Anda di halaman 1dari 18

TUGAS TERSTRUKTUR

BUDIDAYA TANAMAN PADA LAHAN MARGINAL

MACAM-MACAM LAHAN MARGINAL BESERTA POTENSI DAN


PERMASALAHANNYA

Disusun oleh:

Murti Rahmi Palupi


NIM A1D016204
Agroteknologi Reguler

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2018
Apa itu Lahan Marginal?

L
ahan marginal merupakan lahan yang kondisinya kurang optimal untuk
ditanami tanaman budidaya sehingga tumbuh dan berkembangnya tanaman
tersebut kurang optimal serta produksinya menurun. Suprapto (2002), luas
tanah marginal di Indonesia mencapai 89,5 juta ha
/la·han/ n, lokasi (tempat, daerah, dan sebagainya) yang
Lahan
mendatangkan banyak keuntungan; berperan sebagai unsur produksi
pertanian, baik sebagai media pengatur tata air maupun sebagai perlindungan alam
lingkungan (KBBI, 2018); sebagai media pertumbuhan tanaman.
/mar·gi·nal/a, berhubungan dengan batas (tepi); tidak terlalu
Marginal
menguntungkan (KBBI, 2018).

Menurut beberapa literatur, lahan marginal:


 Tanah yang memiliki mutu rendah karena adanya beberapa faktor pembatas seperti
topografi yang miring, dominasi bahan induk, kandungan unsur hara dan BO yang
sedikit, kadar lengas yang rendah, kadar pH, bahkan terdapat akumulasi unsur
logam yang bersifat meracun bagi tanaman (Yuwono, 2009).
 Umumnya tanah yang telah mengalami proses pelapukan lanjut (Subagyo et al.,
2000).
Lahan Gambut

I. Definisi Lahan Gambut

 Kata “gambut” berasal dari kosakata bahasa Melayu Banjar. Beberapa daerah/suku
sering menggunakan sebutan yang berbeda-beda, diantaranya:
- Tanah hitam → Jawa - Ambul → Kalimantan Selatan
- Sepuk → Kalimantan Barat - Tanah rawang/tanah payo → Riau dan Jambi
Dalam istilah internasional, lahan rawa gambut sering disebut Bog (Irlandia, Rusia,
Amerika), Fen (Amerika Utara) dan Mire. Lahan gambut juga disebut Moor
(Jerman) dan di Amerika Serikat mereka sebut Peatland.
 Gambut terbentuk dari timbunan sisa tanaman yang telah mati (baik yang sudah
mati maupun belum). Pembentukan tanah gambut disebut proses geogenik, yang
artinya proses pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan
transportasi, berbeda dengan pembentuka tanah pada umumnya.
 Tanah gambut disebut Organosol (tanah yang tersusun dari bahan organik). Gambut
didaerah tropika, termasuk indonesia, umumnya terbentuk dalam ekosistem rawa
dengan ketebalan berkisar 0,5 – 3,0 m. Kandungan bahan organiknya mencapai >
65% (Subagjo, 2002).
 Lahan gambut adalah lahan dengan tanah jenuh air, terbentuk dari endapan yang
berasal dari pemupukan sisa-sisa (residu) jaringan tumbuhan masa lampau yang
melapuk dengan ketebalan lebih dari 50 cm (Badan Standarisasi Nasional, 2013).
 Indonesia merupakan negara ke-4 didunia terluas dalam memiliki lahan gambut
yaitu sekitar 17-20 juta ha atau 50 % dari luas gambut tropika didunia dengan
cadangan karbon berkisar 40-45 juta ton (Noor, 2010).
 Menurut Subagjo (1998), Pakar gambut di Pusat Penelitian Tanah Bogor,
menyatakan bahwa lahan gambut Indonesia secara alami berada di kawasan hutan
rawa gambut, di wilayah yang luas terdapat di 3 pulau besar, yaitu Sumatera,
Kalimantan dan Papua.
Gambar 1. Sebaran Lahan Gambut dan Rawa di Indonesia
Sumber: Subagjo (1998)

