OLEH :
2. Penyebab/Faktor Predisposisi
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengurangan massa tulang pada usia lanjut:
a. Determinan Massa Tulang
1) Faktor genetik Perbedaan genetik mempunyai pengaruh terhadap
derajat kepadatan tulang. Beberapa orang mempunyai tulang yang
cukup besar dan yang lain kecil. Sebagai contoh, orang kulit hitam
pada umumnya mempunyai struktur tulang lebih kuat/berat dari pacia
bangsa Kaukasia. Jadi seseorang yang mempunyai tulang kuat
(terutama kulit Hitam Amerika), relatif imun terhadap fraktur karena
osteoporosis.
2) Faktor mekanis
Beban mekanis berpengaruh terhadap massa tulang di samping faktor
genetk. Bertambahnya beban akan menambah massa tulang dan
berkurangnya beban akan mengakibatkan berkurangnya massa tulang.
Kedua hal tersebut menunjukkan respons terhadap kerja mekanik
Beban mekanik yang berat akan mengakibatkan massa otot besar dan
juga massa tulang yang besar. Sebagai contoh adalah pemain tenis
atau pengayuh becak, akan dijumpai adanya hipertrofi baik pada otot
maupun tulangnya terutama pada lengan atau tungkainya, sebaliknya
atrofi baik pada otot maupun tulangnya akan dijumpai pada pasien
yang harus istrahat di tempat tidur dalam waktu yang lama,
poliomielitis atau pada penerbangan luar angkasa. Walaupun demikian
belum diketahui dengan pasti berapa besar beban mekanis yang
diperlukan dan berapa lama untuk meningkatkan massa tulang di
sampihg faktor genetik.
3) Faktor makanan dan hormon
Pada seseorang dengan pertumbuhan hormon dengan nutrisi yang
cukup (protein dan mineral), pertumbuhan tulang akan mencapai
maksimal sesuai dengan pengaruh genetik yang bersangkutan.
Pemberian makanan yang berlebih (misainya kalsium) di atas
kebutuhan maksimal selama masa pertumbuhan, disangsikan dapat
menghasilkan massa tulang yang melebihi kemampuan pertumbuhan
tulang yang bersangkutan sesuai dengan kemampuan genetiknya.
b. Determinan penurunan Massa Tulang
1) Faktor genetik
Pada seseorang dengan tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat
risiko fraktur dari pada seseorang dengan tulang yang besar. Sampai
saat ini tidak ada ukuran universal yang dapat dipakai sebagai ukuran
tulang normal. Setiap individu mempunyai ketentuan normal sesuai
dengan sitat genetiknya serta beban mekanis den besar badannya.
Apabila individu dengan tulang yang besar, kemudian terjadi proses
penurunan massa tulang (osteoporosis) sehubungan dengan lanjutnya
usia, maka individu tersebut relatif masih mempunyai tulang lebih
banyak dari pada individu yang mempunyai tulang kecil pada usia
yang sama.
2) Faktor mekanis
Faktor mekanis mungkin merupakan yang terpenting dalam proses
penurunan massa tulang sehubungan dengan lanjutnya usia. Walaupun
demikian telah terbukti bahwa ada interaksi panting antara faktor
mekanis dengan faktor nutrisi hormonal. Pada umumnya aktivitas fisis
akan menurun dengan bertambahnya usia dan karena massa tulang
merupakan fungsi beban mekanis, massa tulang tersebut pasti akan
menurun dengan bertambahnya usia.
3) Kalsium
Faktor makanan ternyata memegang peranan penting dalam proses
penurunan massa tulang sehubungan dengan bertambahnya usia,
terutama pada wanita post menopause. Kalsium, merupakan nutrisi
yang sangat penting. Wanita-wanita pada masa peri menopause,
dengan masukan kalsiumnya rendah dan absorbsinya tidak bak, akan
mengakibatkan keseimbangan kalsiumnya menjadi negatif, sedang
mereka yang masukan kalsiumnya baik dan absorbsinya juga baik,
menunjukkan keseimbangan kalsium positif. Dari keadaan ini jelas,
bahwa pada wanita masa menopause ada hubungan yang erat antara
masukan kalsium dengan keseimbangan kalsium dalam tubuhnya.
