TINJAUAN PUSTAKA
Kesehatan adalah keadaaan sejahtera dari fisik, mental dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup
produktif secara sosial dan ekonomi (UU No 23 tahun 1992 tentang kesehatan). Sedangkan menurut WHO
(2005) kesehatan adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang lengkap dan bukan hanya
bebas dari penyakit atau kecacatan. Dari dua defenisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa untuk
dikatakan sehat, seseorang harus berada pada suatu kondisi fisik, mental dan sosial yang bebas dari
gangguan, seperti penyakit atau perasaan tertekan yang memungkinkan seseorang tersebut untuk hidup
produktif dan mengendalikan stres yang terjadi sehari-hari serta berhubungan sosial secara nyaman dan
berkualitas. Kesehatan jiwa adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan atau bagian
integral dan merupakan unsur utama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup manusia yang utuh.
Kesehatan jiwa menurut UU No 23 tahun 1996 tentang kesehatan jiwa sebagai suatu kondisi yang
memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan
perkembangan itu berjalan secara selaras dengan keadaan orang lain. Selain dengan itu pakar lain
mengemukakan bahwa kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi mental yang sejahtera (mental
wellbeing) yang memungkinkan hidup harmonis dan produktif,Universitas Universitas Sumatera
Sumatera Utara sebagai bagian yang utuh dan kualitas hidup seseorang dengan memperhatikan semua
segi kehidupan manusia. Dengan kata lain, kesehatan jiwa bukan sekedar terbebas dari gangguan jiwa,
tetapi merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh semua orang, mempunyai perasaan sehat dan bahagia
serta mampu menghadapi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya dan
mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain (Sumiati dkk, 2009).
Gangguan kesehatan jiwa bukan seperti penyakit lain yang bisa dating secara tiba-tiba tetapi lebih kearah
permasalahan yang terakumulasi dan belum dapat diadaptasi atau terpecahkan. Dengan demikian akibat
pasti atau sebab yang melatar belakangi timbulnya suatu gangguan. Pengetahuan dan pengalaman yang
cukup dapat membantu seseorang untuk menangkap adanya gejala-gejala tersebut. Semakin dini kita
menemukan adanya gangguan maka akan semakin mudah penanganannya. Dengan demikian deteksi dini
masalah kesehatan jiwa anak usia sekolah dasar sangat membantu mencegah timbulnya masalah yang
lebih berat.
Masalah kesehatan jiwa yang sifatnya ringan dapat dilakukan penanganan di sekolah oleh guru atau
kerjasama antara guru dan orang tua anak karena penyebab permasalahan dapat berkaitan dengan
masalah dalam keluarga yang tidak ingin dibicarakan oleh orang tua, mungkin pula anak mempunyai
masalah dengan teman (Noviana, 2010). Lingkup masalah kesehatan jiwa yang dihadapi individu sangat
kompleks sehingga perlu penanganan oleh suatu program kesehatan jiwa yang bersifat kompleks pula.
Masalah-masalah kesehatan jiwa dapat meliputi:
1) perubahan fungsi jiwa sehingga menimbulkan penderitaan pada individu (distres) dan atau Universitas
Universitas Sumatera Sumatera Utara hambatan dalam melaksanakan fungsi sosialnya;
2) masalah psikososial yang diartikan sebagai setiap perubahan dalam kehidupan individu baik yang
bersifat psikologis maupun sosial yang memberi pengaruh timbal balik dan dianggap mempunyai
pengaruh cukup besar. Sebagai faktor penyebab timbulnya berbagai gangguan jiwa. Psikososial yang
dapat berupa masalah perkembangan manusia yang harmonis, peningkatan kualitas hidup, upaya-upaya
kesehatan jiwa diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut yang meliputi upaya primer, sekunder dan
tersier yang ditujukan untuk meningkatkan taraf kesehatan jiwa manusia agar dapat hidup lebih sehat,
harmonis, dan produktif (Dalami, 2010).
