Anda di halaman 1dari 35

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK

DENGAN PENYAKIT OSTEOPOROSIS

OLEH

KELOMPOK 9

1. MARIA A. PUTRI LAMAN


2. OLFIN SRITY BANI
3. ELIVAS HAILITIK
4. SEPJUNFAI BHIA

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MARANATHA
KUPANG
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang ditandai dengan menurunya massa tulang
(kepadatan tulang) secara keseluruhan akibat ketidakmampuan tubuh dalam mengatur
kandungan mineral dalam tulang dan disertai dengan rusaknya arsitektur yang akan
mengakibatkan penurunan kekuatan tulang (pengeroposan tulang) (Kemenkes RI, 2016).
Menurut WHO pada International Consensus Development Conference, di Roma, Itali, 1992
Osteoporosis adalah penyakit dengan sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah,
disertai perubahan mikroarsitektur tulang, dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang pada
akhirnya menimbulkan akibat meningkatnya kerapuhan tulang dengan resiko terjadinya
patah tulang (Suryati, 2016).
Apabila kerusakan jaringan rawan sendi lebih cepat dari kemampuannya untuk
memperbaiki diri, maka terjadi penipisan dan kehilangan pelumas sehingga kedua tulang
akan bersentuhan. Inilah yang menyebabkan rasa nyeri pada sendi lutut. Setelah terjadi
kerusakan tulang rawan, sendi dan tulang ikut berubah. Definisi Nyeri adalah suatu kondisi
dimana seseorang merasakan perasaan yang tidak nyaman atau tidak menyenangkan yang
disebabkan oleh kerusakan jaringan yang telah rusak atau yang berpotensi untuk rusak.Tanda
dan gejala yang ditimbulkan oleh nyeri yaitu wajah tampak meringis, gelisah, mengeluh
nyeri dan merasa depresi (tertekan) serta tidak mampu menuntaskan aktivitas. Hal tersebut
menjadikan lansia tidak nyaman serta menghambat dalam menjalan aktivitas hariannya
(Chabib dkk, 2016).
Menurut, International Osteoporosis Foundation (IOF) (2017) Indonesia saat ini
termasuk kedalam lima besar Negara dengan jumlah penduduk usia lanjut terbanyak didunia
yakni 18,1 juta jiwa atau 9,6% dari jumlah penduduk. jumlah penderita osteoporosis di
Indonesia jauh lebih besar Menurut hasil survei data yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi
Depkes pada 14 provinsi menunjukkan bahwa masalah Osteoporosis di Indonesia telah
mencapai pada tingkat yang perlu diwaspadai yaitu 19,7%. Lima provinsi dengan risiko
Osteoporosis lebih tinggi adalah Sumatera Selatan (27,7%), Jawa Tengah (24,02%), DI
Yogyakarta (23,5%), Sumatera Utara ( 22,82%), Jawa Timur (21,42%) dan Kalimantan
Timur (10,5%) (Wulandari dkk, 2017: 350).
Hal ini menunjukkan bahwa osteoporosis merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang membutuhkan perhatian serius. untuk Mengatasi nyeri pada penderita
osteoporosis , beberapa hal terkait gaya hidup berikut bisa dilakukan untuk mengurangi
gejala yang ditimbulkan, di antaranya: Menurunkan berat badan, Sendi yang mengalami
tekanan berlebih kian memperburuk pengapuran tulang yang diderita, olahraga secara teratur
penting dilakukan untuk menguatkan otot-otot di sekitar sendi yang mengalami pengapuran.
Pastikan olahraga yang dilakukan tidak berlebihan karena justru akan memperburuk masalah
yang diderita, kompres hangat atau dingin saat kondisi osteoporosis menimbulkan rasa sakit,
gunakan kompres hangat atau air dingin untuk meringankannya. Pemakaian kompres hangat
juga berperan untuk melemaskan otot, sedangkan kompres dingin dapat meredakan kram otot
dan nyeri, memakai obat pereda rasa sakit , Pemakaian obat pereda rasa sakit berupa krim
atau gel yang dijual bebas di apotik juga bisa dilakukan. Krim atau gel pereda rasa sakit
cocok dipakai pada sendi yang dekat dengan permukaan kulit, seperti persendian pada lutut
dan jari-jari, memakai alat bantu, seperti tongkat, mungkin dibutuhkan untuk memudahkan
penderita pengapuran tulang dalam beraktivitas, obat dan terapi yang bisa dijalani seperti
obat pereda nyeri (paracetamol atau obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID)), yang dapat
diresepkan oleh dokter.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum

Setelah menyelesaikan makalah ini diharapkan mahasiswa/i dapat memahami konsep


Osteoporosis dan mampu menyusun rencana asuhan keperawatan gerontik pada
pasien dengan Osteoporosis.

2. Tujuan Khusus
Mahasiswa/I dapat memahami tentang :
 Konsep penyakit Osteoporosis.
 Konsep Lansia.
 Proses pembuatan asuhan keperawatan dari Osteoporosis.
BAB II
TINJAUAN TEORI

 KONSEP PENYAKIT OSTEOPOROSIS

A. Pengertian Osteoporosis
Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang, dan porous berarti
berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit
yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya rendah atau berkurang, disertai
gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat
menimbulkan kerapuhan tulang (Tandra, 2016).
Osteoporosis adalah penyakit tulang sisitemik yang ditandai oleh penurunan
mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Pada tahun 2001,
National Institute of Health (NIH) mengajukan definisi baru osteoporosis sebagai penyakit
tulang sistemik yang ditandai oleh compromised bone strength sehingga tulang mudah patah
( Sudoyo, 2016 ).

B. Etiologi Osteoporosis
1. Determinan Massa Tulang
a) Faktor genetik
Perbedaan genetik mempunyai pengaruh terhadap derajat kepadatan tulang.
Beberapa orang mempunyai tulang yang cukup besar dan yang lain kecil. Sebagai
contoh, orang kulit hitam pada umumnya mempunyai struktur tulang lebih
kuat/berat dari pacia bangsa Kaukasia. Jacii seseorang yang mempunyai tulang
kuat (terutama kulit Hitam Amerika), relatif imun terhadap fraktur karena
osteoporosis.
b) Faktor mekanis
Beban mekanis berpengaruh terhadap massa tulang di samping faktor genetk.
Bertambahnya beban akan menambah massa tulang dan berkurangnya beban akan
mengakibatkan berkurangnya massa tulang. Kedua hal tersebut menunjukkan
respons terhadap kerja mekanik Beban mekanik yang berat akan mengakibatkan
massa otot besar dan juga massa tulang yang besar. Sebagai contoh adalah pemain
tenis atau pengayuh becak, akan dijumpai adanya hipertrofi baik pada otot
maupun tulangnya terutama pada lengan atau tungkainya, sebaliknya atrofi baik
pada otot maupun tulangnya akan dijumpai pada pasien yang harus istrahat di
tempat tidur dalam waktu yang lama, poliomielitis atau pada penerbangan luar
angkasa. Walaupun demikian belum diketahui dengan pasti berapa besar beban
mekanis yang diperlukan dan berapa lama untuk meningkatkan massa tulang di
sampihg faktor genetik.
c) Faktor makanan dan hormone
Pada seseorang dengan pertumbuhan hormon dengan nutrisi yang cukup (protein
dan mineral), pertumbuhan tulang akan mencapai maksimal sesuai dengan
pengaruh genetik yang bersangkutan. Pemberian makanan yang berlebih
(misainya kalsium) di atas kebutuhan maksimal selama masa pertumbuhan,
disangsikan dapat menghasilkan massa tulang yang melebihi kemampuan
pertumbuhan tulang yang bersangkutan sesuai dengan kemampuan genetiknya.

