Anda di halaman 1dari 12

TEORI-TEORI "KEBENARAN"

FILSAFAT ILMU

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang Masalah

Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh
kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui
pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan
prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu
dapat dimengerti.

Ilmu pengetahuan harus dibedakan dari fenomena alam. Fenomena alam adalah fakta,
kenyataan yang tunduk pada hukum-hukum yang menyebabkan fenomena itu muncul. Ilmu
pengetahuan adalah formulasi hasil aproksimasi atas fenomena alam atau simplifikasi atas
fenomena tersebut.

Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap


kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan tingkat
kebenaran yang berbeda. Pengetahuan inderawi merupakan struktur terendah dalam struktur
tersebut.

Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang
lebih rendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada
umumnya kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri.

Oleh sebab itulah pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.
Pada tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan pengetahuannya agar
terstruktur dengan jelas.

Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan,
filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan.
Dalam ilmu pengetahuan modern, realitas hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat materi
dan kuantitatif. Ini tidak terlepas dari pandangan yang materialistik-sekularistik.

Kuantifikasi objek ilmu pengetahuan berari bahwa aspek-aspek alam yang bersifat kualitatif
menjadi diabaikan. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan. Dalam
ilmu pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan adalah metode ilmiah
dengan pilar utamanya rasionalisme dan empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan
diciptakannya ilmu pengetahuan, mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis.
Dari semua pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologi,
epistemologi, dan aksiologinya telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan
pengetahuan-pengetahuan lain, dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin. misalnya
hukum-hukum, teori-teori, ataupun rumus-rumus filsafat, juga kenyataan yang dikenal dan
diungkapkan.

Mereka muncul dan berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri pengenal dan
masyarakat pengenal. Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral,
kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasa, etika, ia
menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan.

Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia merupakan


hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran metafisik berkaitan dengan
yang-ada sejauh berhadapan dengan akal budi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada
akal budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akal budi yang menyatakannya.

1. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini ada beberapa masalah yang akan dibahas, agar pembahasan dalam
makalah ini tidak lari dari judulnya ada baiknya kita rumuskan masalah-masalah yang akan di
bahas, antara lain :

1. Pengertian kebenaran.
2. Teori-teori kebenaran filsafat ilmu.

1. Tujuan Penulisan

Adapun manfaat penbuatan makalah ini adalah :

1. Agar mahasiswa mampu mengetahui pengertian dan tingkatan-tingkatan kebenaran


ilmu pengetahuan.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang teori-teori kebenaran ilmu pengetahuan.
3. Mahasiswa mampu menjabarkan apa saja tingkatan-tingkatan dan sifat-sifat
kebenaran ilmu pengetahuan.
4. Metode Penulisan

Metode yang digunakan penulis adalah metode kepustakaan yaitu memberikan gambaran
tentang materi-materi yang berhubungan dengan permasalahan melalui literatur buku-buku
yang tersedia, tidak lupa juga penulis ambil sedikit dari media massa/internet. Dan diskusi
mengenai masalah yang dibahas dengan teman-teman.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Sistem, Struktur, dan susunan Ilmu Pengetahuan

Peter R Senn dalam Ilmu Dalam Perspektif (Jujun Suriasumantri) meskipun tidak secara
gamblang ia menyampaikan bahwa ilmu memiliki bangunan struktur Van Peursen
menggambarakan lebih tegas bahwa “Ilmu itu bagaikan bangunan yang tersusun dari batu
bata. Batu atau unsur dasar tersebut tidak pernah langsung di dapat di alam sekitar. Lewat
observasi ilmiah batu-batu sudah dikerjakan sehingga dapat dipakai kemudian digolongkan
menurut kelompok tertentu sehingga dapat dipergunakan. Upaya ini tidak dilakukan dengan
sewenang wenang, melainkan merupakan hasil petunjuk yang menyertai susunan limas ilmu
yang menyeluruh akan makin jelas bahwa teori secara berbeda- beda meresap sampai dasar
ilmu.

