Anda di halaman 1dari 42

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hospitalisasi merupakan proses karena suatu alasan yang berencana atau

darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan

perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah. Rawat inap (Hospitalisasi)

dapat menyebabkan kecemasan dan stres pada usia berapa pun. Ketakutan yang

tidak diketahui selalu mengancam psikologis setiap individu yang menjalani rawat

inap tidak terkecuali anak yang menghadapi rawat inap, anak-anak sering terlalu

muda untuk mengerti apa yang terjadi atau takut untuk mengajukan pertanyaan.

Rawat inap jangka pendek tetap terjadi lebih sering dari pada rawat inap yang

lama, bahkan selama tinggal sebentar anak sering khawatir. Selain itu, anak dapat

merasakan kekhawatiran keluarga dan emosi-emosi negatif yang dapat

menghambat kemajuan kesehatan anak (Hatfield, 2008).

Berdasarkan data WHO (2012) bahwa 3 - 10 % anak dirawat di Amerika

Serikat baik anak usia toddler, prasekolah ataupun anak usia sekolah, sedangkan

di Jerman sekitar 3 sampai dengan 7% dari anak toddler dan 5 sampai 10% anak

prasekolah yang menjalani hospitalisasi (WHO, 2012).

Di Indonesia sendiri jumlah anak yang dirawat pada tahun 2014 sebanyak

15,26% (Susenas, 2014). Anak usia prasekolah dan anak usia sekolah merupakan

usia yang rentan terhadap terkena penyakit, sehingga banyak anak usia tersebut

yang harus dirawat di rumah sakit dan menyebabkan populasi anak yang dirawat
2

di rumah sakit mengalami peningkatan yang sangat dramatis. Angka kesakitan

anak di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Nasional (Susenas) tahun 2010

di daerah perkotaan menurut kelompok usia 0-5 tahun sebesar 25,8%, usia 6-12

tahun sebanyak 14,91%, usia 13-15 tahun sekitar 9,1%, usia 16-21 tahun sebesar

8,13%. Angka kesakitan anak usia 0-21 tahun apabila dihitung dari keseluruhan

jumlah penduduk adalah 14,44%. Anak yang dirawat di rumah sakit akan

berpengaruh pada kondisi fisik dan psikologinya, hal ini disebut dengan

hospitalisasi (Kemenkes, 2014).

Profil Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara menjelaskan bahwa

hospitalisasi adalah keadaan krisis pada anak saat anak sakit dan dirawat di rumah

sakit, sehingga harus beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit. Berdasarkan

pengamatan peneliti terhadap anak dan orang tua di RSUP Haji Adam Malik

Medan, bahwa jumlah penderita anak yang dirawat inap tahun 2011 yaitu

sebanyak 9.212 penderita, sedangkan jumlah penderita anak usia sekolah yaitu

sebanyak 2.833 penderita. Jumlah kasus anak yang dirawat inap setiap tahunnya

rata-rata di atas 40%, hal ini menunjukkan bahwa kasus rawat inap pada anak

masih tetap tinggi dibandingkan golongan umur lainnya (Dinkes Provsu, 2010).

Rumah sakit merupakan salah satu bentuk sarana kesehatan, baik yang

diselenggarakan oleh pemerintah dan atau masyarakat yang berfungsi untuk

melakukan upaya pelayanan kesehatan dasar atau kesehatan rujukan dan atau

upaya kesehatan penunjang. Keberhasilan suatu rumah sakit dalam menjalankan

fungsinya ditandai dengan adanya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit. Mutu
3

rumah sakit sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satu faktor yang paling

dominan adalah sumber daya manusia (Depkes, 2009).

Hal ini dapat terjadi pada semua tingkatan usia anak. Stessor yang dapat

menyebabkan kecemasan pada anak usia sekolah (6-12 tahun) karena dirawat di

rumah sakit diantaranya adalah perpisahan dengan sekolah, teman sebaya dan

orang tua, kehilangan kontrol pada keterampilan sebelumnya, cedera tubuh dan

nyeri. Reaksi yang mungkin terjadi adalah tingkah laku protes, bosan, kesepian,

frustasi, menarik diri, mencari informasi. Kelompok anak usia sekolah menerima

keadaan masuk rumah sakit dengan sedikit ketakutan. Beberapa diantaranya akan

menolak masuk rumah sakit dan secara terbuka meronta tidak mau dirawat

(Sacharin, 2008).

Pada awal seorang anak menjalani pengobatan atau rawat inap di rumah

sakit, seringkali muncul perilaku tidak menyenangkan dan sulit dikendalikan.

Pada saat seperti itu, perasaan mereka penuh dengan beban emosional seperti rasa

cemas, ketakutan, perasaan rendah diri, perasaan marah, depresi, perasaan tidak

berdaya, ketergantungan yang berlebihan pada orang lain dan tidak mampu

berpikir dengan baik. Mayoritas anak usia sekolah ( 6-12 tahun) sangat cemas dan

takut terhadap hospitalisasi. Sakit dan hospitalisasi menimbulkan krisis pada

kehidupan anak. Di rumah sakit, anak harus menghadapi lingkungan yang asing,

pemberi asuhan yang tidak dikenal dan gangguan terhadap gaya hidup mereka

(Wong, 2011).

Anak akan mengalami stres akibat perubahan, baik terhadap status

kesehatannya maupun lingkungan sehari-hari dan anak mengalami keterbatasan


4

dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian yang

bersifat menekan. Dengan alasan : (1) Anak mengalami stres akibat perubahan

baik terhadap status kesehatannya maupun lingkungannya dalam kebiasaan

sehari-hari, dan (2) Anak mempunyai sejumlah keterbatasan dalam mekanisme

kopinguntuk mengatasi masalah maupun kejadian-kejadian yang bersifat

menekan. Hospitalisasi pada masa anak-anak juga mempengaruhi setiap anggota

keluargainti. Reaksi orang tua terhadap penyakit anak mereka bergantung

padakeberagaman faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hampir semua orang

tuaberespons terhadap penyakit dan hospitalisasi anak mereka dengan reaksi

yangluar biasa konsisten.Pada awalnya orang tua dapat bereaksi tidak

percaya,marah atau merasa bersalah, takut, cemas dan frustasi (Wong, 2011).

Keluarga mempunyai satu peran penting terkait dengan perawatan anak di

Rumah Sakit yaitu peran pengasuhan (parenting role), di mana kelurga

mempunyai tugas yang harus dijalankan yaitu menerima kondisi anak ,mengelola

kondisi anak, memenuhi kebutuhan perkembangan anak, memenuhi kebutuhan

perkembangan keluarga, menghadapi stressor dengan positif,membantu anggota

keluarga untuk mengelola perasaan yang ada, mendidik anggota keluarga yang

lain tentang kondisi anak yang sedang sakit,menggembangkan sistem dukungan

sosial (Supartini, 2009).

RSUD Padangsidimpuan adalah sebagai salah satu tempat rujukan di

wilayah Tabagsel. Banyak pasien anak yang di rujuk dari RSUD Sibolga, RSUD

Tapteng, RSUD Tapsel, RSUD Gunungtua, RSUD Sibuhuan dan RSUD Madina

karena masih kurangnya sarana dan prasarana dari RS tersebut. Data dari rekam
5

medik RSUD Padangsidimpuan bahwa angka hospitalisasi secara umum pada

pasien yang mendapatkan kecemasan di ruang anak ( Rawat Bersama / Umum)

RSUD Padangsidimpuan pada bulan April 2012, dari keseluruhan pasien yang di

rawat inap (hospitalisasi) berjumlah 83 orang, 20 orang (24,10%) diantaranya

mengalami kecemasan. Data tersebut menunjukkan bahwa kecemasan anak yang

di rawat inap di jumpai karena takut dilakukan pemasangan infus dan suntik. Hal

ini menunjukkan presentase pasien yang mengalami kecemasan masih cukup

besar yaitu 5%.( Burhan Metro Tabagsel, 2013).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD

Padangsidimpuan, jumlah anak sekolah yang mengalami hospitalisasi sepanjang

tahun 2018 sebanyak 325 pasien. Data dari bulan Januari - Maret 2018 sebanyak

63 pasien. Dari hasil pengamatan yang dilakukan peneliti ruang anak RSUD

Padangsidimpuan, ditemukan beberapa anak usia sekolah yang mengalami

kecemasan. Anak menunjukkan respon menangis ketika perawat mendekat,

berontak saat perawat melakukan tindakan, serta menolak makan, ini

menunjukkan bahwa rata-rata anak merasakan kecemasan saat di rawat di rumah

sakit (Rekam Medik RSUD Padangsidimpuan, 2018).

