Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kata trauma berasal dari kata Yunani yang berarti luka, sehingga definisi
sederhana trauma adalah cedera yang dihasilkan dari kekuatan fisik eksternal.1
Trauma merupakan penyebab kematian paling sering dalam empat dekade
kehidupan dan menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di setiap
negara.2 Diperkirakan bahwa pada tahun 2020, 8,4 juta orang akan meninggal
setiap tahun karena trauma. Trauma akibat kecelakaan lalu lintas akan menjadi
peringkat ketiga yang menyebabkan kecacatan di seluruh dunia dan peringkat
kedua di negara berkembang.2,3
Trauma abdomen menduduki peringkat ketiga dari seluruh kejadian
trauma dan sekitar 25% dari kasus memerlukan tindakan operasi.4 Trauma
abdomen didefinisikan sebagai trauma yang melibatkan daerah antara diafragma atas
dan panggul bawah.5 Berdasarkan data kepolisisan, korban yang mengalami
trauma abdomen sebanyak 52,6 % dengan jumlah korban meninggal dunia adalah
10,696 jiwa.6
Trauma abdomen diklasifikasikan menjadi dua yaitu trauma tumpul dan
trauma tembus. Trauma tumpul paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas
dan penyebab lainnya kecelakaan di tempat industri ataupun kecelakaan rekreasi.7
Trauma tembus disebabkan oleh proyektil kecepatan tinggi (64%), diikuti dengan
luka tusuk (31%) dan luka tembak (5%).8
Insidensi trauma abdomen lebih sering terjadi pada laki- laki dengan usia
terbanyak antara 14 sampai 30 tahun. Selain itu, trauma tumpul abdomen lebih
banyak di perdesaan dan trauma tembus lebih banyak di perkotaan.4
Penelitian yang dilakukan Gad et al., di Mesir menunjukkan hasil, dari 300
kasus yang ada di IGD 248 kasus (82,7%) merupakan trauma abdomen, 172
pasien (69,4%) mengalami trauma tumpul dan 76 pasien (30,6%) mengalami
trauma tembus. Penyebab trauma tumpul abdomen terbanyak adalah kecelakaan
lalu lintas (62,8%) sedangkan penyebab trauma tembus abdomen terbanyak
adalah luka tusuk (47,4%). Pasien trauma tumpul abdomen lebih banyak

1
mengalami cedera komorbid (76,7%) dibanding trauma tembus abdomen (42,1%).
Secara umum pasien trauma abdomen mempunyai keadaan umum yang stabil
(69,4%), intervensi bedah lebih banyak diperlukan pada trauma tembus abdomen
(100%) dibanding trauma tumpul (11,6%). Pasien trauma abdomen yang bertahan
hidup pada kasus yang ditangani < 60 menit sejak kejadian adalah (76,3%) untuk
trauma tumpul dan (75%) untuk trauma tembus.9
Penelitian serupa juga dilakukan di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik
Medan menunjukkan usia yang paling banyak mengalami trauma abdomen adalah
kelompok usia 12-25 tahun (41,5%), sering dijumpai pada laki-laki (71,7%),
penyebab trauma yang paling banyak adalah trauma tumpul (94,3%) dan organ
yang paling banyak mengalami trauma adalah lambung (28,3%).10
Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung belum memiliki data pasti mengenai
karakteristik trauma tembus abdomen yang dalam penatalaksanaannya banyak
membutuhkan intervensi bedah, oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti
gambaran karakteristik trauma tembus abdomen di RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung dari tahun 2012 hingga 2017.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana gambaran karakteristik trauma tembus abdomen di RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2012 hingga 2017?

1.3. Tujuan Penelitian


1) Tujuan Umum
Mengetahui gambaran karakteristik trauma tembus abdomen di RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2012 hingga 2017.
2) Tujuan Khusus
 Mengetahui angka kejadian trauma tembus abdomen di RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung.
 Mengetahui usia pasien yang mengalami trauma tembus abdomen
di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
 Mengetahui jenis kelamin pasien yang mengalami trauma tembus
abdomen di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
2
 Mengetahui etiologi yang menyebabkan trauma tembus abdomen
di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
 Mengetahui bagian abdomen yang mengalami trauma di RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung.
 Mengetahui kestabilan hemodinamik pasien trauma tembus
abdomen di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
 Mengetahui tingkat kebutuhan intervensi bedah pada pasien trauma
tembus abdomen di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
 Mengetahui lama rawatan pasien trauma tembus abdomen di RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung.

1.4. Manfaat Penelitian


1) Manfaat Bagi Pelayanan Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan dan
menjadi bahan masukan kepada RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung,
sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

2) Manfaat Bagi Pengembangan Penelitian


Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan pada penelitian
lainnya.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Trauma Abdomen


Kata trauma berasal dari kata Yunani yang berarti luka, sehingga definisi
sederhana trauma adalah cedera yang dihasilkan dari kekuatan fisik eksternal.1
Trauma abdomen didefinisikan sebagai trauma yang melibatkan daerah antara
diafragma atas dan panggul bawah.5
Trauma merupakan kekerasan fisik yang mengakibatkan cedera. Trauma abdomen
adalah trauma yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada organ abdomen yang
dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme,
kelainan immunologi dan gangguan faal berbagai organ.3

2.2 Epidemiologi
National Pediatric Trauma Registry (2000) di Amerika Serikat
melaporkan 8% pasien (total 25.301 pasien) mengalami trauma abdomen.
Delapan puluh tiga persen (83%) dari trauma tersebut adalah karena trauma
tumpul dan 59% dari trauma tumpul tersebut diakibatkan oleh cedera karena
kecelakaan kendaraan.2,5
Trauma abdomen menduduki peringkat ketiga dari seluruh kejadian
trauma dan sekitar 25% dari kasus memerlukan tindakan operasi.4 Dari seluruh
kasus trauma abdomen di RSCM, trauma tembus akibat luka tusuk menempati
tempat teratas (65%) diikuti oleh trauma tumpul. Lebih dari 50% trauma tumpul
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, biasanya disertai dengan trauma pada
bagian tubuh lainnya. Insidensi trauma abdomen lebih sering terjadi pada laki-
laki dengan usia terbanyak antara 14 sampai 30 tahun. Selain itu, trauma tumpul
abdomen lebih banyak di perdesaan dan trauma tajam abdomen lebih banyak di
perkotaan.4

4
2.3 Anatomi Abdomen
Dinding abdomen terdiri dari kulit, fascia superfiscialis, lemak, otot-otot,
fascia transversalis dan parietal peritoneum. Posisi abdomen berada diantara
toraks dan pelvis.12

2.3.1. Anatomi Luar Abdomen


Sebagian abdomen tertutup oleh rongga bawah thorax; abdomen anterior
dibatasi oleh area antara transnipple line di superior, ligamentum inguinal dan
symphisis pubis di inferior, linea aksilaris anterior di lateral. Flank adalah area di
antara linea aksilaris anterior dan posterior dari sela iga ke enam sampai krista
iliaka. Dinding abdomen di area ini cukup tebal dengan lapisan otot, sedangkan di
abdomen anterior terdapat aponeurosis yang lebih tipis, yang berperan sebagai
barrier terhadap luka penetrasi, terutama luka tusuk.
Area abdomen belakang dibatasi oleh linea aksilaris posterior dari tip skapula
sampai krista iliaka. Mirip dengan otot dinding abdomen di flank, otot-otot
paraspinal dan pinggang belakang berperan sebagai barrier terhadap luka
penetrasi.13,14
Anatomi luar dari abdomen dibagi menjadi:14
1. Abdomen Depan
-Batas Superior: Garis intermammaria
-Batas Inferior : Kedua ligamentum inguinale dan simfisis pubis
-Batas Lateral : Kedua linea axillaris anterior

2. Pinggang
Pinggang merupakan daerah yang berada di antara linea axillaris anterior
dan linea axillaris posterior, dari sela iga ke-6 di atas, ke bawah sampai crista
iliaca. Di lokasi ini adanya dinding otot abdomen yang tebal, berlainan dengan
dinding otot yang lebih tipis di bagian depan, menjadi pelindung terutama
terhadap luka tusuk.13,14

5
3. Punggung13,14
-Batas Superior: Ujung bawah scapula
-Batas Inferior : Crista iliaca
-Batas Lateral : Kedua linea axillaris posterior
Otot-otot punggung dan otot paraspinal juga menjadi pelindung terhadap
trauma tajam.

