Anda di halaman 1dari 7

3.

Bruxism
3.1. Definisi Bruxism
Bruxism atau bruksisme memiliki definisi sebagai aktivitas parafungsi pada siang atau
malam hari berupa gerakan clenching, bracing, gnashing dan grinding dari gigi-geligi rahang
atas dan rahang bawah. Seiring dengan kemajuan ilmu kedokteran gigi, terjadi perkembangan
istilah dan definisi bruksisme. Bruksisme merupakan aktivitas otot-otot rahang berupa tooth
clenching yang dilakukan tanpa sadar dan disaat terjaga. Apabila bruksisme terjadi pada saat
tidur dan gerakannya adalah kombinasi antara tooth clenching dan grinding, disebut sleep
bruxism (Wijaya, 2013).
Bruxism adalah kebiasaan seseorang mengkerot-kerotkan giginya atau menggertakkan
gigi-geligi serta menekan kuat gigi-geligi tanpa fungsi. Keadaan ini sering terjadi secara tidak
sadar dan terutama pada malam hari disaat sedang tidur. Keadaan ini akan menyebabkan bunyi
gemerutuk gigi, rasa capai pada otot saat bangun pagi, rahang terasa terkunci sehingga akan
merasakan rasa sakit ada daerah sendi rahang dan kecenderungan untuk menggigit pipi, bibir
atau lidah. Selain itu, gigi akan menjadi cepat aus sehingga akan berpengaruhu pada
oengunyahan dan penelanan makanan.
Aktivitas fungsional pada rahang termasuk ritme kontraksi dan relaksasi dari otot.
Aktivitas ritme ini menyebabkan aliran darah yang cukup yang akan memberikan oksigen pada
jaringan dan menghilangkan sisa bahan yang terkumpul pada tingkat selular. Bruxism merupakan
hasil dari kontraksi otot yang terus menerus pada waktu yang lama. Aktivitas ini akan
menurunkan tingkat oksigen di dalam jaringan oto sehingga akan mengurangi aliran darah. Hal
itu menyebabkan peningkatan jumlah karbondioksida dan produk sisa dari selulardidalam
jaringan otot sehingga menyebabkan gejala seperti kelelahan, nyeri atau kram (Reddy, et al
2014).
Pada saat sleep bruxism, terjadi hiperaktivitas pergerakan otot-otot rahang dan tekanan
oklusal yang berlebihan, sehingga menimbulkan masalah klinis pada gigi-geligi, tulang alveolar
dan jaringan periodonsium, sendi temporomandibula serta nyeri di bagian lain dari kepala. Sleep
bruxism merupakan salah satu etiologi terjadinya gangguan sendi temporomandibula
(temporomandibular disorder/ TMD). TMD merupakan gangguan kronis sistem muskuloskeletal
rahang yang meliputi otot dan sendi, berupa kumpulan dari beberapa gejala.
Menurut American Sleep Disorders Association (ASDA), bruksisme waktu tidur (sleep
bruxism) adalah kelainan gerakan yang stereotip yang ditandai dengan grinding atau clenching
gigi geligi waktu tidur.(Wijaya, 2013) Akhir-akhir ini dilaporkan tidak ada data yang reliable
yang menunjang peran oklusi sebagai penyebab bruksisme, sebaliknya dibuktikan bahwa
susunan saraf pusat dan perilaku yang lebih berperan daripada sebab perifer. Secara
epidemiologik dan patofisiologik ternyata sleep bruxism dapat terjadi dengan adanya berbagai
gangguan kejiwaan, neurologik dan sistemik yang dapat dihubungkan dengan peningkatan
respons otonomik atau hasil interaksi antara sistem limbik dan sistem motorik. Di samping itu
terdapat juga bukti-bukti yang menyatakan bahwa beberapa neurotransmitter ikut berperan dalam
patofisiologi bruksisme. Berdasarkan hasil penelitian lainnya dilaporkan adanya faktor-faktor
eksaserbasi yaitu stress, obat-obatan, alkohol, penyakit dan kepribadian. (Aizpurua, 2011).
Apabila ada gigi yang hilang maka fungsinya diambil alih oleh gigi gigi lainnya yang
masih ada sehingga beban pada masing-masing gigi tersebut bertambah. Bruksisme adalah hal
yang normal. Slavicek melaporkan bahwa pasien yang clenching dan bruksisme menahun
menggunakan organ pengunyahannya sebagai ’katup’ stres psikis dan ini terjadi di luar
kesadarannya. Hal ini diteliti oleh Gomez yang menguatkan hipotesis bahwa parafungsi oral
merupakan ’jalan keluar’ untuk stres/agresivitas pada manusia, sehingga dapat mengurangi efek
stres pada susunan saraf pusat. Pada kenyataannya fungsi bruksisme pada organ pengunyahan
dapat melindungi manusia terhadap berbagai keadaan patologik yang disebabkan oleh stres
psikis, sehingga perawatan oklusi gigi yang baik dapat membantu mempertahankan sistem
somatik yang sehat. (Paesani, 2010).
Fungsi otot normal akan terganggu atau berubah karena beberapa faktor etiologik, seperti
bruksisme. Mekanisme adaptasi fisiologis dan resistensi jaringan yang berlebihan, akan memicu
kondisi patofisiologi muskuler yang berupa gangguan otot. Pada dasarnya pasien akan
mengalami 1) gangguan dinamika rahang fungsional, yang ditandai dengan hipermetria dalam
pembukaan rahang maksimal disertai deviasi lateral ke kanan atau kiri pada akhir bukaan
maksimal. Deviasi ini disebut juga defleksi rahang; atau hipometria atau keterbatasan bukaan
rahang, 2) nyeri selama pergerakan rahang dan atau istirahat subyektif yang dikeluhkan oleh
pasien dan obyektif yang melalui palpasi otot, yang sering disertai dengan kelelahan otot rahang
pada pagi dan/atau siang hari dan 3) hipertonisitas atau hiperaktivitas otot, yang ditandai dengan
kondisi abnormal atau kontraksi otot involunter atau tidak sadar pada semua atau sebagian serat
rahang miospasme. (Paesani, 2010).