Dari latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk mengambil judul

“Hubungan Peran Orang Tua dengan Tingkat Kecemasan Pasien Anak Usia

Sekolah (6-12 Tahun) yang Mengalami Hospitalisasi di RSUD Padangsidimpuan

Tahun 2018”.
6

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah paada penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah

ada Hubungan Peran Orang Tua dengan Tingkat Kecemasan Pasien Anak Usia

Sekolah (6-12 Tahun) yang Mengalami Hospitalisasi di RSUD Padangsidimpuan

Tahun 2018.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk Mengetahui hubungan Peran Orang Tua dengan Tingkat Kecemasan

Pasien Anak Usia Sekolah (6-12 Tahun) yang Mengalami Hospitalisasi di RSUD

Padangsidimpuan Tahun 2018.

1.3.2. Tujuan Khusus :

1. Mendeskripsikan orientasi ruangan yang dilakukan oleh perawat.

2. Mendeskripsikan tingkat kecemasan anak usia sekolah yang dirawat di

rumah sakit.

3. Menganalisis hubungan orang tua dengan tingkat kecemasan anak usia

sekolah yang mengalami hospitalisasi di RSUD Padangsidimpuan.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi Responden

Penelitian ini diharapkan sebagai bahan pembelajaran dan tambahan

pengetahuan bagi responden terkait pentingnya peran orang tua dalam setiap

intervensi keperawatan yang dilakukan pada anak usia sekolah selama proses

hospitalisasi di RSUD Padangsidimpuan.


7

1.4.2. Bagi Rumah Sakit

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan perawat dalam

memberikan intervensi keperawatan yang tepat untuk mengatasi tingkat

kecemasan pada anak usia sekolah dengan memfasilitasi orang tua dalam

memberikan peran orang tua bagi anak selama menjalani proses hospitalisasi di

RSUD Padangsidimpuan.

1.4.3 Bagi Insitusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi yang berguna bagi

para pembaca untuk meningkatkan mutu pendidikan keperawatan anak sehingga

masalah psikologis tingkat kecemasan anak usia sekolah yang mengalami proses

hospitalisasi dapat teratasi dan dapat membantu proses penyembuhan.

1.4.4. Bagi Penelitian Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dan bahan masukan

yang berguna dalam menambah wawasan bagi peneliti selanjutnya, diharapkan

peneliti selanjutnya dapat mengulas lebih dalam terkait variabel lain yang belum

dibahas dalam penelitian ini yang berhubungan dengan tingkat kecemasan anak

anak usia sekolah yang mengalami proses hospitalisasi di RSUD

Padangsidimpuan tahun 2018.


8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Peran Orang Tua

2.1.1. Pengertian Peran

Peran adalah perilaku yang terkait dengan status tersebut. Peran

merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status) (Levis, 2010). Peran

merupakan pemeranan dari perangkat hak dan kwajiban. Apabila seseorang

melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka ia

menjalankan ia menjalankan suatu peranan. Peranan menentukan apa yang

diperbuat seseorang dalam masyarakat. Peran dalam ilmu sosial berarti suatu

fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki suatu posisi dalam struktur

sosial tertentu. Dengan menduduki jabatan tertentu, seseorang dapat memainkan

fungsinya karena posisiyang didudukinya tersebut (Levis, 2010).

Menurut Horton dan Hunt [2009], peran (role) adalah perilaku yang

diharapkan dari seseorang yang memiliki suatu status. Berbagai peran yang

tergabung dan terkait pada satu status ini dinamakan perangkat peran (role set).

Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Komarudin (2009) peranan adalah:

1. Bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan seseorang dalam manajemen.

2. Pola penilaian yang diharapkan dapat menyertai suatu status.

3. Bagian atau fungsi seseorang dalam kelompok atau pranata.

4. Fungsi yang diharapkan dari seseorang atau menjadi karakteristik yang ada

pada dirinya.
9

5. Fungsi setiap variabel dalam hubungan sebab akibat.

2.1.2. Pengertian Orang Tua

Membahas mengenai orang tua tidak lepas dari apa yang disebut

lingkungan kecil yaitu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak merupakan

kesatuan dari susunan keluarga yang utuh. Orang tua merupakan orang yang

pertama kali mendidik atau menanamkan pendidikan kepada anak-anaknya,

sehingga secara moral keduanya merasa mempunyai tanggung jawab untuk

memelihara, mengawasi, melindungi serta membimbingnya (Levis, 2010).

Dari keluarga inilah anak dapat menyerap norma yang utama dan pertama.

M. Imron Pohan (2009) menyatakan “Orang tua adalah orang dewasa pertama

bagi anak, tempat anak menggantungkan, tempat ia mengharapkan bantuan dalam

pertumbuhan dan perkembangnnya menuju kedewasaan”. Sebagaimana yang

diungkapkan Tim Prima Pena ( 2009 ), “Orang tua adalah ayah dan ibu. Dalam

hal ini orang tua adalah ayah dan ibu yang melahirkan, memelihara, dan

membiayai anak untuk sekolah”. Jadi orang tua adalah orang dewasa pertama bagi

anak yang harus mau menerima terhadap segala tingkah laku anaknya, tempat

anak menggantungkan, tempat ia mengharapkan bantuan dalam pertumbuhan dan

perkembangannya menuju kedewasaan, serta bertanggung jawab penuh terhadap

kesuksesan anak untuk hidup di masa depan (Hidayat, 2009).

Orang tua memegang peranan penting untuk meningkatkan prestasi belajar

anak tanpa dorongan dan rangsangan dari orang tua maka perkembangan dan

prestasi belajar anak mengalamai hambatan (Levis, 2010).


10

2.1.3. Pengertian Peran Orang Tua

Dari uraian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa peran orang

tua adalah suatu tindakan orang tua untuk memberikan motivasi, bimbingan,

fasilitas belajar, serta perhatian yang cukup terhadap anak-anaknya untuk

mencapai tahapan tertentu (Levis, 2010). Orang tua akan berperan aktif untuk

menunjang keberhasilan anak. Hal ini bisa dicapai dengan bagaimana peran orang

tua memberi motivasi, bimbingan, fasilitas belajar serta perhatian yang cukup

terhadap anak-anaknya. Kebiasaan belajar yang baik dan disiplin diri harus

dimiliki anak, selain itu kebutuhan untuk berprestasi tinggi dan berdaya saing

tinggi harus selalu ditanamkan pada diri anak sedini mungkin. Jika hal ini telah

dilakukan maka keberhasilan anak lebih mudah untuk dicapai (Hidayat, 2009).

2.2. Hospitalisasi

2.2.1. Pengertian Hospitalisasi

Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan

dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha untuk

beradaptasi dengan lingkungan asing dan baru yaitu rumah sakit, sehingga kondisi

tersebut menjadi faktor stressor bagi anak baik terhadap anak maupunorang tua

dan keluarga (Wong, 2009).

Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan berencana atau darurat

yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit untuk menjalani terapi dan

perawatan. Meskipun demikian dirawat di rumah sakit tetap merupakan masalah

besar dan menimbulkan ketakutan, cemas, bagi anak (Supartini, 2009).


11

2.2.2. Kecemasan pada Anak Usia Sekolah (6-12 tahun) Akibat Hospitalisasi

Hospitalisasi adalah kondisi yang dapat menyebabkan krisis pada anak

sakit dan dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha untuk

beradaptasi dengan lingkungan yang baru bagi anak yaitu rumah sakit, sehingga

kondisi tersebut dapat menjadi faktor stressor baik terhadap anak maupun

keluarga (Wong, 2009).