2.3.2. Anatomi Dalam Abdomen


Terdapat tiga regio abdomen di rongga abdomen yaitu, rongga
peritoneum, rongga retroperitoneum dan rongga pelvis. Rongga pelvis sebetulnya
terdiri dari rongga peritoneum dan retroperitoneum juga.15

1.) Rongga Peritoneum


Peritoneum merupakan membran serosa tipis yang melapisi dinding
cavitas abdominis dan cavitas pelvis serta meliputi visera abdomen dan
pelvis. Peritoneum parietale melapisi dinding cavitas abdominis dan
cavitas pelvis, sedangkan peritoneum visceral meliputi organ-organ.
Rongga potensial di antara peritoneum parietalis dan visceralis disebut
cavitas peritonealis.15
Rongga peritoneum secara praktis dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
atas dan bawah. Rongga peritoneum atas yang ditutupi oleh tulang-tulang
thorax, termasuk diafragma, liver, limfa dan kolon transversum. Area ini
dinamakan juga sebagai “komponen thorakoabdominal” dari abdomen.
Ketika diagragma bergerak ke sela interkostal ke empat sewaktu ekspirasi
maksimal, fraktur dari iga bawah atau luka tusuk dibawah nipple line
dapat mencederai organ abdomen. Rongga peritoneum bawah berisi usus
halus, sebagian kolon ascenden dan descenden, kolon sigmoid dan jika
pada wanita terdapat organ reproduksi interna.15,16,17

2.) Rongga Retroperitoneum


Rongga potensial yang berada di belakang dinding peritoneum yang
melapisi abdomen. Rongga ini terdapat di abdomen bagian belakang,

6
berisi aorta abdominalis, vena cava inferior, sebagian besar duodenum,
pankreas, ginjal dan ureter, permukaan posterior kolon ascenden dan
descenden dan komponen retroperitoneum dari rongga pelvis.
Cedera terhadap struktur organ retroperitoneum sulit dideteksi karena area
ini jauh dari pemeriksaan fisik dan cederanya tidak segera menimbulkan
gejala atau tanda peritonitis. Lebih jauh lagi, area ini tidak terjangkau oleh
diagnostic peritoneal lavage (DPL).15,16

3.) Rongga pelvis


Merupakan ruangan yang terletak diantara aperture pelvis superior dan
aperture pelvis inferior. Biasanya cavitas pelvis dibagi oleh diafragma
pelvis yang terletak di atas dan perineum dibawahnya. Rongga pelvis
dikelilingi oleh tulang pelvis. Pada dasarnya hanya merupakan bagian
bawah dari rongga intraperitoneum dan retroperitoneum. Berisi rektum,
kandung kencing, pembuluh darah iliaka, dan jika pada wanita terdapat
organ reproduksi interna. Seperti pada area thorakoabdominal,
pemeriksaan sruktur pelvis dipersulit oleh tulang di sekelilingnya.15,16

2.3.3. Topografi Abdomen


Ada dua macam cara pembagian topografi abdomen yang umum dipakai
untuk menentukan lokalisasi kelainan, yaitu:17
1. Pembagian atas empat kuadran, dengan membuat garis vertikal dan horizontal
melalui umbilikus, sehingga terdapat daerah kuadran kanan atas, kiri atas, kanan
bawah, dan kiri bawah.
 Bagian kanan atas: Hepar dan kantong empedu
 Bagian kiri atas: Gastric dan limfa
 Bagian kanan bawah: Cecum, ascending colon dan usus kecil
 Bagian kiri bawah: Descending colon, sigmoid colon, dan usus
kecil

7
Gambar 2.1 Pembagian empat kuadran abdomen

2. Pembagian atas sembilan daerah, dengan membuat dua garis horizontal dan dua
garis vertikal.
a. Garis horizontal pertama dibuat melalui tepi bawah tulang rawan iga kesepuluh
dan yang kedua dibuat melalui titik spina iliaka anteriorsuperior (SIAS).
b. Garis vertikal dibuat masing-masing melalui titik pertengahan antara SIAS dan
mid-line abdomen.
c. Terbentuklah daerah hipokondrium kanan, epigastrium, hipokondrium kiri,
lumbal kanan, umbilical, lumbal kiri, iliaka kanan, hipogastrium atau suprapubik,
dan iliaka kiri.

Gambar 2.2 Pembagian sembilan kuadran abdomen

8
Organ yang terdapat pada sembilan kuadran abdomen adalah: 12,17
 Hipokondrium kanan meliputi organ: lobus kanan hepar, kantung
empedu, sebagian duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian
ginjal kanan dan kelenjar suprarenal kanan.
 Epigastrium meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas
dan sebagian hepar.
 Hipokondrium kiri meliputi organ: gaster, lien, bagian kaudal
pankreas, fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan
kelenjar suprarenal kiri.
 Lumbal kanan meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal
kanan, sebagian duodenum dan jejenum.
 Umbilicalis meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah
duodenum, jejenum dan ileum.
 Lumbal kiri meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal
kiri, sebagian jejenum dan ileum.
 Inguinalis kanan meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal
ileum dan ureter kanan.
 Hipogastrium atau suprapubik meliputi organ: ileum, vesica
urinaria dan uterus (pada kehamilan).
 Inguinalis kiri meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan
ovarium kiri.

2.4. Klasifikasi
Trauma abdomen diklasifikasikan menjadi dua yaitu trauma tumpul dan
trauma tembus. Trauma tumpul merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke
dalam rongga peritoneum. Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh,
kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan kendaraan bermotor, cedera akibat
berolahraga, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman. Lebih
dari 50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Sedangkan trauma tembus
abdomen adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada permukaan
tubuh dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum yang disebabkan oleh

9
tusukan benda tajam. Luka tembus pada abdomen disebabkan oleh tusukan benda
tajam atau luka tembak.18,19,20
Berdasarkan organ yang terkena trauma abdomen dapat dibagi menjadi
dua: (1) Trauma pada organ padat, seperti hepar, limpa (lien) dengan gejala utama
perdarahan. (2) Trauma pada organ padat berongga seperti usus, saluran empedu
dengan gejala utama adalah peritonitis.18
Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada
permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusio atau laserasi jaringan atau
organ dibawahnya. Trauma tumpul dapat berupa benda tumpul, perlambatan
(deselerasi), dan kompresi. Benturan benda tumpul pada abdomen dapat
menimbulkan cedera pada organ berongga berupa perforasi dan organ padat
berupa laserasi. Trauma tembus dibagi menjadi luka tusuk dan luka tembak.
Trauma tembus akibat peluru dibedakan antara jenis kecepatan rendah (low-
velocity) dengan kecepatan tingg (high-velocity). Trauma tembus akibat peluru
dengan kecepatan tinggi menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Hampir selalu
luka tembus akibat peluru mengakibatkan kerusakan pada organ-organ dalam
abdomen. Bahkan luka peluru yang tangensial tanpa memasuki rongga abdomen
dapat menimbulkan kerusakan organ-organ dalam abdomen akibat efek
ledakan.19,20

2.5. Mekanisme Cedera


2.5.1. Trauma Tumpul
Berdasarkan penyebabnya trauma tumpul dibagi menjadai tiga yaitu:
benturan karena benda tumpul, cedera kompresi, dan cedera perlambatan
(deselerasi). Benturan karena benda tumpul dapat mengakibatkan perforasi pada
organ visera berongga dan perdarahan pada organ visera padat. Pada cedera
kompresi dapat mengakibatkan robekan dan hematoma pada organ visera padat.
Cedera kompresi dapat ditemukan pada pukulan secara langsung atau kompresi
external dari arah lateral atau antero-posterior akan menggangu organ yang
terfiksasi pada bagian rongga perut. Organ- organ yang berada pada peritoneal
seperti hepar, limpa dan duodenojejunal (DJ) flexure rentan terhadap trauma
seperti ini karena ia berada pada bagian visera retroperitoneal. Umumnya

10
kekuatan yang merusak menyebabkan robek dan timbulnya hematoma
subkapsular dari organ visera yang padat. Kekuatan tersebut juga menyebabkan
perubahan bentuk pada organ berongga dan menyebabkan peningkatan tekanan
intraluminal sementara sehingga dapat menimbulkan robekan. Peningkatan
tekanan sementara ini biasanya terjadi pada usus kecil.19,20
Peregangan dan ruptur pada jaringan ikat atau penyokong diakibatkan karena
perlambatan atau deselerasi. Cedera deselerasi menyebabkan peregangan
(stretching) dan memotong (shearing) secara linier bagian organ yang relatif
terfiksir dengan bagian yang bergerak bebas. Kekuatan memotong secara
longitudinal cenderung menyebabkan ruptur dari struktu penyokong pada daerah
hubungan antara dua segmen yang bergerak bebas dan terfiksir. Cedera deselerasi
yang klasik termasuk robeknya hepar sepanjang ligamentum teres dan trauma
lapisan intima dari arteri renalis. Hal serupa juga dapat menyebabkan kolon
terlepas dari perlekatannya dengan mesenterium, trombosis dan robekan
mesenterik serta dapat juga ditemukan cedera pada arteri splanikus. Trauma
tarikan (shearing injury) terhadap organ visera terjadi bila suatu alat pengaman
(misalnya seat-belt) tidak digunakan dengan benar. Pasien yang cedera pada suatu
tabrakan motor bisa mengalami trauma deselerasi.15,19,20
Penyebab trauma tumpul yang lain adalah kecelakaan di tempat industri
ataupun kecelakaan rekreasi. Penyebab yang jarang antara lain trauma iatrogenik
selama resusitasi cardiopulmonal, melakukan dorongan secara manual untuk
membersihkan jalan napas, dan maneuver Heimlich.7
Pada pasien dengan trauma tumpul, organ yang paling sering mengalami cedera
antara lain limfa (40-55%), liver (35-45%), dan usus halus (5-10%). Selain itu,
terdapat 15% insidensi hematoma retroperitoneal pada pasien yang menjalani
laparotomi untuk trauma tumpul.15