Pada wanita dalam masa menopause keseimbangan kalsiumnya akan
terganggu akibat masukan serta absorbsinya kurang serta eksresi
melalui urin yang bertambah. Hasil akhir kekurangan/kehilangan
estrogen pada masa menopause adalah pergeseran keseimbangan
kalsium yang negatif, sejumiah 25 mg kalsium sehari.
4) Protein
Protein juga merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi
penurunan massa tulang. Makanan yang kaya protein akan
mengakibatkan ekskresi asam amino yang mengandung sulfat melalui
urin, hal ini akan meningkatkan ekskresi kalsium. Pada umumnya
protein tidak dimakan secara tersendiri, tetapi bersama makanan lain.
Apabila makanan tersebut mengandung fosfor, maka fosfor tersebut
akan mengurangi ekskresi kalsium melalui urin. Sayangnya fosfor
tersebut akan mengubah pengeluaran kalsium melalui tinja. Hasil
akhir dari makanan yang mengandung protein berlebihan akan
mengakibatkan kecenderungan untuk terjadi keseimbangan kalsium
yang negative.
5) Estrogen
Berkurangnya/hilangnya estrogen dari dalam tubuh akan
mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan kalsium. Hal ini
disebabkan oleh karena menurunnya eflsiensi absorbsi kalsium dari
makanan dan juga menurunnya konservasi kalsium di ginjal.
6) Rokok dan kopi
Merokok dan minum kopi dalam jumlah banyak cenderung akan
mengakibatkan penurunan massa tulang, lebih-lebih bila disertai
masukan kalsium yang rendah. Mekanisme pengaruh merokok
terhadap penurunan massa tulang tidak diketahui, akan tetapi kafein
dapat memperbanyak ekskresi kalsium melalui urin maupun tinja.
7) Alkohol
Alkoholisme akhir-akhir ini merupakan masalah yang sering
ditemukan. Individu dengan alkoholisme mempunyai kecenderungan
masukan kalsium rendah, disertai dengan ekskresi lewat urin yang
meningkat. Mekanisme yang jelas belum diketahui dengan pasti.
3. Pohon Masalah
Kartilago hialin adalah jaringan elastis yang 95% terdiri dari air dan matrik
ekstra selular, 5 % sel konrosit. Fungsinya sebagai penyangga juga pelumas
sehingga tidak menimbulkan nyeri pada saat pergerakan sendi. Apabila
kerusakan jaringan rawan sendi lebih cepat dari kemampuannya untuk
memperbaiki diri, maka terjadi penipisan dan kehilangan pelumas sehingga
kedua tulang akan bersentuhan. Inilah yang menyebabkan rasa nyeri pada
sendi lutut. Setelah terjadi kerusakan tulang rawan, sendi dan tulang ikut
berubah.
Gangguan Imobilitas Fisik
Nyeri Akut
Nyeri Kronis
4. Klasifikasi
Osteoporosis dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu :
a. Osteoporosis Primer
Osteoporosis primer berhubungan dengan kelainan pada tulang, yang
menyebabkan peningkatan proses resorpsi di tulang trabekula sehingga
meningkatkan resiko fraktur vertebra dan Colles. Pada usia decade awal
pasca menopause, wanita lebih sering terkena dari pada pria dengan
perbandingan 68:1 pada usia rata-rata 53-57 tahun.
b. Osteoporosis Sekunder
Osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit atau sebab lain diluar
tulang.
5. Gejala Klinis
Osteoporosis dimanifestasikan dengan :
a. Nyeri dengan atau tanpa fraktur yang nyata.
b. Nyeri timbul mendadak.
c. Sakit hebat dan terlokalisasi pada vertebra yg terserang.
d. Nyeri berkurang pada saat istirahat di tempat tidur.
e. Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan akan bertambah jika melakukan
aktivitas.
f. Deformitas vertebra thorakalis
g. Penurunan tinggi badan.
6. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
a. Pemeriksaan radiologik
Dilakukan untuk menilai densitas massa tulang sangat tidak sensitif.
Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan
korteks dan daerah trabekuler yang lebih lusen.Hal ini akan tampak pada
tulang-tulang vertebra yang memberikan gambaran picture-frame vertebra.
b. Pemeriksaan densitas massa tulang (Densitometri)
Densitometri tulang merupakan pemeriksaan yang akurat dan untuk
menilai densitas massa tulang, seseorang dikatakan menderita
osteoporosis apabila nilai BMD ( Bone Mineral Density ) berada dibawah
-2,5 dan dikatakan mengalami osteopenia (mulai menurunnya kepadatan
tulang) bila nilai BMD berada antara -2,5 dan -1 dan normal apabila nilai
BMD berada diatas nilai -1. Beberapa metode yang digunakan untuk
menilai densitas massa tulang:
1) Single-Photon Absortiometry (SPA)
Pada SPA digunakan unsur radioisotop I yang mempunyai energi
photon rendah guna menghasilkan berkas radiasi kolimasi tinggi. SPA
digunakan hanya untuk bagian tulang yang mempunyai jaringan lunak
yang tidak tebalseperti distal radius dan kalkaneus.
2) Dual-Photon Absorptiometry (DPA)
Metode ini mempunyai cara yang sama dengan SPA. Perbedaannya
berupa sumber energi yang mempunyai photon dengan 2 tingkat
energi yang berbeda guna mengatasi tulang dan jaringan lunak yang
cukup tebal sehingga dapat dipakai untuk evaluasi bagian-bagian
tubuh dan tulang yang mempunyai struktur geometri komplek seperti
pada daerah leher femur dan vetrebrata.
3) Quantitative Computer Tomography (QCT)
Merupakan densitometri yang paling ideal karena mengukur densitas
tulang secara volimetrik.
c. Sonodensitometri
Sebuah metode yang digunakan untuk menilai densitas perifer dengan
menggunakan gelombang suara dan tanpa adanya resiko radiasi.
d. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dalam menilai densitas tulang trabekula melalui dua langkah yaitu
pertama T2 sumsum tulang dapat digunakan untuk menilai densitas serta
kualitas jaringan tulang trabekula dan yang kedua untuk menilai arsitektur
trabekula.
e. Biopsi tulang dan Histomorfometri
Merupakan pemeriksaan yang sangat penting untuk memeriksa kelainan
metabolisme tulang.
f. Radiologis
Gejala radiologis yang khas adalah densitas atau masa tulang yang
menurun yang dapat dilihat pada vertebra spinalis. Dinding dekat korpus
vertebra biasanya merupakan lokasi yang paling berat. Penipisa korteks
dan hilangnya trabekula transfersal merupakan kelainan yang sering
ditemukan. Lemahnya korpus vertebra menyebabkan penonjolan yang
menggelembung dari nukleus pulposus ke dalam ruang intervertebral dan
menyebabkan deformitas bikonkaf.
g. CT-Scan
CT-Scan dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang
mempunyai nilai penting dalam diagnostik dan terapi follow up. Mineral
vertebra diatas 110 mg/cm3 baisanya tidak menimbulkan fraktur vetebra
atau penonjolan, sedangkan mineral vertebra dibawah 65 mg/cm3 ada
pada hampir semua klien yang mengalami fraktur.
h. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kadar Ca, P, Fosfatase alkali tidak menunjukkan kelainan yang nyata.
2) Kadar HPT (pada pascamenoupouse kadar HPT meningkat) dan Ct
(terapi ekstrogen merangsang pembentukkan Ct)
3) Kadar 1,25-(OH)2-D3 absorbsi Ca menurun.
4) Eksresi fosfat dan hidroksipolin terganggu sehingga meningkat
kadarnya.
7. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksanaan Medis
1) Pengobatan
a) Meningkatkan pembentukan tulang, obat-obatan yg dapat
meningkatkan pembentukan tulan adalah Na-fluorida dan steroid
anabolik
b) Menghambat resobsi tulang, obat-obatan yang dapat mengahambat
resorbsi tulang adalah kalsium, kalsitonin, estrogen dan difosfonat.