Anak usia sekolah anak yang berusia 6-12 tahun. Pertumbuhan secara fisik

pada anak usia sekolah (6-12 tahun) diawali dari tinggi badan yang meningkat

5cm per tahun dan berat badan yang lebih bervariasi, meningkat 2-3 kg per tahun.

Karakteristik anak usia sekolah suka berkelompok dengan teman sebaya sesuai

dengan jenis kelaminnya. Perkembangan kognitif anak memasuki tahap konkret

yaitu anak sudah mulai memandang realistis dari duniannya dan mempunyai

anggapan yang sama dengan orang lain. Perkembangan psikososial anak sekolah

berada pada stadium industry vs inferiority, anak selalu berusaha untuk mencapai

sesuatu yang diinginkan tetapi apabila harapan anak ini tidak tercapai

kemungkinan anak akan merasa rendah diri (Wong, 2009).

Pada anak usia sekolah stressor yang dihadapi anak yang dirawat di rumah

sakit adalah lingkungan baru dan asing, pengalaman yang menyakitkan dengan

petugas, prosedur tindakan keperawatan, diagnotik dan terapi, berpisah dengan

orang tua dalam arti semetara. Kondisi ini akan menyebabkan anak mengalami

kecemasan (Rasmun, 2009). Anak usia sekolah membayangkan dirawat di rumah

sakit merupakan hukuman, dipisahkan, merasa tidak aman dan kemandiriannya

terlambat. Mereka menjadi ingin tahu dan bingung, anak bertanya kenapa orang
12

itu, mengapa berada di rumah sakit, bermacam pertanyaan dilontarkan karena

anak tidak mengetahui yang sedang terjadi (Wong, 2009).

Kecemasan pada anak usia sekolah adalah kecemasan karena perpisahan

dengan kelompok, mengalami luka pada tubuh dan nyeri dan kehilangan control

juga dapat menimbulkan kecemasan (Wong, 2009). Kecemasan yang terjadi pada

usia sekolah selama hospitalisasi dapat disebabkan karena :

1. Cemas karena perpisahan

Anak usia sekolah memiliki koping yang lebih baik terhadap perpisahan,

namun keadaan sakit akan meningkatkan keinginan mereka untuk selalu ditemani

oleh orang tua. Anak usia sekolah lebih merasa cemas karena berpisah dengan

sekolah dan aktivitas sehari-hari mereka dibandingkan cemas karena berpisah

dengan orang tua. Reaksi yang umum terjadi pada anak usia sekolah karena

perpisahan adalah merasa sendiri, bosan, merasa terisolasi, dan depresi.

2. Kehilangan control (Loss Of Control)

Bagi anak usia sekolah, aktivitas yang dibatasi seperti bed rest,

penggunaan kursi roda, kehilangan privasi serta rutin di rumah sakit akan

menghilangkan kekuatan diri dan identitas dari anak. Reaksi yang mungkin

muncul pada anak adalah perasaan depresi, menunjukkan rasa permusuhan dan

frustasi.

3. Luka pada tubuh dan rasa sakit atau nyeri

Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak berpisah dengan lingkungan

yang dicintainya, yaitu keluarga terutama kelompok sosialnya dan menimbulkan

kecemasan. Kehilangan control juga terjadi akibat dirawat di rumah sakit karena
13

adanya pembatasan aktivitas. Kehilangan kontrol tersebut berdampak pada

perubahan peran dalam keluarga, akan kehilangan kelompok sosialnya karena ia

biasa melakukan kegiatan bermain atau pergaulan sosial, perasaan takut mati, dan

adanya kelemahan fisik. Reaksi terhadap perlakuan atau rasa nyeri akan

ditunjukkan dengan ekspresi baik secara verbal maupun non verbal karena anak

sudah mampu mengkontaminasikan-nya. Anak usia sekolah sudah mampu

mengontrol perilakunya jika merasa nyeri, yaitu dengan menggigit bibir dan atau

menggigit dan memegang sesuatu dengan erat.

Anak usia sekolah telah mampu mengkomunikasikan rasa sakit yang

mereka alami dan menunjukkan lokasi nyeri tersebut. Respon terhadap nyeri yang

ditunjukkan diantaranya: melihat perilaku dari anak lain yang lebih kecil terutama

saat dilakukan prosedur tindakan yang menyebabkan nyeri, perilaku mengulur

waktu dengan berkata “tunggu sebentar” atau “saya belum siap”, menggigit bibir

dan memegang sesuatu dengan erat.

2.2.3. Reaksi Anak Terhadap Sakit dan Hospitalisasi

Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan

dirawat di rumah sakit sehingga anak harus beradaptasi dengan lingkungan rumah

sakit (Wong, 2009. Reaksi hospitalisasi pada anak bersifat individual dan sangat

bergantung pada tahapan usia perkembangan anak. Pengalaman sebelumnya di

rumah sakit, sistem pendukung yang tersedia dan kemampuan koping yang

dimiliki anak (Supartini, 2009).


14

Hospitalisasi juga dapat diartikan adanya beberapa perubahan psikis yang

dapat menjadi sebab anak dirawat di rumah sakit (Steven, 2009) :

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi anak terhadap sakit dan rawat

inap di Rumah Sakit:

a. Perkembangan usia

Reaksi anak terhadap sakit berbeda-beda sesuai tingkat perkembangan anak

(Supartini, 2009). Pada anak usia sekolah reaksi perpisahan adalah kecemasan

karena berpisah dengan orang tua dan kelompok sosialnya. Pasien anak usia

sekolah umumnya takut pada dokter dan perawat (Ngastiyah, 2009).

b. Pola asuh keluarga.

Pola asuh keluarga yang terlalu protektif dan selalu memanjakan anak juga

dapat mempengaruhi reaksi takut dan cemas anak dirawat di rumah sakit. Beda

dengan keluarga yang suka memandirikan anak untuk aktivitas sehari-hari anak

akan lebih kooperatif bila dirumah sakit.

c. Keluarga.

Keluarga yang terlalu khawatir atau stres anaknya yang dirawat di rumah

sakit akan menyebabkan anak menjadi semakin stres dan takut.

d. Pengalaman dirawat di rumah sakit sebelumnya

Apabila anak pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan dirawat

di rumah sakit sebelumnya akan menyebabkan anak takut dan trauma. Sebaliknya

apabila anak dirawat di rumah sakit mendapatkan perawatan yang baik dan

menyenangkan anak akan lebih kooperatif pada perawat dan dokter (Supartini,

2009).
15

e. Support system yang tersedia

Anak mencari dukungan yang ada dari orang lain untuk melepaskan

tekanan akibat penyakit yang dideritanya. Anak biasanya akan minta dukungan

kepada orang terdekat dengannya misalnya orang tua atau saudaranya. Perilaku ini

biasanya ditandai dengan permintaan anak untuk ditunggui selama dirawat di

rumah sakit, didampingi saat dilakukan treatment padanya, minta dipeluk saat

merasa takut dan cemas bahkan saat merasa kesakitan.

f. Ketrampilan koping dalam menangani stressor.

Apabila mekanisme koping anak baik dalam menerima dia harus dirawat

di rumah sakit akan lebih kooperatif anak tersebut dalam menjalani perawatan di

rumah sakit.

2. Reaksi Anak Usia Sekolah Terhadap Stres akibat Sakit dan dirawat di

Rumah Sakit berdasarkan Tahap Perkembangan

Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang tampak

pada anak. Jika anak dirawat di rumah sakit, anak akan mudah mengalami krisis

karena anak stres akibat perubahan baik pada status kesehatannya maupun

lingkungannya dalam kebiasaan sehari-hari, dan anak mempunyai sejumlah

keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun

kejadian-kejadian yang bersifat menekan (Nur Salam, Susilaningrum & Utami,

2010).