2.5.2. Trauma Tembus


Trauma tembus dapat desebabkan oleh luka akibat terkena tembakan, luka
akibat tikaman benda tajam dan luka akibat tusukan. Luka tembus karena
tembakan kecepatan rendah dapat mengakibatkan kerusakan jaringan, laserasi,
dan putusnya jaringan. Sedangkan luka tembak kecepatan tinggi dapat

11
mengakibatkan hancurnya organ dalam.15 Trauma tembus disebabkan oleh
proyektil kecepatan tinggi (64%), diikuti dengan luka tusuk (31%) dan luka
tembak (5%).8 Pada luka tusuk, kerusakan organ adalah akibat langsung dari alat
penusuk. Kerusakan dapat berupa perdarahan bila mengenai pembuluh darah atau
organ yang padat. Bila mengenai organ yang berongga, isinya akan keluar ke
dalam rongga abdomen dan menimbulkan iritasi pada peritoneum. Luka tembak
akan menimbul kerusakan pada organ yang dilalui peluru. Organ padat akan
mengalami kerusakan yang lebih luas akibat energi kinetik yang ditimbulkan oleh
peluru tipe high velocity.21 Luka tembak kecepatan tinggi mentransfer energi
kinetik lebih banyak. Kerusakan lateral dari jalur peluru dapat terjadi karena
adanya kavitasi temporer. Luka tembak mengakibatkan kerusakan yang lebih
besar, bergantung jauhnya perjalanaan peluru, besar energi kinetik maupun
kemungkinan pantulan peluru oleh organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya.
Luka tusuk yang melintas struktur abdomen dapat mengenai liver (40%), usus
halus (30%), diafragma (20%) dan kolon (15%). Luka tembak paling sering
mengenai usus halus (50%), kolon (40%), liver (30%) dan struktur vaskuler
intraabdomen (25%).15
Bahan peledak dapat menyebabkan cedera melalui beberapa mekanisme, termasuk
luka penetrasi akibat fragmen dan trauma tumpul yang disebabkan oleh pasien
yang terlempar atau terkena lemparan. Perlu dipertimbangkan adanya kombinasi
trauma penetrasi dan trauma tumpul. Pasien yang berada dekat dengan sumber
ledakan dapat mengalami cedera paru dan organ lainnya.19,20
Infeksi masih merupakan risiko terbesar pada korban dengan luka tusuk
abdomen. Mortalitas terjadi pada 30% korban luka tusuk abdomen yang
menderita infeksi abdomen mayor. Faktor risiko paling penting adalah adanya
cedera pada organ berongga, dimana luka pada kolon menyebabkan insidensi
infeksi tertinggi relatif terhadap cedera organ intraabdomen. Cedera pada
pankreas dan hati secara signifikan meningkatkan risiko infeksi ketika
berkombinasi dengan cedera organ berongga. Penggunaan antibiotik dalam
pencegahan infeksi ini didasarkan pada 3 hal, yakni pilihan agen antibiotik, durasi
penggunaan antibiotik, dan dosis optimal antibiotik.21

12
2.5.3. Cedera Organ Abdomen
A. Diafragma
Robekan diafragma dapat terjadi pada bagian manapun dari ke dua
diafragma, yang paling sering mengenai cedera adalah diafragma kiri. Cedera
biasanya 5 – 10 cm panjangnya dengan lokasi di postero lateral dari diafragma
kiri, sering diakibatkan oleh bursting. Biasanya pada luka tusuk, bagian diafragma
mempunyai potensi untuk cedera. Cedera pada bagian ini disebabkan oleh trauma
tumpul ataupun trauma tembus. Selain itu, cedera diafragma dapat terjadi dalam
arah yang berlawanan dengan tempat terjadi tembusan dari bagian thorax kepada
bagian abdomen. Lebih dari setengah kasus trauma pada bagian diafragma akan
berkaitan dengan cedera pada hepar dan hemopneumothoraks.22
Pada pemeriksaan foto thorak awal akan terlihat diafragma yang labih
tinggi ataupun kabur, biasanya berupa hemathoraks, ataupun adanya bayangan
udara yang membuat kaburnya gambaran diafragma, ataupun terlihat NGT yang
terpasang dalam gaster terlihat di thorak. Pada sebagian kecil foto thorak tidak
memperlihatkan adanya kelainan.23

B. Hati
Karena ukuran dan letaknya, hati merupakan organ yang paling sering
terkena kerusakan yang diakibatkan oleh trauma tembus maupun trauma tumpul.
Pada kasus trauma tumpul, kompresi dan shearing merupakan faktor paling
dominan dalam mekanisme kecelakaan. Hati diselaputi oleh kapsul fibrosa dan
diikat pada dinding abdomen oleh ligamentum falciform. Apabila mengalami
tekanan ataupun kompresi, paling sering di iga bawah, hati tidak dapat dilindungi
sehingga menyebabkan terjadinya laserasi pada parenkim.22
Hal utama yang dilakukan apabila terjadi perlukaan di hati yaitu
mengontrol perdarahan dan mendrainase cairan empedu. Trauma hepar dengan
hemodinamik stabil dan tidak ada tanda perdarahan serta defans muskular
dilakukan perawatan non operatif dengan observasi ketat selama minimal 3 x 24
jam. Harus dilakukan pemeriksaan CT scan serial, USG maupun Hb serial.
Indikasi operatif cedera hepar yaitu trauma hepar dengan shok, peritonitis,

13
hematoma yang meluas, penanganan konservatif gagal, dan dengan cedera lain
intra abdominal.23

C. Limfa
Limfa merupakan organ yang paling sering terkena kerusakan yang
diakibatkan oleh trauma tumpul. Kecederaan pada limfa paling sering disebabkan
oleh motor vehicle crashes(MVCs), dan kecelakaan olahraga dan ruptur secara
langsung juga menjadi penyebab. Sering terjadi hemoragi atau perdarahan masif
yang berasal dari limpa yang ruptur sehingga semua upaya dilakukan untuk
memperbaiki kerusakan di limpa.22
Penatalaksanaan cedera limpa dapat dilakukan dengan terapi operatif dan non
operatif. Jika terapi operatif harus dipilih, splenorafi dapat dilakukan dengan
memberikan zat-zat hemostatik topikal, dijahit atau splenoktomi parsial cedera
dengan vaskularisasi. Kontraindikasi tindakan penyelamatan limpa adalah kondisi
pasien yang tidak stabil, avulsi limpa atau fragmentasi yang luas, dan cedera
pembuluh darah hilus yang luas serta kegagalan mencapai hemostasis.22

D. Ginjal
Ginjal dilindungi di bagian retroperitoneum dan hanya terjadi kecederaan
jika mengalami trauma yang berat (cedera pada bagian ginjal hanya berlaku
sebanyak kira-kira 10% dari kasus trauma abdomen). Cedera daripada kompresi
haruslah dengan kekuatan yang tinggi karena perlindungan yang terdapat pada
bagian tersebut adalah dari dinding abdomen yang posterior tetapi rentan kepada
cedera deselerasi. Delapan puluh sampai delapan puluh lima persen trauma ginjal
disebabkan oleh trauma tumpul yang secara langsung mengenai abdomen,
pinggang, dan punggung. Trauma tersebut disebabkan karena kecelakaan lalu
lintas, perkelahian, jatuh, dan olahraga kontak. Tabrakan kendaraan pada
kecepatan tinggi bisa menyebabkan trauma pembuluh darah utama karena
deselerasi cepat. Luka karena senjata api dan pisau merupakan luka tembus
terbanyak yang mengenai ginjal sehingga jika terdapat luka pada pinggang harus
dipikirkan trauma ginjal. Pada luka tembus ginjal, 80% berhubungan dengan
trauma visera abdomen.22

14
Ginjal yang terletak pada rongga retroperitoneum bagian atas hanya
terfiksasi oleh pedikel pembuluh darah serta ureter, sementara massa ginjal
melayang bebas dalam bantalan lemak yang berada dalam fascia gerota. Karena
fiksasi yang sedikit, ginjal mudah mengalami dislokasi oleh akselerasi maupun
deselerasi mendadak yang bisa menyebabkan trauma seperti avulsi collecting
system atau sobekan pada intima arteri renalis sehingga terjadi oklusi parsila
mauopun komplit pembuluh darah.23
Vena renalis kiri terletak ventral aorta sehingga luka penetrasi di daerah ini
bisa menyebabkan trauma pada ke dua struktur. Vena renalis yang berdekatan
dengan pankreas dan pole atas ginjal kiri serta duodenum dengan tepi medial
ginjal kanan bisa menyebabkan trauma kombinsai yaitu trauma pankreas,
duodenum, dan ginjal. Anatomi ginjal yang mengalami kelainan seperti
hidronefrosis atau tumor maligna lebih mudah mengalami ruptur karena adanya
trauma ginjal.23