3.2. Etiologi Bruxism


Pada dasarnya dapat dibedakan dua kelompok faktor penyebab bruksisme, yaitu faktor
oklusal perifer dan faktor patopsikofisiologik sentral. Menurut hasil penelitian terakhir ternyata
faktor oklusi dan bentuk gigi hampir tidak berperan. Meskipun bruxisme dianggap merupakan
faktor penyebab paling penting untuk kelainan sendi, disfungsi otot pengunyahan, ausnya gigi
geligi, gigi ngilu dan kerusakan jaringan periodontal, dalam penelitian ternyata ditemukan bahwa
hilangnya gigi geligi lah yang merupakan faktor paling penting untuk terjadinya gangguan pada
sendi. (Paesani, 2010).
Hubungan antara kondisi emosional dan tegangan otot sepertinya lebih mudah untuk
dipahami. Peningkatan tegangan otot masseter berhubungan langsung dengan kondisi stres
harian. Ada satu penelitian yang membuktikan bahwa meningkatnya stres (yang ditunjukkan
dengan kandungan epinefrin di urin) berkorelasi dengan meningkatnya aktivitas otot masseter
pada malam hari. Penelitian-penelitian tersebut secara konsisten menunjukkan kuatnya hubungan
antara aktivitas otot masseter yang nonfungsional (dikunyahkan tapi tidak untuk mengunyah
makanan) dengan stres. Pada penelitian lain, ada yang menghubungkan antara faktor predisposisi
dalam rongga mulut, yang berupa hubungan oklusal yang malrelasi atau adanya sangkutan
oklusal atau interferens, yang dapat memicu terjadinya bruksisme jika dikombinasikan dengan
stres atau kondisi cemas. Berikut adalah empat penyebab terjadinya bruxism, antara lain:
1). Faktor Psikologis
Studi oleh Lobbezoo dan Naeije, 2001 menyatakan bahwa pengalaman stres dan
faktor psikososial berperan penting pada penyebab bruxism. Menurut literatur berdasarkan
laporan sendiri (self-reported) dan observasi klinik adanya keausan gigi adalah satu cara
untuk menilai bruxism dalam hubungannya dengan kecemasan dan stres. Tetapi, ada
keterbatasan dari metoda tersebut, karena keausan gigi digambarkan sebagai indikator yang
lemah dari konsep bruxism dan tidak membedakan clenching dan grinding. Besarnya
keausan gigi dipengaruhi oleh kepadatan email atau kualitas saliva dan efektivitas
lubrikasinya. Dokter gigi diklinik perlu perhatian untuk mengenal kelainan psikis dan
psikiatrik, seperti kecemasan atau kecemasan patologis, kondisi hati (mood) dan kelainan
personaliti. Pada kondisi tersebut seorang psikolog sangat diperlukan.
Menurut Lavigne, dkk. 2008, untuk memahami penyebab bruxism adalah sangat sulit
untuk mengisolir peran stres dan kecemasan dari perubahan yang terjadi pada autonomik
dan kegiatan motorik. Adanya keberagaman psikososial dan penanda biologis akan saling
mempengaruhi, sehingga sulit untuk mendapatkan deskripsi yang jelas, sederhana dan sahih
hubungan sebab diantara stres, kecemasan dan bruxism.
Etiologi dari bruxism termasuk kebiasaan, stress emosional (misalnya respon
terhadap kecemasan, ketegangan, kemarahan, atau rasa sakit), parasomnia (gangguan tidur
yang muncul pada ambang batas antara saat terjaga dan tidur, misalnya gangguan mimpi
buruk dan gangguan berjalan sambil tidur). Menurut beberapa penelitian yang dianggap
berkaitan dengan manifestasi dari bruxism, antara lain gangguan kepribadian, meningkatnya
