PENDAHULUAN
1
mengalami cedera komorbid (76,7%) dibanding trauma tembus abdomen (42,1%).
Secara umum pasien trauma abdomen mempunyai keadaan umum yang stabil
(69,4%), intervensi bedah lebih banyak diperlukan pada trauma tembus abdomen
(100%) dibanding trauma tumpul (11,6%). Pasien trauma abdomen yang bertahan
hidup pada kasus yang ditangani < 60 menit sejak kejadian adalah (76,3%) untuk
trauma tumpul dan (75%) untuk trauma tembus.9
Penelitian serupa juga dilakukan di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik
Medan menunjukkan usia yang paling banyak mengalami trauma abdomen adalah
kelompok usia 12-25 tahun (41,5%), sering dijumpai pada laki-laki (71,7%),
penyebab trauma yang paling banyak adalah trauma tumpul (94,3%) dan organ
yang paling banyak mengalami trauma adalah lambung (28,3%).10
Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung belum memiliki data pasti mengenai
karakteristik trauma tembus abdomen yang dalam penatalaksanaannya banyak
membutuhkan intervensi bedah, oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti
gambaran karakteristik trauma tembus abdomen di RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung dari tahun 2012 hingga 2017.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
National Pediatric Trauma Registry (2000) di Amerika Serikat
melaporkan 8% pasien (total 25.301 pasien) mengalami trauma abdomen.
Delapan puluh tiga persen (83%) dari trauma tersebut adalah karena trauma
tumpul dan 59% dari trauma tumpul tersebut diakibatkan oleh cedera karena
kecelakaan kendaraan.2,5
Trauma abdomen menduduki peringkat ketiga dari seluruh kejadian
trauma dan sekitar 25% dari kasus memerlukan tindakan operasi.4 Dari seluruh
kasus trauma abdomen di RSCM, trauma tembus akibat luka tusuk menempati
tempat teratas (65%) diikuti oleh trauma tumpul. Lebih dari 50% trauma tumpul
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, biasanya disertai dengan trauma pada
bagian tubuh lainnya. Insidensi trauma abdomen lebih sering terjadi pada laki-
laki dengan usia terbanyak antara 14 sampai 30 tahun. Selain itu, trauma tumpul
abdomen lebih banyak di perdesaan dan trauma tajam abdomen lebih banyak di
perkotaan.4
4
2.3 Anatomi Abdomen
Dinding abdomen terdiri dari kulit, fascia superfiscialis, lemak, otot-otot,
fascia transversalis dan parietal peritoneum. Posisi abdomen berada diantara
toraks dan pelvis.12
2. Pinggang
Pinggang merupakan daerah yang berada di antara linea axillaris anterior
dan linea axillaris posterior, dari sela iga ke-6 di atas, ke bawah sampai crista
iliaca. Di lokasi ini adanya dinding otot abdomen yang tebal, berlainan dengan
dinding otot yang lebih tipis di bagian depan, menjadi pelindung terutama
terhadap luka tusuk.13,14
5
3. Punggung13,14
-Batas Superior: Ujung bawah scapula
-Batas Inferior : Crista iliaca
-Batas Lateral : Kedua linea axillaris posterior
Otot-otot punggung dan otot paraspinal juga menjadi pelindung terhadap
trauma tajam.
6
berisi aorta abdominalis, vena cava inferior, sebagian besar duodenum,
pankreas, ginjal dan ureter, permukaan posterior kolon ascenden dan
descenden dan komponen retroperitoneum dari rongga pelvis.
Cedera terhadap struktur organ retroperitoneum sulit dideteksi karena area
ini jauh dari pemeriksaan fisik dan cederanya tidak segera menimbulkan
gejala atau tanda peritonitis. Lebih jauh lagi, area ini tidak terjangkau oleh
diagnostic peritoneal lavage (DPL).15,16
7
Gambar 2.1 Pembagian empat kuadran abdomen
2. Pembagian atas sembilan daerah, dengan membuat dua garis horizontal dan dua
garis vertikal.
a. Garis horizontal pertama dibuat melalui tepi bawah tulang rawan iga kesepuluh
dan yang kedua dibuat melalui titik spina iliaka anteriorsuperior (SIAS).
b. Garis vertikal dibuat masing-masing melalui titik pertengahan antara SIAS dan
mid-line abdomen.
c. Terbentuklah daerah hipokondrium kanan, epigastrium, hipokondrium kiri,
lumbal kanan, umbilical, lumbal kiri, iliaka kanan, hipogastrium atau suprapubik,
dan iliaka kiri.
8
Organ yang terdapat pada sembilan kuadran abdomen adalah: 12,17
Hipokondrium kanan meliputi organ: lobus kanan hepar, kantung
empedu, sebagian duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian
ginjal kanan dan kelenjar suprarenal kanan.
Epigastrium meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas
dan sebagian hepar.
Hipokondrium kiri meliputi organ: gaster, lien, bagian kaudal
pankreas, fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan
kelenjar suprarenal kiri.
Lumbal kanan meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal
kanan, sebagian duodenum dan jejenum.
Umbilicalis meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah
duodenum, jejenum dan ileum.
Lumbal kiri meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal
kiri, sebagian jejenum dan ileum.
Inguinalis kanan meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal
ileum dan ureter kanan.
Hipogastrium atau suprapubik meliputi organ: ileum, vesica
urinaria dan uterus (pada kehamilan).
Inguinalis kiri meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan
ovarium kiri.