E. Ureter, vesika urinaria, dan uretra


Trauma tumpul ureter jarang terjadi dan biasanya timbul akibat tindakan
laparotomi. Ruptur intraperitonium dari kandung kemih biasanya timbul akibat
fraktur pelvik atau ketika pukulan langsung pada perut bagian bawah. Gejala yang
timbul berupa rangsangan peritoneum. Pemeriksaan dengan CT scan dapat
mendeteksi cairan intraperitoneum. Cedera tersebut juga dapat dikonfirmasi
dengan pemeriksaan retrograde atau CT cystography.22
Cedera uretra anterior lebiha jarang terjadi, namun biasanya timbul akibat
straddle injury yang menyebabkan timbulnya hematom di daerah penis dan
perineum. Pasien dengan cedera tersebut bisanya megalami kerusakan berat pada
spongiosus uretra. Eksplorasi bedah dini dindikasikan dengan mobilisasi uretra
dan eksisi segmen cedra dengan reanastomosis.22

F. Pankreas
Kebanyakan cedera pada pankreas disebabkan oleh trauma tumpul dan
mekanismenya adalah melalui kompresi. Trauma ini disebabkan oleh kompresi
apabila pemandu kendaraan mengalami hantaman pada bagian torso pada kemudi

15
mobil, dan menghancurkan pankreas. Umumnya cedera pankreas terjadi pada
pukulan langsung di daerah epigastrium dengan kolumna vertebralis sebagai
alas.23
Peningkatan kadar amilase yang konstan harus dicurigai adanya cedera
pankreas. Pada 8 jam pertama pasca trauma pemeriksaan CT dengan double
contras bisa saja belum memperlihatkan cedera pankreas. Pemeriksaan harus
diulang jika dicurigai adanya cedera pada organ tersebut. Jika CT scan meragukan
maka dianjurkan untuk dilakukan pembedahan eksplorasi.22

G. Lambung dan usus halus


Trauma tumpul dan penetrasi ke dalam lambung, jejunum, dan ileum
relatif mudah dikoreksi pada eksplorasi bedah. Trauma penetrasi memerlukan
debridemen luka dan penutupan sederhana. Kadang-kadang sejumlah luka akan
ditemukan dalam usus halus di atas segmen yang relatif pendek, sehingga
mereseksi segmen yang terlibat dan melakukan anastomosis primer merupakan
tindakan yang tepat. Faktor yang dianggap mencetuskan hal tersebut adalah
peningkatan mendadak tekanan intralumina lokal, kompresi usus halus pada
kolumna vertebralis serta deselerasi pada atau dekat titik fiksasi. Penggunaan
sabuk pengaman mengakibatkan avulsi lambung dan usus halus.23,24

H. Kolon dan rektum


Trauma kolon dan rektum tersering mengikuti trauma penetrasi cavitas
abdominalis. Banyak kontroversi sehubungan dengan terapi cedera kolon.
Penatalaksanaan memerlukan banyak penilaian klinik dan terutama ditentukan
oleh derajat cedera, adanya cedera penyerta yang mengancam nyawa dan
kontaminasi feses serta waktu yang terlewatkan antara trauma dan perbaikan
bedah. Para ahli percaya terapi konservatif lebih tepat, kecuali cedera kolon ringan
dan kontaminasi feses sedikit.23

16
I. Organ reproduksi
Cedera intraabdominal yang mengenai organ reproduksi jarang terjadi
pada pasien yang tidak hamil dan biasanya ditemukan ketika dilakukan laparotomi
oleh karena penyebab yang lain.23

J. Pembuluh darah abdomen


Cedera pada pembuluh darah besar abdomen biasanya menyebabkan
instabilisasi hemodinamik dan ditemukan pada saat laparotomi. Pada beberapa
kasus perdarahan dapat berhenti sendiri. Pada pemeriksaan CT scan mungkin
ditemukan adanya pseudoaneurisma. Jika aneurisma terjadi pada pembuluh darah
besar, maka hal tersebut merupakan indikasi perbaikan pembuluh darah yang
rusak dengan cara laparotomi.23

2.6. Gejala dan Tanda Klinis

Gejala awal dari cedera abdomen meliputi mual, muntah, dan demam.
Darah dalam urine juga sebagai tanda yang lainnya. Cedera pada abdomen bisa
didapatkan nyeri abdomen, distensi, atau kaku pada palpasi, dan suara bising usus
bisa menurun atau tidak ada. Perlindungan abdomen yaitu dengan penegangan
dari dinding perut untuk menjaga organ-organ yang mengalami inflamasi di dalam
abdomen. Pneumoperitoneum merupakan udara atau gas di dalam rongga
abdomen, bisa menjadi suatu indikasi adanya ruptur dari organ berongga. Pada
luka tembus, bisa didapatkan adanya eviserasi (keluarnya organ-organ dalam
abdomen dari tempat luka tersebut). Cedera-cedera yang berhubungan dengan
trauma intraabdomen meliputi fraktur costa, fraktur vertebra, fraktur pelvis, dan
cedera pada dinding abdomen.7,15
Trauma tumpul abdomen seringkali diperlukan observasi dan pemeriksaan
berulang karena tanda rangsangan peritoneum bisa timbul perlahan-lahan. Adanya
darah atau cairan usus akan menimbulkan rangsangan peritoneum berupa nyeri
tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan dinding perut. Adanya darah dapat
pula ditentukan dengan shifting dullness, sedangkan adanya udara bebas dapat
diketahui dengan hilang dan beranjaknya pekak hati. Bising usus biasanya

17
melemah dan menghilang. Rangsangan peritoneum dapat pula berupa nyeri alih di
daerah bahu sebelah kiri.7,8
Trauma tembus dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila
mengenai organ yang berongga intraperitoneal. Rangsangan peritoneal yang
timbul sesuai dengan isi dari organ yang berongga tersebut, mulai dari gaster yang
bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya
paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi di bagian atas,
misalnya di daerah lambung, maka akan terjadi perangsangan segera sesudah
trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah,
seperti kolon, mula-mula tidak terdapat gejala karena mikroorganisme
membutuhkan waktu untuk berkembangbiak baru setelah 24 jam timbul gejala
akut abdomen karena perangsangan peritoneum.23,25

2.7. Diagnosis
A. Anamnesis
Pada anamnesis, dapatkan keterangan mengenai perlukaannya, bila
mungkin dari penderitanya sendiri, orang sekitar korban, pembawa ambulans,
polisi, atau saksi-saksi lainnya, sesegera mungkin, bersamaan dengan usaha
resusitasi. Mekanisme cedera harus dieksplorasi seperti posis jatuh, asal
ketinggian, jenis alat yang melukai, kecepatan dan sebagainya. Mekanisme trauma
tembus perlu ditanyakan dengan keterangan selengkap mungkin seperti senjata
yang melukai, arah tusukan atau bagaimana terjadinya kecelakaan.18 Juga
ditanyakan untuk mengetahui organ intra abdominal yang berpotensi mengalami
trauma.23

B. Pemeriksaan Fisik:
Pada pemeriksaan fisik lakukan inspeksi, auskultasi, perkusi dan baru
palpasi. Pada inspeksi lihat mulai dari keadaan umum pasien, ekspresi wajah,
tanda dehidrasi, perdarahan, jejas abdomen dan tanda-tanda syok. Pada trauma
abdomen biasanya ditemukan kontusio, abrasio, lacerasi dan echimosis.
Echimosis merupakan indikasi adanya perdarahan di intraabdomen. Terdapat
Echimosis pada daerah umbilikal biasa kita sebut Cullen’s Sign sedangkan