stress, adanya depresi, dan kepekaaan terhadap stress.
2). Faktor morfologi
Faktor morfologi pada waktu lalu dipertimbangkan sebagai etiologi utama bruxism.
Ramfjorf (1961) menyarankan bahwa bruxism dapat dihilangkan dengan penyesuaian
oklusal. Tapi dari berbagai studi menunjukkan bahwa hubungan antara bruxism dan faktor
oklusal adalah lemah atau tidak ada. Sementara itu, Michelotti dkk, 2005, dalam
eksperimennya, bahwa suprakontak nyata berhubungan dengan pengurangan kegiatan
elektomiografi (EMG) ketika bangun. Hasil double-blind randomized controlled studies di
Finland menunjukkan bahwa interferensi oklusal artifisial tampaknya mengganggu
keseimbangan oromotor pada mereka dengan kelainan temporomandibular. Artikel tinjauan
Luther, 2007 menyatakan tidak ada bukti bahwa interferens oklusal sebagai etiologi
bruxism, atau penyesuaian oklusal dapat mencegahnya.
Oklusi gigi geligi dan anatomi skeletal orofasial dianggap terkait dalam penyebab dari
bruxism. Perbedaan oklusal, gangguan oklusal yang bentuknya dapat berupa trauma oklusal
ataupun tonjol yang tajam, gigi yang maloklusi secara historis dianggap sebagai penyebab
paling umum dari bruxism. Disharmoni lokal antara bagian-bagian sistem alat kunyah yang
berdampak pada peningkatan tonus otot di region tersebut juga dipandang sebagai salah satu
etiologi yang hingga saat ini masih dapat diterima banyak kalangan.
3). Faktor patofisiologis
Apakah bruxism hanya manifestasi ekstrim dari aktivitas physiologis belum diketahui
secara jelas. Dengan kata lain bahwa apakah bruxism merupakan manifestasi motorik
aktivitas orofasial/oromandibular yang berulang dan sangat intens (kekuatan) daripada suatu
keadaan patologis yang khusus?. Sejak beberapa dekade yang lalu, pencarian etiologi dan
physiologi bruxism terbatas hanya pada faktor mekanis (oklusi) dan adoptif atau perilaku
maladaptif (stres) dan pada kasus yang ekstrim disfungsi medis dari dopamine. Berbagai
investigasi terbaru telah dikemukakan seperti terlihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 2. Evolusi dari etiologi dan patophysiologi dari bruxism (lingkaran = teori lama;
panah = teori baru). GABA == gamma-aminobutyric acid2.

Bruxism kemungkinan terjadi akibat kelainan neurologis yaitu ketidakmatangan


sistem neuromuskular mastikasi, perubahan kimia otak, alkohol, trauma, penyakit, dan obat-
obatan. Hal ini berpotensi sistemik menyebabkan aktivitas parafunctional melalui alergi
makanan, kekurangan gizi, dan disfungsi endokrin. Penyelidikan efek gangguan gizi dan
endokrin bersama dengan parasit pencernaan pada fungsi otot mastikasi, serat kepekaan
terhadap trigeminal sampai potensi alergi kemungkinan berguna untuk penelitian di masa
depan baik temporomandibular disorders dan hiperaktivitas otot mastikasi.
Faktor neurokimia tertentu, yaitu obat-obatan. Efek samping dari obat yang akan
menimbulkan bruxism adalah Amfetamin yang digunakan dalam mengatasi gangguan
attention-deficit/ hyperactivity (ADHD) seperti methylphenidate dan pemakaian jangka
panjang Serotonin. Selain itu, bruxism ditemukan lebih sering pada pecandu narkoba berat
serta perokok.