Tabel 1. Lahan Gambut di Sumatera, Kalimantan dan Papua Tahun 2011

Sumber: BBSDLP
(2011)
II. Potensi Lahan Gambut

Pemanfaatan lahan gambut beragam sesuai dengan kearifan lokal yang berkembang
dalam masyarakat setempat meskipun dalam skala terbatas.
Pengelolaan Penyiapan Pengelolaan tanah
No Lokasi Pola tanam
Air Lahan dan hara
Padi sawah
Sistem tajak- Pemberian garam, sistem
Sistem handil
gumpal- abu, dan sisa taradak-
dan tabat
hambur panen (jerami) ampak-
lacak
1 Kalsel Sistem tabas
Sistem
bakar Sistem malibur Jeruk siam
tukungan
terkendali
Sistem
Sistem gulung- Pemberian abu,
drainase Ubi Jalar
tarik garam
dangkal
Sistem bakar Pemberian abu Sayur
Sistem tatah
terkendali sersah/gulma mayur
Sistem tebas Pemberian abu
- Karet
2 Kalteng terkendali sersah gulma
Sistem bakar
Kalender “bulan Padi ladang
- menurut “bulan
berladang” sistem tugal
berladang”
Pemberian abu Sayur
dari sersah + (kucai,
Sistem tabah Sistem bakar
kotoran ayam + seledri,
bertingkat terkendali
ikan kering/kepala tomat,
3 Kalbar
udang) cabai)
Sistem tebas
Sistem
bakar Sistem malibur Jeruk siam
tukungan
terkendali
Padi sawah
Sistem tebas
Sistem parit sistem
dan herbisida Pemberian abu
kongsi tanam
terbatas
4 Riau langsung
Sistem tebas
Sistem saluran Pemberian abu
dan herbisisda Nenas
dangkal dan pupuk organik
terbatas
Sistem saluran Pemberian abu
Sistem tebas Jeruk siam
dangkal dan pupuk organik
5 Sulbar
Sistem saluran Pemberian abu
Sistem tebas Cokelaat
dangkal dan pupuk organik
Sumber: Noorginayuwati et al (2007); Supriyo et al (2007)
 Pemanfaatan lahan gambut pada tiap daerah berbeda-beda. Misalnya petani dari:
Suku Banjar : Padi sawah
Suku Jawa : Palawija dan sayur-sayuran.
Suku Bugis : Padi sawah, nenas, dan Kelapa
Suku Dayak : Padi ladang, karet, rotan, jelutung, nibung atau sagu dan buah-buahan
seperti durian atau cempedak
 Budidaya tanaman pangan di lahan gambut → teknologi pengelolaan air, yang
sesuai dengan karakteristik gambut dan jenis tanaman.. Tanaman padi sawah pada
lahan gambut hanya memerlukan parit sedalam 10-30 cm. Fungsi drainase adalah
untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh untuk pernapasan
akar tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam organik. Selain itu perlu adanya
pengelolaan kesuburan tanah. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar tanaman
pangan dapat memberikan hasil maksimal.
 Selain dapat dimanfaatkan sebagi lahan untuk pertanian, gambut juga dapat
dimanfaatkan sebagai wilayah konservasi

III. Permasalahan pada Lahan Gambut

 Tanah gambut bereaksi masam sehinnga → upaya ameliorasi untuk meningkatkan


pH sehingga memperbaiki media perakaran tanaman. Kapur, tanah mineral, pupuk
kandang dan abu sisa pembakaran dapat diberikan sebagai bahan amelioran untuk
meningkatkan pH dan basa-basa tanah
Lahan Basah

L
ahan basah adalah suatu tempat yang cukup basah selama waktu yang cukup
lama. Cassel (1997) Lahan basah ditakrifkan (define) berdasarkan tiga
parameter, yaitu hidrologi, vegetasi hidrofitik dan tanah hidrik. Lahan basah
adalah wilayah rawa, lahan gambut, dan air baik alami maupun buatan bersifat tetap
atau sementara.