18
echimosis yang ditemukan pada salah satu panggul disebut sebagai Turner’s Sign.
Terkadang ditemukan adanya eviserasi yaitu menonjolnya organ abdomen keluar
seperti usus, kolon yang terjadi pada trauma tembus atau tajam. Pada auskultasi
selain suara bising usus yang diperiksa di empat kuadran dimana adanya
ekstravasasi darah menyebabkan hilangnya bunyi bising usus, juga perlu
didengarkan adanya bunyi bruits dari arteri renalis, bunyi bruits pada umbilical
merupakan indikasi adanya trauma pada arteri renalis. Perkusi untuk melihat
apakah ada nyeri ketok. Salah satu pemeriksaan perkusi adalah uji perkusi tinju
dengan meletakkan tangan kiri pada sisi dinding thoraks pertengahan antara spina
iliaka anterior superior kemudian tinju dengan tangan yang lain sehingga terjadi
getaran di dalam karena benturan ringan bila ada nyeri merupakan tanda adanya
radang atau abses di ruang subfrenik antara hati dan diafragma.18 Selain itu bisa
ditemukan adanya bunyi timpani bila dilatasi lambung akut di kuadran atas atau
bunyi redup bila ada hemoperitoneum. Pada waktu perkusi bila ditemukan
balance sign dimana bunyi resonan yang lebih keras pada panggul kanan ketika
klien berbaring ke samping kiri merupakan tanda adanya rupture limfa.
Sedangkan bila bunyi resonan lebih keras pada hati menandakan adanya udara
bebas yang masuk.18
Adanya darah atau cairan usus dalam rongga peritoneum akan
memberikan tanda-tanda rangsangan peritoneum berupa nyeri tekan, nyeri ketok,
nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding abdomen. Kekakuan dinding abdomen
dapat pula diakibatkan oleh hematoma pada dinding abdomen. Adanya darah
dalam rongga abdomen dapat ditentukan dengan shifting dullness, sedangkan
udara bebas ditentukan dengan pekak hati yang beranjak atau menghilang. Bising
usus biasanya melemah atau hilang sama sekali. Bising usus yang normal belum
berarti bahwa tidak ada apa-apa dalam rongga abdomen. Trauma abdomen disertai
ranggsangan peritoneum dapat memberikan gejala berupa nyeri pada daerah bahu
terutama yang sebelah kiri. Gejala ini dikenal sebagai referred pain yang dapat
membantu menegakkan diagnosis.23
Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan yaitu, pemeriksaan rektum, adanya
darah menunjukkan kelainan pada usus besar: kuldosentesis, kemungkinan adanya

19
darah dalam lambung; dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan lesi pada
saluran kencing.23
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah lengkap
Hemoglobin dan hematokrit normal ditemukan jika tidak terjadi perdarahan.
Pasien yang mengalami perdarahan dapat dilakukan transfusi dengan cairan
kristaloid. Transfusi trombosit diperlukan jika terjadi trombositopenia (plateler
count < 50.000/ml) dan perdarahan aktif. Leukosistosis menandakan adanya
infeksi pada abdomen.23

2. Kimia serum
Pemeriksaan kimia serum penting dilakukan untuk mengatahui adanya
ketidakseimbangan elektrolit. Pemeriksaan gula darah sewaktu juga penting
digunakan untuk mengetahui status mental pasien.23

3. Lever funection test (LFT)


LFT mungkin dapat digunakan pada pasien dengan trauma tumpul abdomen
untuk mengetahui alasan insiden seperti pada alcohol abuse. Peningkatan
kadar aspartate aminotransferase (AST) atau alanin aminotransferase (ALT)
lebih dari 130μ berhubungan dengan cedera hepar yang signifikan. Kadar
lactate dehydrogenase (LDH) dan bilirubun merupakan indikasi non spesifik
untuk cedera hepar.23

4. Pengukuran amilase
pemeriksaan amilase merupakan test yang sensitif non spesifik untuk cedera
pankreas. Namun peningkatan kadar amilase setelah 3 – 6 jam setelah trauma
memiliki akuransi yang cukup besar.23

5. Urinalisis
Indikasi untuk dilakukan urinalisis antara lain trauma yang cukup parah pada
abdomen dan flank, gross hematuri, microscop hematuri pada pasien
hipotensi, dan mekanisme deselerasi yang parah.23

20
6. Coagulation profile
Pemeriksaan PT dan PTT dilakukan pada pasien yang memiliki riwayat blood
dyscrasias (hemophilia), gangguan sintesis (cirrhosis), atau yang sedang dalam
terapi obat-obatan (warfarin dan heparin).23

7. Golongan darah, screen, dan crossmatch


Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang mengalami trauma abdomen
dengan tujuan untuk menghemat waktu crossmatch sehingga dapat
dipersiapkan darah utnuk transfusi dengan segera.23

8. Pengukuran gas darah arteri


Pemeriksaan ini penting untuk memberikan informasi tentang kadar oksigen
(PO2, SaO2) dan ventilasi (PCO2). Pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi
asidosis metabolik yang sering menyertai keadaan syok.23

9. Skrining obat dan alkohol


Pemeriksaan skrining terhadap pemakaian obat dan alkohol dapat berguna
untuk menilai kesadaran pasien.23

10. Pemeriksaan Radiologi


Bila indikasi untuk melakukan laparatomi, tidak perlu lagi dilakukan
pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan radiologi untuk skrining adalah Ro-
Cervical lateral, thorak anterior-posterior, dan pelvis anterior-posterior
dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multi trauma. Rontgen foto
abdomen 3 posisi (terlentang, setengah duduk, dan lateral dekubitus) berguna
untuk melihat adanya udara bebas di bawah diafragma ataupun udara di luar
lumen di retroperitoneum yang menjadi petunjuk untuk dilakukannya
laparotomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan kemungkinan cedera
retroperitoneal. IVP atau sistogram hanya dilakukan bila ada kecurigaan
terhadap trauma saluran kencing.23,26

21
Pemeriksaan USG dilakukan untuk melihat adanya cairan intraperitoenal
bebas seperti pada region spesifik kantong Morison, kuadran kiri atas dan
pelvis. CT scan digunakan untuk melihat cedera pada organ seperti ginjal,
derajat cedera hati dan limpa terutama pada pasien yang memiliki
hemodinamik stabil. Ultrasound FAST akan memberikan cara yang cepat,
non-invasive, akurat dan murah untuk mendeteksi hemoperitoneum. Ini juga
dapat dilakukan sebagai bedside diagnostic di kamar resusitasi. Sesudah scan
pertama dilakukan, scan kedua dilakukan lagi idealnya atau scan control 30
menit berikut. Scan kontrol ditujukan untuk melihat pertambahan
hemoperitoneum pada pasien dengan pendarahan yang berangsur-angsur.27

11. Lavase Peritoneal


Lavase peritoneal berguna untuk mengetahui adanya perdarahan intraabdomen
pada suatu trauma tumpul bila dengan pemeriksaan fisik dan radiologik,
diagnosa masih diragukan. Test ini tidak boleh dilakukan pada penderita yang
tidak kooperatif, melawan, dan yang memerlukan operasi abdomen segera.
Kandung kemih harus dikosongkan terlebih dahulu. Posisi penderita
terlentang, kulit bagian bawah disiapkan dengan jodium tinktur dan infiltrasi
anestesi lokal di garis tengah diantara umblikus dan pubis, kemudan dibuat
insisi kecil. Kateter dialisa peritoneal dimasukkan ke dalam rongga peritoneal.
Bila pada pengisapan tidak keluar darah atau cairan, dimasukkan cairan garam
fisiologis sampai 1000 ml yang kemudian dikeluarkan kembali. Hasil
dikatakan positif bila: cairan yang keluar berwarna kemerahan, adanya
empedu, ditemukannya bakteria atau eritrosit lebih dari 100.000/mm3,
leukosit lebih dari 500/mm3, amylase lebih dari 100 u/100 ml.18,27

2.8.Tatalaksana

a. Trauma Tumpul
Tindakan awal yang dilakukan pertama kali adalah primary survey untuk
mengidentifikasi permasalahan yang mengancam dengan segera. Stabilisasi ABCs
(Airway, Brething, Circulation) dilakukan secara simultan. Pasien dengan
permasalahan jalan nafas atau yang memiliki potensi mengancam dilakukan

22
pemasangan endotracheal tube. Atasi pasien yang mengalami apnea atau
hipoventilasi serta pasien yang mengalami takipnea dengan memberikan oksigen.
Menurunnya suara nafas mungkin ditemukan pada hemothoraks atau
pneumothoraks sehingga perlu dilakukan dekompresi. Identifikasi hipovolemi dan
tanda shok dan mencari sumber perdarahan. Atasi segera dengan pemberian cairan
intravena.19
Pasien tidak stabil yang hipotensif atau takikardi, haruslah memasang jalur infus
intravena dan mendapatkan resusitasi cairan kristaloid. Nasogastric tube (NGT)
atau orogastric tube (OGT) juga dipasang pada pasien kasus ini. Selepas
memastikan tidak ada trauma pada ureter, Foley catheter dipasangkan. Jika
resusitasi kristaloid tidak dapat memperbaikan keadaan haemodinamik, pemberian
transfusi darah haruslah dilakukan secepat mungkin.20
Setelah tertangani semua lakukan pemeriksaan fisik lengkap mulai dari kepala
sampai ke kaki dengan memfokuskan pada daerah yang mengalami trauma.
Setelah melakukan primery survey dan resusitasi awal, segera lengkapi dengan
secondary survey untuk mengidentifikasi semua potensi yang memungkinkan
menimbulkan cedera. Bedside ultrasonography merupakan salah satu protokol
untuk menilai adanya perdarahan intraperitoneum. Jika hasil penilaian negatif atau
meragukan, DPL bisa dilakukan pada pasien yang hemodinamiknya tidak stabil.
Pasien yang mengalami instabilisasi hemodinamik atau ditemukan abnormalitas
yang jelas pada pemeriksaan fisik dan prosedur diagnostik memerlukan intervensi
pembedahan. Penemuan yang spesifik pada tahap diagnostik, seperti terbukti
adanya cairan bebas atau cedera organ padat pada sonogram atau CT-scan
merupakan indikasi untuk dilakukan intervensi pembedahan.20
Pasien harus dimonitor secara ketat di ICU bedah setelah selesai
laparotomi. Banyak pasien akan masih diintubasi dan diberikan ventilasi.
Perhatian harus ditujukan pada suhu pasien, kelancaran resusitasi pemberian
cairan dan darah, penggantian elektrolit, dan memonitor keluaran drainage. Pada
pasien dengan adanya bukti perdarahan yang berlanjut mungkin mempunyai
keuntungan untuk dilakukan evaluasi dengan angiografi untuk mengetahui adanya
embolisasi; dan beberapa pasien memerlukan eksplorasi kembali untuk
mengontrol perdarahan. Pasien yang menjalani prosedur control kerusakan

