Anda di halaman 1dari 57

SKENARIO 2

TRAUMA PADA KEPALA

Perempuan berusia 25 tahun dibawa ke UGD RS dengan penurunan kesadaran setelah


tertabrak motor saat menyebrang jalan 2 jam yang lalu. Sesaat setelah ditabrak pasien
pingsan. Dalam perjalanan ke RS pasien sempat tersadar sekitar 10 menit, kemudian
mengeluh nyeri kepala, muntah dan kembali tidak sadar. Keluar darah dari hidung dan
telinga.

Tanda Vital
Airway : terdengar bunyi snoring
Breathing : frekuensi nafas 10x/menit
Circulation : tekanan darah 160/90 mmHg, frekuensi nadi 40x/menit

Wajah
Terlihat adanya brill hematoma
Trauma di daerah sepertiga tengah wajah, pada pemeriksaan terlihat adanya cerebrospinal
rhinorrhea, mobilitas dari maxilla, krepitasi dan maloklusi dari gigi.

Hidung
Inspeksi : adanya edema atau deformitas pada hidung tidak ada
Palpasi : terdapat krepitasi pada hidung
Pemeriksaan fisik menggunakan rinoskopi anterior : terdapat clothing perdarahan aktif tidak
ada, tampak laserasi di septum dan konka inferior

Telinga
Liang telinga : lapang, terdapat laserasi, clothing (+), tidak terdapat perdarahan aktif dan
membran timpani utuh

Status Neurologi
GCS E1 M1 V1, pupil : bulat, anisokor, diameter 5 mm/3 mm, RCL -/+, RCTL -/+, kesan
hemiparesis dekstra, reflex patologis Babinsky +/-

1
KATA SULIT

1. Cerebrospinal Rhinorhea : Sekresi cairan cerebrospinal melalui hidung.


2. Snoring : Proses bergetarnya struktur pernafasan yang
menghasilkan suara mendengkur.
3. Malokusi : Sejenis malposisi dan kontak antar gigi maksilar dan
mandibula sedemikian rupa sehingga sering
menggangu gerakan menggiling pada rahang.
4. Brill Hematoma : Gambaran hitam akibat pecahnya arteri oftalmica
dikarenakan ada fraktur basis cranii.
5. Anisokor : Ketidaksamaan diameter pada kedua pupil.

2
PERTANYAAN

1. Kenapa abis sadar pasien pingsan lagi ?


2. Kenapa terdapat refleks muntah ?
3. Kenapa terjadi malokusi gigi, krepitasi dan mobiliditas maxilla ?
4. Apa yang menyebabkan kesan hemiparesis dextra ?
5. Mengapa keluar darah dari hidung dan telinga ?
6. Kenapa terdengar snorling ?
7. Apa diagnosis dari kasus ini ?
8. Bagaimana penanganan pertama ?
9. Kenapa tekanan darah naik tetapi nadi rendah ?
10. Apa pemeriksaan penunjang ?
11. Penyebab pupil anisokor ?
12. Kenapa RCL dan RCTL kanan (-) kiri (+) ?
13. Reflek patologis babinsky kanan (+) kiri (-) ?

3
JAWABAN

1. Adanya gangguan kordinasi pada bagian gangguan kesadaran pada otak kecil
(cerebellum) dikarenakan adanya perdarahan sehingga terganggu kordinasinya.
2. Karena peningkatan tekanan intrakranial.
3. Karena ada fraktur os. Maxilla.
4. Karena terdapat trauma yang menyebabkan perdarahan yang mendesak otak.
5. Karena terdapat adanya trauma yang menyebabkan perdarahan yang mendesak otak.
6. Karena adanya hambatan jalan nafas disebabkan oleh lidah menutup rongga (jatuh
kebelakang).
7. Fraktur basis cranii, cedera kepala berat, perdarahan intrakranial.
8. Penanganan pertama : A (Airway Joutrash), B (Breathing  Oksigenasi), C
(Circulation  Resusitasi Cairan, menutup perdarahan).
9. Tekanan darah meningkat  Syok  dengan jantung berkompensasi dengan
peningkatan tekanan darah  tekanan darah meningkat  pembuluh darah
berkompensasi  vasokontriksi  frekuensi nadi rendah  karena banyak aliran
darah dari tubuh.
10. CT Scan dan MRI.
11. Karena terdapat trauma yang menyebabkan perdarahan yang mendesak otak.
12. Karena terdapatnya adanya trauma yang menyebabkan perdarahan yang mendesak
otak.
13. Karena terdapat trauma yang mendesak perdarahan yang mendesak otak.

4
HIPOTESIS

Fraktur yang mengakibatkan perdarahan kemudian terjadi tekanan intracranial yang


meninggi. Ketika tekanan intracranial tinggi maka akan mengalami muntah dan nyeri kepala
serta terdapat trias cushing yaitu hipertensi dengan jarak sistol dan diastole jauh, bradikardi,
dan depresi pernapasan. Sadar sesaat karena ada interval lucid yang khas pada epidural
hematoma. Dari fraktur tersebut terjadi gangguan autoregulasi, terdapat kompensasi dari
tekanan darah yang meningkat karena mengutamakan aliran darah ke otak. Di diagnosis
sebagai Cedera kepala berat dengan Fraktur basis cranii dan Fraktur wajah. Pada pertolongan
pertama dilakukan ABC (Airway, Breathing & Circulation). Dengan prognosis yang
kemungkinan buruk.

5
SASARAN BELAJAR

1. Memahami dan Menjelaskan dari Cedera Kepala.


1.1.Menjelaskan Definisi dari Cedera Kepala.
1.2.Menjelaskan Etiologi dari Cedera Kepala.
1.3.Menjelaskan Patofisiologi dari Cedera Kepala.
1.4.Menjelaskan Manifestasi Klinis dari Cedera Kepala.
1.5.Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding dari Cedera Kepala.
1.6.Menjelaskan Tatalaksana dari Cedera Kepala.
1.7.Menjelaskan Komplikasi dari Cedera Kepala.
1.8.Menjelaskan Prognosis dari Cedera Kepala.

2. Memahami dan Menjelaskan dari Fraktur Basis Cranii.


2.1.Menjelaskan Definisi dari Fraktur Basis Cranii.
2.2.Menjelaskan Etiologi dari Fraktur Basis Cranii.
2.3.Menjelaskan Epidemiologi dari Fraktur Basis Cranii.
2.4.Menjelaskan Patofisiologi dari Fraktur Basis Cranii.
2.5.Menjelaskan Manifestasi Klinis dari Fraktur Basis Cranii.
2.6.Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding dari Fraktur Basis Cranii.
2.7.Menjelaskan Tatalaksana dari Fraktur Basis Cranii.
2.8.Menjelaskan Komplikasi dari Fraktur Basis Cranii.
2.9.Menjelaskan Prognosis dari Fraktur Basis Cranii.
2.10. Menjelaskan Pencegahan dari Fraktur Basis Cranii.

3. Memahami dan Menjelaskan dari Perdarahan Intrakranial.


3.1.Menjelaskan Definisi dari Perdarahan Intrakranial.
3.2.Menjelaskan Etiologi dari Perdarahan Intrakranial.
3.3.Menjelaskan Klasifikasi dari Perdarahan Intrakranial.
3.4.Menjelaskan Manifestasi Klinis dari Perdarahan Intrakranial..
3.5.Menjelaskan Tatalaksana dari Perdarahan Intrakranial.
3.6.Menjelaskan Komplikasi dari Perdarahan Intrakranial.
3.7.Menjelaskan Prognosis dari Perdarahan Intrakranial.
3.8.Menjelaskan Pencegahan dari Perdarahan Intrakranial.

4. Memahami dan Menjelaskan dari Leofort III.

5. Memahami dan Menjelaskan dari Trias Cushing.

6. Memahami dan Menjelaskan dari Fraktur Os. Nasal.


6.1.Menjelaskan Definisi dari Fraktur Os. Nasal.
6.2.Menjelaskan Etiologi dari Fraktur Os. Nasal.
6.3.Menjelaskan Klasifikasi dari Fraktur Os. Nasal.
6.4.Menjelaskan Manifestasi Klinis dari Fraktur Os. Nasal.
6.5.Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding dari Fraktur Os. Nasal.

6
6.6.Menjelaskan Tatalaksana dari Fraktur Os. Nasal.
6.7.Menjelaskan Komplikasi dari Fraktur Os. Nasal.
6.8.Menjelaskan Prognosis dari Fraktur Os. Nasal.
6.9.Menjelaskan Pencegahan dari Perda Fraktur Os. Nasal.

7
SASARAN BELAJAR

1. Memahami dan Menjelaskan dari Cedera Kepala.


1.1.Menjelaskan Definisi dari Cedera Kepala.
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain
Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala,
bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan
atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik
(Langlois, Rut land-Brown, Thomas, 2006).

1.2.Menjelaskan Etiologi dari Cedera Kepala.


Hampir semua cedera otak traumatik disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas,
akibat peristiwa yang berhubungan dengan aktivitas olehraga, dan akibat
tindakan kekerasan. Penyebab yang paling sering dari cedera kepala tertutup
adalah kecelakaan lalu lintas, dimana hal ini meliputi cedera yang terjadi pada
penumpang kendaraan bermotor, pejalan kaki, pengendara motor, dan
pengendara sepeda. Penyebab yang lainnya adalah akibat terjatuh. Cedera akibat
luka tembak merupakan penyebab utama dari cedera kepala penetrasi di Amerika
Serikat dan terhitung sebanyak 44% dari semua kasus cedera kepala. Dewasa
muda merupakan orang yang paling sering terlibat dalam kecelakaan lalu lintas
(umur 5-64 tahun), tetapi populasi ini memiliki sedikit insiden dari lesi massa
intrakranial. Sedangkan pasien berumur tua (65 tahun atau lebih) paling sering
mengalami cedera akibat terjatuh dan memiliki insiden yang tinggi dari lesi
massa intrakranial. Intoksikasi alkohol dan obat-obatan lainnya merupakan faktor
yang signifikan sebagai penyebab cedera dan tersebar hampir sama pada semua
kelompok umur, kecuali pada umur sangat muda dan sangat tua.

Tabel 1. Penyebab cedera kepala

Jenis cedera Mekanisme


Coup dan countrecoup Objek yang membentur bagian depan (coup) atau bagian
belakang (countrecoup) kepala; objek yang membentur
bagian samping kepala (coup atau countrecoup); kepala yang
mengenai objek dengan kecepatan rendah

Hematom ekstradural Kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, kecelakaan saat olahraga

Hematom subdural Kecelakaan lalu lintas atau terjatuh, khususnya pada orang
berusia tua atau orang dengan penyalahgunaan alkohol yang
kronik

Perdarahan Kontusi yang disebabkan oleh gaya dengan kekuataan yang


intracerebral besar, biasanya akibat kecelakaan lalu lintas atau terjatuh
dari jarak yang jauh
Fraktur campuran Objek yang mengenai kepala dengan kekuatan yang besar

8
atau kepala yang membentur objek dengan sangat kuat;
fraktur tulang temporal, fraktur tulang occipital, dampak ke
arah atas dari vertebra cervical (fraktur dasar tulang
tengkorak)

Cedera penetrasi Misil (peluru) atau proyektil yang tajam (pisau, pemecah es,
kapak, baut)

Cedera aksonal difus Kepala yang sedang bergerak dan membentur permukaan
yang keras atau objek yang sedang bergerak membentur
kepala yang dalam kondisi diam; kecelakaan lalu lintas (saat
kerja atau pejalan kaki); gerakan kepala memutar

1.3.Menjelaskan Patofisiologi dari Cedera Kepala.


Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-
deselerasi gerakan kepala ( Gennarelli, 1996 dalam Israr dkk, 2009 ).
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan
pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan
pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area
benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat
gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut
dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi
linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis
adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi
rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah,
bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup,
countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi
yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup ( Mardjono dan
Sidharta, 2008 ).

9
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr
dkk,2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus
pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade,
yang efeknya merusak otak.
Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah
cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon
dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya
glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan
perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya
kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel
fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang
konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera
metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan
sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan
iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak ( Lombardo, 2003 ).

1.4.Menjelaskan Manifestasi Klinis dari Cedera Kepala.

Berdasarkan mekanisme terjadinya :


a. Cedera kepala tumpul
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,
jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan
decelerasi yang menyebabkan otak bergerak di dalam rongga kranial dan
melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak.

b. Cedera tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.

Berdasarkan morfologi cedera kepala:


a. Luka pada kepala:
 Laserasi kulit kepala
Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar
yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang
kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak
mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan
yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.

 Luka memar (kontusio)


Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan
dimanapembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke

10
jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna
merah kebiruan.

 Abrasi
Luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini tidak sampai
pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak
ujung-ujung saraf yang rusak.

 Avulsi
Apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian masih
berhubungan dengan tulang kranial. Intak kulit pada kranial terlepas
setelah kecederaan.

b. Fraktur tulang kepala


 Fraktur linier
Fraktur dengan bentuk garis tunggal. Fraktur linier dapat terjadi jika gaya
langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak
menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat fraktur yang masuk
ke dalam rongga intrakranial.

 Fraktur diastasis
Jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak yang menyebabkan
pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Pada usia dewasa sering terjadi pada
sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.

 Fraktur kominutif
Jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu fragmen dalam
satu area fraktur.

 Fraktur impresi
Fraktur ini terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung
mengenai tulang kepala. Dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada
durameter dan jaringan otak.

 Fraktur basis cranii


Berdasarkan tingkat keparahan :
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera otak. Menurut Brain Injury Association of
Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari
Traumatic Brain Injury yaitu :

11
1.5.Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding dari Cedera Kepala.
1. Anamnesis
Sedapatnya dicatat apa yang terjadi, dimana, kapan waktu terjadinya
kecelakaan yang dialami pasien. Selain itu perlu dicatat pula tentang
kesadarannya, luka-luka yang diderita, muntah atau tidak, adanya kejang.
Keliarga pasien ditanyakan apa yang terjadi.

2. Pemeriksaan fisik umum


Pada pemeriksaan fisik dicatat tanda-tanda vital : kesadaran, nadi, tensi darah,
frekuensi dan jenis pernapasan serta suhu tubuh. Tingkat kesadaran dicatat
yaitu kompos mentis (kondisi segar bugar), apatis, somnolen (ngantuk), sopor
(tidur), soporokomo atau koma. Selain itu ditentukan pula Skala Koma
Glasgow sebagai berikut:

Respo 0-1 tahun


≥1 tahun
n Mata
4 Membuka mata spontan Membuka mata spontan
3 Membuka mata dengan Membuka mata oleh tarikan
perintah
2 Membuka mata oleh nyeri Membuka mata oleh nyeri
1 Tidak membuka mata Tidak membuka mata
Respo 0-1 tahun
n
≥1 tahun
motori
k
6 Mengikuti perintah Belum dapat dinilai
5 Melokalisasi nyeri Melokalisasi nyeri
4 Menghindari nyeri Menghindari nyeri
3 Fleksi abnormal (decorticasi) Fleksi abnormal (decorticasi)
2 Ekstensi abnormal Ekstensi abnormal (deserebrasi)
(deserebrasi)
1 Tidak ada respon Tidak ada respon
Respo
 5 tahun 2 – 5 tahun 0 - 2 tahun
n

12
verbal
5 Orientasi baik dan Menyebutkan kata – Menangis kuat
mampu kata yang sesuai
berkomunikasi
4 Disorientasi tapi Menyebutkan kata – Menangis lemah
mampu kata yang tidak sesuai
berkomunikasi
3 Menyebutkan kata Menangis dan menjerit Kadang – kadang
– kata yang tidak menangus/menjerit
sesuai (kasar, lemah
jorok)
2 Mengeluarkan Mengeluarkan suara Mengeluarkan suara
suara lemah lemah
1 Tidak ada respon Tidak ada respon Tidak ada respon

Pemeriksaan Skala Koma Glasgow tidak dapat dilakukan bila kedua mata
tertutup, misalnya bila kelopak mata membengkak. Rangsangan nyeri untuk
menimbulkan respon motorik dilakukan dengan menekan pertengahan
sternum dengan kapitulum metakarpal (telapak tangan) pertama jari tengah.
Bila ada tetraplegi tentu tes ini tidak akan berguna.

3. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah
abnormal.Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan
terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya
bisa merupakan akibat dari cedera kepala. Penilaian ukuran pupil dan
responnya terhadap rangsangan cahaya adalah pemeriksaan awal terpenting
dalam menangani cedera kepala. Salah satu gejala dini dari herniasi dari lobus
temporal adalah dilatasi dan perlambatan respon cahaya pupil. Dalam hal ini
adanya kompresi maupun distorsi saraf okulomotorius sewaktu kejadian
herniasi tentorial unkal akan mengganggu funsi akson parasimpatis yang
menghantarkan sinyal eferen untuk konstrksi pupil.Perubahan pupil pada
hematom epidural dapat dilihat dari tabel

Gerakan bola mata merupakan indeks penting untuk penilaian aktiffitas


fungsional batang otak (formasio rektikularis). Penderita yang sadar penuh

13
(alert) dan mempunyai gerakan bola mata yang baik menandakan intaknya
sistem motorikokuler di batang otak. Pada keadaan kesadaran yang menurun,
gerakan bola mata volunter menghilang, sehingga untuk menilai gerakannya
ditentukan dari refleks okulosefalik dan okulovestibuler.

4. Pemeriksaan Neurologis
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis
lengkap seperti biasanya. Pada pasien yang berada dalam keadaan koma hanya
dapat dilakukan pemeriksaan obyektif. Pemeriksaan neurologis dilaksanakan
terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus,kekuatan, koordinasi, sensasi
dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.
Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda perangsangan
meningens, yang berupa tes kaku kuduk yang hanya boleh dilakukan bila
kolumna vertebralis servikalis (ruas tulang leher) normal. Tes ini tidak boleh
dilakukan bila ada fraktur atau dislokasi servikalis. Selain itu dilakukan
perangsangan terhadap sel saraf motorik dan sarah sensorik (nervus kranialis).
Saraf yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai saraf 12, yaitu :
a. nervus I (nervus olfaktoris)
b. nervus II (nervus optikus)
c. nervus III (nervus okulomotoris)
d. nervus IV (troklearis)
e. nervus V (trigeminus)
f. nervus VI (Abdusens)
g. nervus VII (fasialis)
h. nervus VIII (oktavus)
i. nervus IX (glosofaringeus)
j. nervus X (vagus)
k. nervus XI (spinalis)
l. nervus XII (hipoglosus)
nervus spinalis (pada otot lidah) dan nervus hipoglosus (pada otot belikat)
berfungsi sebagai saraf sensorik dan saraf motorik

5. Analisa gas darah untuk mengetahui masalah ventilasi dan oksigenasi akibat
peningkatan tekanan intracranial.

6. Pemeriksaan radiologis, yang berupa:


a) Foto Rontgen polos
Pada trauma kapitis perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna
vertebralis servikalis. Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan. Bila
lesi terdapat di daerah oksipital, buatkan foto anterior-posterior dan bila
lesi pada kulit terdapat di daerah frontal buatkan foto posterior-anterior.
Bila lesi terdapat pada daerah temporal, pariental atau frontal lateral kiri,
film diletakkan pada sisi kiri dan dibuat foto lateral dari kanan ke kiri.
Kalau diduga ada fraktur basis kranii, maka dibuatkan foto basis kranii
dengan kepalamenggantung dan sinar rontgen terarah tegak lurus pada
garis antar angulus mandibularis (tulang rahang bawah). Foto kolumna
vertebralis servikalis dibuat anterior-posterior dan lateral untuk melihat
adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos tengkorak mungkin dapat
ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi. Tekanan intrakranial yang
tinggi mungkin menimbulkan impressions digitae.

14
b) Compute Tomografik Scan (CT-Scan)
CT Scan untuk menentukan hemoragi, ukuran ventrikel, pergeseran
jaringan otak. CT-Scan diciptakan oleh Hounsfield dan Ambrose pada
tahun 1972. Dengan pemeriksaan ini kita dapat melihat ke dalam rongga
tengkorak. Potongan-potongan melintang tengkorak bersama isinya
tergambar dalam foto dengan jelas.43 Indikasi pemeriksaan CT-Scan pada
penderita trauma kapitis:
o GCS < 15 atau terdapat penurunan kesadaran
o Trauma kapitis ringan yang disertai dengan fraktur tulang
tengkorak
o Adanya tanda klinis fraktur basis kranii
o Adanya kejang
o Adanya tanda neurologis fokal
o Sakit kepala yang menetap.

c) MRI (Magnetic Resonance Imaging) MRI dapat memberikan foto


berbagai kelainan parenkim otak dengan lebih jelas. Beberapa keuntungan
MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : lebih baik dalam menilai
cedera sub-akut, termasuk kontusio, shearing injury, dan sub dural
hematoma, lebih baik dalam menilai dan melokalisir luasnya kontusio dan
hematoma secara lebih akurat karena mampu melakukan pencitraan dari
beberapa posisi, dan lebih baik dalam pencitraan cedera batang otak.
Sedangkan kerugian MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu :
membutuhkan waktu pemeriksaan lama sehingga membutuhkan alat
monitoring khusus pada pasien trauma kapitis berat, kurang sensitif dalam
menilai perdarahan akut, kurang baik dalam penilaian fraktur, perdarahan
subarachnoid dan pneumosefalus minimal dapat terlewatkan.

d) Angiografi
Angiografi untuk menunjukkan kelainan sirkulasi cerebral seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.

1.6.Menjelaskan Tatalaksana dari Cedera Kepala.