Hidayat Nataatmaja menggambarkan dalam bahasanya sendiri mengenai hal tersebut di atas
bahwa “ilmu memiliki struktur dan struktur ilmu itu beberapa lapis. Beliau membagi lapisan
ilmu ke dalam 2 golongan/ kategori yaitu lapisan yang bersifat terapan dan lapisan yang
bersifat paradigmatik. Kedua kategori memiliki karakter sendiri-sendiri. Lapisan terapan
besifat praktikal dan lapisan paradigmatik bersifat asumtif spekulatif.

Dalam penerapannya, ilmu dapat dibedakan atas berikut di bawah ini:

1. Ilmu Murni (pure science)

Yang dimaksud dengan Ilmu murni adalah ilmu tersebut hanya murni bermanfaat untuk ilmu
itu sendiri dan berorientasi pada teoritisasi, dalam arti ilmu pengetahuan murni tersebut
terutama bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak
yakni untuk mempertinggi mutunya.

2. Ilmu Praktis (applied science)

Yang dimaksud dengan ilmu praktis adalah ilmu tersebut praktis langsung dapt diterapkan
kepada masyarakat karena ilmu itu sendiri bertujuan untuk mempergunakan hal ikhwal ilmu
pengetahuan tersebut dalam masyarakat banyak.

3. Ilmu Campuran

Yang dimaksud dengan ilmu campuran dalam hal ini adalah sesuatu ilmu yang selain
termasuk ilmu murni juga merupakan ilmu terapan yang praktis karena dapat dipergunakan
dalam kehidupan masyarakat umum.

Sedangkan dalam fungsi kerjanya, ilmu juga dapat dibedakan atas berikut ini:

1. Ilmu teoritis rasional


Ilmu teoritis rasional adalah ilmu yang memakai cara berpikir dengan sangat dominan,
deduktif dan mempergunakan silogisme, misalnya dogmatis hukum.

2. Ilmu empiris praktis

Ilmu empiris praktis adalah ilmu yang cara penganalisaannya induktif saja, misalnya dalam
pekerjaan social atau dalam mewujudkan kesejahteraan umum dalam masyarakat.

3. Ilmu teoritis empiris

Ilmu teoritis empiris adalah ilmu yang memakai cara gabungan berpikir, induktif-deduktif
atau sebaliknya deduktif-induktif.

2. Jenis – jenis Ilmu pengetahuan dan sifatnya.

1. Jenis jenis Ilmu Pengetahuan

Sehubungan dengan adanya berbagai sumber, sifat-sifat, karakter dan susunan ilmu
pengatahuan, maka dalam pandangan tentang ilmu pengetahuan itu orang mengutarakan
pembagian ilmu pengetahuan (classification). Ini tergantung kepada cara dan tempat para ahli
itu meninjaunya. Menurut pembagian klasik, maka ilmu pengetahuan dibedakan atas:

1. Natural Sciences (kelompok ilmu-ilmu alam)


2. Social Sciences (kelompok ilmu-ilmu sosial)

Sedang Dr. C. A. Van Peurson membedakan ilmu pengetahuan atas:

1. Ilmu pengetahuan kemanusiaan


2. Ilmu pengetahuan alam
3. Ilmu pengetahuan hayat
4. Ilmu pengetahuan logic-deduktif

Di dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan tentang Perguruan Tinggi Nomor: 22 Tahun


1961 di Indonesia mengklasifikasikan ilmu pengetahuan atas empat kelompok sebagai
berikut:

