusat); sel otot polos, seperti yang ada di
dinding arteri; dan sel dendritik. HIV juga dapat menginfeksi sel saraf, sel
hati, dan beberapa sel epitel.7
Replikasi retrovirus manusia (misalnya, HIV) dimulai dengan
pengikatan tonjolan glikoprotein virus (trimer molekul gp120 dan gp41) ke
5
reseptor primer, protein CD4, dan reseptor sekunder, yaitu reseptor
kemokin 7-transmembrane G-protein-coupled. ko-reseptor yang digunakan
pada infeksi awal individu adalah CCR5. Kemudian, selama infeksi kronis
seseorang, gen env bermutasi sehingga gp120 berikatan dengan reseptor
kemokin yang berbeda (CXCR4), membuat envelope virus dan selaput
plasma sel berdekatan dan memungkinkan gp41 untuk berinteraksi dengan
dan mempromosikan perpaduan dari dua membran.7,8
B. Entry
HIV memicu sel untuk melakukan endositosis virus; yaitu, membran
sitoplasma sel membentuk kantong dan lipatan di sekitarnya, mengelilingi
virus dan membentuk vesikel dengan virus di dalamnya.7
C. Uncoating
Envelope virus menyatu dengan membran vesikel, dan kapsid HIV
yang utuh memasuki sitosol. Virus kemudian melepaskan kapsid dan
melepaskan dua molekul ssRNA dari kapsid ke sitoplasma sel.7
D. Synthesis of DNA
Setelah genom virus dilepaskan ke sitoplasma, fase awal replikasi
dimulai. Enzim reverse transcriptase, dikodekan oleh gen pol,
menggunakan tRNA di virion sebagai primer dan mensintesis DNA
komplementer, suatu untai DNA negatif (cDNA). Reverse transcriptase juga
bertindak sebagai ribonuklease H, mendegradasi genom RNA, dan
kemudian mensintesis untai DNA positif.7,8
E. Integration
cDNA beruntai ganda kemudian dikirim ke nukleus dan disambung
ke dalam kromosom inang dengan bantuan enzim yang dikodekan virus,
integrase. cDNA akan menjadi bagian dari sel inang sebagai bagian dari sel
untuk kehidupan — suatu kondisi yang dikenal sebagai latensi.7,8

6
Gambar 3. Patogenesis dan Replikasi Virus HIV dalam Sel T CD4
Sumber : Bauman RW. Microbiology with diseases by body system. 4th ed. United
States: Pearson; 2015.

F. Synthesis of RNA and Polypeptides


Setelah terintegrasi, fase laten dimulai, dan DNA provirus
ditranskripsikan sebagai gen seluler oleh RNA polimerase II sel hospes.
Transkripsi genom menghasilkan RNA panjang penuh, yang untuk
retrovirus sederhana diproses untuk menghasilkan beberapa mRNA yang
mengandung urutan gen gag, gag-pol atau env. Ribosom dalam sel yang
terinfeksi menerjemahkan mRNA untuk membuat polipeptida yang terkode
virus, termasuk protein untuk attachment, integrase, dan polipeptida besar
yang terdiri dari reverse transcriptase dan kapsomer yang tidak aktif. Protein
attachment disisipkan dalam membran sitoplasma sel hospes.7,8
G. Release
Dua molekul RNA genomik, molekul tRNA, dan beberapa polipeptida
virus akan beranjak dari membran sitoplasma inang untuk membentuk
virion yang belum matang.7,8
H. Assembly and Maturation
HIV yang baru beranjak dari sel bersifat nonvirulen karena kapsidnya
tidak berfungsi penuh, dan reverse transcriptase tidak aktif. Protease, enzim
virus yang dikemas dalam virion, memotong polipeptida besar untuk
7
melepaskan reverse transcriptase dan kapsomer. Aktivitas protease, yang
terjadi hanya setelah virus telah beranjak dari sel, memungkinkan
pematangan akhir dari kapsid virus sehingga membentuk suatu virus HIV
yang sekarang ini aktif.7

V. GEJALA KLINIS
Ketika orang terinfeksi HIV dan tidak menerima pengobatan, mereka
biasanya akan berkembang melalui tiga tahapan penyakit. Obat untuk
mengobati HIV, yang dikenal sebagai terapi antiretroviral (ART), membantu
orang pada semua tahap penyakit jika digunakan dengan cara yang benar,
setiap hari, dan pengobatan dapat memperlambat atau mencegah
perkembangan dari satu tahap ke tahap berikutnya. Perawatan juga dapat
secara dramatis mengurangi kemungkinan penularan HIV.9 Tiga tahap
perkembangan penyakit HIV terdiri dari:
A. Tahap 1 – Infeksi HIV Akut
Dalam 2 hingga 4 minggu setelah terinfeksi HIV, orang mungkin
mengalami gejala seperti flu, yang dapat berlangsung selama beberapa
minggu. Ini adalah respons alami tubuh terhadap infeksi. Ketika orang
terinfeksi HIV akut, mereka memiliki sejumlah besar virus dalam darah
mereka dan sangat menular. Tetapi orang-orang dengan infeksi akut sering
tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi karena mereka mungkin tidak
merasa sakit segera atau sama sekali. Fase ini ditandai dengan gejala
nonspesifik meliputi nyeri tenggorok, myalgia, demam, ruam, dan kadang-
kadang meningitis aseptik, namun, segera setelah hal itu terjadi, akan
muncul respon imun yang spesifik terhadap virus, yang dibuktikan melalui
konversi. Untuk mengetahui apakah seseorang memiliki infeksi akut,
diperlukan tes generasi keempat atau asam nukleat (NAT). Jika seseorang
merasa telah terpajan HIV melalui seks atau penggunaan narkoba dan
memiliki gejala seperti flu, maka perlu untuk mencari perawatan medis dan
minta untuk dilakukan tes untuk mendiagnosis infeksi akut.9
B. Tahap 2 – Latensi (HIV Inaktif atau Dormansi)
Periode ini kadang-kadang disebut infeksi HIV asimtomatik atau
infeksi HIV kronis. Selama fase ini, HIV masih aktif tetapi bereproduksi pada

