Anda di halaman 1dari 80

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Karies
3.1.1 Definisi Karies

Karies adalah penyakit jaringan kalsifikasi gigi, yang ditandai dengan kehancuran
jaringan, dimulai dari permukaan gigi pada daerah predileksi (pit dan fissure) dan daerah
kontak interproksimal dan berlanjut menuju pulpa. Kehancuran meliputi demineralisasi
bagian anorganik yang dimediasi oleh plak dan disintegrasi substansi organik.
Demineralisasi disebabkan oleh asam berasal dari bakteri asidogenik pada materi
karbohidrat, mengakibatkan pembentukan kavitas dan invasi bakteri. Tingkat pH kurang
dari 5,5 akan memungkinkan terjadinya demineralisasi ketika ion mineral menurun dalam
lingkungan mulut, relative terhadap kandungan mineral dari enamel. Ion kalsium dan
fosfat dari hidroksiapatit dibebaskan, mengakibatkan kehilangan mineral. Remineralisasi
terjadi ketika karbohidrat telah dihilangkan dan ion kalsium dan fosfat dalam saliva
tergabung kembali dalam matriks enamel. Setelah pH biofilm dinaikkan menjadi sekitar
pH 7,0 demineralisasi terhenti. Maka, lesi karies awal karena dapat dihentikan dan
dicegah agar tidak menjadi lubang dengan mengubah lingkungan mulut mendukung
remineralisasi.
Bakteri ditransfer ke bayi dari ibu atau pengasuh pada masa sangat awal dalam
kehidupan anak, dengan kolonisasi jaringan lunak mungkin bahkan sebelum gigi erupsi.
Saat gigi erupsi bakteri kariogenik berkolonisasi, membentuk plak gigi, dan siklus
kehancuran dimulai. Whitespotlesion / incipiencaries merupakan tanda klinis pertama
sebelum terjadinya karies, terlihat whitespot karena terjadinya demineralisasi pada bagian
subpermukaan email yang dapat dilihat oleh mata telanjang, namun pada waktu ini
prosesnya sudah terjadi selama berbulan-bulan.Normalnya apabila white spot terlihat
permukaannya halus maka tidak aktif, sebaliknya apabila permukaannya kasar
menunjukan bahwa lesi aktif dan berkembang karena meningkatnya porositas.
Demineralisasi ketika pertama dimulai hanya dapat dilihat pada tingkat electron
mikroskopis pada gigi yang diekstraksi di laboratorium. Selama demineralisasi
berlangsung hilangnya mineral menjadi lebih dalam pada enamel atau terkena dentin
sampai dapat dideteksi secara radiografi, visual, atau dengan metode optik yang lebih
baru, seperti laser-induced fluorescence.

3.1.2 Etiologi Karies


Pemahaman kita tentang etiologi karies gigi telah berkembang selama 100 tahun
terakhir dari Hipotesis Plak Non-spesifik (Miller 1890) ke Hipotesis Plak Spesifik
(Loesche 1979) sampai kepemahaman kita sekarang tentang Hipotesis Ekologi
Plak(Marsh 1991). Karies terjadi sebagai akibat interaksi dari beberapa faktor. Faktor
tersebut terdiri dari gigi dan saliva, bakteri pada plak, substrat, dan waktu, sehingga
karies disebut penyakit multifaktorial. Telah ditetapkan bahwa demineralisasi dan
remineralisasi terjadi di mulut, bahwa proses tersebut dapat menyebabkan kavitasi
bersama-sama dengan semua komplikasi klinis yang mungkin mengikuti.
Ketika pH plak diturunkan, konsentrasi ion kalsium dan fosfat yang dibutuhkan
untuk saturasi saliva meningkat, mencapai "pH kritis" di 5,5-5,7 ketika jaringan keras
akan mulai larut untuk mempertahankan tingkat kejenuhan ludah. Luasnya kelarutan /
demineralisasi tergantung pada lingkungan mulut, khususnya, tingkat dan durasi
penurunan pH, kehadiran fluoride, kehadiran dan komposisi saliva (kapasitas buffer),
frekuensi penolakan gula dan kehadiran anti-bakteri. Pencegahan karies karena dapat
dilihat sebagai menjaga keseimbangan antara factor patologis dan factor protektif.

3.1.2.1 Plak Dental


Maksud dari Hipotesis Plak Non-Spesifik adalah penyakit karies merupakan hasil
dari aktivitas keseluruhan dari total plak mikroflora dan bukan organism spesifik. Dalam
hal ini, semua orang diperlakukan sama karena semua orang memiliki plak dan karena
plak terbentuk sepanjang waktu. Keberhasilan perawatan untuk menghilangkan plak
biofilm harus menjadi universal dan terus diterapkan kepada semua orang. Sebaliknya,
Hipotesis Plak Spesifik mengusulkan bahwa di antara beragam bakteri meliputi
mikroflora plak, hanya beberapa spesies bakteri yang terlibat dalam perkembangan lesi
yang. Kehadiran plak tidak patogen, namun keberadaan spesies patogen, seperti S.
Mutans dan Lactobacilli dalam plak menyebabkan karies gigi. S. Mutans adalah
sekelompok bakteri, bukan dari satu spesies dan terdiri dari beberapa spesies
streptokokus.
Hipotesis Ekologi Plak berbeda dari hipotesis plak spesifik dalam pathogen (S.
Mutans dan Lactobacilli) yang dapat hadir, namun dalam jumlah yang terlalu rendah
untuk menyebabkan penyakit. Penyakit akan terjadi hanya ketika ada pergeseran dalam
keseimbangan homeostatis dari mikroflora karena perubahan kondisi lingkungan
setempat (seperti pH) yang mendukung pertumbuhan patogen. Penelitian telah
menunjukkan pH, bukan gula, yang menyebabkan pergeseran biofilm patologis. Plak
mengandung bakteri yang dapat menghasilkan asam dan dapat bertahan pada pH yang
rendah. Spesies bakteri spesifik seperti S. Mutans dan Lactobacillisp. terlibat dalam
perkembangan karies. S. Mutans diyakini merupakan bakteri terpenting dalam inisiasi
dan perkembangan dari karies. Bakteri patogen ini dapat mengkolonisasi permukaan gigi
dan menghasilkan asam pada kecepatan yang lebihdibandingkan kemampuan netralisasi
biofilm. Setelah terjadi kavitasi enamel, Lactobacillisp.menjadi lebih berperan ketika pH
plak turun di bawah batas (5,5). Asam yang dihasilkan mendemineralisasi enamel dan
akan bertahan selama 20 menit atau lebih, tergantung ketersediaan substrat di dalam
mulut. Perlekatan plak juga berpengaruh, di mana substratyang bersifat melekat akan
menghasilkan plak yang lebih melekat.

3.1.2.2 Substrat
Saliva, substrat makanan, dan bakteri membentuk biofilm (plak) yang melekat ke
permukaan gigi. Keberadaan substrat berperan sebagai sumber nutrisi bagi bakteri, dan
bakteri menghasilkan asam yang dapat mengakibatkan demineralisasi gigi. Bakteri
menggunakan karbohidrat dari substrat untuk difermentasi menjadi energi, dan ujung dari
proses fermentasi pada metabolisme bakteri akan menghasilkan asam. Diet karbohidrat
yang tinggi akan berkontribusi dalam ketersediaan glukosa yang mendorong metabolisme
bakteri untuk menghasilkan asam laktat. Kuantitas karbohidrat relatif tidak penting,
karena bahkan karbohidrat sebanyak berapa menit akan digunakan dengan segera. Gula
penyebab karies seperti sukrosa, glukosa, dan fruktosa, terkandung dalam jus buah dan
susu formula anak akan dengan segera dicerna oleh S. Mutans dan Lactobacillisp.
menjadi asam yang akan mendemineralisasi enamel dan dentin. Sukrosa telah
diidentifikasi sebagai gula kariogenik utama yang dapat dicerna oleh S.mutansuntuk
menghasilkan plak yang penting dalam perlekatan bakteri dan kolonisasi di rongga mulut.
Frekuensi konsumsi sukrosa yang tinggi meningkatkan pembentukan asam dari plak dan
meningkatkan pembentukan dan pertumbuhan S.mutans. Selain itu, paparan sukrosa
terhadap plak yang sudah terbentuk selama 48 jam atau lebih akan mengakibatkan
demineralisasi enamel yang membutuhkan waktu 4 jam agar dapat teremineralisasi
kembali.

3.1.2.3 Faktor Host


Gigi desidui lebih mudah untuk mengalami karies dibandingkan gigi permanen,
hal tersebut terjadi karena enamel pada gigi desidui memiliki kandungan bahan organik
dan air yang lebih banyak daripada gigi permanen. Sedangkan kandungan mineral gigi
desidui lebih sedikit daripada gigi permanen, dan kristalkristal gigi desidui tidak sepadat
gigi permanen. Karies dapat terjadi pada pit dan fissuredan permukaan koronal yang
halus. Adanya pit dan fissureyang dalam tidak bisa dibersihkan oleh aksi makanan ketika
mastikasi atau oleh sikat gigi, sehingga area tersebut sering terserang karies. Daerah
interproksimal yang tidak dijaga kebersihannya juga merupakan subjek karies.
Permukaan yang licin dan halus jarang terserang kecuali plak dibiarkan terbentuk dan
tidak dibersihkan. Hal ini biasa ditemukan pada area servikal. Area yang tidak
cleansableakibat malposisi gigi juga merupakan subjek karies. Saliva berperan penting
dalam beberapa hal pada proses karies, seperti penyingkiran substrat dan bufferingasam
plak, memperlambat proses karies, dan penting dalam remineralisasi. Dua proses selalu
terjadi pada permukaan enamel, yakni pembentukan asam oleh bakteri dan netralisasi
asam oleh saliva. Kapasitas bufferingsaliva adalah mekanisme paling penting dalam
menetralisir asam, di mana daerah yang terbersihkan dengan baik oleh saliva menjadi
imun terhadap karies. Namun tidak semua daerah dapat dicapai oleh saliva, seperti pit
dan fissuredan daerah interproksimal. Meski saliva dari kebanyakan manusia
mengandung sistem bufferingyang sangat efisien dalam menetralisir asam, tidak semua
individu memiliki derajat proteksi yang sama. Pada beberapa orang kapasitas
bufferingsaliva sempurna, yang lain bisa kurang.
Saliva memiliki fungsi selfcleansingyang akan membersihkan rongga mulut dari
sisa-sisa makanan. Saliva juga memiliki aksi bakteriostatik karena memiliki lisozim yang
merupakan agen bakteriostatik. Selain lisozim, juga terdapat antibodi, bakteriofag,
ammonia, dan faktor-faktor lainnya yang bertentangan dengan pertumbuhan bakteri.
Keseluruhan kandungan saliva tersebut akan menghalangi produksi asam dari bakteri dan
membatasi aktivitas karies. Kedua hal tersebut memungkinkan saliva untuk menjaga
kebersihan rongga mulut. Saliva memiliki peranan penting dalam mempertahankan
integritas dari enamel gigi dengan cara mengatur proses remineralisasi dan
demineralisasi. Faktor utama untuk mengontrol stabilitas enamel adalah pH saliva dan
hidroksiapatit sebagai konsentrasi aktif yang dapat membebaskan kalsium, fosfat, dan
fluor di dalam larutan.

3.1.2.4 Waktu
Kavitasi bisa berlangsung dari bulan hingga tahun yang berarti di dalam mulut
ada demineralisasi dan remineralisasi enamel yang berkesinambungan. Agar tercapai
keseimbangan harus ada waktu yang cukup antara kegiatan kariogenik dengan proses
remineralisasi. Peningkatan frekuensi makan akan memperlama periode reduksi pH dan
demineralisasi. Ketika demineralisasi menjadi terlalu sering, atau terjadi ketika saliva
berkurang, tingkat demineralisasi dan kehancuran gigi akan meningkat. Demineralisasi
yang terlalu sering dapat terjadi salah satunya adalah karena waktu makan yang tidak
tepat. Konsumsi makanan ringan di antara jam makan dan frekuensi makan dan minum
yang sering memiliki dampak terhadap insiden karies, dimana hal tersebut akan
mengakibatkan demineralisasi berlangsung secara terus menerus tanpa ada waktu untuk
remineralisasi.Weiss dan Trithart melaporkan bukti hubungan karies dan kebiasaan
makan di antara jam makan, pada kelompok anak usia pra sekolah ditemukan bahwa
kebanyakan makanan ringan di antara jam makan mengandung gula dalam jumlah besar
atau memiliki sifat melekat yang kuat. Anak yang tidak makan di antara jam makan
memiliki deft 3,3 sedangkan anak yang makan empat atau lebih makanan di antara jam
makan memiliki deft 9,8.

3.1.3 Faktor Predisposisi Karies


Selain keempat faktor di atas, terdapat juga faktor-faktor lain yang berpengaruh
terhadap pembentukan karies yang mungkin tidak sama pada semua orang. Faktor-faktor
resiko tersebut adalah:
a. Jenis Kelamin
Menurut profil kesehatan gigi dan mulut (1999), terlihat bahwa prevalensi
angka kejadian karies gigi menurut jenis kelamin didapatkan perempuan (91,67%),
sedangkan laki-laki (90,05%). Dapat dilihat kejadian karies gigi lebih banyak terjadi
pada perempuan. Namun, beberapa penelitian menyatakan jenis kelamin laki-laki
maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk menderita karies gigi,
namun karena erupsi gigi anak perempuan lebih cepat dibanding anak laki-laki
sehingga gigi anak perempuan berada lebih lama dalam mulut. Akibatnya gigi anak
perempuan akan lebih lama berhubungan dengan faktor risiko terjadinya karies. Hal
inilah yang menyebabkan jenis kelamin berhubungan dengan kejadian karies gigi.
b. Usia
Hasil studi menunjukkan bahwa lesi karies dimulai lebih sering pada umur yang
spesifik. Hal ini berlaku terutama sekali pada umur anak-anak namun juga pada orang
dewasa. Kelompok umur berisiko tersebut adalah:
a. Umur 1-2 tahun: studi oleh Kohler et all (1978,1982), bahwa pada ibu-ibu dengan
saliva yang mengandung banyak Streptococcus mutans sering menularkannya
kepada bayi mereka segera setelah gigi susunya tumbuh, hal ini menyebabkan
tingginya kerentanan terhadap karies.
b. Umur 5-7 tahun: studi oleh Carvalho et all (1989) menunjukkan bahwa pada masa
ini permukaan oklusal (kunyah) gigi molar pertama sedang berkembang, pada
masa ini gigi rentan karies sampai maturasi kedua (pematangan jaringan gigi)
selesai selama 2 tahun.
c. Umur 11-14 tahun: merupakan usia pertama kali dengan gigi permanen
keseluruhan. Pada masa ini gigi molar kedua rentan terhadap karies sampai
maturasi kedua selesai.
d. Umur 19-22 tahun: kelompok umur berisiko pada usia remaja. Pada masa ini gigi
molar ke tiga rentan karies sampai maturasi keduanya selesai. Di usia ini pula
biasanya orang-orang meninggalkan rumah untuk belajar atau bekerja di tempat
lain, yang selanjutnya dapat menyebabkan perubahan tidak hanya gaya hidup tapi
juga pada kebiasaan makan dan menjaga kebersihan mulut.
3. Kebiasaan Menyikat Gigi
Sebuah penelitian membandingkan insidens karies gigi selama 2 tahun pada
429 orang mahasiswa yang menyikat giginya dengan teratur setiap habis makan
dengan mahasiswa yng menyikat giginya pada waktu bangun tidur dan malam pada
waktu sebelum tidur, ternyata bahwa golongan mahasiswa yang menyikat giginya
secara teratur rata-rata 41% lebih sedikit kariesnya dibandingkan dengan golongan
lainnya.
4. Kebiasaan Makan
Anak dan makanan jajanan merupakan dua hal yang sulit untuk dipisahkan.
Anak memiliki kegemaran mengkonsumsi jenis jajanan secara berlebihan sehingga
beberapa bakteri penyebab karies di rongga mulut akan mulai memproduksi asam
yang menyebabkan terjadi demineralisasi yang berlangsung selama 20-30 menit
setelah makan. Di antara periode makan, saliva akan berkerja menetralisir asam dan
membantu proses remineralisasi. Namun, apabila makanan jajanan terlalu sering
dikonsumsi, maka enamel gigi tidak akan mempunyai kesempatan untuk melakukan
remineralisasi dengan sempurna sehingga terjadinya karies. Sehari-hari banyak
dijumpai anak yang selalu dikelilingi penjual makanan jajanan, baik yang ada di
rumah, di lingkungan tempat tinggal hingga di sekolah. Anak yang sering
mengkonsumsi jajanan yang mengandungi gula, seperti biskut, permen, es krim
memiliki skor karies yang lebih tinggi di bandingkan dengan anak yang mengonsumsi
jajanan nonkariogenik seperti buah-buahan.
5. Tingkat Sosial Ekonomi
Banyak penelitian menunjukkan bahwa prevalensi karies lebih tinggi pada
anak yang berasal dari status sosial ekonomi rendah. Hal ini dikarenakan anak dari
status ini makan lebih banyak makanan yang bersifat kariogenik, rendahnya
pengetahuan akan kesehatan gigi dan jarang melakukan kunjungan ke dokter gigi
sehingga banyak karies gigi yang tidak dirawat.

3.1.4 Pathogenesis Karies


Karies diawali dengan adanya proses fermentasi karbohidrat yang menghasilkan
pH mulut yang asam yang dilakukan oleh bakteri Streptococcus mutans dan spesies
Lactobacillus. Hasil asam ini antara lain laktat, asetat, format, dan propionate dimana
semua zat tersebut dapat menyebabkan larutnya mineral dari enamel dan dentin. Proses
ini disebut demineralisasi. Bakteri-bakteri tersebut dapat hidup dalam suasana asam.
Ketika asam yang dihasilkan oleh bakteri dalam plak pada permukaan gigi telah
tersedia, maka bakteri dapat masuk melalui pori-pori enamel atau dentin. Apabila proses
ini terjadi dalam waktu yang lama, maka akan menyebabkan terbentuknya kavitas. Proses
ini biasanya berlangsung berbulan-bulan atau bertahun-tahun.
Namun, ketika pH mulut dapat naik kembali, mineral yang hilang dapat kembali
lagi ke enamel. Proses ini disebut remineralisasi. Pada beberapa individu, lesi akan
berkembang secara perlahan-lahan dan lesi mungkin tidak terdeteksi secara klinis.
Sedangkan pada individu lainnya, lesi akan berkembang secara cepat dan dapat terlihat
sebagai white spot sebelum membentuk kavitas.

3.2 Pulpitis reversibel.

3.2.1 Definisi
Pulpitis reversibel merupakan inflamasi pulpa yang tidak parah. Jika penyebabnya
dihilangkan, inflamasi akan menghilang dan pulpa akan kembali normal. Stimulus ringan seperti
karies insipien, erosi servikal, atau atrisi oklusal, sebagian besar prosedur operatif, kuretase
periodontal yang dalam, dan fraktur email yang menyebabkan tubulus dentin terbuka adalah
faktor yang dapat mengakibatkan pulpitis reversibel.(Baum, Llioyd, 1997).
Pulpitis reversibel biasanya asimtomatik (idak menimbulkan gejala), akan tetapi jika ada
gejala biasanya timbul dari suatu pola tertentu. Aplikasi cairan dingin dan panas, dapat
menyebabkan nyeri tajam yang sementara. Jika stimulus ini dihilangkan, nyeri akan segera
hilang. (baum, Lliyod, 1997)
Stimulasi panas atau dingin menghasilkan respon nyei yang berbeda-beda pada pulpa
nomal. Jika panas diaplikasikan pada gigi yang pulpanya tidak terinflamasi, akan timbul respon
awal yang lama, intensitasnya akan semakin naik jika suhu dinaikkan. Sebaliknya, nyeri sesuai
respon terhadap aplikasi dingin pada pulpa nomal akan segera terjadi, intensitas nyeri cenderung
menuun jika stimulus dinginnya dipertahankan tetap (Baum, Llioyd, 1997). Berdasarkan
observasi-observasi ini, respon pulpa pada kedua keadaan, sehat atau sakit, tampaknya pulpitis
reversibel dapat berkisar dari hiperemia ke perubahan inflamasi ringan hingga sedang terbatas
pada daerah dimana tubuli dentin terlibat (Baum,Llioyd, 1997). Secara mikoskopis terlihat dentin
reparatif, gangguan lapisan odontoblas, pembesaran pemuluh darah, dan adanya sel inflamasi
kronis yang secara imunologis kompeten. Meskipun sel inflamasi kronis menonjol dapat dilihat
juga sel inflamasi akut. Pulpitis reversibel yang simtomatik, secara klinik ditandai dengan
gejala sensitif dan rasa sakit tajam yang hanya sebentar. Lebih sering diakibatkan oleh
rangsangan dingin daripada panas. Ada keluhan rasa saki bila kemasukkan makanan, terutama
makanan dan minuman dingin. Rasa sakit hilang apabila rangsangan dihilangkan. Rasa sakit
yang timbul tidak secara spontan (Baum, Llioyd,1997).
Cara praktis mendiagnosa pulpitis reversibel adalah : (Grossman, 1998)
Gejala Subyektif : Ditemukan lokasi nyeri lokal, rasa linu timbul bila ada rangsangan,
durasi nyeri sebentar.
Gejala obyektif : Kariesnya tidak dalam (hanya mengenai enamel, kadang-kadang
mencapai selapis tipis dentin), perkusi, tekanan tidak sakit.
Tes Vitalitas : Gigi masih vital
Terapi : Jika karies media dapat langsung dilakukan penumpatan, tetapi jika karies
profunda perlu pulp capping terlebih dahulu, apabila 1minggu kemudian tidak ada keluhan dapat
langsung dilakukan penumpatan. Perawatan terbaik unuk pulpitis reversibel adalah pencegahan.
Perawatan periodik unuk mencegah perkembangan karies, penumpatan awal bila karies meluas,
desentisasi leher gigi dimana terdapat resesi gingiva, penggunaan penis kavitas atau semen dasar
sebelum penumpatan dan perhatian pada preparasi kavitas dan pemolesan dianjurkan unuk
mencegah pulpitis lebih lanjut. Apabila dijumpai pulpitis revesibel, penghilangan jejas biasanya
sudah cukup. Perawatan saluran akar bukan merupakan indikasi untuk kasus pulpitis reversibel,
biasanya ditangani dengan membuang penyebanya kemudian diikuti dengan restorasi (Walton
dan Torabinejad, 1997).