2.4. Klasifikasi
Trauma abdomen diklasifikasikan menjadi dua yaitu trauma tumpul dan
trauma tembus. Trauma tumpul merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke
dalam rongga peritoneum. Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh,
kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan kendaraan bermotor, cedera akibat
berolahraga, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman. Lebih
dari 50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Sedangkan trauma tembus
abdomen adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada permukaan
tubuh dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum yang disebabkan oleh
9
tusukan benda tajam. Luka tembus pada abdomen disebabkan oleh tusukan benda
tajam atau luka tembak.18,19,20
Berdasarkan organ yang terkena trauma abdomen dapat dibagi menjadi
dua: (1) Trauma pada organ padat, seperti hepar, limpa (lien) dengan gejala utama
perdarahan. (2) Trauma pada organ padat berongga seperti usus, saluran empedu
dengan gejala utama adalah peritonitis.18
Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada
permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusio atau laserasi jaringan atau
organ dibawahnya. Trauma tumpul dapat berupa benda tumpul, perlambatan
(deselerasi), dan kompresi. Benturan benda tumpul pada abdomen dapat
menimbulkan cedera pada organ berongga berupa perforasi dan organ padat
berupa laserasi. Trauma tembus dibagi menjadi luka tusuk dan luka tembak.
Trauma tembus akibat peluru dibedakan antara jenis kecepatan rendah (low-
velocity) dengan kecepatan tingg (high-velocity). Trauma tembus akibat peluru
dengan kecepatan tinggi menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Hampir selalu
luka tembus akibat peluru mengakibatkan kerusakan pada organ-organ dalam
abdomen. Bahkan luka peluru yang tangensial tanpa memasuki rongga abdomen
dapat menimbulkan kerusakan organ-organ dalam abdomen akibat efek
ledakan.19,20
10
kekuatan yang merusak menyebabkan robek dan timbulnya hematoma
subkapsular dari organ visera yang padat. Kekuatan tersebut juga menyebabkan
perubahan bentuk pada organ berongga dan menyebabkan peningkatan tekanan
intraluminal sementara sehingga dapat menimbulkan robekan. Peningkatan
tekanan sementara ini biasanya terjadi pada usus kecil.19,20
Peregangan dan ruptur pada jaringan ikat atau penyokong diakibatkan karena
perlambatan atau deselerasi. Cedera deselerasi menyebabkan peregangan
(stretching) dan memotong (shearing) secara linier bagian organ yang relatif
terfiksir dengan bagian yang bergerak bebas. Kekuatan memotong secara
longitudinal cenderung menyebabkan ruptur dari struktu penyokong pada daerah
hubungan antara dua segmen yang bergerak bebas dan terfiksir. Cedera deselerasi
yang klasik termasuk robeknya hepar sepanjang ligamentum teres dan trauma
lapisan intima dari arteri renalis. Hal serupa juga dapat menyebabkan kolon
terlepas dari perlekatannya dengan mesenterium, trombosis dan robekan
mesenterik serta dapat juga ditemukan cedera pada arteri splanikus. Trauma
tarikan (shearing injury) terhadap organ visera terjadi bila suatu alat pengaman
(misalnya seat-belt) tidak digunakan dengan benar. Pasien yang cedera pada suatu
tabrakan motor bisa mengalami trauma deselerasi.15,19,20
Penyebab trauma tumpul yang lain adalah kecelakaan di tempat industri
ataupun kecelakaan rekreasi. Penyebab yang jarang antara lain trauma iatrogenik
selama resusitasi cardiopulmonal, melakukan dorongan secara manual untuk
membersihkan jalan napas, dan maneuver Heimlich.7
Pada pasien dengan trauma tumpul, organ yang paling sering mengalami cedera
antara lain limfa (40-55%), liver (35-45%), dan usus halus (5-10%). Selain itu,
terdapat 15% insidensi hematoma retroperitoneal pada pasien yang menjalani
laparotomi untuk trauma tumpul.15
11
mengakibatkan hancurnya organ dalam.15 Trauma tembus disebabkan oleh
proyektil kecepatan tinggi (64%), diikuti dengan luka tusuk (31%) dan luka
tembak (5%).8 Pada luka tusuk, kerusakan organ adalah akibat langsung dari alat
penusuk. Kerusakan dapat berupa perdarahan bila mengenai pembuluh darah atau
organ yang padat. Bila mengenai organ yang berongga, isinya akan keluar ke
dalam rongga abdomen dan menimbulkan iritasi pada peritoneum. Luka tembak
akan menimbul kerusakan pada organ yang dilalui peluru. Organ padat akan
mengalami kerusakan yang lebih luas akibat energi kinetik yang ditimbulkan oleh
peluru tipe high velocity.21 Luka tembak kecepatan tinggi mentransfer energi
kinetik lebih banyak. Kerusakan lateral dari jalur peluru dapat terjadi karena
adanya kavitasi temporer. Luka tembak mengakibatkan kerusakan yang lebih
besar, bergantung jauhnya perjalanaan peluru, besar energi kinetik maupun
kemungkinan pantulan peluru oleh organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya.