23
demage-control procedures) dan/atau yang dilakukan penutupan abdomen
sementara harus dilakukan operasi kembali dalam 24-48 jam untuk perbaikan
definitif.22, 28

b. Luka Tusuk
Karena tingginya frekuensi laparotomi negatif pada tindakan laparotomi
rutin, sekarang orang cenderung untuk lebih selektif dalam memutuskan tindakan
laparotomi pada luka tusuk abdomen. Tindakan laparotomi hanya dilakukan bila:
adanya tanda-tanda rangsangan peritoneal, syok, bising usus tak terdengar,
prolaps visera melalui luka tusuk, darah dalam lambung, buli-buli, rectum, udara
bebas intraperitoneal, dan lavase peritoneal memberikan hasil positif. Selain dari
itu penderita diobservasi selama 24-48 jam.19,30
Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSCM memakai cara penentuan terlebih dahulu apakah
luka tusuk itu menembus peritoneum dengan cara mengeksplorasi luka tusuk.
Luka tusuk yang menembus peritoneum dilanjutkan dengan tindakan
laparotomi.29,30

c. Luka Tembak
Berbeda dengan luka tusuk abdomen yang belum tentu mengenai alat
dalam abdomen, luka tembak hampir selalu menimbulkan kerusakan pada alat
dalam perut. Dianjurkan pada luka tembak perut agar dilakukan laparotomi.20

Gambar. 2.3 Algoritma tatalaksana trauma tumpul abdomen1


24
Keterangan:
AASW: Anterior Abdominal Stab Wound
GSW: Gun Shot Wound
LWE: Local Wound Explorations
RUQ: Right Upper Quadrant
SW: Stab Wound

Gambar 2.4. Algoritma tatalaksana trauma tembus abdomen1

2.9. Komplikasi
Komplikasi bisa terjadi pada trauma yang dapat diidentifikasi maupun
yang tidak teridentifikasi. Perdarahan intraabdomen, infeksi, sepsis, dan kematian
dapat terjadi. Delayed ruptur atau delayed hemmorage dari organ padat khususnya
limpa dapat muncul. Pada pasien yang menjalani laparatomi dan perbaikan,
komplikasi sama dengan kondisi lain yang memerlukan tindakan operasi.22,27
Komplikasi pasca laparotomi pada trauma abdomen yang paling banyak adalah
abses intraabdominal sebanyak (12%), selanjutnya infeksi luka (7%), fistel
enterokutan (4%), dan gagal ginjal akut (3%). Selain itu komplikasi postoperasi
dini meliputi perdarahan yang tetap berlanjut, coagulopati, dan sindrom
compartment abdomen. Komplikasi yang terakhir ini diterapi dengan membuka
abdomen dan menutup sementara. Komplikasi yang lebih lambat lagi meliputi
obstruksi usus halus dan hernia insisional.27

25
2.10 Prognosis
Prognosis pasien yang menderita trauma abdomen umumnya baik. Angka
kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit sekitar 5-10%. Sebagian besar
kematian yang disebabkan oleh trauma abdomen dapat dicegah. Trauma abdomen
merupakan salah satu penyebab tersering dari kematian akibat suatu trauma yang
dapat dicegah. Jika cedera abdomen tidak segera didiagnosis, suatu keadaan yang
lebih buruk dapat terjadi. Terapi yang terlambat akan menyebabkan morbiditas
dan mortalitas yang tinggi jika terjadi perforasi saluran gastrointestinal.22
Angka pasien yang selamat dari trauma tembus abdomen tidak meningkat
secara nyata karena kematian dalam 24 jam pertama sebagai akibat dari syok dan
perdarahan irreversible. Lebih dari 80% kematian terjadi dalam 24 jam saat
kedatangan di rumah dan 66,7% pada saat operasi awal karena cedera pembuluh
darah abdomen. Sebaliknya, angka pasien yang selamat dari trauma tembus
abdomen tanpa cedera pembuluh darah masih tinggi.22
Distribusi puncak dari kematian pada trauma tembus abdomen sangat
berbeda dibandingkan pada trauma tumpul abdomen. Sebagian besar kematian
karena trauma tembus abdomen terjadi antara 1 – 6 jam dari saat datang di rumah
sakit, diikuti jumlah yang lebih kecil pada 6 – 24 jam setelah kedatangan.
Sebaliknya, jumlah tertinggi kematian karena trauma tumpul abdomen terjadi 72
jam setelah kedatangan di rumah sakit dan jumlah yang lebih kecil dalam jam
pertama kedatangan. Kematian karena trauma tembus abdomen lebih sering
terjadi di instlasi gawat darurat (IGD) atau ruang operasi dibandingkan dengan
trauma tumpul abdomen yang terutama terjadi di ICU. Secara umum, kematian
terjadi dalam 72 jam pertama karena hipoperfusi dan sequelenya. Kematian di
ICU dua minggu atau lebih kemudian biasanya karena komplikasi sepsis, sindrom
respon inflamasi sistemik (SIRS=systemic inflammatory response syndrome), atau
sindrom disfungsi organ multiple (multiple organ dysfunction syndrome).20
Faktor-faktor yang meningkatkan mortalitas dari trauma tembus abdomen
adalah jenis kelamin perempuan, lamanya jarak antara saat kejadian dan
dimulainya tindakan operasi, adanya syok saat datang ke rumah sakit, dan adanya
cedera kepala.20

26
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini berupa penelitian deskriptif retrospektif untuk melihat


insidensi dan distribusi trauma tembus abdomen di RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung.

3.2 Waktu Penelitian

Pengumpulan data penelitian dilakukan secara retrospektif dengan mendata


jumlah kasus trauma tembus abdomen yang masuk melalui Instalasi Gawat
Darurat (IGD) di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung selama periode tahun 2012
hingga tahun 2017.

3.3 Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah semua pasien dengan diagnosis trauma tembus
abdomen yang masuk melalui IGD RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung selama
periode tahun 2012 sampai dengan tahun 2017. Pengambilan sample dilakukan
memakai data status pasien dan data elektronik catatan medis (medical record).
Data yang dikumpulkan meliputi angka kejadian trauma tembus abdomen,
karakteristik subjek (jenis kelamin dan umur), etiologi trauma tembus abdomen,
jenis organ yang mengalami trauma, kestabilan hemodinamik pasien trauma
tembus abdomen, tatalaksana intervensi bedah yang dilakukan dan lama rawatan
pasien.

3.4 Analisis Data

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis univariat
yang bertujuan untuk memperoleh distribusi frekuensi dan proporsi dari subjek
yang diteliti. Analisis data penelitian ini menggunakan program SPSS for
windows. Data yang diperoleh dari hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel
atau diagram.
27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Angka Kejadian Trauma Abdomen


Jumlah seluruh pasien trauma abdomen yang tercatat di RSUP Dr. Hasan
Sadikin selama periode tahun 2012 sampai tahun 2017 adalah 197 pasien. Dari
197 kasus trauma abdomen, pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen
sebanyak 176 pasien (89%) sedangkan pasien yang mengalami trauma tembus
sebanyak 21 pasien (11%) (Tabel 4.1). Hal tersebut serupa dengan penelitian yang
dilakukan Gad et al., menunjukkan 172 pasien (69,4%) mengalami trauma tumpul
dan 76 pasien (30,6%) mengalami trauma tembus.9 Penelitian yang dilakukan di
RSUP Haji Adam Malik Medan juga menunjukkan kasus trauma tumpul abdomen
(94,3%) lebih banyak daripada trauma tembus.10

Tabel 4.1. Distribusi trauma abdomen di RSUP Dr. Hasan Sadikin


Jumlah
Jenis trauma abdomen pasien persentase
Trauma tumpul 176 89%
Trauma tembus 21 11%
Jumlah 197 100%
Sumber : Rekam Medik RSUP Dr. Hasan Sadikin

Distribusi Trauma Abdomen di RSUP Dr. Hasan


Sadikin

Trauma tumpul Trauma tembus


11%

89%

28
4.2 Distribusi Trauma Tembus Abdomen Berdasarkan Jenis Kelamin
Kasus trauma tembus abdomen di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung lebih
sering ditemukan pada laki-laki sebanyak 18 pasien (86%) daripada perempuan
yaitu 3 pasien (14%) (Tabel 4.2).