2. Determinan penurunan Massa Tulang


a) Faktor genetik
Pada seseorang dengan tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat risiko
fraktur dari pada seseorang dengan tulang yang besar. Sampai saat ini tidak ada
ukuran universal yang dapat dipakai sebagai ukuran tulang normal. Setiap
individu mempunyai ketentuan normal sesuai dengan sitat genetiknya serta beban
mekanis den besar badannya. Apabila individu dengan tulang yang besar,
kemudian terjadi proses penurunan massa tulang (osteoporosis) sehubungan
dengan lanjutnya usia, maka individu tersebut relatif masih mempunyai tulang
lebih banyak dari pada individu yang mempunyai tulang kecil pada usia yang
sama.
b) Faktor mekanis
Faktor mekanis mungkin merupakan yang terpenting dalarn proses penurunan
massa tulang schubungan dengan lanjutnya usia. Walaupun demikian telah
terbukti bahwa ada interaksi panting antara faktor mekanis dengan faktor nutrisi
hormonal. Pada umumnya aktivitas fisis akan menurun dengan bertambahnya
usia; dan karena massa tulang merupakan fungsi beban mekanis, massa tulang
tersebut pasti akan menurun dengan bertambahnya usia.
c) Kalsium
Faktor makanan ternyata memegang peranan penting dalam proses penurunan
massa tulang sehubungan dengan bertambahnya usia, terutama pada wanita post
menopause. Kalsium, merupakan nutrisi yang sangat penting. Wanita-wanita pada
masa peri menopause, dengan masukan kalsiumnya rendah dan absorbsinya tidak
bak, akan mengakibatkan keseimbangan kalsiumnya menjadi negatif, sedang
mereka yang masukan kalsiumnya baik dan absorbsinya juga baik, menunjukkan
keseimbangan kalsium positif. Dari keadaan ini jelas, bahwa pada wanita masa
menopause ada hubungan yang erat antara masukan kalsium dengan
keseimbangan kalsium dalam tubuhnya. Pada wanita dalam masa menopause
keseimbangan kalsiumnya akan terganggu akibat masukan serta absorbsinya
kurang serta eksresi melalui urin yang bertambah. Hasil akhir
kekurangan/kehilangan estrogen pada masa menopause adalah pergeseran
keseimbangan kalsium yang negatif, sejumiah 25 mg kalsium sehari.
d) Protein
Protein juga merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi penurunan
massa tulang. Makanan yang kaya protein akan mengakibatkan ekskresi asam
amino yang mengandung sulfat melalui urin, hal ini akan meningkatkan ekskresi
kalsium. Pada umumnya protein tidak dimakan secara tersendiri, tetapi bersama
makanan lain. Apabila makanan tersebut mengandung fosfor, maka fosfor
tersebut akan mengurangi ekskresi kalsium melalui urin. Sayangnya fosfor
tersebut akan mengubah pengeluaran kalsium melalui tinja. Hasil akhir dari
makanan yang mengandung protein berlebihan akan mengakibatkan
kecenderungan untuk terjadi keseimbangan kalsium yang negative.
e) Estrogen
Berkurangnya/hilangnya estrogen dari dalam tubuh akan mengakibatkan
terjadinya gangguan keseimbangan kalsium. Hal ini disebabkan oleh karena
menurunnya eflsiensi absorbsi kalsium dari makanan dan juga menurunnya
konservasi kalsium di ginjal.
f) Rokok dan kopi
Merokok dan minum kopi dalam jumlah banyak cenderung akan mengakibatkan
penurunan massa tulang, lebih-lebih bila disertai masukan kalsium yang rendah.
Mekanisme pengaruh merokok terhadap penurunan massa tulang tidak diketahui,
akan tetapi kafein dapat memperbanyak ekskresi kalsium melalui urin maupun
tinja.
g) Alkohol
Alkoholisme akhir-akhir ini merupakan masalah yang sering ditemukan. Individu
dengan alkoholisme mempunyai kecenderungan masukan kalsium rendah, disertai
dengan ekskresi lewat urin yang meningkat. Mekanisme yang jelas belum
diketahui dengan pasti.

C. Klasifikasi Osteoporosis
Osteoporosis dibagi 2 kelompok, yaitu :
1. Osteoporosis primer yang terjadi bukan sebagai akibat penyakit yang lain,yang
dibedakan lagi atas :
Osteoporosis tipe I (pasca menopouse), yang kehilangan tulang terutama dibagian
trabekula.
Osteoporosis tipe II (senilis), terutama kehilangan Massa tulang daerah Korteks.
Osteoporosis idiopatik yang terjadi pada usia muda dengan penyebab yang tidak
diketahui
2. Osteoporosis sekunder, yang terjadi pada/akibat penyakit lain, antara lain
hiperparatiroid, gagal jantung kronis, arthritis rematoid dan lain-lain.

D. Manifestasi Klinis Osteoporosis


Osteoporosis dimanifestasikan dengan :
Nyeri dengan atau tanpa fraktur yang nyata.
Nyeri timbul mendadak.
Sakit hebat dan terlokalisasi pada vertebra yg terserang.
Nyeri berkurang pada saat istirahat di tempat tidur.
Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan akan bertambah jika melakukan aktivitas.
Deformitas vertebra thorakalis (Penurunan tinggi badan)

E. Patofisiologi Osteoporosis
Setelah menopause, kadar hormon estrogen semakin menipis dan kemudian tidak
diproduksi lagi. Akibatnya, osteoblas pun makin sedikit diproduksi. Terjadilah
ketidakseimbangan antara pembentukan tulang dan kerusakan tulang. Osteoklas menjadi
lebih dominan, kerusakan tulang tidak lagi bisa diimbangi dengan pembentukan tulang.
Untuk diketahui, osteoklas merusak tulang selama 3 minggu, sedangkan pembentukan tulang
membutuhkan waktu 3 bulan. Dengan demikian, seiring bertambahnya usia, tulang-tulang
semakin keropos (dimulai saat memasuki menopause) dan mudah diserang penyakit
osteoporosis.
Proses Osteoporosis sendiri di akibatkan faktor faktor berikut yaitu Genetik, gaya hidup,
alcohol, penurunan produksi hormon akibatnya produksi osteoblas semakin sedikit maka
terjadi ketidakseimbangan antara pembentukan tulang dan kerusakan tulang hal ini
menyebabkan osteoklas menjadi lebih dominan dan tidak lagi bisa diimbangi dengan
kerusakan tulang mengakibatkan penurunan masa tulang Apabila kerusakan tulang sendi
lebih cepat dari kemampuannya untuk memperbaiki diri, maka terjadi penipisan dan
kehilangan pelumas sehingga kedua tulang akan bersentuhan. Inilah yang menyebabkan rasa
nyeri pada sendi. Setelah terjadi kerusakan sendi maka tulang juga ikut berubah.
F. Pathway Osteoporosis
G. Komplikasi Osteoporosis
Osteoporosis mengakibatkan tulang secara progresif menjadi panas, rapuh dan mudah
patah. Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur. Bisa terjadi fraktur kompresi vertebra
torakalis dan lumbalis, fraktur daerah kolum femoris dan daerah trokhanter, dan frakturcolles
pada pergelangan tangan.