Luka tusuk yang melintas struktur abdomen dapat mengenai liver (40%), usus
halus (30%), diafragma (20%) dan kolon (15%). Luka tembak paling sering
mengenai usus halus (50%), kolon (40%), liver (30%) dan struktur vaskuler
intraabdomen (25%).15
Bahan peledak dapat menyebabkan cedera melalui beberapa mekanisme, termasuk
luka penetrasi akibat fragmen dan trauma tumpul yang disebabkan oleh pasien
yang terlempar atau terkena lemparan. Perlu dipertimbangkan adanya kombinasi
trauma penetrasi dan trauma tumpul. Pasien yang berada dekat dengan sumber
ledakan dapat mengalami cedera paru dan organ lainnya.19,20
Infeksi masih merupakan risiko terbesar pada korban dengan luka tusuk
abdomen. Mortalitas terjadi pada 30% korban luka tusuk abdomen yang
menderita infeksi abdomen mayor. Faktor risiko paling penting adalah adanya
cedera pada organ berongga, dimana luka pada kolon menyebabkan insidensi
infeksi tertinggi relatif terhadap cedera organ intraabdomen. Cedera pada
pankreas dan hati secara signifikan meningkatkan risiko infeksi ketika
berkombinasi dengan cedera organ berongga. Penggunaan antibiotik dalam
pencegahan infeksi ini didasarkan pada 3 hal, yakni pilihan agen antibiotik, durasi
penggunaan antibiotik, dan dosis optimal antibiotik.21
12
2.5.3. Cedera Organ Abdomen
A. Diafragma
Robekan diafragma dapat terjadi pada bagian manapun dari ke dua
diafragma, yang paling sering mengenai cedera adalah diafragma kiri. Cedera
biasanya 5 – 10 cm panjangnya dengan lokasi di postero lateral dari diafragma
kiri, sering diakibatkan oleh bursting. Biasanya pada luka tusuk, bagian diafragma
mempunyai potensi untuk cedera. Cedera pada bagian ini disebabkan oleh trauma
tumpul ataupun trauma tembus. Selain itu, cedera diafragma dapat terjadi dalam
arah yang berlawanan dengan tempat terjadi tembusan dari bagian thorax kepada
bagian abdomen. Lebih dari setengah kasus trauma pada bagian diafragma akan
berkaitan dengan cedera pada hepar dan hemopneumothoraks.22
Pada pemeriksaan foto thorak awal akan terlihat diafragma yang labih
tinggi ataupun kabur, biasanya berupa hemathoraks, ataupun adanya bayangan
udara yang membuat kaburnya gambaran diafragma, ataupun terlihat NGT yang
terpasang dalam gaster terlihat di thorak. Pada sebagian kecil foto thorak tidak
memperlihatkan adanya kelainan.23
B. Hati
Karena ukuran dan letaknya, hati merupakan organ yang paling sering
terkena kerusakan yang diakibatkan oleh trauma tembus maupun trauma tumpul.
Pada kasus trauma tumpul, kompresi dan shearing merupakan faktor paling
dominan dalam mekanisme kecelakaan. Hati diselaputi oleh kapsul fibrosa dan
diikat pada dinding abdomen oleh ligamentum falciform. Apabila mengalami
tekanan ataupun kompresi, paling sering di iga bawah, hati tidak dapat dilindungi
sehingga menyebabkan terjadinya laserasi pada parenkim.22
Hal utama yang dilakukan apabila terjadi perlukaan di hati yaitu
mengontrol perdarahan dan mendrainase cairan empedu. Trauma hepar dengan
hemodinamik stabil dan tidak ada tanda perdarahan serta defans muskular
dilakukan perawatan non operatif dengan observasi ketat selama minimal 3 x 24
jam. Harus dilakukan pemeriksaan CT scan serial, USG maupun Hb serial.
Indikasi operatif cedera hepar yaitu trauma hepar dengan shok, peritonitis,
13
hematoma yang meluas, penanganan konservatif gagal, dan dengan cedera lain
intra abdominal.23
C. Limfa
Limfa merupakan organ yang paling sering terkena kerusakan yang
diakibatkan oleh trauma tumpul. Kecederaan pada limfa paling sering disebabkan
oleh motor vehicle crashes(MVCs), dan kecelakaan olahraga dan ruptur secara
langsung juga menjadi penyebab. Sering terjadi hemoragi atau perdarahan masif
yang berasal dari limpa yang ruptur sehingga semua upaya dilakukan untuk
memperbaiki kerusakan di limpa.22
Penatalaksanaan cedera limpa dapat dilakukan dengan terapi operatif dan non
operatif. Jika terapi operatif harus dipilih, splenorafi dapat dilakukan dengan
memberikan zat-zat hemostatik topikal, dijahit atau splenoktomi parsial cedera
dengan vaskularisasi. Kontraindikasi tindakan penyelamatan limpa adalah kondisi
pasien yang tidak stabil, avulsi limpa atau fragmentasi yang luas, dan cedera
pembuluh darah hilus yang luas serta kegagalan mencapai hemostasis.22
D. Ginjal
Ginjal dilindungi di bagian retroperitoneum dan hanya terjadi kecederaan
jika mengalami trauma yang berat (cedera pada bagian ginjal hanya berlaku
sebanyak kira-kira 10% dari kasus trauma abdomen). Cedera daripada kompresi
haruslah dengan kekuatan yang tinggi karena perlindungan yang terdapat pada
bagian tersebut adalah dari dinding abdomen yang posterior tetapi rentan kepada
cedera deselerasi. Delapan puluh sampai delapan puluh lima persen trauma ginjal
disebabkan oleh trauma tumpul yang secara langsung mengenai abdomen,
pinggang, dan punggung. Trauma tersebut disebabkan karena kecelakaan lalu
lintas, perkelahian, jatuh, dan olahraga kontak. Tabrakan kendaraan pada
kecepatan tinggi bisa menyebabkan trauma pembuluh darah utama karena
deselerasi cepat. Luka karena senjata api dan pisau merupakan luka tembus