(Skema Triase)
GCS  8
Ya Tidak
P/M
unekual Ya
Kelola
Gadar CT Cito
Tidak
C-Kepala
terbuka Ya
Tidak
Neurologi
Normal Tidak
Ya
TS - /  5”
/ Risiko  Ya
Pulang +
Tidak Pesan
Kelola
GadarCT Elektif
15
Tatalaksana pasien dalam keadaan sadar (SKG=15)
 Simple Head Injury (SHI)
Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekalidan
tidak ada defisit neurologik, dan tidakada muntah. Tindakan hanya perawatanluka.
Pemeriksaan radiologik hanya atasindikasi.Umumnya pasien SHI boleh pulang
dengan nasihat dan keluarga diminta mengobservasi kesadaran. Bila dicurigai
kesadaran menurun saat diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk dan sulit
dibangunkan, pasien harus segera dibawa kembali ke rumah sakit.
 Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma kranioserebral,
dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan mengalami
cedera kranioserebral ringan (CKR).
Tatalaksanapasiendenganpenurunan kesadaran
 Cedera kepala ringan (SKG = 13-15)
Dilakukan pemeriksaan fi sik, perawatan luka, foto kepala, istirahat baring dengan
mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis.
Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai kemungkinan hematoma
intrakranial, misalnya riwayat lucid interval, nyeri kepala, muntah-muntah,
kesadaran menurun, dan gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor, refleksi
patologis positif). Jika dicurigai ada hematoma, dilakukan CT scan.
 Cedera kepala sedang (SKG = 9-13)
Urutan tindakan:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing), dan
sirkulasi(Circulation)
b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan cedera organ
lain. Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang ekstremitas lakukan
fiksasi leher dengan pemasangan kerah leher dan atau fiksasi tulang
ekstremitas bersangkutan
c. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya
d. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defisit fokal serebral lainnya.
 Cederakepalaberat (SKG 3-8)
Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan
fraktur servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada
perdarahan, dihentikan dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan
sama dengan cedera kranioserebral sedang dengan pengawasan lebih ketat dan
dirawat di ICU.
(Resiko Cedera Kepala)

RENDAH MODERAT TINGGI

16
Perubahan kesadaran
Kesadaran rendah
Asimptomatis Sakit kepala progresif
Gejala fokal
Dizziness Intoksikasi alkohol/obat
Penurunan kesadaran
Laserasi skalp Riwayat tidak sesuai
Cedera penetrasi
Abrasi skalp ± perforasi tengkorak / fraktur depress
Fraktura depress
cedera wajah serius

a. Primary Survey

 Airway
Membersihkan jalan nafas dengan memperhatikan kontrol servikal. Pasang
servikal collar untuk immobilisasi servikal sampai terbukti tidak ada
cedera servikal. Intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan pada
penderita koma.

 Breathing
Penderita diberikan ventilasi dengan oksigen 100 % sampai diperoleh hasil
pemeriksaan analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang
tepat terhadap FiO2. Penggunaan pulse oksimeter sangat bermanfaat untuk
memonitor saturasi O2 (target > 98%).

 Circulation
Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat,
walaupun tidak selalu tampak jelas. Pada penderita yang hipotensi, harus
segera distabiisasi untuk mencapai euvolemia, segera lakukan pemberian
cairan untuk mengganti volume yang hilang dengan perbandigan 3:1 (300
ml RL/100 mL darah yang hilang).

 Disability (Penilaian neurologis cepat)


(i) Tingkat kesadaran cara AVPU / GCS :
A = alert.
V = respon terhadap rangsangan verbal.
P = respon terhadap rangsangan nyeri.
U = tidak ada respon.
(ii) Pupil :
1. Ukuran.
2. Reaksi cahaya.
 Exposure
Untuk mencari tanda-tanda trauma di tempat lain.
b. Secondary Survey
1) Cedera Kepala Ringan
1. Riwayat :
o Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan
o Mekanisme cedera, waktu cedera, kesadaran setelah cedera, tingkat
kewaspadaan

17
o Amnesia (Retrograde/antegrade), Sakit kepala (Ringan, sedang
atau berat)

2. Pemeriksaan Umum untuk menyingkirkan cedera sistemik


3. Pemeriksaan neurologis
4. Radiografi tengkorak, servikal, dll sesuai indikasi
5. Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urin
6. CT-Scan
7. Kriteria Rawat :
o Amnesia post traumatika jelas (> 1jam )
o Riwayat kehilangan kesadaran
o Penurunan tingkat kesadaran
o Nyeri kepala sedang hingga berat
o Intoksikasi alkohol atau obat
o Fraktur tengkorak
o Kebocoran CSS, Otorrhea, atau rinorrhea
o Cedera penyerta yang jelas
o Tidak punya orang serumah yang dapat bertanggung jawab
o CT-Scan Abnormal atau tidak ada
o Semua cedera tembus

8. Kriteria pemulangan
o Tidak memenuhi kriteria rawat
o Diskusikan kemungkinan kembali kerumah sakit bila keadaan
memburuk dan berikan lembaran observasi
o Jadwalkan untuk kontrol ulang (1 minggu)

2) Cedera Kepala Sedang


- Pemeriksan Awal :
o Sama dengan cedera kepala ringan tapi ditambah
pemeriksaan darah sederhana dan EKG
o Pemerksaan CT-Scan untuk semua kasus dirawat untuk
observasi
- Setelah dirawat :
 Pemeriksan neurologis periodik (tiap setengah jam)
 CT-Scan ulang pada hari ke-3 atau lebih awal bila ada
perburukan atau akan dipulangkan
 Bila kondisi membaik (90%), dipulangkan dan kontrol
dipoliklinik biasanya 2 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan bila
perlu 1 tahun setelah cedera
 Bila keadaan memburuk segera lakukan CT-Scan ulang dan
penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat

3) Cedera Kepala Berat


1. Riwayat :
a. Usia, jenis, dan saat kecelakaan.
b. Penggunaan alkohol dan obat-obatan.
c. Perjalanan neurologis.
d. Perjalanan tanda-tanda vital.

18
e. Muntah, aspirasi, anoksia, kejang.
f. Riwayat peyakit sebelumnya, termasuk obat yang dipakai dan alergi.

2. Stabilisasi kardiopulmoner
a. Jalan napas, intubasi dini
b. Tekanan darah, normalkan segera dengan salin normal atau darah.
c. Kateter Folley, NGT.
d. Film diagnostik : Servikal, Abdomen, Perlvis, Tengkorak, dan
Ekstremitas.

3. Pemeriksaan Umum

4. Tindakan emergensi untuk cedera yang menyertai


a. Trakeostomi
b. Tube dada
c. Stabilisasi leher : kolar kaku, tong Gardner-Wells, dan traksi
d. Parasentesis abdominal

5. Pemeriksaan neurologis
a. Kemampuan membuka mata
b. Respon motor
c. Respon verbal
d. Reflek pupil
e. Okulosefalik (dolls)
f. Okulovestibuler (kalorik)

6. Obat-obat terapeutik
a. Na Bikarbonat
b. Manitol

7. Tes Diagnostik
a. CT-Scan
b. Ventrikulogram udara
c. Angiogram

c. Terapi Medikamentosa Cedera Otak


Tujuan utamanya adalah mencegah terjadinya kerusakan sekunder terhadap
otak yang telah mengalami cedera.

 Cairan Intravena
Diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan
normovolemia. Jangan memberikan cairan hipotonik. Penggunaan cairan
yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang
berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu, cairan yang dianjurkan
adalah larutan garam fisiologis atau Ringer’s Lactate.

 Hiperventilasi
Dilakukan dengan menurunkan PCO2 dan akan menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah otak. Sebaiknya dilakukan secara selektif

19
dan hanya pada waktu tertentu. Umumnya, PCO2 dipertahankan pada 35
mmHg atau lebih, karena PCO2 < 30 mmHg akan menyebabkan
vasokonstriksi serebri berat dan akhirnya iskemia otak. Hiperventilasi
dalam waktu singkat (25-30 mmHg) dapat diterima pada keadaan
deteriorasi neurologis akut.

 Manitol
Merupakan diuretik osmotik yang poten, digunakan untuk menurunkan
TIK yang meningkat. Sediaan yang tersedia adalah cairan dengan
konsentrasi 20%. Dosis yang diberikan adalah 1 g/kg BB intravena. Jangan
diberikan pada pasien yang hipotensi. Indikasinya adalah deteriorasi
neurologis yang akut seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis atau
kehilangan kesadaran saat pasien observasi. Pada keadaan ini, berikan
bolus manitol dengan cepat (dalam 5 menit) dan penderita langsung
dibawa ke CT-Scan atau kamar operasi (bila sebab telah diketahui dengan
CT-Scan).

 Furosemid
Diberikan bersama manitol, dosis yang biasa diberikan adalah 0,3-0,5
mg/kgBB diberikan secara intravena, tapi jangan diberikan pada pasien
hipovolemik.

 Steroid
Pemberiannya tidak dianjurkan karena menurut beberapa penelitian tidak
menunjukkan manfaat.

 Barbiturat
Bermanfaat menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obatan lain.
Tapi jangan diberikan pada keadaan hipotensi dan hipovolemi

 Antikonvulsan
Epilepsi pascatrauma kadang terjadi, diduga berkaitan dengan kejang awal
yang terjadi pada minggu pertama, perdarahan intrakranial, atau fraktur
depresi. Fenitoin adalah obat yang biasa diberikan pada fase akut. Dosis
dewasa awalnya adalah 1 g intravena dengan kecepatan pemberian < 50
mg/menit dan dosis pemeliharaannya adalah 100 mg/8 jam, dengan titrasi
untuk mencapai kadar terapeutik serum. Pada pasien dengan kejang lama,
diazepam atau lorazepam digunakan digunakan sebagai tambahan sampai
kejang berhenti.
d. Tatalaksana Bedah (Tidak berlaku bila mati batang otak)
Dilakukan bila ada :

 Interval lucid (bila CT tak tersedia segera)


 Herniasi unkal (pupil/motor tidak ekual)
 Fraktura depress terbuka
 Fraktura depress tertutup > 1 tabula/1 cm
 Massa intrakranial dengan pergeseran garis tengah 5 mm
 Massa ekstra aksial 5 mm, uni / bilateral
 #5 & #6 (<5 mm), tapi mengalami perburukan/sisterna basal terkompres

20
 Massa lobus temporal 30 ml

e. Lesi Kulit Kepala


Perdarahan dapat diatasi dengan penekanan, kauterisasi, atau ligasi pembuluh
darah. Penjahitan, pemasangan klips atau staples dapat dilakukan kemudian.
Inspeksi secara cermat dilakukan untuk menemukan adanya fraktur tengkorak
atau benda asing. Adanya LCS menunjukkan robekan Dura.
f. Fraktur Depresi Tengkorak
Fraktur ini mebutuhkan koreksi operatif bila tebal depresi lebih tebal dari
ketebalan tulang di sekitarnya. CT-Scan berguna untuk menentukan dalamnya
depresi tulang, ada-tidaknya perdarahan intrakranial atau kontusi.
g. Lesi Massa Intrakranial
Lesi harus dikeluarkan atau dirawat oleh seorang ahli bedah saraf. Tindakan
kraniotomi darurat dilakukan pada keadaan perdarahan intrakranial yang
membesar dengan cepat dan mengancam jiwa.

1.7.Menjelaskan Komplikasi dari Cedera Kepala.