H. Pemeriksaan Penunjang Osteoporosis


1. Pemeriksaan radiologik
Dilakukan untuk menilai densitas massa tulang sangat tidak sensitif. Gambaran
radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan korteks dan daerah
trabekuler yang lebih lusen.Hal ini akan tampak pada tulang-tulang vertebra yang
memberikan gambaran picture-frame vertebra.
2. Pemeriksaan densitas massa tulang (Densitometri)
Densitometri tulang merupakan pemeriksaan yang akurat dan untuk menilai densitas
massa tulang, seseorang dikatakan menderita osteoporosis apabila nilai BMD ( Bone
Mineral Density ) berada dibawah -2,5 dan dikatakan mengalami osteopenia (mulai
menurunnya kepadatan tulang) bila nilai BMD berada antara -2,5 dan -1 dan normal
apabila nilai BMD berada diatas nilai -1.
Beberapa metode yang digunakan untuk menilai densitas massa tulang :
1) Single-Photon Absortiometry (SPA)
Pada SPA digunakan unsur radioisotop I yang mempunyai energy photon rendah
guna menghasilkan berkas radiasi kolimasi tinggi. SPA digunakan hanya untuk
bagian tulang yang mempunyai jaringan lunak yang tidak tebal seperti distal
radius dan kalkaneus.
2) Dual-Photon Absorptiometry (DPA)
Metode ini mempunyai cara yang sama dengan SPA. Perbedaannya berupa
sumber energi yang mempunyai photon dengan 2 tingkat energy yang berbeda
guna mengatasi tulang dan jaringan lunak yang cukup tebal sehingga dapat
dipakai untuk evaluasi bagian-bagian tubuh dan tulang yang mempunyai struktur
geometri komplek seperti pada daerah leher femur dan vetrebrata.
3) Quantitative Computer Tomography (QCT)
Merupakan densitometri yang paling ideal karena mengukur densitas tulang
secara volimetrik.
3. Sonodensitometri
Sebuah metode yang digunakan untuk menilai densitas perifer dengan menggunakan
gelombang suara dan tanpa adanya resiko radiasi.
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dalam menilai densitas tulang trabekula melalui dua langkah yaitu pertama T2
sumsum tulang dapat digunakan untuk menilai densitas serta kualitas jaringan tulang
trabekula dan yang kedua untuk menilai arsitektur trabekula.
5. Biopsi tulang dan Histomorfometri
Merupakan pemeriksaan yang sangat penting untuk memeriksa kelainan metabolisme
tulang.
6. Radiologis
Gejala radiologis yang khas adalah densitas atau masa tulang yang menurun yang
dapat dilihat pada vertebra spinalis. Dinding dekat korpus vertebra biasanya
merupakan lokasi yang paling berat. Penipisa korteks dan hilangnya trabekula
transfersal merupakan kelainan yang sering ditemukan. Lemahnya korpus vertebra
menyebabkan penonjolan yang menggelembung dari nukleus pulposus ke dalam
ruang intervertebral dan menyebabkan deformitas bikonkaf.
7. CT-Scan
CT-Scan dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang mempunyai nilai
penting dalam diagnostik dan terapi follow up. Mineral vertebra diatas 110
mg/cm3baisanya tidak menimbulkan fraktur vertebra atau penonjolan, sedangkan
mineral vertebra dibawah 65 mg/cm3 ada pada hampir semua klien yang mengalami
fraktur.
8. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kadar Ca, P, Fosfatase alkali tidak menunjukkan kelainan yang nyata.
2) Kadar HPT (pada pascamenoupouse kadar HPT meningkat) dan Ct (terapi
ekstrogen merangsang pembentukkan Ct)
3) Kadar 1,25-(OH)2-D3 absorbsi Ca menurun.
4) Eksresi fosfat dan hidroksipolin terganggu sehingga meningkat kadarnya.

I. Penatalaksanaan Osteoporosis
1. Pengobatan :
a) Meningkatkan pembentukan tulang, obat-obatan yg dapat meningkatkan
pembentukan tulang adalah Na-fluorida dan steroid anabolic.
b) Menghambat resobsi tulang, obat-obatan yang dapat mengahambat resorbsi tulang
adalah kalsium, kalsitonin, estrogen dan difosfonat.
Penatalaksanaan keperawatan :
Membantu klien mengatasi nyeri.
Membantu klien dalam mobilitas.
Memberikan informasi tentang penyakit yang diderita kepada klien.
Memfasilitasikan klien dalam beraktivitas agar tidak terjadi cedera.

2. Pencegahan :
Pencegahan sebaiknya dilakukan pada usia pertumbuhan/dewasa muda, hal ini
bertujuan :
a) Mencapai massa tulang dewasa proses konsolidasi yang optimal.
b) Mengatur makanan dan life style yg menjadi seseorang tetap bugar seperti :
 Diet mengandung tinggi kalsium (1000 mg/hari)
 Latihan teratur setiap hari
 Hindari :
Makanan tinggi protein
Minum alcohol
Merokok
Minum kopi
Minum antasida yang mengandung aluminium
 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK

A. Pengkajian
Pengkajian adalah langkah pertama yang paling penting dalam proses keperawatan. Jika
langkah ini tidak dilakukan dengan baik maka perawat kehilangan kontrol atas langkah-
langkah proses keperawatan selanjutnya (Herdman & Kamitsuru, 2014). Seorang perawat
akan melakukan pengkajian dengan baik jika instrumen pengkajian yang digunakan dapat
mengakomodir aspek-aspek yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis keperawatan
terutama pada agregat lansia. Hal ini disebabkan karena lansia memiliki keunikan dibanding
agregat lainnya. Kebutuhan akan perawatan Kesehatan pada lansia sangat kompleks. Lansia
mengalami berbagai perubahan terkait usia, penyakit, riwayat keturunan, dan gaya hidup
yamg dapat mempengaruhi kondisinya. Pengkajian komprehensif yang mencakup aspek
fisik, fungsional, mental, psikologis, sosial dan spiritual diperlukan oleh seorang perawat
agar dapat menegakkan diagnosis keperawatan yang akurat dan rencana keperawatan yang
tepat. Namun pengkajian yang komprehensif tentunya membutuhkan waktu yang lama, hal
ini merupakan tantangan bagi seorang perawat karena pada saat pengkajian, mungkin saja
lansia sedang tidak sehat atau tidak kuat oleh karena itu peran keluarga maupun caregiver
keluarga dibutuhkan (Mauk, 2014).

-PENGKAJIAN ASPEK FISIK


Pengkajian fisik pada lansia menggunakan prinsip dasar pengkajian fisik umum,
pengetahuan akan perubahan normal, penyakit berhubungan dengan penuaan, dan
keterampilan komunikasi yang baik. Pengkajian fisik yang digunakan dalam buku ini
merupakan pendekatan sistem tubuh namun dikombinasi dengan mereview beberapa bagian
tubuh secara khusus.

Riwayat Kesehatan
Pengkajian fisik diawali dengan wawancara tentang riwayat kesehatan. Informasi tentang
riwayat kesehatan memberikan informasi untuk melakukan pengkajian secara terfokus dan
uji laboratorium yang mungkin dibutuhan. Berbicara dengan pasien tentang kesehatan
terutama peningkatan kesadaran kesehatan untuk membantu mengidentifikasi kurangnya
pengetahuan dan peluang untuk penyuluhan pasien.
 Status kesehatan saat ini : “here and now”
Mulailah wawancara dengan menanyakan nama lengkap pasien, alamat, umur, tempat
lahir,tanggal lahir, dan orang yang dapat dihubungi jika terjadi keadaan darurat.
Dengan pengkajian ini secara tidak langsung, perawat sudah dapat mengetahui status
mental pasien.
Catat alasan masuk rumah sakit atau keluhan utama menggunakan kata-kata yang
diucapkan klien. Evaluasi setiap keluhan dalam hal onset, lokasi, durasi, waktu,
intensitas, faktor yang memberatkan atau meringankan, tindakan perawatan, dan
dampak gaya hidup.
Tanyakan ke pasien tentang obat-obatan yang saat ini dikonsumsi termasuk nama
obat,dosis, frekuensi, alasan minum obat tersebut.
Lalu tanyakan tentang tindakan yang sudah didapatkan seperti perawatan luka atau
kontrol nyeri
Terakhir tuliskan peralatan yang digunakan seperti kursi roda, walker, cane, kaca
mata, alat bantu pendengaran.