terbanyak yang mengenai ginjal sehingga jika terdapat luka pada pinggang harus
dipikirkan trauma ginjal. Pada luka tembus ginjal, 80% berhubungan dengan
trauma visera abdomen.22
14
Ginjal yang terletak pada rongga retroperitoneum bagian atas hanya
terfiksasi oleh pedikel pembuluh darah serta ureter, sementara massa ginjal
melayang bebas dalam bantalan lemak yang berada dalam fascia gerota. Karena
fiksasi yang sedikit, ginjal mudah mengalami dislokasi oleh akselerasi maupun
deselerasi mendadak yang bisa menyebabkan trauma seperti avulsi collecting
system atau sobekan pada intima arteri renalis sehingga terjadi oklusi parsila
mauopun komplit pembuluh darah.23
Vena renalis kiri terletak ventral aorta sehingga luka penetrasi di daerah ini
bisa menyebabkan trauma pada ke dua struktur. Vena renalis yang berdekatan
dengan pankreas dan pole atas ginjal kiri serta duodenum dengan tepi medial
ginjal kanan bisa menyebabkan trauma kombinsai yaitu trauma pankreas,
duodenum, dan ginjal. Anatomi ginjal yang mengalami kelainan seperti
hidronefrosis atau tumor maligna lebih mudah mengalami ruptur karena adanya
trauma ginjal.23
F. Pankreas
Kebanyakan cedera pada pankreas disebabkan oleh trauma tumpul dan
mekanismenya adalah melalui kompresi. Trauma ini disebabkan oleh kompresi
apabila pemandu kendaraan mengalami hantaman pada bagian torso pada kemudi
15
mobil, dan menghancurkan pankreas. Umumnya cedera pankreas terjadi pada
pukulan langsung di daerah epigastrium dengan kolumna vertebralis sebagai
alas.23
Peningkatan kadar amilase yang konstan harus dicurigai adanya cedera
pankreas. Pada 8 jam pertama pasca trauma pemeriksaan CT dengan double
contras bisa saja belum memperlihatkan cedera pankreas. Pemeriksaan harus
diulang jika dicurigai adanya cedera pada organ tersebut. Jika CT scan meragukan
maka dianjurkan untuk dilakukan pembedahan eksplorasi.22
16
I. Organ reproduksi
Cedera intraabdominal yang mengenai organ reproduksi jarang terjadi
pada pasien yang tidak hamil dan biasanya ditemukan ketika dilakukan laparotomi
oleh karena penyebab yang lain.23
Gejala awal dari cedera abdomen meliputi mual, muntah, dan demam.
Darah dalam urine juga sebagai tanda yang lainnya. Cedera pada abdomen bisa
didapatkan nyeri abdomen, distensi, atau kaku pada palpasi, dan suara bising usus
bisa menurun atau tidak ada. Perlindungan abdomen yaitu dengan penegangan
dari dinding perut untuk menjaga organ-organ yang mengalami inflamasi di dalam
abdomen. Pneumoperitoneum merupakan udara atau gas di dalam rongga
abdomen, bisa menjadi suatu indikasi adanya ruptur dari organ berongga. Pada
luka tembus, bisa didapatkan adanya eviserasi (keluarnya organ-organ dalam
abdomen dari tempat luka tersebut). Cedera-cedera yang berhubungan dengan
trauma intraabdomen meliputi fraktur costa, fraktur vertebra, fraktur pelvis, dan
cedera pada dinding abdomen.7,15
Trauma tumpul abdomen seringkali diperlukan observasi dan pemeriksaan
berulang karena tanda rangsangan peritoneum bisa timbul perlahan-lahan. Adanya
darah atau cairan usus akan menimbulkan rangsangan peritoneum berupa nyeri
tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan dinding perut. Adanya darah dapat
pula ditentukan dengan shifting dullness, sedangkan adanya udara bebas dapat
diketahui dengan hilang dan beranjaknya pekak hati. Bising usus biasanya
17
melemah dan menghilang. Rangsangan peritoneum dapat pula berupa nyeri alih di
daerah bahu sebelah kiri.7,8
Trauma tembus dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila
mengenai organ yang berongga intraperitoneal. Rangsangan peritoneal yang
timbul sesuai dengan isi dari organ yang berongga tersebut, mulai dari gaster yang
bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya
paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi di bagian atas,
misalnya di daerah lambung, maka akan terjadi perangsangan segera sesudah
trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah,
seperti kolon, mula-mula tidak terdapat gejala karena mikroorganisme
membutuhkan waktu untuk berkembangbiak baru setelah 24 jam timbul gejala
akut abdomen karena perangsangan peritoneum.23,25
2.7. Diagnosis
A. Anamnesis
Pada anamnesis, dapatkan keterangan mengenai perlukaannya, bila
mungkin dari penderitanya sendiri, orang sekitar korban, pembawa ambulans,
polisi, atau saksi-saksi lainnya, sesegera mungkin, bersamaan dengan usaha
resusitasi. Mekanisme cedera harus dieksplorasi seperti posis jatuh, asal
ketinggian, jenis alat yang melukai, kecepatan dan sebagainya. Mekanisme trauma
tembus perlu ditanyakan dengan keterangan selengkap mungkin seperti senjata
yang melukai, arah tusukan atau bagaimana terjadinya kecelakaan.18 Juga
ditanyakan untuk mengetahui organ intra abdominal yang berpotensi mengalami
trauma.23
B. Pemeriksaan Fisik:
Pada pemeriksaan fisik lakukan inspeksi, auskultasi, perkusi dan baru
palpasi. Pada inspeksi lihat mulai dari keadaan umum pasien, ekspresi wajah,
tanda dehidrasi, perdarahan, jejas abdomen dan tanda-tanda syok. Pada trauma
abdomen biasanya ditemukan kontusio, abrasio, lacerasi dan echimosis.