2.1.2 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Jiwa pada Anak Usia Sekolah
Faktor – faktor yang mempengaruhi kesehatan jiwa pada anak usia sekolah menurut Depkes RI (2001,
dalam Noviana, 2010) antara lain:
a. Guru
Perilaku guru menunjukan suatu pengaruh yang besar dan kuat terhadap iklim atau suasana sekolah, baik
sosial maupun emosional. Keberhasilan guru dalam mengajar dan mendidik, khususnya dapat membantu
perkembangan kepribadian anak.
b. Teman sebaya
Sehari-hari anak bergaul dengan teman sekolah atau teman di luar sekolah. Orang tua dan guru harus
mengetahui kelompok teman bermain anak baik di sekolah maupun di luar sekolah. Di rumah anak berada
dalam “dunia dewasa”, yang penuh dengan norma dan nilai yang harus dipatuhi, sedangkan di luar rumah
anak dalam “dunia usia sebaya”, yang penuh dengan kebebasan.
Anak tidak akan tenang belajar, apabila sekolah terletak di dekat pasar, perkampungan yang padat, dekat
pabrik, atau disekitar tempat hiburan. Keadaan semacam ini sangat berpengaruh terhadap perilaku anak.
d. Kurikulum
Kurikulum sekolah merupakan pedoman proses pembelajaran yang sangatn penting. Undang-undang No.
2 Tahun 1989 dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1990 sudah menggariskan jenis dan muatan
kurikulum, khususnya kurikulum nasional yang cukup fleksibel menampung keperluan khusus setempat
dalam bentuk muatan lokal.
e. Proses pembelajaran
Suasana sekolah yang menantang dan merangsang belajar, akan menentukan iklim sekolah. Hal ini
tergantung pada kemampuan guru mengajar, serta tatan tertib yang berlaku di sekolah. Sekolah terasa
nyaman dan menarik, sehingga anak senang berada di sekolah dan guru pun bergairah dalam mengajar.
f. Keluarga
Keluarga merupakan faktor pembentuk kepribadian anak secara dini yang pertama dan utama. Orang tua
yang bersifat otoriter, tidak sabar, mudah marah, selalu mengatakan “tidak”, selalu melarang, sering
memukul, akan sangat berpengaruh buruk terhadap perkembangan kepribadian anak
2. Model Interpersonal
Model ini diperkenalkan oleh Hary Stack Sullivan. Sebagai tambahan mengembangkan teori interpersonal
keperawatan. Teori ini meyakini bahwa perilaku berkembang dari hubungan interpersonal.
3. Model Sosial
Menurut Caplain situasi sosial dapat mencetuskan gangguan jiwa. Teori ini mengemukakan pandangan
sosial terhadap perilaku bahwa faktor sosial dan lingkungan menciptakan stress yang menyebabkan
ansietas yang akan menimbulkan gejala perilaku menyimpang.
4. Model Eksistensi
Teori ini mengemukakan bahwa penyimpangan perilaku terjadi jika individu putus hubungan dengan
dirinya dan lingkungannya. Keasingan diri dari lingkungan dapat terjadi karena hambatan pada diri
individu. Individu merasa putus asa, sedih, sepi, kurangnya kesadaran diri yang mencegah partisipasi dan
penghargaan pada hubungan dengan orang lain. Klien sudah kehilangan/tidak mungkin menemukan nilai-
nilai yang memberi arti pada eksistensinya
5. Model Komunikasi
Teori ini menyatakan bahwa gangguan perilaku terjadi apabila pasien tidak dikomunikasikan dengan jelas.
Bahasa dapat digunakan merusak makna, pesan dapat pula tersampaikan mungkin tidak selaras. Fase
komunikasi ada 4 yaitu: pra interaksi, orientasi, kerja, dan terminasi.
6. Model Perilaku
Dikembangkan oleh H.J Eysenk, J. Wolpe dan B.F Skiner. Teori ini meyakini bahwa perubahan perilaku
akan mengubah kognitif dan afektif.
7. Model Medical
Penyimpangan perilaku merupakan manifestasi gangguan system saraf pusat. Dicurigai bahwa depresi
dan skizoprenia dipengaruhi oleh transmisi impuls neural serta gangguan sinap yaitu masalah biokimia.
Faktor sosial dan lingkungan diperhitungkan sebagi faktor pencetus.