2) Pencegahan
a) Diet mengandung tinggi kalsium (1000 mg/hari)
b) Latihan teratur setiap hari
c) Hindari : Makanan tinggi protein, minum alkohol, merokok,
minum kopi, minum antasida yang mengandung aluminium
b. Penatalaksanaan keperawatan
1) Membantu klien mengatasi nyeri.
2) Membantu klien dalam mobilitas.
3) Memberikan informasi tentang penyakit yang diderita kepada klien.
4) Memfasilitasikan klien dalam beraktivitas agar tidak terjadi cedera.
8. Komplikasi
1. Patah tulang
Salah satu komplikasi dari osteoporosis yang paling sering terjadi adalah
patah tulang. Area tulang yang kehilangan kepadatan mineralnya lama-
lama akan patah secara bertahap. Tulang belakang, tulang pinggul, dan
pergelangan tangan merupakan area tulang yang paling sering patah ketika
terkena osteoporosis.
2. Osteoarthritis
Salah satu komplikasi dari osteoporosis yang paling sering terjadi adalah
patah tulang. Area tulang yang kehilangan kepadatan mineralnya lama-
lama akan patah secara bertahap. Tulang belakang, tulang pinggul, dan
pergelangan tangan merupakan area tulang yang paling sering patah ketika
terkena osteoporosis.
Osteoarthritis adalah pengapuran sendi yang biasanya terjadi di sekitar
pinggul, lutut, leher, hingga tubuh bagian bawah. Umumnya, penyakit ini
terjadi pada sendi yang cedera akibat penggunaan yang berlebihan.
Namun, tekanan yang terjadi pada persendian karena pengeroposan tulang
juga dapat memicu terjadinya pengapuran sendi.
3. Penyakit jantung coroner
Penyebabnya adalah orang dengan osteoporosis memngalami laju
pemecahan tulang berlangsung dengan cepat. Akibatnya, kadar kalsium
dalam darah meningkat. Ini dapat meningkatkan risiko terbentuknya
aterosklerosis yang merupakan penyebab penyakit jantung koroner.
Terapeutik Edukasi
6. Diskusikan jenis 10. Pasien mengetahui
analgesik yang efek terapi dan
disukai untuk efek samping obat
mencapai
Kolaborasi
analgesia optimal,
11. Pemberian dosis
jika perlu
analgesic yang
7. Pertimbangkan
tepat dapat
penggunaan infus
membantu
kontinu, atau
mengurangi nyeri
bolus opioid pasien
untuk
mempertahankan
kadar dalam
serum
8. Tetapkan target
efektifitas
analgesik untuk
mengoptimalkan
respons pasien
9. Dokumentasikan
respons terhadap
efek analgesik
dan efek yang
tidak dinginkan
Intervensi
Edukasi Pendukung
10. Jelaskan efek Edukasi
terapi dan efek Manajemen Nyeri
samping obat (I.12391)
Observasi
Kolaborasi
1. Untuk
11. Kolaborasi
mengetahui
pemberian dosis
kesiapan dan
dan jenis
kemampuan
analgesik, sesuai
menerima
indikasi
informasi
Terapeutik
Intervensi
2. Memberikan
Pendukung
materi yang
Edukasi sesuai kepada
Manajemen Nyeri pasien dan
(I.12391) keluarga
Observasi 3. Pasien dapat
1. Identifikasi mengatur waktu
kesiapan dan untuk pendidikan
kemampuan 4. Pasien
menerima menanyakan yang
informasi belum dipahami
Terapeutik Edukasi
2. Sediakan materi 5. Pasien
dan media mengetahui
pendidikan penyebab,
kesehatan periode dan
3. Jadwalkan strategi
pendidikan meredakan yeri
kesehatan sesuai 6. Pasien mampu
kesepakatan memonitor nyeri
4. Berikan 7. Membantu
kesempatan untuk mengurangi nyeri
bertanya 8. Membantu
mengurangi rasa
Edukasi
nyeri
5. Jelaskan
penyebab,
periode, dan
strategi
meredakan nyeri
6. Anjurkan