 Riwayat kesehatan : Yang lalu hingga sekarang


Riwayat kesehatan mencakup keadaan status kesehatan umum pasien, riwayat kesehatan
lalu, riwayat masuk rumah sakit dan tujuan perawatan, frekuensi kunjungan ke dokter,
penggunaan obat dan tindakan yang didapatkan sebelumnya. Berikan perhatian pengkajian
terhadap pengobatan yang didapatkan.
Sebelum memberikan pertanyaan spesifik tentang riwayat kesehatan, mulailah
dengan pertanyaan terbuka seperti “dapatkah anda menjelaskan keadaan kesehatan
anda?” Hal ini dapat menyediakan informasi tentagn riwayat dan status kesehatan
pasien.
Coba dapatkan reaksi pasien terkait perawatan di rumah sakit sebelumnya. Seseorang
dengan pengalaman buruk mungkin takut untuk masuk rumah sakit.
Tanyakan tentang riwayat kanker, pembedahan, trauma, jatuh, fraktur, penyakit
jantung, pernapasan, ginjal, atau saraf (Burghardt et al, 2011).
Pemeriksaan Fisik
Mulailah pemeriksaan fisik secara umum dengan observasi dari kepala ke ujung kaki
untuk mendapatkan keseluruhan kesan status klien. Hal ini harus mencakup pengamatan
tentang : penampilan keseluruhan, termasuk kulit, kebersihan, perawatan, dan bentuk tubuh,
status mobilitas umum, afek dan mood, serta tanda-tanda kesedihan (Burghardt et al, 2011).
Tanda-tanda Vital
 Tekanan Darah
Ukur tekanan darah lansia sesuai prosedur. Perlu dikatehui bahwa klasifikasi hipertensi
derajat 1 pada lansia (usia ≥60 tahun) adalah jika TD sistolik = 150-159 mmHg dan
diastolik 90-99 mmHg. Kaji adanya hipotensi ortostatik. Hipotensi ortostatik terjadi jika
penurunan tekanan darah sistolik (TDS) ≥ 20 mmHg atau tekanan darah diastolik (TDD)
≥ 10 mmHg. Ukur tekanan darah dan frekuensi jantung dalam 2 posisi yaitu: telentang
setelah lansia istirahat selama 10 menit dan kemudian dalam 2-3 menit setelah berdiri.
Kemungkinan temuan: pasien mengeluh merasa berkunang-kunang, lemah, kurang stabil
saat berdiri, penglihatan kabur dan pingsan (20-30% pasien).
 Nadi, Pernafasan dan Suhu
Ukur frekuensi nadi. Jika iramanya teratur maka dukur selama 30 detik dan dikalikan 2.
Namun jika tidak teratur, terlalu cepat atau terlalu lambat maka dikur selama 60 detik.
Normalnya adalah 60-100 kali permenit. Peningkatan frekuensi nadi berhubungan dengan
peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler (Bickley & Szilagyi, 2017).
 Pernafasan
Observasi frekuensi, irama, kedalaman dan usaha pernapasan. Frekuensi normal adalah
14-20 kali permenit. Kurang dari frekuensi normal disebut bradipnea. Hal ini biasanya
akibat hipoventilasi alveolar abnormal, akibat dari uremia, induksi obat depresi
pernapasan, peningkatan tekanan intrakranial. Lebih dari frekuensi normal disebut
takipnea. Dapat disebabkan oleh nyeri dada pleuritis, intoksikasi salisilat, penyalit paru
restriktif. Frekuensi ≥ 25 menunjukkan infeksi pernafasan bagian bawah.
 Suhu
Ukur suhu tubuh. Temperatur inti tubuh adalah 370C. Temperatur tersebut befluktuasi
sekitar 10C. Suhu rektal lebih tinggi dari suhu oral sekitar 0,4 0C sampai 0,5 0C
sebaliknya suhu aksila lebih rendah dari suhu oral yakni sekitar 10C. Kemungkinan
temuan: lansia lebih rentan terhadap hipotermia dan sedikit kecenderungan mengalami
demam (Bickley dan Szilagyi, 2017).
 Berat badan (BB) dan Tinggi Badan (TB)
Berat badan dan tinggi badan sering pada lansia sering disebut sebagai “tanda vital
kelima.” BB dan TB sangat penting pada lansia dan dan diperlukan untuk menghitung
IMT. Cara terbaik untuk mengukur Tinggi badan dengan menggunakan meteran yang
berbentuk tali atau model pita. Perawat mengukur dari bagian puncak kepala ke bokong
kemudian dari bokong ke tumit. Teknik ini dapat mengoreksi perubahan kelengkungan
tulang belakang pada lansia akibat penuaan seperti kifosis senile. Tinggi badan seseorang
akan berkurang 5-7,5 cm seiring bertambahnya usia pada lansia (Burghardt et al, 2011).
IMT dihitung menggunakan rumus BB/TB2 (NCD Risk Factor Collaboration, 2016;
Shiely, Hayes, Perry & Kelleher, 2013; Nygaard, 2008).

Review sistem
Pengkajian pada lansia harus memperhatikan perubahan fisiologis sebagai bagian normal
penuaan. Penjelasan pada buku ini menggunakan pendekatan sistem, anda dapat
menggunakan pendekatan lain.
 Kulit, rambut dan kuku
Observasi perubahan fisiologis penuaan seperti kulit berbercak cokelat, kehilangan
jaringan elastik dan turgor, dan keriput. Kemungkinan temuan yaitu: kulit kering,
kasar, bersisik, sering gatal-gatal (asteatosis).
Apakah klien mengalami gatal, mudah memar, ruam atau pengerasan kulit. Ruam
mungkin merupakan efek samping obat tertentu. Alergi kontak dan pengerasan kulit
dapat mengganggu ambulasi dan aktivitas kehidupan sehari-hari lainnya (ADLs).
Tanyakan kepada klien tentang luka yang tidak sembuh-sembuh, tahi lalat atau lesi
tidak teratur, dan perubahan lainnya.
Klien mungkin melaporkan perubahan terkait usia. Misalnya, kulitnya mungkin
tampak lebih tipis dan lebih longgar (kurang elastis) dari sebelumnya, ia mungkin
lebih sedikit berkeringat, dan kulit kepalanya mungkin terasa kering. Juga, kuku jari
kakinya mungkin telah menebal dan sedikit berubah warnanya. Cari tahu apakah
klien dapat merawat kuku sendiri, terutama kuku kakinya.
Tanyakan tentang perubahan rambut dan observasi kehilangan rambut yang dapat
mengindikasikan penyakit kronis atau kekurangan gizi dan kebotakan (alopesia).

 Mata
Tanyakan tentang perubahan penglihatan, terutama penglihatan malam hari atau
penglihatan ganda atau kabur. Apakah dia membutuhkan lebih banyak cahaya
daripada biasanya saat membaca? Apakah dia mengalami kesulitan mengemudi?
Apakah klien mengalami gangguan penglihatan jarak dekat (presbiopia)?
Tanyakan tentang lensa korektif, glaukoma, dan tanggal pemeriksaan mata
terakhirnya (Burghardt et al, 2011).

 Telinga
Tanyakan apakah ada nyeri di telinga? Jika ada nyeri di struktur eksternal telinga,
pertimbangkan otitits eksternal sedangkan nyeri di dalam telinga, pertimbangkan
otitits (Bickley & Szilagyi, 2017). Normalnya tidak ada nyeri (Burghardt et al, 2011).
Tanyakan apakah klien mengalami tinitus (telinga berdengung) yang terjadi pada
lansia tanpa gangguan pendengaran. Tinitus tanpa gejala klinik lain dianggap tidak
ada masalah.
Observasi adanya serumen dan tanyakan adanya masalah pendengaran. Gangguan
pendengaran konduktif biasanya diakibatkan oleh sumbatan serumen, namun
gangguan pendengaran unilateral memerlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
menyingkirkan neuroma akustik (Burghardt et al, 2011).

 Sistem Respirasi
Tanyakan tentang masalah paru-paru atau pernapasan. Ingat bahwa hipoventilasi dan
hipoperfusi dari penyakit pernafasan dapat menimbulkan kebingungan atau
penurunan fungsi mental pada lansia.
Tanyakan kepada klien apakah saat ini ia merokok atau pernah merokok. Jika saat ini
atau dulu merokok, merokok, tanyakan berapa lama dan berapa bungkus yang ia
habiskan setiap hari. Jika dia tidak merokok lagi, tanyakan kapan dia berhenti
merokok.
Cari tahu apakah ia pernah merasakan sesak napas saat beraktivitas atau saat
berbaring. Lansia sering mengalami dispnea saat beraktivitas, tapi dyspnea juga bisa
terjadi karena infeksi paru-paru, seperti bronkitis atau pneumonia.
Inspeksi bentuk dan kesimetrisan dada anterior dan posterior. Inspeksi diameter
anteroposterior ke lateral. Normalnya simetris.
Inspeksi retraksi tulang rusuk di sepanjang ruang interkostal saat klien menarik napas
dalam, dan lihat apakah ruang interkostal menonjol saat ia mengembuskan napas.
Klien lansia yang menderita asma atau emfisema, akibat sekunder penyakit paru
obstruktif kronik, biasanya menunjukkan penonjolan ruang interkostal.
Palpasi dada anterior dan posterior terhadap adanya massa, atau benjolan.
Perkusi setiap paru anterior dan posterior dari apeks ke basis, normalnya berbunyi
resonan (Burghardt et al, 2011). Namun pada lansia dapat terdengar hiperresonan.
Dullness bisa karena inflamasi (Bickley & Szilagyi, 2017).
Auskultasi setiap paru anterior dan posterior dari apeks ke basis untuk mengkaji
pitch, intensitas, kualitas dan durasi suara nafas. Temuan normal: Suara nafas
bronchial diatas trachea (inspirasi pendek, ekspirasi panjang); suara nafas vesicular di
seluruh permukaan paru (inspirasi panjang, ekspirasi pendek); suara nafas
bronchovesicular diatas sternum dan scapula (inspirasi dan ekspirasi sama panjang).
Temuan abnormal: Crackles (tanyakan apakah klien sedang batuk), dapat disebabkan
karena gagal jantung, edema pulmonal, bronchitis, pneumonia atau dapat disebabkan
oleh immobilitas fisik. Ronchi (peningkatan produksi mukus berhubungan dengan
bronchospasme). Wheezing (produksi mucus yg meningkat atau penyempitan saluran
nafas sehubungan dengan asma dan stenosis pulmonal).

