Anda di halaman 1dari 14

Tugas Individu

Manajemen Ternak Potong

MODEL PENGEMBANGAN KERBAU

OLEH:

VERA ROSITA RESKI


I111 16 010
MANAJEMEN TERNAK POTONG B2
(13.00-14.40)

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
Sebagian besar lahan yang ada di Indonesia berupa lahan kering. Lahan
kering biasa didefinisikan sebagai dataran tinggi yang lahan pertaniannya lebih
banyak menggantungkan diri pada curah hujan. Lahan kering mempunyai potensi
yang cukup luas untuk dikembangkan, dengan luas yang mencapai 52,5 juta ha
(Haryati, 2002) untuk seluruh indonesia maka pengembangan sangat perlu
dilakukan.

Ternak kerbau memiliki potensi untuk dikembangkan di daerah lahan kering


selain ternak sapi untuk menunjang produksi daging sapi di Indonesia. Ternak
kerbau merupakan ternak ruminansia yang mampu memanfaatkan tanaman
rerumputan sebagai makanan utamanya untuk menghasilkan daging yang sangat
dibuthkan oleh manusia.

Pengelolaan ternak kerbau didaerah lahan kering sangat penting untuk


diperhatikan agar dapat dioptimalkan potensi yang dimiliki oleh ternak kerbau
demi kepentingan hidup manusia. Adapun teknik – teknik dan program yang perlu
di perhatikan dalam menunjang pengembangan ternak kerbau dilahan kering perlu
dikaji lebih lanjut agar diperloleh suatu sistematika pemeliharaan yang jelas dan
terpadu sehingga dapat dimanfaatkan oleh peternak di daerah lahan kering.

Secara nasional peranan ternak kerbau cukup signifikan dalam


menunjang program swasembada daging sapi tahun 2010, baik dilihat dari
jumlah populasinya sebesar 2,2 juta ekor (sekitar 20% dari populasi sapi
potong), maupun kontribusinya dalam produksi daging yaitu sebesar 39.503 ton
atau ± 15% dari sapi potong. Sementara itu, kontribusi kerbau sebagai
penghasil daging adalah sebesar 13,9% dari daging sapi di Kalsel (Rohaeni et
al., 2008).

Secara nasional peranan ternak kerbau cukup signifikan dalam


menunjang program swasembada daging sapi tahun 2010, baik dilihat dari
jumlah populasinya sebesar 2,2 juta ekor (sekitar 20% dari populasi sapi
potong), maupun kontribusinya dalam produksi daging yaitu sebesar 39.503 ton
atau ± 15% dari sapi potong. Sementara itu, kontribusi kerbau sebagai
penghasil daging adalah sebesar 13,9% dari daging sapi di Kalsel (Rohaeni et
al., 2008). Perkembangan ternak ini sangat lamban, salah satunya disebabkan
oleh sulitnya penyediaan pakan hijauan pada saat kemarau panjang yang
mengakibatkan kondisi ternak kurang baik sehingga produktivitasnya
menurun (Suryana, 2007). Disamping itu serta pemanfaatan teknologi
pengolahan dan penyimpanan pakan belum banyak dilakukan peternak
(Suryana dan Sabran, 2005). Menurut Tarmudji (2003), tantangan yang
dihadapi dalam pembangunan peternakan ruminansia besar adalah
produktivitas dan reproduktivitas ternak yang masih rendah, serangan
penyakit reproduksi dan produksi, skala usaha kecil dan tersebar,
kurangnya jumlah dan kualitas pakan, keterampilan peternak yang masih
rendah, teknik budidaya yang masih tradisional, hambatan sosial
ekonomi dan berbagai kendala lainnya yang menyebabkan populasi
ternak menurun. Produktivitas atau out put dari suatu wilayah dipengaruhi
oleh komposisi ternak berdasarkan umur, jenis kelamin, kelahiran, kematian
dan lamanya ternak dalam masa pembiakan (Sumadi, 2001).

POLA PEMELIHARAAN KERBAU

Kerbau mempunyai peranan penting dalam kehidupan sosial ekonomi


petani, yakni sebagai tabungan hidup, menunjang status sosial, sumber
tenaga kerja, penghasil daging, susu dan pupuk (Diwyanto dan Subandriyo,
1995; Mahardika, 1996). Menurut Yusdja et al. (2003), populasi kerbau
sebagai penghasil daging relatif lambat, sehingga produktivitasnya
rendah. Perbaikan produktivitas kerbau yang dapat dilakukan adalah perbaikan
mutu genetik melalui intensifikasi inseminasi buatan.