8. Model Keperawatan
Teori ini mempunyai pandangan bahwa askep berfokus pada respon individu terhadap masalah kesehatan
yang actual dan potensial dengan model pendekatan berdasarkan teori sistem, teori perkembangan, teori
interaksi, pendekatan holistik, teori keperawatan Fokus pada rentang sehat sakit, teori dasar
keperawatan, tindakan keperawatan, dan hasil tindakan (Wahyu dkk, 2009)
Keperawatan kesehatan jiwa merupakan proses interpersonal yang berupaya untuk meningkatkan dan
mempertahankan perilaku yang mendukung pada fungsi yang terintegrasi sehingga sanggup
mengembangkan diri secara wajar dan dapat melakukan fungsinya dengan baik, sanggup menjalankan
tugasnya sehari-hari sebagaimana mestinya. Dalam upaya mengembangkan pelayanan keperawatan jiwa,
perawat sangat penting, untuk mengetahui dan meyakini akan peran dan fungsinya, serta memahami
beberapa konsep dasar yang berhubungan dengan asuhan keperawatan jiwa. Para perawat kesehatan
jiwa mempunyai peran yang bervariasi dan spesifik.
Perawat memberikan pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa kepada individu, keluarga dan komunitas.
Dalam menjalankan perannya, perawat menggunakan konsep perilaku manusia, perkembangan
kepribadian dan konsep kesehatan jiwa serta gangguan jiwa dalam melaksanakan asuhan keperawatan
kepada individu, keluarga dan komunitas. Perawat melaksanakan asuhan keperawatan secara
komprehensif melalui pendekatan proses keperawatan jiwa, yaitu pengkajian, penetapan diagnosis
keperawatan, perencanaan tindakan keperawatan, dan melaksanakan tindakan keperawatan serta
evaluasi terhadap tindakan tersebut.
Perawat memberi pendidikan kesehatan jiwa kepada individu, keluarga dan komunitas agar mampu
melakukan perawatan pada diri sendiri, anggota keluarga dan anggota masyarakat lain. Pada akhirnya
diharapkan setiap anggota masyarakat bertanggung jawab terhadap kesehatan jiwa.
3. Pengelola keperawatan
Perawat harus menunjukkan sikap kepemimpinan dan bertanggung jawab dalam mengelola asuhan
keperawatan jiwa. Dalam melaksanakan perannya ini perawat:
b. Menggunakan berbagai strategi perubahan yang diperlukan dalam mengelola asuhan keperawatan jiwa
maupun keluarga
4. Pelaksana penelitian
usia enam hingga kira-kira usia duabelas tahun. Karakteristik utama usia sekolah
sesudah keluarga dimana anak akan memperoleh pendidikan. Oleh karena itu
Menurut Nasution (1993, dalam Djamarah, 2008) masa usia sekolah sebagai
masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia enam tahun hingga kira-kira
sebelas atau duabelas tahun. Usia ini ditandai dengan mulainya anak masuk
sekolah dasar dan dimulainya sejarah baru dalam kehidupannya yang kelak akan
mengubah sikap-sikap dan tingkah lakunya. Para guru mengenal masa ini sebagai
masa sekolah oleh karena pada usia inilah anak untuk pertama kalinya menerima
pendidikan formal, tetapi bisa juga dikatakan bahwa masa usia sekolah adalah
masa matang untuk belajar maupun masa matang untuk sekolah. Disebut masa
matang untuk belajar karena anak sudah berusaha untuk mencapai sesuatu,
sedangkan disebut masa matang untuk sekolah karena anak sudah menamatkan
sekolah.
intelektual atau masa keserasian bersekolah. Tetapi dia tidak berani mengatakan
pada umur berapa tepatnya anak matang untuk masuk sekolah dasar. Kesukaran
kematangan itu tidak hanya ditentukan oleh umur semata, tetapi ada beberapa
faktor yang dapat mempengaruhinya seperti yang sudah dibahas sebelumnya.
disimpulkan mengatakan bahwa usia sekolah adalah usia yang sangat penting
dalam perjalanan hidup anak, karena usia inilah pertama sekali anak
anak sudah dituntut mampu menerapkan intelektualnya. Dalam masa ini juga anak
umur usia sekolah antara enam sampai dua belas tahun sesuai dengan pendapat
dengan teman sebaya. Sebagai agens sosialisasi kedua setelah keluarga, sekolah
untuk menyesuaikan diri dengan pola kelompok yang dipaksakan oleh orang
dewasa selain orang tua dan yang memiliki tanggung jawab terhadap banyak anak
secara konstan mengawasi anak per individu. Anak ingin pergi ke sekolah dan
biasanya menyesuaikan diri terhadap kondisi yang baru dengan sedikit kesulitan.