Echimosis merupakan indikasi adanya perdarahan di intraabdomen. Terdapat
Echimosis pada daerah umbilikal biasa kita sebut Cullen’s Sign sedangkan
18
echimosis yang ditemukan pada salah satu panggul disebut sebagai Turner’s Sign.
Terkadang ditemukan adanya eviserasi yaitu menonjolnya organ abdomen keluar
seperti usus, kolon yang terjadi pada trauma tembus atau tajam. Pada auskultasi
selain suara bising usus yang diperiksa di empat kuadran dimana adanya
ekstravasasi darah menyebabkan hilangnya bunyi bising usus, juga perlu
didengarkan adanya bunyi bruits dari arteri renalis, bunyi bruits pada umbilical
merupakan indikasi adanya trauma pada arteri renalis. Perkusi untuk melihat
apakah ada nyeri ketok. Salah satu pemeriksaan perkusi adalah uji perkusi tinju
dengan meletakkan tangan kiri pada sisi dinding thoraks pertengahan antara spina
iliaka anterior superior kemudian tinju dengan tangan yang lain sehingga terjadi
getaran di dalam karena benturan ringan bila ada nyeri merupakan tanda adanya
radang atau abses di ruang subfrenik antara hati dan diafragma.18 Selain itu bisa
ditemukan adanya bunyi timpani bila dilatasi lambung akut di kuadran atas atau
bunyi redup bila ada hemoperitoneum. Pada waktu perkusi bila ditemukan
balance sign dimana bunyi resonan yang lebih keras pada panggul kanan ketika
klien berbaring ke samping kiri merupakan tanda adanya rupture limfa.
Sedangkan bila bunyi resonan lebih keras pada hati menandakan adanya udara
bebas yang masuk.18
Adanya darah atau cairan usus dalam rongga peritoneum akan
memberikan tanda-tanda rangsangan peritoneum berupa nyeri tekan, nyeri ketok,
nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding abdomen. Kekakuan dinding abdomen
dapat pula diakibatkan oleh hematoma pada dinding abdomen. Adanya darah
dalam rongga abdomen dapat ditentukan dengan shifting dullness, sedangkan
udara bebas ditentukan dengan pekak hati yang beranjak atau menghilang. Bising
usus biasanya melemah atau hilang sama sekali. Bising usus yang normal belum
berarti bahwa tidak ada apa-apa dalam rongga abdomen. Trauma abdomen disertai
ranggsangan peritoneum dapat memberikan gejala berupa nyeri pada daerah bahu
terutama yang sebelah kiri. Gejala ini dikenal sebagai referred pain yang dapat
membantu menegakkan diagnosis.23
Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan yaitu, pemeriksaan rektum, adanya
darah menunjukkan kelainan pada usus besar: kuldosentesis, kemungkinan adanya
19
darah dalam lambung; dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan lesi pada
saluran kencing.23
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah lengkap
Hemoglobin dan hematokrit normal ditemukan jika tidak terjadi perdarahan.
Pasien yang mengalami perdarahan dapat dilakukan transfusi dengan cairan
kristaloid. Transfusi trombosit diperlukan jika terjadi trombositopenia (plateler
count < 50.000/ml) dan perdarahan aktif. Leukosistosis menandakan adanya
infeksi pada abdomen.23
2. Kimia serum
Pemeriksaan kimia serum penting dilakukan untuk mengatahui adanya
ketidakseimbangan elektrolit. Pemeriksaan gula darah sewaktu juga penting
digunakan untuk mengetahui status mental pasien.23
4. Pengukuran amilase
pemeriksaan amilase merupakan test yang sensitif non spesifik untuk cedera
pankreas. Namun peningkatan kadar amilase setelah 3 – 6 jam setelah trauma
memiliki akuransi yang cukup besar.23
5. Urinalisis
Indikasi untuk dilakukan urinalisis antara lain trauma yang cukup parah pada
abdomen dan flank, gross hematuri, microscop hematuri pada pasien
hipotensi, dan mekanisme deselerasi yang parah.23
20
6. Coagulation profile
Pemeriksaan PT dan PTT dilakukan pada pasien yang memiliki riwayat blood
dyscrasias (hemophilia), gangguan sintesis (cirrhosis), atau yang sedang dalam
terapi obat-obatan (warfarin dan heparin).23
21
Pemeriksaan USG dilakukan untuk melihat adanya cairan intraperitoenal
bebas seperti pada region spesifik kantong Morison, kuadran kiri atas dan
pelvis. CT scan digunakan untuk melihat cedera pada organ seperti ginjal,
derajat cedera hati dan limpa terutama pada pasien yang memiliki
hemodinamik stabil. Ultrasound FAST akan memberikan cara yang cepat,
non-invasive, akurat dan murah untuk mendeteksi hemoperitoneum. Ini juga
dapat dilakukan sebagai bedside diagnostic di kamar resusitasi. Sesudah scan
pertama dilakukan, scan kedua dilakukan lagi idealnya atau scan control 30
menit berikut. Scan kontrol ditujukan untuk melihat pertambahan
hemoperitoneum pada pasien dengan pendarahan yang berangsur-angsur.27
2.8.Tatalaksana
a. Trauma Tumpul
Tindakan awal yang dilakukan pertama kali adalah primary survey untuk
mengidentifikasi permasalahan yang mengancam dengan segera. Stabilisasi ABCs
(Airway, Brething, Circulation) dilakukan secara simultan. Pasien dengan
permasalahan jalan nafas atau yang memiliki potensi mengancam dilakukan
22
pemasangan endotracheal tube. Atasi pasien yang mengalami apnea atau
hipoventilasi serta pasien yang mengalami takipnea dengan memberikan oksigen.