 Sistem kardiovaskuler
Tanyakan tentang nyeri dada
Tanyakan tentang jenis penyakit kardiovaskuler yang diderita dan penanganan
terakhir.
Kaji titik impuls maksimal (TIM). TIM ditemukan pada hipertrofi ventrikel kiri; tim
menyebar ditemukan pada gagal jantung kongestif.
Auskultasi S1 dan S2, dengarkan juga bunyi tambahan S3 dan S4. Bunyi S3
menunjukkan dilatasi ventrikel kiri karena gagal jantung kongestif atau kardiomiopati
(Bickley & Szilagyi, 2017).Namun S3 bisa juga karena peningkatan aliran diastolik.
S4 sering menyertai hipertensi (Bickley & Szilagyi, 2017).
Dengarkan pada ruang antar iga kanan kedua, dengarkan murmur jantung pada semua
area auskultasi. Gambarkan waktu, bentuk, intensitas, lokasi, radiasi, intensitas, nada,
dan kualitas maksimal dari masing-masing murmur yang anda deteksi.
Auskultasi arteri karotis.
Palpasi arteri perifer, catat frekuensi, ritme, kekuatan dan kualitasnya.
Kaji distensi vena jugularis yang mengindikasikan gagal jantung.

 Sistem gastrointestinal
Tanyakan perubahan sensasi rasa, mulut kering atau xerostomia, bisa karena obat-
obatan atau penyakit sistemik seperti arthritis rheumatoid, scleroderma, polymyositis,
atau Sjögren’s syndrome.
Tanyakan kebiasaan BAB, perdarahan rektal.
Inspeksi abdomen; perhatikan bentuk kesimetrisan, bekas luka, massa, pulsasi,
distensi, atau striae. Lanjutkan dengan auskultasi, setelah itu barulah melakukan
perkusi atau palpasi.
Auskultasi 4 kuadran abdomen untuk mendengarkan bunyi usus (normalnya 5-34 kali
permenit (Bickley & Szilagyi, 2017). Dengarkan bunyi aorta abdominal dan arteri
renalis terhadap adanya bruits dengan menggunakan bell dari stetoskop.
Perkusi abdomen untuk menentukan adanya udara atau cairan, ukuran hati dan
distensi kandung kemih. Udara di usus akan terdengar timpani. Bunyi dull
menunjukkan adanya cairan. Perlu diingat bahwa obstruksi usus dapat terjadi
sekunder akibat impaksi feses yang sudah berlangsung lama. Pada perkusi, nampak
perut membuncit dan timpani. Jika usus terkena dampak, perkusi akan terdengar
dullness.
Perkusi hati. Ukuran hati normal pada garis midclavicular berdiameter 5,7-12 cm.
Juga, perkusi simfisis pubis ke arah umbilikus, catat adanya perubahan perkusi.
Dullness di daerah ini mungkin mengindikasikan distensi kandung kemih.
Palpasi perut, perhatikan massa atau kelembutan pada palpasi ringan atau dalam.
Perhatikan tanda peritoneal, seperti kekakuan. Massa di kuadran bawah bisa jadi
dampak tinja.Cobalah untuk meraba hati; Biasanya tidak teraba.
Perhatikan nyeri tekan di daerah epigastrik, klien mungkin mengalami penyakit
refluks gastroesofagus atau hernia hiatus.

 Sistem genitourinarius
Selidiki laporan tentang inkontinensia.Saat inkontinensia terjadi, apakah pasien
merasakan kehilangan kendali atau dorongan untuk melakukannyakencing? Tanyakan
apakah dia menggunakan bantalan atau pengalaman enuresis. Jika dia buang air kecil
pada tengah malam, cari tahu seberapa sering dan apakah dorongan itu
membangunkannya. Kebanyakan lansia menganggap bahwa inkontinensia urin adalah
akibat penuaan, tapi penyebab inkontinensia biasanya dapat diobati.Ini termasuk
impaksi tinja, obstruksi prostat, vaginitis atrofi, infeksi, kehilangan kontrol sfingter,
dan obat tertentu.
Tanyakan klien laki-laki tentang infeksi saluran kencing yang sering, inkontinensia
urin,dan penurunan ukuran dan kekuatan aliran urine; semua adalah tanda umum
obstruksi prostat. Juga tanyakan tentang disfungsi ereksi, yang mungkin
mengindikasikan penyakit vascular yang mendasari atau mungkin akibat pengobatan.
Jika klien lansia wanita, tanyakan apakah dia mengalami gatal pada vagina, patau
nyeri. Tanyakan apakah dia melakukan SADARI bulanan dan, jika ya, apakah dia
telah mendeteksi kelainan.Cari tahu kapan dia menjalani mammogram terakhir dan
seberapa sering dia melakukannya. Perdarahan postmenopause dan adanya perubahan
pada jaringan payudara atau adanya massa payudara tidak normal dan memerlukan
evaluasi segera.
Kaji kombinasi sering buang air kecil, urgensi, inkontinensia,retensi urin, dan infeksi
pada lansia perempuan. Ini mungkin mengarah ke sistokel, yang bisa diakibatkan oleh
melemahnya otot-otot sejak melahirkan dan akibat dari penuaan. Obstruksi pada
wanita yang lebih tua dapat terjadi akibat prolaps uterus atau kanker panggul.
Kaji lansia laki-laki dan perempuan terkait frekuensi kencing, disuria, dan hematuria,
tanda-tanda kanker kandung kemih.
Kaji klien lansia laki-laki terkiat aliran urin yang terhambat, yang bisa diakibatkan
oleh pembesaran kelenjar prostat yang menekan uretra dan kadang kala kandung
kemih.
Inspeksi alat kelamin lansia laki-laki, termasuk rambut kemaluan, glans penis, batang
penis, dan skrotum. Carilah massa yang menonjol, lesi,peradangan, edema, atau
perubahan warna. Palpasi lesi, perhatikan ukuran, bentuk, konsistensi, dan
kelembutan. Rambut kemaluan menjadi jarang dan abu-abu seiring bertambahnya
usia.
Saat mengkaji alat kelamin klien wanita, inspeksi perineum untuk ruam,lesi, atau
nodul. Periksa area tersebut terkait warna, ukuran, dan bentuk. Periksa lubang vagina
dan amati penonjolan jaringan atau organ tubuh (Burghardt et al, 2011).

 Sistem musculoskeletal
Jika keluhan utama klien adalah nyeri yang berhubungan dengan jatuh, tentukan
apakah nyeri mendahului jatuh. Nyeri yang terjadi sebelum jatuh bisa
mengindikasikan fraktur patologis.
Apakah klien takut jatuh? Jika ya, mengapa? Biasanya karena perubahan gaya
berjalan.
Apakah klien mengalami perubahan gaya berjalan (gait)?
Tanyakan apakah klien mengalami nyeri punggung bawah (low back pain) atau
kekakuan atau kelemahan ekstremitas? Pada lansia biasanya disebabkan oleh
osteoartritis. Apakah terjadi nyeri? Nyeri umumnya disebabkan oleh penyakit
rheumatoid, seperti rematik atau artritis gout atau sindroma carpal tunnel. Tanyakan
apakah klien mengalami penyait kronik (asma atau artritis yang membutuhkan
pengobatan dengan steroid yang mempengaruhi penyerapan kalsium sehingga
menyebabkan osteoporosis). Jika klien menderita radang sendi baiasanya mengalami
gangguan gait.
Kaji keterbatasan ROM (range of motion) atau rentang gerak sendi dan kesulitan
ambulasi (Burghardt et al, 2011).
 Sistem saraf
Menurut Burghardt et al (2011), perawat dapat menggunakan semua teknik yang
sama dengan klien dewasa untuk mengkaji klien lansia. pengkajian harus mencakup
tingkat kesadaran, afek, mood, kognisi, orientasi, bicara, pengetahuan umum,
memori, pengenalan objek, fungsi kognitif yang lebih tinggi, nervus kranialis, sistem
sensori dan refleks.
Kaji afek klien. Klien mungkin depresi. Hal ini dapat dikaji lebih lanjut dengan
menggunakan GDS yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.
Nervus kranialis :
o Saraf olfaktorius (I): kehilangan bau secara progresif.
o Saraf optikus (II): penurunan ketajaman penglihatan, presbiopia, dan
penurunan lapang pandang.
o Saraf facialis (VII): penurunan persepsi rasa, terutama manis dan asin;
melemahnya atau relaksasi otot di dahi dan sekitar mata dan mulut.
o Saraf auditorius (VIII): presbycusis atau kehilangan pendengaran nada tinggi,
kemudian menyebar ke semua frekuensi.
o Saraf glossopharyngeus (IX): refleks muntah atau tidak ada.
o Saraf hypoglossaus (XII): kelemahan lidah bagian lateral (mungkin juga
disebabkan oleh malnutrisi atau malformasi struktural pada wajah).
Pengkajian sistem motorik dan sensorik: evaluasi fungsi otot dan sendi, nilai
kecepatan, irama, gerakan dan koordinasi. Kaji kemampuan klien untuk merasakan
nyeri dengan menggunakan benda berujung tajam; suhu panas dan dingin; getaran
dengan menggunakan garpu tala.
Kaji refleks plantar dan refleks babinski klien (Burghardt et al, 2011).