1. Ilmu Agama/Kerohanian, yang meliputi:


1. Ilmu agama
2. Ilmu jiwa
3. Ilmu Kebudayaan, yang meliputi:
1. Ilmu sastra
2. Ilmu sejarah
3. Ilmu pendidikan
4. Ilmu filsafat
5. Ilmu Sosial, yang meliputi:
1. Ilmu hukum
2. Ilmu ekonomi
3. Ilmu sosial politik
4. Ilmu ketatanegaraan dan ketataniagaan
5. Ilmu Eksakta dan Teknik, yang meliputi:
1. Ilmu hayat
2. Ilmu kedokteran
3. Ilmu farmasi
4. Ilmu kedokteran hewan
5. Ilmu pertanian
6. Ilmu pasti alam
7. Ilmu teknik
8. Ilmu geologi
9. Ilmu oceanografi

Pengklasifikasian ilmu pengetahuan menurut subjek dan objeknya:

1. Menurut Subjeknya
1. 1. Teoritis

1. a) Nomotetis: ilmu yang menetapkan hukum-hukum yang universal


berlaku, mempelajari objeknya dalam keabstrakan dan mencoba menemukan unsur-
unsur yang selalu terdapat kembali dalam segala pernyataan yang konkrit bilamana
dan dimana saja. Misalnya, ilmu alam, ilmu kimia, sosiologi, ilmu hayat.
2. b) Ideografis (ide: cita-cita, grafis: lukisan), ilmu yang mempelajari
objeknya dalam konkrit menurut tempat dan waktu tertentu, dengan sifat-sifatnya
yang menyendiri (unik), misalnya: ilmu sejarah, etnografi (ilmu bangsa-bangsa),
sosiografi, dsb.

1. 2. Praktis (Applied Science/ Ilmu Terapan): Ilmu yang langsung ditujukan kepada
pemakaian atau pengalaman pengetahuan itu, jadi menentukan bagaimanakah orang
harus berbuat sesuatu. Maka ini pun diperinci lebih lanjut yaitu:

1. a) Normatif, ilmu yang memesankan bagaimanakah kita harus berbuat,


membebankan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan, misalnya: etika (filsafat
kesusilaan/ filsafat moral).
2. b) Positif (“applied” dalam arti sempit): ilmu yang mengatakan bagaimanakah
orang harus berbuat sesuatu, mencapai hasil tertentu, misalnya: ilmu pertanian, ilmu
teknik, ilmu kedokteran,sb.

1. Menurut Objeknya (terutama objek formalnya atau sudut pandangnya)


1. Universal/ umum: meliputi keseluruhan yang ada, seluruh hidup manusia,
misalnya: Teologi/agama dan Filsafat.
2. Khusus: hanya mengenai salah satu lapangan tertentu dari kehidupan manusia,
jadi objek terbatas, hanya ini saja atau itu saja. Inilah yang biasa disebut “
Ilmu Pengetahuan ”. ini diperinci lagi atas:
1. a) Ilmu-ilmu alam (natural science, natuurwetenscappen): yang mempelajari
barang-barang menurut keadaannya di alam kodrat saja, terlepas dari pengaruh
manusia dan mencari hukum-hukum yang mengatur apa yang terjadi di dalam alam,
jadi terperinci lagi menurut objeknya, misalnya: ilmu alam, ilmu fisika, ilmu kimia,
ilmu hayat, dsb.
2. b) Ilmu pasti (Mathmatics), yang memandang barang-barang, terlepas dari isinya
hanya menurut besarnya. Jadi mengadakan abstraksi barang-barang itu. Ilmunya
dijabarkan secara logis berpangkal pada beberapa asas-asas dasar (axioma). Misalnya,
ilmu pasti, ilmu ukur, ilmu hitung, ilmu aljabar,dsb.
3. c) Ilmu-ilmu kerohanian/kebudayaan (Geisteswissen-schaf-ten/social-science).
Ilmu yang mempelajari hal-hal dimana jiwa manusia memegang peranan yang
mementukan. Yang dipandang bukan barang-barang seperti di alam dunia, terlepas
dari manusia, melainkan justru sekedar mengalami pengaruh dari manusia. Dan
karena manusia berbuat dengan berdasarkan kekuatan jiwanya dan jiwa dalam Bahasa
Jerman disebut “Geist”, maka gerombolan ilmu-ilmu yang memandang perbuatan
manusia dan hasil-hasil kegiatannya itu disebut “Geisteswissenscaften”. Misalnya:
ilmu sejarah, ilmu mendidik, ilmu hukum, ilmu ekonomi, ilmu sosiologi, ilmu
Bahasa, dsb.
4. Sifat-sifat Ilmu Pengetahuan