Menurunnya suara nafas mungkin ditemukan pada hemothoraks atau
pneumothoraks sehingga perlu dilakukan dekompresi. Identifikasi hipovolemi dan
tanda shok dan mencari sumber perdarahan. Atasi segera dengan pemberian cairan
intravena.19
Pasien tidak stabil yang hipotensif atau takikardi, haruslah memasang jalur infus
intravena dan mendapatkan resusitasi cairan kristaloid. Nasogastric tube (NGT)
atau orogastric tube (OGT) juga dipasang pada pasien kasus ini. Selepas
memastikan tidak ada trauma pada ureter, Foley catheter dipasangkan. Jika
resusitasi kristaloid tidak dapat memperbaikan keadaan haemodinamik, pemberian
transfusi darah haruslah dilakukan secepat mungkin.20
Setelah tertangani semua lakukan pemeriksaan fisik lengkap mulai dari kepala
sampai ke kaki dengan memfokuskan pada daerah yang mengalami trauma.
Setelah melakukan primery survey dan resusitasi awal, segera lengkapi dengan
secondary survey untuk mengidentifikasi semua potensi yang memungkinkan
menimbulkan cedera. Bedside ultrasonography merupakan salah satu protokol
untuk menilai adanya perdarahan intraperitoneum. Jika hasil penilaian negatif atau
meragukan, DPL bisa dilakukan pada pasien yang hemodinamiknya tidak stabil.
Pasien yang mengalami instabilisasi hemodinamik atau ditemukan abnormalitas
yang jelas pada pemeriksaan fisik dan prosedur diagnostik memerlukan intervensi
pembedahan. Penemuan yang spesifik pada tahap diagnostik, seperti terbukti
adanya cairan bebas atau cedera organ padat pada sonogram atau CT-scan
merupakan indikasi untuk dilakukan intervensi pembedahan.20
Pasien harus dimonitor secara ketat di ICU bedah setelah selesai
laparotomi. Banyak pasien akan masih diintubasi dan diberikan ventilasi.
Perhatian harus ditujukan pada suhu pasien, kelancaran resusitasi pemberian
cairan dan darah, penggantian elektrolit, dan memonitor keluaran drainage. Pada
pasien dengan adanya bukti perdarahan yang berlanjut mungkin mempunyai
keuntungan untuk dilakukan evaluasi dengan angiografi untuk mengetahui adanya
embolisasi; dan beberapa pasien memerlukan eksplorasi kembali untuk
mengontrol perdarahan. Pasien yang menjalani prosedur control kerusakan
23
demage-control procedures) dan/atau yang dilakukan penutupan abdomen
sementara harus dilakukan operasi kembali dalam 24-48 jam untuk perbaikan
definitif.22, 28
b. Luka Tusuk
Karena tingginya frekuensi laparotomi negatif pada tindakan laparotomi
rutin, sekarang orang cenderung untuk lebih selektif dalam memutuskan tindakan
laparotomi pada luka tusuk abdomen. Tindakan laparotomi hanya dilakukan bila:
adanya tanda-tanda rangsangan peritoneal, syok, bising usus tak terdengar,
prolaps visera melalui luka tusuk, darah dalam lambung, buli-buli, rectum, udara
bebas intraperitoneal, dan lavase peritoneal memberikan hasil positif. Selain dari
itu penderita diobservasi selama 24-48 jam.19,30
Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSCM memakai cara penentuan terlebih dahulu apakah
luka tusuk itu menembus peritoneum dengan cara mengeksplorasi luka tusuk.
Luka tusuk yang menembus peritoneum dilanjutkan dengan tindakan
laparotomi.29,30
c. Luka Tembak
Berbeda dengan luka tusuk abdomen yang belum tentu mengenai alat
dalam abdomen, luka tembak hampir selalu menimbulkan kerusakan pada alat
dalam perut. Dianjurkan pada luka tembak perut agar dilakukan laparotomi.20
2.9. Komplikasi
Komplikasi bisa terjadi pada trauma yang dapat diidentifikasi maupun
yang tidak teridentifikasi. Perdarahan intraabdomen, infeksi, sepsis, dan kematian
dapat terjadi. Delayed ruptur atau delayed hemmorage dari organ padat khususnya
limpa dapat muncul. Pada pasien yang menjalani laparatomi dan perbaikan,
komplikasi sama dengan kondisi lain yang memerlukan tindakan operasi.22,27
Komplikasi pasca laparotomi pada trauma abdomen yang paling banyak adalah
abses intraabdominal sebanyak (12%), selanjutnya infeksi luka (7%), fistel
enterokutan (4%), dan gagal ginjal akut (3%). Selain itu komplikasi postoperasi
dini meliputi perdarahan yang tetap berlanjut, coagulopati, dan sindrom
compartment abdomen. Komplikasi yang terakhir ini diterapi dengan membuka
abdomen dan menutup sementara. Komplikasi yang lebih lambat lagi meliputi
obstruksi usus halus dan hernia insisional.27
25
2.10 Prognosis
Prognosis pasien yang menderita trauma abdomen umumnya baik. Angka
kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit sekitar 5-10%. Sebagian besar
kematian yang disebabkan oleh trauma abdomen dapat dicegah. Trauma abdomen
merupakan salah satu penyebab tersering dari kematian akibat suatu trauma yang
dapat dicegah. Jika cedera abdomen tidak segera didiagnosis, suatu keadaan yang
lebih buruk dapat terjadi. Terapi yang terlambat akan menyebabkan morbiditas
dan mortalitas yang tinggi jika terjadi perforasi saluran gastrointestinal.22
Angka pasien yang selamat dari trauma tembus abdomen tidak meningkat
secara nyata karena kematian dalam 24 jam pertama sebagai akibat dari syok dan
perdarahan irreversible. Lebih dari 80% kematian terjadi dalam 24 jam saat
kedatangan di rumah dan 66,7% pada saat operasi awal karena cedera pembuluh
darah abdomen. Sebaliknya, angka pasien yang selamat dari trauma tembus
abdomen tanpa cedera pembuluh darah masih tinggi.22
Distribusi puncak dari kematian pada trauma tembus abdomen sangat
berbeda dibandingkan pada trauma tumpul abdomen. Sebagian besar kematian
karena trauma tembus abdomen terjadi antara 1 – 6 jam dari saat datang di rumah
sakit, diikuti jumlah yang lebih kecil pada 6 – 24 jam setelah kedatangan.
