Anda di halaman 1dari 5

BAB IV

ANALISIS KASUS

Seorang anak laki-laki, MW, usia 16 tahun, datang ke IRD RSUP Moh Hoesin dengan
keluhan utama sesak napas dan keluhan tambahan sembab di wajah dan tungkai. Gejala
yang pertama kali dirasakan adalah batuk berdahak, demam (+) tidak terlalu tinggi sejak 2
minggu SMRS, penderita dibawa berobat ke bidan dan keluhan berkurang. Beberapa hari
kemudian, penderita mulai merasakan sesak nafas, sesak dipengaruhi oleh aktivitas dan
posisi. Penderita lebih nyaman dengan posisi duduk. Lalu 3 hari SMRS, penderita mengeluh
sembab di wajah dan tungkai. Disertai dengan keluhan BAK sedikit (+), BAK seperti teh tua
(+), BAK seperti cucian daging (-) BAB normal. Sebelumnya penderita tidak merasakan
keluhan apapun dan beraktivitas seperti biasa.
Tidak ada riwayat sakit ginjal, hipertensi dan sembab-sembab didalam keluarga.
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan dalam batas normal. pada penderita ini memiliki
riwayat asupan nutrisi dan pola aktivitas yang kurang baik.
Diagnosis banding pada anak laki-laki usia 16 tahun dengan keluhan utama sesak
nafas diantaranya adalah sesak yang diakibatkan oleh gangguan pada jantung, misalnya
penyakit gagal jantung, dimulai dari sesak nafas yang bisa disebabkan oleh penumpukan
cairan di paru yang menyebabkan terdengarnya ronkhi basah halus di kedua basal paru dan
keluhan batuk(+), hal ini disebabkan oleh gagal jantung kiri dan kanan sehingga terjadi
kongestif pada vena sistemik. Dan menyebabkan sesak napas dipengaruhi oleh posisi dan
aktivitas. Sesak nafas juga bisa merupakan akibat dari efek infeksi di ginjal yang
menyebabkan penurunan fungsi ginjal sehingga terjadi kongesti cairan akibat oliguria,
sehingga peningkatan tekanan preload dan menyebabkan decompensasi kordis.
Sesak napas juga bisa disebabkan oleh infeksi parenkim paru yang disebabkan oleh
infeksi kuman seperti pneumonia. Biasanya gejalanya disertai batuk dan demam tinggi.
Untuk mengetahui sebab sesak nafas diperlukan pemeriksaan penunjang Rontgen thorax dan
pemeriksaan paru lainnya. Oleh sebab itu dilakukan rontgen toraks dan tes Mantoux serta
cek sputum BTA.
Hasil rontgen toraks adalah Efusi Pleura Bilateral. Hasil tes mantoux didapatkan hasil
indurasi 0 mm, hasil negatif, dan hasil sputum BTA -/-/-. Sehingga diagnosis TB paru dapat
disingkirkan, sedangkan diagnosis Efusi pleura masih belum dapat disingkirkan.
MW juga memiliki keluhan tambahan edema. Diagnosis banding edema diantaranya
adalah sindroma nefritik akut, sindroma nefrotik, gangguan nutrisi/kwashiorkor, gangguan
hati dan gangguan jantung. Ciri edema perifer yang disebabkan oleh gangguan pada jantung,
misalnya penyakit gagal jantung, Edema oleh adanya gangguan pada hati, kwashiorkor, dan
malabsorpsi disebabkan oleh penurunan produksi albumin, Ciri edema adalah dimulai pada
penumpukan cairan di kavitas peritoneum/asites. Edema pada sindroma nefrotik terjadi
akibat kehilangan protein sehingga terjadi hipoalbumin dan menyebabkan edema perifer di
subkutan, dan khasnya edema dimulai dari palpebral, kemudian wajah, dan semakin lama
akan timbul asites dan edema tungkai. Edema pada sindrom nefritik akut merupakan akibat
dari kongesti cairan di intravaskuler, yang menyebabkan tekanan hidrostatik intravaskuler
meningkat dan menyebabkan cairan pindah ke interstisial.
Gejala yang timbul lainnya adalah BAK berwarna seperti teh tua dengan frekuensi
dan volume yang sedikit. Kemungkinan penderita mengalami hematuria pada kasus ini,
hematuria yang mikroskopik. Hematuria pada kasus MW mengarah pada sindroma nefritik
akut. Riwayat ada sakit batuk ±2 minggu SMRS disertai demam yang tinggi, dapat menjadi
pendukung diagnosis sinfroma nefritik akut yang disebabkan oleh infeksi streptokokus.
Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan laboratorium darah ASTO dan C3 C4 serta
urinalisa. Hasil laboratorium ASTO atau Anti-Streptolysin O menunjukkan hasil positif.
Sehingga diagnosis GNAPS (Glomerulonephritis Akut Pasca Streptokokus) dapat
ditegakkan.
Terapi non farmakologi yang diberikan dalam kasus An. MW adalah pengaturan diet
rendah garam, istirahat, dan pengaturan intake dan output. Pengaturan balans cairan pada
kasus MW dengan prinsip balans negatif, artinya output harus lebih banyak dibandingkan
dengan input, agar cairan dalam tubuh dapat berkurang.