 Sistem endokrin
Saat mengkaji sistem endokrin klien lansia, perlu diingat bahwa banyak kelainan
endokrin menyebabkan tanda dan gejala pada lansia yang menyerupai perubahan
normal dari penuaan, sehingga kelainan endokrin mudah diabaikan.
Carilah kombinasi perubahan status mental dan kerusakan fisik, termasuk penurunan
berat badan, kulit kering, dan rambut rontok. Ini mungkin merujuk pada
hipotiroidisme, meski mungkin saja terjadi perubahan normal yang terjadi dengan
penuaan. Kaji apakah klien cemas, depresi, atau apatis; apapun penyebabnya
mungkin merupakan pertanda hipertiroidisme dan harus dievaluasi lebih lanjut.
Kecemasan adalah hal yang lebih umum. Hipertiroidisme juga bisa menyebabkan
depresi dan apatis (diketahui sebagai hipertiroidisme apatis pada klien lanjut usia)
(Burghardt et al, 2011).

 Sistem imun hematologi


Kaji fungsi hematologis dan imun seperti yang Anda lakukan pada klien dewasa
muda. Namun, saat mendapatkan tes diagnostik tertentu, waspadalah terhadap
kemungkinan perubahan yang berkaitan dengan penuaan normal.
Kaji apakah klien mudah memar
Saat mengevaluasi tanda vital, ingatlah bahwa klien lansia akan mengalami
penurunan respon demam terhadap infeksi (Burghardt et al, 2011).

-Pengkajian Fisik Prioritas Pada Lansia Yang Lemah


Pengkajian fisik yang lengkap akan membutuhkan waktu yang sangat lama dan
melelahkan bagi lansia, oleh karena itu pada lansia dengan kondisi sangat lemah dapat
dilakukan pengkajian fisik prioritas yang dikenal dengan “FANCAPES” FANCAPES
merupakan akronim dari F-Fluid (Cairan), A-Aeration (Aerasi), N-Nutrition (Nutrisi), C-
Communication (Komunikasi), A-Activity (Aktivitas), P-Pain (Nyeri), EElimination
(Eliminasi), S-Socialization and Social Skill (Sosialisasi dan Keterampilan Sosial).
Pengkajian ini dikembangkan oleh Resnick dan Mitty (2009; (Taouhy & Jett, 2014).
Pengkajian ini dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan di bawah ini sebagai panduan.
o F-Fluid (Cairan)
Bagaimana keadaan hidrasi saat ini? Apakah orang tersebut memiliki kapasitas
fungsional untuk mengkonsumsi cairan yang cukup untuk menjaga kesehatan
optimal? Ini termasuk kemampuan untuk merasakan haus, secara mekanis
mendapatkan cairan yang dibutuhkan, menelannya, dan mengeluarkannya.
o A-Aeration (Aerasi)
Apakah pertukaran oksigen klien adekuat untuk melakukan fungsi respirasi secara
penuh? Ini berarti kemampuan mempertahankan saturasi oksigen setidaknya 96%
dalam kebanyakan situasi. Apakah oksigen tambahan dibutuhkan, dan jika ya,
apakah orang tersebut bisa mendapatkannya? Berapakah RR dan kedalaman
pernafasan saat istirahat dan saat aktivitas, berbicara, berjalan,berolahraga, dan saat
melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari? Apakah bunyi/suara saat diauskultasi,
teraba, dan diperkusi,dan apa yang mereka sarankan?
o N-Nutrition (Nutrisi)
Apakah faktor mekanik dan psikologis yang mempengaruhi kemampuan seseorang
untuk mendapatkan manfaat nutrisi yang memadai? Berapa jenis dan jumlah
makanan yang dikonsumsi? Apakah orang tersebut memiliki kemampuan untuk
menggigit, mengunyah,dan menelan? Apa status kesehatan mulut dan apa dampak
penyakit periodontal jika ada? Bagi lansia yang menggunakan gigi palsu, apakah gigi
palsu mereka pas dan benar-benar dipakai? Apakah orang tersebut memahami
kebutuhan akan makanan khusus? Apakah diet ini telah dirancang sedemikian rupa
sehingga konsisten dengan pola makan dan budaya orang tersebut?Dapatkah orang
tersebut membeli makanan khusus yang dibutuhkan? Jika orang tersebut berisiko
mengalami aspirasi, termasuk mereka yang diberi makan lewat selang, strategi
pencegahan telah diajarkan, termasuk kebutuhan akan kebersihan mulut yang teliti?
o C-Communication (Komunikasi)
Apakah orang tersebut mampu mengkomunikasikan kebutuhannya secara memadai?
Apakah pemberi perawatan mengerti bentuk komunikasi klien?
o A-Activity (Aktivitas)
Apakah orang tersebut dapat berpartisipasi dalam kegiatan yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti toileting, perawatan, dan persiapan makan?
Seberapa banyak bantuan dibutuhkan, jika ada, dan apakah ada seseorang yang
bersedia untuk menyediakan ini jika dibutuhkan?
o P-Pain (Nyeri)
Apakah lansia mengalami sakit fisik, psikologis, atau spiritual? Apakah orang
tersebut mampu mengekspresikan rasa sakit dan keinginan yang membuatnya lega?
Adakah hambatan budaya antara perawat dan pasien yang membuat penilaian atau
ekspresi rasa sakit itu sulit? Bagaimana orang tersebut secara khas bisa
menghilangkan rasa sakit?
o E-Elimination (Eliminasi)
Apakah orang tersebut mengalami kesulitan dengan eliminasi urine atau bowel?
Apakah ada kekurangan kontrol? Apakah lingkungan mengganggu eliminasi dan
kebersihan pribadi terkait; misalnya fasilitas toilet yang memadai dan mudah
diakses?
o S-Socialization And Social Skill (Sosialisasi Dan Keterampilan Sosial)
Apakah orang tersebut mampu bernegosiasi di masyarakat, memberi dan menerima
cinta dan persahabatan, dan merasa diri berharga?