 Tipologi Lahan Basah di Indonesia:


1. Lahan basah pesisir dan lautan, yang meliputi antara lain hutan bakau, hutan
payau, hutan mangrove, terumbu karang dan dataran pasir
2. Lahan basah Rawa, yang meliputi hutan rawa gambut, rawa padang, rawa
rumput dan rawa herba
3. Lahan basah dataran sungai, yang meliputi sungai, dataran banjir, lebak-lebung
dan muara sungai
4. Lahan basah danau, bendungan dan lahan basah bentukan seperti sawah, tambak
garam, danau, situ, dan bendungan

 KENDALA UTAMA:
Dalam mengembangakan sumberdaya pertanian di lahan basah adalah
ketercapaian (accesibility) dan keterlintasan (trafficabillity) yang buruk. Kendala
lain ialah keanekaan jarak pendek seperti faktor hasil panen, hidrologi, tanah, dan
kemasaman tanah serta air yang menyebabkan hasil panen dalam petakan tidak
seragam. Kendala selanjutnya ialahan ambleasan dan pembentukan kemasaman
sulfat

 POTENSI
Lahan basah alami dapat dikembangkan untuk budidaya tanaman, ternak dan
ikan.orang Bugis dan Banjar mengembangkan lahan rawa pasang surut untuk
budidaya padisawah. Orang Banjar juga mengembangkan budidaya padi sawah di
lahan lebak, demikian pula orang Palembang. Lahan lebak oleh orang Banjar juga
dikembangkan untuk budidayaikan. Orang Jawa di Kedu, Bojonegoro dan
Lamongan mengembangkan budidaya tanaman pangan di lahan bonorowo. Lahan
gambut di Palembang dan Kalimantan Barat oleh penduduk setempat dikembangkan
untuk hortikultura (nenas, sayuran). Di Malaysia dan Amerika Serikat banyak lahan
gambut dikembangkan untuk budidaya sayuran. Di Malaysia lahan gambut juga
dikembangkan untuk perkebunan kelapa sawit. Di Riau perkebunan kelapa
berkembang baik di lahan gambut. Sejarah pertanian berawal di dataran
banjir,seperti di dataran banjir S. Nil di Mesir, S. Mekong di Vietnam dan Kamboja,
dan S.Yangtze-kiang di Cina. Berdasarkan pengalaman tersebut kemudian
orangmengembangkan lahan basah buatan untuk budidaya padi (sawah) dan ikan
(kolam, tambak)
Lahan Pasang Surut (Rawa Lebak)

Lahan pasang surut umumnya terdiri dari jenis tanah gambut dan tanah sulfat masam.

tanah yang terdiri:


- BO > 20–30%, tanah yang :
- Drainase buruk - Drainase buruk
- Daya sangga tanah yang rendah, - Kemasaman yang tinggi karna
- Penurunanan permukaan tanah, lapisan pirit
- Kandungan hara relatif rendah, - pH < 3
- Tingginya Fe, Al, dan S
- Kemasaman yang tinggi

Lahan rawa pasang surut → lahan suboptimal yang semakin penting


perannya dalam upaya peningkatan produksi tanaman pangan,
karena luasnya mencapai 25,29 juta ha. Penyebaran lahan rawa
pasang surut cukup luas, di Sumatera, Kalimantan, sebagian
Sulawesi, dan Papua (Djaenudin, 2008).