A. Komplikasi bedah
1. Hematoma Intrakranial
Dapat terjadi pada keadaan akut setelah cedera kepala atau delayed
setelah beberapa waktu. Keberhasilan pengobatan tergantung pada
cepatnya diagnosis dan operasi evakuasi sesegera mungkin.
2. Hidrosefalus

 Komunikan, timbul karena adanya gangguan penyerapan CSS pada


rongga subarachnoid terutama pada granulasi arachnoid. Gangguan
timbul akibat adanya darah dalam rongga subarachnoid yang
mengganggu aliran dan penyerapan CSS.
 Nonkomunikan, timbul akibat penekanan oleh efek massa perdarahan
yang terjadi, terhadap jalur aliran CSS dalam sistem ventrikel,
sehingga aliran CSS terbendung.
Diagnosisnya mutlak membutuhkan CT-Scan kepala, akan
tampak pelebaran sistem ventrikel, termasuk pelebaran temporal horn,
dan adanya periventrikular edema (terutama pada anterior horn). Jika
terdiagnosis, maka harus dirujuk ke ahli bedah saraf untuk operasi diversi
CSS (VP-shunt).
3. Subdural Hematoma Kronis

4. Cedera kepala terbuka

5. Kebocoran CSS
Terutama menyertai fraktur basis. Pada proses penyembuhan luka,
umumnya kebocoran tersebut akan berhenti. Jika robekan durameter
terjepit pada garis fraktur dan menyebabkan kebocoran terus-menerus,
maka perlu tindakan operatif.

21
B. Komplikasi non bedah
1. Kejang post traumatika
Merupakan tanda cedera kortikal yang dapat timbul, baik secara dini,
maupun lambat, dan biasanya terjadi karena cedera vertikal atau
kerusakan pada lobus frontal, temporal ataupun parietal.
2. Infeksi
Infeksi pada cedera kepala umumnya disebabkan oleh kuman komensal
yang berada di kulit (scalp). Penggunaan antibiotika harus disesuaikan
dengan dugaan empiris kuman penyebab.
3. Gangguan Keseimbangan cairan dan elektrolit
Cedera kepala dapat menyebabkan gangguan aksis hipotalamus-hipofise,
sehingga produksi ADH berkurang, ditandai denganproduksi urin
menjadi berlebihan (dewasa > 250 cc/jam, anak > 3 cc/kgBB/jam),
osmolaritas urin yang rendah (50-150 Osm/L), berat jenis urin rendah
(1.001-1,005), kadar natrium serum normal atau meningkat, osmolaritas
plasma meningkat, dengan fungsi adrenal yang normal
4. Gangguan Gastrointestinal
Penderita cedera kepala akan mengalami peningkatan rangsang simpatik
yang mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga
mudah terjadi erosi. Anisipasinya adalah dengan pemberian obat
antagonis H-2 reseptor dan inhibitor pompa proton, seperti simetidin,
ranitidin, dan omeprazole.
5. Neurogenic Pulmonary Edema (NPE)
Jarang terjadi, umumnya menyertai cedera kepala yang berat.
Mekanismenya : Peningkatan TIK yang cepat atau cedera langsung pada
hipotalamus menyebabkan pelepasan rangsangan simpatik sehingga
terjadi aliran darah yang meningkat ke paru-paru dengan peningkatan
PCWP (Pulmonary Capillary Wedge Pressure) dan peningkatan
permeabilitas kapiler di paru.
Pelepasan katekolamin yang akan mempengaruhi endotel kapiler
(peningkatan permeabiitas alveolar)

1.8.Menjelaskan Prognosis dari Cedera Kepala.


Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh MRC CRASH Trial Collaborators
(2008), Umur yang tua, Glasgow Coma Scale yang rendah, pupil tidak reaktif, dan
terdapatnya cedera ekstrakranial mayor merupakan prediksi buruknya prognosis.

2. Memahami dan Menjelaskan dari Fraktur Basis Cranii.


2.1. Menjelaskan Definisi dari Fraktur Basis Cranii.
Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada
duramater. Fraktur basis cranii paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi
tertentu yaitu regio temporal dan regio occipital condylar. Fraktur basis cranii
dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya menjadi fraktur fossa anterior,
fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.

22
2.2. Menjelaskan Etiologi dari Fraktur Basis Cranii.
1) Penyebab cedera kepala adalah karena adanya trauma yang dibedakan menjadi
2 faktor :
a. Trauma primer : Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung
(akselerasi dan deselerasi)
b. Trauma Sekunder : Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang
meluas, hipertensi intracranial, hipoksia, hiperkapneu atau hipotensi sistemik
2) Trauma akibat persalinan
3) Kecelakaan, kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil, kecelakaan pada saat
Olahraga
4) Jatuh
5) Cedera akibat kekerasan

2.3. Menjelaskan Klasifikasi dari Fraktur Basis Cranii.


1. Fraktur Temporal
Dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 suptipe dari
fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Fraktur
longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian
squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus
dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian
anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada
fossa cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells.
Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%).
Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui
cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur
mixed memiliki unsur unsur dari kedua frakturlongitudinal dan transversal.

2. Fraktur condylar occipital


Adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral
bending, atau cedera rotational pada pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini
dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera.
Klasifikasi alternative membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu,
dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi
aksial yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital. Ini merupakan
jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan langsung
meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan
sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar dan membrane tectorial tidak
mengalami kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi
paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil.

3. Fraktur clivus
Digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam kecelakaan
kendaraann bermotor. Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah
dideskripsikan dalam literatur. Fraktur longitudinal memiliki prognosis
terburuk, terutama bila melibatkan sistem vertebrobasilar. Defisit pada nervus
cranial VI dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe ini.

23
Jenis – jenis fraktur tulang tengkorak :
Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada calvarium (atap tengkorak),
disebut Fraktur Calvarium dan fraktur pada basis cranium (dasar tengkorak),
disebut Fraktur Basis Cranium.
a. Fraktur Calvarium, beberapa contoh fraktur calvarium
 Fraktur Liniair
Bila fraktur merupakan sebuah garis (celah) saja. Fraktur liniair yang
berbahaya ialah fraktur yang melintas os temporal; pada os temporal
terdapat alur yang dilalui Arteri Meningia Media. Bila fraktur
memutuskan Arteri Meningia Media maka akan terjadi perdarahan
hebat yang akan terkumpul di ruang diantara dura mater dan tulang
tengkorak , disebut perdarahan epidural.

 Fraktur Berbentuk Bintang (Stellate Fracture)


Bila fraktur berpusat pada satu tempat dan garis – garis frakturnya nya
menyebar secara radial.
 Fraktur Impressie
Pada fraktur impressie ,fragment-fragment fraktur melekuk kedalam
dan menekan jaringan otak. Fraktur bentuk ini dapat merobek dura
mater dan jaringan otak di bawahnya dan dapat menimbulkan
prolapsus cerebri (jaringan otak keluar dari robekan duramater dan
celah fraktur) dan terjadi perdarahan.

b. Fraktur basis tengkorak


 Fraktur atap orbita
Fraktur akan merobek dura mater dan arachnoid sehingga Liquor
Cerebro Spinal (LCS) bersama darah keluar melalui celah fraktur
masuk ke rongga orbita ; dari luar disekitar mata tampak kelopak mata
berwarna kebiru biruan . Bila satu mata disebut Monocle Hematoma,
bila dua mata disebut Brill Hematoma / Raccoon’s eyes

 Fraktur melintas Lamina Cribrosa


Fraktur akan menyebabkan rusaknya serabut serabut saraf penciuman (
Nervus Olfactorius) sehinggan dapat terjadi gangguan penciuman
mulai berkurangnya penciuman (hyposmia) sampai hilangnya
penciuman (anosmia). Fraktur juga merobek dura mater dan arachnoid
sehingga LCS bercampur darah akan keluar dari rongga hidung
(Rhinorrhoea)

 Fraktur Fossa Media


 Fraktur Os Petrossum
Puncak (Apex ) os petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah
masuk kedalam rongga telinga tengah dan memecahkan Membrana
Tympani; dari telinga keluar LCS bercampur darah (Otorrhoea).

 Fraktur Sella Tursica


Di atas sella tursica terdapat kelenjar Hypophyse yang terdiri dari 2
bagian pars anterior dan pars posterior (Neuro Hypophyse). Pada
fraktur sella tursica yg biasa terganggu adalah pars posterior

24
sehingga terjadi gangguan sekresi ADH (Anti Diuretic Hormone)
yang menyebabkan Diabetes Insipidus.

 Sinus Cavernosus Syndrome


Syndrome ini adalah akibat fraktur basis tengkorak di fossa media
yang memecahkan Arteri Carotis Interna yang berada di dalam
Sinus Cavernosus sehingga terjadi hubungan langsung arteri – vena
(disebut Arterio-Venous Shunt dari Arteri Carotis Interna dan
Sinus Cavernsus –> Carotid – Cavernous Fistula). Mata tampak
akan membengkak dan menonjol, terasa sakit, conjunctiva
berwarna merah. Bila membran stetoskop diletakkan diatas kelopak
mata atau pelipis akan terdengar suara seperti air mengalir melalui
celah yang sempit yang disebut Bruit ( dibaca BRUI ). Gejala-
gejala klinis sebagai akibat pecahnya A.Carotis Interna didalam
Sinus Cavernosus , yang terdiri atas : mata yang bengkak menonjol
, sakit dan conjunctiva yang terbendung (berwarna merah) serta
terdengar bruit , disebut Sinus Cavernosus Syndrome,
 Fraktur Fossa Posterior
 Fraktur melintas os petrosum
Garis fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrossum
sampai os mastoid, menyebabkan LCS bercampur darah keluar
melalui celah fraktur dan berada diatas mastoid sehingga dari luar
tampak warna kebiru biruan dibelakang telinga, disebut Battle’s
Sign.

 Fraktur melintas Foramen Magnum


Di Foramen Magnum terdapat Medula Oblongata, sehingga getaran
fraktur akan merusak Medula Oblongata, menyebabkan kematian
seketika.

2.4.Menjelaskan Patofisiologi dari Fraktur Basis Cranii.


Suatu fraktur tulang tengkorak berarti patahnya tulang tengkorak dan biasanya
terjadiakibat benturan langsung. Tulang tengkorak mengalami deformitas akibat
benturan terlokalisir yang dapat merusak isi bagian dalam meski tanpa fraktur
tulang tengkorak. Suatu fraktur menunjukkan adanya sejumlah besar gaya yang
terjadi padakepala dan kemungkinan besar menyebabkan kerusakan pada bagian
dalam dari isi cranium. Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi tanpa disertai
kerusakan neurologis,dan sebaliknya, cedera yang fatal pada membran, pembuluh-
pembuluh darah, dan otak mungkin terjadi tanpa fraktur. Otak dikelilingi oleh
cairan serebrospinal,diselubungi oleh penutup meningeal, dan terlindung di dalam
tulang tengkorak.Selain itu, fascia dan otot-otot tulang tengkorak manjadi
bantalan tambahan untuk jaringan otak. Hasil uji coba telah menunjukkan bahwa
diperlukan kekuatan sepuluhkali lebih besar untuk menimbulkan fraktur pada
tulang tengkorak kadaver dengankulit kepala utuh dibanding yang tanpa kulit
kepala.Fraktur tulang tengkorak dapat menyebabkan hematom, kerusakan nervus
cranialis,kebocoran cairan serebrospinal (CSF) dan meningitis, kejang dan cedera
jaringan(parenkim) otak. Angka kejadian fraktur linear mencapai 80% dari
seluruh fraktur tulang tengkorak. Fraktur ini terjadi pada titik kontak dan dapat
meluas jauh dari titik tersebut. Sebagian besar sembuh tanpa komplikasi atau
intervensi. Fraktur depresimelibatkan pergeseran tulang tengkorak atau

25
fragmennya ke bagian lebih dalam danmemerlukan tindakan bedah saraf segera
terutama bila bersifat terbuka dimana fraktur depresi yang terjadi melebihi
ketebalan tulang tengkorak. Fraktur basis cranii merupakan fraktur yang terjadi
pada dasar tulang tengkorak yang bisa melibatkan banyak struktur neurovaskuler
pada basis cranii, tenaga benturan yang besar, dandapat menyebabkan kebocoran
cairan serebrospinal melalui hidung dan telinga danmenjadi indikasi untuk
evaluasi segera di bidang bedah saraf.