memonitor nyeri
secara mandiri
7. Anjurkan
menggunakan
analgetik secara
tepat
8. Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi Perawatan
19. Kolaborasi Kenyamanan
pemberian (I.08245)
analgetik, jika Observasi
perlu 1. Mengetahui gejala
yang tidak
menyenangkan
Perawatan
2. Untuk mengetahui
Kenyamanan
pemahaman
(I.08245)
tentang kondisi,
Observasi
situasi dan
1. Identifikasi gejala
perasaan pasien
yang tidak
3. Mengetahui
menyenangkan
masalah emosional
(mis, mual, nyeri,
dan spiritual
gatal, sesak)
2. Identifikasi Terapeutik
pemahaman 4. Memberikan rasa
tentang kondisi, nyaman
situasi dan 5. Membantu
perasaannya mengurangi nyeri
3. Identifikasi 6. Memberikan
masalah lingkungan yang
emosional dan nyaman nagi
spiritual pasien
7. Memberikan
Terapeutik
peralihan untuk
4. Berikan posisi
mengurangi rasa
yang nyaman
nyeri pasien
5. Berikan kompres
8. Membantu
dingin atau
memberikan
hangat
peralihan untuk
6. Ciptakan
mengurangi nyeri
lingkungan yang
9. Membantu
nyaman
memberikan
7. Berikan
peralihan untuk
pemijatan
mengurangi nyeri
8. Berikan terapi
10. Membantu
akupresur
memberikan
9. Berikan terapi
support kepada
hipnosis
kesembuhan
10. Dukung keluarga
pasien
dan pengasuh
11. Menentukan
terlibat dalam
terapi/pengobatan
terapi/pengobatan
yang diinginkan
11. Diskusikan
mengenai situasi Edukasi
dan pilihan 12. Pasien
terapi/pengobatan menentukan
yang dinginkan terapi/pengobatan
13. Pasien dapat
Edukasi
melakukan teknik
12. Jelaskan
relaksasi
mengenai kondisi
14. Pasien melakukan
dan pilihan
latihan nafas
terapi/pengobatan
dalam
13. Ajarkan terapi
15. Membantu
relaksasi
mengalihkan rasa
14. Ajarkan latihan
nyeri pasien
pernapasan
15. Ajarkan teknik Kolaborasi
distraksi dan 16. Membantu
imajinasi mengurangi rasa
terbimbing nyeri dengan
pemberian
Kolaborasi
analgesic
16. Kolaborasi
pemberian
analgesik, Terapi Relaksasi
antipruritus, (I.09326)
antihistamin, jika Observasi
perlu 1. Mengetahui
penurunan tingkat
energy,
ketidakmampuan
Terapi Relaksasi
berkonsentrasi,
(I.09326)
atau gejala lain
Observasi
yang mengganggu
1. Identifikasi
kemampuan
penurunan tingkat kognitif
energi, 2. Mengetahui
ketidakmampuan teknik relaksasi
berkonsentrasi, yang pernah
atau gejala lain digunakan
yang 3. Mengetahui
mengganggu kesediaan,,
kemampuan kemampuan dan
kognitif penggunaan
2. Identifikasi teknik teknik
relaksasi yang sebelumnya
pernah efektif 4. Mengetahui
digunakan ketegangan otot,
3. Identifikasi frekuensi nadi,
kesediaan, tekanna darah,
kemampuan, dan dan suhu sebelum
penggunaan dan sesudah
teknik latihan
sebelumnya 5. Mengetahui
4. Periksa respons terhadap
ketegangan otot, terapi relaksasi
frekuensi nadi,
Terapeutik
tekanan darah,
6. Memberikan
dan suhu sebelum
ketenangan dan
dan sesudah
rasa nyaman pada
latihan
pasien
5. Monitor respons
7. Pasien
terhadap terapi
mengetahui
relaksasi
persiapan dan
Terapeutik prosedur teknik
6. Ciptakan relaksasi
lingkungan 8. Memberikan rasa
tenang dan tanpa nyaman pada
gangguan dengan pasien
pencahayaan dan 9. Membantu
suhu ruang mendekatkan
nyaman, jika antara perawat
memungkinkan dan pasien
7. Berikan informasi 10. Teknik relaksasi
tertulis tentang sebagai penunjang
persiapan dan dengan analgetik
prosedur teknik atau tindakan