8
tingkat yang sangat rendah. Orang-orang mungkin tidak memiliki gejala
atau sakit selama waktu ini. Bagi orang yang tidak meminum obat untuk
mengobati HIV, periode ini bisa bertahan satu dekade atau lebih lama,
tetapi beberapa dapat berkembang melalui fase ini lebih cepat. Orang yang
memakai ART dengan cara yang benar, setiap hari, mungkin berada dalam
tahap ini selama beberapa dekade. Penting untuk diingat bahwa seseorang
masih dapat menularkan HIV ke orang lain selama fase ini, meskipun orang
yang menggunakan ART dan tetap mengalami penekanan viral sangat kecil
kemungkinannya untuk menularkan HIV dibandingkan orang yang tidak
ditekan secara viral. Pada akhir fase ini, viral load mulai naik dan jumlah
CD4 mulai menurun. Ketika ini terjadi, mungkin mulai memiliki gejala ketika
tingkat virus meningkat dalam tubuh, dan pindah ke Tahap 3.9
C. Tahap 3 – Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
AIDS adalah fase paling parah dari infeksi HIV. Orang dengan AIDS
memiliki sistem kekebalan tubuh yang rusak parah sehingga mereka
mengalami peningkatan jumlah penyakit berat, yang disebut penyakit
oportunistik. Fase ini ditandai dengan kehancuran pertahanan pejamu yang
sangat merugikan, peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis.
Pasien khasnya akan mengalami demam selama lebih dari 1 bulan, mudah
lelah, penurunan berat badan, dan diare. Selain infeksi oportunistik, pasien
juga dapat mengalami suatu neoplasma sekunder, dan/ atau manifestasi
neurologis. Tanpa pengobatan, penderita AIDS biasanya bertahan hidup
sekitar 3 tahun. Gejala umum AIDS termasuk menggigil, demam,
berkeringat, kelenjar getah bening yang membengkak, kelemahan, dan
penurunan berat badan. Seseorang didiagnosis dengan AIDS ketika jumlah
CD4 mereka turun di bawah 200 sel / mm³ atau jika mereka
mengembangkan penyakit oportunistik tertentu. Orang dengan AIDS dapat
memiliki viral load yang tinggi dan sangat menular.9
Gejala klinis infeksi HIV/AIDS bervariasi mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan, sampai berat. Pembagian tingkat klinis penyakit infeksi HIV, menurut
WHO tahun 2013 dibagi sebagai berikut:10,11
A. Infeksi Primer HIV
1. Asimtomatik

9
2. Sindroma retroviral akut
B. Tingkat I
1. Tanpa gejala sama sekali. Pada tingkat ini penderita belum mengalami
kelainan dan dapat melakukan aktivitas normal.
2. Limfadenopati generalisata persisten (LGP)
C. Tingkat II
1. Penurunan berat badan kurang dari 10%
2. Herpes zoster yang timbul dalam 5 tahun terakhir
3. Infeksi saluran nafas bagian atas berulang, misalnya sinusitis
4. Cheilitis angularis
5. Dermatitis seboroik
6. Erupsi papular pruritik
7. Infeksi jamur di kuku
8. Ulkus pada mulut
D. Tingkat III
1. Penurunan berat badan lebih dari 10%
2. Diare kronik lebih dari 1 bulan, tanpa diketahui sebabnya
3. Demam yang tidak diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan, hilang
timbul maupun terus menerus
4. Kandidosis mulut
5. Bercak putih berambut di mulut (hairy leukoplakia)
6. Tuberkulosis paru setahun terakhir
7. Infeksi bakterial berat, misalnya pneumonia
8. Acute necrotizing ulcerative gingivitis/periodontitis
9. Anemia yang tidak jelas penyebabnya (Hb < 8 g/dL)
10. Neutropenia (< 500 sel/uL)
11. Trombositopenia kronik (< 50.000 sel/uL)
E. Tingkat IV
1. Badan menjadi kurus, HIV wasting syndrome, berat badan turun lebih
dari 10% dan diare kronik tanpa diketahui sebabnya selama lebih dari 1
bulan atau kelemahan kronik dan demam tanpa diketahui sebabnya
lebih dari 1 bulan
2. Infeksi oportunistik berat

10
3. Pneumocystis pneumonia
4. Kandidiasis esophagus
5. Infeksi Candida di trakea, bronkus, atau paru-paru
6. Kriptosporidiosis kronik dengan diare
7. Mikosis diseminata (histoplasmosis, koksidioidomikosis, penisiliosis)
8. Infeksi Salmonella non-tifoid rekuren
9. TB ekstrapulmoner
10. Isosporiasis kronik
11. Leishmaniasis diseminata atipik
12. Toxoplasmosis
13. Reaktivasi dari American trypanosomiasis (meningoensefalitis atau
miokarditis)
14. Herpes simpleks kronis (orolabial, genital, atau anorektal > 1 bulan atau
visceral herpes)
15. Infeksi CMV (retinitis / infeksi di organ lain)
16. Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV
17. Ensefalopati HIV, sesuai kriteria CDC, yaitu gangguan kognitif atau
disfungsi motorik yang mengganggu aktivitas sehari-hari, progresif
sesudah beberapa minggu atau bulan, tanpa dapat ditemukan penyebab
lain kecuali HIV
18. Multifokal leukoensefalopati progresif
19. Sarkoma Kaposi
20. Limfoma (serebral atau sel B non-Hodgkin)
21. Karsinoma serviks invasif
Pasien yang terinfeksi HIV memiliki daya imunitas tubuh yang rendah
sehingga menjadi rentan terhadap infeksi. Infeksi-infeksi oportunistik yang
dapat menyerang pasien HIV dapat disebabkan oleh berbagai macam
penyebab. Berikut adalah kelompok-kelompok penyebab infeksi oportunistik
pada HIV.
A. Infeksi Bakteri
Banyak penelitian telah membuktikan bahwa infeksi bakteri yang
parah, terutama pneumonia, masih terjadi pada tingkat tinggi bahkan tanpa
adanya deplesi sel CD4 yang parah.