Dalam rangka upaya meningkatkan produktivitas usaha ternak diperlukan


adanya ketersediaan piranti-piranti pendukung seperti teknologi siap pakai dan
mempunyai tingkat kelayakan yang memadai untuk mendukung proses
produksi, dengan berpijak pada sumber daya ternak yang ada, dan peternak
sebagai objek yang harus ditingkatkan keterampilannya (Isbandi dan Priyanto,
2004).
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa, kerbau memiliki
kemampuan daya cerna terhadap serat kasar yang tinggi dan mampu
memanfaatkan rumput berkualitas rendah serta menghasilkan berat karkas
yang relatif tinggi dibandingkan sapi-sapi lokal, sehingga kerbau sangat
potensial untuk produksi daging (Siregar, 2004). Pendapat lain
menyebutkan bahwa kerbau mampu memanfaatkan pakan dengan
kandungan protein rendah dan serat kasar tinggi secara lebih efisien dan
mengubahnya menjadi produk daging dan susu yang berkualitas tinggi
(Moran, 1978), serta tingkat resiko penyakit dan parasit relatif rendah
(Baliarti dan Ngadiono, 2006). Menurut Sudirman dan Imran (2006),
kerbau memiliki daya cerna serat kasar yang tinggi dan mampu
memanfaatkan rumput berkualitas rendah untuk menghasilkan daging.
Bobot karkasnya lebih tinggi dibandingkan sapi-sapi lokal sehingga kerbau
sangat potensial untuk produksi daging.

Sistem pemeliharaan kerbau di lahan kering/tegalan yang dilakukan


petani/peternak antara lain mereka memelihara ternaknya dikandangkan
seadanya dan pakan diberikan sesekali tanpa memperhatikan pakan tambahan
atau konsentrat. Namun demikian, ternak kerbau mempunyai daya adaptasi
yang baik dapat hidup dan bertahan serta berproduksi dengan baik
walaupun masih lamban.

Pengaruh tidak langsung terjadi pada ketersediaan hijauan pakan ternak,


baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Menurut Keman (1986), temperatur
sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat dari permukaan air laut, semakin
tinggi permukaan maka semakin rendah suhu udaranya. Daya tahan
terhadap suhu panas lebih rendah, karena kemampuan adaptasi terhadap
lingkungan tendah. Zona comfort untuk kerbau berkisar antara 15,5-21 0 C,
dengan curah hujan 500-2000 mm/tahun. Laporan lain menyebutkan bahwa
zona yang paling ideal bagi ternak kerbau untuk hidup dan berkembang
biak yaitu pada kisaran temperatur 16-24 0 C, dengan batas toleransi 27,6
0 C (Markvichitr, 2006).
Untuk lebih meningkatkan potensi dan peranan ternak kerbau, Direktorat
Jenderal Peternakan (2008), memberikan batasan operasionalisasi pengembangan
usaha ternak kerbau yang dapat dilakukan yaitu:

 Pola pembinaan kelompok


Pembentukan dan pengembangan kelompok diharapkan sebagai sarana
pembelajaran, sebagai unit produksi, wadah kerjasama dan unit usaha.
 Pola kawasan
Kawasan khusus pengembangan ternak kerbau, mempermudah pelayanan
dan pemasaran, sebagai sentra pengembangan agribisnis, pembinaan dan
pengembangan kelembagaan.
 Pola bergulir
Dengan model Bantuan Langsung Masyarakat pada saatnya harus
digulirkan kepada anggota/kelompok lain.
 Pola kemitraan
Usaha kemitraan didefinisikan sebagai kerjasama antara usaha kecil dan
menengah atau dengan usaha besar, disertai pembinaan dan
pengembangan usaha dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan,
saling memperkuat dan saling menguntungkan. Menurut Widyahartono
dalam Hermawan et al. (1998) prinsip kemitraan ditandai oleh adanya
azas kesejajaran kedudukan mitra, azas saling membutuhkan dan azas
saling menguntungkan yang merupakan persetujuan antara dua atau lebih
perusahaan untuk saling berbagi biaya, resiko dan manfaat.