dan emosional anak, dan kesiapan orangtua dalam menerima perpisahan karena
anak sudah masuk sekolah. Selain itu sebagian besar anak telah memiliki
Guru dalam hal ini memfasilitasi transisi dari rumah ke sekolah, guru
kebutuhan anak yang lebih kecil. Guru seperti halnya orangtua, memperhatikan
kesejahteraan psikologis dan emosional anak. Walaupun fungsi guru dan orangtua
berbeda, keduanya memberikan batasan perilaku dan keduanya berada pada posisi
untuk menguatkan standar perilaku. Namun, tanggung jawab utama guru adalah
orangtua memberi pengaruh dalam menentukan sikap dan nilai anak. Guru
menggunakan pernyataan yang dapt diterima dan jelas yang membantu anak
mambantu anak belajar menepati janji, memenuhi tenggang waktu, dan berhasil
untuk menggambarkan anak usia sekolah dasar yang ditinggalkan untuk merawat
dirinya sendiri sebelum atau sesudah sekolah tanpa pengawasan orang dewasa.
mencetuskan stres pada anak sekolah. Tanpa pengawasan orang dewasa yang
adekuat setelah pulang sekolah menyebabkan anak berisiko tinggi terhadap cedera
dan perilaku yang nakal. Latchkey children lebih merasa kesepian, terisolasi, dan
lebih penakut daripada anak-anak yang memiliki seseorang yang merawat mereka.
Untuk menangani rasa takut dan ansietas ketika sendirian, anak-anak ini dapat
keras, atau bermain dengan binatang peliharaan sebagai sesuatu yang membuat
Melalui pertumbuhan fisik dan otak, anak belajar dan berlari semakin
stabil, makin mantap dan cepat. Pada masa sekolah anak sudah sampai pada
taraf penguasaan otot, sehingga sudah dapat berbaris, melakukan senam pagi
dan sebagainya.
b) Belajar membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai makhluk
biologis
dan juga menerima dirinya (baik rupa wajahnya maupun postur tubuhnya)
secara positif.
temannya itu berbudi baik, tetapi mungkin juga diwarnai oleh perasaan tidak
semakin tampak. Dari segi permainan umpamanya akan tampak bahwa anak
khas yang laki-laki, seperti main kelereng, main bola, dan layang-layang.
Salah satu sebab masa usia 6-12 tahun disebut masa sekolah karena
berbudaya, paling sedikit anak harus tamat sekolah dasar (SD), karena dari
pengamatn yang telah lalu itu disebut konsep (tanggapan). Demikianlah kita
mempunyai tanggapan tentang ayah, ibu, rumah, pakaian, buku, sekolah, dan
perbendaharaan konsep pada anak. Tak perlu diuraikan lagi bahwa dalam
bermasyarakat.
berpikir.
Hakikat tugas ini adalah untuk dapat menjadi orang yang berdiri sendiri
dalam arti dapat membuat rencana, berbuat untuk masa sekarang dan masa
yang akan datang bebas dari pengaruh orangtua dan orang lain.
toleransi terhadap pendapat orang lain dan menghargai hak orang lain (Yusuf,
2006).
Karakteristik pada masa usia sekolah ini dapat diperinci menjadi 2 fase :
a. Adanya korelasi yang tinggi antara keadaan jasmani dan prestasi sekolah.
mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.
2) Masa kelas tinggi sekolah dasar (9 - 13 tahun), dengan karakteristik :
c. Menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal dan mata
pelajaran khusus.
e. Anak memandang nilai (angka rapor) adalah ukuran yang tepat mengenai
prestasi sekolahnya.