Akibat dari hospitalisasi akan berbeda-beda pada anak bersifat individual

dan sangat tergantung pada tahapan perkembangan anak. Anak usia sekolah telah

dapat menerima keadaan masuk rumah sakit dengan sedikit ketakutan. Ada
16

beberapa diantaranya akan menolak masuk rumah sakit dan secara terbuka

menangis tidak mau dirawat. Reaksi yang timbul tergantung pada tingkat

kecerdasan dan bagaimana kondisi penderitaan anak. Sebagian besar mampu

untuk mengerti alasan masuk rumah sakit dan di sini kembali ketulusan dari orang

tua merupakan hal yang penting (Sacharin, 2011).

Walaupun demikian anak tetap membutuhkan perlindungan dari keluarga.

Akan tetapi dalam keadaan sakit, kondisi tersebut mengakibatkan anak harus

beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit, sehingga menimbulkan reaksi pada

anak seperti: menolak makan, menangis kuat-kuat, sering bertanya kapan orang

tua kembali, tidak kooperatif terhadap aktivitas sehari-hari, kehilangan control

terjadi pada anak karena adanya pembatasan aktivitas sehari-hari dan karena

kehilangan kekuatan diri (Gunarso, 2009).

Anak pada usia sekolah membayangkan dirawat di rumah sakit merupakan

suatu hukuman, dipisahkan, merasa tidak aman dan kemandiriannya terlambat

(Wong, 2009). Anak akan berespon dengan fungsi tubuh misalnya: ketika mereka

melihat seseorang dengan gangguan penglihatan atau keadaan fisik cacat. Mereka

menjadi ingin tahu dan bingung, anak bertanya kenapa orang itu, mengapa berada

di rumah sakit, apa yang terjadi dengan orang itu, mengapa, berbagai macam

pertanyaan dilontarkan oleh karena anak tidak mengetahui apa yang sedang

terjadi. Pada usia ini anak merasa takut bila mengalami perlukaan, anak akan

menganggap bahwa tindakan dan proses itu mengancam integritas tubuhnya.

Anak bereaksi dengan agresif ekspresif verbal dan dependensi (Wong, 2010).

Disamping itu anak juga akan menangis, bingung khususnya bila keluar
17

darah. Maka sulit bagi anak untuk percaya bahwa disuntik, mengukur tekanan

darah, mengukur suhu melalui anus dan beberapa prosedur tindakan lainnya tidak

akan menimbulkan sakit dan mengalami luka pada tubuh. Anak usia sekolah

sebagian besar sudah mampu dan mengerti bahasa yang sedemikian komplek,

memberikan penjelasan dengan interpretasi bagaimana keadaan yang mengganggu

dan menakutkan (Wong, 2009).

Hal ini dapat dikurangi dengan cara bermain. Bermain juga merupakan hal

penting sebagai media komunikasi anak dan rumah sakit anak khususnya di ruang

anak menyediakan tempat bermain, baik pada setiap bangsal atau ruang bermain

sentral, dibawah pengawasan perawat (Ngastiyah, 2009).

Reaksi anak usia sekolah terhadap perpisahan adalah kecemasan karena

berpisah dengan keluarga dan kelompok sosialnya. Reaksi kehilangan kontrol

anak merasa takut dan khawatir serta mengalami kelemahan fisik. Reaksi terhadap

perlukaan tubuh dan nyeri dengan menggigit bibir dan memegang sesuatu yang

erat (Wong, 2009).

Anak harus mengatasi berbagai sumber stress seperti rasa sakit,

lingkungan rumah sakit, aturan- aturan dokter serta treatment yang diberikan.

Proses perawatan yang sering kali membutuhkan waktu lama akhirnya

menjadikan anak berusaha mengembangkan perilaku atau strategi dalam

menghadapi penyakit yang dideritanya. Perilaku ini menjadi salah satu cara yang

dikembangkan anak untuk beradaptasi terhadap penyakitnya.


18

Beberapa perilaku itu antara lain:

a. Penolakan (avoidence)

Perilaku dimana anak berusaha menghindari dari situasi yang membuatnya

rasa tertekan. Anak berusaha menolak treatment yang diberikan, seperti tidak mau

suntik, tidak mau dipasang infus, menolak minum obat, bersikap tidak kooperatif

kepada petugas medis.

b. Mengalihkan perhatian (distraction)

Anak berusaha mengalihkan perhatian dari pikiran atau sumber yang

membuatnya tertekan. Perilaku yang dilakukan anak misalnya: membaca buku

cerita saat dirumah sakit, menonton televisi saat dipasang infus, atau bermain

mainan yang disukai.

c. Berupaya aktif (active)

Anak berusaha mencari jalan keluar dengan melakukan sesuatu secara

aktif. Perilaku yang sering dilakukan misalnya: menanyakan tentang kondisi

sakitnya kepada tenaga medis atau orang tuanya, bersikap kooperatif terhadap

petugas medis, minum obat secara teratur, beristirahat sesuai dengan peraturan

yang diberikan.

d. Mencari dukungan (support seeking)

Anak mencari dukungan dari orang lain untuk melepaskan tekanan akibat

penyakit yang dideritanya. Anak biasanya akan meminta dukungan orang yang

dekat dengannya, misalnya orang tua atau saudaranya. Perilaku ini biasanya

ditandai dengan permintaan anak untuk ditemani selama dirawat di rumah sakit,
19

didampingi saat dilakukan treatment padanya, minta dipeluk saat merasa

kesakitan.

Beberapa perilaku diatas akan memberikan dampak positif, sehingga

mempercepat proses kesembuhan, namun beberapa diantaranya justru berdampak

negatif. Perilaku-perilaku ini biasanya dipelajari dari proses meniru (modeling).

Dalam proses modeling menginterpretasikan, menilai dan merespon situasi yang

penuh tekanan dengan melihat dan meniru orang tuanya. Orang tua sebagai orang

terdekat merupakan factor terpenting yang akan membantu anak memilih perilaku

yang berdampak negatif atau positif. Selama proses sakit orang tua harus menjadi

‘model’ bagi anaknya agar anak dapat mempelajari sikap positif terhadap

pengobatannya di rumah sakit.

Menurut Wahyuni (2010) terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan

untuk menciptakan suasana menyenangkan bagi anak yang dirawat di rumah sakit

yaitu:

a. Memberikan dukungan.

Dukungan positif dapat berupa menjaga anak saat dirawat dirumah sakit,

mendampingi anak saat diperiksa petugas medis, atau memberikan beberapa

treatment, yang tidak kalah penting memberi sentuhan lembut, seperti pelukan

atau mengelus saat anak mengalami kesakitan.

b. Bersikap optimis dan tidak menampakkan kecemasan didepan anak.

Orang tua yang menampakkan wajah ceria, meski beban yang

ditanggungnya cukup berat, akan membuat anak bersikap tabah dan ceria dalam

menghadapi kondisi sakitnya.


20

c. Menanamkan pengertian bahwa proses pengobatan dan perawatan di

rumah sakit adalah proses menuju kesembuhan.

Memberi pengertian pada anak bahwa dokter atau petugas lainnya

(perawat) adalah orang – orang yang menolongnya untuk sembuh, meskipun

kadang mereka membuat anak merasa sakit. Persepsi positif anak terhadap

petugas medis akan meningkatkan sikap kooperatif anak terhadap proses

pengobatan yang telah dijalaninya.

d. Bersikap kooperatif terhadap petugas medis.

Orang tua perlu membina hubungan yang baik kepada petugas medis.

Mengusahakan untuk bertanya yang jelas terhadap proses pengobatan yang

diberikan kepada anaknya. Menanyakan berapa kali suatu treatment yang harus

diberikan, waktu yang dibutuhkan, perkiraan biaya yang harus dikeluarkan, serta

efek dari proses treatment tersebut bagi kondisi fisik anaknya.

e. Menjelaskan penyakit yang diderita anak.

Menyampaikan dengan jelas kepada anak berapa waktu yang dibutuhkan

untuk proses pengobatannya. Mengatakan bahwa proses yang dilakukan sangat

penting untuk kesembuhannya.

f. Menciptakan suasana menyenangkan saat anak dirawat di rumah sakit.