Permasalahan dalam Lahan Pasang Surut


1. Kemasaman yang tinggi dengan pH < 3 akan menjadi kendala
berat bagi pertumbuhan tanaman
2. Lingkungan perakaran yang jenuh air dan anaerobik, adanya pirit
atau bahan sulfidik, keracunan Al, Fe dan Mn, pH sangat masam
3. Kesuburan tanah rendah (kahat P, N, K, dan miskin basa).
(Subagyo dan Widjaja Adhi 1998; Sudarsono 1999; Sunarti 2010).
4. Memliki faktor pembatas yang menjadi kendala bagi petumbuhan
tanaman adalah genangan air/banjir (Notohadiprawira, 1979).
5. Kandungan pirit pada lahan pasang surut di Indonesia umumnya
rendah (0 – 5 %), tetapi sulit diatasi jika mengalami oksidasi
(Subagyo, 2006).
Sumatera 7, 15 juta ha
Potensi dalam Lahan Pasang Surut
Kalimantan 5,49 juta ha
1. Luas lahan pasang surut di Indonesia = 33,36 juta ha
Sulawesi 0,37 juta ha
Maluku & Nusa Tenggara 0,24 juta ha
Papua 6,42 juta ha
Lahan tersebut terdiri: lahan rawa pasang surut 20,11 juta ha; lahan rawa lebak (non-
pasang surut 13,26 juta ha (Nugroho et al., 1993)
Lahan Salin
 Lahan salin → lahan pasang surut yang dapat pengaruh atau intrusi air asin lebih
dari 3 bulan dalam setahun dengan kandungan Na dalam larutan tanah > 8 %. Lahan
salin dapat berupa lahan potensial, sulfat masam dan gambut.

 Penyebab tanah menjadi salin


1. Intrusi air laut
2. Air irigasi yang mengandung garam
3. Tingginya penguapan dengan curah hujan yang rendah sehingga garam-garam
akan naik ke daerah perakaran.

Permasalahan dalam Lahan Salin


1. Kendala dalam pemanfaatan tanah salin untuk budidaya tanaman adalah tingginya
kadar garam terlarut utamanya NaCl.
2. Pengaruh salinitas akan berdampak pada bidang pertanian, penurunan kualitas air,
kerusakan infrastruktur masyarakat di desa dan perkotaan serta berkurangnya
keanekaragaman sumberdaya hayati. Tumbuh-tumbuhan yang tidak memiliki
toleransi terhadap kadar garam yang tinggi akan banyak yang mati bahkan dapat
terancam kepunahan
3. Salinitas menurunkan kemampuan tanaman menyerap air sehingga menyebabkan
penurunan kecepatan pertumbuhan. Apabila tanaman menyerap garam berlebihan
→ keracunan pada daun tua (Munns, 2002)
Potensi dalam Lahan Salin
1. Luas tanah salin di Indonesia diperkirakan mencapai 13,2 juta ha (Abrol et al.,
1988). Luas tanah salin sekarang ini pastinya semakin meningkat karena perubahan
iklim dunia yaitu kenaikan suhu dan kenaikan permukaan air laut.
2. Perbaikan tanah salin banyak dilakukan secara kimia dengan penambahan bahan
pembenah tanah seperti gipsum atau CaSO 4 (Makoi dan Verplancke, 2010),
Penambahan kalium juga dapat memperbaiki pengaruh buruk dari tanah salin
(Karimi et al., 2009; Paksoy et al., 2010).
3. Reklamasi secara biologi dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik/pupuk
organik seperti pupuk kandang (Kusmiyati et al., 2002); penanaman tanaman
halofita pada tanah salin seperti rumput Leptochloa fusca (Ahmad dan Chang, 2002)
atau legum Glycyrrhiza glabra (Khusiev et al., 2005) atau Portulaca oleracea
(Zuccarini, 2008).
Lahan Sulfat Masam

L
ahan sulfat masam tergolong lahan yang marginal dan fragile (rapuh) yang
dicirikan oleh adanya lapisan tanah yang mengandung pirit 2,0 % atau lebih
pada kedalaman kurang dari 50 cm (Suastika et al., 2010). Lahan sulfat
masam terbentuk pada lahan pasang surut yang memiliki endapan laut.

 Tanah sulfat masam dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu


1. Tanah sulfat masam potensial: yang dicirinya antara lain lapisan pirit pada
kedalaman > 50 cm dari permukaan tanah, dicirikan oleh warna kelabu,
kemasaman (pH > 4,0)
2. Tanah sulfat masam aktual: dicirikan dengan warna kecoklatan pada permukaan
dan sangat masam atau pH < 3,5.