Jamal (2008) mengemukakan bahwa yang paling layak diterapkan dalam


strategi pengembangan ternak kerbau adalah dengan menerapkan pola
pemeliharaan semi intensif, yaitu menyediakan padang penggembalaan terbatas
dengan memanfaatkan lahan tidak produktif, ternak dilepas pada siang hari dan
sore/malam hari dikandangkan. Untuk menambah pakan yang dikonsumsi selama
di padang penggembalaan, peternak bersedia memberikan pakan tambahan (feed
supplement) secara kontinyu tersedia di dalam kandang. Selanjutnya untuk
mengubah perilaku peternak dari yang semula hanya melepaskan ternaknya di
padang penggembalaan, mereka bersedia mengawasi ternaknya secara baik dan
teratur. Strategi konservasi hijauan pakan ternak dapat diartikan sebagai upaya
yang dapat menjamin ketersediaan pakan ternak ruminansia, terutama difokuskan
pada pemberiannya selama musim kemarau (Nggobe, 2007).

Pada musim kemarau kekurangan pakan merupakan suatu kendala dalam


meningkatkan produktivitas ternak kerbau.Upaya konservasi hijauan pakan ternak
(HPT) merupakan upaya untuk memenuhi sebagian kebutuhan pakan selama
musim kemarau. Namun yang perlu diperhatikan adalah jenis hijauan perlu
diseleksi berdasarkan kebutuhan dan ketahanan terhadap kekeringan (Nggobe,
2007). Sehingga diperoleh HPT yang lebih cocok dan dapat dikembangkan
selanjutnya. Misalnya HPT yang cocok dengan salah satu tanaman palawija
adalah tanaman pakan yang tidak berkompetisi dengan tanaman utama, baik
dalam penggunaan unsure hara maupun cahaya matahari. Berdasarkan hasil
penelitian Ratuwaloe dan Marandi dalam Nggobe (2007), menunjukkan bahwa
kualitas rumput lebih baik pada kombinasi rumput+legum+jagung dari pada
rumput tanpa maupun dengan penggunaan pupuk. Salah satu jenis legum yang
tahan terhadap kekeringan, dapat hidup dibawah naungan dan lahan yang
tergenang serta memiliki pertumbuhan yang cepat dan sangat disukai
ternak adalah Centrosema pubescens.

Ketersediaan hijauan sangat tergantung pada alam terutama pada


pemeliharaan ternak yang dilakukan secara tradisional. Hijauan merupakan
bahan pakan yang sangat mutlak diperlukan baik secara kuantitatif
atau kualitatif sepanjang tahun dalam sistem produksi ternak ruminansia.
Kualitas nutrien hijauan bagi kerbau tidak terlepas dari jenis rumput apa yang
digunakan dan di jenis lahan apa ditanam, sehingga akan mencerminkan
kecukupan, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Namun untuk
lebih optimalnya dan untuk menjaga kelangsungan serta ketersediaan
hijauan yang baik, perlu dilakukan beberapa upaya (Rohaeni et al.,
2008), antara lain :

 Perlu dilakukan upaya penanaman hijauan lokal yang telah adaptif


pada padang penggembalaan sehingga populasinya lebih besar
 Perlu diinformasikan kepada petani mengenai pentingnya rotasi
padang penggembalaan
 Sosialisasi pemanfaatan limbah pertanian untuk mengatasi kesulitan
pakan pada musim kemarau atau musin hujan yang panjang
 Perlunya pembinaan kelompok bagi petani peternak kerbau, khususnya
yang berada di daerah yang sangat terpencil.

Sumber makanan ternak kerbau tergantung pada sistem usahatani di suatu


daerah. Daerah yang mempunyai usahatani sawah, sumber pakan kerbau
berasal dari hasil ikutan pertanian yang potensial. Sebaliknya bagi
daerah yang mempunyai sistem usahatani lahan kering atau tegalan, pakan
kerbau masih bergantung pada rumput alam dan sebagai kecil dari
pemanfaatan limbah pertanian. Sebagian besar petani/peternak kerbau di
Kalsel belum secara optimal memanfaatkan limbah pertanian untuk pakan
ternak kerbau, sehingga di beberapa daerah masih dijumpai limbah pertanian
yang terbuang. Selain itu, perlu dipertimbangkan kesesuaian dengan sistem
usahatani yang dilakukan petani setempat (Ibrahim, 2003).