Tabel 4.2 Distribusi trauma tembus abdomen berdasarkan jenis kelamin

Jumlah kasus trauma


tembus abdomen
Total
Laki-laki Perempuan
18 (86%) 3 ( 14%) 21 (100%)
Sumber : Rekam Medik RSUP Dr. Hasan Sadikin

Distribusi Kasus Trauma Tembus Abdomen


Berdasarkan Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan

14%

86%

4.3 Distribusi Trauma Tembus Abdomen Berdasarkan Kelompok Umur

Dari data yang terkumpul, pasien trauma tembus abdomen di RSUP Dr.
Hasan sadikin berasal dari kelompok umur 10-20 tahun sebanyak 6 orang
(28,5%), 21-30 tahun sebanyak 6 orang (28,5%), 31-40 tahun sebanyak 2 orang
(9,5%), 41-50 tahun sebanyak 4 orang (19%), 51-60 tahun sebanyak 0 orang,
diatas 60 tahun sebanyak 3 orang (14,5%) (Tabel 4.2). Insidensi trauma abdomen
lebih sering terjadi pada laki- laki dengan usia terbanyak antara 14 sampai 30
tahun dimana usia tersebut merupakan usia produktif.4

29
Tabel 4.3. Distribusi pasien trauma tembus abdomen berdasarkan kelompok umur

Umur Jumlah kasus Persentase

10-20 tahun 6 orang 28,5%


21-30 tahun 6 orang 28,5%

31-40 tahun 2 orang 9,5%

41-50 tahun 4 orang 19%

51-60 tahun 0 orang 0%

> 60 tahun 3 orang 14,5%


Total 21 orang 100 %
Sumber : Rekam Medik RSUP Hasan Sadikin

Distribusi Trauma Tembus Abdomen Berdasarkan


Kelompok Umur
7

6
10-20 tahun
5
21-30 tahun
4
31-40 tahun
3
41-50 tahun
2 51-60 tahun
1 > 60 tahun

0
Jumlah pasien

4.4 Distribusi Trauma Tembus Abdomen Berdasarkan Etiologi

Etiologi yang paling banyak menyebabkan trauma tembus abdomen di


RSUP Dr. Hasan Sadikin adalah akibat dari luka tusuk yaitu sebanayk 11 kasus
(52,3%), dilanjuti dengan luka tembak yaitu 5 kasus (23,8%), kecelakaan lalu
lintas sebanyak 4 kasus (19%) dan yang paling sedikit adalah akibat trauma
iatrogenik yaitu 1 kasus (4,9%).

30
Tabel 4.4. Distribusi trauma tembus abdomen berdasarkan etiologi

Jumlah
Etiologi kasus persentase
Kecelakaan lalu lintas 4 19%
Luka tusuk 11 52,3%
Luka tembak 5 23,8%
Trauma iatrogenik 1 4,9%
Jumlah 21 100%
Sumber : Rekam Medik RSUP Hasan Sadikin

Distribusi Trauma Tembus Abdomen Berdasarkan


Etiologi
12

10

8 Kecelakaan lalu lintas

6 Luka tusuk
Luka Tembak
4
Trauma Iatrogenik
2

0
Jumlah Pasien

4.5 Distribusi Trauma Tembus Abdomen Berdasarkan Bagian yang


Mengalami Trauma

Pada 21 kasus trauma tembus abdomen yang ada di RSUP Dr. Hasan
Sadikin, bagian yang paling sering mengalami trauma adalah muskuloskeletal
yaitu sebanyak 12 kasus (57,1%), diikuti dengan peritoneum sebanyak 2 kasus
(9,2%) dan buli sebanyak 2 kasus (9,2%). Trauma pada omentum, organ padat
maupun berongga seperti hepar, gaster, diafragma, jejunum dan kolon masing-
masing hanya ada 1 kasus dengan persentase (4,9%).

31
Tabel 4.5. Distribusi trauma tembus abdomen berdasarkan bagian yang
mengalami trauma

Jumlah
Bagian yang terkena kasus persentase
Muskuloskeletal 12 57,1%
Hepar 1 4,9%
Gaster 1 4,9%
Diafragma 1 4,9%
Omentum 1 4,9%
Jejunum dan kolon 1 4,9%
Peritoneum 2 9,2%
Buli 2 9,2%
Jumlah 21 100%
Sumber : Rekam Medik RSUP Hasan Sadikin

Distribusi Trauma Tembus Abdomen Berdasarkan Bagian


yang Mengalami Trauma
14
Muskuloskeletal
12
Hepar
10
Gaster
8
Diafragma
6
Omentum
4
Jejunum dan kolon
2
Peritoneum
0
Jumlah kasus
Buli

4.6 Distribusi Trauma Tembus Abdomen Berdasarkan Kestabilan


Hemodinamik

Dari data yang didapat, hampir semua pasien trauma tembus abdomen
mempunyai hemodinamik yang stabil yaitu sebanyak 16 orang (76,2%). Hanya 5
orang (23,8%) yang mengalami syok akibat perdarahan yang disebabkan oleh
ruptur organ maupun kerusakan pada pembuluh darah abdomen.
32
Tabel 4.6. Distribusi kasus trauma tembus abdomen berdasarkan kestabilan
hemodinamik

Jumlah
Hemodinamik pasien kasus persentase
Stabil 16 76,2%
Tidak stabil / syok 5 23,8%
Jumlah 21 100%
Sumber : Rekam Medik RSUP Hasan Sadikin

Distribusi Trauma Tembus Abdomen Berdasarkan


kestabilan hemodinamik
18
16
14
12
10 Stabil
8
6 Tidak stabil/syok
4
2
0
Jumlah pasien

4.7 Distribusi Trauma Tembus Abdomen Berdasarkan Tatalaksana


Intervensi Bedah
Berdasarkan data yang terkumpul, tatalaksana trauma tembus abdomen
hampir semuanya memerlukan tindakan intervensi bedah berupa laparotomi
eksplorasi maupun eksplorasi defek yang dilanjuti dengan suture primer. Dari 21
kasus, 19 kasus (90,5%) dilakukan tatalaksana secara operatif dan 2 kasus (9,5%)
dilakukan tatalaksana non operatif.
Setelah dilakukan tatalaksana operatif, pasien yang tidak mengalami komplikasi
sebanyak 17 orang (81%), pasien yang mengalami komplikasi berupa peritonitis
sebanyak 2 orang (9,5%) dan pasien yang mengalami sepsis sebanyak 2 orang
(9,5%). Dari 21 pasien yang mengalami trauma tembus abdomen, tercatat 1 orang
(4,7%) yang meninggal akibat komplikasi sepsis.

33
Tabel 4.7. Distribusi trauma tembus abdomen berdasarkan tatalaksana
intervensi bedah

Jumlah
Tatalaksana kasus persentase
Operatif 19 90,5%
Non Operatif 2 9,5%
Jumlah 21 100%
Sumber : Rekam Medik RSUP Hasan Sadikin

Distribusi Trauma Tembus Abdomen Berdasarkan


Tatalaksana Intervensi Bedah
20

15

10 Operatif
Non operatif
5

0
Jumlah kasus

4.8 Distribusi Trauma Tembus Abdomen Berdasarkan Lama Rawatan

Lama rawatan pasien trauma tembus abdomen di RSUP Dr. Hasan Sadikin
adalah 3 hari untuk rawatan tersingkat dan 75 hari untuk rawatan terlama, dengan
rata-rata hari rawatan 11 hari.