2.5. Menjelaskan Manifestasi Klinis dari Fraktur Basis Cranii.

Fraktur basis Craniii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak, fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada durameter yang
merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis Craniii berdasarkan letak
anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur
fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis Craniii dan
tulang kalvaria. Durameter daerah basis Cranii lebih tipis dibandingkan daerah
kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada tulang dibandingkan
daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan
robekan durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal
yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis).
Tanda/gejala klinis fraktur tulang tengkorak antara lain:
1. Ekimosis periorbital (raccoon eyes sign) ditemukan jika frakturnya pada
bagian basis Craniii fossa anterior.
2. Ekimosis retroaurikuler (Battle sign), kebocoran cairan serebro spinal (CSS)
dari hidung (rhinorrhea) dan telinga (otorrhea) dimana keluarnya cairan otak
melalui telinga menunjukan terjadi fraktur pada petrous pyramid yang
merusak kanal auditory eksternal dan merobek membrane timpani
mengakibatkan bocornya cairan otak atau darah terkumpul disamping
membrane timpani tidak robek tanda ini ditemukan jika frakturnya pada
bagian basis Craniii fossa media.

Kondisi ini juga dapat menyebabkan lesi/gangguan nervus Craniialis VII dan VIII
(parase otot wajah dan kehilangan pendengaran), yang dapat timbul segera atau
beberapa hari setelah trauma.

2.6. Menjelaskan Tatalaksana dari Fraktur Basis Cranii.


Terapi medis
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan
struktural neurologis tidak memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat
dipulangkan untuk berobat jalan dan kembali jika muncul gejala. Sementara itu,
pada bayi dengan simple fraktur linier harus dilakukan pengamatan secara terus
menerus tanpa memandang status neurologis. Status neurologis pasien dengan
fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara conservative, tanpa
antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika disertai
rupture membran timpani biasanya akan sembuh sendiri.
Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada
neurologis pada bayi ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur
depress dengan baik membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur
depress. Obat anti kejang dianjurkan jika kemungkinan terjadinya kejang lebih
tinggi dari 20%. Open fraktur, jika terkontaminasi, mungkin memerlukan
26
antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole direkomendasikan pada kasus
ini. Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif
dengan stabilisasi leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.

Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-
anak dengan open fraktur depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli
bedah lebih suka untuk mengevaluasi fraktur depress jika segmen depress lebih
dari 5 mm di bawah inner table dari adjacent bone. Indikasi untuk elevasi segera
adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear dengan pneumocephalus, dan
hematom yang mendasarinya.
Kadang kadang, craniectomy dekompressi dilakukan jika otak mengalami
kerusaksan dan pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini, cranioplasty
dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain untuk interaksi bedah dini adalah fraktur
condylar os oksipital tipe unstable (tipe III) yang membutuhkan arthrodesis
atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi dalam-luar.
Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan
kerusakan ossicular (tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis
longitudinal pada os temporal.
Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan berlangsung selama
lebih dari 3 bulan atau jikamembrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain
adalah terjadinya kebocoran CSF yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal
ini memerlukan secara tepat lokasi kebocoran sebelum intervensi bedah
dilakukan.

2.7. Menjelaskan Komplikasi dari Fraktur Basis Cranii.


Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai
dengan rhinorrhea. Facial palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan
dengan fraktur basis cranii dibahas di bagian klinis. Namun, terutama, facial palsy
yang terjadi pada hari ke 2-3 pasca trauma adalah akibat sekunder untuk
neurapraxia dari nervus cranialis VII dan responsif terhadap steroid, dengan
prognosis yang baik. Onset facila palsy secara tiba tiba pada saat bersamaan
terjadinya fraktur biasanya akibat skunder dari transeksi nervus, dengan prognosis
buruk.
Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis cranii.
Fraktur pada ujung pertosus os temporale mungkin melibatkan ganglion
gasserian. Cedera nervus cranialis VI yang terisolasi bukanlah akibat langsung
dari fraktur, tapi mungkin akibat skunder karena terjadinya ketegangan pada
nervus.
Nervus kranialis (IX, X, XI,dan XII) dapat terlibat dalam fraktur condylar
os oksipital, seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam Vernet dan sindrom
Collet-Sicard (vide supra). Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi nervus
cranialis III, IV,dan VI dan juga dapat mengganggu arteri karotis interna dan
berpotensi menghasilkan pembentukan pseudoaneurysma dan fistula
caroticocavernous (jika melibatkan struktur vena). cedera carotiddiduga terdapat
pada kasus kasus dimana fraktur berjalan melalui kanal karotid, dalam hal ini,
CT-angiografi dianjurkan.

27
2.8. Menjelaskan Prognosis dari Fraktur Basis Cranii.
Pada frakur basis Cranii fossa anterior dan media, prognosis baik selama
tanda tanda vital dan status neurologis dievaluasi secara teratur dan dilakukan
tindakan sedini mungkin apabila ditemukan deficit neurologis serta diberikan
profilaksis antibiotic untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder, sedangkan pada
fraktur basis Cranii posterior, prognosis buruk dikarenakan fraktur pada fossa
posterior dapat mengakibatkan kompresi batang otak

3. Memahami dan Menjelaskan dari Perdarahan Intrakranial.


3.1.Menjelaskan Definisi dari Perdarahan Intrakranial.
Perdarahan Intrakranial adalah perdarahan di dalam tulang tengkorak. Perdarahan
bisa terjadi di dalam otak atau di sekeliling otak:
1) Perdarahan yang terjadi di dalam otak disebut perdarahan intraserebral
2) Perdarahan diantara otak dan rongga subaraknoid disebut perdarahan
subaraknoid
3) Perdarahan diantara lapisan selaput otak (meningen) disebut perdarahan
subdural
4) Perdarahan diantara tulang tengkorak dan selaput otak disebut perdarahan
epidural.
Setiap perdarahan akan menimbulkan kerusakan pada sel-sel otak. Ruang di dalam
tulang tengkorak sangat terbatas, sehingga perdarahan dengan cepat akan
menyebabkan bertambahnya tekanan dan hal ini sangat berbahaya.

3.2.Menjelaskan Etiologi dari Perdarahan Intrakranial.


a) Cedera kepala merupakan penyebab yang paling sering ditemukan pada
penderita perdarahan intrakranial yang berusia dibawah 50 tahun.
b) Penyebab lainnya adalah malformasi arteriovenosa, yaitu kelainan
anatomis di dalam arteri atau vena di dalam atau di sekitar otak.
Malformasi arteriovenosa merupakan kelainan bawaan, tetapi baru
diketahui keberadaannya jika telah menimbulkan gejala.
c) Perdarahan dari malformasi arteriovenosa bisa secara tiba-tiba
menyebabkan pingsan dan kematian, dan cenderung menyerang remaja
dan dewasa muda.
d) Kadang dinding pembuluh darah menjadi lemah dan menonjol, yang
disebut dengan aneurisma. Dinding aneurisma yang tipis bisa pecah dan
menyebabkan perdarahan.
e) Aneurisma di dalam otak merupakan penyebab dari perdarahan
intrakranial, yang bisa menyebabkan stroke hemoragik (stroke karena
perdarahan).

3.3. Menjelaskan Klasifikasi dari Perdarahan Intrakranial.


1) Hematom Epidural
a. Hematom epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak
dengan duramater ( dikenal dengan istilah hematom ekstradural ).
Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya
fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri-
arteri meningens ( a. Meningea media ). Fraktur tengkorak yang menyertai
dijumpai pada 8% - 95% kasus, sedangkan sisanya (9%) disebabkan oleh
regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur (terutama pada kasus anak-

28
anak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara). Hematom epidural
yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi.
b. Letak : antara tulang tengkorak dan duramater
c. Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya
Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi :
a) Trauma kepala
b) Sobekan a/v meningea mediana
c) Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum
d) Ruptur v diplorica
Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat
adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan
arteri meningea mediana.Fraktur tengkorak yang menyertainya dijumpai
85-95 % kasus, sedang sisanya ( 9 % ) disebabkan oleh regangan dan
robekan arteri tanpa ada fraktur terutama pada kasus anak-anak dimana
deformitas yang terjadi hanya sementara.
Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang
terjadi, umumnya disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur
oksipital, parietal atau tulang sfenoid
d. Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi :
a) Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
b) Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam – 7 hari
c) Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7
e. Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri
kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam
kemudian timbul gejala-gejala yang memperberat progresif seperti nyeri
kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan darah
meninggi, pupil pada sisi perdarahan mula-mula sempit, lalu menjadi
lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap refleks cahaya. Ini adalah
tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi tentorial.
f. Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)
o Interval lucid
o Peningkatan TIK
o Gejala lateralisasi → hemiparese
g. Patofisiologi
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam
waktu yang lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir
selalu berhubungan dengan fraktur cranial linier. Pada kebanyakan pasien,
perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau keduanya.
Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur
melewati lekukan minengeal pada squama temporal.
h. Gejala Klinis
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari tria gejala;
a) Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang
diikuti dengan perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan
hemisphere contralateral. Lebih dari 50% pasien tidak ditemukan
adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari saat
terjadinya cedera.