-PENGKAJIAN FUNGSIONAL: “TANDA VITAL KEENAM”


Perubahan penuaan normal dan masalah kesehatan sering dimanifestasikan lewat sebagai
penurunan status fungsional lansia. Penurunan dapat menempatkan lansia pada kesalahan
diagnosis yang tidak perlu yang terjadi secara spiral yang menyebabkan masalah kesehatan
lebih lanjut. Perawat biasanya melakukan penilaian fungsional untuk mengidentifikasi
kemampuan lansia dalam melakukan perawatan diri dan aktivitas fisik, kemudian
merencanakan intervensi keperawatan yang sesuai. (Mauk, 2014).
Salah satu cara terbaik untuk mengevaluasi Status kesehatan lansia adalah melalui
Penilaian fungsional yang memberikan data obyektif yang mengindikasikan penurunan atau
peningkatan status kesehatan di masa depan, memungkinkan perawat untuk merencanakan
dan melakukan intervensi dengan tepat. Menurut Capezutti et al (2012), instrumen yang tepat
untuk mengukur status fungsional lansia dari aspek ADL adalah indeks KATZ dan mobilitas
menggunakan Get up and go test atau dalam beberapa literatur menggunakan istilah Time up
and go/TUG test (CDC, 2017). Selanjutnya dalam buku ini menggunakan istilah TUG Test.
Indeks kemandirian Katz dalam aktivitas hidup sehari-hari, yang biasa disebut dengan Katz
ADL, adalah instrumen yang paling tepat untuk menilai status fungsional sebagai ukuran
kemampuan klien untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri. Indeks ini
menilai 6 fungsi, yaitu mandi, berpakaian, buang air, berpindah, kontinen, dan makan. Klien
diberi nilai ya / tidak untuk kemandirian pada masing-masing fungsi. Skor 6 menunjukkan
kemampuan fungsi utuh, 4 menunjukkan gangguan sedang, dan 2 atau kurang menunjukkan
penurunan fungsional parah (Katz, Down, Cash, & Grotz (1970); Wallace, (2007). Untuk
menggunakan instrumen ini dapat dilipelajari pada bagian lampiran....
Ada berbagai instrumen untuk melakukan pengkajian mobilitas. Center for Disease
Control and Prevention (CDC, 2017) dan Capezutti et al (2012) merekomendasikan TUG
Test sebagai instrument yang digunakan untuk menilai mobilitas yang meliputi
keseimbangan tubuh, gaya berjalan, kekuatan kaki dan goyangan tubuh. Bahkan instrumen
ini dapat mendeteksi risiko jatuh (melalui kecepatan jalan lansia). Barry, Galvin, Keogh,
Horgan dan Fahey (2014) mengatakan the time up and go (TUG) test sering digunakan oleh
para praktisi kesehatan sebagai alat skreening untuk mendeteksi risiko jatuh pada pasien
dalam seting komunitas. The time up and go (TUG) test dikembangkan pada tahun 1991. The
time up and go (TUG) test direkomendasikan sebagai sebuah instrumen skreening risiko
jatuh oleh American Geriatric Society and the British Geriatric Society. The National
Institute of Clinical Evidence (NICE) juga menganjurkan untuk menggunakan the time up
and go (TUG) test ini. Large, Gan, Basic dan Jennings (2006) juga mengatakan the time up
and go (TUG) test merupakan sebuah instrument yang sederhana namun memiliki akurasi
yang tinggi untuk mendeteksi jatuh. Langley dan Mackintosh (2007) mengatakan bahwa
instrumen ini memiliki reliabilitas mencapai 0,98. Alexandre, Meira, Rico dan Mizuta (2012)
mengatakan bahwa TUG test dapat digunakan sebagai instrumen pendeteksi jatuh pada lansia
di komunitas dengan tingkat sensitivitas 73,7% dan spesifisitas 65,8%. Greene et al. (2010)
mengatakan TUG memiliki sensitivitas 77,3% dan spesifisitas 75,9% (Kiik, Sahar &
Permatasari, 2015).
Peralatan yang disediakan adalah sebuah stopwatch, kursi, alat ukur jarak (meteran) dan
penanda untuk membuat garis batas. Pasien menggunakan alas kaki yang biasa digunakan.
Pemeriksa menyediakan sebuah kursi dan membuat sebuah garis atau batas yang berjarak 3
meter dari tempat duduk pasien. Prosedurnya adalah: pasien duduk pada sebuah kursi. Ketika
pemeriksa mengatakan “mulai” maka pasien akan: Berdiri dari tempat duduk, berjalan ke
garis yang sudah ditandai (berjarak 3 meter dari kursi), setelah tiba di garis tersebut maka
pasien akan berbalik dan berjalan kembali ke tempat duduk semula lalu duduk seperti
semula.Waktu mulai dihitung saat pemeriksa mengucapkan “mulai” dan berhenti ketika
pasien duduk kembali. Interpretasinya adalah: jika pasien memperoleh waktu ≥12 detik,
diklasifikasikan sebagai risiko tinggi namun jika waktu < 12 detik : risiko rendah (CDC,
2017; Kiik, Sahar & Permatasari, 2015). Untuk menggunakan instrumen ini dapat dipelajari
lebih lanjut pada lampiran....

-PENGKAJIAN STATUS MENTAL


Pengkajian status mental terutama fungsi kognitif sangat penting pada lansia. Instrumen
yang sering digunakan untuk mengkaji fungsi kognitif adalah mini mental state examination
(MMSE) yang dikembangkan oleh Folstein, Folstein, & McHugh tahun 1975. Instrumen ini
terdiri dari 30 item untuk menuji orientasi, ingatan jangka pendek dan perhatian, kemampuan
kalkulasi, bahasa, dan konstruksi. Skor 24-30 menunjukkan kemungkinan fungsi kognitif
utuh sedangkan skor 0-23 menunjukkan kerusakan kognitif (Kurlowich dan Wallace, 1999).
Namun instrumen ini hanya dapat digunakan pada lansia yang dapat membaca, menulis dan
mampu melihat (Taouhy & Jett, 2014).
Instumen lain yang dapat digunakan untuk menilai fungsi kognitif adalah Mini-Cog.
Mini-Cog adalah instrumen skrining sederhana yang diterima dengan baik dan hanya
membutuhkan waktu 3 menit. Instrumen ini dapat digunakan untuk mendeteksi gangguan
kognitif dengan cepat selama kunjungan rutin dan rawat inap. Mini-Cog berfungsi sebagai
alat triase efektif untuk mengidentifikasi pasien yang membutuhkan evaluasi lebih teliti.
Komponen Clock Drawing Test (CDT) dari Mini-Cog memungkinkan para klinisi untuk
dengan cepat menilai berbagai ranah kognitif termasuk fungsi kognitif, memori, pemahaman
bahasa, kemampuan visual motor, dan fungsi eksekutif dan memberikan catatan nyata baik
kinerja normal maupun gangguan yang bisa dilacak dari waktu ke waktu. Skor 3-5 dari poin
maksimal 5 berarti tidak mengalami demensia (Borson et al., 2006).

-PENGKAJIAN PSIKOLOGI
Pengkajian aspek psikologis pada lansia mencakup kesehatan mental positif (kulitas
hidup) dan depresi (Mauk, 2014). Aspek Kualitas hidup (quality of life) dapat dikur dengan
menggunakan instrumen WHOQOL BREF (World health organization quality of life-Bref).
WHOQOL-BREF merupakan bentuk singkat dari instrumen WHOQOL yang dikembangkan
oleh WHO. Instrumen ini mengukur 4 komponen penting yaitu komponen fisik, psikologi,
sosial dan lingkungan. Instrumen ini terdiri dari 26 item pertanyaan yang telah mewakili
komponen-komponen yang akan diukur dari kualitas hidup. Validitas dari instrumen tersebut
seperti yang disebutkan oleh Lin et al. (2007); Jang (2004), Miller et al. (2008) dalam WHO,
2012, memiliki nilai r yang sempurna dengan nilai antara 0,84-0,93. Caballero et al. (2013)
mengatakan instrumen WHOQOL memiliki reliabilitas yang ditunjukkan oleh nilai
Cronbach’s alpha antara 0,84 -0,88. Nilai validitas menunjukkan nilai r=0,75. Instrumen ini
secara lengkap dapat dilihat ada lampiran ....
Depresi klinis adalah masalah kesehatan mental yang paling umum pada lansia. Geriatric
Depression Scale (GDS) banyak digunakan oleh perawat untuk menilai gejala depresi. GDS
bentuk panjang terdiri dari 30 pertanyaan sedangkan bentuk pendek terdiri dari 15
pertanyaan. Pada buku ini menggunakan GDS bentuk pendek. Skor 10-15 menunjukkan
depresi berat, skor 5-9 menunjukkan depresi sedang dan skor 0-4 berarti normal.

-PENGKAJIAN SOSIAL
Fungsi sosial dapat mempengaruhi kesehatan dan penyakit. Oleh karena itu perawat perlu
mengkaji aspek sosial. Mauk (2014) bahwa aspek sosial dapat ditanyakan dengan
menggunakan beberapa pertanyaan berikut :
 Apakah ada orang istimewa yang dapat Anda hubungi atau dihubungi jika Anda
memerlukan bantuan?
 Secara umum, selain anak-anak Anda, berapa banyak saudara yang Anda rasa dekat dan
berhubungan dengan Anda setidaknya sebulan sekali?
 Secara umum, berapa banyak teman yang Anda rasa dekat dan berhubungan dengan
Anda setidaknya sebulan sekali?