Sejarah membuktikan, bahwa dengan metode ilmu, akn membawa manusia kepada kemajuan
dalam pengetahuannya. Kemajuan dalam pengetahuan yang dihasilkan oleh ilmu itu
memungkinkan, karena beberapa sifat, atau cirri khas yang dimiliki oleh ilmu.

Dalam hal ini, Randall mengemukakan beberapa ciri umum daripada ilmu, di antaranya ialah:

1. Hasil ilmu sifatnya akumulatif dan merupakan milik bersama. Artinya, hasil daripada
ilmu yang telah lalu dapat dipergunakan untuk penyelidikan dan penemuan hal-hal
yang baru, dan tidak menjadi monopoli bagi yang menemukannya saja, setiap orang
dapat menggunakan, memanfaatkan hasil penyelidikan atau hasil penemuan orang
lain.
2. Hasil ilmu, kebenarannya tidak mutlak, dan bisa terjadi kekeliruan, karena yang
menyelidikinya adalah manusia. Namun yang perlu diketahui, kesalahan-kesalahan itu
bukan karena metodenya, melainkan terletak pada manusia yang menggunakan
metode tersebut.
3. Ilmu itu objektif, artinya prosedur cara penggunaan mtode ilmu tidak tergantung
kepada yang menggunakannya, tidak tergantung kepada pemahaman secara pribadi.
Berbeda dengan prosedur otoritas dan intuisi, yang tergantung kepada pemahaman
secara pribadi.

Selanjutnya, Ralph Ross dan Ernest Van den Hagg yang disunting oleh Prof. Drs. Harsojo,
mengemukakan ciri-ciri umum daripada ilmu, yaitu:

1. Bahwa ilmu itu rasional


2. Bahwa ilmu itu Bersifat empiris
3. Bahwa ilmu itu Umum
4. Bahwa ilmu itu Akumulatif

Ilmu dikatakan rasional, karena ilmu merupakan hasil dari proses berpikir dengan
menggunakan akal, atau hasil berpikir secara rasional.
Pada umumnya, orang-orang menggolongkan filsafat itu pasti ke dalam ilmu-ilmu
pengetahuan. Walaupun filasafat iu muncul sebagai salah satu ilmu pengetahuan, akan tetapi
ia mempunyai struktur tersendiri dan tidak dapat begitu saja dianggap sebagai “ilmu
pengetahuan”.

Tentu saja sedikit banyak bagi setiap ilmu pengetahuan berlaku, bahwa ilmu itu mempunyai
struktur dan karakteristik tersendiri. Studi tentang ilmu kedokteran adalah sesuatu yang
berbeda sekali dengan sejarah kesenian, dan ilmu pasti/matematika sesuatu yang berlainan
sekali dengan ilmu pendidikan. Akan tetapi untuk filsafat, hal yang “tersendiri” ini berlaku
dengan cara yang dasarnya lain[4].

3. Batasan-batasan Pengkajian Ilmu Pengetahuan

Apakah batasan yang merupakan lingkup penelajahan ilmu? Dimanakah ilmu berhenti?
Apakah yang menjadi karakter objek ontologis ilmu yang membedakan ilmu dan
pengetahuan pengetahuan yang lain? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu adalah
sederhana: ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas
pengalaman manusia. Ilmu tidak mempelajari ikhwal surga dan neraka. Sebab ikhwal surga
dan neraka berada diluar Jangkauan pengalaman manusia. Ilmu tidak mempelajari sebab
musabab terciptanya manusia sebab kejadian itu terjadi diluar jangkauan pengalamann
manusia. Baik hal-hal yang terjadi sebelum hidup kita, maupun hal-hal yang terjadi setelah
kematian manusia, semua itu berada di luar penjelajahan ilmu.

Ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berbeda dalam batas pengalaman kita karena
fungsi ilmu sendiri dalam hidup manusia yaitu sebagai alat bantu manusia dalam
menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Persoalan mengenai hari
kemudian tidak akan kita tanyakan pada ilmu, melainkan kepada agama. Sebab agamalah
pengetahuan yang mengkaji masalah-masalah seperti itu[5].

Ilmu membatasi batas penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan pada
metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah diuji kebenarannya secara empiris.
Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas pengalaman empirisnya, maka pembuktian
metodologis tidak dapat dilakukan.

Ilmu tanpa bimbingan moral agama adalah buta. Kebutaan moral dari ilmu mungkin
membawa kemanusiaan ke jurang malapetaka. Contoh penyalahgunaan teknologi nuklir
yang telah merenggut jutaan jiwa.

Ruang penjelajahan keilmuan kemudian kita menjadi “kapling kapling” berbagai disiplin
keilmuan. Kapling ini makin lama makin sempit sesuai dengn perkembangan kuantitatif
disiplin keilmuan. Dahulu ilmu dibagi menjadi dua, ilmu alam dan ilmu sosial. Kini telah
terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan. Oleh karena itu, seorang ilmuwan harus tahu benar
batas-batas penjelajahan cabang keilmuan maing-masing.

Mengenai batas-batas kapling ini, disamping menunjukkan kematangan keilmuan dan


profesional kita, juga dimaksudkan agar kita mengenal tetangga-tetangga kita. Dengan makin
sempitnya daerah penjelajahan suatu bidang keilmuan, maka sering sekali diperlukan
“pandangan” dari disiplin-disiplin yang lain. Saling pandang memandang ini atau
pendekatan multi disipliner, membutuhkan pengetahuan tentang tetangga-tetangga yang
berdekatan. Artinya harus jelas bagi semua, dimana disiplin seseorang berhenti dan dimana
disiplin orang lain mulai. Tanpa kejelasan batas-batas ini maka pendekatan multi disipliner
akan berubah menjadi sengketa kapling.

Pengertian Kebenaran

Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang
menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human
dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.

Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu
sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses
untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah.

Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang ada.
Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi ataupun yang
metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya.

Di sinilah perlunya pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia
dalam dunianya. Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu
pengetahuan diletakkan dengan ukuran, pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu bahwa
ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk.

Kedua, pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas
komponen-komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang diteliti atau
dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-
hasil temuannya diletakkan dalam satu kesatuan system.

Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah
berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh
belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan
(dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa
saja berbentuk ketidak benaran (keburukan).

Dalam bahasan, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan
(ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi
(relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan.

Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan
bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan
demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian
kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah
semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.
Selaras dengan Poedjawiyatna yang mengatakan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan
obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek
obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.

Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat
akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian
seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,
dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia.
Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari
kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.

Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral, kebenaran logis, dan
kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan
antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan.

Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia merupakan


hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran metafisik berkaitan dengan
yang-ada sejauh berhadapan dengan akalbudi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada
akal budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akalbudi yang menyatakannya.

1. Teori Kebenaran
2. Teori Kebenaran Korespondensi

Kebenaran korespondesi adalah kebenaran yang bertumpu pada relitas objektif.Kesahihan


korespondensi itu memiliki pertalian yang erat dengan kebenaran dan kepastian indrawi.
Sesuatu dianggap benar apabila yang diungkapkan (pendapat, kejadian, informasi) sesuai
dengan fakta (kesan, ide-ide) di lapangan.