29
Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya
jalan dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila
terdapat interval lucid.
Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang
minimal. Interval ini menggambarkan waktu yang lalu antara
ketidak sadaran yang pertama diderita karena trauma dan
dimulainya kekacauan pada diencephalic karena herniasi
transtentorial. Panjang dari interval lucid yang pendek
memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal dari
arteri.
b) Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung
dari efek pembesaran massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral
hemiparesis sampai penjendalan dapat juga menyebabkan tekanan
pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.
c) Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil
akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan
masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan
darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun sampai
koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran
sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi
yang merupakan tanda kematian.
i. Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati
hematoma subkutan
j. Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar.
Pada sisi kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda
kerusakan traktus piramidalis, misal: hemiparesis, refleks tendon meninggi
dan refleks patologik positif.
k. CT-Scan : ada bagian hiperdens yang bikonveks
l. LCS : jernih
m. Terapi
Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan
pengikatan pembuluh darah. Hematom epidural adalah tindakan
pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin, dekompresi jaringan otak di
bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan. Biasanya pasca operasi
dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari terjadinya
pengumpulan darah yamg baru.
- Trepanasi –kraniotomi, evakuasi hematom
- Kraniotomi-evakuasi hematom
n. Komplikasi outcome
Hematom epidural dapat memberikan komplikasi :
a) Edema serebri, merupakan keadaan-gejala patologis, radiologis,
maupun tampilan ntra-operatif dimana keadaan ini mempunyai
peranan yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain
shift) dan peningkatan tekanan intrakranial
b) Kompresi batang otak – meninggal
Sedangkan outcome pada hematom epidural yaitu :
a) Mortalitas 20% -30%
b) Sembuh dengan defisit neurologik 5% - 10%

30
c) Sembuh tanpa defisit neurologik
d) Hidup dalam kondisi status vegetatif

2) Hematom subdural
a. Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan
araknoid.
b. Perdarahan subdural dapat berasal dari:
e) Ruptur vena jembatan ( "Bridging vein") yaitu vena yang berjalan dari
ruangan subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan subdural
dan bermuara di dalam sinus venosus dura mater.
f) Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid
c. Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan
laserasi piamater serta arachnoid dari kortex cerebri. Trauma kepal,
Malformasi arteriovenosa, Diskrasia darah, Terapi antikoagulan
d. Klasifikasi
a) Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah
trauma.Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang
dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang
biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan
dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran
skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.
b) Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah
trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan
darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada
pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening
tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens
didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi
dari hemoglobin.
3) Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa
lebih.Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu
berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau
trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa
mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami
gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan
subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama
kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga
mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati
kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang
lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah
permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi
robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh
darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena
dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya
dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat
pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan
menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan
membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan

31
subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala
seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik
dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran
skening tomografinya didapatkan lesi hipodens
e. Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama
Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma
Gejala klinis
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit
kepala) sampai penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom
subdural tidak begitu hebat deperti kasus cedera neuronal primer, kecuali
bila ada effek massa atau lesi lainnya.
Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari
peninggian tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah,
vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor
pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya
tidak jelas, sering diduga tumor otak.

f. Patofisiologi
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecah dan mengalami memar
atau laserasi, adalah lokasi umum terjadinya perdarahan. Hal ini sangat
berhubungan dengan comtusio serebral dan oedem otak. CT Scan
menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari
ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.
g. CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian
Ada bagian hipodens yang berbentuk cresent.
Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan parenkim
otak (bagian dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar sesuai lengkung
tulang tengkorak)
Isodens → terlihat dari midline yang bergeser
Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak
(dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural
hematom akut terdiri dari trepanasi-dekompresi.

Gambar CT SCAN Subdural hematom

32
h. Terapi

Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom
secepatnya dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom
subdural kronis usia tua dimana biasanya mempunyai kapsul hematom
yang tebal dan jaringan otaknya sudah mengalami atrofi, biasanya lebih
dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi (diandingkan dengan
burr-hole saja).

i. Komplikasi Dan Outcome

Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :

a) Hemiparese/hemiplegia.
b) Disfasia/afasia
c) Epilepsi.
d) Hidrosepalus.
e) Subdural empyema

Sedangaka outcome untuk subdural hematom adalah :

a) Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85%


b) Pada sub dural hematom kronis :

- Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar 50%-80%.


- Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%.

4) Perdarahan Intraserebral
Adalah perdarahan yang terjadi didalam jaringan otak. Hematom intraserbral
pasca traumatik merupkan koleksi darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera
regangan atau robekan rasional terhadap pembuluh-pembuluh
darahintraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera penetrans. Ukuran
hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai beberapa centimeter dan
dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera. Intracerebral hematom mengacu pada
hemorragi / perdarahan lebih dari 5 mldalam substansi otak (hemoragi yang lebih
kecil dinamakan punctate atau petechial /bercak).
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak
pada lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang
berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita dengan
perdarahan intraserebral luput dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi
dengan pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan
manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.

33
Gambar CT SCAN Intraserebral hematom
a. Etiologi
Intraserebral hematom dapat disebabkan oleh :
a) Trauma kepala.
b) Hipertensi.
c) Malformasi arteriovenosa.
d) Aneurisme
e) Terapi antikoagulan
f) Diskrasia darah
b. Klasifikasi
Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya ;
a) Hematom supra tentoral.
b) Hematom serbeller.
c) Hematom pons-batang otak.

c. Patofisiologi
Hematom intraserebral biasanta 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di
daerah ganglia basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya
serta fraktur kalvaria.
d. Gejala klinis.
Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip
dengan hematom ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada puncaknya
tampak setelah 2-4 hari pasca cedera, namun dengan adanya scan computer
tomografi otak diagnosanya dapat ditegakkan lebih cepat.
Kriteria diagnosis hematom supra tentorial
a) nyeri kepala mendadak
b) penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam.
c) Tanda fokal yang mungkin terjadi ;
- Hemiparesis / hemiplegi.
- Hemisensorik.
- Hemi anopsia homonim
- Parese nervus III.
Kriteria diagnosis hematom serebeller ;
a) Nyeri kepala akut.
b) Penurunan kesadaran.

34
c) Ataksia
d) Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial.
Kriteria diagnosis hematom pons batang otak:
a) Penurunan kesadaran koma.
b) Tetraparesa
c) Respirasi irreguler
d) Pupil pint point
e) Pireksia
f) Gerakan mata diskonjugat.
e. Terapi
Untuk hemmoragi kecil treatmentnya adalah observatif dan supportif. Tekanan
darah harus diawasi. Hipertensi dapat memacu timbulnya hemmoragi. Intra
cerebral hematom yang luas dapat ditreatment dengan hiperventilasi, manitol
dan steroid dengan monitorong tekanan intrakranial sebagai uasaha untuk
menghindari pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk hematom masif yang
luas dan pasien dengan kekacauan neurologis atau adanya elevasi tekanan
intrakranial karena terapi medis

Konservatif
a) Bila perdarahan lebih dari 30 cc supratentorial
b) Bila perdarahan kurang dari 15 cc celebeller
c) Bila perdarahan pons batang otak.
Pembedahan
Kraniotomi
a) Bila perdarahan supratentorial lebih dari 30 cc dengan effek massa
b) Bila perdarahan cerebeller lebih dari 15 cc dengan effek massa

f. Komplikasi Dan Outcome


Intraserebral hematom dapat memberikan komplikasi berupa;
a) Oedem serebri, pembengkakan otak
b) Kompresi batang otak, meninggal
Sedangkan outcome intraserebral hematom dapat berupa :
a) Mortalitas 20%-30%
b) Sembuh tanpa defisit neurologis
c) Sembuh denga defisit neurologis
d) Hidup dalam kondisi status vegetatif.

5) Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya,
mungkin hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri,
hanya lebih berat. Tekanan darah dapat naik, nadi mungkin melambat. Gejala-
gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada. Cairan otak pun normal, hanya
tekanannya dapat meninggi.
a. TIK meningkat
b. Cephalgia memberat
c. Kesadaran menurun

35
3.4. Menjelaskan Manifestasi Klinis dari Perdarahan Intrakranial.
PERDARAHAN INTRASEREBRAL
Perdarahan intraserebral merupakan salah satu jenis stroke, yang
disebabkan oleh adanya perdarahan ke dalam jaringan otak.Perdarahan
intraserebral terjadi secara tiba-tiba, dimulai dengan sakit kepala, yang diikuti oleh
tanda-tanda kelainan neurologis (misalnya kelemahan, kelumpuhan, mati rasa,
gangguan berbicara, gangguan penglihatan dan kebingungan). Sering terjadi mual,
muntah, kejang dan penurunan kesadaran, yang bisa timbul dalam waktu beberapa
menit.
Biasanya dilakukan pemeriksaan CT scan dan MRI untuk membedakan
stroke iskemik dengan stroke perdarahan.Pemeriksaan tersebut juga bisa
menunjukkan luasnya kerusakan otak dan peningkatan tekanan di dalam otak.
Pungsi lumbal biasanya tidak perlu dilakukan, kecuali jika diduga terdapat
meningitis atau infeksi lainnya. Pembedahan bisa memperpanjang harapan hidup
penderita, meskipun masih dapat meninggalkan kelainan neurologis yang berat.
Tujuan pembedahan adalah untuk membuang darah yang telah terkumpul di
dalam otak dan untuk mengurangi tekanan di dalam tengkorak.
Perdarahan intraserebral merupakan jenis stroke yang paling berbahaya.
Stroke biasanya luas, terutama pada penderita tekanan darah tinggi menahun.
Lebih dari separuh pendeirta yang memiliki perdarahan yang luas, meninggal
dalam beberapa hari. Penderita yang selamat biasanya kembali sadar dan sebagian
fungsi otaknya kembali, karena tubuh akan menyerap sisa-sisa darah.

PERDARAHAN SUBARAKNOID
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga
diantara otak dan selaput otak (rongga subaraknoid).Sumber dari perdarahan
adalah pecahnya dinding pembuluh darah yang lemah (apakah suatu malformasi
arteriovenosa ataupun suatu aneurisma) secara tiba-tiba. Kadang aterosklerosis
atau infeksi menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah sehingga pembuluh
darah pecah. Pecahnya pembuluh darah bisa terjadi pada usia berapa saja, tetapi
paling sering menyerang usia 25-50 tahun. Perdarahan subaraknoid jarang terjadi
setelah suatu cedera kepala.
Perdarahan subaraknoid karena aneurisma biasanya tidak menimbulkan
gejala. Kadang aneurisma menekan saraf atau mengalami kebocoran kecil
sebelum pecah, sehingga menimbulkan pertanda awal, seperti sakit kepala, nyeri
wajah, penglihatan ganda atau gangguan penglihatan lainnya. Pertanda awal bisa
terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa minggu sebelum aneurisma pecah.
Jika timbul gejala-gejala tersebut harus segera dibawa ke dokter agar bisa diambil
tindakan untuk mencegah perdarahan yang hebat.
Pecahnya aneurisma biasanya menyebabkan sakit kepala mendadak yang
hebat, yang seringkali diikuti oleh penurunan kesadaran sesaat. Beberapa
penderita mengalami koma, tetapi sebagian besar terbangun kembali, dengan
perasaan bingung dan mengantuk. Darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak
akan mengiritasi selaput otak (meningen), dan menyebabkan sakit kepala, muntah
dan pusing. Denyut jantung dan laju pernafasan sering naik turun, kadang disertai
dengan kejang. Dalam beberapa jam bahkan dalam beberapa menit, penderita
kembali mengantuk dan linglung. Sekitar 25% penderita memiliki kelainan
neurologis, yang biasanya berupa kelumpuhan pada satu sisi badan.
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan CT scan,
yang bisa menunjukkan lokasi dari perdarahan. Jika diperlukan, bisa dilakukan

36
pungsi lumbal untuk melihat adanya darah di dalam cairan serebrospinal.
Angiografi dilakukan untuk memperkuat diagnosis dan sebagai panduan jika
dilakukan pembedahan.
Sekitar sepertiga penderita meninggal pada episode pertama karena
luasnya kerusakan otak. Sekitar15% penderita meninggal dalam beberapa minggu
setelah terjadi perdarahan. Penderita aneurisma yang tidak menjalani pembedahan
dan bertahan hidup, setelah 6 bulan memiliki resiko sebanyak 5% untuk terjadinya
perdarahan. Banyak penderita yang sebagian atau seluruh fungsi mental dan
fisiknya kembali normal, tetapi kelainan neurologis kadang tetap ada.
Penderita harus segera dirawat dan tidak boleh melakukan aktivitas berat.
Obat pereda nyeri diberikan untuk mengatasi sakit kepala hebat. Kadang dipasang
selang drainase di dalam otak untuk mengurangi tekanan. Pembedahan untuk
menyumbat atau memperkuat dinding arteri yang lemah, bisa mengurangi resiko
perdarahan fatal di kemudian hari. Pembedahan ini sulit dan angka kematiannya
sangat tinggi, terutama pada penderita yang mengalami koma atau stupor.
Sebagian besar ahli bedah menganjurkan untuk melakukan pembedahan
dalam waktu 3 hari setelah timbulnya gejala. Menunda pembedahan sampai 10
hari atau lebih memang mengurangi resiko pembedahan tetapi meningkatkan
kemungkinan terjadinya perdarahan kembali.