3.3 Pulpitis Irreversibel

3.3.1 Definisi Pulpitis Irreversible


Pulpitis ireversibel merupakan perkembangan dari pulpitis reversibel. Pulpitis ireversibel
adalah suatu kondisi inflamasi pulpa yang persisten, dapat simtomatik atau asimtomatik yang
disebabkan oleh suatu stimulus noksius. Pulpitis akut menunjukkan rasa sakit yang biasanya
disebabkan oleh stimulus panas atau dingin, atau rasa sakit yang timbul secara spontan. Rasa
sakit bertahan untuk beberapa menit sampai berjam – jam, dan tetap ada setelah stimulus termal
dihilangkan.

3.3.2 Histopatologi Pulpitis irreversibel

Pulpitis ireversibel dapat disebabkan oleh stimulus berbahaya yang berlangsung lama
seperti misalnya karies. Bila karies menembus dentin dapat menyebabkan respon inflamasi
kronis. Bila karies tidak diambil, perubahan inflamasi di dalam pulpa akan meningkat
keparahannya jika kerusakan mendekati pulpa. Venula pasca kapiler menjadi padat dan
mempengaruhi sikulasi di dalam pulpa, serta menyebabkan perubahan patologik seperti nekrosis.
Daerah nekrotik ini menarik leukosit polimorfonuklear dengan kemotaksis dan memulai suatu
reaksi inflamasi akut. Terjadi fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear yang mempunyai masa
hidup yang pendek, mati dan melepaskan enzim lisosomal. Enzim lisosomal menyebakan lisin
beberapa stroma pulpa dan bersama – sama debris selular leukosit poli morfonulear yang mati,
membentuk suatu eksudat purulen.

Reaksi inflamasi ini menghasilkan mikroabses (pulpitis akut). Pulpa berusaha melindungi
diri, membatasi daerah mikroabses dengan jaringan penghubung fibrus. Secara mikroskopik,
terlihat daerah abses dan daerah nekrotik, dima

3.3.3 Etiologi Pulpitis Irreversibel

Sebab paling umum dari pulpitis ireversibel adalah keterlibatan bakterial pulpa melalui
karies, meskipun faktor klinis, kimiawi, termal, atau mekanis, yang telah disebut sebagai
penyebab penyakit pulpa. Kerusakan pulpa yang parah akibat pengambilan dentin yang luas
selama prosedur operatif, terganggunya aliran darah pada pulpa akibat trauma, dan pergerakan
gigi dalam perawatan ortodonsi juga dapat menyebabkan pulpitis ireversibel

3.3.4 Gejala – gejala Pulpitis Irreversibel


Secara klinis, pulpitis irreversibel dapat bersifat simtomatik dan asimtomatik. Pulpitis
ireversibel simtomatik merupakan salah satu jenis pulpitis irreversibel yang ditandai dengan rasa
nyeri spontan. Spontan berarti bahwa stimulus tidak jelas. Nyeri spontan terus menerus dapat
dipengaruhi dari perubahan posisi tubuh. Pulpitis ireversibel simtomatik yang tidak diobati dapat
bertahan atau mereda jika sirkulasi dibuat untuk eksudat inflamasi. Sedangkan pulpitis ireversibel
asimtomatik merupakan tipe lain dari pulpitis ireversible dimana eksudat inflamasi yang dengan
cepat dihilangkan. Pulpitis ireversibel asimtomatik yang berkembang biasanya disebabkan oleh
paparan karies yang besar atau oleh trauma sebelumnya yang mengakibatkan rasa sakit dalam
durasi yang lama.

Pada tingkat awal pulpitis ireversibel, suatu paroksisme (serangan hebat) rasa sakit dapat
disebabkan oleh hal – hal berikut : perubahan temperatur yang cepat, terutama dingin, makanan
manis atau asam, tekanan dari makanan yang masuk ke dalam kavitas atau pengisapan yang
dilakukan oleh lidah atau pipi, dan sikap berbaring yang menyebabkan kongesti pembuluh darah
pulpa. Rasa sakit biasanya berlanjut jika penyebab telah dihilangkan, dan dapat muncul dan
hilang secara spontan tanpa penyebab yang jelas. Pasien menggambarkan rasa sakit yang
menusuk, tajam, menyentak, dan umumnya parah. Rasa sakit dapat sebentar atau terus – menerus
tergantung pada tingkat keterlibatan pulpa dan tergantung ada tidaknya stimulus eksternal.
Pasien mungkin juga mengatakan bahwa membungkuk atau tiduran, yaitu mengubah posisi yang
menyebabkan perubahan tekanan intra pulpa. Pasien juga mempunyai rasa sakit yang menyebar
ke gigi di dekatnya, ke pelipis atau ke telinga apabila gigi bawah belakang yang terkena

Pada tingkat akhir, rasa sakit makin parah dan biasanya digambarkan sebagai rasa yang
tajam menusuk, berdenyut, atau seperti gigi dalam tekanan konstan. Secara makroskopis pulpa
tidak perlu terbuka, tetapi pada umumnya terdapat pembukaan sedikit, atau tertutup oleh suatu
lapisan karies lunak. Bila tidak ada jalan keluar, baik karena tertutup tumpatan atau masuknya
makanan dalam dentin yang terbuka rasa sakit bisa sangat hebat. Pasien sering tidak dapat tidur
karena rasa sakit yang tidak dapat tertahankan meskipun sudah diberi analgesik. Rasa sakit
meningkat oleh panas dan kadang mereda oleh dingin, meskipun dingin yang terus-menerus
dapat meningkatkan rasa sakit. Setelah pembukaan dan drainase pulpa, rasa sakit dapat menjadi
ringan, atau hilang sama sekali, tetapi dapat sakit kembali bila makanan masuk ke dalam kavitas
atau masuk di bawah tumpatan yang bocor, tetapi tidak sehebat sebelunmnya karena degenerasi
serabut saraf superfisial. Tidak terdapat periodontitits apikal kecuali tingkat akhir bila
inflamasi/infeksi meluas ke ligamen periodontal.

3.4 Nekrosis Pulpa


Karies merupakan salah satu penyakit tertua yang telah ada sejak 14.000 tahun yang lalu.
sesuai dengan hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 2004 yang dilakukan oleh
Departemen Kesehatan menyebut prevalensi karies gigi di Indonesia adalah 90,05 persen. Karies
yang berlanjut lambat laun akan mencapai bagian pulpa dan mengakibatkan peradangan pada
pulpa. Walton mengklasifikasikan keradangan pada pulpa terdiri dari pulpitis reversibel, pulpitis
irreversibel, degeneratif pulpa dan nekrosis pulpa.

Salah satu fungsi utama jaringan pulpa adalah formatif yang diperankan oleh odontoblas
untuk membentuk dentin primer, sekunder maupun dentin reparatif. Dentin primer terbentuk di
saat gigi dalam pertumbuhan, dentin sekunder terbentuk setelah gigi erupsi, sedangkan dentin
tersier atau reparatif dibentuk sebagai repons terhadap rangsangan.

Jaringan pulpa mudah merespon dengan adanya rangsangan, baik rangsangan fisis, kimia
maupun bakteri. Jaringan pulpa membentuk dentin reparatif sebagai respon, selain itu juga
menimbulkan rasa nyeri yang merupakan sinyal sebagai tanda bahwa jaringan pulpa dalam
keadaan terancam. Oleh karena adanya hubungan timbal balik antara jaringan pulpa dan
periapikal, maka jaringan pulpa yang mengalami keradangan dan tidak dirawat atau
perawatannya kurang baik maka penyakit pulpa dapat menjalar  ke daerah periapikal.

Terlepas dari konfigurasi anatomisnya dan beragam iritan, pulpa bereaksi terhadap iritan
ini sebagaimana reaksi jaringan ikat uang lain. Cidera pulpa mengakibatkan kematian sel dan
menyebabkan inflamasi. Derajat inflamasinya proporsional dengan intensitas dan keparahan
kerusakan jaringannya. Cidera ringan, misalnya karies insipient atau preparasi kavitas yang
dangkal, hanya menimbulkan inflamasi sedikit saja atau bahkan tidak sama sekali. Sebaliknya,
karies dalam, prosedur operatif yang luas atau iritasi yang terus-menerus pada umumnya akan
menimbulkan kelainan inflamasi yang lebih parah. Bergantung pada keparan dan durasi
gangguan dan kemampuan pejamu untuk menangkalnya,respons pulpa berkisar antra inflamasi
sementara (pulpitis reversible) sampai pada pulpitis yang ireversibel, dan kemudian menjadi
nekrosis total.

3.4.1 Sebab – Sebab Penyakit Pulpa


Penyebab penyakit pulpa secara umum yaitu fisis, kimiawi dan bacterial.
3.4.1.1 Sebab-sebab fisis
a. Injuri mekanis
            Injuri ini biasanya disebabkan oleh trauma atau pemakaian patologi igi. Injuri
traumatic data disertai atau tidak disertai oleh fraktur mahkota atau akar. Trauma tidak
begitu sering menyebabkan injuri pulpa pada orang deasa disbanding pada anak-anak.
Injuri traumatic pulpa mungkin disebabkan pukulan keras pada gigi waktu perkelahian,
olahraga, kecelakaan mobil, kecelakaan rumah tangga. Kebiasaan seperti membuka jepit
rambut dengn gigi, bruxisme / kerot kompulsif, menggigit kuku dan menggigit benang
oleh penjahit wanita mungkin juga mengakibatkan injuri pulpa yang dapat
mengakibatkan matinya pulpa. 
b. Injuri Termal
        Sebab-sebab termal injuri pulpa adalah hal yang tidak biasa. Panas karena preparasi
kavitas, penyebab utama adalah panas yang ditimbulkan oleh bur atau diamond pada
waktu preparasi kavitas. Mesin bur berkecepatn tinggi dan bur karbit dapat mengurangi
waktu preparasi, tetapi dapat juga mempercepat matinya pulpa bila digunakan tanpa
pendingin. Panas yang dihasilkan cukup menyebabka kerusakan pulpa yang tidak dapat
diperbaiki lagi.
3.4.1.2 Bahan Kimiawi
Bahan kimiawi sebagai penyebab injuri pulpa mungkin adalah yang paling tidak
biasa,walaupun pada suatu waktu adanya aresnik di dalam serbuk semen-silikat dan
penggunaan pasta untuk menghilangkan sensasi(desensitizing paste) yang mengandung
paraformaldehida dicatat sebagai penyebab matinyapulpa pada gigi insisivus yang paling
sering. Pulpa tahan terhadap semen polikarboksilat. Aplikasi suatu pembersih kavitas
pada lapisan dentin yang tipis dapat menyebabkan inflamasi pulpa.
3. 4. 1. 3      Bacterial
Pada tahun 1984, W.D. Miller menunjukkan bahwa bakteri merupakan kemungkinan
penyebab inflamasi di dalam pulpa. Penyebab paling umum injuri pulpa daalah bkterial.
Bakteri atau produk-produknya mungkin masuk ke dalam pulpa melalui keretakan pada
dentin, baik dari karies ataau terbukanya pulpa elah karena kecelakaaan, daari perlokasi
disekeliling suatu restorasi, dari perluasan infeksi dari gusi/melalui peredaraan darah.
Meskipun jalan peredaraan sukar untuk dibuktikan, beberapa fakta eksperimental
menunjukkan bahwa hal ini dimungkinkan(efek anakoretik). Mikroorganisme berperan
penting dalam genesis penyakit pulpa. Ada atau tidak adnya iritasi bakteraial adalah
faktor penentu dalam kelangsungan hidup pulpa begitu pulpa terbuka secara mekanis.
Meskipun terdapat inspaksi makanan, pembentukan jembatan dentin terjadi pada tikus
genotobiotik (suci hama)  setelah terbukanya pulpa. Sebaliknya, nekrosis pulpa,
pembentukan abses, dan granuloma berkembang pada pulpa tikus yang terbuka yang
dijaga dalam kondisi labiratori biasa. 

Sekali bakteri mengadakan invasi dalam pulpa, kerusakan hampir selalu tidak
dapat diobati. Laporan dari studi kecil tentang pulpitis dengan rasa sakit menyatakan :
‘pulpitis dan  terbukanya pulpa yang sebenarnya, apakah berhubungan dengan karies
dalam, restorsi dalam, atau penyebab lain berjalan berdampingan. Tidak ada korelasi
antara keparahan rasa sakit dan tingkat keterlibatan  pulpa.

3.4.2 Macam-Macam Nekrosis Pulpa


Nekrosis pulpa merupakan kematian pulpa yang merupakan proses lanjutan dari inflamasi
pulpa akut/kronik atau terhentinya sirkulasi darah secara tiba-tiba akibat trauma. Nekrosis pulpa
dapat terjadi parsialis ataupun totalis3. Ada 2 tipe nekrosis pulpa, yaitu: 
a. Tipe Koagulasi
Pada tipe ini ada bagian jaringan yang larut, mengendap dan berubah menjadi bahan yang
padat.
b. Tipe Liquefaction
Pada tipe ini, enzim proteolitik merubah jaringan pulpa menjadi suatu bahan yang lunak
atau cair3. Pada setiap proses kematian pulpa selalu terbentuk hasil akhir berupa H2S, amoniak,
bahan-bahan yang bersifat lemak, indikan, protamain, air dan CO2. Diantaranya juga dihasilkan
indol, skatol, putresin dan kadaverin yang menyebabkan bau busuk pada peristiwa kematian
pulpa. Bila pada peristiwa nekrosis juga ikut masuk kuman-kuman yang saprofit anaerob, maka
kematian pulpa ini disebut gangren pulpa.

3.4.3 Etiologi Nekrosis Pulpa


Nekrosis atau kematian pulpa memiliki penyebab yang bervariasi, pada umumnya
disebabkan keadaan radang pulpitis yang ireversibel tanpa penanganan atau dapat terjadi secara
tiba-tiba akibat luka trauma yang mengganggu suplai aliran darah ke pulpa. Meskipun bagian
sisa nekrosis dari pulpa dicairkan atau dikoagulasikan, pulpa tetap mengalami kematian. Dalam
beberapa jam pulpa yang mengalami inflamasi dapat berdegenerasi menjadi kondisi nekrosis.
Penyebab nekrosi lainnya adalah bakteri, trauma, iritasi dari bahan restorasi silikat,
ataupun akrilik. Nekrosis pulpa juga dapat terjadi pada aplikasi bahan-bahan devitalisasi seperti
arsen dan paraformaldehid. Nekrosis pulpa dapat terjadi secara cepat (dalam beberapa minggu)
atau beberapa bulan sampai menahun. Kondisi atrisi dan karies yang tidak ditangani juga dapat
menyebabkan nekrosis pulpa. Nekrosis pulpa lebih sering terjadi pada kondisi fase kronis
dibanding fase akut.

3.4.4 Patofisiologi Nekrosis Pulpa


Jaringan pulpa yang kaya akan vaskuler, syaraf dan sel odontoblast; memiliki
kemampuan untuk melakukan defensive reaction yaitu kemampuan untuk mengadakan
pemulihan jika terjadi peradangan. Akan tetapi apabila terjadi inflamasi kronis pada jaringan
pulpa atau merupakan proses lanjut dari radang jaringan pulpa maka akan menyebabkan
kematian pulpa/nekrosis pulpa. Hal ini sebagai akibat kegagalan jaringan pulpa dalam
mengusahakan pemulihan atau penyembuhan. Semakin luas kerusakan jaringan pulpa yang
meradang semakin berat sisa jaringan pulpa yang sehat untuk mempertahankan vitalitasnya.
Nekrosis pulpa pada dasarnya terjadi diawali karena adanya infeksi bakteria pada
jaringan pulpa. Ini bisa terjadi akibat adanya kontak antara jaringan pulpa dengan lingkungan
oral akibat terbentuknya dentinal tubules dan direct pulpal exposure, hal ini memudahkan
infeksi bacteria ke jaringan pulpa yang menyebabkan radang pada jaringan pulpa. Apabila tidak
dilakukan penanganan, maka inflamasi pada pulpa akan bertambah parah dan dapat terjadi
perubahan sirkulasi darah di dalam pulpa yang pada akhirnya menyebabkan nekrosis pulpa.
Dentinal tubules dapat terbentuk sebagai hasil dari operative atau restorative procedure yang
kurang baik atau akibat restorative material yang bersifat iritatif. Bisa juga diakibatkan karena
fraktur pada enamel, fraktur dentin, proses erosi, atrisi dan abrasi. Dari dentinal tubules inilah
infeksi bakteria dapat mencapai jaringan pulpa dan menyebabkan peradangan. Sedangkan direct
pulpal exposure bisa disebabkan karena proses trauma, operative procedure dan yang paling
umum adalah karena adanya karies. Hal ini mengakibatkan bakteria menginfeksi jaringan pulpa
dan terjadi peradangan jaringan pulpa.
Nekrosis pulpa yang disebabkan adanya trauma pada gigi dapat menyebabkan nekrosis
pulpa dalam waktu yang segera yaitu beberapa minggu. Pada dasarnya prosesnya sama yaitu
terjadi perubahan sirkulasi darah di dalam pulpa yang pada akhirnya menyebabkan nekrosis
pulpa. Trauma pada gigi dapat menyebabkan obstruksi pembuluh darah utama pada apek dan
selanjutnya mengakibatkan terjadinya dilatasi pembuluh darah kapiler pada pulpa. Dilatasi
kapiler pulpa ini diikuti dengan degenerasi kapiler dan terjadi edema pulpa. Karena kekurangan
sirkulasi kolateral pada pulpa, maka dapat terjadi ischemia infark sebagian atau total pada pulpa
dan menyebabkan respon pulpa terhadap inflamasi rendah. Hal ini memungkinkan bakteri untuk
penetrasi sampai ke pembuluh dara kecil pada apeks. Semua proses tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya nekrosis pulpa.

3.4.5 Manifestasi Klinis Dan Diagnosis Nekrosis Pulpa


Nekrosis pulpa dapat terjadi parsial atau total. Tipe parsial dapat memperlihatkan gejala
pulpitis yang ireversibel. Nekrosis total, sebelum mengenai ligamentum periodontal biasanya
tidak menunjukkan gejala. Tidak merespon terhadap tes suhu atau elektrik. Kadang-kadang
bagian depan mahkota gigi akan menghitam. Tampilan radiografik pada destruksi tulang ataupun
pada bagian yang mengalkami fraktur merupakan indikator terbaik dari nekrosis pulpa dan
mungkin membutuhkan beberapa bulan untuk perkembangan. Kurangnya respon terhadap test
suhu dan elektrik tanpa bukti radiografik adanya destruksi tulang terhadap bagian fraktur tidak
menjamin harusnya terapi odontotik.
Nekrosis pulpa pada akar gigi menunjukkan terjadi dari 20%-40%. kejadian dari
nekrosis pulpa terlihat tidak berhubungan dengan lokasi terjadinya fraktur akar gigi pada apikal,
tengah ataupun bidang insisial tetapi lebih berhubungan dengan kavitas oral taupun beberapa
dislokasi segmen insisial. Jika ada bukti pada portiokoronal pulpa, ini secara umum dipercaya
bahwa segmen apikal akan tetap berfungsi. Perawatan edontotik adapun biasanya dilakukan pada
segmen koronal pada kanal akar gigi.
Kemampuan diagnostik dokter benar-benar diuji ketika terdapat beberapa kanal pada
gigi. Misalnya gigi molar yang memiliki 3 kanal, dengan kanal pertama tetap intak dan sehat,
kanal kedua mengalami inflamasi akut, dan kanal ketiga mengalami nekrosis. Lingkungan pulpa
memiliki keunikan dibandingkan dengan jaringan lunak tubuh lainnya. Karena pulpa memiliki
lingkungan “non compliant” yang menyebabkan produk inflamasi lebih lambat dihilangkan
dibandingkan jaringan lunak tubuh yang lain. Keadaan ini menyebabkan terjadinya destruksi
lokal dalam jaringan pulpa. Anamnesis pada nekrosis pulpa berupa tidak ada gejala rasa sakit,
keluhan sakit terjadi bila terdapat keradangan periapikal. Pemeriksaan perkusi tidak didapatkan
nyeri dan pada palpasi juga tidak terdapat pembengkakan serta mobilitas gigi normal. Foto
rontgen gigi biasanya normal kecuali bila terdapat kelainan periapikal terjadi perubahan berupa
radiolusen.