Tabel 4.8. Distribusi trauma tembus abdomen berdasarkan lama rawatan

Lama rawatan Hari


Tersingkat 3
Terlama 75
Rata-rata 11
Sumber : Rekam Medik RSUP Hasan Sadikin

34
Distribusi Trauma Tembus Abdomen Berdasarkan
Lama Rawatan
80
70
60
50
40 Tersingkat
30 Terlama
20
10
0
Hari

35
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Angka kejadian trauma abdomen yang tercatat di RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung selama periode tahun 2012 sampai tahun 2017 adalah 197 kasus
dengan kasus tersering trauma tumpul yaitu 176 kasus (89%)
dibandingkan dengan trauma tembus yaitu 21 kasus (11%).
2. Jumlah kasus trauma tembus abdomen berjenis kelamin laki-laki lebih
banyak bila dibandingkan dengan perempuan yaitu sebanyak 18 orang
(85,7 %) untuk laki-laki dan 3 orang (14,3%) untuk perempuan.
3. Kelompok umur yang paling banyak mengalami trauma tembus abdomen
adalah kelompok umur 10-20 tahun sebesar 6 orang (28,5%) dan
kelompok umur 21-30 tahun sebesar 6 orang (28,5%).
4. Etiologi yang paling sering menyebabkan trauma tembus abdomen adalah
luka tusuk sebanyak 11 kasus (52,3%).
5. Bagian yang paling sering mengalami trauma tembus abdomen adalah
muskulus sebanyak 12 kasus (57,1%).
6. Tatalaksana trauma tembus abdomen sebanyak 19 kasus (90,5%) adalah
tatalaksan operatif.
7. Lama rawatan pasien trauma tembus abdomen yang tersingkat adalah 3
hari dan rawatan terlama adalah 75 hari dengan rata-rata hari rawatan
adalah 11 hari.

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan evaluasi dalam sistem pencatatan Rekam Medik di IGD


RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung secara lengkap agar data tersebut bisa
digunakan untuk berbagai macam penelitian medis.
2. Penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi kejadian trauma
abdomen, sehingga sebaiknya terus dilanjutkan dan diperluas cakupannya
agar bisa mendapatkan gambaran karakteristik trauma abdomen yang lebih
lengkap dan menyeluruh.
36
DAFTAR PUSTAKA

1. Schwartz's. Principle of Surgery. Ninth Edition. 2009. McGraw-Hill Medical.


2. Aldemir, M., Tacyildiz, I.,Girgin, S. Predicting Factors For Mortality In The
Penetrating Abdominal Trauma. Acta Chir Belg. 2004;104:429-34.

3. Udeani. Blunt abdominal trauma. Department of Emergency Medicine, Charles


Drew University of Medicine and Science, University of California, Los. 2011.
Available from : http://emedicine.medscape.com/article/433404-overview.
(Diakses, 27 Februari 2018 )

4. Hemmila, MR., Wahl, WL. Management of the Injured Patient. In: Doherty
GM, editor. Current Surgical Diagnosis and Treatment. USA: McGraw Hill
Medical; 2008. pp 227-228.

5. Guilon, F. Epidemiology of Abdominal Trauma. In :CT of The Acute


Abdomen.London: 2011. Springer; 15-26.

6. Kevin TC, F. Abdominal Trauma: A review of prehospital assessment and


management of blunt and penetrating abdominal trauma. EMS Magazine. M.arch
2010. Available; http://www.emsresponder.com/print/EMS-Magazine/CE-Article-
Abdominal-Trauma/1$12262
7. Legome, E. Blunt Abdominal Trauma Treatment & Management. 2014.
Available online at: http://emedicine.medscape.com/article/1980980-treatment
(Diakses 27 Feb 2018)

8. Offner, P. Penetrating Abdominal Trauma Treatment & Management. 2014.


Available online at: http://emedicine.medscape.com/article/2036859-
overview#aw2aab6b2b4aa (Diakses 27 Feb 2018)
9. Gad, MA., Saber, A., Farrag, S., Shams, ME., Ellabban, GM. Incidence,
patterns, and factors predicting mortality of abdominal injuries in trauma patients.
N Am J Med Sci. 2012;4(3):129-34

10. Maathai, AA. Gambaran Karakteristik Trauma Abdomen di Rumah Sakit


Umum Pusat Haji Adam Malik Tahun 2011-2014. Skripsi. 2015. Universitas
Sumatra Utara Medan.

12. Shaikh, ST. The Surgical Anatomy Of Anterior Abdominal Wall. Int j clin
surg adv 2014;2(4):97-106

13. Ben, P., Thomas, RG. Illustrated Anatomy Thorax Abdomen. Lippincott’s
Concise Illustrated Anatomy:Thorax, Abdomen& Pelvis. 2013. Published by
Published by Lippincott Williams, a Wolter Kluwer business.

37
14. Frank, H., Netter, MD. Anatomy Abdomen. Atlas of Human Anatomy. 2014.
Published Saunders,an imprint of Elsevier Inc,5.

15. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support. Edisi 8.


Jakarta: IKABI. 2010. Bab 5; Trauma Abdomen.

16. Vishram, S. Surface Anatomy of The Abdominal Wall. Textbook of Anatomy:


Abdomen And Lower Limb. 2014. Published by Elsevier India Private
Limited,75.

17. Keith, L., Moore, Arthur, FD., Anne, MR. Anatomy of Abdomen. Agur.
Moore Clinically Oriented Anatomy. 2014. Published by Lippincott Williams, a
Wolter Kluwer business, 19.

18. Mansjoer, Suprohaita, WK., Wardhani, WS. Trauma Abdomen. Kapita


Selekta Kedokteran. Edisi 4, Jilid II. 2014. Jakarta; Media Aesculapius, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

19. Yucel et al, 2014. The management of Penetrating Abdominal Stab Wound
with Organ or Omentum Evisceration : The Result of Clinical Trial. Ulus Cerrahi
Derg. 2014; 30(40):207-210

20. Adams, et al,. Chapter 43 Abdominal Trauma .Rosen’s Emergency Medicine


Concepts And Clinical Practice. 2010. Published by Elsevier Inc.

21. R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong. 2010. Trauma dan Bencana. Buku Ajar
Ilmu Bedah. Edisi 3. 2010. Jakarta; EGC.

22. Fermann GJ. Abdominal Trauma. In: Hamilton GC, Sanders AB, Strange GR,
Trott AT. Hamilton: Emergency Medicine: An Approach to Clinical Problem-
Solving. 2nd ed. 2003. Philadelphia: WB Saunders.
23. Jason, S., Ian, G., Keith, MP. Abdominal Trauma.Oxford Desk Reference
Major Trauma. 2011. Published by Oxford University Press, 210.

24. Hermosa Jl. R, et al. Gastric Perforation from abdominal trauma. Dig Surg.
2008;25(2):109-16.

25. Clinical Practice Guildelines: Trauma/Abdominal Trauma. Published by


Queensland Government. 2015. Availablle at https://ambulance
.qld.gov.au/docs/clinical/cpg/CPG_Abdominal%20trauna.pdf

26. Petrosoniak, A. Engels, PT. Hamilton, P., et al. Detection of Significant


Bowel and Mesentric Injuries in Blunt Abdominal Trauma with 64-Slice
Computed Tomography. J Trauma Acute Care Surg. 2013; 1081-1086.
27. Eastern Association for the Surgery of Trauma. Practice Management
Guidelines for The Evaluation of Blunt Abdominal Trauma. EAST Practice
Management Guidelines Work Group: Brandywine Hospital, 2001, p; 2-27
38
28. Carlos et al. Hemodynamically “Stable” Patients With Peritonitis After
Penetrating Abdominal Trauma. 2005. Available from:
http://highwire.stanford.edu/cgi (Diakses 27 Feb 2018)

29. Gonzalez RP, Turk b, Falimirski ME, Holevar Mr.Abdominal Stab Wounds:
Diagnostic Peritoneal Lavage Criteria For Emergency Room Discharge.J trauma
2001 Nov:51(5):939-43.

30. Ahmadsyah, I. Abdomen Akut. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Ilmu
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo. 2010. Jakarta; Penerbit Binarupa Aksara.

39

Anda mungkin juga menyukai

  • Tn. Djuanda Resume - Kista Ginjal
    Tn. Djuanda Resume - Kista Ginjal
    Dokumen9 halaman
    Tn. Djuanda Resume - Kista Ginjal
    Mochammad Ecky Pratama Natadimadja
    Belum ada peringkat
  • Tabel Swot
    Tabel Swot
    Dokumen1 halaman
    Tabel Swot
    Mochammad Ecky Pratama Natadimadja
    Belum ada peringkat
  • Trauma Iatrogenik
    Trauma Iatrogenik
    Dokumen47 halaman
    Trauma Iatrogenik
    Mochammad Ecky Pratama Natadimadja
    0% (1)
  • Leaflet BPH
    Leaflet BPH
    Dokumen2 halaman
    Leaflet BPH
    Mochammad Ecky Pratama Natadimadja
    Belum ada peringkat
  • Sitologi Urin
    Sitologi Urin
    Dokumen9 halaman
    Sitologi Urin
    Mochammad Ecky Pratama Natadimadja
    Belum ada peringkat
  • DBD Zika Chikungunya
    DBD Zika Chikungunya
    Dokumen31 halaman
    DBD Zika Chikungunya
    Mochammad Ecky Pratama Natadimadja
    Belum ada peringkat
  • Algoritma Bradikardia
    Algoritma Bradikardia
    Dokumen1 halaman
    Algoritma Bradikardia
    Mochammad Ecky Pratama Natadimadja
    Belum ada peringkat
  • A
    A
    Dokumen5 halaman
    A
    Mochammad Ecky Pratama Natadimadja
    Belum ada peringkat