Membawakan anak mainan yang disukai atau membacakan anak cerita-cerita

yang menarik. Jika anak mampu, dapat juga diberikan buku menggambar atau

mewarnai.

g. Meminta anak berdoa.

Mengajarkan kepada anak berdoa agar cepat sembuh.


21

2.3. Kecemasan.

2.3.1 Pengertian Kecemasan.

Kecemasan adalah respon psikologik terhadap stress yang mengandung

komponen fisiologik dan psikologik.

Kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian sesuatu yang

berbahaya, berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya (Stuart &

Sundeen, 2008). Pada anak usia sekolah (6-12 tahun) ketakutan dan kecemasan

dapat ditunjukkan secara langsung melalui tingkah laku, misal watak pemarah.

Sumber ketakutan dan kecemasan pada anak usia sekolah (6-12 tahun) pertama

dapat berupa bayangan atau ancaman yang tidak berbentuk, misalnya kegelapan.

Kecemasan usia sekolah (6-12 tahun) lebih terpusat pada hal yang nyata, misalnya

cedera tubuh atau bahaya alam.

2.3.2. Tanda dan Gejala Kecemasan

Gejala klinis cemas yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami

gangguan tersebut antara lain:

1. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah

tersinggung.

2. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut

3. Takut sendirian, takut pada keramaian dan orang banyak

4. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan

5. Gangguan konsentrasi dan daya ingat


22

6. Keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang,

pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-berdebar, sesak nafas, gangguan

pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala (Hawari, 2007).

2.3.3. Tingkat Kecemasan

Kecemasan dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan

fisologis dan perilaku dan secara tidak langsung melalui timbulnya gejala atau

mekanisme koping sebagai upaya untuk melawan timbulnya kecemasan. Menurut

Stuart & Sundeen (2008) pada anak akan muncul beberapa respon yang meliputi :

1. Respon Fisiologis terhadap Kecemasan

a. Kardiovaskuler

Respon pada kardiovaskuler berupa : palpitasi, tekanan darah meningkat,

tekanan darah menurun, denyut nadi menurun.

b. Pernafasan

Respon pada pernafasan berupa : nafas cepat dan pendek, nafas dangkal, dan

terengah-terengah.

c. Gastrointestinal

Respon pada gastrointestinal berupa : nafsu makan turun, tidak nyaman pada

perut, mual, dan diare.

d. Neuromuscular

Respon pada neuromuscular berupa : tremor, gugup, gelisah, insomnia dan

pusing.

e. Traktus uranius

Respon pada uranius berupa : sering berkemih


23

f. Kulit

Respon pada kulit berupa : keringat dingin, gatal, wajah kemerahan.

2. Respon Perilaku

Respon perilaku yang muncul adalah gelisah, tremor, ketegangan fisik, reaksi

kaget, gugup, bicara cepat, menghindar, menarik diri dari hubungan

interpersonal dan melarikan diri dari masalah.

3. Respon Kognitif

Respon kognitif yang muncul adalah perhatian terganggu, pelupa, salah

dalam memberikan penilaian, hambatan berfikir, kesadaran diri meningkat,

tidak mampu berkonsentrasi, tidak mampu mengambil keputusan,

menurunnya lapang persepsi dan kreatifitas, bingung, takut kehilangan

control, takut pada gambaran visual, dan takut cidera atau kematian.

4. Respon Afektif

Adapun respon afektif yang sering muncul adalah tidak sabar, tegang,

ketakutan, waspada dan gugup. Kecemasan dapat ditimbulkan dari bahaya luar,

mungkin juga bahaya dari luar diri anak. Dan pada umumnya ancaman itu

samar-samar. Bahaya dari dalam, timbul bila ada sesuatu hal yang tidak dapat

diterimanya misalnya pikiran, perasaan, keinginan dan dorongan.

2.3.4. Alat Pengukuran Kecemasan

Menurut Hawari (2007), tingkat kecemasan dapat diukur dengan

menggunakan alat ukur (instrumen) yang dikenal dengan nama Hamilton Rating

Scale for Anxiety (HRS-A), yang terdiri dari 14 kelompok gejala, antara lain

adalah sebagai berikut :


24

1. Perasaan cemas : cemas, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri dan mudah

tersinggung.

2. Ketegangan : merasa tegang, lesu, tidak dapat beristirahat dengan tenang,

mudah terkejut, mudah menangis, gemetar dan gelisah.

3. Ketakutan : pada gelap, pada orang asing, ditinggal sendiri, pada binatang

besar, pada keramaian lalu lintas dan pada kerumunan orang banyak.

4. Gangguan tidur : sukar untuk tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak

nyenyak, bangun dengan lesu, banyak mimpi, mimpi buruk dan mimpi yang

menakutkan.

5. Gangguan kecerdasan : sukar berkonsentrasi, daya ingat menurun dan daya

ingat buruk.

6. Perasaan depresi (murung) : hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada

hobi, sedih, terbangun pada saat dini hari dan perasaan berubah-ubah sepanjang

hari.

7. Gejala somatik/ fisik (otot) : sakit dan nyeri di otot, kaku, kedutan otot, gigi

gemerutuk dan suara tidak stabil.

8. Gejala somatik/ fisik (sensorik) : tinnitus (telinga berdenging), penglihatan

kabur, muka merah atau pucat, merasa lemas dan perasaan ditusuk-tusuk.

9. Gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) : takikardi (denyut jantung

cepat), berdebar-debar, nyeri di dada, denyut nadi mengeras, rasa lesu/ lemas

seperti mau pingsan dan detak jantung menghilang/ berhenti sekejap.

10. Gejala respiratori (pernafasan) : rasa tertekan atau sepit di dada, rasa tercekik,

sering menarik nafas dan nafas pendek/ sesak.


25

11. Gejala gastrointestinal (pencernaan) : sulit menelan, perut melilit, gangguan

pencernaan, nyeri sebelum dan sesudah makan, perasaan terbakar di perut, rasa

penuh atau kembung, mual, muntah, BAB konsistensinya lembek, sukar BAB

(konstipasi) dan kehilangan berat badan.

12. Gejala urogenital (perkemihan dan kelamin) : sering buang air kecil, tidak

dapat menahan BAK, tidak datang bulan (tidak dapat haid), darah haid

berlebihan, darah haid sangat sedikit, masa haid berkepanjangan, masa haid

sangat pendek, haid beberapa kali dalam sebulan, menjadi dingin (frigid,

ejakulasi dini, ereksi melemah, ereksi hilang dan impotensi.

13. Gejala autonom : mulut kering, muka merah, mudah berkeringat, kepala

pusing kepala terasa berat, kepala terasa sakit dan bulu-bulu berdiri.

14. Tingkah laku/ sikap : gelisah, tidak tenang, jari gemetar, kening/ dahi berkerut,

wajah tegang, otot tegang/ mengeras, nafas pendek dan cepar serta wajah

merah.

Masing-masing kelompok gejala diberi peilaian angka (score) antara 0-4,

dengan penilaian sebagai berikut :

Nilai 0 = tidak ada gejala (keluhan)

Nilai 1 =gejala ringan

Nilai 2 = gejala sedang

Nilai 3 = gejala berat

Nilai 4 = gejala berat sekali/ panik


26

2.3.5. Rentang Respon Kecemasan

Menurut Stuart (2008), rentang respon individu terhadap cemas

berfluktuasi antara respon adaptif dan maladaptif. Rentang respon yang paling

adaptif adalah antisipasi dimana individu siap siaga untuk beradaptasi dengan

cemas yang mungkin muncul. Sedangkan rentang yang paling maladaptif adalah

panik dimana individu sudah tidak mampu lagi berespon terhadap cemas yang

dihadapi sehingga mengalami ganguan fisik, perilaku maupun kognitif.

Skema kecemasan

Skema 2.1. Rentang Respon Kecemasan

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Antisipasi Ringan Sedang Berat Berat sekali

2.4. Konsep Anak

2.4.1. Pengertian Anak

Anak adalah individu yang berada dalam satu rentang perubahan

perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan

pertumbuhan dan perkembangan dari usia bayi (0-1 tahun), usia bermain/todder

(1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5 tahun), usia sekolah (5-11tahun), dan remaja (11-

18 tahun). Rentang ini berbeda antara anak yang satu dengan yang lain, mengingat

latar belakang anak yang berbeda. Pada anak terdapat rentang perubahan

pertumbuhan dan perkembangan yaitu rentang cepat dan lambat.Dalam


27

perkembangan anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri dan pola koping, dan

perilaku sosial.

Pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif berbeda pada setiap anak, hal

tersebut dipengaruhi oleh latar belakang anak yang berbeda. Perkembangan

konsep diri anak sudah ada sejak bayi, akan tetapi belum terbentuk secara

sempurna dan akan mengalami perkembangan seiring dengan pertambahan usia

anak. Demikian juga dengan pola koping dan perilaku sosial yang dimiliki anak,

hampir sama dengan perkembangan konsep diri pada anak, sudah terbentuk mulai

dari bayi. Pola koping yang dimiliki anak mulai dari bayi ditunjukkan menangis

saat lapar, menangis saat buang air kecil dan buang besar, menangis jika ada

sesuatu hal yang tidak sesuai dengan keinginannya dan lain sebagainya .Perilaku

sosial yang ditunjukan anak dengan menunujukan keceriaan saat melihat orang

yang dekat padanya atau menangis saat melihat orang yang tidak dikenal

(Hidayat, 2011).

2.4.2. Reaksi Orang Tua terhadap Hospitalisasi Anak

Perawatan anak di rumah sakit tidak hanya menimbulkan masalah bagi

anak, tetapi juga bagi orang tua. Banyak penelitian membuktikan bahwa

perawatan anak di Rumah Sakit menimbulkan stress pada orang tua, berbagai

macam perasaan timbul pada orang tua, yaitu takut, rasa bersalah, stress dan

cemas. Rasa takut pada orang tua selama perawatan anak di rumah sakit terutama

pada kondisi sakit anak yang terminal, karena takut akan kehilangan anak yang

dicintainya dan adanya perasaan berduka (Hidayat, 2011).


28

Stressor lain yang menyebabkan orang tua sangat stress adalah

mendapatkan informasi buruk tentang diagnosis medik anaknya, perawatan yang

tidak direncanakan dan pengalaman perawatan di rumah sakit sebelummya yang

dirasakan menimbulkan trauma (Supartini, 2009).

1. Perasaan cemas dan takut

Seperti yang diuraikan diatas, orang tua akan merasa begitu cemas dan

takut terhadap kondisi anaknya. Perasaan tersebut muncul pada saat orang tua

melihat anak mendapat prosedur menyakitkan, seperti pengambilan darah, injeksi,

infus, dilakukan fungsi lumbal, dan prosedur invasive lainnya. Orang tua bahkan

menangis karena tidak tega melihat anaknya, dan pada kondisi ini perawat atau

petugas kesehatan harus bijaksana bersikap pada anak dan orang tuanya perilaku

yang sering ditunjukkan orang tua berkaitan dengan adanya perasaan cemas ini

adalah sering bertanya tentang hal sama secara berulang pada orang yang berbeda,

gelisah ekspresi wajah tegang dan bahkan marah (Supartini, 2009).

2. Perasaan sedih

Perasaan ini muncul terutama pada saat anak dalam kondisi terminal dan

orang tua mengetahui bahwa tidak ada lagi harapan anaknya untuk sembuh.

Bahkan, saat menghadapi anaknya yang menjelang ajal, rasa sedih dan berduka

akan dialami orang tua. Di satu sisi orang tua dituntut untuk berada di samping

anaknya dan memberi bimbingan spiritual pada anaknya, dan di sisi lain meraka

menghadapi ketidakberdayaan karena perasaan terpukul dan sedih yang amat

sangat. Pada kondisi ini, orang tua menunjukkan perilaku isolasi atau tidak mau
29

didekati orang lain, bahkan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan

(Supartini, 2009).

3. Perasaan frustasi

Pada kondisi anak yang telah dirawat cukup lama dirasakan tidak

dirasakan perubahan serta tidak adekuatnya dukungan psikologis yang diterima

orang tua baik dari keluarga maupun kerabat lainnya maka orang tua akan merasa

putus asa, bahkan frustasi. Oleh karena itu seringkali orang tua menunjukkan

perilaku tidak kooperatif, putus asa, menolak tindakan, bahkan menginginkan

pulang paksa (Supartini, 2009).

2.5. Hubungan Peran Orang tua dengan Tingkat Kecemasan Anak

Orang tua berperan sebagai mengambil keputusan untuk mencegah

masalah kesehatan dan memelihara/ meningkatkan status kesehatan anggota

keluarga, karena apabila salah satu anggota keluarga memiliki masalah kesehatan

akan berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya karena dapat mempengaruhi

produktivitas keluarga. Bila produktivitas orang tua meningkat diharapkan

kesejahteraan orang tua meningkat pula (Levis, 2010).

Kebutuhan terbesar anak selama perkembangannya adalah rasa aman yang

timbul dari kesadaran bahwa ia diinginkan dan disayang oleh orang dewasa

tempatnya bergantung. Lingkungan anak yang mula-mula terbatas sifatnya dan

pandangan dunia serta tempatnya sendiri di dalamnya akan terbentuk terutama

oleh hubungannya dengan orang tua (Mcghie, 2010).


30

Pada anak usia sekolah yang dirawat di rumah sakit akan muncul

tantangan-tantangan yang harus dihadapinya seperti mengatasi suatu perpisahan,

penyesuaian dengan lingkungan yang asing baginya, penyesuaian dengan banyak

orang yang mengurusinya, dan kerapkali harus berhubungan dan bergaul dengan

anak-anak yang sakit serta pengalaman mengikuti terapi yang menyakitkan.

Dalam hal ini orang tua harus memberikan dukungan dan peran orang tua

pada anak. Memberikan semangat, empati, rasa percaya dan perhatian adalah hal

yang dibutuhkan pada saat anak menjalani proses hospitalisasi sehingga anak

merasa senang, tenang dan nyaman.

2.6. KERANGKA KONSEP PENELITIAN

Kerangka konsep penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi

hubungan peran orang tua dengan tingkat kecemasan anak usia sekolah (6-12

tahun) yang mengalami hospitalisasi. Berdasarkan tinjauan pustaka tingkat

kecemasan anak usia sekolah saat dirawat di rumah sakit seperti perpisahan

dengan kelompok, mengalami luka pada tubuh dan nyeri dan kehilangan kontrol

juga dapat menimbulkan kecemasan (Wong, 2009).

Lingkungan baru dan asing, pengalaman yang menyakitkan dengan

petugas, prosedur tindakan keperawatan, diagnotik dan terapi, berpisah dengan

orang tua dalam arti semetara. Kondisi ini akan menyebabkan anak mengalami

kecemasan (Rasmun, 2009). Namun dengan adanya peran keluarga selama

menjalani proses hospitalisasi pada anak usia sekolah diharapkan anak bisa

merasa senang, tenang dan nyaman.


31

Skema 2.2 Kerangka konsep penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Peran Orang tua Anak Tingkat Cemas anak usia


Usia Sekolah (6-12 sekolah (6-12 tahun) yang
tahun) : mengalami hospitalisasi :
- Kurang - Cemas Ringan
- Cukup - Cemas Sedang
- Baik - Cemas Berat
- Cemas Panik

2.7. Hipotesis Penelitian

Dapat dilihat Variabel Dependen dan Independen dalam penelitian ini seperti

yang dijelaskan dibawah ini, :

Ha : Ada Hubungan Peran Orang Tua dengan Tingkat Kecemasan Pasien Anak

Usia Sekolah (6-12 Tahun) yang Mengalami Hospitalisasi di RSUD

Padangsidimpuan Tahun 2018.

H0 : Tidak ada Hubungan Peran Orang Tua dengan Tingkat Kecemasan Pasien

Anak Usia Sekolah (6-12 Tahun) yang Mengalami Hospitalisasi di RSUD

Padangsidimpuan Tahun 2018.


32

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain dan metode Penelitian

Desain penelitian merupakan bentuk rancangan yang digunakan dalam

melakukan prosedur penelitian (Alimul, 2007). Sesuai dengan permasalahan yang

diteliti, maka penelitian ini menggunakan desain deskriptif korelatif yang

bertujuan untuk mengidentifikasi Hubungan Peran Orang Tua dengan Tingkat

Kecemasan Pasien Anak Usia Sekolah (6-12 Tahun) yang Mengalami

Hospitalisasi di RSUD Padangsidimpuan Tahun 2018.

3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Ruang Anak RSUD Padangsidimpuan dengan

pertimbangan Rumah Sakit ini merupakan Rumah Sakit rujukan dari daerah yang

ada di Tabagsel, sehingga jumlah sampel memadai dan Rumah Sakit ini terletak di

pusat kota sehingga mudah dijangkau oleh peneliti. Pengumpulan data dilakukan

pada bulan September 2018 sampai dengan selesai.


33

3.2.2 Waktu Penelitian

Waktu proses pembuatan proposal dilakukan pada bulan Juli 2018 sampai

dengan selesai.

Tabel 3.1 Rencana Waktu Penelitian

Bulan
No Proses Penelitian
Juli Agust Sept Okt

1 Pengajuan Judul

2 Pembuatan Proposal

3 Seminar Proposal

3.3. Populasi, Sampel dan Teknik Penelitian

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah orang tua yang menjaga anak usia

sekolah yang mengalami hospitalisasi di Ruang Anak RSUD Padangsidimpuan.

Berdasarkan data dari Ruang Anak RSUD Padangsidimpuan, mulai dari 1 Juli –

31 Agustus 2018 jumlah pasien anak yang dirawat di ruang III adalah 146 orang

(Rekam medik RSUD Padangsidimpuan, 2018).

3.3.2. Sampel dan Tekhnik Penelitian

Sampel merupakan sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang

diteliti dan dianggap dapat mewakili dari seluruh populasi (Arikunto, 2012).

Sedangkan yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah orang tua yang

menjaga anak usia sekolah yang mengalami hospitalisasi di Ruang RSUD

Padangsidimpuan. Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan


34

mengambil 25% dari populasi, (Arikunto, 2012), sehingga jumlah sampel dalam

penelitian ini adalah 36 orang.

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dengan menggunakan

purposive sampling yaitu setiap responden yang memenuhi kriteria sampel

dimasukkan dalam penelitian ini dalam waktu yang telah ditentukan (Nursalam,

2011).

Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah 36 orang. Teknik

pengambilan sampel pada penelitian ini dengan menggunakan purposive sampling

yaitu setiap responden yang memenuhi kriteria sampel dimasukkan dalam

penelitian ini dalam waktu yang telah ditentukan (Nursalam, 2008).

Adapun kriteria sampel adalah :

1. Orang tua yang menjaga pasien anak usia sekolah (6-12 tahun) yang

mengalami hospitalisasi di Ruang RSUD Padangsidimpuan.

2. Anak usia sekolah (6-12 tahun) .

3.4. Pertimbangan Etik Penelitian

Dalam penelitian ini ada beberapa pertimbangan etik yang diperhatikan

yaitu lembar persetujuan penelitian, kerahasiaan identitas responden dan

kerahasiaan informasi. Lembar persetujuan penelitian (Informed Consent)

diberikan kepada responden, sebelumnya peneliti memperkenalkan diri terlebih

dahulu. Kemudian peneliti menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian serta

menjelaskan prosedur penelitian yang akan dilakukan. Setelah itu peneliti

menanyakan kesediaan responden untuk menjadi sampel dalam penelitian ini. Jika
35

responden bersedia maka responden diminta untuk menandatangani informed

consent tersebut. Namun, jika responden menolak untuk berpartisipasi dalam

penelitian maka peneliti tidak akan memaksa dan menghormati hak responden.

Berkaitan dengan kerahasiaan (Anonimyti) untuk menjaga kerahasiaan

identitas responden maka peneliti tidak akan mencantumkan nama responden pada

lembar pengumpulan data atau kuesioner. Lembar tersebut hanya akan diberi kode

yang hanya diketahui oleh peneliti. Begitu juga dengan kerahasiaan informasi

(Cofidentiality), informasi yang telah dikumpulkan dari responden akan dijamin

kerahasiaannya.

3.5. Instrumen Penelitian

Sesuai dengan permasalahan dan variabel yang akan diteliti, maka

instrumen yang digunakan dalam penelitian ini disusun oleh peneliti dengan

mengacu kepada tinjauan pustaka. Instrumen penelitian berupa kuesioner terdiri

dari 3 bagian yang berisi data demografi, kuesioner untuk peran keluarga dan

kuesioner untuk tingkat kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi.

3.5.1. Data Demografi

Bagian yang pertama berupa kuesioner data demografi digunakan untuk

mengkaji data demografi responden. Kuesioner demografi untuk keluarga terdiri

dari hubungan dengan pasien, umur, jenis kelamin, lama rawat inap, pendidikan

terakhir, pekerjaan, dan penghasilan keluarga. Kuesioner demografi untuk anak di

Ruang Anak RSUD Padangsidimpuan terdiri dari umur, jenis kelamin,

pengalaman masuk Rumah Sakit.


36

3.5.2. Kuesioner Peran Keluarga

Bagian yang kedua berupa kuesioner peran keluarga dalam proses

hospitalisasi anak. Kuesioner dalam penelitian ini terdiri dari delapan subvariabel,

dimana terdiri dari 24 pernyataan, kuesioner dalam penelitian ini dibuat oleh

peneliti sendiri. Peran keluarga dalam proses hospitalisasi anak yang terdiri dari

menerima kondisi anak pernyataan kuesioner 1 s/d 3, mengelola kondisi anak

pernyataan kuesioner 4 s/d 6, memenuhi kebutuhan perkembangan anak

pernyataan kuesioner 7 s/d 9, memenuhi kebutuhan perkembangan keluarga

pernyataan kuesioner 10 s/d 12, menghadapi stressor dengan positif permyataan

kuesioner 13 s/d 15, membantu anggota keluarga untuk mengelola perasaan yang

ada pernyataan kuesioner 16 s/d 18, mendidik anggota keluarga yang lain tentang

kondisi anak yang sedang sakit pernyataan kuesioner 19 s/d 21, menggembangkan

sistem dukungan sosial penyataan kuesioner 22 s/d 24. Cara pengisian lembar

kuesioner adalah dengan menggunakan cek list pada tempat yang tersedia.

Penilaian menggunakan skala Likert, Kuesioner ini mempunyai 4 pilihan jawaban

yaitu Selalu (SL) dengan nilai 4, Sering (SR) nilai 3, Kadang - Kadang (KK)

dengan nilai 2 dan Tidak Pernah (TP) dengan nilai 1. Maka untuk peran keluarga

dalam proses hospitalisasi anak di RSUD Padangsidimpuan diperoleh nilai

tertinggi 96 dan nilai terendah 24.

Total skor adalah 24 - 96. Semakin tinggi jumlah skor maka peran

keluarga semakin tinggi.

rentang
Berdasarkan rumus statistik p = menurut Sudjana (2012).
Banyak kelas
37

Dimana p merupakan panjang kelas, dengan rentang (nilai tertinggi

dikurang nilai terendah) sebesar 72 dan banyak kelas dibagi atas 3 kategori kelas

untuk peran keluarga (kurang, cukup, dan baik), maka akan diperoleh panjang

kelas sebesar 24.

Dengan p = 24 dan nilai terendah 24 sebagai batas bawah kelas interval

pertama, maka dukungan keluarga dikategorikan atas kelas interval sebagai

berikut:

24-48 : peran keluarga kurang

49-72 : peran keluarga cukup

73-96 : peran keluarga baik.