Pemberian pakan dan legum menunjukkan peningkatan dan


berdampak pada peningkatan populasi ternak yang dipelihara petani selama
dua tahun. Wirdahayati dan Bamualim (2008), melaporkan bahwa
pemberian pakan pada induk kerbau menyusui dengan komposisi daun gamal
dan dedak halus secara signifikan dapat meningkatkan bobot badan induk.
Kebutuhan.

INOVASI TEKNOLOGI UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN


TERNAK KERBAU
Perbibitan kerbau di Indonesia diarahkan pada kerbau Lumpur penghasil
daging, karena daging kerbau dapat mensubstitusi kebutuhan daging sapi.
Revitalisasi peternakan kerbau harus dilakukan karena di beberapa daerah
tertentu di NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat,
Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan, daging kerbau lebih disukai dan
populer dibandingkan daging sapi. Kontribusi daging sapi dalam memasok
kebutuhan daging nasional sekitar 23% dan sekitar 2,5% diantaranya berasal
dari daging kerbau, berarti 10% dari total “produksi daging sapi” berasal dari
kerbau (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006). Disamping itu pada beberapa
daerah spesifik kerbau digunakan sebagai penghasil susu karena preferensi
masyarakat setempat.

Perkembangan ternak kerbau relatif lebih lambat dari pada sapi


sebagai akibat dari kurangnya perhatian dari pemerintah dan tingkat
reproduksi yang lebih rendah, karena kesulitan mendeteksi ternak betina yang
birahi, masa kebuntingan yang relatif lebih lama (11 bulan) dibanding sapi
(9 bulan) dan interval kelahiran yang lebih panjang. Namun demikian kerbau
memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dengan pakan yang berkualitas
rendah dibanding sapi. Berdasarkan data populasi ternak kerbau di Indonesia
tidak mengalami peningkatan sementara jumlah pemotongan meningkat terus
maka sudah saatnya penelitian dan pengembangan kerbau di Indonesia mendapat
perhatian yang lebih serius. Penurunan produktivitas kerbau diduga karena adanya
pengurasan pejantan, akibat pejantan yang baik selalu terjual ke pasar,
sehingga pejantan yang tertinggal adalah pejantan muda yang harus melayani
induk-induk yang memang dilarang dipotong.

Kerbau sebagai sumber protein hewani (daging) dapat mencapai rata-rata


pertambahan bobot badan sebesar 0,73 kg/ekor/hari (Ditjennak, 2005). Namun
demikian kebutuhan bibit kerbau yang bagus saat ini menjadi salah satu
kendala terhambatnya perkembangan kerbau di Indonesia. Hal ini dapat dilihat
dari bobot badan yang semakin rendah, banyaknya kerbau albino di beberapa
daerah seperti di Banten dan Jawa Barat serta banyaknya kerbau lumpur
yang bertanduk menggantung (Triwulanningsih et al., 2005). Padahal harga
kerbau albino sering lebih rendah dibandingkan kerbau normal, tetapi karena
kelangkaan pejantan yang berkualitas, maka kerbau albino maupun pejantan
muda terus digunakan untuk melayani betina yang ada.

INOVASI TEKNOLOGI

Ternak kerbau dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu Kerbau


Lumpur (Swamp Buffalo) dimana populasinya tersebar di Asia Tenggara, dan
Kerbau Sungai (Riverine buffalo) yang terkonsentrasi di sekitar India,
Pakistan, Afrika Utara, Italia dan Bulgaria. Jumlah kromosom di antara kedua
jenis kerbau berbeda yaitu sebanyak 48 kromosom pada kerbau lumpur dan 50
kromosom pada kerbau sungai. Sebagian besar kerbau di Indonesia adalah
Kerbau Lumpur dan hanya beberapa ratus ekor kerbau sungai dijumpai di
Sumatera Utara. Kerbau Lumpur dijumpai mempunyai variasi yang cukup
besar pada berat badan maupun warna kulit, sehingga dikenal dengan
bermacam nama seperti kerbau Jawa, Aceh, Toraja, Kalang, Moa dan lain
sebagainya.