3.5 Restorasi Rigid


Restorasi Rigid yaitu restorasi yang di buat di luar mulut dari bahan yang rigid atau kaku
dan di semen pada preparasi kavitas gigi dengan bahan perantara golongan semen. Restorasi
rigid dapat di bagi  menjadi restorasi ekstrakoronal, intrakoronal dan interadikuler. (Fatmawati,
2011)
3.5.1 Restorasi Ekstrakoronal 
Salah satu contoh restorasi ekstrakoronal yaitu mahkota penuh atau complete crown.
Complete crown merupakan restorasi yang menutupi seluruh permukaan mahkota klinis dari
suatu gigi asli. Terdapat berbagai jenis complete crown, diantaranya:
3.5.1.1    All metal crown
Mahkota ini sering disebut dengan mahkota tuang penuh atau full cast crown. Merupakan
suatu restorasi yang menyelubungi permukaan gigi dari logam campur yang dituang.Indikasinya
yaitu untuk gigi molar dan premolar rahang atas dan bawah, penderita dengan oklusi dan
artikulasi yang berat, tekanan kunyah besar, tidak memerlukan estetik, gigi dengan karies
cervikal, dekalsifikasi, dan enamel hipoplasi.Kontraindikasinya yaitusisa mahkota gigi tidak
cukup terutama pada gigi dengan pulpa vital, memerlukan estetik pasien dengan OH buruk
sehingga restorasi mudah tarnish, gusi sensitif terhadap logam. (Fatmawati, 2011)

                 Gambar 1. Mahkota emas tuang penuh (Fatmawati, 2011)


3.5.1.2 All ceramic crown (mahkota porselen) 
Teknologi porselen gigi merupakan bidang ilmu paling cepat perkembangannya dalam
bahan kedokteran gigi. Porselen gigi umumnya digunakan untuk memulihkan gigi yang rusak
ataupun patah dikarenakan faktor estetiknya yang sangat baik, resistensi pemakaian, perubahan
kimiawi yang lambat, dan konduktifitas panas yang rendah. Terlebih lagi, porselen mempunyai
kecocokan yang cukup baik dengan karakteristik struktur gigi.6  Komposisi porselen gigi
konvensional adalah keramik vitreus (seperti kaca) yang berbasis pada anyaman silica (SiO2)
dan feldspar potas (K2O.Al2O3.6SiO2) atau feldspar soda (Na2O.Al2O3.6SiO2) atau keduanya.
Pigmen, bahan opak dan kaca ditambahkan untuk mengontrol temperatur penggabungan,
temperatur sintering, koefisien ekspansi thermal, dan kelarutan. Feldspar yang digunakan untuk
porselen gigi relatif murni dan tidak berwarna. Jadi harus ditambahkan pigmen untuk
mendapatkan corak dari gigi-gigi asli atau warna dari bahan restorasi sewarna gigi yang sesuai
dengan gigi-gigi tetangganya. Mahkota porselen mempunyai nilai estetik tinggi, tidak mengalami
korosi, tingkat kepuasan pasien tinggi, namun biayanyamahal dan kekuatan rendah dibandingkan
dengan mahkota metal-porselen. Indikasinya membutuhkan estetik tinggi, Tooth
discoloration,malposisi, gigi yang telah dirawat endodonsi dengan pasak dan
inti.Kontraindikasinya yaituindeks karies tinggi, distribusi beban di oklusal tidak baik, dan
bruxism. (Fatmawati, 2011)
Gambar 2.  All ceramics crown/ Mahkota porselen  (Fatmawati, 2011)

3.5.1.3  Porcelain fused to metal 


Pemilihan restorasi porselen fused to metal sebagai restorasi akhir pasca perawatan
saluran akar karena mampu memberikan keuntungan ganda, yaitu dari segi kekuatan dan dari
segi estetik. Lapisan logam sebagai substruktur mahkota jaket porselen fused to metal akan
mendukung lapisan porselen di atasnya sehingga mengurangi sifat getas (brittle) dari bahan
porselen, memiliki kerapatan tepi dan daya tahan yang baik. Sementara lapisan porselen akan
memberikan penampilan yang estetik. Gigi pasca perawatan saluran akar yang direstorasi dengan
mahkota porselen fused to metal tingkat keberhasilan perawatannya tinggi. (Fatmawati, 2011)

  
   Gambar 3. Lapisan  metal pada mahkota  porcelain fused to metal

3.5.2 Restorasi Intrakoronal


3.5.2.1    Inlay dan Onlay Logam
Inlay merupakan restorasi intrakoronal bila kerusakan mengenai sebagian cuspatau
tambalan yang berada di antara cusp, sehingga ukurannya biasanya tidak begitu luas. Onlay
merupakan restorasi intrakoronal bila kerusakan mengenai lebih dari 1 cusp atau lebih dari 2/3
dataran oklusalkarena sisa jaringan gigi yang tersisa sudah lemah. (Fatmawati, 2011)
                     

Gambar 4. Perbedaan Inlay dan Onlay (Fatmawati, 2011)

Gambar 5. Preparasi Inlay (Fatmawati, 2011)

                                                  Gambar 6. Preparasi Onlay (Fatmawati, 2011)

3.5.2.2     Inlay dan Onlay Porselen  


Restorasi inlay dan onlay porselen menjadi populer untuk restorasi gigi posterior dan
memberikan penampilan estestik yang lebih alamiah dibandingkan dengan inlay dan onlay
logam tuang dan lebih tahan abrasi dibandingkan dengan resin komposit. Porselen tidak sekuat
logam tuang tetapi jika sudah berikatan dengan permukaan email akan menguat pada gigi dengan
cara yang sama seperti pada restorasi resin berlapis komposit atau semen ionomer-resin
komposit. (Fatmawati, 2011)

                                                   Gambar 7. Inlay porselen (Fatmawati, 2011)

Gambar 8. Inlay Composite (Fatmawati, 2011)


 Gambar 9.  Gambaran oklusal preoperative dari komposit yang rusak
dengan karies sekunder pada molar satu kiri atas (a), Preparasi selesai (b),
Iinlay resin komposit dengan fiber yang telah selesai dibuat (c) 

Gambar 10. Mahkota ¾

3.5.2.3     Inlay dan Onlay Komposit (indirect)  


Restorasi dengan resin komposit dapat dilakukan secara indirect (tidak langsung), yaitu
berupa inlay dan onlay. Bahan resin komposit untuk tambalan inlay lebih sering digunakan
daripada pemakaian bahan keramik, sebab kekerasan bahan keramik menyebabkan kesulitan
apabila diperlukan penyesuaian oklusal atau kontur, mudah pecah saat pemasangan percobaan
sehingga menyulitkan operator. Sedangkan resin komposit dapat dipoles kembali dengan mudah
dan efektif, lebih murah serta restorasi yang berlebihan pada daerah gingival dapat dibuang
hanya dengan menggunakan hand instrument.Indikasinya:menggantikan tambalan lama
(amalgam) dan atau yang rusak dengan memperhatikan nilai estetik terutama pada restorasi gigi
posterior, memperbaiki restorasi yang tidak sempurna atau kurang baik, serta fraktur yang terlalu
besar dan apabila pembuatan mahkota bukan merupakan indikasi. Keuntungan restorasi secara
indirect resin komposit dibanding restorasi secara direct adalah dapat dihindarinya konstraksi
akibat polimerisasi bahan komposit, sehingga kebocoran tepi dapat dihindari. Kontak pada
bagian proksimal dapat dibuat rapat dan pembentukan kontur anatomis lebih mudah.Sedangkan
kekurangan restorasi secara indirect resin komposit adalah adanya ketergantungan restorasi pada
semen perekat (lutting cement). Isolasi yang kurang baik serta polimerisasi yang kurang
sempurna dari semen akan berakibat negatif terhadap restorasi tersebut. (Fatmawati, 2011)

3.5.2.4    Indirect Komposit Inlay dengan Fibers 


Untuk gigi dengan restorasi yang besar denngan sedikit enamel tersisa, fibers dapat
digunakan sebagai bahan dasar pada veneer komposit. Pertimbangan paling penting untuk
mencapai daya tahan klinis yang lama pada resin inlay yang dibuat melalui tahap laboratosis
adalah penguatan gigi. Untuk menguatkan resin komposit, penambahan fibers digabungkan ke
dalam matriks resin, selama pembuatan dan sebelum proses curing. (Fatmawati, 2011)

3.5.2.5 Mahkota ¾
Disebut mahkota tiga per empat oleh karena dari 4 permukaan gigi, hanya 3 permukaan
yang ditutup oleh mahkota.Bagian yang tidak tertutup oleh mahkota adalah bagian labial atau
bukal.Mahkota sebagian terutama dipakai sebagai retainer jembatan.Preparasinya memerlukan
pembuangan jaringan gigi yang jauh lebih sedikit dibandingkan untuk mahkota penuh.Mahkota
tiga per empat dapat merupakan retainer yang baik pada gigi jika: 
1. Bagian labial atau bukal dalam keadaan baik, histologis, anatomis, maupun estetis.
2. Cukup tebal untuk membuat parit– parit proksimal untuk memberi retensi. 
3. Mempunyai mahkota klinis yang cukup panjang, dan besar.  
4. Mempunyai kedudukan normal (tidak malposisi).  
5. Gigi-gigi yang cocok untuk dibuat mahkota tiga per empat adalah incisivus sentral, premolar
rahang atas, caninus dan premolar kedua rahang bawah. Pada gigi ini terdapat permukaan
proksimal yang cukup lebar untuk dibuat parit sebagai  retensi.
6. Sebagai retainer untuk short span bridge.
   (Fatmawati, 2011)

3.5.3 Restorasi Intradikuler


3.5.3.1    Mahkota Pasak
Kerusakan mahkota gigi asli pada gigi posterior maupun anterior yang cukup parah
akan menimbulkan masalah retensi, permasalahan ini dapat ditanggulangi dengan menggunakan
pasak. Pada kebanyakan kasus gigi sudah dirawat saluran akar, khususnya pada gigi-gigi dengan
saluran akar tunggal yang lurus. Keadaan ini sebaiknya harus diantisipasi terlebih dahulu
sebelum melakukan pengisian saluran akar, sehingga dapat digunakan teknik pengisian yang
memungkinkan untuk membantu retesi.Pasak adalah suatu prosedur untuk membangun kembali
suatu gigi yang bertujuan menyediakan dukungan yang sesuai untuk suatu mahkota. Pasak
seperti jangkar untuk menempatkan mahkota.Pasak ditempatkan di dalam akar gigi yang telah
dilakukan perawatan saluran akar.Terdiri dari poros dan post/tonggak yang disementasi pada
saluran akar. Bagian yang lain berupa jacket crown atau veneer crown atau cast gold
crown.Indikasinya:gigi pasca perawatan endodontia,memperbaiki inklinasi gigi.
Kontraindikasinya: jaringan yang mendukung gigi tidak cukup, OH buruk, dinding saluran akar
tipis, resorpsi procesus alveolaris lebih dari 1/3.Pasak juga bisa dilakukan pada gigi posterior.
(Fatmawati, 2011)

3.5.3.2 Mahkota pasak fiber reinforced composite.  


Pemilihan jenis pasak yang digunakan penting untuk mendapatkan retensi yang
maksimal  dengan menghilangkan seminimal mungkin struktur jaringan gigi. Akhir-akhir ini,
jenis pasak  yang digunakan untuk retensi gigi yang telah dirawat saluran akar telah mengalami
perubahan dari  bahan yang kaku (pasak metal dan zirconium) menjadi bahan yang memiliki
karakteristik mekanis  menyerupai dentin (pasak fiber dan resin komposit), karena kegagalan
restorasi dengan retensi  intraradikuler dapat terjadi karena fraktur pasak, kehilangan retensi dan
fraktur mahkota serta akar, sehingga gigi akhirnya harus diekstraksi. Pasak metal digunakan
untuk menahan inti, menggantikan  struktur gigi yang hilang dan ditutup dengan mahkota penuh,
tanpa memperhatikan estetik. Sejalan  dengan meningkatnya segi estetik, restorasi pasak dan inti
sewarna gigi menjadi pilihan  untuk restorasi gigi non vital. Pasak fiber dapat dilekatkan pada
dentin saluran akar dengan  menggunakan semen resin. Pasak fiber terbuat dari seratserat karbon,
kuarsa, silica,zirkonia atau  kaca dalam satu matriks epoksi resin. Secara kimia, pasak fiber
sesuai dengan bahan dasar resin yang digunakan untuk sementasi yaitu BisGMA. Pasak ini
terbuat dari serat berdiameter 7-10 mikrometer  dan dikelilingi oleh matriks resin polimer yang
umumnya berupa resin epoksi. Bahan inti dan semen  resin dapat berikatan dengan pasak jenis
ini. Scanning electron microscope (SEM) menunjukkan  pembentukan lapisan resin tagshybrid.
Bonding yang baik akan meminimalkan efek ungkitan di  dalam saluran akar sehingga dapat
digunakan pasak dengan ukuran lebih pendek dan diameter lebih  kecil. Pasak fiber, semen resin,
bahan inti resin komposit, dan dentin memiliki modulus elastisitas yang hampir sama, sehingga
meningkatkan keberhasilan restorasi, dibandingkan dengan pasak dan  inti metal. Pasak fiber
memiliki modulus elastisitas yang hampir sama dengan dentin, yaitu 20 Gpa  (modulus elastisitas
dentin = 18 GPa, pasak metal prefabricated = 200 GPa dan pasak keramik=150  GPa), sehingga
pasak fiber lebih lentur daripada pasak metal, mempunyai sifat biokompatibel  terhadap dentin
dan tahan terhadap korosi, serta mudah diambil dari saluran akar bila terjadi  kegagalan dalam
perawatan saluran akar. Keuntungan pasak fiber adalah dapat diindikasikan untuk  saluran akar
yang lebar, dinding saluran akar yang tipis misalnya pada akar yang belum terbentuk
sempurna.selain itu, pasak fiber juga memiliki keuntungan dari segi estetik, karena pasak ini
memiliki warna sesuai dengan warna gigi, sehingga tidak menimbulkan bayangan warna keabu-
abuan pada gigi yang telah direstorasi. Hal ini tidak hanya berperan pada gigi anterior tetapi juga
pada gigi posterior.Preparasi saluran akar pasak dilakukan hingga kira-kira tersisa 4,5 mm gutta
percha pada bagian apical, lalu pasak fiber disementasi dengan menggunakan semen resin
Setelah itu  kavitas ditutup dengan tumpatan resin kompositt hingga penuh dan kelebihan pasak
fiber dipotong  sebatas permukaan oklusal. (Fatmawati, 2011)

3.5.4    Kelebihan dan Kekurangan Bahan Restorasi Rigid


3.5.4.1 Kelebihan Bahan Restorasi Rigid
1.   Logam (Alloy)         
-  Lebih kuat daripada bahan lain meskipun dengan ketebalan yang sangat tipis
-  Ketahanan terhadap abrasi bagus, paling sedikit sama kuatnya dengan email dalammenahan
abrasi.
-  Paling mahal dibading tambalan lainnya ( alloy emas )
-  Tidak sewarna gigi.
-  Dapat menyebabkan reaksi alergi, tetapi jarang.

2.   Resin Komposit
-  Memiliki derajat translusensi yang tinggi sehingga meninjang segi estetik restorasi. Jenis
komposit yang memiliki translusensi paling tinggi dari semua jenis resin komposit adalah
nanokomposit.
-  Tidak abrasif untuk struktur gigi yang berlawanan.
-  Tahan terhadap pewarnaan restorasi oleh makanan (discolorisation) terutama jenis resin
komposit dengan menggunakan technologi nano, oleh karena partikel pengisinya berukuran
sangat kecil (nanometer) sehingga bahan restorasi nanokomposit memiliki ketahanan terhadap
diskolorisasi yang sangat baik.
-  Pengurangan struktur gigi secara konservatif (pengurangan struktur gigi minimal).
-  Memiliki estetik yang baik.
-  Mudah dipolish, sehingga akan menghasilkan permukaan restorasi yang halus dan mengkilap.
-  Menghasilkan derajat polimerisasi yang lebih tinggi.
-  Ekonomis (bila dibandingkan dengan mahkota dan restorasi gigi secara tidak langsung).
-  Keuntungan bonding.
-  Microleakage berkurang.
-  Mengurangi terjadinya karies sekunder.
-  Mengurangi sensitifitas post operative.
-  Meningkatkan retensi.
-  Meningkatkan kekuatan struktur gigi yang tersisa.

3.   Porselen
-  Memiliki estetik yang baik, warnanya dapat disesuaikan dengan warna gigi.
-  Daya kondensasinya rendah dan toleransi dari jaringan lunak sangat baik
-  Permukaannya licin seperti kaca, sehingga mencegah perlekatan debris/plak.

4.   Porselen fused to Metal


-  Porselen fused to metal lebih tahan terhadap beban kunyah yang besar, karena terdiri dari dua
lapi, lapisan logam dan porselen.
-  Estetik baik, karena ada porselen di lapisan paling koronal
- Lebih murah dibandingkan full porselen.
3.5.4.2  Kekurangan Bahan Restorasi Rigid
1.     Logam
-  Paling mahal dibading tambalan lainnya ( alloy emas )
-  Tidak sewarna gigi.
-  Dapat menyebabkan reaksi alergi, tetapi jarang.

2.     Resin Komposit
-  Kontur proksimal inadekuat dan open kontak.
-  Kemungkinan besar penggunaannya terlokalisir.
-  Adanya efek pengerutan polimerisasi (shrinkage polymerisation).
-  Tidak diketahuinya biokompatibilitas dari beberapa komponen.
-  Membutuhkan waktu lebih untuk restorasi.
-  Elastisitas rendah.
-  Dapat terjadi fraktur pada marginal ridge.
-  Adanya beberapa teknik yang sensitive, seperti: etching, priming, penempatan bahan adhesive.
3.     Porselen
-  Mudah pecah jika diberi tekanan yang berlebihan
-  Pembuatannya yang cukup sulit
-  Kurang kuat jika dibandingkan dengan restorasi metal porselen
-  Dapat mneyebabkan gigi antagonisnya mengalami aus jika restorasinya kurang baik. Terdapat
undercut dan over hanging.
-  Hargannya yang lebih mahal jika dibandingkan dengan restorasimetal porselen.
-  Sulit memadupadankan warna yang sesuai dengan warna gigi asli pasien
sehinggamembutuhkan keahlian khusus dan pengalaman dari operator sendiri.
4.     Porselen fused to Metal
-  Karena perbedaan bahan antara logam dan porselen, sehingga koefisien bahan tersebut juga
berbeda. Perbedaan koefisien itu mengakibatkan porselen dan metal terpisah atau lepas, sehingga
perlu ketelitian dan keterampilan yang tinggi dari operator untuk membuatnya.
-  Lebih banyak jaringan gigi yang harus dihilangkan (lebih banyak dibandingkan porselen) untuk
substruktur metal. 
-  Harga lebih mahal karena setidaknya membutuhkan dua kali kunjungan dan juga
bilamenggunakan alloy metal yang mahal.
-  Teknis lab yang lebih sulit. Prosedur teknis dari pola wax investing dan casting alloymetal yang
mahal meliputi banyak variabel teknis dan pertimbangan banyaknyalangkah operatif dan
siklus firing, membuat kualitas akhir dari restorasi yang sangat sensitif.
-  Dari sudut pandang estetik, PFM tidak menyerupai aspek natural dari gigi, karena intimetal
yang menghalangi cahaya untuk masuk. Tidak adanya translusensi, karena  faktanya restorasi
PFM hanya dapat mengabsorbsi atau memantulkan cahaya,sementara jaringan gigi menunjukkan
derajat translusensi yang tinggi.
-  Terbentuk bayangan gelap pada bagian servikal.

        Restorasi (tumpatan) adalah istilah generik yang digunakan untuk menyebut tambalan,
inlay, mahkota, jembatan, implan, atau protesa lepasan yang menggantikan jaringan gigi yang
hilang dan merestorasi bentuk fungsi, atau estetik. Restorasi terjadi dikarenakan tekstur gigi
mengalami kerusakan dikarenakan Karies.  D iharapkan bisa menjaga kesehatan giginya dan
mencegah agar terhindar dari penyakit gigi & mulut seperti Karies (gigi berlubang) dengan cara
gosok gigi scara benar dan teratur, serta melakukan pemeriksaan ke dokter gigi sebelum
mengalami kerusakan gigi minimal dalam 6 bulan sekali, memahami macam-macam restorasi
(tumpatan) agar bisa menentukan tumpatan mana yang cocok untuk permasalahan gigi yang
diderita.

3.6 Perawatan Saluran Akar

Perawatan endodontik merupakan bagian dari ilmu kedokteran gigi yang menyangkut

perawatan penyakit atau cedera pada jaringan pulpa dan jaringan periapikal. Tujuan perawatan

endodontik adalah mengembalikan keadaan gigi yang sakit agar dapat diterima secara biologik

oleh jaringan sekitarnya sehingga gigi dapat dipertahankan selama mungkin didalam mulut.

(Anusavice, 2012).