3.5. Menjelaskan Tatalaksana dari Perdarahan Intrakranial.


Perawatan di rumah sakit
1) GCS 13 – 15
a. Infus dengan cairan normoosmotik (kecuali Dextrose oleh karena dextrose
cepat dimetabolisme menjadi H2O + CO2 sehingga dapat menimbulkan
edema serebri) Di RS Dr Soetomo Surabaya digunakan D5% 1/2 salin kira-
kira 1500 – 2000 cc/24 jam untuk orang dewasa
b. Diberikan analgesia/antimuntah secara intravena, jika penderita tetap
muntah harus dipuasakan selama 6 jam, jika tidak muntah dicoba minum
sedikit-sedikit (Pada penderita yang tetap sadar)
c. Mobilisasi dilakukan sedini mungkin, dimulai dengan memberikan bantal
selama 6 jam kemudian setengah duduk pada 12 jam kemudian kemudian
duduk penuh dan dilatih berdiri (dapat dilakukan pada penderita dengan
GCS 15)
d. Jika memungkinkan dapat diberikan obat neurotropik,seperti : Citicholine,
dengan dosis 3 X 250 mg/hari sampai minimal 5 hari
e. Minimal penderita MRS selam 2 X 24 jam karena komplikasi dini dari
cidera kepala paling sering terjadi 6 jam setelah cidera dan berangsur-
angsur berkurang sampai 48 jam pertama

2) GCS < 13
a. Posisi terlentang kepala miring kekiri dengan diberi bantal tipis (head up 15
– 300) hal ini untuk memperbaiki venous return sehingga tekanan intra
kranial turun.
b. Beri masker Oksigen 6 – 8 liter/menit
c. Atasi hipotensi, usahakan tekanan sistolok diatas 100mmHg, jika tidak ada
perbaikan dapat diberikan vasopressor.
d. Pasang infus D5% 1/2 saline 1500 – 2000 cc/24 jam atau 25 – 30
CC/KgBB /24 jam

37
3) Pada penderita dengan GCS < 9 atau diperkirakan akan memerlukan perawatan
yang lebih lama maka hendaknya dipasang maagslang ukuran kecil (12 Fr)
untuk memberikan makanan, yang dimulai pada hari I dihubungkan dengan
500 CC Dextrose 5% gunanya pemberian sedini mungkin adalah untuk
menghindari atrophi villi usus, menetralisasikan asam lambung yang biasanya
sangat tinggi pH nya (stress ulcer), menambah energi yang tetap dibutuhkan
sehingga tidak terjadi metabolisme yang negatip, pemberian makanan melalui
pipa lambung ini akan ditingkatkan secara perlahan-lahan samai didapatkan
volume 2000 CC/ 24 jam dengan kalori 2000 Kkal., keuntungan lain dari
pemberian makanan peroral lebih cepat pada penderita tidak sadar antara laian :
(a) Mengurangi translokasi kuman di dinding usus halus dan usus besar, (b)
Mencegah normal flora usus masuk kedalam system portal
Sedini mungkin penderita dilakukan mobilisasi untuk menghindari terjadinya statik
pneumonia atau dekubitus dengan cara melakukan miring kekiri kan kanan setiap 2
jam. Pada penderita yang gelisah harus dicari dulu penyebabnya tidak boleh
langsung diberikan obat penenang seperti diazepam karena dapat menyebabkan
masking efek terhadap kesadarannya dan terjadinya depresi pernafasan. Pada
penderita gelisah dapat terjadi karena: (a) Nyeri OK : ( fraktur, kandung seni yang
penuh, tempat tidur yang kotor ), (b) Penderita mulai sadar, (c) Penurunan
kesadaran, (d) Shock, (e) Febris
Obat penenang hanya diberikan bila tidak didapatkan adanya hematom intrakranial
yang diketahui dari pemeriksaaan CT Scan.
Pada penderita dengan gelisah yang tidak disertai adanya lesi fokal intrakranial
oleh penulis dapat diberikan obat Chlorpromazine 12,5 mg (1/4 ampul) diberikan
IM pemberian dapat diulang 4 jam kemudian, pemberian obat ini harus hati-hati
karena dapat menyebabkan terjadinya orthostatik hipotensi.
Obat-obatan yang lain:
a. Antibiotika jika terdapat luka, atas indikasi yang lain biasanya golongan
penisillin misal ampicillin dengan dosis 50 mg/Kg BB/ hari dosis dibagi 4
b. Analgesik biasanya, metamizol (dewasa 3 X 1 ampul /IV)
c. Antimuntah, metocloperamide (dewasa 3X 1 ampul /IV)
d. Neurotropik seperti Citi cholin dengan dosis 3 X 250 mg/hari minimal 5 hari
dan jika masih terdapat gejala sisa diteruskan sampai 8 minggu
Pada penderita kejang :
Hentikan kejang dengan pemberian diazepam dosis 0,1 – 0,2 mg/kg sampai
kejang berhenti, tetapi jangan memberikan diazepam jika kejang sudah berhenti
sedangkan untuk mencegah kejang dapat diberikan diphenyl hidantoin dengan
dosis 5 – 8 mg/Kg BB/ hari dibagi 2 – 3, setelahnya harus dicari apa penyebab
kejang tersebut apakah faktor intrakranial atau faktor ekstrakranial
Pada penderita yang febris: febris dapat dibedakan oleh karena faktor
intrakranial akibat terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (central) atau
akibat faktor ekstrakranial misal hipotensi, infeksi sehingga sebelum diberikan
antipiretika harus dicari penyeabnya lebih dahulu karena obat anti piretika kadang
dapat menyebabkan hipotensi,

38
Observasi
Observasi pada kasus cidera kepala adalah kemauan dari paramedis/medis
untuk mencari komplikasi dini/lanjut dari cidera kepala tersebut seperti adanya
intrakranial hematom. Jadi hal-hal yang perlu di observasi meliputi faktor-faktor
ekstrakranial serta adanya tanda-tanda dari adanya lesi massa intrakranial.

Terapi Obat-obatan
Pengobatan perdarahan epidural bergantung pada berbagai faktor. Efek yang
kurang baik pada jaringan otak terutama dari efek massa yang menyebabkan
distorsi struktural, herniasi otak yang mengancam-jiwa, dan peningkatan tekanan
intrakranial.
Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah (1) intervensi bedah segera dan
(2) pengamatan klinis ketat, di awal dan secara konservatif dengan evakuasi
tertunda yang memungkinkan. Catatan bahwa perdarahan epidural cenderung
meluas dalam hal volume lebih cepat dibandingkan dengan perdarahan subdural,
dan pasien membutuhkan pengamatan yang sangat ketat jika diambil rute
konservatif.
Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah
segera. Jika lesinya kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis yang baik,
mengamati pasien dengan pemeriksaan neurologis berkala cukup masuk akal.
Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan dengan
penilaian klinis, publikasi terbaru “Guidelines for the Surgical Management of
Traumatic Brain Injury” merekomendasikan bahwa pasien yang memperlihatkan
perdarahan epidural < 30 ml, < 15 mm tebalnya, dan < 5 mm midline shift, tanpa
defisit neurologis fokal dan GCS > 8 dapat ditangani secara non-operatif. Scanning
follow-up dini harus digunakan untukmenilai meningkatnya ukuran hematom
nantinya sebelum terjadi perburukan. Terbentuknya perdarahan epidural terhambat
telah dilaporkan. Jika meningkatnya ukuran dengan cepat tercatat dan/atau pasien
memperlihatkan anisokoria atau defisit neurologis, maka pembedahan harus
diindikasikan. Embolisasi arteri meningea media telah diuraikan pada stadium awal
perdarahan epidural, khususnya ketika pewarnaan ekstravasasi angiografis telah
diamati.
Ketika mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan, proses penyakit
primer yang mendasarinya harus dialamatkan sebagai tambahan prinsip
fundamental yang telah didiskusikan diatas.
Terapi Bedah
Berdasarkan pada “Guidelines for the Management of Traumatic Brain
Injury“, perdarahan epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi
bedah, tanpa mempertimbangkan GCS. Kriteria ini menjadi sangat penting ketika
perdarahan epidural memperlihatkan ketebalan 15 mm atau lebih, dan pergeseran
dari garis tengah diatas 5 mm. Kebanyakan pasien dengan perdarahan epidural
seperti itu mengalami perburukan status kesadaran dan/atau memperlihatkan tanda-
tanda lateralisasi.
Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan pembedahan.
Hematom temporal, jika cukup besar atau meluas, dapat mengarah pada herniasi
uncal dan perburukan lebih cepat. Perdarahan epidural pada fossa posterior yang
sering berhubungan dengan gangguan sinus venosus lateralis, sering membutuhkan
evakuasi yang tepat karena ruang yang tersedia terbatas dibandingkan dengan
ruang supratentorial.

39
Sebelum adanya CT-scan, pengeboran eksplorasi burholes merupakan hal
yang biasa, khususnya ketika pasien memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi atau
perburukan yang cepat. Saat ini, dengan teknik scan-cepat, eksplorasi jenis ini
jarang dibutuhkan.
Saat ini, pengeboran eksplorasi burholes disediakan bagi pasien berikut ini
:Pasien dengan tanda-tanda lokalisasi menetap dan bukti klinis hipertensi
intrakranial yang tidak mampu mentolerir CT-scan karena instabilitas
hemodinamik yang berat. Pasien yang menuntut intervensi bedah segera untuk
cedera sistemiknya.

3.6. Menjelaskan Komplikasi dari Perdarahan Intrakranial.


Kebanyakan dari komplikasi perdarahan epidural muncul ketika tekanan
yang mereka kerahkan mengakibatkan pergeseran otak yang berarti. Ketika otak
menjadi subyek herniasi subfalcine, arteri serebral anterior dan posterior mungkin
tersumbat, menyebabkan infark serebral.
Herniasi kebawah batang otak menyebabkan perdarahan Duret dalam
batang otak, paling sering di pons.
Herniasi transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis ipsilateral,
yang seringnya membutuhkan berbulan-bulan untuk beresolusi sekali tekanan
dilepaskan. Palsy nervus III kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil,
dan ketidakmampuan menggerakkan mata ke arah medial, atas, dan bawah.
Pada anak-anak < 3 tahun, fraktur kranium dapat menyebabkan kista
leptomeningeal atau fraktur bertumbuh. Kista ini diyakini muncul ketika pulsasi
dan pertumbuhan otak tidak mengijinkan fraktur untuk sembuh, lalu menambah
robek dura dan batas fraktur membesar. Pasien dengan kista leptomeningeal
biasanya memperlihatkan massa scalp pulsatil

3.7. Menjelaskan Prognosis dari Perdarahan Intrakranial.


Meksipun tujuan akhir adalah mencapai angka kematian 0% dan hasil
akhir fungsional baik sebesar 100%, angka kematian keseluruhan pada
kebanyakan seri pasien dengan perdarahan epidural berkisar antara 9,4-33%, rata-
rata sekitar 10%. Secara umum, pemeriksaan motorik pre-operatif, skor GCS, dan
reaktivitas pupil secara pasti berhubungan dengan hasil akhir fungsional pasien
dengan perdarahan epidural akut jika mereka berhasil bertahan. Karena banyaknya
perdarahan epidural yang terisolasi tidak melibatkan kerusakan struktural otak
yang mendasarinya, hasil akhir secara keseluruhan akan menjadi sempurna jika
evakuasi bedah yang tepat dilakukan.
Pada pasien trauma cedera otak dengan perdarahan epidural, prognosis
lebih baik jika ada interval lucid (sebuah periode kesadaran sebelum kembalinya
koma) dibandingkan jika pasien koma sejak mendapat cedera.