Contohnya: ada seseorang yang mengatakan bahwa Provinsi Yogyakarta itu berada di Pulau
Jawa. Pernyataan itu benar karena sesuai dengan kenyataan atau realita yang ada. Tidak
mungkin Provinsi Yogyakarta di Pulau Kalimantan atau bahkan Papua.

Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori
kebenaran menurut corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan
moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah
merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan
sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.

2. Teori Kebenaran Koherensi

Teori ini disebut juga dengan konsistensi, karena mendasarkan diri pada kriteria konsistensi
suatu argumentasi. Makin konsisten suatu ide atau pernyataan yang dikemukakan beberapa
subjuk maka semakin benarlah ide atau pernyataan tersebut. Paham koherensi tentang
kebenaran biasanya dianut oleh para pendukung idealisme, seperti filusuf Britania F. H.
Bradley (1846-1924).

Teori ini menyatakan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan, pendapat
kejadian, atau informasi) akan diakui sahih atau dianggap benar apabila memiliki hubungan
dengan gagasan-gagasan dari proporsi sebelumnya yang juga sahih dan dapat dibuktikan
secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan logika.

Sederhannya, pernyataan itu dianggap benar jika sesuai (koheren/konsisten) dengan


pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Contohnya; Setiap manusia pasti akan mati.
Soleh adalah seorang manusia. Jadi, Soleh pasti akan mati.

3. Teori Kebenaran Pragmatik/Pragmatisme

Artinya, suatu pernyataan itu benar jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu
mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Teori pragmatis ini pertama kali
dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun
1878 yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear“.

Dari pengertian diatas, teori ini (teori Pragmatik) berbeda dengan teori koherensi dan
korespondensi. Jika keduanya berhubungan dengan realita objektif, sedangkan pragmamtik
berusaha menguji kebenaran suatu pernyataan dengan cara menguji melalui konsekuensi
praktik dan pelaksanaannya.

Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima pengalaman
pribadi, kebenaran mistis, yang terpenting dari semua itu membawa akibat praktis yang
bermanfaat.
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang
mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia. Teori Kebenaran
mempunyai Kelebihan Kekurangan Korespondensi sesuai dengan fakta dan empiris
kumpulan fakta-fakta Koherensi bersifat rasional dan positivistik.

Mengabaikan hal-hal non fisik pragmatis fungsional-praktis tidak ada kebenaran mutlak
performatif bila pemegang otoritas benar, pengikutnya selamat Tidak kreatif, inovatif dan
kurang inisiatif Konsensus Didukung teori yang kuat dan masyarakat ilmiah Perlu waktu
lama untuk menemukan kebenaran.

Dari beberapa Teori Tentang Kebenaran dapat disimpulkan bahwa:

Teori Korespondensi : “Kebenaran/keadaan benar itu berupa kesesuaian antara arti yang
dimaksud oleh sebuah pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya/faktanya”

Jadi berdasarkan teori korespondensi ini, kebenaran/keadaan benar itu dapat dinilai dengan
membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan dengan
preposisi tersebut. Bila diantara keduanya terdapat kesesuaian (korespondence), maka
preposisi tersebut dapat dikatakan memenuhi standar kebenaran/keadaan benar.

1. Saran

Dari makalah saya yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua
umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari Allah, dan yang buruk datangnya dari
kami. Dan kami sadar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih banyak
kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harapkan saran dan kritik nya yang bersifat
membangun, untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Adib, Muhammad. “FILSAFAT ILMU: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan“. Yogyakarta: Puataka Pelajar. 2010

Ahmad, Beni Saebani. “FILSAFAT ILMU: Kontemplasi Filosofis tentang Seluk-beluk


Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan“. Bandung: Pustaka Setia, 2009

Kattsoff, Louis O. “Pengantar Filsafat“. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2004

Suriasumantri, Jujun S. “FILSAFAT ILMU: Sebuah Pengantar Populer“. Jakarta: Pustaka


Sinar Harapan, 2007

http://fajarfitrianto.hol.es/?p=831

Anda mungkin juga menyukai