Perawatan saluran akar (PSA) merupakan salah satu perawatan endodontik yang

bertujuan untuk membersihkan jaringan pulpa atau mikroorganisme yang terdapat didalam

sistem saluran akar sehingga dapat dilakukan pengisian saluran akar dengan baik dan terjadi
perbaikan jaringan periapikal. PSA dikatakan berhasil bila dalam waktu observasi minimal satu

tahun tidak terdapat keluhan dan lesi periapikal yang ada dapat berkurang atau tetap. Penyebab

kegagalan PSA sangat banyak antara lain obturasi yang tidak sempurna, perforasi akar, resorpsi

akar eksternal, lesi periodontal-periradikuler, overfilling, adanya saluran akar yang tertinggal,

kista periapikal, tertinggalnya instrument yang patah dalam saluran akar, perforasi dasar foramen

nasalis dan kebocoran koronal

3.6.1 Indikasi dan Kontraindikasi Perawatan Endodontik

Dalam melakukan perawatan saluran akar, ada tiga faktor yang mempengaruhi keputusan

apakah perawatan saluran akar dilakukan atau tidak, yaitu :

1. Daya tahan tubuh pasien secara umum

2. Tingkat keterlibatan jaringan periapeks

3. Pencapaian daerah periapeks melalui saluran akar

3.6.1.1 Indikasi Perawatan Endodontik yaitu :

a. Karies yang luas.

b. Email yang tidak di dukung oleh dentin.

c. Gigi sulung dengan infeksi yang melewati kamar pulpa, baik pada gigi vital, nekrosis

sebagian maupun gigi sudah nonvital.

d. Saluran akar yang dapat dimasukkan instrument

e. Kelainan jaringan periapeks pada gambaran radiografi kurang dari sepertiga apeks.

f. Mahkota gigi masih bisa direstorasi dan berguna untuk keperluan prostetik (untuk pilar

restorasi jembatan).

g. Gigi tidak goyang dan periodonsium normal.


h. Foto rontgen menunjukan resorpsi akar tidak lebih dari sepertiga apikal, tidak ada

granuloma pada gigi sulung

i. Kondisi pasien baik

j. Pasien ingin giginya di pertahankan dan bersedia untuk memelihara kesehatan

gigi dan mulutnya.

k. Keadaan ekonomi pasien memungkinkan.

Alasan sebenarnya terapi endodontik adalah jika ada keterlibatan pulp karena karies,

trauma, dll. (Gambar 9.1 sampai 9.3) gigi harus ditangani secara endodontik dan dipulihkan

dengan restorasi yang tepat.

Perawatan saluran akar elektif Kadang-kadang perawatan saluran akar elektif dilakukan

pada gigi yang mengalami crack atau gigi dengan restorasi besar, untuk mencegah kehilangan

prematur cusp saat restorasi (biasanya preparasi mahkota) dan mengurangikekhawatiran

terbukanya pulpa (Gambar 9.4A sampai C). Perawatan saluran akar elektif lebih memberikan

jaminan keberhasilan restorasi gigi.


Pasien dengan gigi retak atau karies sekunder pad gigi yang telah di crown, bila ingin

menambal margin mahkota atau menggunakan mahkota yang sudah ada sebelumnya, setelah

prosedur restoratif lainnya menunjukkan tingkat kegagalan restoratif yang tinggi. Dalam kasus

tersebut, perawatan endodontik yang diikuti dengan restorasi gigi yang optimal memberikan

tingkat keberhasilan yang tinggi.

3.6.1.2 Kontraindikasi Perawatan Endodontik

a. Bila dijumpai kerusakan luas jaringan periapikal yang melibatkan lebih dari sepertiga

panjang akar. Kasus seperti ini merupakan luar biasa, karena dalam pengamatan

dikatakan bahwa makin besar jumlah kerusakan tulang yang rusak, makin kecil

kemungkinan untuk diperbaiki,

b. Bila saluran akar gigi tanpa pulpa dengan daerah radiolusen terhalang oleh akar

berkurva/bengkok, akar berliku-liku, dentin sekunder, kanal yang mengapur atau

sebagian mengapur, gigi malposisi, atau suatu instrumen yang patah.

c. Bila apeks akar mengalami fraktur. Pada umumnya kontraindikasi perawatan saluran

akar bergantung pada :

1. Status pasien
2. Alasan dental

3. Alasan local

4. Gigi tidak dapat direstorasi lagi

5. Resorpsi akar lebih dari sepertiga apical

6. Kondisi pasien buruk, mengidam penyakit kronis, seperti diabetes melitus,

TBC, dan lain-lain.

7. Terdapat belokan ujung dengan granuloma (kista) yang sukar di bersihkan atau

sukar dilakukan bedah endodonti.

3.6.2 Prosedur PSA :

1. Access cavity

Fase yang paling penting dari aspek teknik perawatan akar. Merupakan kunci untuk

membuka pintu bagi keberhasilan tahap pembersihan, pembentukan dan obturasi saluran

akarnya.Tujuan dari tahap ini yaitu membuat akses yang lurus, menghemat preparasi

jaringan gigi, dan membuka atap ruang pulpa. Teknik Akses Preparasi Cavity Entrance yaitu

membuat Outline Form Cavity Entrance. Outline ini merupkana proyeksi ruang pulpa ke

permukaan gigi di bagian cingulum untuk gigi anterior atau oklusal untuk gigi posterior. Hal

ini bertujuan untuk membuat akses yang lurus, menghemat preparasi jaringan gigi,

membuka atap ruang pulpa.

Access cavity merupakan tahapan yang penting dalam perawatan saluran akar. Akses

yang benar akan memaksimalkan cleaning, shaping, dan obturasi. Tanpa akses yang baik,

instrumentasi dan penempatan material ke dalam saluran akar akan menjadi sulit. Tiga

syarat akses yang baik meliputi: membuat straight-line access, konservatif dalam
mengurangi jaringan gigi, dan membuka semua atap pulpa sehingga orifice dapat ditemukan

tanpa hambatan. (Torabinejad, 2002)

Gambar 3.4 (kiri) access cavity yang salah dan (kanan) access cavity yang benar

 Saluran Akar Tunggal

Preparasi dimulai dengan round bur no 2 atau 4 atau tapered fissure diamond bur

dengan arah tegak lurus pada permukaan enamel samapimenembus jaringan dentin

dan diteruskan sampai atap pulpa terbukan dengan kedalaman 3mm.Setelah itu arah

bur diubah menjadi sejajar sumbu gigi sampai menembus ruang pulpa sehingga

ditemukan lubang saluran akar yang terletak pada dasar ruang pulpa yang disebut

orifice. Gunakan tapered fissure no 2 atau 4 untuk membentuk dinding cavity

entrance divergen ke arah oklusal atau insisal samapi jarum miller dapat masuk

dengan lurus, setelah terasa tembus maka orifice dicari dengan menggunakan jarum

miller. Menghilangkan tanduk pulpa menggunakan round diamond bur dengan

gerakan menarik keluar kavitas sehingga cavity entrance terbentuk dengan baik dan

alat preparasi dapat dimasukkan ke dalam saluran akar dengan bebas. Masukkan
jarum ektirpasi, diputar searah jarum jam dan ditarik keluar, diulang lagi sampai

jaringan pulpa dicabut.

 Saluran Akar Ganda

Pembutan cavity entrance menggunakan round bur no1 atau tapered fissure

diamond bur pada tengah fossa di bagian oklusal atau endo access. Setelah

kedalaman preparasi mencapaidentin, preparasi dilanjutkan menggunakan fissure

diamond bur sampai ditemukan orifice ke 3 saluran akar. Pada gigi berakar ganda,

bila atap pulpa belum terbuka maka cari orifice yang paling besar terlebih dahulu,

kemudian atap pulpa diangkat dengan bur sesuai letak orifice. Menghilangkan

tanduk pulpa menggunakan round diamond bur dengan gerakan menarik keluar

kavitas, sehingga cavity entrance terbentuk dengan baik dan alat preparasi dapat

dimasukkan ke dalam saluran akar dengan bebas.

a. Ekstirpasi Pulpa

Menggunakan jarum ekstirpasi

b. Penentuan Panjang Kerja.

Menurut glosarium endodontik panjang kerja didefinisikan sebagai "jarak dari

titik referensi koronal ke titik di mana preparasi dan obturasi saluran akar harus

berakhir". Dapat juga di definisikan sebagai panjang dari alat preparasi yang masuk ke

dalam saluran akar pada waktu melakukan preparasi saluran akar.

Panjang Kerja merupakan panjang dari alat preparasi yang masuk ke dalam

saluran akar pada waktu melakukan preparasi saluran akar. Menentukan panjang kerja
dikurangi 1mm panjang gigi sebenarnya, untuk menghindari rusaknya apical

constriction (penyempitan saluran akar di apical) dan perforasi ke apical.

Keberhasilan perawatan saluran akar merupakan tujuan dari setiap dokter gigi.2 Banyak

faktor yang mempengaruhi keberhasilan dari perawatan saluran akar, diantaranya keakuratan dan

pembersihan yang sempurna dari saluran akar tanpa terjadinya perforasi di bagian apikal. Untuk

mencapai hal tersebut, panjang kerja dalam perawatan saluran akar harus ditentukan secara

akurat serta pembersihan dan pembentukan saluran akar harus dilakukan sesuai panjang kerja.1,3

Dengan kata lain, jika preparasi saluran akar dilakukan lebih pendek atau lebih panjang dari

panjang kerja, akan memperbesar risiko kegagalan.

Oleh karena itu, penentuan panjang kerja yang akurat merupakan salah satu faktor

terpenting dalam melakukan perawatan saluran akar. Ada dua macam metode umum dipakai

dalam menentukan panjang kerja, yaitu cara konvensional dan menggunakan peralatan

elektronik yaitu electronic apex locator. Metode konvensional yang sering dipakai adalah dengan

menggunakan radiografi. Terkadang radiografi tidak dapat digunakan secara ideal karena posisi

pengambilan yang sulit, adanya anatomi atau struktur gigi yang terlihat bertumpuk pada hasil

foto dan kebanyakan pasien tidak kooperatif pada saat pengambilan radiografi seperti pasien

anak dan adanya refleks mual pada pasien. Perkembangan electronic apex locator sangat

membantu menanggulangi permasalahan tersebut dalam menentukan panjang kerja.


Tidak ada teknik yang dengan sangat akurat menentukan panjang kerja dalam perawatan saluran

akar tanpa dikombinasikan dengan teknik yang lain. Cementodentinal junction merupakan tempat yang

tepat dan titik perhentian untuk melakukan preparasi dan obturasi dalam saluran akar dan titik tersebut

tidak dapat secara tepat dilihat dengan radiografi.4,12 Electronic apex locator generasi terbaru dapat

menentukan titik tersebut dengan akurasi lebih dari 90%. Walaupun perkembangan alat tersebut semakin

canggih, tetapi pemakaian electronic apex locator tidak direkomendasikan untuk pemakaian tunggal

karena tetap adanya kemungkinan kesalahan.

Penggunaan electronic apex locator dapat mengurangi jumlah pemakaian radiografi sehingga

mengurangi pemaparan radiasi. Namun pengambilan radiografi tetap direkomendasikan sebelum dan

sesudah perawatan. Electronic apex locator dapat menjadi salah satu alternatif alat bantu dalam

menentukan panjang kerja ketika di daerah tidak tersedia fasilitas radiografi. Cara tersebut dapat dipakai

dengan bantuan mengetahui panjang rata-rata gigi. Dengan mengkombinasikan cara tersebut maka

kesalahan pengukuran akan lebih dapat teratasi.

2. Cleaning dan Shaping

Cleaning and shaping merupakan tujuan utama dalam preparasi saluran akar. Tujuan

utama dalam tahap ini adalah menghilangkan iritan pada saluran akar. Iritan yang dimaksud

dapat berupa bakteri, produk bakteri, jaringan nekrotik, debris organik, jariangan vital,

perdarahan, dan kontaminan lainnya. Preparasi dilakukan dengan memasukkan instrumen

yang akan berkontak dengan dinding saluran akar untuk mengikis debris. Kemudian

dilanjutkan dengan irigasi untuk menghilangkan debris dari saluran akar. (Torabinejad,

2002)

Debridement merupakan pembuangan Iritan dari sistem saluran akar yang bertujuan

untuk membasmi habis iritan tersebut walaupun dalam kenyataan praktisnya hanyalah
sebatas pengurangan yang signifikan saja. Iritan dapat berupa bakteri, produk samping

bakteri, jaringan nekrotik, debris organik, darah dan kontaminan lain.

Pembentukan Saluran AkarYaitu membentuk saluran akar melebar secar kontinyu dari

apeks ke arah korona. Pelebara saluran akar harus cukup besar untuk melakukan

debridement yang baik dan dapat memanipulasi serta mengendalikan instrumen dan material

obturasi dengan baik tapi tidak sampai melemahkan gigi serta meningkatkan peluang

terjadinya kesalahan prosedur. Ketirusan hasil preparasi harus cukup sehingga instrumen

penguak dan pemampat gutta perca dapat berpenetrasi cukup dalam. Saluran akar siap

menerima obturasi baik dengan kondensasi lateral maupun vertikal, saluran akar harus

berbentuk corong ke arah korona dan dalam ukuran cukup besar sehingga instrument

pemampat dan penguak dapar masuk cukup dalam.

3.6.3 Teknik Perawatan Saluran Akar

3.6.3.1 Teknik Konvensional:

Teknik konvensional yaitu teknik preparasi saluran akar yang dilakukan pada gigi

dengan saluran akar lurus dan akar telah tumbuh sempurna. Preparasi saluran akar

menggunakan file tipe K. Gerakan file tipe K-flex adalah alat diputar dan ditarik.

Sebelum preparasi stopper file terlebih dahulu harus dipasang sesuai dengan panjang

kerja gigi. Stopper dipasang pada jarum preparasi setinggi puncak tertinggi bidang

insisal. Stopper digunakan sebagai tanda batas preparasi saluran akar.

Preparasi saluran akar dengan file dimulai dari nomor yang paling kecil. Preparasi

harus dilakukan secara berurutan dari nomor yang terkecil hingga lebih besar dengan

panjang kerja tetap sama untuk mencegah terjadinya step atau ledge atau terdorongnya

jaringan nekrotik ke apical.


Selama preparasi setiap penggantian nomor jarum preparasi ke nomor yang lebih

besar harus dilakukan irigasi pada saluran akar. Hal ini bertujuan untuk membersihkan

sisa jaringan nekrotik maupun serbuk dentin yang terasah. Irigasi harus dilakukan secara

bergantian anatar H2O2 3% dan aquadest steril, bahan irigasi tyerakhir yang dipakai

adalah aquadest steril. Bila terjadi penyumbatan pada saluran akar maka preparasi

diulang dengan menggunakan jarum preparasi yang lebih kecil dan dilakukan irigasi lain.

Bila masih ada penyumbatan maka saluran akar dapat diberi larutan untuk mengatasi

penyumbatan yaitu larutan largal atau EDTA, (pilih salah satu).

Preparasi saluran akar dianggap selelsai bila bagian dari dentin yang ter infeksi

telah terambil dan saluran akar cukup lebar untuk tahap pengisian saluran akar.

3.6.3.2 Teknik Step Back

a. Yaitu teknik preparasi saluran akar yang dilakukan pada saluran akar yang bengkok

dan sempit pada 1/3 apikal

b. Tidak dapat digunakan jarum reamer karena saluran akar bengkok sehingga

preparasi saluran akar harus dengan pull and push motion, dan tidak dapat dengan

gerakan berputar.

c. Dapat menggunakan file tipe K-Flex atau NiTi file yang lebih fleksibel atau lentur.

d. Preparasi saluran akar dengan jarum dimulai dari nomor terkecil:

No. 15 s/d 25 = sesuai panjang kerja

File No. 25 : Master Apical File (MAF)

No. 30 = panjang kerja – 1 mm MAF

No. 35 = panjang kerja – 2 mm MAF

No. 40 = panjang kerja – 3 mm MAF


No. 45 = panjang kerja sama dengan no. 40 dst

e. Setiap pergantian jarum file perlu dilakukan pengontrolan panjang kerja dengan

file no. 25, untuk mencegah terjadinya penyumbatan saluran akar karena serbuk

dentin yang terasah.

f. Preparasi selesai bila bagian dentin yang terinfeksi telah terambil dan saluran

akar cukup lebar untuk dilakukan pengisian.

3.6.3.3 Teknik Balance Force

a. Menggunakan alat preparasi file tipe R- Flex atau NiTi Flex

b. Menggunakan file no. 10 dengan gerakan steam wending, yaitu file diputar

searah jarum jam diikuti gerakan setengah putaran berlawanan jarum jam.

c. Preparasi sampai dengan no. 35 sesuai panjang kerja.

d. Pada 2/3 koronal dilakukan preparasi dengan Gates Glidden Drill (GGD)

- GGD #2 = sepanjang 3 mm dari foramen apical

- GGD #3 = sepanjang GGD #2 – 2 mm

- GGD #4 = sepanjang GGD #3 – 2 mm

- GGD #5 = sepanjang GGD #4 – 2 mm

- GGD #6 = sepanjang GGD #5 – 2 mm

e. Preparasi dilanjutkan dengan file no. 40 s/d no.45

f. Dilakukan irigasi

g. Keuntungan balance force yaitu :

1. Hasil preparasi dapat mempertahankan bentuk semula

2. Mencegah terjadinya ledge dan perforasi

3. Mencegah pecahnya dinding saluran akar


4. Mencegah terdorongnya kotoran keluar apeks

3.6.3.4. Teknik Crown Down Presureless

a. Teknk disebut juga dengan teknik step down, merupakan modifikasi dari teknik

step back.

b. Menghasilkan hasil yang serupa yakni seperti corong yang lebar dengan apeks

yang kecil (tirus).

c. Bermanfaat pada saluran akar yang kecil dan bengkok di molar RA dan RB.

d. Saluran akar sedapat mungkin dibersihkan dengan baik sebelum instrument

ditempatkan di daerah apeks sehingga kemungkinan terjadinya ekstruksi dentin ke

jaringan periapeks dapat dikurangi.

e. Menggunakan instrument nikel-titanium, baik yang genggam maupun

digerakkan mesin.

3.6.4 Irigasi

Keberhasilan dari suatu pembersihan dan pembentukan saluran akar adalah dengan

tersingkirnya sisa-sisa jaringan pulpa, bakteri dan toksin dari system saluran akar. Ini secara

umumnya telah diterima sebagaifaktor utamakeberhasilan perawatan saluran akar. Prosedur

mekanis semata-mata tidak mencukupi untuk mebersihkan saluran akar secara total. Sisa-

sisa jaringan pulpa bakteri dan debrisdentin mungkinmasih tersisa didalam system saluran

akar yang tidak teratur. Oleh karena itu, larutan irigasi harus dapat membantu dan

menyempurnakan preparasi endodontic.

Suatu larutan irigasi saluran akar yang baik harus mampu melarutkan kotoran organic dan

anorganik, melancarkan alat endodontic, membunuh mikroba, tidak toksik, dan ekonomis.
Larutan irigasi yang paling baik adalah mempunyai daya antimikroba yang maksimal

dengan toksisitas yang minimal. Pendapat ini diperkuat oleh Anusavice (1996) yang

menyatakan bahwa setiap bahan yang dipakai di bidang kedokteran gigi harus memenuhi

syarat-syarat biokompabilitas (dapat diterima oleh jaringan tubuh) yaitu tidak

membahayakan pulpa dan jaringan lunak, tidak mengandung substansi yang bias

menyebabkan respon sistemik bila berdifusi dan diadsorpsi ke dalamsistem sirkulasi, dan

bebas dari agen sensitisasi yang dapat menyebabkan respon alergi serta tidak berpotensi

karsinogenik.

Sodium hipoklorit (NaOCl) merupakan bahan irigasi yang paling sering digunakan pada

saat ini. Konsentrasi yang biasa digunakan adalah 2,5% dan 5,2%. Larutan ini berfungsi

sebagai debridement, pelumas, antimikroba, dan dapat melarutkan jaringan lunak. Pada

prosedur preparasi saluran akar sodium hipoklorit akan melarutkan kolagen pada dentin

saluran akar sehingga mudah dipreparasi. Kemampuan antimikroba dari larutan NaOCl

berhubungan dengan konsentrasinya, makin tinggi konsentrasinya makin sedikit waktu yang

dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Penggunaan NaOCl tidak boleh

digunakan terakhir karena akan mengurangi ikatan antara dentin saluran akar dengan sealer,

sehingga harus diakhiri dengan bahan desinfektan lainnya yaitu EDTA. EDTA merupakan

suatu bahan yang berfungsi membersihkan dan melebarkan saluran akar. EDTA juga

mempunyai fungsi melarutkan smear layer.(Mulyawati, 2011)

3.6.5 Obturasi

Obturasi siap dilakukan setelah saluran akar dibersihkan dan dipreparasi sesuai dengan

ukuran dan kelembaban yang  optimum.  Menurut Grossman, material saluran akar dibagi
menjadi material plastis, solid, semen, dan pasta. Grossman juga menyatakan bahwa

terdapat 10 syarat material saluran akar yang ideal, yang berlaku untuk material metal,

plastis dan semen, yaitu:

1. Harus mudah dimasukkan ke saluran akar

2. Harus dapat mengisi dinding lateral saluran akar

3. Mengalami pengerutan setelah dimasukkan kedalam saluran akar

4. Harus tahan terhadap kelembaban

5. Bersifat bakteriostatik, atau dapat menghambat pertumbuhan bakteri.

6. Bersifat radiopak

7. Tidak member perwarnaan terhadap struktur gigi

8. Tidak mengiritasi jaringan periradikular

9. Bersifat steril

10. Mudah dikeluarkan dari saluran akar jika dibutuhkan

3.6.5.1 Teknik Pengisian Saluran Akar

1. Teknik single cone

Teknik pengisian saluran akar untuk teknik preparasi secara konvension

Tahapan :

a. Pencampuran pasta saluran akar petunjuk pabrik

b. Pasta diulaskan pada jarum lentulo dan guttap point untuk kemudian dimasukan

kedalam saluran akar yang telah dipreparasi jarum lentulo sesuai panjang kerja

dan diputar berlawanan jarum jam.

c. Guttap point ( trial foto disterilkan dengan alcohol 70% dan dikeringkan

d. Kering ( diulas dengan pasta ) masuk ke dalam saluran akar.


e. Guttap point di potong 1-2mm dibawah orifice dengan ekskavator yang

ujungnya telah di panaskan dengan Bunsen burner hingga membara.