Terapi farmakologi yang diberikan dalam kasus An. MW adalah pemberian cairan,
yaitu IVFD D5 ½ NS dengan kecepatan 10 tetes/menit (3/4 cairan maintenance). Antibiotik
yang diberikan yaitu chlorampenicol 3x1gr dan amoxiclav 3x1 caps. Obat anti hipertensi,
yang diberikan adalah captopril dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB diberikan 2 kali 12,5 mg
dalam sehari. Diuretik yang diberikan adalah furosemide dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 2 dosis menjadi 2x40 mg. Diet pada sindroma nefritik akut yaitu retriksi garam
0,5-1 mg/kgBB.
Pada pasien GNAPS yang perlu dilakukan pengawasan adalah tanda-tanda vital
terutama tekanan darah, lingkar perut setiap pagi untuk mengetahui efektifitas terapi
diuretik, lakukan perhitungan keseimbangan cairan per 6/12 jam dengan prinsip hasil negatif
guna mengurangi cairan dalam tubuh serta selalu memantau keseimbangan elektrolit dengan
melakukan pemeriksaan laboratorium.
Prognosis quo ad vitam pada kasus An. MW adalah dubia ad bonam, quo ad
functionam adalah dubia ad bonam, dan quo ad sanationam adalah dubia ad bonam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Messina LM, Pak LK, Tierney LM.. Glomerulonephropathies. In: Tierney LM, McPhee SJ,
Papadakis MA, editors. 2004. Lange current medical diagnosis & treatment. 43rd ed.
Philadelphia: Lange Medical Books/McGraw Hill.p.882-90.
2. Brady HR, O.Meara YM, Brenner BM. Glomerular disease. In: Dennis LK, Fauci AS,
Branwald E, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. 2005. Harrison.s principles of
internal medicine, 16th ed. New York: Mc Graw Hill;.p.1674-88.
3. Enday S. 1997. Nefrologi klinik, edisi II. Bandung: ITB.p.145-63.
4. Kumar V, Cotran R.S, dan Robbins S.L., 2007. Buku Ajar Patologi Ronnins. Edisi 7 Volume
2. Jakarta: EGC.
5. Travis L. Acute poststreptococcal glomerulonephritis.
(http://www.eMedicineacutepoststreptococcalglomerulonephritis).
6. Bhima R. 2001., Acute Poststreptococcal Glomerulonephritis.
(http://emedicine.medscape.com/article/980685-overview#a0104).
7. Price S, Wilson L, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed 6. Jakarta: EGC
8. Lambanbatu S., 2003. Glomerulonefritis Akut Pasca Infeksi Streptococcus pada Anak.
(http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/5-2-4.pdf).
9. Dugdale D. Acute Nephritic Syndrome. Available at
(http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000495.htm)
10. Geetha D. Glomerulonephritis, Poststreptococcal.
(http://www.eMedicineglomerulonephritispoststreptococcal).
11. Maureen H. Acute poststreptococcal glomerulonephritis. Available from:
(http://www.lifesteps.com/gm/atoz/ency/acute_poststreptococcal_glomerulonephritis.jsp).
12. Vinen CS, Oliveira DBG. 2003. Acute glomerulonephritis. Postgraduated Medical Journal.
79:206-13.
13. Noer MS. 2002. Glomerulonefritis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. h. 345-53.
14. White AV, Hoy AW, McCredie DA. 2001. Chilhood poststreptococal glomerulonephritis as
a risk factor for chronic renal disease in later life. MJA. 174:492- 631.
15. Smith JF. Acute poststreptococcal glomerulonephritis. (http://www.chclibrary.org/)
16. Fransisco L. 1993. Papper.s clinical nephrology. 3rd ed. Boston: Little,Brown and Company
Inc. p.142-50.
17. Tomson CRV. 1997. Key topics in renal medicine. Oxford: BIOS Scienti!c Publisher
Limited.p.139-43.
18. Glassock RJ, Cohen AH, Adler SG. 2000. Primary glomerular diseases. In: Brenner B,
Rector F, editors. The kidney. 6th ed. Philadelphia: WB Saunders Co;.p.1392-402.
19. Rena,A Suwitra K. Case Report : Seorang Penderita Sindrom Nefritis Akut Pasca Infeksi
Streptococcus.
(http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/seorang%20penderita%20sindrom%20nefritis%20
kut%20pasca.pdf).
20. Schwartz, M.W. 1996. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta:EGC
21. Rodriguez-Iturbe B. 2000. Postinfectius glomerulonephritis. Am J Kidney Dis;35(1):46-8.
22. Krause V, Johnson F, Kearns T, 2010. Northern Teritory Guidelines for Acute Post-
Streptococcal Glomerulonephritis.
(http://www.health.nt.gov.au/library/scripts/objectifyMedia.aspx?file=pdf/10/84.pdf&siteID=
1&str_title=Acute%20PostStreptococcal%20Glomerulonephritis.pdf).
23. Ponticelli C. 1999. Can prolonged treatment improve the prognosis in adults with focal
segmentalglomerulosclerosis? Am J Kidney Dis;34:618.

Anda mungkin juga menyukai