Sebaliknya, jumlah tertinggi kematian karena trauma tumpul abdomen terjadi 72
jam setelah kedatangan di rumah sakit dan jumlah yang lebih kecil dalam jam
pertama kedatangan. Kematian karena trauma tembus abdomen lebih sering
terjadi di instlasi gawat darurat (IGD) atau ruang operasi dibandingkan dengan
trauma tumpul abdomen yang terutama terjadi di ICU. Secara umum, kematian
terjadi dalam 72 jam pertama karena hipoperfusi dan sequelenya. Kematian di
ICU dua minggu atau lebih kemudian biasanya karena komplikasi sepsis, sindrom
respon inflamasi sistemik (SIRS=systemic inflammatory response syndrome), atau
sindrom disfungsi organ multiple (multiple organ dysfunction syndrome).20
Faktor-faktor yang meningkatkan mortalitas dari trauma tembus abdomen
adalah jenis kelamin perempuan, lamanya jarak antara saat kejadian dan
dimulainya tindakan operasi, adanya syok saat datang ke rumah sakit, dan adanya
cedera kepala.20
26
BAB III
METODE PENELITIAN
Subjek penelitian ini adalah semua pasien dengan diagnosis trauma tembus
abdomen yang masuk melalui IGD RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung selama
periode tahun 2012 sampai dengan tahun 2017. Pengambilan sample dilakukan
memakai data status pasien dan data elektronik catatan medis (medical record).
Data yang dikumpulkan meliputi angka kejadian trauma tembus abdomen,
karakteristik subjek (jenis kelamin dan umur), etiologi trauma tembus abdomen,
jenis organ yang mengalami trauma, kestabilan hemodinamik pasien trauma
tembus abdomen, tatalaksana intervensi bedah yang dilakukan dan lama rawatan
pasien.
Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis univariat
yang bertujuan untuk memperoleh distribusi frekuensi dan proporsi dari subjek
yang diteliti. Analisis data penelitian ini menggunakan program SPSS for
windows. Data yang diperoleh dari hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel
atau diagram.
27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
89%
28
4.2 Distribusi Trauma Tembus Abdomen Berdasarkan Jenis Kelamin
Kasus trauma tembus abdomen di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung lebih
sering ditemukan pada laki-laki sebanyak 18 pasien (86%) daripada perempuan
yaitu 3 pasien (14%) (Tabel 4.2).
Laki-laki Perempuan
14%
86%
Dari data yang terkumpul, pasien trauma tembus abdomen di RSUP Dr.
Hasan sadikin berasal dari kelompok umur 10-20 tahun sebanyak 6 orang
(28,5%), 21-30 tahun sebanyak 6 orang (28,5%), 31-40 tahun sebanyak 2 orang
(9,5%), 41-50 tahun sebanyak 4 orang (19%), 51-60 tahun sebanyak 0 orang,
diatas 60 tahun sebanyak 3 orang (14,5%) (Tabel 4.2). Insidensi trauma abdomen
lebih sering terjadi pada laki- laki dengan usia terbanyak antara 14 sampai 30
tahun dimana usia tersebut merupakan usia produktif.4
29
Tabel 4.3. Distribusi pasien trauma tembus abdomen berdasarkan kelompok umur
6
10-20 tahun
5
21-30 tahun
4
31-40 tahun
3
41-50 tahun
2 51-60 tahun
1 > 60 tahun
0
Jumlah pasien
30
Tabel 4.4. Distribusi trauma tembus abdomen berdasarkan etiologi
Jumlah
Etiologi kasus persentase
Kecelakaan lalu lintas 4 19%
Luka tusuk 11 52,3%
Luka tembak 5 23,8%
Trauma iatrogenik 1 4,9%
Jumlah 21 100%
Sumber : Rekam Medik RSUP Hasan Sadikin
10
6 Luka tusuk
Luka Tembak
4
Trauma Iatrogenik
2
0
Jumlah Pasien
Pada 21 kasus trauma tembus abdomen yang ada di RSUP Dr. Hasan
Sadikin, bagian yang paling sering mengalami trauma adalah muskuloskeletal
yaitu sebanyak 12 kasus (57,1%), diikuti dengan peritoneum sebanyak 2 kasus
(9,2%) dan buli sebanyak 2 kasus (9,2%). Trauma pada omentum, organ padat
maupun berongga seperti hepar, gaster, diafragma, jejunum dan kolon masing-
masing hanya ada 1 kasus dengan persentase (4,9%).
31
Tabel 4.5. Distribusi trauma tembus abdomen berdasarkan bagian yang
mengalami trauma
Jumlah
Bagian yang terkena kasus persentase
Muskuloskeletal 12 57,1%
Hepar 1 4,9%
Gaster 1 4,9%
Diafragma 1 4,9%
Omentum 1 4,9%
Jejunum dan kolon 1 4,9%
Peritoneum 2 9,2%
Buli 2 9,2%
Jumlah 21 100%
Sumber : Rekam Medik RSUP Hasan Sadikin
Dari data yang didapat, hampir semua pasien trauma tembus abdomen
mempunyai hemodinamik yang stabil yaitu sebanyak 16 orang (76,2%). Hanya 5
orang (23,8%) yang mengalami syok akibat perdarahan yang disebabkan oleh
ruptur organ maupun kerusakan pada pembuluh darah abdomen.
32
Tabel 4.6. Distribusi kasus trauma tembus abdomen berdasarkan kestabilan
hemodinamik
Jumlah
Hemodinamik pasien kasus persentase
Stabil 16 76,2%
Tidak stabil / syok 5 23,8%
Jumlah 21 100%
Sumber : Rekam Medik RSUP Hasan Sadikin
33
Tabel 4.7. Distribusi trauma tembus abdomen berdasarkan tatalaksana
intervensi bedah
Jumlah
Tatalaksana kasus persentase
Operatif 19 90,5%
Non Operatif 2 9,5%
Jumlah 21 100%
Sumber : Rekam Medik RSUP Hasan Sadikin
15
10 Operatif
Non operatif
5
0
Jumlah kasus
Lama rawatan pasien trauma tembus abdomen di RSUP Dr. Hasan Sadikin
adalah 3 hari untuk rawatan tersingkat dan 75 hari untuk rawatan terlama, dengan
rata-rata hari rawatan 11 hari.
34
Distribusi Trauma Tembus Abdomen Berdasarkan
Lama Rawatan
80
70
60
50
40 Tersingkat
30 Terlama
20
10
0
Hari
35
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Angka kejadian trauma abdomen yang tercatat di RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung selama periode tahun 2012 sampai tahun 2017 adalah 197 kasus
dengan kasus tersering trauma tumpul yaitu 176 kasus (89%)
dibandingkan dengan trauma tembus yaitu 21 kasus (11%).
2. Jumlah kasus trauma tembus abdomen berjenis kelamin laki-laki lebih
banyak bila dibandingkan dengan perempuan yaitu sebanyak 18 orang
(85,7 %) untuk laki-laki dan 3 orang (14,3%) untuk perempuan.
3. Kelompok umur yang paling banyak mengalami trauma tembus abdomen
adalah kelompok umur 10-20 tahun sebesar 6 orang (28,5%) dan
kelompok umur 21-30 tahun sebesar 6 orang (28,5%).
4. Etiologi yang paling sering menyebabkan trauma tembus abdomen adalah
luka tusuk sebanyak 11 kasus (52,3%).
5. Bagian yang paling sering mengalami trauma tembus abdomen adalah
muskulus sebanyak 12 kasus (57,1%).
6. Tatalaksana trauma tembus abdomen sebanyak 19 kasus (90,5%) adalah
tatalaksan operatif.
7. Lama rawatan pasien trauma tembus abdomen yang tersingkat adalah 3
hari dan rawatan terlama adalah 75 hari dengan rata-rata hari rawatan
adalah 11 hari.
5.2. Saran
4. Hemmila, MR., Wahl, WL. Management of the Injured Patient. In: Doherty
GM, editor. Current Surgical Diagnosis and Treatment. USA: McGraw Hill
Medical; 2008. pp 227-228.
12. Shaikh, ST. The Surgical Anatomy Of Anterior Abdominal Wall. Int j clin
surg adv 2014;2(4):97-106
13. Ben, P., Thomas, RG. Illustrated Anatomy Thorax Abdomen. Lippincott’s
Concise Illustrated Anatomy:Thorax, Abdomen& Pelvis. 2013. Published by
Published by Lippincott Williams, a Wolter Kluwer business.
37
14. Frank, H., Netter, MD. Anatomy Abdomen. Atlas of Human Anatomy. 2014.
Published Saunders,an imprint of Elsevier Inc,5.
17. Keith, L., Moore, Arthur, FD., Anne, MR. Anatomy of Abdomen. Agur.
Moore Clinically Oriented Anatomy. 2014. Published by Lippincott Williams, a
Wolter Kluwer business, 19.
19. Yucel et al, 2014. The management of Penetrating Abdominal Stab Wound
with Organ or Omentum Evisceration : The Result of Clinical Trial. Ulus Cerrahi
Derg. 2014; 30(40):207-210
21. R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong. 2010. Trauma dan Bencana. Buku Ajar
Ilmu Bedah. Edisi 3. 2010. Jakarta; EGC.
22. Fermann GJ. Abdominal Trauma. In: Hamilton GC, Sanders AB, Strange GR,
Trott AT. Hamilton: Emergency Medicine: An Approach to Clinical Problem-
Solving. 2nd ed. 2003. Philadelphia: WB Saunders.
23. Jason, S., Ian, G., Keith, MP. Abdominal Trauma.Oxford Desk Reference
Major Trauma. 2011. Published by Oxford University Press, 210.
24. Hermosa Jl. R, et al. Gastric Perforation from abdominal trauma. Dig Surg.
2008;25(2):109-16.
29. Gonzalez RP, Turk b, Falimirski ME, Holevar Mr.Abdominal Stab Wounds:
Diagnostic Peritoneal Lavage Criteria For Emergency Room Discharge.J trauma
2001 Nov:51(5):939-43.
30. Ahmadsyah, I. Abdomen Akut. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Ilmu
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo. 2010. Jakarta; Penerbit Binarupa Aksara.
39