Tujuan utama untuk perawatan gigi disediakan untuk pasien dengan riwayat radiasi kepala dan
leher atau terapi bifosfonat harus untuk mencegah Perkembangan osteoradionekrosis. Beberapa
laporan dan pedoman menunjukkan bahwa gigi yang tidak bisa disembuhkan harus ditangani
dengan pengangkatan mahkota dan perawatan endodontik. Namun, kasus yang tidak dapat
dikelola dengan cara seperti itu, penghentian pengobatan bifosfonat selama 412 minggu
sebelum dilakukan pencabutan invasif sangat disarankan. Salah satu Faktor risiko osteonekrosis
adalah prosedur perawatan gigi yg invasif; ekstraksi dan prosedur bedah, infeksi, dan trauma
mekanis ke tulang rahang. Laporan tentang kejadian osteonekrosis yg terjadi pada rahang setelah
dilakukan ekstraksi tidak konsisten.Satu kelompok melaporkan hanya dua pasien yang
medapatkan terapi radiasi untuk kanker yang berkembang menjadi ORN setelah dilakukab
ekstraksi pada 197 gigi. BRONJ adalah komplikasi penting lainnya yang telah menarik perhatian
komunitas medis. Beberapa laporan mengindikasikan bahwa insiden BRONJ berkisar dari 0,94%
hingga 18%. Perlu dicatat bahwa insidensi komplikasi seperti itu lebih sering terjadi pada pasien
yang menerima bifosfonat intravena daripada pada pasien yang menerima bentuk oral. Pada
sebuah tinjauan sistematis didapatkan pada 368 kasus BRONJ, 4,1% berada di pasien yang
menerima bifosfonat oral dibandingkan dengan 91,6% pada pasien yang menerima bentuk
adalah pasien yg memiliki riwayat prosedur gigi yg invasif. Dalam suatu penelitian, BRONJ
ditemukan di 93 dari 439 gigi, di mana 19 dari 93 pasiennya membutuhkan reseksi rahang bawah
untuk mengendalikan penyakit mereka, dan satu diantaranya meninggal. Dalam tinjauan literatur
faktor yang memberatkan pada 309 dari 449 pasien (69%), sedangkan 21% berkembang secara
spontan. Dalam kasus ini, tampak bahwa NSRCT yg diikuti oleh crown amputation pada gigi
yang seharusnya diekstraksi, tidak mengalami komplikasi seperti itu.
Meskipun hasil studi endodontik mendukung rekomendasi untuk memberikan perawatan
kesimpulan itu. Jumlah total gigi yang terlibat dalam tiga studi hasil endodontik dan pada kasus
penelitian yg lebih lanjut dengan protokol yang telah terdefinisi dengan baik diperlukan untuk
menilai hasilnya. Selanjutnya, tingkat keberhasilan endodontik dalam tiga penelitian sangat
bervariasi. Hsiao dkk. melaporkan kesuksesan perawatan di 74% dari 34 gigi dengan lesi
periapikal yang sudah ada sebelumnya pada pasien yang menggunakan bifosfonat oral. Lilly
melaporkan 91% keberhasilan dari 22 gigi pada pasien yang menerima terapi radiasi. Seto et al.
mengevaluasi pasien radiasi dan melaporkan bahwa 59% dari 35 gigi yang dirawat; termasuk 19
dengan crown amputation, didapatkan adanya lesi periapikal setelah perawatan endodontik.
Dalam kasus ini, salah satu dari lima gigi yang tersisa didapatkan lesi periapikal. Hasil ini
menunjukkan bahwa prognosis endodontik dapat dikompromikan pada pasien yang telah di
bahwa lesi periapikal persisten tidak berkembang dan pada akhirnya mengarah pada
berkembangnya osteonekrosis.
Pada kasus # 1 dan # 4 (kasus pascaradiasi) juga memberikan contoh lain untuk kemungkinan
prognosis yang lebih buruk untuk kasus crown amputation. Sama seperti pasien dalam studi
postradiasi lain, pasien memiliki fibrosis pada otot mastikasi nya, sehingga kemampuannya
untuk membuka mulut sangat terbatas. Kedua pasien juga memiliki mucositis dan xerostomia,
yang merupakan efek samping dari pengobatan. Hilangnya struktur gigi menyulitkan isolasi gigi
dg rubber dam. Semua masalah ini memiliki efek buruk pada kualitas perawatan yang diberikan
pada kasus ini. Kanal distal pada kasus # 1 di isi dg panjang, seperti halnya 7 dari 41 akar pada
kasus yg serupa.Empat dari 7 akar gagal sembuh. Ini bukan suatu kejutan, karena over filling
pada apek telah dikutip berdampak negatif pada hasil NSRCT daripada pasien yang sehat.
Masalah lain yang memiliki efek negatif pada prognosis endodontik diilustrasikan pada kasus
ini. Semua operator melaporkan kesulitan ketika menempatkan restorasi pada gigi yang telah di
lakukan crown amputation. Masalah ini, ditambah dengan peningkatan kerentanan terhadap
karies pada pasien postradiasi, dapat menyebabkan kebocoran koronal.
Crown amputation mungkin tampak sebagai perawatan yang tidak biasa untuk kasus # 2, yang
bahwa crown amputation diperlukan pada 5 dari 19 gigi pada kontrol berikutnya. Para penulis
mencatat bahwa komplikasi yg berpotensial terjadi pada gigi yang mengalami keterlibatan
mahkota termasuk trauma oklusal, fraktur gigi, perforasi akar, atau eksposur tulang berasal dari
gaya retraksi gingival yang berlebihan. Mereka juga menyatakan bahwa crown amputation dapat
meningkatkan kemampuan pasien untuk membersihkan sisa akar, yang merupakan hasil nyata
dalam kasus # 2. Namun, ketika dilakukan bikuspidasi untuk membuat akar yang terpisah,
diperlukan perawatan khusus untuk menghindari terbukanua tulang interradikular. Dianjurkan
untuk membuka furkasi lebih pendek dari gingival attachment dan secara bertahap. Teknik itu
tidak digunakan dalam kasus # 1 dan # 2; Namun, tampaknya akan direkomendasikan untuk
kasuskasus di masa mendatang.
Salah satu perhatian lain yang berkaitan dengan crown amputation adalah terjadi eksfoliasi gigi
(atau akar), dengan potensi aspirasi atau masalah lain. Ketika crown amputation pada awalnya
direkomendasikan, diperkirakan bahwa semua akar gigi akhirnya akan terjadi eksfoliasi, pada
awalnya gigi akan terjadi supraerupsi, lalu terjadi penurunan tulang hingga akhirnya di sarankan
untuk di lakukan pencabutan. Seto et al. adalah satusatunya penulis yang melaporkan adanya
eksfoliasi yg terjadi pada 8 akar.Kasus # 4 adalah satusatunya kasus di mana akar gigi terjadi
eksfoliasi, tetapi eksfoliasi yang sebenarnya tidak terjadi. Pasien disarankan untuk melakukan
kontrol, yang bisa berguna sebagai pencegahan aspirasi akar. Tidak ada gigi yg mengalami
supraerupsi pada kasus ini.
Sent from my iPhone