2. Teknik Kondensasi Lateral

Dengan teknik preparasi saluran akar secara step back. Sering digunakan hampir semua

keadaan kecuali pada saluran akar yang sangat bengkok / abnormal

Tahapan :

a. Pencampuran pasta,

b. Guttap point ( trial foto disterilkan 70% alcohol dan dikeringkan,

c. Guttap point nomor 25 (MAF) diulasi dengan pasta ke saluran akar sesuai

dengan tanda yang telah dibuat dan ditekan kea rah lateral menggunakan spreader.

d. Ke dalam saluran akar diberi guttap tambahan, setiap memasukan guttap di

tekan ke arah lateral sampai saluran akar penuh dan spreader tidak dapat masuk

dalam saluran akar,

e. Guttap point dipotong 1-2mm dibawah orifice dengan eskavator yang telah

dipanasi.

3. Teknik Kondensasi Vertical (Gutta perca panas)

Untuk pengisian saluran akar dengan teknik step back. Menggunakan pluger yang

dipanaskan, dilakukan penekanan pada guttap perca yang telah dilunakan dengan

panas kearah vertical dan dengan demikian menyebabkan guttap perca mengalir dan

mengisi seluruh lumen saluran akar

Tahapan :

a. Suatu kerucut guttap perca utama sesuai dengan instrument terakhir yang

digunakan dipaskah pada saluran dengan cara step back


b. Dinding saluran dilapisi dengan lapis tipis semen

c. Kerucut disemen

d. Ujung koronal kerucut dipotong dengan instrument panas

e. Pembawa panas segera didorong ke dalam 1/3 koronal guttap perca. Sebagian

terbakar oleh plugel bila diambil dari saluran akar.

f. Condenser vertical dengan ukuran yang sesuai dimasukan dan tekanan vertical

dikenakan pada guttap perca yang telah dipanasi untuk mendorong guttap perca yang

menjadi plastis ke arah apikal

g. Apikalis panas berganti oleh pembawa panas dan condenser diulangi sampai

guttap perca plastis menutup saluran aksesori besar dan mengisi luman saluran dalam

3 dimensi – foramen apikal. Bagian sisa saluran diisi dengan potongan tambahan

guttap perca panas.

4. Metode seksional (teknik plugger)

Dapat digunakan untuk mengisi saluran kea rah apikal dan lateral. Teknik

menggunakan suatu bagian kerucut guttap perca untuk mengisi suatu bagian 1/3

saluran akar / ujung apikal

Tahapan :

1. Dinding saluran akar dilapisi semen

2. Pluger saluran dimasukan sampai 3-4mm dari apeks dipanaskan dalam sterilitator

garam panas (1011)

3. Kerucut guttap perca dipotong beberapa bagian sesuai dengan ukuran saluran yang

telah dipreparasi dengan panjang 3-4mm


4. Potong apikal ditempelkan pada pluger yang telah dipanasi, dimasukan ke dalam

saluran pada kedalaman yang sebelumnya telah diukur dan ditekan kearah vertical.

5. Pluger dilepas dengan hati-hati untuk mencegah ke luarnya bagian guttap perca

yang dimasukan

6. Dibuat radiograf untuk memeriksa posisi dan kesesuaian bagian yang

dikondensasi.

7. Bagian berikutnya dimasukan kedalam eukaliptol, dipanaskan tinggi diatas nyala

api dan ditambahkan pada bagian sebelumnya dengan tekanan vertical untuk

memampatkan pengisi

5. Metode kompaksi

Menggunakan panas untuk mengurangi viskositas guttap perca dan menaikan

plastisitasnya. Digunakan untuk pengisi saluran yang lurus. Menggunakan metode

step back

6. Metode Inverted cone

Digunakan terbatas pada gigi dengan saluran kecil, berkelok-kelok, yang tidak

dapat diisi dengan kerucut guttap perca secara lepas

7. Metode Role Gutta perca

Untuk mengisi saluran kecil bahan tersebut yang bengkok

3.7 Pasak
3.7.1 Bentuk Pasak
Pasak endodontik dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu :
1. Costum-cast post
Costum-cast post di buat di klinik dan laboratorium dari hasil reproduksi negatif saluran
akar yang telah dipreparasi. Alloy emas (Tipe III dan IV) merupakan logam pilihan yang
digunakan hingga saat ini.
2. Pasak Prefabricated
Pasak ready made atau prefabricated dapat terbuat dari metal dan non-metal. Pasak metal
pada umumnya memiliki retensi yang baik (tapi mempunyai modulus elastis yang
berbeda dengan dentin sehingga tekanan yang jatuh pada gigi terkonsentrasi dan dapat
menimbulkan fraktur.
Bentuk pasak prefabricated ada beberapa jenis yaitu tapered, paralel, serrated (tajam) dan
threaded (ulir). Pasak threaded merupakan pasak yang retentif diikuti oleh paralel sided serrated
post
Keuntungan menggunakan pasak prefabricated adalah murah, mudah, cepat, kuat dan
retentif akan tetapi penggunaanya sangat selektif, bentuk pasak dan saluran akar tidak sesuai dan
mudah terjadi korosi.
Beragam desain pasak prefabricated telah dikembangkan dan keanekaragaman ini
merupakan usaha untuk memenuhi tujuan retensi dan proteksi bagi struktur gigi yang tersisa.
Semua desain pasak ini dimasukkan kedalam kelompok di bawah ini.4
1. Tapered, smooth-sided, disemen ke dalam saluran akar yang telah dipreparasi dengan
ukuran yang disesuaikan dengan reamer endodontik, seperti : Kerr Endopost dowels
(Sybron-Kerr Inc, Romulus, Mich.)
Tapered mempertahankan struktur gigi pada apeks dari ruang pasak tetapi
menyebabkan wedging effect dan konsentrasi tekanan pada coronal end.
2. Parallel-sided disemen ke dalam saluran akar yang berbentuk silinder, seperti
Whaledent Parapost dowels ( Wahledent Int., New York, N.Y)
Parallel sided mendistribusikan beban fungsi lebih pasif sepanjang panjang pasak
kecuali pada apeks, dimana konsentrasi tekanan lebih besar karena pengambilan
struktur gigi lebih banyak dan tentunya apikal seat pasak pada dentin.
3. Tappered self-threading screw, dengan ulir yang melibatkan dinding dentin untuk
memperoleh retensi. Jenis ini tidak direkomendasikan karena sering menyebakan
tekanan dan fraktur. Contoh : FlexiPost dowels (EssentilaDental Systems, S
Hackensack,N.J)

4. Parallel-sided threaded diinsersikan kedalam saluran akar yang dibuat berulir


(pretapped)
5. Parallel-sided, tapered apical ends, disemen ke dalam saluran akar yang sesuai.

Gambar 1. Desain pasak buatan pabrik. A. Tapered, smooth-sided B. Paralel-sided C. Tappered


self-threading screw D. Parallel-sided threded E. Parallel-sided, tapered apical ends

Pemilihan jenis pasak yang digunakan penting untuk mendapatkan retensi yang maksimal


dengan menghilangkan seminimal mungkin struktur jaringan gigi. Gigi-geligi yang telah diisi
seringkali memiliki struktur koronal gigi yang tidak mencukupi, pemasangan pasak perlu
dilakukan untuk memberikan retensi yang adekuat bagi inti dan restorasi akhirnya. Akhir-akhir
ini, jenis pasak yang digunakan untuk retensi gigi yang telah dirawat saluran akar telah
mengalamiperubahan dari bahan yang kaku (pasak metal dan zirconium) menjadi bahan
yang memiliki karakteristik mekanis menyerupai dentin  karena kegagalan restorasi dengan
retensi intraradikuler dapat terjadi karena fraktur pasak, kehilangan retensi dan fraktur mahkota
serta akar, sehingga gigi akhirnya harus diekstraksi. Pasak metal digunakan untuk menahan inti,
menggantikan struktur gigi yang hilang dan ditutup dengan mahkota penuh, tanpa
memperhatikan estetik. Sejalan dengan meningkatnya segi estetik, restorasi pasak dan inti
sewarna gigi menjadi pilihan untuk restorasi gigi non vital ( Wulansari, 2007).

Telah dikembangkan beberapa alternatif cast post-and-core termasuk pembuatan pasak


sediaan dan inti custom-made dari bahan komposit yang mempermudah prosedur restoratif.
Pasak fibre-reinforced composite (FRC) yang direkatkan menggunakan bahan adhesif menjadi
lebih populer karena memiliki sifat mekanis dan estetik yang menguntungkan. Antara lain,
modulus elastisitas pasak FRC hampir sama dengan dentin, sehingga tekanan yang
ditransmisikan oleh pasak ke dentin akar lebih rendah dibandingkan jika menggunakan bahan
lain, seperti titanium atau zirconia. Masih diperdebatkan apakah transmisi tekanan dan rigiditas
pasak mempengaruhi resistensi fraktur dan/atau mode kegagalan akar gigi yang diisi dengan
pasak. Faktor lain yang mempengaruhi kemampuan pembebanan gigi yang telah diisi antara lain
morfologi gigi, teknik restoratif, dan banyaknya jaringan gigi yang hilang.

Pasak fiber dapat dilekatkan pada dentin saluran akar dengan menggunakan semen resin.
Pasak fiber terbuat dari serat karbon, kuarsa, silica, zirkonia atau kaca dalam satu matriks epoksi
resin. Secara kimia, pasak fiber sesuai dengan bahan dasar resin yang digunakan untuk sementasi
yaitu Bis- GMA( Wulansari, 2007). Pasak ini terbuat dari serat berdiameter 7-10 mikrometer dan
dikelilingi oleh matriks resin polimer yang umumnya berupa resin epoksi. Bahan inti dan semen
resin dilihat dengan scanning electron microscope (SEM) menunjukkan pembentukan lapisan
resin tags hybrid. Bonding yang baik akan meminimalkan efek ungkitan di dalam saluran akar
sehingga dapat digunakan pasak dengan ukuran lebih pendek dan diameter lebih kecil ( Ganap,
2007) Pasak fiber, semen resin, bahan inti resin komposit, dan dentin memiliki
modulus elastisitas yang hampir sama, sehingga meningkatkan keberhasilan
restorasi, dibandingkan dengan pasak dan inti metal. Pasak fiber memiliki modulus elastisitas
yang hampir sama dengan dentin, yaitu 20 GPa (modulus elastisitas dentin = 18 GPa,
pasak metal prefabricated = 200 GPa dan pasak keramik=150 GPa), sehingga pasak fiber
lebih lentur daripada pasak metal, mempunyai sifat biokompatibel terhadap dentin dan
tahan terhadap korosi, serta mudah diambil dari saluran akar bila terjadi kegagalan
dalam perawatan saluran akar (Wulansari, 2007). Keuntungan pasak fiber adalah dapat
diindikasikan untuk saluran akar yang lebar, dinding saluran akar yang tipis misalnya pada akar
yang belum terbentuk sempurna.selain itu, pasak fiber juga memiliki keuntungan dari segi
estetik, karena pasak ini memiliki warna sesuai dengan warna gigi, sehingga tidak menimbulkan
bayangan warna keabu-abuan pada gigi yang telahdirestorasi. Hal ini tidak hanya berperan
pada gigi anterior tetapi juga pada gigiposterior. Preparasi saluran akar pasak dilakukan hingga
kira-kira tersisa 4,5 mm gutta percha pada bagian apikal, lalu pasak fiber disementasi dengan
menggunakan semen resin. Setelah itu kavitas ditutup dengan tumpatan resin kompositt hingga
penuh dan kelebihan pasak fiber dipotong sebatas permukaan oklusal.

3.7.2 Indikasi dan Kontraindikasi Pasak

3.7.2.1 Indikasi Pasak


Restorasi ini dapat dibuat pada mahkota gigi post perawatan endodontik yang mngalami
kerusakan tetapi tidak dapat direstorasi dengan inlay, resin akrilik, mahkota ¾. Selain itu dapat
dilakukan untuk mempebaiki posisi gigi pada perawatan ortodonsi atau untuk abutmen bridge
(Weine dan Franklin 2004)

Indikasi pasak (Rhamdani, 2010) :

1. Gigi vital/nonvital
2. Sudah tidak bisa ditambal lagi
3. Karies yang meluas sampai menghilangkan cusp gigi
4. Jaringan periodonta sehat
5. Tidak ada riwayat alergi pada bahan pasak
6. Gigi antagonisnya masih bagus sehingga tidak menjadi iritasi pada bagian mukosa palatal
7. Retensi pada gigi yang akan diberi mahkota masih baik dalam artian masih ,a,pu
meneriman beban mahkota pasak itu sendiri
8. Akar gigi masih bagus

3.7.2.2 Kontraindikasi pasak

Restorasi mahkota pasak tidak dapat dilakukan pada kasusu close bite/cervikalcervikal
bite, akar gigi yang terlalu pendek atau tipis, kesehatan umum yang buruk, kesehatan umum
yang buruk, kesehatan mulut yang buruk, dan juga had oral habit (Weine dan Franklin, 2004)

Menurut Rhamdani (2010) kontraindikasi pasak adalah :


1. Karies pada gigi masih belum meluas masih tegolong pit dan fissure
2. Jaringan pendukung tidak memungkan adanya mahkota tidak memungkinkan
adanya mahkota karena adaya periodontitis kronis
3. Tidak adanya gigi antagonis menyebkan mukosa palatal iritasi
4. Gigi yang akan dibuatkan mahkota masih vital artinya tidak sampai perforasi
5. Kondisi gigi pada lengkung rahang tidak crowded

Custom cast post diindikasikan dalam kehilangan sedang sampai berat struktur gigi koronal dan
pada saluran akar non circular, penampang elips. Pembesaran saluran akar untuk pasak
prefabricated bisa menyebakan perforasi pada daerah apikal. Selain itu, custom cast
dianjurkan dalam keadaan berikut:
1. Saat sudut inti harus diubah sehubungan dengan pasak;
2. Saat core retention sulit pada dowel head karena ukuran gigi kecil seperti gigi insisivus
mandibula;
3. ketika beberapa restorasi core dowel diindikasikan di lengkung yang sama. Prosedur
dapat diselesaikan dengan cara yang lebih hemat biaya dengan menyiapkan beberapa
ruang pasak dan membuat cetakan
Pasak prefabricated biasanya digunakan pada saluran akar dengan penampang cicular.
Pasak prefabricated tapered adalah pilihan ideal bila ada panjang saluran akar yang cukup untuk
retensi aksial. Pasak prefabricated parallel direkomendasikan untuk kebutuhan peningkatan
retensi dan saat preparasi dari ruang pasak paralel tidak akan membahayakan integritas akar pada
apical third.
3.8 Asma

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsivitas saluran napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk
terutama malam hari dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi saluran
napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
(Boushey, 2005)

Asma terdiri atas 3 hal yaitu obstruksi saluran napas yang reversibel,hipereaktiviti serta
inflamasi saluran napas. Inflamasi asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Namun
demikian penilaian derajat asma berdasarkan gejala klinik dan faal paru, bukan inflamasi kronik
saluran napas.Gejala asma bergantung kepada persepsi penderita. Faal paru tergantung pada
effort dan teknik melakukannya. Asma dalam derajat apapun merupakan inflamasi kronik
saluran napas. Pada asma intermiten, faal paru dapat normal. Terdapat sejumlah penderita
dengan inflamasi saluran napas namun faal paru normal. Inflamasi ini sudah terdapat pada asma
dini dan sangat ringan. Inflamasi mukosal sudah terjadi sebelum disfungsi paru. Jarak antara
inflamasi mukosal dan munculnya disfungsi paru belum diketahui. Inflamasipun ada pada asma
episodik pada saat tidak ada gejala. Penderita asma ringan dapat mempunyai respons eosinofil
yang sama dengan asma berat.
Sel inflamasi yang berperan terutama ialah limfosit T, sel mast dan eosinofil. Limfosit T
yang berperan ialah CD4 atau T helper. Inflamasi saluran napas merupakan faktor utama pada
patogenesis asma. Biopsi bronkus dan bronchoalveolar lavage (BAL) digunakan untuk menilai
inflamasi saluran napas, namun cara ini merupakan tindakan invasif dan tidak nyaman untuk
penderita. Pemeriksaan lain untuk menilai inflamasi saluran napas ialah dengan pemeriksaan
sputum. Pada penderita asma dapat dilakukan induksi sputum. Induksi sputum tidak invasif dan
dapat digunakan untuk penilaian inflamasi saluran napas.

World Health Report di tahun 2000 menunjukkan asma menduduki peringkat kelima
sebagai penyakit paru utama yang menyebabkan kematian di dunia. Saat itu penderita asma di
dunia mencapai 100-150 juta orang, dan terus bertambah sekitar 180 ribu orang pertahun (WHO,
2000). Jumlah terkini di tahun 2008 mencapai 300 juta orang Dalam 8 tahun, asma mencapai
perkembangan hingga dua kali lipat dari jumlah awal. Hal ini sangat meresahkan. Di Indonesia
sendiri, prevalensi asma berkisar di angka 5-7% Asma juga terbukti menurunkan kualitas hidup
penderitanya. Riset terhadap 3.207 kasus asma menunjukkan 44-51% penderita mengalami batuk
malam dalam sebulan terakhir. Bahkan 28,3% penderita mengaku terganggu tidurnya paling
tidak sekali dalam seminggu. Penderita yang mengaku mengalami keterbatasan dalam berekreasi
atau berolahraga sebanyak 52,7%, aktivitas sosial 38%, aktivitas fisik 44,1%, cara hidup 37,1%,
pemilihan karier 37,9%, dan pekerjaan rumah tangga 32,6%. Absen dari sekolah maupun
pekerjaan dalam setahun terakhir dialami oleh 36,5% anak dan 26,5% orang dewasa
Faktor risiko asma dapat dibagi menjadi tiga domain besar, yaitu alergen, iritan, dan hal-
hal lain yang tidak tergolong dalam alergen maupun iritan (State of the Region’s Health, 2002).
Faktor risiko asma yang mempengaruhi perkembangan dan ekspresi asma terdiri dari faktor
internal (host factor) dan faktor eksternal (environmental factor). Faktor internal terdiri dari
genetik, obesitas, jenis kelamin, usia, aktivitas fisik, dan ekspresi emosi yang kuat atau
berlebihan. Sedangkan faktor eksternal meliputi occupational irritant, infeksi virus di saluran
nafas, alergen, asap rokok, polusi udara, obat-obatan, dan perubahan suhu terkait perubahan
musim atau kondisi geografis lainnya). (Suyono, 2001)

3.8.1 Pengobatan Asma


Asma tidak bisa disembuhkan, namun manifestasi klinisnya bisa dikendalikan.
Mengingat terapi farmakologis tidak dirancang untuk menyembuhkan asma, maka dalam asma
perilaku pencegahan terhadap paparan faktor risiko asma lebih diutamakan dari pengobatan.
Intervensi awal untuk menghentikan atau mengurangi paparan terhadap faktor risiko asma yang
menyebabkan hipereaktivitas saluran nafas dapat membantu meningkatkan kontrol penderita
terhadap penyakit asma. Walau demikian, hubungan antara faktor risiko asma dan perilaku
pencegahan paparan dengan tingkat pengendalian penyakit asma masih belum jelas, mengingat
perkembangan penyakit ini sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti.
Secara umum, ada 2 cara untuk mengatasi asma yaitu dengan terapi non-farmakologis
(tanpa obat) dan terapi farmakologis (dengan obat). Terapi non farmakologis dapat dilakukan
dengan menghindari faktor-faktor resiko yang dapat menimbulkan asma serta dengan melakukan
olahraga ringan seperti renang.
Adapun untuk terapi farmakologis, ada dua jenis obat yang biasa digunakan yaitu quick-
relief dan long-term control. Kedua jenis obat tersebut memiliki cara kerja yang berbeda. Obat-
obat quick-relief, misal bronkodilator, bekerja dengan merelaksasi otot-otot di saluran nafas
sehingga saluran nafas yang semula menyempit akan melebar kembali dan penderita mampu
bernafas dengan lega. Dengan demikian, obat-obat ini lebih efektif digunakan saat serangan
asma terjadi. Adapun obat-obat long-term relievers digunakan untuk mencegah timbulnya
serangan asma dengan mengatasi peradangan di saluran pernafasan agar tidak semakin
memburuk, antara lain dengan mengurangi udem. Contoh obat yang termasuk long-term
relievers ini adalah kortikosteroid.