11
Menurut data WHO, di antara pasien yang terinfeksi HIV,
tuberkulosis terjadi pada sekitar 30% pasien dan menyebabkan sekitar 25%
kematian karena AIDS di seluruh dunia. Insiden infeksi mikobakteri atipikal
jarang terjadi, tetapi meningkat seiring pertumbuhan populasi AIDS.12
Infeksi menular seksual (IMS) di antara orang yang hidup dengan
HIV dapat menjadi indikasi perilaku berisiko yang sedang berlangsung dan
kondisi komorbiditas penting yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV
dan IMS. Treponema pallidum, Chlamydia trachomatis, dan infeksi
Neisseria gonorrhoeae paling sering ditemukan pada orang yang terinfeksi
HIV.12
Streptococcus pneumoniae adalah agen pada orang dewasa yang
terinfeksi HIV yang telah dikonfirmasi dalam berbagai studi etiologi dari
Afrika. Pada orang dewasa dengan HIV, pneumokokus telah diteliti terlibat
dalam 20% pneumonia bakteri, 40% dari pneumonia dengan organisme
yang diidentifikasi, dan 70% dari pneumonia dengan kultur darah positif. 12
Mycoplasma genital, termasuk Mycoplasma hominis, Mycoplasma
genitalium, Ureaplasma parvum, dan Ureaplasma urealyticum dapat
mencapai tingkat kolonisasi bahkan hingga 80% pada wanita yang sehat
dan aktif secara seksual. Infeksi dengan bacterial vaginosis dan
Mycoplasma genital dapat meningkatkan risiko penularan HIV dan tingkat
penularan HIV di daerah genitalia.12
Infeksi methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pada
pasien terinfeksi HIV dianggap sebagai faktor morbiditas yang penting. Host
disfungsi kekebalan pada pasien ini menyebabkan risiko yang lebih tinggi
untuk terjadinya bakteremia oleh MRSA.12
Telah ditunjukkan bahwa CD4+ sel T secara selektif meningkat
dalam lingkungan inflamasi yang terkait dengan gastritis Helicobacter.12
B. Infeksi Virus
Sarkoma Kaposi (Gambar 4) dan beberapa jenis limfoma sel B
agresif terjadi paling sering pada pasien dengan limfositopenia sel T CD4+.
Pada tahun 1994, Chang et al. menemukan gammaherpesvirus baru di lesi
sarkoma Kaposi (Kaposi's sarcoma-associated herpesvirus [KSHV], juga
dikenal sebagai human herpesvirus 8 [HHV-8]) dan menunjukkan bahwa itu

12
adalah penyebab sarkoma Kaposi. Dengan temuan ini, menjadi jelas bahwa
sebagian besar kanker terkait HIV disebabkan oleh oncovirus seperti KSHV,
virus Epstein-Barr [(EBV), menyebabkan limfoma non-Hodgkin dan limfoma
Hodgkin], human papillomavirus (HPV) berisiko tinggi (menyebabkan
kanker serviks, kanker anus, kanker rongga mulut dan faring, kanker vulva,
dan kanker penis), virus hepatitis B [(HBV), penyebab kanker hati], virus
hepatitis C [(HCV), menyebabkan kanker hati], dan polyomavirus sel
Merkel. KSHV, HPV, dan HBV ditularkan secara seksual, dan prevalensi
mereka meningkat pada orang dengan banyak kontak seksual. HBV dan
HCV dapat disebarkan melalui pembagian jarum.13

Gambar 4. Sarkoma Kaposi pada Pasien dengan Infeksi HIV


Sumber : Bauman RW. Microbiology with diseases by body system. 4th ed. United States:
Pearson; 2015.

Cytomegalovirus (CMV) menyebabkan morbiditas yang signifikan


pada orang yang terinfeksi HIV di seluruh dunia. Gejala termasuk demam
dan diare dari kolitis CMV, dyspnoea dari pneumonitis CMV, dan kebutaan
yang disebabkan oleh retinitis CMV.14
Infeksi virus herpes simpleks (HSV, yang menyebabkan luka di
sekitar mulut dan alat kelamin) dan infeksi virus herpes zoster ("zonal"
herpes) tidak mengancam jiwa tetapi bisa sangat menyakitkan. Keduanya
13
sering terjadi pada orang yang terinfeksi HIV, tetapi karena mereka tidak
dianggap sebagai kondisi terdefinisi AIDS, hanya ada sedikit data tentang
insiden penyakit ini. Namun perlu diperhatikan, bagaimanapun, bahwa
kedua infeksi tersebut dapat menyebabkan ensefalitis, yang dapat
mengancam jiwa.14
C. Infeksi Jamur
Jamur merupakan penyumbang utama infeksi oportunistik yang
mengenai pasien dengan HIV/AIDS. Infeksi sistemik terutama disebabkan
oleh Pneumocystis jirovecii (pneumocystosis), Cryptococcus neoformans
(cryptococcosis), Histoplasma capsulatum (histoplasmosis), dan
Talaromyces (Penicillium) marneffei (talaromycosis).15
Disamping infeksi jamur tersebut, jamur dari jenis lain juga penting
dalam menyebabkan infeksi pada pasien dengan HIV/AIDS. Coccidioides
spp. terutama mempengaruhi pasien dengan AIDS di Amerika dan
Emmonsia sp. di Afrika Selatan. Candida spp. biasanya menyebabkan
infeksi mukosa, mulut, vagina, dan esofagus pada pasien dengan stadium
3 dan 4 penyakit HIV, dan infeksi jamur kulit dan kuku adalah penyebab
utama morbiditas pada orang yang terinfeksi HIV.15
1. Pneumocystis Pneumonia
Pneumocystis pneumonia (Gambar 5) telah muncul sebagai
penyebab utama infeksi pada mereka dengan HIV / AIDS, dan
diperkirakan menyebabkan lebih dari 400.000 kasus di seluruh dunia
setiap tahun. Penyakit ini disebabkan oleh jamur dari genus
Pneumocystis – jamur dari kelompok Ascomycota – yang memiliki dua
macam spesies, yaitu Pneumocystis carinii dan Pneumocystis jirovecii.15
Dengan respons imun yang sehat, infeksi ini secara efektif dapat
dibersihkan dari tubuh. Namun, selama periode imunosupresi seperti
pada pasien dengan HIV yang memiliki jumlah CD4 lebih rendah dari
200 sel/μL, organisme berproliferasi, menyebabkan pneumonia yang
mengancam jiwa.
Sebagian besar pasien dengan pneumocystis pneumonia hadir
dengan batuk dan dyspnoe progresif dan infiltrat paru pada rontgen
dada atau gambaran paru. Diagnosis pasti bergantung pada identifikasi

14
organisme P. jirovecii pada sekret pernapasan atau cairan
bronkoalveolar. Pemeriksa yang berpengalaman dapat mengidentifikasi
organisme dengan menggunakan pemeriksaan Wright-Giemsa.15

Gambar 5. Gambaran MRI Toraks pada Pneumocystis Pneumonia


Sumber : Limper AH, Adenis A, Le T, Harrison TS. Fungal infections in HIV/AIDS.
Lancet Infect Dis 2017:1-10

2. Cryptococcocis
Infeksi HIV lanjut dapat menyebabkan infeksi oportunistik pada
otak dan sumsum tulang belakang. Salah satu organisme yang dapat
menyebabkan infeksi oportunistik pada otak dan sumsum tulang
belakang adalah Cryptococcus. Perkiraan terbaru menunjukkan bahwa
jumlah kematian akibat meningitis kriptokokus terkait HIV adalah
sebesar 150.000-200.000 kematian per tahun. Sebagian besar infeksi
terkait HIV disebabkan oleh Cryptococcus neoformans, meskipun di
Botswana, hingga 30% infeksi adalah disebabkan Cryptococcus gattii.15
Banyak pasien kemudian mengalami mual, muntah, diplopia
karena kelumpuhan N.VI, dan penurunan visus terkait dengan
peningkatan tekanan cairan serebrospinal. Jika tidak diobati, gejala akan
berkembang menjadi suatu gangguan mental, penurunan kesadaran,
kejang, dan koma.15

15
3. Histoplasmosis
Histoplasmosis disebabkan oleh Histoplasma capsulatum, suatu
jamur Ascomycota termal dimorfik. Bentuk kapang dari jamur ini tersebar
di seluruh dunia di tanah yang lembab dan kaya akan nutrisi yang
berasal dari kotoran burung atau kotoran kelelawar (guano).
Pada AIDS, histoplasmosis biasanya muncul sebagai penyakit
diseminata (> 95% pasien). Semua organ dan jaringan dapat dilibatkan.
Demam, kelelahan, dan penurunan berat badan merupakan gejala yang
bersifat universal. Batuk dan dyspnoe adalah gejala lokalisasi yang
paling sering, dalam hubungan dengan infiltrat radiologi yang difus,
biasanya dengan pola retikulonodular miliaria. Nyeri perut dan diare
sering terjadi dan mengambarkan adanya ulserasi kolon. Limfadenopati,
hepatosplenomegali, dan manifestasi pada mukokutan adalah suatu
petunjuk diagnostik (Gambar 6).15

Gambar 6. Gambaran Klinis pada Pasien dengan Histoplasmosis


Rontgen dada menunjukkan pola retikulonodular interstitial difus pada pasien dengan
histoplasmosis (A). Foto pembesaran kelenjar getah bening pada histoplasmosis (B).
Ulserasi kolon pada pasien dengan histoplasmosis (C). Perwarnaan Giemsa sumsum
tulang belakang menunjukkan fase yeast dari Histoplasma capsulatum (D). Pewarnaan
lactophenol-blue kultur sumsum tulang belakang menunjukkan bentuk kapang H.
capsulatum (E)
Sumber : Limper AH, Adenis A, Le T, Harrison TS. Fungal infections in HIV/AIDS.
Lancet Infect Dis 2017:1-10

16
4. Talaromycosis
T. marneffei menyebabkan mikosis yang mengancam jiwa yang
mengenai penduduk dan wisatawan yang mengalami imunokompromis
di Asia Tenggara, Cina bagian selatan, dan India bagian timur laut.
Sebagian besar infeksi dengan talaromycosis (Gambar 7) terjadi
pada pasien dengan jumlah CD4 di bawah 100 sel/μL. Pasien biasanya
akan mengalami gejala tidak khas seperti demam, penurunan berat
badan, hepatosplenomegali, limfadenopati, dan kelainan pernapasan
dan gastrointestinal. Lesi kulit papulonekrotik ditemukan pada 60-70%
pasien. Infeksi oportunistik lain dapat ditemukan bersamaan dengan
penyakit ini, terutama infeksi tuberkulosis dan Salmonella.15

Gambar 7. Gambaran Klinis pada Pasien HIV dengan Infeksi Talaromycosis


Lesi kulit pada talaromycosis (A). Pewarnaan Giemsa jaringan kulit menunjukkan ragi Talaromyces
marneffei berbentuk oval di dalam dan di luar makrofag yang pecah (B). Morfologi koloni T. marneffei
dan sel T. marneffei tumbuh pada suhu 25°C dan pada 37°C pada medium agar Sabouraud (C).
Sumber : Limper AH, Adenis A, Le T, Harrison TS. Fungal infections in HIV/AIDS. Lancet Infect Dis
2017:1-10

D. Infeksi Parasit
Parasit umum yang terkait dengan orang yang terinfeksi HIV adalah
patogen enterik yang sudah diketahui, misalnya, Entamoeba histolytica,
Giardia lamblia dan Strongyloides stercoralis atau patogen oportunistik,
misalnya, Cryptosporidium, Isospora, Cyclospora dan Microsporidia.16
Leishmaniasis ditularkan oleh lalat dan saat ini mempengaruhi
sekitar 12 juta orang di 88 negara. Yang paling serius dari empat bentuknya
adalah leishmaniasis viseral - juga dikenal sebagai kalaazar - yang ditandai

17
dengan serangan demam yang tidak teratur, penurunan berat badan masif,
pembengkakan limpa dan hati, dan anemia (kadang-kadang serius).14
Toxoplasmosis ditemukan pada sekitar 5% pasien AIDS di AS, tetapi
proporsi yang lebih besar ditemukan di Eropa. Pada orang yang terinfeksi
HIV, toxoplasmosis terutama muncul sebagai ensefalitis atau penyakit yang
bersifat diseminata.14

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui apakah seseorang
terinfeksi HIV sangatlah penting. Ada beberapa jenis pemeriksaan laboratorium
untuk memastikan diagnosis HIV. Secara garis besar, dapat dibagi menjadi
pemeriksaan serologik untuk mendeteksi keberadaan virus tersebut. Deteksi
adanya virus dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus,
deteksi antigen, dan deteksi materi genetik dalam darah pasien. 2
Hal yang perlu diperhatikan dalam infeksi HIV yaitu adanya masa jendela
(window period), yaitu waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya
antibodi yang dapat terdeteksi dengan pemeriksaan. Dalam masa ini, individu
telah terinfeksi oleh HIV tanpa adanya antibodi yang dapat dideteksi pada
pemeriksaan. Masa jendela berlangsung selama 2 minggu hingga 6 bulan. Pada
pemeriksaan ELISA dan western blot akan didapatkan hasil yang negatif dalam
masa ini. Dalam masa ini, infeksi HIV dapat didiagnosis melalui pemeriksaan
PCR RNA, PCR DNA, atau dengan mendeteksi antigen p24.17
A. Pemeriksaan ELISA
Pemeriksaan yang sering dilakukan adalah pemeriksaan terhadap
antibodi HIV. Sebagai penyaring biasanya digunakan metode ELISA,
aglutinasi atau dot-blot immunobinding assay. Metode yang biasa digunakan
di Indonesia adalah ELISA.2
Tes ELISA biasanya merupakan alat skrining HIV pertama. Hasil tes
ELISA positif biasanya diamati dalam 3-6 minggu setelah infeksi. Pada kasus
yang sangat jarang, antibodi dapat berkembang hingga 12 minggu setelah
infeksi. Di luar periode jendela, tes ELISA jarang bernilai false negative. Ini
berarti jika pasien memiliki hasil tes negatif, dan berada di luar periode
jendela setelah paparan potensial terakhir, tes benar-benar negatif. Tes

18
ELISA pada kasus yang jarang mungkin dapat false positive. Hasil ELISA
false positive dapat terjadi dengan adanya auto-antibodi lain, penyakit hati,
vaksinasi influenza dan infeksi virus akut, serta dari kesalahan prosedur dan
penanganan spesimen. Untuk alasan ini, hasil ELISA positif harus selalu
diikuti oleh tes konfirmasi.18
B. Pemeriksaan Rapid Test
Tes cepat menjadi populer di tempat-tempat dengan sumber daya
terbatas atau terpencil untuk diagnosis HIV. Tes-tes ini dapat dilakukan
dengan pelatihan minimal, dan tidak memerlukan peralatan laboratorium
yang mahal untuk pengujian atau pembuangan untuk reagen.18
Hasil pemeriksaan non reaktif (negatif) dapat dilaporkan pada hasil
tes tunggal, tetapi hasil tes reaktif harus dikonfirmasi melalui pengujian
serologis standar. Untuk perempuan yang sedang intrapartum, pengulangan
rapid test dengan alat tes lain mungkin lebih tepat untuk mendapatkan hasil
sebelum persalinan.18
C. Pemeriksaan Western Blot
Pemeriksaan Western Blot merupakan tes konfirmasi yang dilakukan
ketika hasil pemeriksaan ELISA menunjukkan hasil positif. Dalam
pemeriksaan ini protein HIV dipisahkan berdasarkan mobilitas
elektroforesisnya masing-masing. Pemeriksaan ini berguna dalam
mendeteksi antibodi terhadap protein HIV dan glikoprotein.17
Hasil pemeriksaan bisa positif, negatif atau indeterminate. Jika tidak
ada band virus yang terdeteksi, hasilnya negatif. Jika setidaknya ditemukan
satu band virus untuk masing-masing kelompok produk gen gag, pol, dan
env, hasilnya dianggap positif. Dalam keadaan tertentu di mana beberapa
band virus terdeteksi tetapi tidak cukup untuk mengkonfirmasi infeksi,
hasilnya akan dianggap indeterminate. Seseorang yang memiliki hasil
indeterminate harus dilakukan uji ulang, karena tes selanjutnya mungkin
lebih konklusif. Hampir semua orang dengan infeksi HIV dengan hasil
Western Blot yang indeterminate akan menunjukkan hasil positif ketika dites
kembali satu bulan kemudian; hasil yang tetap selama periode enam bulan
menunjukkan adanya reaksi silang dengan antibodi lain dan tidak mewakili
infeksi HIV yang sesungguhnya.18

19
D. Pemeriksaan Antigen p24
Tes antigen p24 dapat digunakan untuk membantu mendiagnosis
infeksi HIV dini. Tingkat antigen p24 meningkat secara signifikan pada
sekitar satu sampai tiga minggu setelah infeksi awal. Selama jangka waktu
ini antibodi HIV diproduksi ketika tes p24 berguna dalam membantu
mendiagnosis infeksi. Sekitar 2-8 minggu setelah terpapar, antibodi terhadap
HIV diproduksi dan tetap dapat terdeteksi sebagai respons terhadap infeksi,
membuat tes antibodi HIV merupakan yang paling berguna untuk
mendiagnosis infeksi.18
E. Pemeriksaan Hitung CD4
Pemeriksaan jumlah CD4 adalah pengukuran paling akurat dari
tingkat kerusakan sistem kekebalan tubuh (Tabel 1), secara kasar
berkorelasi dengan durasi dan aktivitas infeksi HIV, dan merupakan prediktor
prognosis terbaik. Infeksi HIV yang tidak diobati umumnya memiliki 10 tahun
perkembangan sampai infeksi oportunistik dan keganasan muncul, biasanya
ketika jumlah CD4 menurun menjadi kurang dari 200 sel per mm 3. Jumlah
CD4 normal adalah 1.000 ± 200 sel per mm3, tetapi ada variabilitas orang-
ke-orang dan diurnal.19

Tabel 1. Kadar CD4 Berdasarkan Stadium Infeksi HIV

Tidak ada imunodefisiensi > 500 sel/mm3


Imunodefisiensi ringan 350-499 sel/mm3
Imunodefisiensi sedang 200-349 sel/mm3
Imunodefisiensi berat < 200 sel/mm3

Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
nomor 87 tahun 2014 tentang pedoman pengobatan antiretroviral. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI;
2015.

F. Pemeriksaan Viral Load


Viral load adalah prediktor kunci dan indikator respon pengobatan.
Penyakit akut atau vaksinasi baru-baru ini dapat secara sederhana
meningkatkan viral load. Tes resistensi obat HIV (sebaiknya genotipe) harus
dilakukan saat masuk ke perawatan. Tes resistansi awal memberikan
informasi tentang apakah mutasi terkait resistansi obat antiretroviral hadir,
20
memandu pemilihan rejimen awal. Tes resistansi dapat dilakukan jika viral
load di atas ambang batas laboratorium (biasanya 500 eksemplar per mL).19

VII. DIAGNOSIS
Untuk mengetahui status HIV seseorang, maka klien/pasien harus
melalui tahapan konseling dan tes HIV. Secara global diperkirakan setengah
ODHA tidak mengetahui status HIV-nya. Tujuan konseling dan tes HIV adalah
harus mampu mengidentifikasi ODHA sedini mungkin dan segera memberi
akses pada layanan perawatan, pengobatan dan pencegahan. Konseling dan
tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati secara global yaitu 5
komponen dasar yang disebut 5C (informed consent; confidentiality; counseling;
correct test results; connections to care, treatment and prevention services).
Prinsip 5C tersebut harus diterapkan pada semua model layanan Konseling dan
Tes HIV.20
A. Informed Consent
Persetujuan akan suatu tindakan pemeriksaan laboratorium HIV yang
diberikan oleh pasien/klien atau wali/pengampu setelah mendapatkan dan
memahami penjelasan yang diberikan secara lengkap oleh petugas
kesehatan tentang tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien/klien tersebut.20
B. Confidentiality
Semua isi informasi atau konseling antara klien dan petugas
pemeriksa atau konselor dan hasil tes laboratoriumnya tidak akan
diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan pasien/ klien.
Konfidensialitas dapat dibagikan kepada pemberi layanan kesehatan yang
akan menangani pasien untuk kepentingan layanan kesehatan sesuai
indikasi penyakit pasien.20
C. Counselling
Proses dialog antara konselor dengan klien bertujuan untuk
memberikan informasi yang jelas dan dapat dimengerti klien atau pasien.
Konselor memberikan informasi, waktu, perhatian dan keahliannya, untuk
membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan
pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan.

21
Layanan konseling HIV harus dilengkapi dengan informasi HIV dan AIDS,
konseling pra dan pasca tes yang berkualitas baik.20
D. Correct Test Results
Hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harus mengikuti standar
pemeriksaan HIV nasional yang berlaku. Hasil tes harus dikomunikasikan
sesegera mungkin kepada pasien/klien secara pribadi oleh tenaga
kesehatan yang memeriksa.20
E. Connections to Care, Treatment and Prevention Services
Pasien/klien harus dihubungkan atau dirujuk ke layanan pencegahan,
perawatan, dukungan dan pengobatan HIV yang didukung dengan sistem
rujukan yang baik dan terpantau.20
Skrining pada pasien saat pemeriksaan juga dilakukan secara rutin
terhadap kemungkinan infeksi pada pasien yang dicurigai HIV. Skrining tidak
hanya dilakukan pada pasien dengan infeksi oportunistik berat atau keganasan
terkait HIV, tetapi juga pada pasien dengan penyakit berat, seperti infeksi bakteri
pneumokokus; orang dengan risiko tinggi seperti riwayat kontak seksual, atau
penyakit karena penurunan imunitas seperti herpes zoster, kandidiasis, dan
leukoplakia oral.2
Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala
mayor dan satu gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain
seperti kanker, malnutrisi berat atau pemakaian kortikosteroid yang lama.
A. Gejala Mayor
1. Penurunan berat badan lebih dari 10%
2. Diare kronik lebih dari satu bulan
3. Demam lebih dari satu bulan
B. Gejala Minor
1. Batuk lebih dari satu bulan
2. Dermatitis preuritik umum
3. Herpes zoster recurrens
4. Kandidias orofaring
5. Limfadenopati generalisata
6. Herpes simplek diseminata yang kronik progresif

22
VIII. DIAGNOSIS BANDING
Infeksi HIV harus dipertimbangkan disemua pasien dengan infeksi yang
tidak biasa dan infeksi serius yang berulang tanpa penyebab lain, terutama pada
prang dengan faktor risiko dari infeksi HIV. Infeksi oportunistik atau yang
berhubungan dengan kanker yang dihubungkan dengan AIDS juga dapat terjadi
tanpa infeksi HIV namun berhubungan dengan penderita yang kekebalan
tubuhnya menurun atau mengalami gangguan. Penyebab dari menurunnya
sistem imun meliputi kemoterapi, penyakit imun dan severe combined immune
deficiency (SCID) dan malnutrisi buruk harus dipertimbangkan. Contoh, seorang
dewasa muda dengan leukemia yang menjalani kemoterapi memiliki risiko tinggi
terhadap banyak infeksi dan penyakit lain.21

IX. PENATALAKSANAAN
A. Penatalaksanaan Sistemik
Manajemen infeksi HIV yang efektif adalah mungkin menggunakan
kombinasi yang berbeda dari obat yang tersedia. Metode pengobatan ini
secara kolektif dikenal sebagai terapi antiretroviral (ART). ART standar terdiri
dari ramuan setidaknya tiga obat (disebut sebagai “highly active anti
retroviral therapy” atau HAART). ART yang efektif sering membantu
mengendalikan multiplikasi HIV pada pasien yang terinfeksi dan
meningkatkan jumlah sel CD4, sehingga memperpanjang fase asimptomatik
infeksi, memperlambat perkembangan penyakit, dan juga membantu
mengurangi risiko penularan.6 Beberapa golongan ART meliputi:
1. Reverse Transcriptase Inhibitor
Inhibitor reverse transcriptase adalah sekelompok obat, yang
dapat mengikat dan menghambat enzim reverse transcriptase untuk
memotong multiplikasi HIV. Ada dua jenis inhibitor: non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitor (NNRTIs) dan nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NRTI). Contoh dari kelompok obat ini termasuk
zidovudine, didanosine, abacavir, tenofovir, dan Combivir.6
2. Protease Inhibitor
Regulasi enzim protease HIV sangat penting untuk proses
assembly dan produksi HIV. Protease inhibitor secara efektif memblokir

23
fungsi enzim protease pada sel CD4 yang terinfeksi HIV secara akut dan
kronis. Penghambatan enzim protease HIV menghasilkan pembebasan
partikel virus yang belum matang dan tidak menular. Contoh dari
kelompok obat ini termasuk lopinavir, indinavir, ritonavir, nelfinavir, dan
amprenavir.6
3. Fusion Inhibitor
Obat golongan ini bertindak dengan menghalangi HIV memasuki
sel CD4 pasien yang terinfeksi. Mereka menghambat peleburan partikel
HIV dengan sel CD4. Enfuvirtide adalah contoh inhibitor fusi yang
digunakan dalam pengobatan HIV.6
4. Chemokine Receptor 5 Antagonist
Kelompok obat ini mencegah infeksi dengan menghalangi
reseptor antagonis chemokine receptor 5 (CCR5) yang ada pada sel
CD4. Dengan tidak adanya reseptor CCR5 yang kosong, HIV gagal
masuk dan menginfeksi sel. Maraviroc adalah contoh dari antagonis
CCR5 yang digunakan dalam pengobatan HIV.6
5. Integrase Strand Transfer Inhibitor
Strand transfer inhibitor mencegah integrasi DNA virus ke dalam
genom inang sel CD4 oleh enzim integrase. Memblokir integrase
mencegah HIV bereplikasi. Raltegravir, elvitegravir, dan dolutegravir
adalah beberapa obat dalam kategori ini.6
Pedoman pengobatan HIV saat ini merekomendasikan pengobatan
ART untuk semua pasien, terlepas dari jumlah CD4, untuk meningkatkan
dan mencegah perkembangan penyakit menjadi AIDS. Kepatuhan terhadap
pengobatan adalah sangat penting untuk mencapai keberhasilan penuh
pengobatan dan juga untuk mencegah timbulnya resistensi obat.6
Bentuk ringkas pilihan perawatan lini pertama, kedua, dan ketiga yang
direkomendasikan oleh WHO adalah sebagai berikut:
1. Terapi Lini Pertama
Pengobatan ART lini pertama (Tabel 2) untuk orang dewasa terdiri
dari dua NRTI dan satu NNRTI. Tenofovir disoproxil fumarate (TDF) +
lamivudine (3TC) atau emtricitabine (FTC) + efavirenz (EFV) sebagai
dosis tetap adalah pilihan yang disukai untuk jenis ART ini. Ketika

24
kombinasi obat ini dikontraindikasikan atau tidak tersedia, 1) zidovudine
(AZT) + 3TC + EFV, 2) AZT + 3TC + nevirapine (NVP), atau 3) TDF +
3TC (atau FTC) + NVP dapat digunakan.6,20

Tabel 2. Terapi Antiretroviral Lini Pertama pada Dewasa

Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia nomor 87 tahun 2014 tentang pedoman pengobatan
antiretroviral. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2015.

Terapi dikontraindikasikan bila creatinine clearance test (CCT)


adalah < 50ml/menit; adanya kasus diabetes lama, hipertensi tak
terkontrol, dan gagal ginjal; penggunaan obat-obat psikoaktif; sedang
hamil atau sedang mencoba untuk hamil; peningkatan kadar ALT; dan
pasien dengan kadar Hb < 10g/dL sebelum terapi.6,20
Pemantauan setelah pemberian ARV bertujuan untuk
mengevaluasi respons pengobatan. Evaluasi ODHA selama dalam
pengobatan dilakukan bersama-sama antara dokter, perawat, dan
konselor. Evaluasi tidak hanya dilakukan untuk kondisi fisik, namun juga
psikologis, untuk membantu ODHA dan keluarganya selama menjalani
pengobatan. Penilaian klinis dan tes laboratorium berperan penting untuk
melihat kondisi ODHA sebelum inisiasi ART dan berguna untuk
memonitor respons pengobatan dan kemungkinan toksisitas obat ARV.
Pemantauan klinis dalam pengawasan dokter dilakukan rutin minimal
sebulan sekali dalam 6 bulan pertama setelah inisiasi ART. Pemantauan
oleh dokter selanjutnya dapat dilakukan minimal 3 bulan sekali atau lebih
sering, sesuai dengan kondisi dan kepatuhan pengobatan. Tes
laboratorium yang direkomendasikan dapat dilihat pada tabel 3.20

25
Tabel 3. Rekomendasi Tes Laboratorium Pasca Pemberian ARV

Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia nomor 87 tahun 2014 tentang pedoman pengobatan antiretroviral.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2015.

Saat ini paduan ART yang dianjurkan (KDT) dalam lini pertama
mempunyai efek samping minimal (jarang terjadi), kurang toksik dan
sederhana (sekali sehari), sehingga akan meningkatkan kepatuhan
pengobatan. Efek samping (toksisitas) ARV dapat terjadi dalam beberapa
minggu pertama setelah inisiasi hingga toksisitas pada pemakaian lama
seperti dalam tabel 4. Kebanyakan reaksi toksisitas ARV tidak berat dan
dapat diatasi dengan memberi terapi suportif. Efek samping minor dapat
menyebabkan ODHA tidak patuh minum obat, karenanya tenaga
kesehatan harus terus mengkonseling ODHA dan mendukung terapi.20
Penting sekali melakukan pemantauan dalam 6 bulan pertama
terapi ARV. Perbaikan klinis dan imunologis diharapkan muncul dalam
masa pemantauan ini, selain untuk mengawasi kemungkinan terjadinya
sindrom pulih imun (Immune Reconstitution Inflammatory
Syndrome/IRIS) atau toksisitas obat.20

26
Tabel 4. Reaksi Toksisitas pada Pemberian ARV

Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia nomor 87 tahun 2014 tentang pedoman pengobatan antiretroviral. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI; 2015.

Kegagalan terapi dapat dilihat dari berbagai kriteria, yaitu kriteria


virologis, imunologis, dan klinis, seperti dalam tabel 5. Kriteria terbaik
adalah kriteria virologis, namun bila tidak dapat dilakukan pemeriksaan
maka digunakan kriteria imunologis. Sebaiknya tidak menunggu kriteria
klinis terpenuhi agar dapat melakukan switch ke lini selanjutnya lebih dini.
ODHA harus menggunakan ARV minimal 6 bulan sebelum dinyatakan
gagal terapi dalam keadaan kepatuhan yang baik.20
2. Terapi Lini Kedua
Resistansi silang dalam kelas ARV yang sama terjadi pada
mereka yang mengalami kegagalan terapi. Resistansi terjadi ketika HIV
terus berproliferasi meskipun dalam terapi ARV. Jika kegagalan terapi
terjadi dengan paduan NNRTI atau 3TC, hampir pasti terjadi resistansi
terhadap seluruh NNRTI dan 3TC.20
Orang dewasa, termasuk pasien hamil dan menyusui, ketika
pengobatan ART lini pertama gagal, ART lini kedua harus digunakan.
ART lini kedua (Tabel 6) terutama terdiri dari dua NRTI dan PI yang

27
dikuatkan dengan ritonavir. Pilihan yang direkomendasikan untuk ART
lini kedua termasuk AZT dan 3TC sebagai NRTI. Setelah kegagalan AZT
atau stavudine (d4T) + regimen lini pertama berbasis 3TC, TDF + 3TC
(atau FTC) sebagai NRTI harus dipertimbangkan.6,20

Tabel 5. Kriteria Gagal Terapi pada Pemberian ARV

Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia nomor 87 tahun 2014 tentang pedoman pengobatan antiretroviral.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2015.

Tabel 6. Obat-obat Antiretroviral Lini Kedua

Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia nomor 87 tahun 2014 tentang pedoman pengobatan antiretroviral.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2015.

28
3. Terapi Lini Ketiga
Jika terjadi kegagalan lini kedua maka perlu dilakukan terapi
penyelamatan yang efektif. Kriteria yang digunakan untuk penentuan
kegagalan terapi lini kedua harus menggunakan kriteria virologis
(pemeriksaan HIV RNA). Seperti pada penentuan gagal terapi lini
pertama, penentuan kegagalan terapi lini kedua harus dilakukan saat
ODHA menggunakan ART lini kedua minimal 6 bulan dalam keadaan
kepatuhan yang baik. Tes resistansi genotyping diwajibkan sebelum
pindah ke lini ketiga.20
Pada penentuan indikasi dan memulai lini ketiga, diperlukan
konsultasi dengan rumah sakit rujukan yang sudah mempunyai
pengalaman. Berikut adalah paduan ART lini ketiga beserta efek
sampingnya dalam tabel 7 dan 8.20

Tabel 7. Paduan Terapi ARV Lini Ketiga

Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia nomor 87 tahun 2014 tentang pedoman pengobatan antiretroviral. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI; 2015.

Tabel 8. Efek Samping Terapi ARV Lini Ketiga

Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia nomor 87 tahun 2014 tentang pedoman pengobatan antiretroviral. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI; 2015. 29
B. Pengobatan Topikal
Tidak pengobatan topikal untuk infeksi HIV.
C. Tindakan
Tidak ada tindakan khusus untuk pengobatan infeksi HIV.

X. PROGNOSIS
Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal. Sekitar 75% pasien yang
didiagnosis AIDS meninggal 3 tahun kemudian. Penelitian melaporkan ada 5%
kasus pasien terinfeksi HIV yang tetap sehat secara klinis dan imunologis.

XI. KESIMPULAN
HIV menyebabkan imunosupresi pada manusia dengan cara
menurunkan jumlah dan mengganggu fungsi sel T CD4. efek ini dicapai mlalui
dua cara yaitu efek langsung dan efek tidak langsung. Tujuan umum dari terapi
HIV adalah untuk memperpanjang harapan dan kualitas hidup penderita bukan
untuk menghilangkan penyakit. Penatalaksanaan HIV/AIDS bersifat menyeluruh
terdiri dari pengobatan, perawatan/rehabilitasi dan edukasi. Pengobatan pada
pengidap HIV/penderita AIDS ditujukan terhadap: virus HIV (obat ART), infeksi
opportunistik, status kekebalan tubuh, simptomatis dan suportif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan RI Pusat Data dan Informasi. Situasi dan analisis


HIV/AIDS. 2014.
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin%
20AIDS.pdf. Diakses 5 September 2018.
2. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-6. Jakarta: InternaPublishing; 2016.
3. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2014: epidemiology
graphs and charts. Geneva. 2014.

30
4. Deeks SG, Overbaugh J, Phillips A, Buchbinder S. HIV infection. Nature
2015;1:1-22.
5. Brooks GF, Carroll KC, Butel JS, Morse SA, Mietzner TA. Jawetz, Melnick,
& Adelberg’s medical microbiology. 26th ed. United States: McGraw-Hill;
2013.
6. Bhatti A, Usman M, Kandi V. Current scenario of HIV/AIDS, treatment
options, and major challenges with compliance to antiretroviral therapy.
Cureus 2016;8(3):e515.
7. Bauman RW. Microbiology with diseases by body system. 4th ed. United
States: Pearson; 2015.
8. Murray PR, Rosenthal KS, Pfaller MA. Medical microbiology. 7 th ed. China:
Elsevier; 2013.
9. Center for Disease Control and Prevention. Stages of HIV infection.
https://wwwn.cdc.gov/hivrisk/what_is/stages_hiv_infection.html. Diakses 6
September 2018.
10. Daili SF, Zubier F. Human immunodeficiency virus (HIV) dan acquired
immune deficiency syndrome (AIDS). Dalam: Menaldi SLSW, Bramono K,
Indriatmi W, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2018.
11. AIDS Education and Training Centers National Coordinating Resource
Center (AETC NCRC). HIV classification CDC and WHO staging systems.
2014.
12. Shahcheraghi SH, Ayatollahi J, Niri MD, Fazilati A. The most common
bacterial infections in HIV-infected patients. Med J DY Patil Univ 2016;9:773-
4.
13. Yarchoan R, Uldrick TS. HIV-associated cancers and related diseases. N
Engl J Med 2018;378:1029-41.
14. UNAIDS. HIV-related opportunistic diseases – UNAIDS technical update.
Geneva. 1998. http://www.who.int/3by5/en/opportu_en_pdf.pdf. Diakses 9
September 2018.
15. Limper AH, Adenis A, Le T, Harrison TS. Fungal infections in HIV/AIDS.
Lancet Infect Dis 2017:1-10

31
16. Rao RP. Study of opportunistic intestinal parasitic infections in HIV
seropositive patients at a tertiary care teaching hospital in Karnataka, India.
International Journal of Contemporary Medical Research 2016;3(8):2219-22.
17. Bansal R. Essentials in dermatology, venereology & leprology. 1 st ed. India:
Jaypee; 2015.
18. Panico L, Marrocco C, Scolastico C, Sagnelli E, Filippini P. Laboratory
diagnosis of HIV infection. Infez Med 1996;4(4):183-8.
https://www.researchgate.net/publication/10664183_Laboratory_diagnosis_
of_HIV_infection. Diakses 26 September 2018.
19. Goldschmidt RH, Chu C, Dong BJ. Initial management of patients with HIV
infection. Am Fam Physician 2016;94(9):708-16.
20. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia nomor 87 tahun 2014 tentang pedoman pengobatan
antiretroviral. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2015.
21. Bennet NJ. HIV infection and AIDS differential diagnoses.
https://emedicine.medscape.com/article/211316-differential. Diakses 6
September 2018.

32

Anda mungkin juga menyukai