3.3. Akibat Bruxism


Bruxism dapat menyebabkan aus permukaan gigi-gigi pada rahang atas dan rahang bawah,
baik itu gigi susu maupun gigi permanen. Lapisan email yang melindungi permukaan atas gigi
hilang, sehingga dapat timbul rasa ngilu pada gigi-gigi tersebut. Bila kebiasaan ini berlanjut terus
dan berlangsung dalam waktu lama, dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan periodontal,
terjadi pada pasien dengan bentuk tonjol yang curam, luka pada periodonsium, pulpitis, kadang-
kadang disertai peningkatan derajat mobilitas gigi yang terlibat, maloklusi, patahnya gigi akibat
tekanan yang berlebihan, dan kelainan pada sendi temporomandibular joint.
Bruksisme dapat mengakibatkan hal-hal seperti: (1) sakit pada otot pengunyahan, sakit
kepala, dan sakit pada telinga; (2) gangguan bentuk gigi, karena bruksisme menyebabkan
mahkota gigi menjadi pendek dan hilang nilai estetikanya. Email menipis akibat aktivitas
grinding sehingga dentin menjadi terbuka; (3) Kadang terlihat adanya jejas atau tanda yang tidak
rata pada tepi lidah; (4) gigi menjadi lebih sensitif dan terasa ngilu terhadap dingin, tekanan, dan
stimulus lainnya; (5) fraktur gigi dan tambalan. Tekanan besar yang dihasilkan oleh aktivitas
bruksisme dapat menyebabkan patahnya gigi dan pecahnya tambalannya; (6) terjadi kegoyangan
gigi; (7) ketidaknyamanan dan nyeri pada sendi TMJ yang biasanya dirasakan ketika mengunyah
atau berbicara.

3.5 Hubungan bruxism dengan penderita TMJ

Pada waktu terjadi bruxism, tekanan kunyah pada gigi geligi amatlah besar, bisa
mencapai lebih dari dua kali hingga enam kali dari tekanan kunyah normal. Akibatnya, dapat
terjadi kerusakan baik pada gigi maupun sendi rahang. Permukaan gigi menjadi rata karena
ausnya tonjol-tonjol gigi akibat gesekan yang kuat. Selain menyebabkan tampilan gigi menjadi
buruk, gigi menjadi sensitif karena terbukanya lapisan dentin gigi. Kerusakan juga terjadi pada
jaringan penyangga gigi, seperti tulang alveolar (tulang tempat tumbuhnya gigi) serta jaringan
periodontal (jaringan pengikat gigi pada tulang), yaitu terjadi radang yang menimbulkan rasa
sakit dan kerusakan jaringan yang parah. Kerusakan pada sendi menimbulkan nyeri dan kesulitan
menggerakkan rahang. Rasa sakit yang ditimbulkan bruxism dapat berupa sakit kepala, telinga
dan leher, juga otot-otot wajah terutama terasa pada waktu bangun tidur.

Kondisi bruxism dapat melelahkan orang yang menderita kelainan tersebut saat bangun
tidur. Akibat dari refleks bruxism sewaktu tidur itu dapat menimbulkan rasa sakit di berbagai
tempat. Bila mengenai pelipis (otot temporalis) sehingga terasa sakit kepala yang
berkepanjangan, jika di sekitar telinga (otot pterygoideus lateralis) akan terasa pegal dengan
kadangkadang disertai telinga sedikit berdengung. Pada leher (otot sternocleidomastoideus) akan
terasa tegang sampai daerah bahu (otot trapezius) dan dapat pula menimbulkan rasa lelah pada
pipi (otot masseter). Rasa tersebut seolah-olah seperti sehabis mengunyah makanan keras dalam
jumlah banyak. Kadang-kadang setelah menderita bruxism beberapa lama, pada daerah sendi
rahang (temporomandibular joint) terasa sakit bila membuka mulut lebar-lebar. Pada sendi itu
dapat juga terjadi klicking (tidak lancar membuka dan mengatupkan rahang).

Anda mungkin juga menyukai