Karakteristik- karakteristik ini diperjelas lagi oleh beberapa teori dari ahli
psikologi, dimana para ahli memandang anak dari beberapa sudut pandang dan
dalam bahasan ini akan peneliti uraikan dari aspek psikososial saja karena
Menurut Erickson (2000, dalam Keliat, 2006) perkembangan psikososial anak usia sekolah adalah
peningkatan kemampuan anak usia 7-12 tahun dalam berbagai hal, termasuk interaksi dan prestasi belajar
dalam menghasilkan suatu karya berdasarkan kemampuan diri sendiri. Tantangan psikososial untuk
tahuntahun sekolah inilah yang disebut Erikson industry versus inferiority (ketekunan versus perasaan
rendah diri). Anak mulai melihat hubungan antara ketekunan dan perasaan senang bila sebuah pekerjaan
selesai. Kemampuan anak untuk berpindah-pindah antara dunia rumah, lingkungan tempat tinggal, dan
sekolah serta untuk menguasai hal-hal akademis, kegiatan kelompok dan teman-teman akan
menumbuhkan perasaan kompeten. Kesulitan dalam menghadapi tantangan ini dapat menghasilkan
perasaan rendah diri. Dengan kata lain pencapaian kemampuan ini akan membuat anak bangga terhadap
dirinya. Hambatan atau kegagalan mencapai kemampuan ini menyebabkan anak merasa rendah diri.
Hubungan dengan teman sebaya sehari-hari memberikan interaksi social paling penting untuk anak usia
sekolah. Untuk pertama kalinya, anak mampu bergabung dalam aktivitas kelompok dengan antusiasme
yang tidak terbatas dan partisipasi yang mantap. Pengalaman berharga dipelajari dari interaksi sehari-hari
dengan teman sebaya. Pertama, anak belajar menghargai beberapa perbedaan sudut pandang yang
ditunjukkan dalam kelompok teman sebaya. Pada saat anak berinterakasi dengan teman sebaya yang
memandang dunia ini secara berbeda, anak mulai menyadari bahwa sudut pandang mereka memiliki
keterbatasan. Dampaknya, anak belajar untuk berdebat, membujuk, berunding, bekerjasama, dan
berkompromi untuk mempertahankan persahabatan.
Kedua, anak bertambah sensitif terhadap norma sosial dan tekanan dari kelompok teman sebaya.
Kelompok teman sebaya menetapkan standar untuk menerima dan menolak, dan anak-anak mungkin
ingin memodifikasi perilaku mereka agar dapat diterima kelompok. Kebutuhan untuk diterima teman
sebaya menjadi pengaruh kuat untuk penyesuaian.
Ketiga, interaksi diantara teman sebaya berperan penting dalam pembentukan hubungan persahabatan
dengan teman sesama jenis. Periode usia sekolah adalah waktu ketika anak memiliki “sahabat” yaitu
teman tempat berbagi rahasia, lelucon pribadi, dan petualangan; mereka saling membantu jika temannya
menghadapi masalah. (Wong, 2008).
Erickson (2000, dalam Keliat, 2006) mengatakan bahwa anak usia sekolah tertarik terhadap pencapaian
hasil belajar. Mereka mengembangkan rasa percaya dirinya terhadap kemampuan dan pencapaian yang
baik dan relevan. Meskipun pada usia ini membutuhkan keseimbangan antara perasaan dan kemampuan
dengan kenyataan yang dapat mereka raih, namun perasaan akan kegagalan atau ketidakcakapan dapat
memaksa mereka berperasaan negatif terhadap dirinya sendiri, sehingga dapat mengakibatkan kesulitan
belajar pada anak (Untario, 2004).
Tugas perkembangan pada usia sekolah ini menurut Erickson adalah menyelesaikan tugas (sekolah atau
rumah) yang diberikan, mempunyai rasa bersaing, senang berkelompok dengan teman sebaya,
mempunyai sahabat karib, dan berperan dalam kegiatan kelompok. Sedangkan penyimpangan
perkembangan pada anak usia sekolah tidak mau mengerjakan tugas sekolah atau membangkang pada
orangtua, tidak ada kemauan untuk bersaing, terkesan malas, tidak mau terlibat dalam kegiatan kelompok
dan memisahkan diri dari sekolah dan temanteman sepermainan Nasution (1993, dalam Djamarah, 2008).
Menurut Paris dan Cunningham (1996, dalam Woolfolk, 2009), cara anak menghadapi tantangan-
tantangan ini memiliki implikasi pada pengalaman sekolah selanjutnya. Dua diantara prediktor terbaik
untuk drop out dari sekolah adalah rata-rata nilai yang rendah di kelas 3 dan pernah tinggal kelas di SD.