Albuterol adalah obat-obatan steroid yang digunakan membuka saluran napas di paru-


paru. Obat ini digunakan untuk mengobati asma,penyempitan bronkus yang dipicu olahraga,
dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Obat ini juga dapat digunakan untuk
mengobati kadar kalium tinggi di dalam darah. Obat ini biasanya digunakan menggunakan
inhaler atau nebulizer tetapi tersedia pula dalam bentuk pil dan larutan intravena.

Efek samping yang umum diantaranya goyah, sakit kepala, denyut jantung yang cepat,
pusing, dan perasaan cemas, dan xerostomia. Efek samping yang serius mungkin termasuk
memburuknya penyempitan bronkus, detak jantung tidak teratur, dan kadar kalium darah rendah.
Obat ini dapat digunakan selama kehamilan dan menyusui, tetapi keamanan tidak sepenuhnya
jelas. Albuterol adalah short-acting beta2 agonis reseptor adrenergik yang bekerja dengan
menyebabkan otot polos pada saluran napas relaksasi. (Starkey et al, 2014)

Xerostomia merupakan gejala berupa mulut kering akibat produksi kelenjar ludah yang


berkurang. Gangguan produksi kelenjar ludah tersebut dapat diakibatkan oleh
gangguan / penyakit pada pusat ludah, saraf pembawa rangsang ludah ataupun oleh perubahan
komposisi faal elektrolit ludah. Xerostomia dapat menyebabkan kesehatan rongga mulut yang
memburuk dan memudahkan terjadinya karies dalam rongga mulut akibat proses cleansing yang
kurang baik karena aliran saliva yang berkurang.

3.9 HIV/AIDS
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) merupakan penyakit epidemi meningkat
di seluruh dunia tanpa perawatan pasti. Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah
suatu penyakit menular yang disebabkan oleh Human Immuno Deficiency Virus yang dahulu
disebut Lymphadenopaty Associated Virus (LAV) yang kemudian di Amerika Serikat bernama
Human T-Cell Leukemia Virus III (HTLV-III). HTLV-III disebut juga Human T-Cell
Lymphotrophic Virus (suatu retrovirus). Setelah melalui perdebatan yang panjang, penyebab
AIDS kemudian ditetapkan sebagai HIV untuk menggantikan LAV dan HTLV. Sampai saat ini
telah ditemukan 2 subtipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua virus tersebut dapat menyebabkan
AIDS, namun perjalanan penyakit yang disebabkan oleh HIV-2 berlangsung lebih lama.(Little,
JW dkk,2008 dan Scully,2008).

Virus tersebut menyebar di dalam darah, air mata, saliva, air susu, cairan spinal, sekresi
vagina dan cairan semen dari orang yang terinfeksi dan menyebar terutama melalui kontak
seksual, darah, atau produk-produk darah, transplantasi organ, atau secara perinatal (Langlais
dkk, 2009). Virus HIV dikenal sebagai virus limfadenopati atau virus limfotropik sel T. HIV
mempunyai kemampuan melekat dan membunuh limfosit CD4 sehingga mengurangi imunitas
humoral dan imunitas yang diperantarai sel. Untuk berada dalam tubuh manusia HIV harus
langsung masuk ke dalam aliran darah. Di luar tubuh manusia HIV cepat mati oleh air panas,
sabun, dan bahan pencuci hama. Jangka waktu antara kontak awal sampai munculnya infeksi
bervariasi. Umumnya berkisar antara 3-6 bulan setelah terpapar. Orang-orang yang terinfeksi
HIV biasanya menunjukkan limfadenopati menyeluruh dan menetap (PGL) yang kemudian
diikuti oleh AIDS related complex (ARC). Hal tersebut ditandai oleh limfadenopati, kelelahan,
penurunan berat badan, demam, diare, alergi kulit, kandidiasis oral, hairy leukoplakia, dan virus
herpes rekuren (Samaranayake, 2008).

3.9.1 Diagnosis HIV

Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV
dan AIDS ditambahkan dan ditegaskan pula indikasi tes HIV, yaitu:

1. Setiap orang dewasa, anak, dan remaja dengan kondisi medis yang diduga terjadi
infeksi HIV terutama dengan riwayat tuberkulosis dan IMS
2. Asuhan antenatal pada ibu hamil dan ibu bersalin
3. Laki-laki dewasa yang meminta sirkumsisi sebagai tindakan pencegahan HIV
Untuk melakukan tes HIV pada anak diperlukan izin dari orang tua/wali yang memiliki
hak hukum atas anak tersebut (contoh nenek/kakek/orang tua asuh, bila orang tua kandung
meninggal atau tidak ada) merujuk pada peraturan lain terkait anak.

Sedikit berbeda dengan orang dewasa, bayi dan anak memerlukan tes HIV pada kondisi
di bawah ini:

1. Anak sakit (jenis penyakit yang berhubungan dengan HIV seperti TB berat atau
mendapat OAT berulang, malnutrisi, atau pneumonia berulang dan diare kronis
atau berulang)
2. Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV dan sudah mendapatkan tindakan
pencegahan penularan dari ibu ke anak
3. Untuk mengetahui status bayi/anak kandung dari ibu yang didiagnosis terinfeksi
HIV (pada umur berapa saja)
4. Untuk mengetahui status seorang anak setelah salah satu saudara kandungnya
didiagnosis HIV; atau salah satu atau kedua orangtua meninggal oleh sebab yang
tidak diketahui tetapi masih mungkin karena HIV
5. Terpajan atau potensial terkena infeksi HIV melalui jarum suntik yang
terkontaminasi, menerima transfusi berulang dan sebab lain
6. Anak yang mengalami kekerasan seksual.
Sesuai dengan perkembangan program serta inisiatif SUFA maka tes HIV juga harus
ditawarkan secara rutin kepada:
1. Populasi Kunci (Pekerja seks, Penasun, LSL, Waria) dan diulang minimal setiap 6
bulan sekali
2. Pasangan ODHA
3. Ibu hamil di wilayah epidemi meluas dan epidemi terkonsentrasi
4. Pasien TB
5. Semua orang yang berkunjung ke fasyankes di daerah epidemi HIV meluas
6. Pasien IMS
7. Pasien Hepatitis
8. Warga Binaan Pemasyarakatan
9. Lelaki Beresiko Tinggi (LBT)
Tes diagnostik HIV merupakan bagian dari proses klinis untuk menentukan diagnosis.
Diagnosis HIV ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium. Jenis pemeriksaan laboratorium
HIV dapat berupa:

1. Tes serologi
Tes serologi terdiri atas:
a. Tes cepat
Tes cepat dengan reagen yang sudah dievaluasi oleh institusi yang
ditunjuk Kementerian Kesehatan, dapat mendeteksi baik antibodi terhadap
HIV-1 maupun HIV-2. Tes cepat dapat dijalankan pada jumlah sampel
yang lebih sedikit dan waktu tunggu untuk mengetahui hasil kurang dari
20 menit bergantung pada jenis tesnya dan dilakukan oleh tenaga medis
yang terlatih.

b. Tes Enzyme Immunoassay (EIA)


Tes ini mendeteksi antibodi untuk HIV-1 dan HIV-2. Reaksi
antigenantibodi dapat dideteksi dengan perubahan warna
c. Tes Western Blot
Tes ini merupakan tes antibodi untuk konfirmasi pada kasus yang sulit

Bayi dan anak umur usia kurang dari 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat
dan belum dilakukan tes virologis, dianjurkan untuk dilakukan tes serologis pada
umur 9 bulan (saat bayi dan anak mendapatkan imunisasi dasar terakhir). Bila
hasil tes tersebut:

a. Reaktif harus segera diikuti dengan pemeriksaan tes virologis untuk


mengidentifikasi kasus yang memerlukan terapi ARV.
b. Non reaktif harus diulang bila masih mendapatkan ASI. Pemeriksaan
ulang dilakukan paling cepat 6 minggu sesudah bayi dan anak berhenti
menyusu.
c. Jika tes serologis reaktif dan tes virologis belum tersedia, perlu dilakukan
pemantauan klinis ketat dan tes serologis diulang pada usia 18 bulan.
Bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan dengan gejala dan tanda diduga
disebabkan oleh infeksi HIV harus menjalani tes serologis dan jika hasil tes
tersebut:

a. Reaktif diikuti dengan tes virologis


b. Non reaktif tetap harus diulang dengan pemeriksaan tes serologis pada usia
18 bulan.
Pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan
oleh infeksi HIV tetapi tes virologis tidak dapat dilakukan, diagnosis ditegakkan
menggunakan diagnosis presumtif. Pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan
yang masih mendapat ASI, prosedur diagnostik awal dilakukan tanpa perlu
menghentikan pemberian ASI. Anak yang berumur di atas 18 bulan menjalani tes
HIV sebagaimana yang dilakukan pada orang dewasa.

2. Tes virologis Polymerase Chain Reaction (PCR)


Tes virologis Polymerase Chain Reaction (PCR) Tes virologis direkomendasikan
untuk mendiagnosis anak berumur kurang dari 18 bulan. Tes virologis yang
dianjurkan: HIV DNA kualitatif dari darah lengkap atau Dried Blood Spot (DBS),
dan HIV RNA kuantitatif dengan menggunakan plasma darah. Bayi yang
diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa dengan tes virologis
paling awal pada umur 6 minggu. Pada kasus bayi dengan pemeriksaan virologis
pertama hasilnya positif, maka terapi ARV harus segera dimulai; pada saat yang
sama dilakukan pengambilan sampel darah kedua untuk pemeriksaan tes virologis
kedua.

Tes virologis terdiri atas:

a. HIV DNA kualitatif (EID)


Tes ini mendeteksi keberadaan virus dan tidak bergantung pada
keberadaan antibodi HIV. Tes ini digunakan untuk diagnosis pada bayi
b. HIV RNA kuantitatif
Tes ini digunakan untuk diagnosis pada bayi. b. HIV RNA kuantitatif Tes
ini untuk memeriksa jumlah virus di dalam darah, dan dapat digunakan
untuk pemantauan terapi ARV pada dewasa dan diagnosis pada bayi jika
HIV DNA tidak tersedia. Diagnosis HIV pada bayi dapat dilakukan
dengan cara tes virologis, tes antibodi, dan presumtif berdasarkan gejala
dan tanda klinis. 1. Diagnosis HIV pada bayi berumur kurang dari 18
bulan, idealnya dilakukan pengulangan uji virologis HIV pada spesimen
yang berbeda untuk informasi konfirmasi hasil positif yang pertama

3.9.2 Manisfestasi Oral

3.9.2.1 Kandidiasis Oral

Kandidiasis oral seringkali merupakan gejala awal dari infeksi HIV. Faktor utama
etiologi kandidiasis oral adalah jamur Candida albicans, meskipun spesies lain dari Candida
dapat terlibat. Prevalensi yang dilaporkan bervariasi secara luas, sampai setinggi 72% pada anak-
anak dan 94% pada orang dewasa. Kandidiasis oral yang dapat dibedakan menjadi 4 (empat)
bentuk, yaitu : pseudomembranosis (Gambar 1), eritematus (atropik), hiperplastik, dan keilitis
angularis. Jumlah Candida albicans dalam saliva pada penderita HIV positif dan tampaknya
meningkat bersamaan dengan menurunnya rasio limfosit CD4: CD8. Jenis pseudomembranosus
tampak sebagai membran putih atau kuning yang melekat dan dapat dikelupas dengan jalan
mengeroknya, meninggalkan mukosa eritematus di bawahnya. Keadaan ini dapat mengenai
mukosa dimana saja, tetapi lidah dan palatum lunak adalah daerah yang paling sering terkena.
Kondisi ini biasanya akut, tetapi pada penderita HIV bisa bertahan beberapa bulan. Bentuk
eritmatus ditandai oleh daerah merah dan gundul pada bagian dorsum lidah. Kandidosis
hiperplastik kronis pada HIV merupakan sub tipe yang paling langka, tetapi dapat menimbulkan
bercak putih pada mukosa bukal. Tipe ini harus dibedakan dengan hairy leukoplakia, yang
seringkali mengandung kandida pada permukaanya. Semua jenis kandidosis dapat diikuti dengan
terjadinya keilitis angularis yang tampak sebagai fisur merah dan sakit pada sudut mulut,
terutama pada penderita HIV positif (Neville BW, 2003).

Gambar 1. Pseudomembranous candidias pada penderita AIDS

Terapi kandidosis oral pada penderita HIV positif terdiri atas pemberian obatobat topikal,
seperti nystatin atau amphotericin B, walaupun obat-obat tersebut kurang efektif dan gejala dapat
kambuh lagi. Selain itu, dapat pula dilakukan terapi sistemik dengan ketoconazole, fluconazole
atau itraconazole. Penggunaan obat-obat sistemik tersebut sangat efektif tetapi terjadi kekebalan
diantara beberapa strain kandida perlu diwaspadai (Vaseliu, 2010).

3.9.2.2 Oral Hairy Leukoplakia

Oral hairy leukoplakia (OHL) lebih umum terjadi pada orang dewasa yang terinfeksi
HIV daripada anak yang terinfeksi HIV. Prevalensi OHL pada orang dewasa adalah sekitar 20%-
25%, meningkat dengan CD4+ menurun jumlah limfosit, sedangkan pada anak prevalensinya
sekitar 2% -3%. Kehadiran OHL adalah tanda imunosupresi berat (Vaseliu N dkk, 2010). OHL
merupakan lesi putih, tidak berbatas jelas, berkerut, menonjol pada tepi lateral lidah dan
berkaitan dengan virus Epstein Barr dan infeksi HIV. Lesi awal tampak sebagai plak vertikal,
putih, besar, pada tepi lateral lidah, dan umumnya bilateral. Lesi-lesi tersebut dapat menutup
permukaan lateral dan dorsal lidah, meluas ke mukosa pipi dan palatum (Gambar 2) . Lesi
tersebut tanpa gejala dan tidak dapat dihapus, serta mengganggu estetika. Bukti histologi tampak
tonjolan mirip rambut hiperkeratotik, kolisitosis, sedikit radang dan infeksi kandida. Hal ini
sangat penting karena dapat digunakan untuk meramalkan perkembangan AIDS (Regezi JA,
2008). OHL biasanya tidak memerlukan pengobatan apapun, tetapi dalam kasus yang parah
dianjurkan untuk memberikan antiviral sistemik. Ketika OHL dikaitkan dengan kandidiasis oral,
manajemen terapi kandidiasis oral diperlukan.

Gambar 2. Oral Hairy Leukoplakia pada penderita AIDS

3.9.2.3 HIV-Associated Periodontal Disease

Penyakit periodontal merupakan penyakit umum di antara pasien yang terinfeksi HIV.
Hal ini ditandai dengan gusi berdarah, bau mulut, nyeri/ ketidaknyamanan, gigi goyang, dan
kadang-kadang luka. Prevalensi luas berkisar antara 0% dan 50%. Jika tidak diobati, HIV-
Associated Periodontal Disease dapat berkembang menjadi infeksi yang mengancam jiwa,
seperti angina ludwig dan noma (cancrum oris). Gambaran klinis dari HIV-Associated
Periodontal Disease terdiri dari 4 (empat) bentuk yaitu:

1. Linear gingival erythema ditandai dengan terdapatnya garis merah sebesar 2-3 mm sepanjang
marginal gingiva, berhubungan dengan eritema difus pada attached gingiva dan mukosa mulut.
Perawatannya dapat dilakukan scaling dan root planning serta penggunaan chlorhexidin gluconat
0,5 oz dikumur selama 30 detik dan dibuang setiap 12 jam (Neville BW, 2003).

2. NUG lebih sering terjadi pada orang dewasa dibandingkan anak. Hal ini ditandai dengan
adanya ulserasi, pengelupasan, dan nekrosis satu atau lebih papila interdental, disertai rasa sakit,
pendarahan, dan halitosis berbau busuk (Gambar 3). Terapi dengan debridement saja atau
dikombinasi dengan metronidazol jika terdapat demam, malaise, dan anoreksi.

Gambar 3. Necrotizing Ulseratif Gingivitis

3. NUP ditandai hilangnya jaringan lunak dan gigi secara luas dan cepat (Gambar 4).
Gambar 4. Kehilangan tulang Anterior dan posterior pada Necrotizing Ulseratif Periodontitis

4. Necrotizing Stomatitis merupakan kelanjutan yang parah dari NUP yang tidak diobati. Hal ini
ditandai dengan lesi ulceronecrotic akut dan sakit pada mukosa oral yang menyebabkan
terbukanya tulang alveolar.

Pengelolaan dan pengendalian HIVAssociated Periodontal Disease dimulai dengan


menjaga kebersihan mulut yang baik setiap hari. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menyikat
gigi, flossing dan penggunaan obat kumur yang merupakan cara yang efektif untuk mencegah
dan mengendalikan penyakit periodontal.

3.9.2.4 Herpes Simplex Virus (HSV)

Infeksi (HSV) dapat bersifat primer (herpes gingivostomatitis) atau sekunder (herpes
labialis). Prevalensi infeksi HSV oral bervariasi antara 10% dan 35% pada orang dewasa dan
anak-anak yang terinfeksi HIV. Adanya infeksi HSV selama lebih dari 1 bulan merupakan suatu
gejala terjadinya AIDS. Virus ini terdapat dalam jumlah yang besar pada penyakit mulut yan
diderita oleh pasien AIDS. Infeksi HSV membentuk sekelompok vesikel biasanya terlokalisasi
yang terjadi pada mukosa berkeratin (palatum keras, gingiva) dan batas vermillion bibir dan kulit
perioral. Vesikel pecah dan membentuk luka yang menyakitkan tidak teratur dan seringkali
terjadi penggabungan vesikel-vesikel tersebut menjadi ulkus yang besar.

Hal ini menyebabkan terganggunya proses pengunyahan dan penelanan yang akan
mengakibatkan terjadinya penurunan asupan oral dan dan dehidrasi. Pengobatan dilakukan
dengan terapi sistemik acyclovir 800mg peroral setiap 4 jam selama 10 hari. Pada kasus resisten
acyclovir bisa difunakan foscarnet 24-40mg/kg peroral setiap 8 jam.Obat antivirus topical dapat
digunakan untuk lesi herpes labial dan perioral. Pengobatan ini lebih efektif jika dilakukan dalam
tahap infeksi prodromal.

3.9.2.5 Recurrent Aphthous Ulcers

Ini terjadi pada sekitar 1% -7% dari pasien yang terinfeksi HIV. Ditandai dengan ulser
yang sakit pada mukosa oral tidak berkeratin, seperti mukosa labial dan bukal, langit-langit
lunak, dan ventral lidah. Lesi aphthous berulang yang parah biasanya terjadi bila jumlah limfosit
CD4 + kurang dari 100 sel / uL. Gambaran klinisnya bisa berupa ulser minor, mayor atau
herpetiform. Ulkus Aphthous kecil adalah ulkus kurang dari 5 mm ditutupi oleh pseudomembran
dan dikelilingi oleh halo eritematosa. Biasanya sembuh secara spontan tanpa jaringan parut.
Ulkus aphthous besar menyerupai ulkus aphthous kecil, tetapi jumlahnya lebih sedikit dan
ukuran lebih besar dengan diameter (1-3 cm), lebih sakit serta bertahan lebih lama. Ulkus ini
mengganggu pengunyahan, menelan, dan berbicara. Penyembuhan terjadi lebih 2-6 minggu.
Ulkus aphthous herpetiform berupa lesi kecil (1-2 mm) yang tersebar di langit-langit lunak,
amandel, lidah, dan mukosa bukal. Pengobatan. Pengobatan awal bagi kasus ini adalah kontrol
nyeri dan pencegahan superinfeksi. Pengobatan secara topikal dengan pasta triamcinolon 0,1%,
bethametason fosfat, fluocinonide 0,05%, dexamethasone elixir 0,5mg/ml (Vaseliu N dkk, 2010).

3.9.2.6 Virus Varicella Zoster (VZV)

Lebih sering kambuh pada pasien HIV positif daripada pasien biasa. Gambaran klinisnya
sama, tetapi prognosisnya lebih buruk pada pasien imunosupresi. VZV menimbulkan vesikel
multipel yang terletak pada batang tubuh atau wajah secara unilateral dan biasanya sembuh
sendiri dan unilateral. Vesikel-vesikel kepala dijumpai disepanjang cabang saraf trigeminus, baik
intra maupun ektra oral. Pembentukan vesikel, gabungan vesikel, ulkus, dan terbentuknya sisik
adalah khas pada infeksi VZV. Sakit menyayat adalah gejala utamanya, dapat menetap sebagai
post herpetik neuralgia. Terapi dengan acyclovir seringkali digunakan untuk mempercepat
penyembuhan dan meringankan gejala (Langlais RP, 2009).

3.9.2.7 Citomegalo Virus (CMV)


CMV terdapat hampir 100 % pada pria homoseksual HIV positif dan hampir 10% anak-
anak pada AIDS. Virus ini mempunyai predileksi untuk jaringan kelenjar saliva dan dijumpai
dalam saliva pasien. Perubahan peradangan meliputi pembengkakan kelenjar parotis unilateral
dan bilateral serta xerostomia. Lesi oral tidak spesifik dan bisa terjadi pada semua mukosa
(Cawson RA, 2008).

3.9.2.8 Virus Papiloma Manusia (HPV)

HPV sering dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV. Telah dikenal lebih dari 65
serotipe, dengan berbagai lesi mukokutan, seperti papiloma squamosa, veruka vulgaris,
hiperplasia epitel fokal (penyakit Heck) dan kondiloma akumilatum. Lesi lebih banyak terjadi
pada orang dewasa (1% -4% kasus) dibandingkan pada anak-anak. Gambaran klinisnya seperti
kembang kol, berduri, atau timbul dengan permukaan datar. Lokasi yang paling umum adalah
mukosa labial dan bukal. Pengobatan mungkin diperlukan untuk pasien dengan beberapa lesi.
Pengobatan topikal dengan resin podhopyllin 25%, bedah eksisi, terapi laser dan cryotherapi.

3.9.2.9 Kondiloma Akumilatum

Disebut juga kutil kelamin, menonjol, kecil, lunak, merah muda sampai abu-abu kotor
yang mempunyai permukaan seperti kembang kol. Lesi ini multipel, kambuh, dan bergabung,
menjadi lebih lebar, berbintil-bintil, dan tak bertangkai. Lesi ini dapat dijumpai pada mukosa
mulut, tertuma ventral lidah, gusi, mukosa bibir, dan palatum. Penularan terjadi secara kontak
langsung yaitu penjalaran secara kontak dari anus ke daerah genitalia. Perawatan yang dilakukan
adalah eksisi ipkal dan menghilangkan semua lesi dari pasangan seksual yang terinfeksi (Scully
C, 2008).

3.9.2.10 Sarkoma Kapossi

Seringkali Kapossi merupakan tumor sel endotelial ganas yang hampir selalu terjadi pada
penderita HIV positif. Keganasan itu adalah tumor dari proliferasi vaskuler yang terjadi pada
kulit maupun jaringan mukosa. Lesi terjadi pada palatum, tampak sebagai bercak berdarah/ungu
pada tahap awal yang akan berubah menjadi eksofitik. Penyebabnya belum diketahui, namun
diperkirakan berkaitan dengan CMV. Sarkoma Kapossi ditandai oleh 3 tahap. Awalnya,
keganasan merupakan makula merah tanpa gejala, selanjutnya membesar menjadi plak merah
biru. Lesi yang lanjut nemapak sebagai nodula biru ungu, berlobus, berulserasi, dan
menyebabkan sakit. Perawatannya adalah paliatif dengan memakai radiasi dan kemoterapi
(Scully C, 2008).

3.9.2.11 Limfoma Sel-B Non Hodgkins dan Karsinoma Sel Squamosa

Seringkali dihubungkan dengan infeksi HIV sebagai akibat dari penjagaan kekebalan
abnormal yang dapat meningkatkan proliferasi neoplastik. Limfoma nonhodgkins sering tampak
sebagai masa ungu, difus, cepat berproliferasi dari kompleks palatum retromolar. Karsinoma sel
squamosa sering dijumpai sebagai lesi putih kemerahan atau berulserasi pada tepi lateral lidah.

3.9.3 Pertimbangan Perawatan gigi

Sebagai seorang dokter gigi pertimbangan utama dalam perawatan dental adalah untuk
meminimalisasi kemungkinan penularan HIV dari pasien yang terinfeksi kepada mereka sendiri,
para staf, dan pasien lain (Samaranayake L, 2008).

1. Meskipun saliva tidak menimbulkan penularan virus, namun potensi itu tetap ada. Prosedur
dental yang bersinggungan dengan jaringan lunak dapat menyebabkan saliva bercampur darah,
yang merupakan tempat penularan HIV.

2. Rencana perawatan untuk pasien HIV sama dengan pengobatan pasien kompleks lainnya
dengan potensial terjadinya kerusakan fatal. 4 (empat) parameter yang perlu dipertimbangkan
untuk formulasi rencana perawatan yang tepat pada pasien ini adalah:

a. Kondisi kesehatan pasien menentukan kemampuannya untuk bertahan pada kunjungan


perawatan dental.

b. Hal yang penting untuk memperbaiki fungsi penyembuhan pasien.

c. Prognosis pasien, dan


d. Keadaan keuangan.

3.9.4 Pengobatan Antiretroviral

Pengobatan antiretroviral merupakan bagian dari pengobatan HIV dan AIDS untuk
mengurangi risiko penularan HIV, menghambat perburukan infeksi oportunistik, meningkatkan
kualitas hidup penderita HIV, dan menurunkan jumlah virus (viral load) dalam darah sampai
tidak terdeteksi.

Pengobatan antiretroviral sebagaimana dimaksud diberikan kepada:

a. penderita HIV dewasa dan anak usia 5 (lima) tahun ke atas yang telah menunjukkan
stadium klinis 3 atau 4 atau jumlah sel Limfosit T CD4 kurang dari atau sama dengan 350
sel/mm3;
b. ibu hamil dengan HIV
c. bayi lahir dari ibu dengan HIV;
d. penderita HIV bayi atau anak usia kurang dari 5 (lima) tahun;
e. penderita HIV dengan tuberkulosis;
f. penderita HIV dengan hepatitis B dan hepatitis C;
g. penderita HIV pada populasi kunci;
Yang dimaksud berisiko adalah kelompok populasi kunci (pekerja seks, pengguna napza
suntik, LSL, waria) dan kelompok khusus: pasien hepatitis, ibu hamil, pasangan
serodiskordan, pasien TB, pasien Infeksi Menular Seksual (IMS), dan Warga Binaan
Permasyarakatan (WBP).
h. penderita HIV yang pasangannya negatif;
i. penderita HIV pada populasi umum yang tinggal di daerah epidemi HIV meluas.

Daftar obat ARV di Indonesia berikut nama dagang sering digunakan, dosis dan efek sampingnya

Golongan Sediaan dan Efek Samping Keterangan


dosis yang
digunakan
Nucleoside Reverse Trancriptase Inhibitor (NRTI)
Zidovudine (AZT) 250 - 300 mg setiap Perlu dilakukan Dalam suhu kamar
(Reviral®) 12 jam Pemantauan Duviral® merupakan
Dosis 250 mg efek samping FDC dari AZT+3TC
dapat diberikan supresi sumsum
tanpa mengurangi tulang (anemi
efektifivatas AZT makrositik atau
dengan netropeni)
kemungkinan ES lain: asidosis laktat
timbulnya efek dengan steatosis
samping yang hepatitis (jarang);
lebih rendah intoleransi
Dosis 250 mg gastrointestinal; sakit
sementara tidak kepala; sukar tidur;
tersedia di miopati; pigmentasi kulit
Indonesia dan kuku
Stavudine (d4T) 30 mg; diberikan Neuropati perifer, Dalam suhu kamar
(Staviral®) tiap 12 jam lipodistrofi dan laktat
asidosis merupakan efek
samping yang sering
timbul. Pemeriksaan
ketiga gejala tersebut
diatas perlu dilakukan
secara terus menerus
ES lain Pankreatitis
Lamivudine (3TC) 150 mg; diberikan Toksisitas rendah Dalam suhu kamar. Jika
(Hiviral®) tiap 12 jam Efek samping asidosis ODHA telah
atau 300 mg setiap laktat dengan steatosis mendapatkan
24 jam hepatitis (jarang) Lamivudin untuk tujuan
pengobatan Hepatitis B
.
sebelumnya, maka
Lamivudine tidak dapat
digunakan karena telah
terjadi resisten.
Duviral® merupakan
FDC dari AZT+3TC
Didanosine (ddI) 250 mg ( BB < Didanosine merupakan Tablet dan kapsul dalam
60 mg) dan 400 obat dari golongan “ d “ suhu kamar. Puyer harus
mg ( BB > 60 drugs bersama dengan d4T dalam refrigerator,
mg): dan ddC. ddI tidak dapat suspensi oral/ formula
diberikan single digunakan bersama pediatrik dapat tahan
dose setiap 24 dengan d4T karena hingga 30 hari bila
jam (tablet bufer memperkuat timbulnya disimpan dalam lemari
atau kapsul efek samping seperti es.
enteric coated) pankreatitis, neuropati, Sudah tidak digunakan di
asidosis laktat, lipoatrofi. Indonesia
Efek samping lain:
asidosis laktat dengan
steatosis
hepatitis (jarang); mual;
muntah; diare
ddI tidak boleh
digunakan bersama
dengan Tenovofir karena
interaksi obat yang
menyebabkan kadar
Tenofovir dalam darah
turun sehingga
menyebabkan kegagalan
pengobatan
ddI juga tidak
direkomendasikan untuk
digunakan bersama
dengan Abacavir karena
data pendukung yang tidak
cukup
Abacavir (ABC) 300 mg; diberikan Abacavir Dalam suhu kamar
(Ziagen®) tiap 12 jam mempunyai efek Hanya digunakan untuk
ATAU 600 mg samping formula anak
setiap 24 jam hipersensitivitas
dengan insiden
sekitar 5 – 8 %
(dapat fatal).
Demam, ruam, kelelahan,
mual, muntah, tidak nafsu
makan
Gangguan pernafasan
(sakit tenggorokan, batuk)
asidosis laktat dengan
steatosis hepatitis (jarang)
Penggunaan Abacavir
harus dihentikan jika
terjadi reaksi alergi dan
TIDAK boleh digunakan
lagi ( re-start)
Efek samping abacavir
sama dengan efek samping
Nevirapine dan
kotrimoksasol sehingga
penggunaan Abacavir
bersama dengan
Nevirapine merupakan
kontra indikasi
Pada negara maju,
pemeriksaan HLA *B
5701 sebelum
memberikan Abacavir,
jika HLA*B5701 negatif
maka Abacavir dapat
digunakan
Penggunaan Abacavir
dapat menyebabkan
cardiomiopati, terjadi
terutama jika viral load >
100,000 copies/ml
Emtricitabine (FTC) 200 mg setiap 24 Merupakan turunan dari Dalam suhu kamar
jam 3TC, dapat digunakan Truvada® - merupakan
pada Hepatitis B FDC dari TDF+FTC
Atripla® -
merupakan FDC
dari
TDF+FTC+EFV
Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor (NtRTI)
Tenofovir (TDF) 300 mg; diberikan Insufisiensi fungsi ginjal, Dalam suhu kamar
(Viread®) single dose setiap sindrom Fanconi, sehingga Truvada® - merupakan
24 jam perlu dilakukan FDC dari TDF+FTC
(Catatan: pemeriksaan fungsi ginjal
Atripla® -
interaksi sebagai data awal
merupakan FDC
obat dengan (baseline data)
dari
ddI, tidak Astenia, sakit kepala, TDF+FTC+EFV
lagi diare, mual, muntah, perut
dipadukan kembung; Penurunan bone
dengan ddI) mineral density;
Osteomalasia.
Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)
Nevirapine 200 mg setiap 24 Efek samping pada Dalam suhu kamar
(Neviral®) jam selama nevirapine adalah dose
14 hari, kemudian dependent, sehingga untuk
200 mg 2 minggu pertama
setiap 12 jam dilakukan eskalasi dosis
200mg/dosis tunggal dan
200 mg /12 jam pada hari
ke 15 dan seterusnya
Jika Nevirapine
digunakan untuk
mengganti
(substitusi)
Efavirense maka
nevirapine langsung
diberikan dengan
dosis penuh tanpa
escalating dosis
Efek samping nevirapine
lainnya yang perlu
diperhatikan adalah
hepatotoksik.
Nevirapine dihentikan
jika terjadi kenaikan
SGPT > 5 kali dari
baseline
Nevirapine dihentikan
jika terjadi steven –
Johnson sindrom dan
tidak boleh di ulang
kembali.
Pemberian Nevirapine
pada wanita dengan CD4
> 250 dan pria dengan
CD4 > 400 perlu
dilakukan Pemantauan
ketat terhadap timbulnya
reaksi alergi
Nevirapine TIDAK boleh
digunakan untuk Post
Exposure Prophylaxis
( PEP)
Nevirapine dapat
dipertimbangkan
untuk digunakan
bersama dengan
Rifampisin jika
Efaviren
merupakan
kontraindikasi.
Efavirenz TIDAK
direkomendasikan untuk
digunakan guna keperluan
substitusi jika
telah terjadi Steven
Johnson syndrome
Efavirenz 600 mg; diberikan Gejala SSP: pusing, Dalam suhu kamar
(Stocrine®) single dose 24 jam mengantuk, sukar tidur, Atripla® -
(malam) hari bingung, halusinasi, merupakan FDC
(Efavir®)
agitasi, seperti susah dari
(Sustiva®) konsentrasi, insomnia, TDF+FTC+EFV
vivid dream, depresi,
skizofrenia.
Peningkatan kadar
transaminase.
Hiperlipidemi.
Ginekomasti. Ruam kulit.
Potensi teratogen
Merupakan obat pilihan
utama pada ko-infeksi
TB/HIV
Mempunyai profile efek
samping yang sama
dengan Nevirapine dengan
insiden yang lebih rendah
Pemantauan efek samping
pada gangguan mental
Pada wanita hamil,
Efavirenz diberikan
setelah trimester pertama
Dilaporkan
menyebabkan false
positif pada skrining
cannabis dan
benzodiazepine.
Protease Inhibitor (PI)
Lopinavir/ ritonavir Tablet heat stable Efek samping Dalam suhu kamar
(LPV/ r) lopinavir 200 mg metabolic seperti
+ ritonavir 50 hiperglikemia
(Aluvia®)
mg: (diabetes),
400 mg/100 mg hipercholestrolemi,
setiap 12 jam lipoakumulasi perlu
dimonitor pada
Untuk pasien penggunaan jangka
dalam terapi TB panjang
yang mengandung Intoleransi
Rifampisin gastrointestinal, mual,
digunakan LPV muntah, peningkatan
800 mg + RTV enzim transaminase
200 mg dua kali Kontra indikasi
sehari, dengan relatif untuk
pemantauan ketat digunakan bersama
keadaan klinis & dengan Rifampisin
fungsi hati karena adanya
interkasi obat yang
menyebabkan kadar
LPV/r hilang hingga
90%

3.9.5 Terapi ARV pada Pengguna NAPZA Suntik

Kriteria klinis dan imunologis untuk pemberian terapi ARV pada pasien dengan
ketergantungan NAPZA tidak berbeda dengan rekomendasi umum. Pengguna NAPZA suntik yang
memenuhi persyaratan untuk mendapatkan terapi ARV harus pula dijamin dapat menjangkau obat.
Perhatian khusus untuk populasi tersebut adalah berhubungan dengan gaya hidup yang tidak
menentu sepanjang hidupnya sehingga dapat mempengaruhi kepatuhan terapinya. Selain itu perlu
diperhatikan kemungkinan terjadi interaksi antara terapi ARV dengan zat-zat yang mereka
gunakan seperti misalnya Metadon. Dianjurkan pengembangan suatu program yang memadukan
perawatan ketergantungan obat (termasuk terapi substitusi) dengan HIV sehingga pasien terpantau
dengan lebih baik. Penggunaan paduan ARV dengan dosis sekali sehari masih dalam penelitian
untuk diterapkan sehingga bisa untuk mempermudah terapi.

3.9.6 Kelainan-Kelainan Di Rongga Mulut Akibat Efek Samping Penggunaan Obat


Antiretrovirus Pada Pasien Hiv / Aids Dan Perawatannya

Dimulainya pengobatan menggunakan golongan antiretrovirus telah memberikan hasil


berkurangnya frekuensi dari beberapa kelainan yang disebabkan oleh infeksi HIV, termasuk
kelainan oral. Tetapi di samping menurunkan frekuensi beberapa kelainan rongga mulut, obat ini
ternyata juga dapat menimbulkan bahkan meningkatkan kelainan rongga mulut lainnya.

1. Sindroma Steven-Johnson Sindroma

Steven-Johnson merupakan suatu reaksi hipersensitivitas dengan karakteristik blister pada


kulit yang akut dan erosi membran mukosa. Etiologi dari SSJ sukar untuk ditentukan
dengan pasti karena dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Walaupun demikian pada
umumnya SSJ sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat, dimana 50 % penyebab
SSJ adalah penggunaan obat. Ada beberapa jenis obat-obatan yang dapat menyebabkan
SSJ, salah satu diantaranya adalah Nevirapine antiretrovirus golongan NNRTI.

Sebenarnya mekanisme dari timbulnya reaksi SSJ masih tidak jelas, namun diduga hal ini
disebabkan oleh reaksi antara limfosit T dan sel target (keratinosit) yang dipicu adanya
antigen, reaksi ini disebut “delayed drug hypersensitivity reaction”. Interaksi ini
menyebabkan keluarnya perforin dan granzyme B dari limfosit T sehingga terjadi apoptosis
keratinosit dan vaskulitis. Kehancuran lapisan epitel terjadi akibat adanya Fas ligand, suatu
molekul tumour necrosis factor (TNF) yang berikatan dengan reseptor Fas pada keratinosit.

Dalam menanggulangi masalah SSJ ini, pertama sekali harus dicari dahulu penyebab
utamanya, bila penyebabnya adalah obat-obatan antiretrovirus maka penatalaksanaan
utamanya adalah penghentian obat tersebut, kemudian perawatan dilanjutkan terhadap
masalah yang bersifat simtomatik, yakni berupa pemberian antihistamin untuk mengatasi
gejala pruritus/gatal, larutan burowi untuk blister kulit, steroid topikal untuk papula dan
makula pada kulit yang intak, antibiotika untuk mengobati infeksi kulit menggunakan yang
berspektrum luas dan Imunoglobulin intravena untuk menghambat kematian keratinosit
oleh Fas. Sedangkan perawatan konservatif ditujukan untuk merawat lesi kulit yang terbuka
dengan berkoordinasi dengan unit luka bakar, terapi cairan elektrolit, alimentasi kalori dan
protein secara parenteral dan pengendalian nyeri

2. Makroglosia

Makroglosia merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan lidah yang membesar
secara abnormal.Etiologi dari kelainanan lidah ini bervariasi dan dapat disebabkan oleh
hipertrofi otot idiopatik, malformasi vaskuler, kelainan endokrin, reaksi alergi, tumor, dlll.
Selain beberapa etiologi di atas, makroglosia juga dapat disebabkan oleh obat-obatan.
Diantara obat-obatan tersebut Lopinavir/Ritonavir obat antiretrovirus golongan PI juga
termasuk di dalamnya. Dari sebuah laporan kasus yang terjadi di daerah Thessaloniki
(Yunani) ditemukan kelainan lidah berupa makroglosia pada seorang pasien HIV yang
disebabkan oleh penggunaan Lopinavir/Ritonavir.

Makroglosia pada penderita HIV/AIDS karena penggunaan obat-obatan antiretrovirus


terjadi karena efek samping berupa redistribusi lemak pada tubuh, dimana lemak tersebut
menginfiltrasi jaringan terkhusus pada jaringan lidah yang terlihat dari bukti histopatologis
berupa penumpukan jaringan lemak pada jaringan lidah. Apabila penyebab makroglosia
tersebut adalah obat antiretrovirus yang digunakan oleh pasien maka dapat dikonsultasikan
kepada dokter yang memberikan terapi antiretrovirus tersebut untuk mengganti obat dengan
jenis lain yang diperkirakan tidak akan memberikan efek samping yang sama karena
perawatan yang dapat dilakukan adalah menghilangkan penyebab utamanya atau dapat
dilakukan koreksi secara bedah

3. Warts

Warts adalah tumor atau pertumbuhan pada kulit yang disebabkan oleh Human
Papillomavirus (HPV). Lesi ini umumnya kecil (<5 mm), asimtomatik, dan memiliki
gambaran eksofitik dengan hiperkeratosis seperti daun pakis, papula yang mempunyai
bentuk seperti kubah dengan warna seperti mukosa normal atau putih akibat hiperkeratosis
atau papula dengan bagian datar pada puncaknya yang hanya sedikit bertumbuh di atas
permukaan dan umumnya seperti mukosa normal. Pada pasien HIV/AIDS sebenarnya
kelainan ini telah ada, berdasarkan sebuah penelitian persentase timbulnya sekitar 5% pada
pasien yang tidak diberi terapi antiretrovirus. Namun setelah diperkenalkannya penggunaan
antiretrovirus, lesi ini mengalami peningkatan yang cukup tinggi, dimana pada pasien yang
menggunakan Reverse Transkriptase lesi ini meningkat menjadi 15% sedangkan pada
pasien yang diberi tambahan PI persentasenya bisa meningkat sampai 23%.28 Mekanisme
pasti dari meningkatnya persentase warts pada pasien yang menerima terapi antiretrovirus
belum diketahui pasti, tetapi ada perkiraan bahwa kemungkinan peningkatan persentase ini
disebabkan oleh efek samping berupa Immune reconstitution syndrome. Pada sindroma ini
imunitas dari tubuh akan kembali setelah pasien menerima terapi obat antiretrovirus
sehingga tubuh akan kembali bereaksi terhadap HPV yang telah ada sebelumnya sehingga
reaksi inflamasi akan semakin parah. Sebenarnya efek samping ini akan berkurang seiring
waktu, tetapi waktu yang diperlukan oleh setiap individu tidak sama. Tetapi akibat keluhan
yang dirasakan pasien baik karena estetis maupun rasa sakit yang ditimbulkan maka dapat
dilakukan perawatan meskipun hal ini sulit mengingat lesi ini sering kambuh. Perawatan
yang dapat dilakukan adalah kimiawi dengan menggunakan asam salicylic untuk
menyingkirkan bagian sel yang mati pada permukaan kulit, cryotherapy dengan
menggunakan nitrogen cair untuk menghancurkan kulit yang terinfeksi, electrosurgery
untuk menyingkirkan warts yang luas dan mengganggu serta pengobatan lainnya seperti
immune modulator contohnya Imiquimod.
4. Xerostomia
Xerostomia merupakan kondisi dimana saliva tidak dapat berfungsi dengan baik sehingga
menyebabkan kondisi mulut menjadi kering. Xerostomia dapat disebabkan oleh berbagai
hal seperti efek samping obat, komplikasi penyakit dan infeksi, dehidrasi, terapi radiasi
dan pembedahan untuk membersihkan kelenjar saliva. Antiretrovirus merupakan salah
satu obat yang memberikan efek samping xerostomia. Obat antiretrovirus yang dapat
memberikan efek samping xerostomia adalah Didadosine, Efivarenz, Indinavir,
Nelfinavir, Ritonavir dan Saquinavir. Penyebab pasti dari terjadinya xerostomia pada
pasien HIV belum diketahui pasti tetapi dari beberapa efek samping obat antiretrovirus,
infiltrasi lemak pada kelenjar parotis mungkin merupakan salah satu hal yang dapat
menyebabkan hal ini, karena pembesaran kelenjar parotis yang kemungkinan akan
mengganggu aliran saliva. Penanggulangan masalah xerostomia adalah dengan mencari
penyebab utamanya untuk diatasi bila memungkinkan. Bagi pasien yang xerostomianya
berhubungan dengan pengobatan, perawatan terhadap simtom mungkin akan berguna
untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan regimen obat yang digunakannya. Perawatan
terhadap simtom secara khusus dibagi dalam 4 hal, yaitu : meningkatkan aliran saliva
yang keluar dengan cara menstimulasinya menggunakan bahan-bahan kimia seperti
anhydrous crystalline maltose, menggantikan sekresi yang hilang dengan menggunakan
saliva buatan, mengontrol karies gigi dan tindakan khusus seperti pengobatan terhadap
infeksi.
5. Cheilitis
Cheilitis merupakan kondisi bibir yang terlihat kering, bersisik dan mungkin memiliki
satu atau lebih retakan atau fisur yang kecil. Etiologi dari penyakit ini terdiri dari
berbagai faktor seperti infeksi, faktor mekanik, nutrisional atau imunologi. selain hal
tersebut obat-obatan juga dapat menyebabkan timbulnya cheilitis walaupun tanpa adanya
infeksi Candida albicans. Obat antiretrovirus juga termasuk dalam obat-obatan yang
dapat menimbulkan efek samping berupa cheilitis, khususnya dari golongan PI yaitu
Indinavir dan Ritonavir. Mekanisme terjadinya cheilitis yang disebabkan oleh
antiretrovirus belum diketahui pasti tetapi ada yang mencoba menghubungkan hal ini
dengan efek samping beberapa antiretrovirus yang akan mempengaruhi metabolisme
retinol, yang menyebabkan peningkatan level retinol atau asam retinoid atau
mempengaruhi jalur sinyal mediasiretinoid. Peningkatan level asam retinoid ini
diperkirakan berperan terhadap timbulnya cheilitis.
Penanganan utamanya adalah menghilangkan segala faktor sistemik yang menjadi
penyebab timbulnya cheilitis dan bila disebabkan oleh infeksi maka organisme yang
menginfeksi tersebut harus di eliminasi. Perawatan potensial terhadap simtomnya adalah
penggunaan protectans untuk mengurangi sementara cheilitis tersebut dan membantu
mempertahankan bibir agar tidak menjadi kering akibat angin atau karena udara dingin,
hidrokortison berguna untuk mengobati iritasi minor pada kulit, gatal dan ruam-ruam.
6. Parotid Lipomatosis
Parotid lipomatosis merupakan penumpukan lemak pada jaringan kelenjar ludah parotis.
Penumpukan lemak yang tidak normal di sini disebabkan oleh obat antiretrovirus
golongan PI yang telah diketahui memberikan efek samping penumpukan lemak tidak
normal pada pasien HIV. Obat antiretrovirus yang telah dilaporkan memberikan efek
samping parotid lipomatosis diantaranya adalah Saquinavir, Amprenavir, Indinavir,
Nelfinavir, Ritonavir. Mekanisme terjadinya belum diketahui pasti tetapi salah satu
hipotesis memberi masukan bahwa kelainan ini mungkin terjadi akibat efek samping obat
antiretrovirus yaitu terjadinya redistribusi lemak, dimana HIV-1 PI menginduksi
lipodistropy perifer dan hal ini disebabkan oleh penghambatan 2 protein yang meregulasi
metabolisme lemak, Hal ini menyebabkan berkurangnya diferensiasi dan meningkatnya
kematian sel adiposa perifer dengan kerusakan penyimpanan lemak dan pelepasan lipid.
Belum ada perawatan yang spesifik untuk kasus parotid lipomatosis yang disebabkan
oleh obat antiretrovirus ini tapi dari sebuah kasus yang terjadi, setelah obat yang
diperkirakan menjadi penyebab digantikan dengan obat lain ternyata kelainan ini menjadi
berkurang.

3.10 Kondisi Oral pada Pengguna Heroin


Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia melaporkan heroin merupakan
jenis narkoba kelima terbanyak setelah shabu (meth), ganja, miras, dan ekstasi. Rendahnya
kualitas kesehatan rongga mulut pada kelompok individu dengan masalah adiksi sudah sejak
lama dilaporkan dan sudah banyak diteliti lebih lanjut hingga saat ini. Dengan adanya
peningkatan jumlah publikasi, terutama dalam beberapa tahun terakhir ini, menunjukkan
adanya peningkatan perhatian terhadap kesehatan rongga mulut pada kelompok ini di banyak
negara. Jenis maupun tingkat keparahan kelainan rongga mulut yang dilaporkan bervariasi
bergantung dari jumlah subjek, desain penelitian, dan jenis zat adiktif yang diteliti (Gracia et
al, 2014).
Studi telah menemukan hubungan antara penggunaan obat terlarang dan kebersihan
mulut yang buruk, asupan gula tinggi, penggunaan alkohol dan tembakau. Ketergantungan
pada obat-obatan juga terkait dengan konsekuensi sosial, keuangan, dan kesehatan yang
parah. Salah satu dari banyak efek merugikan yang dilaporkan dicatat dengan penggunaan
metamfetamin jangka panjang adalah karies gigi yang parah, yang secara luas disebut
sebagai " meth mouth " dalam literatur ilmiah dan di media. Pertama kali dilaporkan oleh
Shaner pada tahun 1992, " meth mouth " digambarkan sebagai karies rampan dalam suatu
pola yang secara khusus pada permukaan bukal dan lingual, dan dengan kerusakan struktur
koronal yang sering dianggap sebagai residu ujung akar. Sementara deskripsi pola karies
atipikal pada orang dewasa ini diperkirakan spesifik untuk penggunaan metamfetamin, pola
ini juga dikaitkan dengan hiposalivasi sekunder akibat pengobatan radiasi dan pertama kali
dilaporkan dengan penggunaan heroin berkepanjangan dan pada pengguna poli-narkoba
lainnya. Selain pola karies atipikal, bruxism, attrition, dan trismus juga telah dilaporkan di
kalangan pengguna narkoba, termasuk pengguna metamfetamin (Brown et al. 2012).
Etiologi karies gigi sekunder akibat penggunaan obat terlarang dan perilaku kesehatan
terkait telah dikaitkan dengan hipofungsi saliva, kebersihan mulut yang buruk, dan konsumsi
karbohidrat olahan yang tinggi. Penggunaan metamfetamin diduga merangsang reseptor
alpha-2 inhibitor melalui sistem saraf pusat, sehingga menghambat aliran saliva non-
stimulasi. Namun, sementara beberapa laporan kasus klinis dan pesan kesadaran publik
tentang " meth mouth " telah dipublikasikan, beberapa studi epidemiologi telah meneliti
hubungan antara penggunaan metamfetamin dan manifestasi klinis karies gigi sekunder,
atipikal atau pola kehilangan gigi pada suatu populasi. Studi observasional telah menemukan
tingkat karies yang lebih tinggi pada pengguna narkoba dibandingkan pengguna non-
narkoba, dan tingkat kehilangan gigi yang lebih tinggi pada pengguna metamfetamin
dibandingkan pengguna non-narkoba. Shetty dan rekannya melaporkan hubungan signifikan
antara gigi yang hilang dengan penggunaan methamphetamine yang disuntikkan
dibandingkan dengan merokok sebagai rute pemberian obat. Masih belum jelas apakah
tingkat karies tinggi merupakan konsekuensi dari penggunaan narkoba suntikan, atau apakah
itu spesifik untuk penggunaan metamfetamin karena istilah "meth mouth" digunakan (Brown
et al. 2012).
Karies merupakan kelainan pada struktur gigi yang bersifat kronik dan dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain diet yang kaya akan gula, mikroorganisme kariogenik,
permukaan gigi, saliva, serta waktu. Banyak peneliti yang menyimpulkan bahwa pada
kelompok pengguna heroin, prevalensi karies yang tinggi sering disebabkan berkurangnya
produksi saliva, rendahnya kebiasaan menjaga kebersihan rongga mulut, serta meningkatnya
asupan makanan dan minuman yang banyak mengandung gula (Gracia et al, 2014).
Cara kerja heroin dalam menurunkan produksi saliva sama seperti golongan opioid
lainnya, yaitu dengan menghambat proses sinyaling perifer sehingga terjadi gangguan pada
reseptor muskarinik parasimpatik. Selain gangguan sinyaling, berkurangnya produksi saliva
pada pengguna heroin juga dapat disebabkan adanya obat atau zat lain yang bersifat
serogenik. Sebagian besar pengguna terapi heroin juga mendapat obat antidepresan yang
bersifat serogenik. Dalam penelitian kami ditemukan sebagian besar subjek mengonsumsi
obat atau zat adiktif lainnya, seperti alprazolam, kanabis, alkohol, nikotin, dan bahkan
beberapa subjek masih mengonsumsi heroin (Gracia et al, 2014).
Selain perubahan pada kuantitas saliva, tingginya prevalensi gigi karies pada
kalangan pengguna heroin juga disebabkan adanya perubahan pola asupan makanan dan
minuman. Pengguna heroin lebih memilih makanan yang banyak mengandung gula, namun
kurang serat. Perubahan ini merupakan akibat teraktivasinya reseptor-reseptor yang berperan
dalam reward pathway, yaitu reseptor μ dan reseptor κ, oleh heroin maupun opioid lainnya.
Selanjutnya, perubahan pola asupan makanan dan minuman ini mempercepat pembentukan
plak di rongga mulut. Ditambah dengan kebersihan rongga mulut yang buruk, maka jumlah
gigi berlubang meningkat pada kelompok pengguna heroin (Gracia et al, 2014).
Selain prevalensi gigi karies yang tinggi, banyak peneliti yang melaporkan tingginya
prevalensi kelainan jaringan periodontal dan mukosa. Kelainan jaringan periodontal dan
mukosa juga berhubungan dengan berkurangnya produksi saliva. Saliva mengandung
beberapa komponen yang berperan penting sebagai pertahanan imun lokal rongga mulut.
Seperti temuan dalam penelitian ini, 100% subjek penelitian menderita kelainan jaringan
periodontal (77,1% periodontitis kronik; 22,9% gingivitis marginalis kronik). Tingginya
prevalensi kelainan jaringan periodontal dalam penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
Ma et al. pada tahun 2012. Menurut Ma et al., keparahan jaringan periodontal dipengaruhi
oleh pembentukan plak dan kalkulus, usia, serta lama pemakaian zat adiktif (Gracia et al,
2014).

3.11 Tembakau
Tembakau adalah produk pertanian yang diproses dari daun tanaman genus
Nicotiana. Tembakau dapat dikonsumsi, dipergunakan sebagai obat dalam bentuk nikotin
tartrat, tetapi juga dapat dipergunakan sebagai pestisida. Tembakau dikonsumsi dengan cara
yang bervariasi, bisa sebagai smoked tobacco atau smokeless tobacco. Smoked tobacco
dikenal antara lain sebagai rokok, cerutu, atau dengan menggunakan pipa. Smokeless
tobacco dikenal ntara lain sebagai daun tembakau yang dikunyah, daun tembakau yang
dikunyah dikombinasi dengan pinang, tembakau potongan kasar yang kering, atau tepung
tembakau yang dipertahankan di rongga mulut dengan meletakkannya di antara pipi dan gusi.
Penggunaan tembakau yang dikunyah ataupun dikombinasi dengan pinang banyak dijumpai
di desa-desa negara berkembang atau sebagai suatu tradisi dari suatu negara. Sayangnya
semua kebiasaan yang berkaitan dengan tembakau adalah kebiasaan buruk yang dapat
membahayakan kesehatan dirinya sendiri maupun orang lain (Little, et al., 2008; Walsh and
Ellison, 2005; Bouquot and Schroeder, 1992).
Selama ini pengaruh tembakau hanya dikaitkan dengan kesehatan umum saja
sedangkan di bidang kedokteran gigi tembakau dikenal terutama karena memberi pewarnaan
gigi yang mengganggu estetika ataupun karena halitosis. Dengan mengenal pengaruh
tembakau terhadap kese-hatan mulut, diharapkan praktisi medis, baik dokter maupun dokter
gigi dapat bekerja sama sebagai satu tim dalam penanggulangan kesehatan mulut, sebagai
bagian dalam menunjang kesehatan umum secara menyeluruh (Bouquot and Schroeder,
1992; Sham, et al., 2003).
Rokok merupakan gabungan dari bahan-bahan kimia. Satu batang rokok yang
dibakar, akan mengeluarkan 4000 bahan kimia. Rokok menghasilkan suatu pembakaran yang
tidak sempurna yang dapat diendapkan dalam tubuh ketika dihisap. Secara umum komponen
rokok dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu komponen gas (92%) dan komponen
padat atau partikel (8%). Komponen gas asap rokok terdiri dari Karbonmonoksida,
Karbondioksida, Hidrogen sianida, Amoniak, oksida dari Nitrogen dan senyawa
Hidrokarbon. Partikel rokok terdiri dari tar, nikotin, benzantraccne, benzopiren, fenol,
cadmium, indol, karbarzol dan kresol. Zat-zat ini beracun, mengiritasi dan menimbulkan
kanker (karsinogen). Nikotin merupakan komponen yang paling banyak dijumpai di dalam
rokok (Aditama, 1995, 1997; Natamiharja and Butar-Butar, 2001).
Tar, nikotin, dan karbonmonoksida merupakan tiga macam bahan kimia yang paling
berbahaya dalam asap rokok. Tar adalah kumpulan dari beribu-ribu bahan kimia dalam
komponen padat asap rokok dan bersifat karsinogenik. Pada saat rokok dihisap, tar masuk ke
rongga mulut sebagai uap padat yang setelah dingin akan menjadi padat dan membentuk
endapan berwarna coklat pada permukaan gigi, saluran napas, dan paru-paru. Komponen tar
mengandung radikal bebas, yang berhubungan dengan resiko
timbulnya kanker (Aditama, 1997).
Nikotin merupakan bahan yang bersifat toksik dan dapat menimbulkan
ketergantungan psikis. Nikotin merupakan alkaloid alam yang bersifat toksis, berbentuk
cairan, tidak berwarna, dan mudah menguap. Zat ini dapat berubah warna menjadi coklat dan
berbau seperti tembakau jika bersentuhan dengan udara. Nikotin berperan dalam
menghambat perlekatan dan pertumbuhan sel fibroblast ligamen periodontal, menurunkan isi
protein fibroblast, serta dapat merusak sel membrane (Obradovic, 2007; Giannopoulou,
1999).

3.11.1 Efek Sistemik Tembakau di Rongga Mulut


Tembakau, baik smoked tobacco maupun smokeless tobacco sama-sama
memberikan efek di rongga mulut baik pada gigi, jaringan penyangga gigi, lidah,
maupun mukosa oral.Di samping itu tembakau juga meningkatkan kegagalan
intraosseous implant, meningkatkan risiko dry socket, dan mengganggu penyembuhan
luka pascapencabutan gigi. Pengguna tembakau juga mengalami gangguan pada fungsi
pengecap dan penciuman (Little, et al., 2008; Walsh and Ellison, 2005).
Merokok dapat menurunkan derajat keasaman (pH) saliva, menurunkan
kapasitas buffer, berkurangnya saliva sehingga menyebabkan peningkatan populasi
Streptokokus kariogenik yang meningkatkan kejadian karies dentis. Merokok dapat
menyebabkan perubahan warna gigi eksternal. Pada mulanya noda ini dianggap karena
nikotin, tetapi sebetulnya adalah akibat hasil pembakaran tembakau yang berupa tar.
Nikotin sendiri tidak berwarna dan mudah larut. Noda tersebut mudah dibersihkan
oleh seorang dokter gigi karena hanya terdapat di permukaan luar gigi. Tetapi pada
orang yang merokok selama hidupnya, noda tersebut dapat masuk ke lapisan email
gigi bagian superfisial dan sulit untuk dihilangkan. Merokok juga menurunkan jumlah
saliva sehingga menyebabkan halitosis dan menyebabkan pembentukan karang gigi
lebih banyak dibandingkan dengan bukan perokok, sehingga lebih mudah terjadi
gingivitis (Little, et al., 2008; Riebel, 2003).

3.11.2 Pengaruh Tembakau pada Lidah


Kelainan jaringan lunak mulut akibat komponen toksik dan agen karsinogen
yang terkandung dalam asap rokok, antara lain eritroplakia, leukoplakia, keratosis
rokok, squamous cell carcinoma, serta verrucous carcinoma. Kondisi patologis dalam
rongga mulut yang juga sering ditemukan pada perokok adalah karies akar, halitosis,
periimplantitis, penurunan fungsi pengecapan, staining pada gigi atau restorasi, serta
penyakit periodontal. Penyakit periodontal termasuk akumulasi plak dan kalkulus,
saku periodontal, inflamasi gingiva, resesi gingiva, serta kehilangan tulang alveolar
(Sham, et al., 2003).
Merokok dapat merangsang papil filiformis sehingga menjadi lebih panjang.
Pembakaran rokok menghasilkan substansi berwarna hitam kecoklatan yang mudah
didepositkan pada papil lidah, sehingga perokok sukar merasakan rasa pahit, asin, dan
manis, karena rusaknya ujung sensoris dari alat perasa (tastebuds). Kondisi ini disebut
sebagai hairy tongue. Iritasi dari asap tembakau menyerang sel- sel epitel mukosa
sehingga aktivitas seluler bertambah, terjadi perubahan keratotik, epitel menjadi tebal
berwarna putih keabuan pada mukosa bukal dan pada dasar mulut (Sham, et al., 2003).

Anda mungkin juga menyukai

  • Tipus Modul Smile Design
    Tipus Modul Smile Design
    Dokumen16 halaman
    Tipus Modul Smile Design
    FauziahDiajeng
    Belum ada peringkat
  • Non Platis
    Non Platis
    Dokumen12 halaman
    Non Platis
    FauziahDiajeng
    Belum ada peringkat
  • Tipus Alergi Penicillin
    Tipus Alergi Penicillin
    Dokumen11 halaman
    Tipus Alergi Penicillin
    FauziahDiajeng
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii Tipus
    Bab Iii Tipus
    Dokumen75 halaman
    Bab Iii Tipus
    FauziahDiajeng
    Belum ada peringkat
  • Bikuspidasi Gigi 36
    Bikuspidasi Gigi 36
    Dokumen1 halaman
    Bikuspidasi Gigi 36
    FauziahDiajeng
    Belum ada peringkat
  • Pendahuluan Rampant
    Pendahuluan Rampant
    Dokumen2 halaman
    Pendahuluan Rampant
    FauziahDiajeng
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 Dan 3
    Bab 1 Dan 3
    Dokumen2 halaman
    Bab 1 Dan 3
    FauziahDiajeng
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen6 halaman
    Bab 1
    FauziahDiajeng
    Belum ada peringkat
  • Alergi
    Alergi
    Dokumen7 halaman
    Alergi
    FauziahDiajeng
    Belum ada peringkat
  • Bruxism
    Bruxism
    Dokumen7 halaman
    Bruxism
    FauziahDiajeng
    Belum ada peringkat
  • Klasifikasi Endodontik
    Klasifikasi Endodontik
    Dokumen6 halaman
    Klasifikasi Endodontik
    FauziahDiajeng
    Belum ada peringkat
  • 305.1 Cedera Gigi 1 Topik 1
    305.1 Cedera Gigi 1 Topik 1
    Dokumen57 halaman
    305.1 Cedera Gigi 1 Topik 1
    FauziahDiajeng
    Belum ada peringkat
  • Diskusi
    Diskusi
    Dokumen4 halaman
    Diskusi
    FauziahDiajeng
    Belum ada peringkat
  • Traslate Part 3
    Traslate Part 3
    Dokumen2 halaman
    Traslate Part 3
    FauziahDiajeng
    Belum ada peringkat
  • Pico
    Pico
    Dokumen5 halaman
    Pico
    FauziahDiajeng
    Belum ada peringkat
  • Laporan
    Laporan
    Dokumen8 halaman
    Laporan
    FauziahDiajeng
    Belum ada peringkat
  • An Dalam Muamalah Sesama Muslim
    An Dalam Muamalah Sesama Muslim
    Dokumen6 halaman
    An Dalam Muamalah Sesama Muslim
    FauziahDiajeng
    Belum ada peringkat
  • Presentasi 08
    Presentasi 08
    Dokumen19 halaman
    Presentasi 08
    FauziahDiajeng
    Belum ada peringkat
  • Denah Pasien
    Denah Pasien
    Dokumen1 halaman
    Denah Pasien
    FauziahDiajeng
    Belum ada peringkat