-PENGKAJIAN SPRITUAL
Pengkajian spiritual adalah bagian integral dari pengkajian komprehensif dan
menyediakan dasar bagi rencana perawatan klien.
 Konsep tentang Tuhan (misalnya apakah agama atau Tuhan penting bagimu?)
 Sumber kekuatan dan harapan pribadi (misalnya, "Apa sumber kekuatan dan harapan
anda?
 Signifikansi praktik keagamaan dan ritual (misalnya, "Apakah ada praktik keagamaan
yang penting bagi Anda?)
 Hubungan antara keyakinan spiritual dan keagamaan (misalnya, apakah saat sakit
membuat anda merasa berbeda tentang Tuhan dan praktik imanmu?) (Mauk, 2014).

-PENGKAJIAN LAIN : Pengkajian Risiko jatuh


Pengkajian lainnya yang sangat penting pada klien lansia adalah pengkajian risiko jatuh.
Jatuh merupakan peristiwa atau kejadian pada seseorang dimana orang tersebut mendadak
terbaring, terduduk di lantai, atau tempat yang lebih rendah yang mengakibatkan seseorang
kehilangan kesadaran atau luka (WHO, 2007). Pengkajian risiko jatuh dapat dideteksi
menggunakan beberapa instrumen seperti The Hendrich II Fall Risk ModelTM dan Morse
Fall Scale (MFS). Dua model pengkajian ini dapat dilihat pada lampiran. Instrumen
pengkajian lain yang diperlukan dapat dilihat pada http://consultgerirn.org/resources. Web
tersebut menyediakan instrumen pengkajian yang sangat lengkap.

B. Diagnosis Keperawatan
(D.0078) Nyeri kronis b.d kondisi musculoskeletal kronis d.d mengeluh nyeri, tampak
meringis, gelisah, tidak mampu menuntaskan aktivitas, waspada, pola tidur berubah.
C. Intervensi Keperawatan
SDKI SLKI SIKI

(D.0078) Nyeri kronis b.d kondisi (L.08066) Setelah dilakukan tindakan (I.08238) Manajemen nyeri
musculoskeletal kronis d.d mengeluh keperawatan diharapkan tingkat nyeri Tindakan
nyeri, tampak meringis, gelisah, tidak menurun dengan kriteria hasil : Observasi :
mampu menuntaskan aktivitas, -Kemampuan menuntaskan aktivitas 1. Identifikasi lokasi nyeri,
waspada, pola tidur berubah. meningkat (5) karakteristik, durasi, frekuensi,
-Keluhan nyeri menurun (5) kualitas, intensitas nyeri.
-Meringis menurun (5) 2. Identifikasi skala nyeri.
-Kesulitan tidur menurun (5) 3. Identifikasi respons nyeri non
-Ketegangan otot menurun (5) verbal.
-Pola tidur membaik (5) 4. Identifikasi faktor yang
-Nafsu makan membaik (5) memperberat dan memperingan
nyeri.
5. Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup.
6. Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan.
7. Monitor efek samping
penggunaan analgetik.
Terapeutik :
1. Berikan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain).
2. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis.
suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan).
3. Fasilitasi istirahat tidur.
4. Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredahkan nyeri.
Edukasi :
1. Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri.
2. Jelaskan strategi meredahkan
nyeri.
3. Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri.
4. Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat.
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu.
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat
untuk membantu pasien mengatasi masalah kesehatan yang sedang dihadapinya ke status
kesehatan yang lebih baik didasarkan pada criteria hasil yang telah dibuat sebelumnya
(Gordon dalam Potter & Perry, 2005). Jadi implementasi keperawatan merupakan tahap
proses keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi melaksanakan berbagai strategi
tindakan keperawatan yang telah direncanakan.

E. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang
sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau criteria hasil yang
dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan dengan
melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Jika hasil evaluasi menunjukkan tercapainya
tujuan dan criteria hasil, klien bisa keluar dari siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya,
klien akan masuk kembali kedalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang
(reassessment) (Asmadi, 2008). Evaluasi merupakan pengukuran keberhasilan yang
mencakup perubahan atau respon masyarakat terhadap program kesehatan yang dilaksanakan
(Nugroho, 2014).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang ditandai dengan menurunya massa tulang
(kepadatan tulang) secara keseluruhan akibat ketidakmampuan tubuh dalam mengatur
kandungan mineral dalam tulang dan disertai dengan rusaknya arsitektur yang akan
mengakibatkan penurunan kekuatan tulang (pengeroposan tulang).
Apabila kerusakan jaringan rawan sendi lebih cepat dari kemampuannya untuk memperbaiki
diri, maka terjadi penipisan dan kehilangan pelumas sehingga kedua tulang akan bersentuhan.
Inilah yang menyebabkan rasa nyeri pada sendi lutut. Setelah terjadi kerusakan tulang rawan,
sendi dan tulang ikut berubah. Definisi Nyeri adalah suatu kondisi dimana seseorang
merasakan perasaan yang tidak nyaman atau tidak menyenangkan yang disebabkan oleh
kerusakan jaringan yang telah rusak atau yang berpotensi untuk rusak.Tanda dan gejala yang
ditimbulkan oleh nyeri yaitu wajah tampak meringis, gelisah, mengeluh nyeri dan merasa
depresi (tertekan) serta tidak mampu menuntaskan aktivitas. Hal tersebut menjadikan lansia
tidak nyaman serta menghambat dalam menjalan aktivitas hariannya.

B. Saran
1) Bagi penderita osteoporosis dan keluarga
Dapat meningkatkan pengetahuan klien dan keluarga tentang bagaimana menangani
masalah osteoporosis dengan tindakan yang benar sehingga masalah osteoporosis pun
teratasi.
2) Bagi institusi pendidikan
Hasil asuhan keperawatan diharapkan dapat menjadi bahan referensi mengajar serta
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan topik asuhan
keperawatan gerontik pada klien dengan osteoporosis bagi dosen dan mahasiswa.
3) Bagi penulis selanjutnya
Disarankan untuk penulis selanjutnya agar dapat meningkatkan kemampuan dan
pengetahuan dalam memberikan asuhan keperawatan yang optimal dan komprehensif
serta bertanggung jawab kepada klien dan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA

Achmanagara, A. A., Sahar, J., & Widyatuti. (2015). Hubungan faktor eksternal dan Internal
dengan keseimbangan lansia di Desa Pamijen Sokaraja Banyumas. (Tesis, Tidak dipublikasikan).
Universitas Indonesia, Depok
Barry, E., Galvin, R., Keogh, C., Horgan, F., & Fahey, T. (2014). Is the timed up and go test a
useful predictor of risk of falls in community dwelling older adults: a systematic review and
metaanalysis. BMC Geriatrics, 14, 1-14. doi:10.1186/1471-2318-14-14
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013). Nursing
Intervention Classification (NIC) (6th ed.). St. Louis: Elsevier
Burghardt, C, et al. 2011. Lippincott’s nursing guide to expert elder care. Editor: Margaret
Eckman. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Caballero, F. F., Power, M., Chatterji, S., Tobiasz-Adamczyk, B., Koskinen, S., Leonardi,
M., . . . & Ayuso-Mateos, J. (2013). Validation of an instrument to evaluate quality of life in the
aging population:WHOQOL-AGE. Health and Quality of Life Outcomes, 11(177), 3-22.
doi:10.1186/1477-7525-11-177
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2017). ASSESSMENT Timed Up & Go
(TUG). Diaksespada 19 Januari 2018. Diakses dari: https://www.cdc.gov/steadi/pdf/tug_test-
a.pdf
Greene, B.R., O’Donovan, A., Romero-Ortuno, R., Cogan, L., Scanaill, C. N., & Kenny, R. A.
(2010).
Depkes RI, 2017, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.www.depkes.go.id
Istianah, Umi, 2017, Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal,
Yogyakarta, Pustaka Baru Press.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia ed 1, Jakarta,
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018, Standar Intervensi Keperawatan Indonesia ed 1, Jakarta.
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018, Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan ed 1, Jakarta, Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai