mobi
TRIO DETEKTIF
MISTERI MERPATI BERJARI DUA
Alihbahasa: Aryotomo Markam
SEPATAH KATA
DARI HECTOR SEBASTIAN
mengenal mereka sendiri dari pengalaman yang mereka hadapi saat ini,
yaitu... oh, aku akan tutup mulut mulai
sekarang. Cuma satu pesanku, bersiaplah menjumpai orang-orang yang
ganjil dan aneh. Selamat bermisteri!
HECTOR SEBASTIAN
Bab 1
SI KEDIP MATA
"AKU usul kita mampir dulu untuk mengisi perut," kata Pete Crenshaw
pada kedua kawannya.
Hari itu adalah hari pertama liburan musim panas. Trio Detektif,
Jupiter Jones, Bob Andrews, dan Pete,
menghabiskan hari itu dengan berenang di pantai favorit mereka.
Sekarang mereka sedang mengayuh sepeda di
sepanjang jalan menuju Rocky Beach.
Bob segera menyetujui usul Pete. Ia mengayuh sepedanya lebih kencang,
menyusul Pete yang berada di depannya.
Jupiter Jones, Penyelidik Satu, menimbang-nimbang usul Pete dengan
caranya yang metodis itu. Memang, ia
kepanasan dan capek. Pekerjaan fisik memang tidak pernah disukainya.
Ia lebih suka menggunakan otaknya. Tapi
ajakan untuk mampir di Kedai Kuda Laut di puncak bukit berikutnya
cukup menarik baginya.
Namun, di lain pihak Jupe agak... terlalu berat badannya. Bahkan
beberapa kawan sekolahnya mengejek dia dengan
panggilan si Gendut. Karena itu ia berniat mengurangi berat badannya
selama liburan ini. Targetnya turun lima kilo.
Jadi ia bisa pergi ke sekolah dengan tubuh yang lebih langsing pada
bulan September nanti.
Sambil mempelajari tinggi bukit yang akan didakinya, ia
mempertimbangkan ajakan Pete itu lebih jauh lagi. Saat
itu sudah jam tiga. Enam jam telah berlalu sejak perutnya diisi dengan
sarapan. Selama itu ia berenang dan bersepeda
sejauh beberapa mil. Ia telah membakar kalori dalam jumlah yang cukup
besar. Pasti berat tubuhku telah berkurang,
pikir Jupe. Di samping itu... perutnya sudah keroncongan.
"Oke," sahutnya pada kedua kawannya di depan. "Aku setuju kita
mampir di Kedai Kuda Laut."
Waktu anak-anak masuk tempat itu sudah hampir kosong. Trio Detektif
mengambil tempat di pojok dekat jendela
yang menghadap ke jalan raya. Pete segera mengempaskan tubuhnya,
duduk dengan santai di kursi. Bob menelusuri
daftar menu restoran itu.
Penyelidik Satu mengamat-amati pengunjung lainnya yang cuma sedikit.
Ia sedang melaksanakan salah satu
kegemarannya, yaitu mencoba menarik kesimpulan dari apa yang
dilihatnya. Dari cara orang berpakaian, dari raut
wajahnya, dan dari kelakuannya, Jupe dapat menyimpulkan apa
kebiasaan atau pekerjaan orang itu.
Salah seorang pengunjung segera menyita perhatiannya. Laki-laki itu
kurus dan agak pendek, sekitar seratus enam
puluh sentimeter. Jasnya berwarna gelap, bajunya putih, dan sepatu
kulitnya hitam serta runcing. Sepatu itu agak
kebesaran bagi ukuran tubuhnya yang pendek itu. Dari gerakan jari-jari
tangannya di dalam kantung celananya, Jupe
dapat menyimpulkan bahwa orang itu sering menonton pacuan kuda.
Sembari duduk di depan meja tinggi dengan secangkir kopi di
hadapannya, laki-laki itu mengetuk-ngetukkan
jarinya pada kursi di sampingnya. Ia memandang ke luar dengan gelisah.
Sebentar-sebentar tangannya meraba sebuah
kotak besar di sisinya. Seakan-akan ia ingin meyakinkan dirinya bahwa
kotak itu tidak hilang. Kain katun tipis
menyelubungi kotak itu dengan rapi.
TRIO DETEKTIF
"Kami Menyelidiki Apa Saja"
???
Penyelidik Satu - Jupiter Jones
Penyelidik Dua - Pete Crenshaw
Data dan Riset - Bob Andrews
Blinky memperhatikan kartu itu dengan cermat. "Apa artinya tiga tanda
tanya ini?" tanyanya.
"Itu menunjukkan misteri yang belum terpecahkan, dan teka-teki yang
belum terjawab," jawab Jupe. "Karena itu
kami akan selalu tertantang dalam menangani kasus-kasus yang kami
hadapi."
"Yah, itu semacam simbol bagi kami," Bob menambahkan.
Blinky mengangguk. Ia berkedip lagi ketika menyimpan kartu itu dalam
kantungnya.
"Kalian punya banyak..." Ia tidak menyelesaikan kalimatnya.
Jupe tidak dapat menebak apa yang sebenarnya ingin diucapkan Blinky.
Blinky telah berdiri lagi. Matanya menatap
ke luar melalui jendela. Di kejauhan terdengar suara berderu-deru yang
berasal dari kendaraan berat. Kemudian
muncul sebuah mobil boks besar berwarna hijau. Mobil boks itu melintas
di depan restoran. Pengemudinya tampak
seperti orang Jepang.
Jupiter menoleh pada Blinky. Tapi orang berjas gelap itu sudah tidak
ada di tempatnya. Blinky sudah berada di
pintu keluar. Dalam sekejap ia berlari menuju mobilnya di pelataran
parkir.
Pete yang pertama kali bereaksi. Sebagai seorang atlet, ia memiliki
refleks yang lebih cepat dari kedua kawannya.
Diambilnya kotak dari lantai di samping meja. Dengan bergegas
dikejarnya Blinky.
"He, tunggu," panggilnya. "Anda lupa..."
Tapi ia terlambat mengingatkan Blinky. Begitu Pete berlari melintasi
pelataran parkir, sedan milik Blinky sudah
meluncur dengan cepat mengikuti mobil boks hijau tadi.
Pete berjalan kembali ke restoran. Kotak itu diletakkannya di meja.
Trio Detektif duduk sambil termenung memandangi kotak yang
tertinggal itu.
Jupe menarik-narik bibir bawahnya. Kebiasaan itu selalu dilakukannya
sewaktu sedang berpikir keras. Menurut dia,
itu membantunya dalam berkonsentrasi.
Bob yang memecah kesunyian itu. "Lebih baik kita serahkan saja pada
pelayan restoran," usulnya. "Blinky pasti
akan kembali kemari untuk mencarinya."
"Itu usul yang paling masuk akal bagiku," kata Pete menyetujui usul Bob.
Tapi Penyelidik Satu itu tetap menarik-
narik bibir bawahnya dengan ibu jari dan telunjuknya. Blinky dan mobil
boks hijau itu membangkitkan kecurigaannya.
Bakat alami yang dimiliki Jupe mengatakan ada sesuatu di balik
peristiwa itu. Dan Jupe tidak tahan untuk membiarkan
sesuatu itu tidak terungkap. Ia merasa yakin bahwa tidak lama lagi Trio
Detektif akan menghadapi misteri baru.
"Usulku sebaliknya," akhirnya ia berkata. "Kita bawa saja kotak ini ke
kantor di pangkalan. Blinky kan sudah
punya kartu kita. Itu memudahkannya menghubungi kita lewat telepon
atau..."
bisa..."
Ia menyorongkan badannya ke depan. Telinganya ditempelkan pada kain
penutup kotak itu.
Ketiga anak itu dapat mendengar dengan jelas sekarang. Suara lembut,
seperti dengkuran. Ada makhluk hidup di
dalamnya. Makhluk itu terkurung dalam kotak.
"Kita tidak punya pilihan lain sekarang," ujar Pete. "Kotak ini harus
dibuka."
Sejak kecil Pete memiliki rasa sayang luar biasa terhadap binatang. Ia
mempunyai kebiasaan memungut dan
membawa pulang kucing atau anjing kecil yang berkeliaran di jalan.
Bahkan pernah membawa pulang seekor kuda
yang ditemuinya berkelana sendirian. Semua itu didorong keinginan
hatinya. Ia tidak tega melihat seekor binatang
tidak terurus. Kali ini nalurinya mengatakan bahwa ia harus menolong
hewan yang terkurung dalam kotak itu.
Dibukanya pita pengikat kotak itu. Lalu diangkatnya kain penutupnya.
Sebuah sangkar besi. Dan di dalamnya
terdapat seekor merpati.
Burung itu indah. Ramping, berbulu tebal, sehingga ekornya hampir
membentuk kipas. Dan bulunya yang berkilau
menunjukkan bahwa burung itu sehat.
Tapi Jupiter melihat sesuatu yang lain pada merpati dalam sangkar itu.
Salah satu jarinya hilang. Pada kaki
kanannya terdapat tiga jari. Namun pada kaki kirinya cuma ada dua jari.
"Kita tidak bisa membiarkannya terkurung dalam sangkar seperti ini,"
kata Pete dengan tegas. "Harus kita
pindahkan ke sangkar lain yang lebih besar dan lebih nyaman. Burung
tempatnya di alam bebas, bukan dalam sangkar.
Apalagi sangkar yang kecil."
Jupiter mengangguk. "Akan kubuatkan sangkar yang lebih besar dan
nyaman," katanya. "Yang kuperlukan
hanyalah paku, palu, dan segulung kawat ayam."
Dalam beberapa menit saja Trio Detektif telah mendapatkan apa yang
mereka butuhkan untuk membuat sangkar
baru. Jupe mulai sibuk bekerja di bengkelnya, kantor. Tangannya
memang cekatan. Sebentar saja sudah terbentuk
sebuah rangka kotak yang lebih besar. Kemudian gulungan kawat ayam
dipaku pada rangka itu. Terciptalah sebuah
sangkar baru yang nyaman untuk ditempati merpati yang ditinggal
pemiliknya itu.
Pete membawa burung itu keluar kantor, sementara Jupe mengambil
sebungkus jagung yang biasa diberikan Bibi
Mathilda pada itik-itik di taman kota. Bob menyediakan semangkuk air
segar.
"Beristirahatlah kau di sini," kata Pete seraya memasukkan merpati itu
ke dalam sangkarnya yang baru.
Burung itu segera menyukai tempatnya yang baru. Dipatuk-patuknya
jagung yang terdapat di sangkar. Lalu
beberapa kali dicelupkannya kepalanya ke dalam mangkuk berisi air.
Burung itu mengibas-ngibaskan sayapnya, lalu
pergi ke pojok sangkar. Kepalanya disembunyikan di balik sayapnya.
Dengan begitu seakan-akan merpati itu ingin
menunjukkan rasa gembiranya.
Trio Detektif ikut merasa gembira. Kini mereka bisa pulang dengan lega.
Merpati itu ditinggalkan di bengkel
Jupiter, yang terletak di salah satu pojok Pangkalan Jones. Bob dan
Pete mengayuh sepedanya ke rumah masing-
masing. Jupe berjalan kaki menyeberangi jalan menuju rumahnya,
tempat ia tinggal bersama paman dan bibinya.
Merekalah yang merawat Jupe sejak Jupe menjadi yatim-piatu ketika
masih kecil.
Esoknya Jupe bangun pagi-pagi sekali. Sambil mengucek-ngucek
matanya, ia berlari memasuki Pangkalan Jones.
Sangkar baru itu masih terdapat di bengkelnya. Ketika mendekatinya,
Jupe melihat merpati indah berwarna kelabu
itu masih ada dalam sangkarnya. Merpati ramping itu berkukur dengan
riang sambil mematuki jagung yang masih
tersisa.
Jupe berlutut. Ia menempelkan mukanya pada kawat sangkar itu.
"Dari mana kau datang?" sapanya pada burung itu. "Apa yang dilakukan
Blinky terhadapmu di kotak kecil itu? Dan
mengapa Blinky kemarin begitu gugup?"
Kelihatannya kehadiran merpati itu membawa misteri, pikir Jupe.
Kemudian Jupe terhenyak. Burung itu lebih misterius dari dugaannya
semula.
Merpati dalam sangkar yang sedang diperhatikan Jupe kini memiliki tiga
jari pada tiap-tiap kakinya!
Bab 2
PECINTA BURUNG
Dan tidak satu pun yang tersesat! Seakan-akan mereka semua tahu jalan
pulang ke rumahnya, tidak peduli ke mana
mereka dibawa, atau dari mana mereka berasal."
Ia meneruskan membaca lagi. "Kejuaraan itu sudah menjadi olahraga
nasional di Belgia. Ada seekor merpati
dibawa dengan sebuah kapal ke Indocina. Burung itu dilepaskan di sana.
Lalu dalam dua puluh empat hari, merpati itu
sampai kembali di Belgia. Lebih dari tujuh ribu mil dilaluinya. Dan rute
itu sama sekali asing baginya."
"Masa?" seru Pete setengah tidak percaya. "Coba aku lihat." Ia
mengambil buku itu, lalu membacanya dengan
penuh perhatian.
"He, ini ada keajaiban lagi!" katanya. "Merpati ini dapat berperan
sebagai pembawa pesan. Dan ini sudah sejak
dulu terjadi dalam sejarah. Caesar memakai merpati pos dalam
menaklukkan musuhnya, Gaul. Dan angkatan
bersenjata Amerika Serikat bertahun-tahun memanfaatkan merpati pos
itu. Demikian juga dalam perang Korea yang
belum lama berselang. Bahkan sekarang pun masih digunakan merpati
pos untuk mengirim berita antara Los Angeles
dan Catalina Island. Kau tahu semua ini, Jupe?"
Penyelidik Satu tidak menjawab. Sesungguhnya ini berita baru baginya.
Tapi ia mencari akal agar
ketidaktahuannya tidak terlihat oleh Pete.
"Pertanyaannya ialah..." Jupe mencari-cari kata-kata yang tepat.
"Bagaimana bisa? Dan mengapa?"
"Menurut buku ini, tidak seorang pun tahu persis bagaimana burung-
burung itu dapat kembali ke rumahnya," sahut
Bob. Ia mengambil kembali buku itu dari tangan Pete. "Para ahli sudah
mempelajari masalah yang menarik ini di
Cornell University. Mereka sampai pada suatu dugaan yang paling
mungkin, yaitu bahwa burung-burung itu
memakai gaun panjang yang cocok untuk musim panas. Topinya terbuat
dari jerami dengan tali yang menjuntai ke
bawah dagunya yang bulat.
Di satu pundaknya hinggap seekor burung beo. Seekor rajawali kecil
berputar-putar tepat di atas kepalanya. Dan
seekor kenari hinggap di pinggir topinya.
"Kalau ingin mengutarakan maksud kalian, bernyanyilah dengan suara
keras, " sambutnya dengan bernyanyi pada
Trio Detektif yang berhenti beberapa meter di depannya. "Kalau tidak,
aku tidak dapat mendengarnya. "
Jupiter Jones berpengalaman dalam bermain sandiwara. Meskipun ia
tidak suka orang mengingat-ingatnya, karena
peran yang dimainkannya sebagai Baby Fatso. Tetapi ia tidak pernah
bergabung dalam kelompok musik atau paduan
suara sekolahnya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya ia
harus ikut bernyanyi.
Meskipun demikian, Jupe segera menangkap apa yang diinginkan wanita
itu. Di tengah hingar-bingarnya suara
burung, satu-satunya suara manusia yang dapat terdengar adalah suara
tinggi dalam nyanyian.
"Kami mencari pemilik tempat ini, Miss Maureen Melody" kata Jupe
dengan bernyanyi.
"Akulah orang yang kalian cari, aku Maureen Melody, "jawabnya sambil
berlagu.
Sekarang kembali giliran Jupe. Ia berdehem.
"Maafkan kalau kami mengganggu, namun demikian kami ingin berbicara
dengan Anda. " Cukup sulit bagi Jupe
untuk mencari kata-kata yang cocok dengan nada lagu The Battle Hymn
of Republic, tapi Jupe mencoba sebaik
mungkin. "Kami mendengar- "
Ia berhenti. Maureen Melody tidak lagi mendengarkannya. Ia tersenyum
lebar. Matanya bersinar-sinar. Dengan
gerak seperti berdansa, ia mendekati Pete.
Bab 3
MUTIARA DARI BURUNG MURAI
penyayang burung. Aku tahu burung milik Poe adalah burung gagak.
Namun aku suka puisinya. Kalian harus baca
puisi-puisi karyanya."
Burung murai tadi terbang kembali ke taman. Miss Melody menurunkan
tirai kaca lagi.
"Burung murai pandai mencuri," katanya dengan suara normal. "Tetapi
kedua muraiku sama sekali bukan pencuri.
Khususnya Edgar Allan Poe. Sebaliknya, Poe selalu mengembalikan
barang-barang. Poe selalu membawakan barang-
barang untukku. Barang yang indah-indah. Lihat!"
Dibukanya telapak tangannya yang gemuk dan putih, dan ditunjukkannya
apa yang baru saja dibawa Edgar Allan
Poe.
Sebuah mutiara besar berkilau-kilau.
"Ini mutiara ketiga yang dibawakannya untukku dalam bulan ini,"
katanya. "Aku tidak dapat menduga dari mana
Poe mendapatkan mutiara ini, tapi aku tidak peduli. Mutiara adalah
benda yang paling kusukai. Mutiara dan burung,
dua sejoli yang merupakan kawanku sehidup semati."
"Kembali pada merpati pacuan," Jupe mengingatkan Miss Melody. "Anda
pernah kenal seseorang..."
Miss Melody menggeleng. "Aku tidak bisa mengingat siapa-siapa saat
ini."
"Oh, kalau kebetulan Anda ingat," Jupe mengeluarkan kartu Trio
Detektif dari kantungnya dan memberikannya
pada Miss Melody, "kami akan sangat berterima kasih kalau Anda
menghubungi kami lagi."
Maureen Melody menerima kartu itu. Tapi sebelum ia dapat membaca
isinya, burung beo di pundaknya terbang dan
mengambil kartu itu dengan paruhnya. Si beo lalu terbang ke
tenggerannya.
"Terima kasih," kata Jupe pada Miss Melody. Meskipun ia suka pada
wanita itu, ia berpikir bahwa kedatangan
Bab 4
JERITAN MEMINTA PERTOLONGAN
"Kalian tahu apa yang ada di kepalaku?" tanya Pete. "Aku rasa Maureen
Melody benar. Kita harus segera
melepaskan Caesar dari sangkar ini. Biarkanlah Caesar pergi. Lupakan
saja semua ini."
Itulah apa yang dikuatirkan Jupe terhadap Pete. Jupe mengerti bahwa
usul Pete adalah yang terbaik bagi Caesar.
Kalau mereka membuka sangkar itu, Caesar akan terbang dan bergabung
dengan kumpulannya di kandang tempat
tinggalnya.
Namun dalam pandangan Penyelidik Satu, membiarkan Caesar terbang
pergi adalah hal yang paling buruk yang
dapat mereka lakukan. Bagi Jupe, Caesar lebih dari sekadar merpati.
Caesar adalah suatu rahasia. Jupe sudah mencium
bahwa mereka akan menghadapi suatu misteri yang menarik dan unik.
Sebuah kasus.
Pikirannya melayang ke telepon di kantornya dan mesin penjawab
telepon otomatis. Kalau orang berkendaraan
mobil boks hijau itu yang menukar merpati itu tadi malam, maka cepat
atau lambat Blinky akan menelepon. Blinky
pasti menginginkan merpati berjari dua itu kembali. Jupe ingin sekali
melihat reaksi Blinky ketika ia datang untuk
mengambil merpatinya. Jupe ingin sekali menyaksikan bagaimana air
muka Blinky kalau ia menyadari bahwa merpati
itu kini berjari tiga.
Jupe menduga-duga apakah Blinky akan mengenali merpati itu.
"Bagaimana kalau kita pergi dan mampir di Parker Frisbee?" usul
Penyelidik Satu. "Kan tempat itu kita lewati
dalam perjalanan pulang ke kantor."
Ia melihat Bob, mengharapkan dukungannya. Bob menoleh ke Pete.
"Oke," Pete menyetujui dengan ogah-ogahan. "Kita mampir di Parker
Frisbee."
Frisbee adalah toko perhiasan yang terbaik, dan juga termahal, di Rocky
Beach. Kaca etalasenya tidak dipenuhi
Ia melirik pada sangkar yang dibawa Pete. "Apakah burung itu berada di
situ?"
"Ya." Pete mengangkat sangkar Caesar, sehingga Mr. Frisbee dapat
melihat dengan lebih jelas.
Mr. Frisbee meneliti Caesar selama beberapa saat dengan penuh
perhatian.
"Di mana kalian menemukannya?" tanyanya. "Bagaimana sampai merpati
ini berada di tangan kalian?"
"Seseorang meninggalkannya dalam pangkalan kami," jawab Jupe. Ia
berusaha untuk tidak menyebut-nyebut nama
Blinky.
"Siapa?"
"Kami tidak tahu," sahut Pete. "Tahu-tahu sudah ada di pangkalan.
Itulah sebabnya kami datang ke sini. Mungkin
Anda tahu siapa..."
Mr. Frisbee menggeleng. Ia tertawa kecil.
"Itu bukan merpati pacuan Belgia," katanya. "Kalian lihat, itu induk
merpati, merpati betina. Orang tidak
mengikutsertakan merpati betina dalam pacuan."
"Oh, tapi-" Bob hendak mengatakan sesuatu. Namun ia mengurungkan
niatnya. Ia buru-buru menutup mulutnya.
"Mungkin Anda punya ide atau petunjuk siapa pemilik merpati ini?" tanya
Jupe.
"Sama sekali tidak." Mr. Frisbee mengangkat bahunya. Jupe mengira
Mr. Frisbee tersenyum. Sukar sekali untuk
melihat senyumnya di balik jenggotnya yang tebal itu. "Maaf, aku tidak
dapat membantu kalian, Anak-anak. Tolong
sampaikan salamku pada Miss Melody."
"Baik, Mr. Frisbee," balas Jupe. "Terima kasih."
Trio Detektif kembali ke Main Street bersama Caesar.
Mereka harus menunggu sebelum dapat menjalankan sepeda mereka.
Sebuah mobil hitam, yang tadi diparkir di
jalan rahasia lain untuk masuk ke dalam kantor. Salah satunya ialah
melalui seutas tali dari atap karavan. Dengan jalan
ini, mereka akan masuk dari atas kantor. Jalan ini mereka namakan
Darurat Satu.
Pete yang mula-mula masuk. Ia memanjat tumpukan barang rongsokan
yang menggunung menutupi karavan.
Ketika Pete telah turun melalui tali itu, Jupe dan Bob menurunkan
Caesar yang masih berada dalam sangkar kecilnya.
Kemudian sangkar buatan Jupe diturunkan pula melalui atap karavan.
Sekarang giliran Bob meluncur.
Jupe mendapat giliran terakhir. Sambil berpegangan pada tali, ia
menutup atap karavan dari dalam. Pete dan Bob
sudah memindahkan Caesar dari sangkar kecilnya ke tempatnya yang
lebih besar. Jupe tidak memperhatikan kedua
kawannya. Matanya dengan cepat melihat pada mesin penjawab yang
telah dihubungkan dengan telepon.
Mata Jupe bersinar-sinar. Lampu mesin itu menyala. Berarti ada orang
yang menelepon tadi. Dan orang itu
menyampaikan pesan. Blinky, pikir Jupe. Pasti Blinky yang menelepon.
Jadi, pelakunya adalah pengemudi mobil boks
hijau itu... Pikiran Jupe bergerak cepat. Bergegas dihampirinya mesin
penjawab otomatis itu.
"Dengarkan ini," katanya sambil menghidupkan mesin penjawab dan
pengeras suara.
Bob dan Pete diam mendengarkan. Jupe duduk di kursi goyang agar
dapat berkonsentrasi pada isi pesan dalam
mesin itu.
"Tolong!" terdengar suara Maureen Melody. "Tolong aku!" Pecinta
burung yang nyentrik itu bernyanyi dengan
nada yang menyayat hati.
"Ada pembantaian besar-besaran! Aku keluar. Dan... di luar kutemukan
tubuh-tubuh burungku yang malang... "
Suaranya menjadi serak. Ia tak kuasa menahan rasa dukanya.
"Edgar Allan Poe. " Ratapannya terdengar amat memilukan. "Poe dipukul
hingga mati! Dan aku menemukan
bangkai lainnya. Salah satu rajawaliku... Oh, tolong. Tolonglah aku.
Seseorang membunuhi burung-burungku!"
Bab 5
MAUT MENGINTAI DI BALIK PEPOHONAN
amat lihai. Sering kali burungku ini mencari makanan sendiri. Sekali
waktu dapat tikus, lain waktu dapat kelinci
dan..." Ia menghela napas. "Dan apa saja yang berhasil mereka jumpai.
Aku sering khawatir. Kadang-kadang burung
ini bandel."
"Kejam," burung beo di pundak Miss Melody bersuara. "Kejam. Kejam."
Jupe mengangguk. "Di mana Anda temukan bangkai burung ini?"
tanyanya.
"Edgar Allan Poe tergeletak di ujung taman. Ketika kupungut, aku..."
Ia mengambil sehelai sapu tangan kecil dari kantungnya. Ditutupnya
mulutnya dengan sapu tangan itu, seolah-olah
agar ingatannya segar kembali.
"Rajawaliku yang indah terbaring di antara pepohonan," akhirnya ia
melanjutkan, "di tempat biasanya kuletakkan
makanan untuk mereka. Melihatnya, aku menjadi curiga. Biasanya
rajawaliku makan. Tapi kali itu tidak, cuma
terbaring... tidak bergerak."
Jupe turut merasa prihatin.
"Bolehkah kami melihat tempat itu?" tanya Jupe.
"Tentu boleh." Maureen Melody memandang ke luar melalui pintu
bergaya Prancis. Di luar hampir gelap. "Akan
kuambil senter dulu."
"Tidak usah repot-repot," kata Jupe. "Kami membawa senter yang bisa
diikatkan di kepala. Tunjukkan saja
tempatnya, nanti akan kami teliti tempat itu."
Riuh suara burung sudah mulai berkurang pada saat matahari mulai
terbenam. Ketika Trio Detektif mengikuti Miss
Melody menyeberangi taman, mereka hanya sesekali mendengar suara
burung hantu dan burung kakaktua dari balik
kerimbunan hutan kecil.
"Edgar Allan Poe kutemukan tepat di sini," Maureen Melody tiba-tiba
berhenti. Ia menunjuk ke suatu tempat di
tanah.
Jupe mengarahkan senternya pada titik yang ditunjuk oleh Miss Melody.
Ia berjongkok dan memungut sehelai bulu.
Ada percikan darah menempel pada bulu itu. Miss Melody gemetar
melihatnya.
"Dan rajawali itu di sebelah sana." Ia menunjuk lagi. "Sekarang, kalau
kalian tidak keberatan, kurasa... kurasa aku
lebih baik kembali ke rumah. Aku ingin berbaring untuk beristirahat.
Kalian boleh menyelidiki tempat ini sesuka
kalian."
Ia melipat tangannya seperti menahan dingin. Badannya gemetar.
Dengan bergegas ia berlari masuk ke rumahnya.
Jupe merasa lega dengan situasi itu. Memang, ia merasa prihatin pada
nasib yang dialami Maureen Melody. Ia
mengerti bagaimana perasaan orang yang kehilangan sesuatu yang amat
disayanginya. Tetapi Jupe merasa lebih bebas
bila Trio Detektif dapat menyelidiki tempat itu tanpa ditemani orang
lain.
Ia mendekati tempat ditemukannya rajawali piaraan Miss Melody. Tidak
ada bulu berserakan di sana. Tidak ada
pula cacahan daging. Kalau rajawali itu diracuni, mungkin sebelum
ajalnya masih sempat menghabiskan makanannya,
pikir Jupe. Atau mungkin pula orang yang meracuni sudah membersihkan
sisa-sisa makanan yang tertinggal, agar
perbuatannya tidak diketahui.
Jupe menyenter sekeliling tempat itu dengan teliti.
"Sayang sekali," katanya sambil menggeleng-geleng.
"Apanya?" Bob tidak bisa membayangkan apa yang sedang dipikirkan
Penyelidik Satu.
"Tanah ini keras."
Jupe merasa keterangan itu sudah cukup bagi kawan-kawannya. Ia tidak
menjelaskan lebih jauh lagi. Pikirannya
sudah melesat jauh. Harus segera diambil tindakan, Jupe memutuskan.
"Baik," katanya. "Kita berpencar. Bob, kau ke sebelah kiri. Dan Pete, kau
ke kanan. Aku akan lurus ke depan.
Oke?"
"Oke," Pete menyetujui. "Tapi sebelumnya jelaskan dulu sesuatu padaku,
ya Jupe?"
"Apa?"
"Apa yang kita cari?"
"Jejak." Jupe menyinari lagi tanah dengan senternya. "Tidak ada jejak
di sini karena tanahnya terlalu keras. Namun
beberapa hari yang lalu hujan turun dan mestinya ada banyak tanah yang
lembut di antara pepohonan. Dari apa yang
dikatakan Miss Melody tentang tetangganya, aku bisa menyimpulkan
bahwa tidak banyak tetangganya yang
berkunjung ke sini. Jadi, kalau kita berhasil menemukan bekas-bekas
tapak kaki, kemungkinan besar itu adalah jejak
pembunuh burung-burung ini."
"Benar sekali," sambut Pete dengan bersemangat. "Jadi sekarang kita
mencari jejak si pembunuh. Habis itu apa?
Kita buat cetakan jejak itu untuk mencari siapa orang yang kira-kira
kakinya atau sepatunya cocok dengan cetakan
itu?"
Jupe menghela napas.
"Blinky," ia menjelaskan dengan tidak sabar. "Kau tidak memperhatikan
sepatu yang ia pakai waktu itu? Sepatunya
besar, dan ujungnya runcing. Mengerti sekarang?"
"Tentu," jawab Bob. "Kalau kita menemukan jejak dengan ujung yang
aneh, maka mungkin itu jejak Blinky. Dan
kalau jejak itu ujungnya biasa saja, hmm, itu ada artinya juga bagi kita."
"Berarti itu bukan jejak Blinky," kata Pete sambil mengangguk-angguk.
"Apa yang harus kuperbuat kalau aku
mendapatkan sesuatu?"
"Beri isyarat dengan sentermu," Jupe menginstruksikan. "Tiga kali
panjang, tiga kali pendek. Teruskan sampai kau
Bab 6
PERTOLONGAN VAN DON
Namun pembantu rumah tangga Hector Sebastian, Hoang Van Don, lain
dari yang lain. Ia hanya menyukai
masakan yang sehat dan bergizi, kadang-kadang tanpa memperhatikan
rasanya. Padahal Hector Sebastian suka juga
pada makanan-makanan yang enak, meskipun kurang bergizi. Dalam hal
ini Hoang Van Don akan memprotesnya,
sambil mengingatkan betapa buruknya makanan tidak bergizi bagi
kesehatan tubuh kita.
Saat ini Don sedang ke luar rumah. Ia diminta anak-anak untuk
membantu mereka mencarikan sesuatu.
"Ini baru makanan," kata Hector Sebastian seraya mengeluarkan empat
buah hamburger dan sebungkus besar
french fries. Ia membelinya di sebuah kedai, tanpa sepengetahuan Don.
Menitik air liur Pete melihatnya. Ia sendiri tidak keberatan dengan
masakan Don. Dan memang hampir semua
makanan bisa dilahapnya, termasuk masakan Don. Tetapi hamburger
adalah makanan favorit Pete.
"Apa yang dimasak Don hari ini?" tanya Pete. "Ia masih suka memasak
ikan mentah, Mr. Sebastian?"
"Kadang-kadang." Hector Sebastian sibuk melahap french fries yang
diolesi saus tomat. "Semalam ia masak
ganggang laut."
"Hmm, aku ingin tahu seperti apa rasanya," komentar Pete. Setelah
berkata begitu ia melahap hamburgernya.
Mr. Sebastian dulu bekerja sebagai detektif swasta di New York. Ia
mulai menulis novel-novel misteri sejak ia
dirawat karena kakinya terluka parah. Sampai sekarang ia masih
bertelekan tongkat untuk berjalan.
"Untung ya, rumah teman Don itu jauh dari sini," katanya setengah
bersyukur. "Kita bisa makan tanpa diprotes
olehnya."
Don sedang menemui temannya yang berkebangsaan Jepang. Ia kenal
dengan temannya itu dari klub karate di
ini."
Ia meraih tongkat yang tergantung di belakang kursinya. Sambil
bertelekan pada tongkat itu, ia berdiri.
"Sekarang kita mesti cepat-cepat melenyapkan sisa-sisa makanan ini
sebelum Don kembali," ujarnya. "Aku tidak
ingin mendengar omelan Don."
Anak-anak membersihkan piring dan membuang sisa makanan ke dalam
tempat sampah di dapur. Sehabis
menyusun piring di rak, mereka mendengar suara mobil Don datang.
"Cepat. Pindah ke ruang tamu," Hector Sebastian mengingatkan mereka.
Ia berjalan terpincang-pincang masuk ke
ruang tamu yang luas dengan sederetan jendela yang memperlihatkan
pemandangan ke laut lepas. Ia duduk di meja
besar di salah satu sisi ruang tamu itu. Trio Detektif mengambil tempat
di kursi-kursi di sekeliling meja itu.
Jupe mendengar suara pintu belakang dibuka. Pintu belakang langsung
menuju dapur. Ia berdiri dari kursinya.
Tidak sabar ia menanti berita yang dibawa Don dari temannya itu.
Sebentar lagi akan ada petunjuk tentang apa isi
pesan yang diperolehnya dari merpati di kediaman Miss Melody kemarin.
Ia akan lebih mengerti persoalan yang
terjadi. Dan dari situ ia berharap dapat memecahkan misteri
pembunuhan burung-burung itu.
Ia menunggu. Lehernya bergerak-gerak karena tidak sabar menunggu
berita yang dibawa Don.
Langkah-langkah Don terdengar melintasi dapur. Kemudian sunyi. Don
berhenti di dapur. Jupe mendengar suara
seperti orang membaui sesuatu.
Baru semenit kemudian Don muncul. Ia menghampiri mereka melewati
rak buku yang memisahkan ruang kerja Mr.
Sebastian dengan ruang tamu.
"Bagaimana?" tanya Jupe begitu melihat Don. "Apa bunyi pesan itu?"
Bab 7
BENTROKAN
Bank itu terletak di Main Street, tidak jauh dari toko perhiasan
Frisbee. Jupe menjalankan sepedanya ke dalam
pelataran di balik sebuah gedung tinggi berwarna putih. Tinggal
beberapa mobil yang masih diparkir di sana. Bank
telah tutup. Pelataran itu diapit dua buah gedung perkantoran di kanan-
kirinya. Kantor-kantor juga sudah tutup.
Pelataran parkir hampir seluruhnya gelap gulita.
Jupe menyandarkan sepedanya pada dinding gedung bank. Dibukanya
ikatan sangkar Caesar.
Ia melihat ke sekelilingnya. Tidak lebih dari lima mobil yang masih
diparkir di pelataran yang luas itu. Tidak
nampak orang di dalam mobil-mobil itu.
Jupe melirik arlojinya. Jam sembilan kurang seperempat. Lima belas
menit sebelum waktu yang disepakati untuk
bertemu dengan Blinky. Dan lima menit sebelum Bob dan Pete datang.
Jupe memutuskan untuk menunggu di pintu
masuk pelataran parkir. Di sana lebih terang. Ia mulai berjalan.
"Berhenti di situ! Jangan bergerak!"
Suara itu datang dari kegelapan di belakangnya.
Jupe melakukan apa yang diperintahkan. Ia berhenti. Sangkar Caesar
didekapnya erat-erat.
"Sekarang berputar menghadap ke sini. Pelan-pelan!"
Jupiter berbalik. Perlahan-lahan sebisanya.
Sesosok laki-laki mendatanginya dari balik kegelapan. Tangan laki-laki
itu agak terangkat. Ia memegang sesuatu.
Sesuatu yang agak berkilau, meskipun dalam kegelapan.
Bagi Jupe benda itu terlihat sangat menakutkan. Pistol berlapiskan
nikel. Matanya tak lepas dari pistol itu.
"Sekarang letakkan sangkar itu di depanmu!"
Jupe membungkuk. Ditaruhnya sangkar itu di depan kakinya. Laki-laki
itu mendekat. Pistol masih diarahkan ke
Jupe. Ia membungkuk dan memeriksa sangkar itu.
"Bagus."
Laki-laki itu berdiri tegak kembali. Sekilas Jupe dapat melihat wajahnya
dengan jelas. Ia melihat jas hujan hitam
yang dipakai orang itu. Juga kaca mata gelap, dan jenggot hitam yang
menutupi hampir seluruh wajahnya. Parker
Frisbee!
"Sekarang berbalik dan telungkup di tanah!"
Untuk pertama kalinya Jupe sadar bahwa suara laki-laki itu rendah dan
dibuat-buat. Seakan-akan ia berbicara
dengan susah-payah. Ia juga ketakutan, seperti aku, dan dia berusaha
menyembunyikannya, pikir Jupe.
Laki-laki itu membuat gerakan mengancam dengan pistol di tangannya.
Jupe berbalik. Ia telungkup di tanah.
"Letakkan tanganmu ke belakang!"
Jupe menuruti. Lalu didengarnya suara cabikan. Seperti seseorang
merobek sehelai kain, pikirnya. Atau... atau
menarik pita perekat yang tebal. Ia menyadari bahwa dugaannya yang
terakhir yang benar, karena kini pergelangan
tangannya direkatkan dengan keras di belakang punggungnya.
Jupe tidak mencoba melawan. Ia sadar bahwa tidak ada gunanya
melawan orang yang bersenjatakan pistol.
Sekarang pergelangan kakinya diikat dengan pita perekat, sama eratnya
dengan ikatan pada tangannya.
Ia tertelungkup tidak bergerak-gerak sampai akhirnya terdengar suara
langkah laki-laki itu menjauh darinya. Sinar
lampu sebuah mobil menyorot di suatu tempat di belakangnya. Dengan
kaki dan tangan terikat, ia sulit mengangkat
kepalanya. Apalagi karena tubuhnya gemuk. Tapi dipaksakannya untuk
berguling sedikit. Dengan demikian ia dapat
melihat dengan lebih bebas. Ia mengintip ke arah datangnya sinar itu.
Mobil itu sudah bergerak. Gelapnya pelataran itu menyulitkan untuk
mengenalinya. Mobil itu meluncur sekitar dua
puluh meter dari tempat Jupe terbaring. Dalam sekejap mobil tadi
sudah sampai di luar dan menghilang dari
pandangan.
Jupe terbaring tak berdaya sambil menyesali diri. Seharusnya ia
menunggu Pete dan Bob, pikirnya. Tidak bijaksana
untuk berjalan seorang diri di pelataran parkir yang gelap di malam hari.
Dan mestinya sepedanya ditinggal di...
Ia mendengar suara sepeda dari pintu pelataran parkir. Lalu ada sorot
lampu sepeda.
"Pete," panggilnya. "Bob."
Sesaat kemudian kedua kawannya sudah berlutut di sampingnya,
membuka pita perekat yang mengikat pergelangan
tangan dan kakinya. Jupe berguling lalu duduk. Kedua tangannya terasa
kesemutan karena darah tidak mengalir
dengan lancar akibat ikatan pita perekat itu. Ia memijat-mijat
tangannya seraya bercerita pada kedua kawannya tentang
apa yang baru dialaminya.
Pete berdesis perlahan, "Ia punya pistol?"
"Sepanjang pengetahuanku, itulah yang tergenggam di tangannya," kata
Jupe seraya berdiri. "Tentu saja, aku tidak
meminta dia untuk membuktikan bahwa pistol itu terisi peluru. Jadi aku
tidak yakin apakah pistol itu berpeluru atau
tidak. Tapi aku tidak mau mengambil risiko sebesar itu." Ia
membersihkan debu yang melekat di celana dan bajunya.
"Kalian melihat sesuatu?" tanyanya.
"Sebuah mobil," sahut Bob. "Mobil hitam." Dahinya berkerut. Ia melepas
kaca matanya, dan membersihkannya
dengan sapu tangannya. "Lucu, tadinya kukira itu mobil Blinky. Aku
sempat melihat nomor mobilnya, yaitu MOK.
Seperti..."
"Seperti mobil hitam yang dikendarai Blinky di Kedai Kuda Laut waktu
itu," potong Jupe menyelesaikan kalimat
Bob. "Dan seperti..."
Ia tidak menyelesaikan kalimatnya karena tidak yakin benar. Samar-
samar ia ingat bahwa ada sebuah mobil hitam
yang lewat di depan mereka ketika mereka keluar dari toko perhiasan
Parker Frisbee. Waktu itu ia cuma
memperhatikannya sekilas. Nomor polisi mobil itu tidak diperhatikannya
benar. Tapi ia yakin bahwa salah satunya
ialah M.
"Jadi apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Pete. "Frisbee sudah
merampas Caesar dan..."
"Dan kalau Blinky muncul, apa yang harus kita bilang?" tanya Bob dengan
perasaan kuatir.
Jupe melirik arlojinya. Dua menit menjelang pukul sembilan. Ia masih
merasa sedikit terguncang karena ditodong
dengan pistol tadi.
"Kita tidak akan bilang apa-apa padanya," putus Jupe dengan ragu-ragu.
"Karena kita tidak menunggunya.
Sekarang sebaiknya kita kembali ke rumah masing-masing. Esok pagi
kita berkumpul lagi di kantor."
Anak-anak melompat menaiki sepeda. Mereka menggenjot pedal sepeda,
pulang ke rumah masing-masing.
Jupe susah tidur malam itu. Terlalu banyak persoalan memenuhi
kepalanya. Seperti yang telah dikatakan Pete,
Caesar telah dirampas dari mereka. Dan rencana untuk mengorek
keterangan dari Blinky gagal. Tidak ada kemajuan
yang dapat dilaporkan pada Maureen Melody. Mereka belum dapat
mengatakan pada Miss Melody bahwa pelaku
perbuatan itu ialah Parker Frisbee. Belum terbukti bahwa memang
Parker Frisbee yang melakukannya. Dan, yang
lebih parah lagi, Jupe tidak menemukan alasan yang masuk akal mengapa
Frisbee membunuh Edgar Allan Poe. Kalau
memang dia yang membunuhnya.
Kasus ini sepertinya lebih buruk dari yang diperkirakan semula. Harapan
satu-satunya hanyalah Blinky akan
menelepon lagi. Ia akan menanyakan mengapa mereka tidak menepati
janji malam itu.
Bab 8
TAMU DARI TIMUR
"INI Caesar, pasti," seru Pete. "Aku berani jamin. Lihat tanda-tanda
pada bulu ekornya. Selain itu, hanya Caesar
merpati yang mengenali kita. Ya kan, Caesar?"
Trio Detektif telah berkumpul di kantor mereka. Caesar kini sudah
berada dalam sangkarnya yang besar. Dengan
riang Caesar melompat-lompat dalam sangkar itu, sambil sesekali
mematuk jagung.
"Parker Frisbee merampasnya dari tanganku dengan menodongku
semalam." Penyelidik Satu menarik-narik bibir
bawahnya. "Dan beberapa jam kemudian ia mengembalikan dan
melepasnya di pangkalan ini. Mengapa? Mengapa?"
Bagi Jupe, seakan-akan kali ini banyak sekali hal-hal yang tidak
dimengerti. Lebih banyak dari yang pernah
dialaminya.
"Mungkin ia tidak mengembalikannya." Kaca mata Bob turun di
hidungnya. Ia mendorong untuk membetulkan
letak kaca matanya itu.
"Apa maksudmu?" tanya Pete pada Bob. "Caesar kan ada di sini
sekarang?"
"Buku tentang merpati," Bob menjelaskan. "Selama Perang Dunia II
mereka memakai merpati untuk membawa
pesan. Kalau tentara berpindah tempat, mereka harus menjaga agar
merpati yang dipergunakan juga mengenal tempat
baru itu. Dan mereka menemukan bahwa merpati yang terlatih dapat
menyesuaikan diri dengan tempat barunya dalam
dua atau tiga hari..."
"Jadi merpati itu akan kembali ke tempatnya yang baru, bukan ke
tempatnya yang lama." Jupe menyimpulkan.
"Kupikir kau benar, Bob. Mungkin Caesar bukanlah milik Parker Frisbee.
Barangkali Frisbee ingin mengembalikan
Caesar ke pemilik yang sebenarnya." Ia mengernyit. "Jangan tanya
sebabnya! Namun kalau itu yang diinginkannya,
cara yang paling mudah ialah dengan melepasnya dan berharap agar
Caesar pulang sendiri ke tangan pemiliknya."
"Ini bukan rumahmu kan, Caesar?" Pete mengelus-elus merpati itu
dengan jari-jarinya yang dimasukkan melalui
sela-sela kawat. "Tapi kau kembali ke sini. Aku senang sekali." Ia
berbicara dengan Caesar seolah-olah berbicara
dengan manusia.
"Jupiter! Jupiter!"
Suara Bibi Mathilda terdengar melalui pengeras suara. Jupiter sengaja
memasang mikrofon di luar agar dapat
mendengar suara orang di luar pada saat mereka berada dalam kantor
yang tersembunyi di balik tumpukan barang
rongsokan. Khususnya agar dapat mendengar panggilan bibinya.
"Jupiter. Bob. Pete. Di mana kalian?"
Jupiter menghela napas. Panggilan Bibi Mathilda cuma berarti satu-
bekerja. Ia selalu punya pekerjaan untuk
anak-anak. Jupe berharap kali ini bukan menyeleksi potongan-potongan
besi lagi. Mudah-mudahan Bibi Mathilda
hanya minta tolong untuk membantu melayani pengunjung pangkalan
pada hari Sabtu.
Trio Detektif keluar dari kantor mereka yang tersembunyi melalui
sebuah jalan yang mereka namakan Pintu Empat.
Jalan ini akan membawa mereka ke bagian belakang pangkalan. Sambil
berjingkat-jingkat mengelilingi tumpukan
barang bekas, anak-anak mendekati Bibi Mathilda dari belakang.
Bibi Mathilda terlompat kaget ketika Jupiter menyapanya dari
belakang.
"Ke mana saja kau?" katanya. "Aku tak pernah tahu di mana kalian
berada kalau sudah dalam pangkalan ini."
Jupe memasang muka siap untuk menerima pekerjaan.
"Apa pekerjaan kami kali ini?" tanyanya.
Namun kali ini Bibi Mathilda tidak memberikan pekerjaan buat anak-
anak.
kalau lagi mau. Dulu, salah satu peran favoritnya adalah menjadi anak
yang dungu. "Aku sama sekali tidak mengerti
apa yang dimaksud," lanjut Jupe lagi. Mulutnya dibiarkan melompong.
Dan matanya dibiarkan sayu. "Mutiara apa?
Lalu mengapa tidak ada mutiara? Setiap hari kan selalu ada mutiara.
Paling tidak di toko perhiasan."
Si penerjemah memasang senyumnya yang sopan.
"Sangat sederhana penjelasannya," ujarnya. "Temanku Kyoto seorang
tukang kebun. Ia punya kebun tidak jauh dari
kota ini. Dan ia menjual hasil kebunnya pada sebuah toko Jepang. Orang
toko ingin tahu tanaman apa yang dimiliki
Kyoto..."
Jupe mendengarkan dengan memasang tampang yang dibuatnya dungu.
Namun dengan sudut matanya ia bisa
melihat Bob menyelinap ke belakang mobil boks.
Bob berlutut. Ditempelkannya alat pembangkit sinyal di bagian belakang
bawah mobil.
"Jadi Kyoto mengirim pesan pada orang di toko melalui merpatinya,"
penerjemah itu melanjutkan. "Biasanya
pesan-pesan itu berbunyi, Banyak wortel hari ini. Atau, Banyak daun
seledri. Dengan demikian orang di toko tahu apa
yang harus dijualnya hari itu."
Bob telah kembali dari belakang mobil. Jupe melihat tangannya tidak
lagi menggenggam alat pembangkit sinyal.
"Oh, begitu," kata Penyelidik Satu. Suaranya diusahakan sepolos
mungkin. "Jadi Kyoto menanam mutiara juga?"
Si penerjemah terbahak-bahak.
"Mutiara yang dimaksud adalah bawang mutiara. Dinamakan begitu
karena bentuknya bulat dan mungil serta putih
seperti mutiara," ia menjelaskan. "Tidak ada mutiara hari ini berarti
tidak ada bawang mutiara hari ini."
"Oh, begitu. Terima kasih."
Bab 9
MR. FRISBEE YANG MISTERIUS
mereka berbelok, atau ketika jalan menurun. Namun hal itu tidak
membuat Jupe khawatir, sekalipun tidak terdengar
sinyal sama sekali untuk beberapa saat. Ia sudah memperoleh gambaran
ke mana mobil boks hijau itu menuju.
Pada daerah berbukit di sebelah barat laut Rocky Beach terdapat suatu
area yang dihuni rumah-rumah kayu dengan
halaman yang bersih dan rapi. Area itu dikenal dengan nama Little
Tokyo, karena hampir semua rumah di situ dimiliki
atau disewa oleh orang Jepang.
Jupe mengangkat tangannya ketika anak-anak memasuki Little Tokyo.
Trio Detektif berhenti. Beberapa ratus meter
di hadapan mereka diparkir sebuah mobil di muka sebuah rumah kayu.
Mobil boks hijau.
Jupe meminggirkan sepedanya ke trotoar. Bob dan Pete mengikutinya.
Mereka berlindung di balik pohon-pohon
yang berderet rapi di sepanjang jalan. Dari sana mereka dapat
mengamati mobil boks itu tanpa terlihat dari rumah.
"Oke," kata Pete. "Mungkin itu rumah tempat tinggal Kyoto, tapi
mungkin juga bukan. Lalu bagaimana sekarang?"
Jupe diam saja. Ia mengawasi mobil boks hijau itu. Seorang laki-laki
berjalan melewati mobil boks. Ia pasti keluar
dari rumah itu, tebak Jupe. Laki-laki tadi menyeberangi jalan. Ada
sebuah mobil kecil merah di sana. Dibukanya mobil
itu. Lalu ia mengendarainya.
"Itu tadi Kyoto?" Bob tidak yakin. Kedua orang Jepang itu tampak sama
saja bagi Bob.
"Bukan," sahut Jupe dengan pasti. "Itu penerjemahnya."
Bob memandang dengan heran pada Jupe. Ia tidak dapat menahan diri
untuk bertanya, "Bagaimana kau tahu?"
"Bagaimana tidak?" balas Jupe. "Segalanya berbeda. Lihat cara
jalannya, postur tubuhnya. Di samping itu, tidakkah
kau perhatikan ikat pinggang dan sepatu mengkilat yang dipakainya?"
Ternyata ia benar. Ada sebuah nama lain yang tertimpa cat putih. Nama
itu sudah tidak bisa terbaca lagi. Bob hanya
mengenali beberapa huruf saja. Sejak kapan nama itu diganti? Dengan
gerakan cepat, Bob mendekati kotak pos. Ia
menyentuhnya dengan ujung jarinya. Cat hitam pada nama baru masih
basah. Kyoto baru saja pindah ke rumah itu.
Bob merasa bangga pada dirinya sendiri, ia telah menemukan sesuatu.
Dan ia dapat menyimpulkannya sendiri.
Belum tentu Jupe dapat menemukan hal ini, pikirnya. Bob sudah tidak
sabar ingin melaporkan penemuannya ini pada
kedua kawannya.
Baru berjalan dua langkah, tahu-tahu ada seorang laki-laki datang
mendekatinya. Bob terdiam kaku. Melihat orang
itu, Bob serasa tidak dapat bergerak. Jantungnya berdegup kencang.
Tidak mungkin ia salah mengenali orang itu.
Jenggot selebat itu tidak dimiliki orang lain.
"He! He, kau!"
Parker Frisbee mengenalinya. Bob ingin berlari. Tapi ia tidak bisa
menggerakkan kakinya. Rasanya seperti
mendapat mimpi buruk. Ia kehilangan kontrol atas segala anggota
tubuhnya. Ia berdiri mematung di sana. Parker
Frisbee makin dekat.
Tamatlah riwayatku, pikir Bob. Frisbee memang tidak membawa tongkat
kayu. Tapi ia mungkin menyimpan
senjata di balik jasnya.
"Aku senang ketemu kau secara kebetulan." Frisbee berhenti semeter
dari Bob. "Sudah lama aku ingin berbincang-
bincang lagi dengan kalian."
Sukar untuk dilukiskan apakah pedagang permata itu tersenyum atau
tidak. Jenggotnya yang tebal
menyembunyikan mulutnya sama sekali. Namun saat itu Parker Frisbee
tidak memakai kaca mata hitam. Bob dapat
melihat sinar matanya yang-anehnya-hangat dan ramah.
Bab 10
PEMBUNUHAN MERPATI TERSINGKAP
Tidak satu pun dari Trio Detektif itu mengeluarkan suara selama
beberapa saat. Si beo muncul lagi dari kerimbunan
pohon, lalu hinggap di bahu Pete.
"Kejam," kata burung beo dengan nada tinggi. "Kejam. Kejam."
"Benar," kata Jupe menyetujui. "Tapi paling tidak kita tahu, siapa, atau
apa, yang membunuh si merpati berjari
dua."
"Dan apa yang menyebabkan seseorang meracuni rajawali," tambah Bob.
"Maksudku, mungkin agar rajawali itu
tidak memangsa burung-burung lainnya, terutama merpati pos."
"Benar." Jupe mengambil gulungan rambut dari saku bajunya. Diamat-
amatinya gulungan rambut itu. "Tapi kita
masih belum dapat menemukan siapa yang meracuni si rajawali. Atau
siapa yang memukul Edgar Allan Poe dengan
sebuah tongkat." Ia bangkit dari duduknya.
"Jejak kaki," katanya dengan penuh keseriusan. "Tadi malam hujan
lebat. Mesti ada jejak kaki di suatu tempat. Kita
saja yang belum berhasil menemukannya."
Ia melihat ke langit. "Cepat," serunya. "Masih ada sejam lagi sebelum
gelap. Sekarang kita berpisah lagi. Cari di
setiap jengkal tanah yang lunak."
"Kalau kita menemukan sesuatu," tanya Bob, "bagaimana kita
memberikan kode pada yang lain?"
"Nyanyikan lagu God Bless America sekeras-kerasnya," Jupe memberi
tahu.
Pete berlatih menyanyikan sebagian lagu itu supaya tidak lupa. Setelah
puas mendengar suaranya sendiri, ia
menyeringai lebar. Kemudian Trio Detektif berpencar ke dalam hutan
kecil, sekali lagi, untuk mencari jejak.
Pete yang berhasil menemukan jejak yang dicari-cari seperempat jam
kemudian. Dua jejak kaki yang masih jelas
tercetak pada jalan setapak yang lunak.
Ia berhenti. Diamat-amatinya kedua jejak itu.
Hari mulai gelap. Kicauan burung semakin sepi. Pete gelisah. Ia baru
sadar bahwa kini ia cuma seorang diri di
tengah-tengah hutan kecil.
Dicobanya untuk bernyanyi.
Ia tidak dapat mengingat nada-nada lagu itu. Tadi ia sudah melatih
bagian depannya di depan kawan-kawannya.
Tapi sekarang, dalam kesendirian, mendadak ia lupa.
"Godbless... " ia mencoba. Tidak, bukan begitu seharusnya. "God bless...
"
"God bless America," burung beo di bahunya tahu-tahu bernyanyi. Beo
itu menyanyikannya dengan tepat.
"Trims." Pete mengelus-elus si burung beo.
"God bless America, " Pete menyanyi dengan sekuat-kuatnya dan dengan
nada setinggi-tingginya.
Rupanya Jupe dan Bob berada tidak jauh darinya. Kurang dari semenit
mereka sudah berkumpul di tempat Pete.
Jupe memperhatikan jejak kaki yang panjang dengan ujung runcing.
Diambilnya lagi gulungan rambut dari saku
bajunya.
"Bagus, Pete," katanya. "Jelas itu bukan jejak Frisbee. Tadi pagi aku
perhatikan benar bagaimana bentuk sepatu
yang dipakainya. Kakinya kecil, dan sepatunya berujung agak lebar.
Jadi..." Diangkatnya gulungan rambut itu.
"Mungkin bukan Frisbee yang rambutnya tersangkut semak, lalu
ditemukan Ralph Waldo Emerson, si burung murai."
Ia berjalan di muka, ke luar hutan kecil, menuju tempat mereka
memarkir sepeda. Anak-anak berhenti di dekat
sepeda mereka. Lampu masih menyala di kamar atas rumah Maureen
Melody. Jupe menebak Miss Melody sedang
beristirahat di kamarnya dan tidak ingin diganggu.
"Kita langsung pulang saja," putusnya. "Saat ini kita kan belum punya
berita yang jelas. Kita masih mengira-ngira
saja sampai sejauh ini."
"Kau pikir itu jejak Blinky?" tanya Bob. Ia ingat Jupe pernah menyebut-
nyebut tentang sepatu lancip yang
dikenakan Blinky di Kedai Kuda Laut.
"Itu yang pertama kali muncul di pikiranku," Jupe menyetujui.
"Kecurigaanku yang kedua ialah bahwa seluruh
kasus ini berkaitan erat dengan misteri dalam diri Kyoto."
"Kenapa?" tanya Pete.
"Karena Kyoto-lah yang menulis pesan, Tidak ada mutiara hari ini." Jupe
mengangkat telunjuknya yang gemuk,
lalu mengangkat jari tengahnya. "Juga Kyoto-lah yang dikunjungi Parker
Frisbee di Little Tokyo kemarin." Ia
mengangkat jari manisnya, menunjukkan jumlah tiga. "Dan lagi Kyoto-lah
yang ditunggu-tunggu Blinky di Kedai
Kuda Laut."
"Hmm, masuk akal," kata Pete sambil manggut-manggut.
"Dan terima kasih pada Bob," Jupe melanjutkan, "karena kita bisa tahu
mengapa Blinky menunggu Kyoto.
Mengapa Blinky mengikutinya."
"Terima kasih kenapa?" Bob tidak mengerti apa yang dimaksud Jupe.
"Karena pengamatanmu yang cermat pada kotak pos Kyoto. Kau
menyimpulkan bahwa Kyoto baru saja pindah ke
situ karena cat kotak posnya masih baru. Jadi Blinky ingin tahu ke mana
ia pindah, dan di mana sekarang Kyoto
tinggal."
"Kenapa?" tanya Bob.
"Itulah yang akan kita temukan," kata Jupe. "Apa kaitan antara Blinky
dan Kyoto? Dan apa hubungan Kyoto
dengan mutiara?"
Ia termenung sejenak. "Kita harus membuntuti mobil boks hijau itu
lagi," putusnya. "Cuma itu petunjuk yang
bermanfaat yang kita punyai saat ini."
"Hidupkan saja alat penjejak kita," usul Pete.
Bab 11
RAHASIA KYOTO
mendatangi mobil boks. Pete sukar untuk memastikan. Itu Kyoto atau
penerjemahnya?
Kemudian ia baru ingat pada apa yang dikatakan Jupe tentang ciri-ciri si
penerjemah. Orang yang dilihatnya kini
tidak memiliki ciri-ciri itu. Jadi itu Kyoto. Ia membawa sebuah tempat
makan dari logam. Pakaiannya terbuat dari
semacam kain drill.
Pete menyiapkan sepedanya. Ia duduk pada sadelnya, siap untuk
berangkat sewaktu-waktu.
Kyoto tidak membuka pintu belakang mobil boks. Bahkan ia tidak melihat
ke dalamnya lewat jendela belakang. Ia
langsung masuk ke depan dengan membawa tempat makanannya.
Dikendarainya mobil boks hijau itu.
Di ujung jalan, mobil boks itu berputar, lalu melaju ke arah Pete. Cepat-
cepat Pete bersembunyi di balik sebuah
pohon bersama sepedanya.
Mobil boks itu melewatinya. Pete menghitung sampai sepuluh. Baru
setelah itu ia mulai mengayuh sepedanya.
Ia tidak menjumpai masalah dalam mengikuti mobil boks hijau, karena
jalan menurun menuju kota. Sesampainya di
Main Street ia menjaga jarak sampai mobil boks berbelok masuk ke
jalan menuju pantai.
Mobil boks mempercepat lajunya. Dengan bersemangat Pete mengayuh
pedal lebih kuat. Sepedanya meluncur
makin cepat. Tiga puluh, tiga puluh lima, empat puluh mil per jam.
Persneling sudah terpasang paling tinggi. Angin
menerpa mukanya dengan kencang, sehingga seluruh rambutnya tersibak
ke belakang. Ia memindahkan persneling
ketika menanjak menuju Kedai Kuda Laut. Setelah itu jalan turun lagi.
Tanpa mengayuh Pete sudah mencapai
kecepatan maksimal.
Beberapa menit kemudian ia melewati Wills Beach. Berkemah diizinkan
di sana, asalkan tidak membuat api
unggun. Ada beberapa tenda di pantai. Seorang gadis keluar dari tenda.
Gadis itu melambai pada Pete ketika Pete
ngebut melintasi jalan di pinggir pantai. Pete balas melambai. Ia makin
bersemangat memacu sepedanya.
Dua mil dari Wills Beach jalan berbelok menjauhi pantai. Pete melihat
ke arah laut. Pagi itu cerah, dan ombak laut
terlihat sangat menggiurkan baginya. Ah, kalau saja tidak harus
membayangi mobil boks hijau, Pete berangan-angan,
aku akan langsung terjun ke laut.
Tiba-tiba lampu rem mobil boks menyala.
Pete mengerem sepedanya. Ia duduk di sadelnya sambil memperhatikan
mobil boks yang berhenti.
Ia ingat betapa liatnya tubuh Kyoto. Kelihatannya ia jago karate. Pete
merasa ciut ketika memikirkan hal ini. Ingin
rasanya ia membiarkan mobil boks itu pergi, daripada kepergok oleh
orang Jepang yang bertubuh liat itu.
Mobil boks hijau jalan lagi. Mobil itu membelok ke kiri pada suatu
pertigaan.
Pete tidak mengira di situ ada jalan sempit menuju laut lagi. Dengan
hati-hati dikayuhnya sepeda mendekati
pertigaan. Jalan sempit itu berakhir pada sebuah pelataran parkir, tiga
puluh meter dari pertigaan. Di belakangnya
terpancang pagar berjeruji besi yang tinggi dan sebuah gerbang yang
kokoh. Sekelompok pondok kayu berdiri di balik
pagar besi itu.
Mobil boks hijau berhenti di pelataran parkir. Pete bersembunyi di balik
tetumbuhan di pinggir jalan. Dari situ ia
mengawasi gerak-gerik Kyoto. Kyoto keluar membawa kotak makannya.
Ia berjalan ke belakang mobil boks.
Orang Jepang itu membuka pintu belakang, masuk ke dalam, lalu
menutup kembali pintu itu dari dalam.
Beberapa menit lamanya ia tidak keluar-keluar lagi. Pete heran. Apa
yang dilakukannya di dalam mobil boks itu?
Berganti pakaian?
Tidak. Sewaktu keluar lagi Kyoto masih mengenakan pakaian yang sama.
Kyoto membawa kotak makanannya. Ia
berjalan ke arah gerbang.
Seseorang berpakaian seragam muncul dari salah satu pondok kayu.
Orang itu menyimpan senjata di pinggangnya.
Tapi ia bukan polisi. Mungkin petugas keamanan, pikir Pete. Orang itu
membuka gerbang. Kyoto melangkah masuk.
Si penjaga gerbang menutup dan mengunci gerbang kembali.
Pete bertiarap ketika ia mendengar suara dari belakangnya. Sebuah
truk datang dan membelok pada pertigaan itu,
memasuki jalan sempit. Ada dua orang Jepang di depan. Dua orang lagi
turun dari bak belakang ketika truk itu
berhenti di tempat parkir. Mereka semua membawa kotak makanan.
Keempat orang Jepang itu berjalan ke gerbang.
Mereka diperbolehkan masuk oleh penjaga gerbang.
Tempat apa ini? Pete tidak dapat membayangkan. Selain pondok-pondok
kayu itu, tidak ada lagi yang terlihat di
dalam. Di balik pagar hanya terlihat tanah datar yang membentang
sampai ke laut. Dan tanah itu kosong, tidak
ditumbuhi tanaman apa pun.
Baru kemudian Pete melihat sesuatu yang lain. Bukan hanya tanah yang
terdapat di sana, tetapi juga air. Ada
semacam danau buatan yang terpisah dari laut. Danau itu dipetak-petaki
dengan papan-papan kayu yang berada
beberapa sentimeter dari permukaan air.
Pete melihat orang-orang Jepang itu berpencar pada papan-papan kayu.
Mereka berjongkok di sana, lalu mulai
menarik sesuatu seperti kandang dari kawat. Pete tidak dapat melihat
jelas apa isi kandang itu. Yang terlihat cuma
orang-orang Jepang yang memeriksa isi kandang dengan teliti.
Pete sudah tidak tahu lagi yang mana Kyoto. Namun ia menghitung ada
lima orang Jepang. Jadi Kyoto mestinya
"Aku tadi berjalan-jalan ke sana," kata Pete sambil menunjuk. "Di sana
kulihat ada sebuah tempat yang dipagari
dan dijaga oleh orang-orang bersenjata. Tempat apa itu, ya?"
"Oh, aku malah belum pernah ke sana," orang itu menjawab. "Tapi
kudengar tempat itu dijadikan tempat
peternakan tiram. Seorang Jepang yang kaya membangunnya beberapa
tahun yang lalu. Ia menggali tanah di situ dan
mengisinya dengan air laut. Kudengar mereka beternak tiram di sana."
Saat itu Jupe dan Bob sampai di pompa bensin.
Jupe terengah-engah. Tubuhnya bersimbah peluh. Ia langsung memesan
minuman. "Air jeruk dingin," katanya.
Kemudian Pete mulai menceritakan semua yang dilihatnya. Sejak ia
mengawasi rumah Kyoto di Little Tokyo sampai
ia mengintai tempat yang dibatasi pagar tinggi berjeruji besi.
"Peternakan tiram," Jupe mengulangi sambil berpikir keras setelah Pete
selesai melapor. "Petugas keamanan.
Parker Frisbee. Paket kotak besar. Bagus kerjamu, Pete."
"Oh, ya?" Hidung Pete kembang kempis mendapat pujian dari pimpinan
Trio Detektif. "Tapi apa artinya semua
ini?"
Penyelidik Satu tidak menjawab. "Kita kembali ke sana untuk mengamati
apa yang terjadi kemudian," usul Jupe.
Trio Detektif bersepeda ke tempat peternakan tiram. Pete memimpin di
depan sebagai penunjuk jalan. Di balik
tetumbuhan di pertigaan itu mereka menyembunyikan sepeda. Mereka
sendiri mencari tempat yang strategis sehingga
dapat mengamati apa yang terjadi di balik pagar dengan jelas.
Jupe telah membawa teropongnya. Difokuskannya teropong itu pada
pekerja Jepang yang sedang sibuk memeriksa
kandang-kandang kawat.
"Benar, itu tiram," katanya. "Dalam kandang-kandang. Sulit untuk
melihat apa yang mereka lakukan terhadap
tiram-tiram itu. Tapi kelihatannya mereka membuka beberapa tiram."
besar! Parker Frisbee memakai kaca mata gelap di hutan kecil Miss
Melody dan di pelataran parkir dekat Bank Amco.
Keduanya pada malam hari. Tapi kaca mata gelap bukan hanya untuk
melindungi mata dari teriknya sinar matahari.
Kaca mata gelap dapat menutupi mata orang yang memakainya. Seperti
yang tadi dialami Pete. Ia tidak dapat
memastikan apakah mata Pete terbuka atau tertutup ketika memakai
kaca mata gelap.
Jupe memandang ke balik pagar besi. Orang-orang Jepang itu belum
keluar dari gerbang. Mereka menghilang di
dalam salah satu pondok kayu. Dan para penjaga juga tidak tampak lagi.
Ia berjongkok dan mengambil ancang-ancang. Lalu berlarilah ia
sekencang-kencangnya ke jalan sempit menuju
pelataran parkir.
Bob membuka matanya. Tidak ada siapa-siapa di sampingnya. Di mana
Jupe? Ke mana ia menghilang? Bob
melihat ke pelataran parkir. Dilihatnya Penyelidik Satu membuka pintu
belakang mobil boks Kyoto. Jupe masuk ke
dalamnya! Pintu belakang tertutup lagi.
"Oh, cari gara-gara dia!" Pete mengangkat kepalanya.
"Menurutmu apa yang diinginkannya?" Bob bertanya pada Pete.
"Maksudku, Jupe berharap kita melakukan apa?
Mungkinkah ia mau bersembunyi di belakang mobil boks Kyoto lalu ikut
pergi bersamanya? Atau apa?"
"Tak tahu, ya." Pete sama bingungnya dengan Bob. "Harusnya kalau mau
berbuat sesuatu, bilang-bilang dulu,
dong."
"Ya. Mestinya begitu. Tapi mungkin ia cuma menyelidiki mobil boks itu.
Kita tunggu saja. Kuharap ia bisa keluar
sebelum Kyoto..." Ia akan mengatakan, "Sebelum Kyoto memergokinya."
Tapi tidak nampak siapa pun. Ke mana
orang Jepang itu? Ke mana para penjaga?
Bab 12
RENCANAJUPE
pecahan kulit tiram tadi akan terluka. Tiram akan membalut luka tadi
sehingga terbentuklah mutiara."
"Oo, seperti perban, ya," kata Pete.
"Ya, semacam sistem pertahanan tubuh." Bob membaca catatannya
kembali. "Setelah enam tahun, mutiara sudah
terbentuk secara sempurna. Mutiara itu sudah dapat diambil untuk
dijual. Peternakan mutiara menjadi industri besar di
Jepang. Beberapa mutiara buatan harganya mencapai ratusan dolar."
"Mengapa disebut buatan?" tanya Pete. "Kan mutiara itu sendiri yang
membuatnya?"
"Ya, tapi kan dengan campur tangan manusia," sahut Bob. "Manusia yang
memulainya dengan memasukkan
sebutir pecahan kulit tiram. Kalau menunggu sampai sebutir pasir atau
sembarang benda keras masuk sendiri, wah
lama sekali baru terbentuk mutiara. Dan itu jadi untung-untungan
sifatnya."
"Jadi itulah sebabnya penjaga menggeledah para pekerja sebelum
mereka pulang," kata Pete sambil mengelus bulu
Caesar dalam kandangnya yang besar. "Supaya mereka tidak mencuri
mutiara. Begitu kan, Jupe?"
"Ya." Penyelidik Satu itu duduk santai di kursi goyangnya. "Tapi ingat,
pekerja tidak diperiksa ketika masuk. Itu
memunculkan ide di kepala Parker Frisbee dan Kyoto. Ide yang sangat
sederhana. Di situlah letak persoalannya.
Parker Frisbee menaruh seekor merpati pos di belakang mobil boks
Kyoto. Ketika sampai di peternakan tiram, Kyoto
menyelundupkan merpati itu dalam kotak makanannya."
Jupe membisu sejenak. Ia memandangi rotinya yang separuh lagi.
Didorongnya roti itu menjauh darinya.
"Kalau Kyoto menemukan mutiara yang indah dalam salah satu tiram hari
itu, ia menunggu sampai waktu makan
siang. Ketika waktu makan siang tiba, ia mengeluarkan merpati dari
kotak makanannya, lalu mengikatkan mutiara itu
potongan roti yang terakhir. "Dan Blinky pasti sudah tahu di mana Kyoto
tinggal. Tidak perlu ia menunggu di Kedai
Kuda Laut untuk menguntit Kyoto dalam mobil boks hijaunya."
Jupe berdiri. Ditelannya potongan roti terakhir, ia memandang Bob dan
Pete berganti-ganti. "Usulku, kita semua
minta izin pada orang tua untuk berkemah semalam di Wills Beach."
Ia tahu mereka tidak akan sulit mendapatkan izin itu. Trio Detektif
sudah sering berkemah di musim panas. Mereka
berjanji untuk berkumpul di pangkalan dua jam lagi. Jupe akan meminta
Hans, salah seorang pekerja yang membantu
Paman Titus, untuk mengantar mereka ke Wills Beach dengan truknya.
Sepeda dan kantung tidur mereka akan
diangkut di bak belakang truk.
"Besok pagi-pagi benar," kata Jupiter, "waktu Kyoto pergi ke
peternakan tiram dengan mobil boks hijaunya, kita
sudah siap."
"Siap apa?" tanya Pete. "Siap membuntutinya lagi?"
"Tidak, tidak," sahut Jupe cepat. "Sekali ini kita akan memecahkan
kasus ini, membuka misteri yang
menyelubunginya dengan cara yang sederhana dan praktis... tapi jitu!"
Matanya menjelajahi seluruh permukaan meja itu. Ia mencari separuh
roti yang disisakannya tadi. Tidak ada lagi
roti yang tersisa. Piringnya bersih licin. Ia tersentak ketika menyadari
bahwa sisa roti telah dihabiskannya tanpa
sengaja.
"Akan kita gunakan Caesar untuk menjebak Blinky!" serunya.
Bab 13
PENUKARAN BERBAHAYA
AKU tidak cocok untuk tidur di alam terbuka, Jupe menilai dirinya
sendiri ketika ia terbangun dalam kantung
Bab 14
NALURI CAESAR
"He, lihat," seru Pete. "Merpati itu langsung tahu jalan pulang ke
tempatnya."
Pete benar. Bagaikan roket, merpati itu melesat ke arah selatan.
Hampir dua jam kemudian Trio Detektif tiba di pangkalan barang bekas.
Mereka sempat mampir di pompa bensin
untuk mengambil kantung tidur mereka. Dengan membawa muatan
kantung tidur, perjalanan mereka bersepeda
menjadi lambat.
"Aduuh, dari mana saja kalian?" Begitu Bibi Mathilda menyambut
mereka. "Aku khawatir kalian seharian main di
pantai. Ini, Paman Titus beli sesuatu tadi..."
Paman Titus membeli sekotak besar sekrup bekas dalam berbagai
ukuran. Sekrup-sekrup itu harus dipilih dan
dipisahkan sesuai dengan ukurannya.
Jupe menghela napas. Tapi ia tidak kesal karena harus bekerja. Malah
ini suatu keuntungan baginya. Masih dua jam
sebelum tengah hari. Sambil memisahkan sekrup, mereka dapat
menghabiskan waktu tanpa terasa.
Anak-anak mulai bekerja dengan tidak sabar. Bukan tidak sabar
bekerja, tapi tidak sabar menunggu. Bolak-balik
mereka melihat ke langit. Kuping mereka terpasang, kalau-kalau ada
suara kepakan sayap burung.
Jam sebelas tiga puluh Paman Titus dan Bibi Mathilda pergi belanja.
Jupe tahu, biasanya mereka baru kembali
setelah jam dua. Anak-anak bebas berbuat apa saja di pangkalan itu.
Mereka mulai bekerja dengan santai, sesekali diselingi dengan bercanda.
Makin siang mereka makin santai bekerja.
Lewat tengah hari mereka duduk-duduk saja di meja kerja Jupe yang
terletak di bengkelnya. Kepala mereka
tertengadah. Menunggu.
Jupe sebentar-sebentar melihat jam tangannya.
Pete terlompat ketika mendengar suara kepakan sayap burung.
Seekor burung gereja lewat. Sambil tersipu-sipu Pete duduk kembali.
"Tentu saja, kita tidak tahu kapan tepatnya Kyoto melepas Caesar."
Jupe berbicara pada dirinya sendiri. "Mungkin
dia makan siang dulu, baru..."
Ia terhenti. Pete sudah berdiri lagi. Begitu pula Bob. Terlihat kini.
Seekor burung yang ramping dengan bulu abu-
abu mengkilat terbang di atas pangkalan.
"Caesar!" seru Pete sambil melambai pada merpati itu. "Caesar,"
panggilnya. "Caesar."
Caesar melihatnya. Burung itu menukik ke arah Pete. Sambil mengepak-
ngepak Caesar mendarat di tengah-tengah
meja kerja Jupe.
Pete yang pertama kali meraihnya. Ia mengangkat Caesar dengan kedua
tangannya. Ditempelkan merpati itu ke
pipinya.
"Caesar," bisiknya. "Kau pintar sekali, Caesar. Kau bisa pulang sendiri ke
sini."
Jupe meneliti kaki Caesar. "Wah," serunya kegirangan. "Lihat! Lihat!"
Dengan hati-hati ia melepas pita aluminium
dari kaki Caesar. Dibukanya lipatan pita aluminium itu. Ia mengambil
isinya. Ditunjukkannya apa yang diperolehnya
dari lipatan pita logam itu.
Sebutir mutiara besar berkilau-kilau.
"Ini dia buktinya!" seru Jupe lagi. Ia memegang mutiara itu dengan
jempol dan telunjuknya. "Teori kita tentang
Kyoto, Parker Frisbee dan merpati berjari dua ternyata benar dan..."
"Serahkan itu padaku!"
Suara itu datang dari suatu tempat di dalam pangkalan.
Trio Detektif menengok ke arah datangnya suara. Wajah mereka pucat
pasi.
Seorang laki-laki berdiri di antara tumpukan barang rongsokan. Ia
memakai kaca mata gelap serta jaket kulit hitam.
Sulit melihat wajahnya karena tertutup brewok serta kumis yang lebat.
Bab 15
LAPORAN PADA MR. SEBASTIAN
kosong. Kyoto sudah pindah. Blinky makin panik. Satu-satunya jalan ialah
dengan membuntuti Kyoto sewaktu ia
pulang dari bekerja. Waktu itu Blinky membawa merpati berjari dua.
Tapi ia begitu gugupnya sehingga merpati itu
tertinggal sewaktu ia membuntuti mobil boks hijau Kyoto."
"Itulah yang membuatku heran." Mr. Sebastian menyulut lagi pipanya.
Hidungnya berkerut ketika mencium bau
asap tembakau yang tidak sedap itu. "Apa yang dilakukan Blinky
kemudian? Buat apa ia menukar merpati berjari dua
dengan Caesar di pangkalan barang bekas?"
"Kami pun bingung," kata Jupe berterus terang. "Jawabannya baru kami
peroleh setelah Blinky
mengungkapkannya pada Chief Reynolds. Blinky mengikuti Kyoto ke
rumah barunya. Untuk lebih meyakinkan
dirinya, ia mengamat-amati rumah itu sampai malam. Tak lama kemudian
ia melihat Frisbee datang dan meletakkan
sangkar merpatinya di mobil boks Kyoto. Itu sama sekali di luar dugaan
Blinky. Tidak biasanya Frisbee menaruh
merpatinya pada hari itu. Dan itu memang suatu kebetulan, karena
sehari sebelumnya Kyoto mengambil cuti kerja.
"Padahal Blinky saat itu benar-benar panik. Ia butuh uang. Dan waktunya
mendesak. Karena itu ia nekat. Ia
menunggu sampai lampu rumah Kyoto padam. Lalu dicurinya merpati
Frisbee dari mobil boks. Sebelumnya ia sudah
menelepon pelayan Kedai Kuda Laut. Pelayan itu memberi tahu bahwa
kami membawa kotak yang ditinggalkannya.
Jadi Blinky pergi ke pangkalan barang bekas untuk mengambilnya."
"Dan ia tahu tempat tinggalmu dengan bertanya pada seseorang di
sekitar sini. Itu mudah sekali," kata Hector
Sebastian sambil mengepulkan asap dari mulutnya.
"Waktu itu Blinky kebingungan lagi," ujar Pete. "Dalam sangkar besar di
pangkalan ditemuinya merpati berjari
dua. Tapi, Caesar, merpati Frisbee, harus diapakan?"
"Blinky masih di dalam hutan kecil itu ketika kami pergi," kata Jupe. "Ia
melihat kami masih membawa Caesar.
Dan ketika mengikuti kami, ia menjadi ketakutan sekali. Karena kami
langsung menuju toko perhiasan Parker
Frisbee."
"Aku ingat, mobil hitam Blinky diparkir di tepi jalan waktu kami keluar
dari toko," kata Pete. "Waktu itu kami
masih tetap membawa Caesar."
"Blinky yang malang," komentar Mr. Sebastian. "Ia pasti kebingungan
sekali. Caesar adalah merpati milik Frisbee.
Tetapi kenapa kalian masih membawa-bawanya, pasti ia berpikir begitu."
"Frisbee tidak mengatakan apa-apa pada kami," kata Jupe. "Ia terlalu
cerdik untuk memberi tahu bahwa Caesar
adalah miliknya. Ia berpura-pura tidak tahu siapa pemilik Caesar. Dan
bahkan ia mencoba mengelabui kami dengan
mengatakan bahwa Caesar merpati betina dan merpati betina tidak
diikutsertakan dalam perlombaan."
"Ah, kalau saja Blinky secerdik itu," kata Mr. Sebastian, "ia akan mampu
bersandiwara dengan kepala dingin. Dan
itu akan membuat kasus ini lebih sulit untuk dipecahkan."
"Ia tidak dapat bersandiwara dengan baik. Terlalu gugup orangnya,"
kata Bob. "Ia ingin membuat kita curiga pada
Frisbee. Tapi di lain pihak ia ingin menenangkan Frisbee. Jadi ia
menyamar sebagai Frisbee lalu menodong Jupe di
Bank Amco. Caesar diambilnya dari Jupe dengan paksa. Blinky lalu
membebaskan Caesar dengan harapan Caesar
kembali sendiri ke tempat Frisbee. Jadi Frisbee tidak khawatir karena
kehilangan merpatinya."
"Ya. Blinky waktu itu mengelabuiku," Jupe mengakui. "Tapi itu wajar
saja. Bayangkan, pada jam sembilan malam
di tempat parkir Bank Amco yang gelap. Dan aku seorang diri. Aku
benar-benar mengira ia adalah Frisbee.
Brewoknya yang lebat membuatku tidak ragu lagi. Cuma Frisbee yang
punya brewok selebat itu. Begitu pula waktu
aku diserang di hutan kecil Miss Melody."
"Namun ternyata Blinky salah perhitungan," Bob mengingatkan. "Caesar
adalah burung merpati yang terlatih.
Caesar cepat menyesuaikan diri. Jadi setelah dilepas Blinky, Caesar
bukan kembali ke tempat Frisbee. Tetapi kembali
ke pangkalan barang bekas."
"Ya, aku sendiri tidak menduga bahwa Caesar secepat itu menyesuaikan
diri dengan lingkungannya yang baru,"
komentar Mr. Sebastian.
"Lalu, kapan kau sadar bahwa itu bukan Frisbee, Jupe?" tanya penulis
kisah misteri itu. "Apa yang
menyebabkanmu berpikiran bahwa itu mungkin Blinky yang sedang
menyamar?"
"Waktu kami menemukan jejak yang mirip dengan kaki Blinky di
kediaman Miss Melody kami sudah mulai
curiga," ujar Jupe. "Tapi aku harus berterima kasih pada Pete yang
memberikan ilham padaku. Ketika kami
mengamat-amati peternakan tiram siang itu, Pete memakai kaca mata
gelap. Tiba-tiba aku sadar. Aku tidak dapat
melihat mata Pete di balik kaca mata gelap itu. Itulah satu-satunya yang
tidak dapat disembunyikan Blinky. Matanya
yang selalu berkedip. Karena itu ia harus memakai kaca mata gelap
untuk menyembunyikannya. Sekalipun pada
malam hari."
Hector Sebastian mengambil pipanya. Hidungnya mengendus-endus.
"Dan bagaimana kabar Maureen Melody
sekarang?" tanyanya. "Ceria seperti murai, kuharap."
Pete tersenyum. "Ya. Sekarang tidak ada lagi yang meracuni rajawalinya.
Tapi ia benar-benar kehilangan Edgar
Allan Poe. Kini tidak ada lagi yang membawakan oleh-oleh mutiara
baginya. Miss Melody tidak mau tahu bahwa itu
Melihat kedua kawannya, air liur Jupe mengalir juga. Tapi ia ingat berat
badannya.
"Apa jagung ini membuat gemuk?" ia bertanya pada Van Don.
Hoang Van Don tertawa. "Sama sekali tidak, sekalipun kau makan
banyak. Tidak mengandung lemak. Pokoknya
sangat menyehatkan. Makanan asli selalu menyehatkan."
"Menyehatkan bagaimana?" tanya Jupe lagi. "Tampaknya makanan ini
sederhana sekali."
"Tidak percaya?" Van Don balas bertanya pada Jupe. "Lihat saja
burung-burung merpati itu. Mereka makan
jagung. Tidak ada yang kegemukan. Malah mereka kuat sekali terbang
jauh."
Jupe langsung mengisi piringnya penuh-penuh.
TAMAT