3.5.3. Kuesioner tingkat kecemasan anak

Bagian yang ketiga berupa kuesioner untuk tingkat kecemasan anak yang

mengalami hospitalisasi di Ruang III Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan

yang terdiri dari 16 pernyataan. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner yang

disusun berdasarkan tinjauan pustaka. Kuesioner ini diadopsi dari Hamilton

Rating Scale for Anxiety (HRS – A) dan dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan

penelitian. Cara penilaian adalah dengan menggunakan skala Likert dengan skor

pilihan yang diberikan untuk setiap peryataan, dimana jawaban Selalu (SL)

mendapat nilai 4, Sering (SR) mendapat nilai 3, Kadang-kadang (KK) mendapat

nilai 2, dan Tidak pernah (TP) mendapat nilai 1.

Total skor berkisar antara 1 sampai 4 untuk setiap pernyataan, sehingga

nilai terendah yang mungkin dicapai oleh responden adalah 16 dan nilai tertinggi

yang mungkin dicapai adalah 64. Semakin tinggi total skor kuesioner maka
38

semakin tinggi tingkat kecemasan yang dialami anak. Cara pengisian lembar

kuesioner adalah dengan menggunakan cek list pada tempat yang tersedia. Maka

untuk kuesioner tingkat kecemasan anak di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi

Medan diperoleh nilai tertinggi 64 dan nilai terendah 16.

Menggunakan rumus statistik menurut Sudjana (2012), yang sama seperti

pada Kuesioner Peran Keluarga, dengan rentang sebesar 48 dan banyak kelas

dibagi atas 4 kategori kelas untuk tingkat kecemasan (ringan, sedang, berat, dan

berat sekali) didapatlah panjang kelas sebesar 12.

Dengan p = 12 dan nilai terendah 16 sebagai bawah kelas interval pertama,

maka respon cemas dikategorikan atas kelas interval sebagai berikut :

16-27: kecemasan ringan

28-39: kecemasan sedang

40-51: kecemasan berat

52-64: kecemasan berat sekali.

3.5. Defenisi Operasional

Tabel 3.2

Definisi operasional dari penelitian ini dijelaskan melalui Tabel yaitu

sebagai berikut :

N Variabel Defenisi Skala Alat Ukur Hasil


o Operasional Ukur
1. Variabel Peran orang tua Ordinal Kuesioner yang Total Skor yang
Independen dalam proses terdiri dari 24 diperoleh adalah
Peran Orang hospitalisasi anak pertanyaan dengan 24 – 96,
tua usia sekolah (6- jawaban, kemudian
terhadap 12 tahun) adalah SL : Selalu, SR : dikategorikan
anak usia semua hal yang Sering, menurut:
39

sekolah yang dilakukan oleh KK : kadang- 24 – 48 = peran


mengalami orang tua selama kadang, keluarga kurang
hospitalisasi anak di rawat di TP : Tidak Pernah 49 – 72 = peran
Ruang Anak diberi skor : SL = 4, keluarga cukup
RSUD SR = 3, 73 – 96 = peran
Padangsidimpuan KK = 2, dan TP = 1 keluarga baik

2 Variabel Kondisi Ordinal Kuesioner/ Total Skor yang


Dependen kecemasan yang wawancara yang diperoleh adalah
Tingkat dialami anak usia terdiri dari 16 16 – 64,
kecemasan sekolah (6–12 pertanyaan dengan kemudian
anak usia tahun) selama Jawaban, dikategorikan
sekolah (6 – proses SL : Selalu menurut:
12 tahun) hospitalisasi. SR : Sering Kecemasan
selama proses KK : Kadang- ringan
hospitalisasi Kadang (16-27)
TP : Tidak Pernah Kecemasan
diberi skor : sedang
SL = 4, (28-39)
SR = 3,
KK = 2, dan
TP = 1

3.6. Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Validitas dapat diuraikan sebagai tingkatan ukuran penelitian yang

sebenarnya, yang memang didesain untuk mengukur. Validitas berkaitan dengan

nilai sesungguhnya dari hasil dan merupakan karakteristik yang penting dari

penelitian yang baik (Slevin dkk, 2007). Uji validitas penelitian sudah valid

karena di adopsi dari Skripsi Melinda Agnesa Mahasiswa di Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan tahun 2010 dengan judul

hubungan peran keluarga dengan tingkat kecemasan anak usia sekolah (6-12

tahun) yang mengalami hospitalisasi di ruang tiga rumah sakit umum dr. Pirngadi

Medan.
40

Uji reabilitas bertujuan untuk mengetahui seberapa besar derajat atau

kemampuan alat ukur tersebut untuk mengukur secara konsisten sasaran yang

akan diukur. Alat ukur yang baik adalah alat ukur yang memberikan hasil yang

sama yang digunakan pada kelompok subjek (Ritonga, 2007). Uji realibilitas

dilakukan kepada 10 subjek yang sesuai dengan kriteria subjek studi kemudian

peneliti menilai responnya. Uji tes ini dilakukan dengan menggunakan aplikasi

komputerisasi dengan analisis Cronbach Alpha pada item berskala. Hasil uji

realibilitas untuk kuesioner dukungan keluarga adalah α = 0,881 dan untuk

kuesioner tingkat kecemasan anak adalah α = 0,862. penelitian dapat dikatakan

reliabel apabila nilai r alpha > r tabel (Hastono, 2007). Nilai r tabel adalah 0,632

dan r alpha adalah 0,881 dan 0,862. Maka dapat disimpulkan bahwa ke 19

pertanyaan kuisioner dinyatakan reliabel.

3.7. Rencana Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan mengisi

kuesioner. Pengumpulan data dimulai setelah peneliti mendapat rekomendasi izin

pelaksanaan penelitian dari institusi pendidikan yaitu Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara dan surat izin dari lokasi penelitian yaitu Ruang Anak

RSUD Padangsidimpuan.

Peneliti menjelaskan kepada calon responden tentang tujuan, manfaat dan

prosedur pelaksanaan penelitian kepada calon responden dan yang bersedia

berpartisipasi diminta untuk menandatangani informed consent. Sebelum

membagikan kuesioner, peneliti terlebih dahulu menyeleksi responden yang


41

sesuai dengan kriteria penelitian. Responden yang sesuai dengan kriteria

penelitian dan yang bersedia diberi lembar kuesioner dan diberi kesempatan untuk

bertanya apabila ada pernyataan yang tidak dipahami. Selesai pengisian peneliti

mengambil kuesioner yang telah diisi responden, kemudian memeriksa

kelengkapan data. Jika ada data yang kurang, dapat langsung dilengkapi.

Selanjutnya data yang telah terkumpul dianalisis.

3.8. Analisa Data

Analisa data dilakukan melalui tiga tahap. Pertama, memeriksa

kelengkapan data responden dan memastikan bahwa semua jawaban terisi. Kedua,

mengklarifikasi analisa data dengan mentabulasi data yang telah dikumpulkan.

Ketiga, pengolahan data dengan menggunakan sistem komputerisasi.

Metode statistik untuk analisa data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah :

1) Statistik univariat

Statistik univariat adalah suatu prosedur untuk menganalisa data dari suatu

variabel yang bertujuan untuk mendeskripsikan suatu hasil penelitian (Polit &

Hungler, 2009). Pada penelitian ini analisa data dengan metode statistik univarat

digunakan untuk menganalisa variabel independen (data demografi dan peran

orang tua) dan variabel dependen (tingkat kecemasan anak selama menjalani

proses hospitalisasi). Untuk menganalisa variabel peran keluarga dan variabel

tingkat kecemasan anak akan dianalisis dengan menggunakan skala interval dan

akan ditampilkan dalam distribusi frekuensi.


42

2) Statistik bivariat

Untuk melihat hubungan antara variabel independen (peran orang tua) dan

variabel dependen (tingkat kecemasan anak selama menjalani proses hospitalisasi)

digunakan formulasi korelasi Spearman. Uji korelasi Spearman digunakan pada

penelitian ini karena variabel peran orang tua dan tingkat kecemasan anak

merupakan variabel dengan skala ordinal.

Anda mungkin juga menyukai