 Ciri khas tanah sulfat masam: terdapat lapisan liat belerang yang banyak
mengandung pirit (FeS2), bertekstur halus, bahan sulfidik atau pirit, lapisan
(horison) sulfurik, bercak jarosit, dan bahan penetral berupa karbonat atau basa-basa
tertukar lainnya (Noor, 2004).

 Permasalahan yang umum dijumpai pada lahan sufat masam adalah kemasaman
tanah yang tinggi, ketersediaan hara P yang rendah dan fiksasi P yang tinggi oleh Al
dan Fe berakibat pada rendahnya hasil tanaman yang diusahakan. Kemasaman tanah
yang tinggi memicu larutnya unsur beracun dan kahat hara sehingga tanah menjadi
tidak produktif. Sumber kemasaman → pirit (FeS2)
Lahan Kering

L
ahan kering adalah lahan yang bisa digunakan untuk usaha pertanian dengan
menggunakan air “secara terbatas” dan biasanya hanya mengharapkan dari
curah hujan. Definisi lain lahan kering → hamparan lahan yang tidak pernah
tergenang atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun.
Lahan ini memiliki kondisi agroekosistem yang beragam, umumnya berlereng dengan
kondisi kemantapan lahan yang labil (peka terhadap erosi) terutama bila
pengelolaannya tidak memperhatikan kaidah konservasi tanah. Usaha pertanian
lahan kering dapat dibagi dalam tiga jenis penggunaan lahan:
1. Lahan Kering Berbasis Palawija (Tegalan)
2. Lahan Kering Berbasis Sayuran (Dataran Tinggi)
3. Pekarangan.

 Terdapat tiga permasalahan utama usahatani lahan kering, yaitu:


1. Erosi, bila lahan miring dan tidak tertutup vegetasi secara rapat
2. Kesuburan tanah (umumnya rendah sebagai akibat dari proses erosi yang
berlanjut)
3. Ketersediaan air (sangat terbatas karena tergantung dari curah hujan).
4. Ciri lainnya adalah makin menurunnya produktifitas lahan (leveling off),
tingginya variabilitas kesuburan tanah dan macam spesies tanaman yang
ditanam, memudarnya modal sosial-ekonomi dan budaya, rendah atau tidak
optimalnya adopsi teknologi maju, serta terbatasnya ketersediaan modal dan
infrastruktur yang tidak sebaik di daerah sawah. (Ford Foundation, 1989).
 Tipologi lahan ini dapat dijumpai dari dataran rendah (0 – 700 mdpl) hingga dataran
tinggi (> 700 mdpl). Penggunaan lahan yang termasuk dalam kelompok lahan kering
mencakup: lahan tadah hujan, tegalan, lading, kebun campuran, perkebunan, hutan,
semak, padang rumput, dan padang alang-alang.
Lahan Kering Masam

L
ahan kering merupakan suatu hamparan lahan yang tidak pernah digenangi
atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun. Ciri lahan kering
masam ditandai pH < 5,0 berkaitan dengan kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi,
KTK rendah, kandungan besi dan mangan tinggi, miskin elemen biotik dan kejenuhan
basa < 50%, yang tergolong pada tanah-tanah yang mempunyai sifat distrik.

 Luas Lahan kering di Indonesia sekitar 148 juta ha. Lahan kering masam
mendominasi tanah di Indonesia pada wilayah yang beriklim basah seperti di
Sumatera, Kalimantan dan Papua yaitu sekitar 102.187.113 ha (69,4%) (Mulyani,
2006)

 Tanah-tanah yang umumnya mempunyai pH masam di lahan kering adalah ordo


Entisols, Inceptisols, Ultisols, Oxisols, dan Spodosols terutama yang mempunyai
iklim basah dengan curah hujan tinggi (kelembapan udik).