Kemudian Entwisle dan Alexander (1998, dalam Woolfolk, 2009) mengemukakan “Seberapa sukses anak
di Sekolah Dasar penting bagi kesuksesan mereka di masa depan dibanding prestasi sekolah di waktu-
waktu lainnya”. Oleh karena itu, anak usia sekolah harus lebih diperhatikan sehingga pada masa dewasa
anak tidak mengalami hambatan dalam prestasi dan sosialisasi.
Piaget (1985, dalam Woolfolk, 2009) mengidentifikasi tahapan perkembangan intelektual yang dilalui
anak pada usia sekolah adalah tahap Universitas Universitas Sumatera Sumatera Utara operasional
kongkrit. Pada tahap ini anak mengembangkan pemikiran logis, masih sangat terikat pada fakta-fakta
perseptual, artinya anak mampu berpikir logis, tetapi masih terbatas pada objek-objek kongkrit dan
mampu melakukan penilaian terhadap sesuatu hal yang kongkrit, atau dengan kata lain prinsip bahwa
jumlah atau banyaknya sesuatu tetap sama meskipun penataan atau penampilannya diubah, selama tidak
ada yang ditambahkan atau diambil. Operasi penting lain yang dikuasai pada tahap ini adalah
pengelompokan. Pengelompokan bergantung pada kemampuan anak untuk memfokuskan perhatiannya
pada salah satu karakteristik objek diantara sejumlah karakteristik (misalnya,warna) yang ada dan
mengelompokkan objek-objek menurut karakteristik itu. Anak pada tahap ini juga memiliki kemampuan
mengurutkan, artinya membuat anak mampu melakukan penataan urut mulai dari besar sampai kecil atau
sebaliknya. Pemahaman tentang ini memungkinkan anak untuk mengonstruksikan rangkaian-rangkaian
logis yang A < B < C (A lebih kecil daripada B lebih kecil daripada C).
Kemampuan yang dimiliki anak untuk menangani operasi-operasi seperti penilaian, pengelompokan dan
pengurutan pada tahap operasional kongkrit dapat mengembangkan sistem berpikir yang lengkap dan
sangat logis. Akan tetapi sistem berpikir ini masih dikaitkan dengan realitas fisik. Logikanya didasarkan
pada situasi-situasi kongkrit yang dapat diorganisasikan, dikelompokkan atau dimanipulasi.
Perkembangan afektif utama selama tahap operasional kongkrit adalah penilaian perasaan.
Perkembangan tersebut merupakan peningkatan cara berpikir efektif. Dengan kata lain dapat dinyatakan
bahwa penyusunan konsep pada anak muncul dari suatu penilaian terhadap kondisi yang memungkinkan
anak untuk meyakini bahwa motif akan mampu membuat keputusan moral.
Bertitik tolak pada perkembangan psikososial dan kognitif anak usia sekolah tersebut, menunjukkan
bahwa mereka mempunyai karakteristik sendiri, dimana proses berpikirnya belum dapat dipisahkan dari
dunia kongkrit atau halhal yang faktual, sedangkan perkembangan psikososial anak usia sekolah masi
berpijak pada prinsip yang sama dimana mereka tidak dapat dipisahkan dari halhal yang diamati. Pada
usia ini mereka masuk sekolah umum, proses belajar mereka tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah,
karena mereka sudah diperkenalkan dalam kehidupan yang nyata di lingkungan masyarakat.
Seperti dikatakan Darmodjo (1992, dalam Djamarah, 2008) anak usia sekolah adalah anak yang sedang
mengalami pertumbuhan baik pertumbuhan intelektual, emosional maupun pertumbuhan fisik, dimana
kecepatan pertumbuhan anak pada masing-masing aspek tersebut tidak sama, sehingga terjadi berbagai
variasi tingkat pertumbuhan dari tiga aspek tersebut. Dengan perbedaan karakteristik tersebut
diharapkan praktisi pendidikan dapat mengemas perencanaan dan pengalaman belajar yang akan
diberikan kepada anak didik sehingga semua anak dapat memahami materi pelajaran walaupun adanya
perbedaan tersebut, karena tidak dapat dipungkiri perkembangan anak berhubungan erat dengan proses
belajarnya.