relaksasi medis lain
8. Gunakan pakaian
Edukasi
longgar
11. Pasien
9. Gunakan nada
mengetahui
suara lembut
tujuan, manfaat,
dengan irama
batasna dan jenis
lambat dan
relaksasi yang
berirama
tersedia
10. Gunakan
12. Pasien
relaksasi sebagai
mengetahui secara
strategi
rinci intervensi
penunjang dengan
relaksasi yang
analgetik atau
dipilih
tindakan medis
13. Pasien
lain, jika sesuai
mendapatkan
Edukasi posisi nyaman
11. Jelaskan tujuan, 14. Pasien menjadi
manfaat, batasan, rileks dan
dan jenis merasakan sensasi
relaksasi yang relaksasi
tersedia (mis. 15. Membantu
musik, meditasi, memberikan rasa
napas dalam, nyaman dan rileks
relaksasi otot 16. Pasien mampu
progresif) melakukan teknuk
12. Jelaskan secara relaksasi
rinci intervensi
relaksasi yang
dipilih
13. Anjurkan
mengambil posisi
nyaman
14. Anjurkan rileks
dan merasakan
sensasi relaksasi
15. Anjurkan sering
mengulangi atau
melatih teknik
Intervensi
yang dipilih
Pendukung
16. Demonstrasikan
Manajemen Nyeri
dan latih teknik
(I.12391)
relaksasi (mis.
Observasi
napas dalam,
1. Untuk mengetahui
peregangan, atau
kesiapan dan
imajinasi
kemampuan
terbimbing) menerima
informasi
Intervensi Terapeutik
Pendukung 2. Memberikan
Manajemen Nyeri materi yang tepat
(I.12391) pada pasien
Observasi 3. Pasien mampu
1. Identifikasi menjadwalkan
kesiapan dan waktu untuk
kemampuan menerima materi
menerima 4. Pasien
informasi menanyakan hal
yang berlum
Terapeutik
dipahami
2. Sediakan materi
dan media Edukasi
pendidikan 5. Pasien
kesehatan mengetahui
3. Jadwalkan penyebab,
pendidikan periode, dan
kesehatan sesuai strategi
kesepakatan meredakan nyeri
4. Berikan 6. Pasien mampu
kesempatan untuk memonitor nyeri
bertanya 7. Membantu
meredakan nyeri
Edukasi
pasien
5. Jelaskan
8. Membantu
penyebab,
mengurangi rasa
periode, dan
strategi nyeri
meredakan nyeri
6. Anjurkan
memonitor nyeri
secara mandiri
7. Anjurkan
menggunakan
analgetik secara
tepat
8. Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
Edukasi
27. Jelaskan metode
aktivitas fisik
sehari-hari, jika
perlu
28. Ajarkan cara
melakukan
aktivitas yang
dipilih
29. Anjurkan
melakukan
aktivitas fisik,
sosial, spiritual,
dan kognitif
dalam menjaga
fungsi dan
kesehatan
30. Anjurkan terlibat
dalam aktivitas
kelompok atau
terapi, jika sesuai
31. Anjurkan
keluarga untuk
memberi
penguatan positif
atas partisipasi
dalam aktivitas
Kolaborasi
32. Kolaborasi
dengan terapis
okupasi dalam
merencanakan
dan memonitor
program aktivitas,
jika sesuai
33. Rujuk pada pusat
atau program
aktivitas
komunitas, jika
perlu
Akkawi, I., & Zmerly, H. (2018). Osteoporosis: current concepts. Joints, 6(02), 122-
127.
Föger-Samwald, U., Dovjak, P., Azizi-Semrad, U., Kerschan-Schindl, K., &
Pietschmann, P. (2020). Osteoporosis: pathophysiology and therapeutic
options. EXCLI journal, 19, 1017.
Purwanto, Hadi. Desember 2016. Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta Selatan:
Pusdik SDM Kesehatan
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2016. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Definisi dan TindakanHasil Keperawatan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2016. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia
LEMBAR PENGESAHAN