 POTENSI PENGEMBANGAN: Lahan kering masam yang sesuai dan berpotensi


untuk pengembangan lahan pertanian sekitar 55,8 juta ha, sisanya 47 juta ha tidak
sesuai dengan faktor pembatas lereng (> 30 %). Perluasan perkebunan kelapa sawit
dan karet di Sumatera dan Kalimantan dikarenakan lahan kering masam kurang
optimal untuk ditanam tanaman pangan karena selain tingkat kesuburannya rendah,
belerang curam dan solum tanah dangkal

 PERMASALAHAN PENGEMBANGAN: berkaitan dengan kadar Al yang tinggi,


fiksasi P yang tinggi dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan mendekati batas
meracuni, peka erosi dan miskin elemen biotik → kendala teknis tersebut masih bisa
diatasi dengan pemupukan, pengapuran, serta pengelolaan bahan organik. (Mulyani,
2006)
DAFTAR PUSTAKA

Abrol, I. P., J. S. V. Yadav dan F. I. Massaud. 1988. Salt Affected Soil and Their
Management. FAO, Rome.
Ahmad, R. and M.H. Chang. 2002. Salinity control and environmental protection
through halopythes. J. Drainage and Water Manag. 6 : 17 – 25.
Cassel, D. K. 1997. Aquic condition and Hydric soil. The problem soils: SSA Special
Publication Number 50.
KBBI. 2018. KBBI Daring. (on-line) https://kbbi.kemdikbud.go.id/ diakses pada
tanggal 21 September 2018.
Kusmiyati, F., R. T. Mulatsih dan A. Darmawati. 2002. Pengaruh pengguludan dan
pupuk kandang terhadap pertumbuhan dan produksi hijauan rumput pakan pada
tanah salin. J. LitBang Propinsi Jawa Tengah 1 : 46-52.
Mulyani, A. 2006. Potensi lahan kering masam untuk pengembagan pertanian. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol 28 (2): 16 – 17.
Munns, R. 2002. Comparative physiology of salt and water stress. Plant, Cell and
Environt. 25 :239 – 250.
Noor, Muhammad. 2010. Lahan Gambut: Pengembangan, Konservasi dan Perubahan
Iklim. UGM Press, Yogyakarta.
Noorginayuwati, A. Rafieq, M. Noor, dan A. Jumberi. 2007. Kearifan lokal dalam
pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian di Kalimantan. BALITTRA, Bogor.
Suastika, I. W., W. Hartatik, dan I G. M. 2010. Subiksa. Karakteristik dan Teknologi
Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan.
Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah, Bogor.
Subagyo, H dan IPG. Widjaja-Adhi. 1998. Peluang dan kendala
pembangunan lahan rawa untuk pengembangan pertanian di
Indonesia. p. 13-50. Dalam U. Kurnia et al. (Eds.). Prosiding
Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah
dan Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.Bogor
Subagyo, H. 2006. Lahan rawa pasang surut. p. 23-98. Dalam
D.A.Suriadi, Undang K., Mamat H.S., W. Hartatik, dan D.
Setyorini(Eds.). Karakteristik dan pengelolaan lahan rawa. Balai
BesarPenelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan
Pertanian,Bogor.
Subagyo, H., Nata Suharta, dan Agus. B. Siswanto. 2000. Tanah-tanah pertanian di
Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Sudarsono. 1999. Pemanfaatan dan pengembangan lahan rawa/
pasang surut untuk pengembangan pangan. p. 81-94. DalamIrsal
Las et al. (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Sumber Daya Lahan.
Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Bogor
Sunarti. 2010. Land characteristics of Batang Pelepah watershedin
Bungo District, Jambi. J. Tanah Tropika. 15 (1):73-82.
Suprapto, A., 2002. Land and water resources development in Indonesia. In FAO:
Investment in Land and Water. Proceedings of the Regional Consultation.
Yuwono. N. W. 2009. Membangun Kesuburan Tanah Di Lahan Marginal. Jurnal Ilmu
Tanah dan Lingkungan Vol. 9 (2): 137 – 141.
Zuccarini, P. 2008. Ion uptake by halophytic plants to mitigate saline stress in Solanum
lycopersicon L., and different effect of soil and water salinity. Soil & Water Res. 3
: 62 – 73

Anda mungkin juga menyukai