Kerbau Sungai dijumpai di Medan-Sumatera Utara sebanyak sekitar


1400 ekor pada tahun 2004, dan diperkirakan populasinya tidak meningkat
karena intensitas perkawinan inbreeding yang tinggi dan kurangnya perhatian
pemerintah untuk meningkatkan produksi ternak kerbau. Usaha untuk
memasukkan darah baru belum memungkinkan sehubungan dengan upaya
pencegahan penyakit. Namun karena keragaman kerbau lumpur di Indonesia
yang cukup besar ini memungkinkan untuk dapat memilih kerbau terbaik
dari suatu wilayah tertentu yang dapat dikawinkan dengan kerbau dari
wilayah yang lain (outbreeding).

Salah satu kelebihan kerbau yang selama ini dipercayai adalah


kemampuannya untuk mencerna pakan yang mengandung serat kasar tinggi.
Antara lain kerbau mampu mencerna jerami padi yang tersedia melimpah
saat musim panen dan dapat disimpan sebagai cadangan pakan di musim
kemarau.

Dewasa ini, seiring dengan semakin berkembangnya teknologi, telah


tersedia banyak pilihan teknologi reproduksi yang dapat diterapkan pada
ternak, seperti intensifikasi kawin alam (INKA), inseminasi buatan (IB),
fertilisasi in vitro (FIV), transfer embrio (TE), clonning, transfer gen, dan
lain-lain. Pemilihan teknologi reproduksi yang akan diterapkan harus
memperhatikan kondisi obyektif peternak, karena hal ini terkait dengan efektivitas
dan efisiensi yang ditimbulkan akibat penerapan teknologi tersebut. Melihat
kondisi obyektif peternakan tradisional kita, maka untuk saat ini teknologi
IB dan INKA adalah pilihan yang tepat dibandingkan dengan teknologi
reproduksi lain. Penerapan teknologi reproduksi yang lebih mutakhir belum
mendesak karena di samping tingkat keberhasilan yang masih rendah
pada tingkat lapang, juga memerlukan tambahan biaya yang besar.

Sinkronisasi (penyerentakan) estrus merupakan salah satu teknologi


reproduksi yang sering diterapkan untuk mendukung keberhasilan program IB.
Dengan teknologi ini sekelompok ternak yang memperoleh perlakuan khusus
akan memperlihatkan gejala-gejala estrus dalam waktu relative serentak sekitar
dua hari setelah perlakuan.

Sekelompok ternak betina yang estrus serentak akan memudahkan


pelaksanaan IB yang pada akhirnya akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi
manajemen peternakan secara keseluruhan. Penerapan teknologi sinkronisasi
estrus dan IB secara simultan terhadap ternak dalam jumlah banyak akan
meningkatkan efisiensi peternakan. Hal ini karena dalam waktu bersamaan
peternak akan memiliki sekelompok ternak bunting, melahirkan, dan umur anak
yang relative seragam, sehingga memudahkan dalam proses pemeliharaan.

Dengan demikian peternak juga dapat mengatur waktu yang tepat kapan
melakukan proses perkawinan, terkait dengan permintaan pasar dan musim
dimana ketersediaan pakan hijauan yang cukup saat melahirkan dan menyusui
anaknya, sehingga diharapkan angka kematian pedet dapat dikurangi. Mahyuddin
et al. (1995) melaporkan pada penelitiannya yang menggunakan kerbau Lumpur
bahwa pada kelompok kerbau yang diberi konsentrat 1% dari bobot badan,
dibandingkan tanpa konsentrat dan rumput Gajah diberikan ad libitum pada kedua
kelompok selama delapan minggu, kemudian diberi prostaglandin (PGF 2α) untuk
sinkronisas estrus dan diinseminasi setelah 72 jam estrus. Ternyata pada
kelompok kerbau yang hanya diberi rumput Gajah tanpa konsentrat hanya 50%
yang menunjukkan aktivitas ovarinya, sementara pada kelompok yang diberi
konsentrat 100% memberikan profil progesteron yang menandakan adanya
aktifitas ovari.
Untuk memperoleh keturunan dengan jenis kelamin yang diinginkan dapat
dilakukan melalui perkawinan menggunakan semen hasil pemisahan sel
spermatozoa pembawa kromosom penentu jenis kelamin (sexing spermatozoa).
Dengan sexing, rasio spermatozoa pembawa kromosom X (betina) dan Y
(jantan) yang awalnya 50:50 dapat dirubah menjadi sekitar 70:30 atau
bahkan lebih. Pemisahan secara sederhana didasarkan pada perbedaan ukuran
antara spermatozoa pembawa kromosom X dan Y. Ukuran spermatozoa
pembawa kromosom Y lebih kecil dibandingkan dengan spermatozoa pembawa
kromosom X. Hal pokok yang menyebabkan rendahnya angka kelahiran kerbau
adalah kondisi induk kerbau yang kurang prima, karena kualitas pakan yang
rendah dan serangan parasit yang tinggi, kecuali itu estrus lebih banyak terjadi
pada malam hari, saat pejantan mungkin tidak berada pada kandang yang sama.
Umur pertama kali dikawinkan dan umur mencapai bobot potong optimal yang
lama, disebabkan kualitas nutrisi yang rendah dengan sistem pemeliharaan yang
tradisional, yang hanya memberikan rumput alam tanpa pernah memberikan obat
cacing (Siregar et al.,1997).

Di Kalimantan Selatan, dikenal kerbau Kalang yang berfungsi hanya


sebagai tabungan dan umumnya mencari makan di sungai dan kalau malam
hari naik ke “kalang”. Di sini ada kendala, kalau musim hujan pakan relatif lebih
sulit, karena banjir sehingga banyak menyebabkan kematian pada anak kerbau.
Bila musim kering, pakan relative lebih banyak. Penyebab kematian kerbau
umumnya penyakit bakteri dan parasiter dan kecelakaan karena tidak dapat
keluar dari lubang tempatnya berkubang. Sementara itu performans produksi dan
reproduksi pada kerbau Kalang telah diamati oleh Putu et al.(1995), dikatakan
bahwa peternakan kerbau Kalang masih perlu ditingkatkan secara massal untuk
memanfaatkan agroekosistem rawa yang ada, sehingga memberikan nilai tambah
bagi kesejahteraan penduduk di sekitarnya. Terlihat bahwa perkawinan sesudah
melahirkan antara 149 sampai 171 hari, hal ini terjadi karena lamanya penyapihan
dan lamanya involusi uterus setelah melahirkan yang mungkin akibat kualitas
pakan yang tersedia, akibatnya jarak beranak menjadi panjang, yaitu sekitar
16 bulan. Oleh sebab itu system perkawinan disesuaikan dengan musim di suatu
lokasi, dimana pakan melimpah dan anak tidak kekurangan susu induk, sehingga
kematian dini dapat dihindari.

ALTERNATIF PENGEMBANGAN

Selama ini, usaha peternakan kerbau masih menguntungkan, terbukti


dengan tetap dipeliharanya kerbau sebagai tabungan dan dapat diandalkan untuk
memenuhi kebutuhan besar. Di Bengkulu, ternak kerbau dipelihara ekstensif
dan nyaris tidak tersentuh teknologi (“zero input”). Umumnya peternak
sudah berpengalaman lama dalam pemeliharaan ternak kerbaunya karena
merupakan usaha keluarga yang turun temurun. Disamping itu usaha ini
mampu menghasilkan uang lebih banyak dibandingkan usaha tani lainnya.
Kerbau dapat memanfaatkan pakan/serat kasar lebih baik dari pada sapi dan
pupuknya sangat diharapkan untuk usaha pertanian lain serta biogas untuk
keluarga petani.

Dengan beternak kerbau dapat memanfatkan sumber tenaga kerja keluarga


atau waktu senggangnya bagi usaha produktif yang akan dapat menunjang
usaha penyediaan lapangan kerja. Peternakan kerbau rakyat masih mempunyai
fungsi sosial yang amat penting, karena itu pengembangannya perlu mendapat
lebih banyak perhatian. Misalnya melalui perbaikan manajemen perkawinan;
baik melalui perkawinan alam maupun inseminasi buatan. Sistem pemeliharaan/
perkadangan per kelompok dengan beberapa pejantan yang bagus mutu
genetiknya dengan perbandingan betina : jantan (20:1) atau dengan inseminasi
buatan (200:1), sistem perkawinan yang teratur, sehingga diperoleh anak pada
setiap bulan sekitar 200 ekor per kelompok, sehingga tiap tahun dapat diharapkan
anak lepas sapih sekitar 175 x 12 = 2100 ekor (asumsi kematian anak 9 - 10%).

PENDEKATAN KEGIATAN

Beberapa pendekatan untuk mengatasi berbagai masalah usaha peternakan


kerbau maka diperlukan berbagai kegiatan yang saling terkait dan mendukung
antar berbagai instansi maupun disiplin ilmu antara lain adalah:
1. Penyuluhan pada petani peternak, tentang bagaimana cara beternak
kerbau yang baik. Di lokasi padat ternak kerbau dibuat suatu ”demplot”
yang melibatkan semua pihak (pemerintah, swasta, peternak kerbau).
2. Penyediaan fasilitas permodalan atau kredit dari Bank untuk
pengembangan usaha beternak kerbau. Peternak yang sudah biasa
memelihara ternak kerbau layak diberikan fasilitas kredit usaha
peternakannya yang sekaligus akan merupakan sumber penghasilan yang
lebih berarti bagi rakyat setempat. Disarankan prasyarat yang mudah,
terutama bagi peternak kecil yang mampu melaksanakan breeding
program dalam rangka Rural Credit Program antara lain: (1) Jangka
waktu kredit 5 sampai 8 tahun, (2) Kredit diberikan untuk 5 ekor kerbau
untuk breeding maupun untuk ternak kerja, (3) Peternak diharuskan
menanam pakan ternak, sehingga kekuatiran tiadanya hijauan pada
musim kemarau dapat dihindari (dapat dikaitkan dengan tanaman
pangan lainnya, seperti jagung, sayuran dsb.).
3. Pelaksanaan pengembangan usaha peternakan haruslah dibuat
terintegrasi dengan usaha pertanian lain (tanaman pangan atau
perkebunan), sehingga pupuknya dapat dimanfaatkan untuk usaha
pertanian tersebut dan limbah pertanian dapat dimanfaatkan oleh
kerbau, seperti jerami padi yang tersedia melimpah saat panen. Pada
perkebunan kopi yang umumnya ditanam Glirisidia sebagai
tanaman pelindung, daunnya dapat digunakan sebagai salah
satu sumber protein untuk kerbau.
4. Sistem perkawinan diatur dengan menggunakan pejantan unggul,
sehingga setiap 15 bulan dapat dihasilkan anak kerbau yang sehat.

MODEL PENGEMBANGAN

Adapun model pengembangan peternakan kerbau, antara lain dari cara


pemeliharaannya yang selama ini extensive sebaiknya sudah harus dirubah
menjadi semi intensive, dengan sedikit sentuhan teknologi dan tatalaksana
pemeliharaan serta pengendalian penyakit, maka diharapkan usaha
peternakan kerbau menjadi lebih menguntungkan. Hal ini tercermin dari
tujuan peternak memelihara kerbau adalah untuk menyimpan uang (saving).
Peternak sudah sangat berpengalaman dalam memelihara kerbau, karena
sudah merupakan usaha turun temurun. Diharapkan pemeliharaan kerbau dapat
terintegrasi dengan kegiatan pertanian yang lain

Kerbau jantan yang akan dijual sebaiknya digemukan terlebih dahulu


baru dijual. Sebagai contoh suatu perusahaan penggemukan kerbau di Sukabumi,
dimana kerbau berasal dari Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan
sekitarnya. Rata-rata bobot badan awal 282 kg dan setelah dipelihara selama 83
hari dengan pemberian pakan jerami padi dan diberi probiotik, bobot
badannya meningkat menjadi rata-rata 400 kg, berarti pertambahan obot
badan per hari sekitar 1,42 kg; ini suatu bukti bahwa untuk kerbau yang
berasal dari daerah dimana pakan sulit, setelah dipelihara intensif dapat lebih
menguntungkan dibanding sapi. Analisis Cash Flow Tabel 3 ini adalah suatu
contoh model analisa usaha inovasi teknologi perbibitan dan penggemukan
sapi potong di Kalimantan Barat yang dapat dijadikan acuan bagi
pengembangan kerbau. Usaha penggemukan bergulir setiap 3 bulan,
sehingga peternak mendapat dana segar setiap 3 bulan, disamping itu usaha
pembibitan terus dijalankan.

Anda mungkin juga menyukai