3.8. Menjelaskan Pencegahan dari Perdarahan Intrakranial.


Beberapa faktor yang dapat dicegah untuk mengurangi risiko terjadinya perdarahan
otak meliputi :
a. Atasi tekanan darah tinggi. Sekitar 80% perdarahan otak terjadi pada penderita
yang memiliki riwayat darah tinggi. Untuk itu perlu tindakan untuk mengatasi
tekanan darah yang tinggi, yaitu melalui diet yang sehat, olahraga, dan obat-
obatan

40
b. Jangan merokok
c. Jangan menggunakan obat-obat terlarang, misalnya kokain, dapat
meningkatkan risiko terjadinya perdarahan di otak
d. Mengemudi dengan hati-hati, gunakan sabuk pengaman Anda
e. Selalu memakai helm saat mengendarai sepeda motor
f. Jika Anda memiliki aneurisma, tindakan pembedahan dapat diakukan untuk
mencegah perdarahan di kemudian hari

4. Memahami dan Menjelaskan dari Leofort III.


Definisi
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan
jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan
lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah
jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud
dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala (Ariwibowo, 2008).
Trauma Jaringan lunak
1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato.
2. Cedera saraf, cabang saraf fasial.
3. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen.
4. Cedera kelopak mata.
5. Cedera telinga.
6. Cedera hidung.

Trauma Jaringan keras


1.Fraktur sepertiga atas muka.
2. Fraktur sepertiga tengah muka.
a) Fraktur hidung (os nasale).
b) Fraktur maksila (os maxilla).
c) Fraktur zigomatikum (os zygomaticum dan arcus zygomaticus).
d) Fraktur orbital (os orbita).
3. Fraktur sepertiga bawah muka.
a) Fraktur mandibula (os mandibula).
b) Gigi (dens).
c) Tulang alveolus (os alveolaris)

Etiologi
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,
kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu
lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat membawa kematian
dan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka
terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun

Klasifikasi
a. Trauma Jaringan Lunak Wajah
Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan (Wim de Jong,
2000):
1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab
a. Ekskoriasi
b. Luka sayat (vulnus scissum), luka robek (vulnus laceratum), luka tusuk
(vulnus

41
punctum)
c. Luka bakar (combustio)
d. Luka tembak (Vulnus Sclopetorum)
2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
Skin Avulsion & Skin Loss
3. Dikaitkan dengan unit estetik
Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer. yang
menyilang garis Langer tidak menguntungkan mengakibatkan penyembuhan yang
secara kosmetik jelek. Insisi fasial ditempatkan sejajar dengan garis Langer
(Padersen,2007)

b. Trauma Jaringan Keras Wajah


Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi
dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yang definitif. Secara umum dilihat dari
terminologinya trauma pada jaringan keras wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan
(Padersen, 2007):
1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomis dan estetik.
a. Bersifat single : Fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla,
mandibula,
gigi dan alveolus.
b. Bersifat multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur
kompleks
mandibula

2. Dibedakan berdasarkan kekhususan (Padersen, 2007)


a. Fraktur Dinding Orbita
Fraktur dinding orbital adalah terputusnya kontinuitas antara
jaringanjaringan pada dinding orbital dengan atau tanpa keterlibatan tulang-
tulang sekitarnya
b. Fraktur Zygoma (Thomas, 2007)
Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan secara elektif.
Fraktur arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui pendekatan Gillies klasik.
Fraktur Le FortI, Le Fort II, dan Le Fort III (Thomas, 2007)

a. Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau bergabung dengan
fraktur – fraktur Le Fort II dan III. Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam
jenis fraktur transversus rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di
atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate.
Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara terpisah dari
bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini
sering disebut sebagai fraktur transmaksilari. Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort
I dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada
pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi.
Secara visualisasi dapat terlihat adanya edema pada bibir atas dan ekimosis.
Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada
pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat
rasa nyeri. Selanjutnya pemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen
dengan proyeksi wajah anterolateral.

42
b. Fraktur Le Fort II (Thomas, 2007)
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan fraktur
hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus,
fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatikomaksilaris dan
nasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena. Seperti pada fraktur Le Fort I,
bergeraknya lengkung rahang atas, biasa merupakan suatu keluhan atau ditemukan
saat pemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I,
seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I. Pemeriksaan klinis
pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan
intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi
dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis
dan edema periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung bergerak
bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang dipersarafi oleh
nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi
tidak separah jika dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi
terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan
dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah
polos dan CT scan.

c. Fraktur Le Fort III (Thomas, 2007)


Le Fort III adalah Fraktur kraniofasial disjunction, merupakan cedera yang parah.
Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis
kranii. Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian
yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa mengakibatkan
pemisahan tersebut, cukup kuat untuk
mengakibatkan trauma intrakranial.

Manifestasi klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma
maksilofasial dapat berupa (Grabb and Smith 2007;
Thomas, 2007)
1. Dislokasi, berupa perubahan posisi
yg menyebabkan maloklusi terutama
pada fraktur mandibula.
2. Pergerakan yang abnormal pada sisi
fraktur.
3. Rasa nyeri pada sisi fraktur.
4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas.
5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat
menentukan lokasi daerah fraktur.
6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari
ujung tulang yang fraktur.
7. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar
fraktur.
8. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat
pembengkakan
9. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi
di bawah nervus alveolaris.

43
10. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda,
penurunan pergerakan bola mata dan penurunan visus.

Diagnosis
Pemeriksaan fisik
Secara umum yang dinilai adalah sebagai berikut :
a. Lokasi nyeri dan durasi nyerinya.
b. Adanya Krepitasi.
c. Fraktur. Tanda pasti fraktur adalah pemendekan, rotasi, angulasi, dan false
movement
d.Deformitas, kelainan bentuk.
e. Trismus (tonik kontraksi rahang)
f. Edema.
g. Ketidakstabilan, atau keabnormalan bentuk dan gerakan yang terbatas

Inspeksi
Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah :
a. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema.
b. luka tembus.
c. Asimetris atau tidak.
d. Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal.
e. Otorrhea / Rhinorrhea
f. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign.
g. Cedera kelopak mata.
h. Ecchymosis, epistaksis
i. Defisit pendengaran.
j. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas.

Palpasi
Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis, jaringan
hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka terbuka untuk memastikan adanya benda
asing seperti pasir, batu kerikil.

5. Memahami dan Menjelaskan dari Trias Cushing.

Trias cushing merupakan kumpulan gejala yang diakibatkan oleh meningkatnya


tekanan intrakranial.
 Hipertensi
 Bradikardi
 Depresi pernapasan

Tekanan intrakranial pada umumnya bertambah secara berangsur-angsur.


Setelah cedera kepala, timbulnya edema memerlukan waktu 36 sampai 48 jam untuk
mencapai maksimum. Peningkatan tekanan intrakranial sampai 33 mmHg mengurangi
aliran darah otak secara bermakna.Iskemia yang timbul merangsang pusat motor, dan
tekanan darah sistemik meningkat, Rangsangan pada pusat inhibisi jantung
mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi lambat.Mekanisme kompensasi
ini, dikenal sebagai refleks Cushing, membantu mempertahankan aliran darah
otak.Akan tetapi, menurunnya pernapasan mengakibatkan retensi Co2 dan
mengakibatkan vasodilatasi otak yang membantu menaikkan tekananan intrakranial.

44
6. Memahami dan Menjelaskan dari Fraktur Os. Nasal.
6.1.Menjelaskan Definisi dari Fraktur Os. Nasal.
Fraktur adalah terjadinya diskontinuitas jaringan tulang (patah tulang) yang
biasanya disebabkan benturan keras.
Fraktur os nasal merupakan kasus trauma terbanyak pada wajah dan
merupakan kasus fraktur ketiga terbanyak di seluruh tulang penyusun tubuh
manusia. Di Amerika Serikat, kejadian fraktur os nasal rata-rata 51.200 per tahun.
Fraktur os nasal banyak terjadi pada usia 15-40 tahun dan tiga kali lebih banyak
terjadi pada laki-laki. Penyebab fraktur nasal adalah kekerasan (42,65%),
kecelakaan lalu lintas (35,29%), pekerjaan (13,24%) dan terjatuh saat olahraga
(8,82%).

6.2.Menjelaskan Etiologi dari Fraktur Os. Nasal.


Penyebab trauma nasal ada 4 yaitu:
¤ Mendapat serangan misal dipukul.
¤ Injury karena olah raga
¤ Kecelakaan (personal accident).
¤ Kecelakaan lalu lintas.
Dari 4 causa diatas, yang paling sering karena mendapat serangan misalnya
dipukul dan kebanyakan pada remaja. Jenis olah raga yang dapat menyebabkan
injury nasal misalnya sepak bola, khususnya ketika dua pemain berebut bola
diatas kepala; olah raga yang menggunakan raket misalnya ketika squash, raket
dapat mengayun ke belakang atau depan dan dapat memukul hidung atau karate;
petinju.
Trauma nasal yang disebabkan oleh kecepatan yang tinggi menyebabkan fraktur
wajah.

6.3.Menjelaskan Klasifikasi dari Fraktur Os. Nasal.


Murray melaporkan bahwa kebanyakan deviasi akibat fraktur nasal
meliputi juga fraktur pada kartilago septum nasal. Fraktur nasal lateral merupakan
yang paling sering dijumpai pada fraktur nasal. Fraktur nasal lateral akan
menyebabkan penekanan pada hidung ipsilateral yang biasanya meliputi setengah
tulang hidung bagian bawah, prosesus nasomaksilaris dan bagian tepi
piriformis.Trauma nasal yang dihasilkan dari suatu pukulan bervariasi tergantung
pada :
¤ Usia pasien yang sangat berpengaruh pada fleksibilitas jaringan dalam
meredam energi dari pukulan
¤ Besarnya tenaga pukulan, arah pukulan dimana akan menentukan bagian nasal
yang rusak. Kondisi dari obyek yang menyebabkan trauma nasal dan trauma
jaringan lunak yang umum terjadi meliputi: laserasi, ekimosis, hematom di
luar dan di dalam rongga hidung. Trauma pada kerangka hidung meliputi
fraktur (putusnya hubungan, lebih sering pada usia lanjut), dislokasi (pada
anak-anak), dan fraktur dislokasi. Trauma dislokasi dapat mengenai artikulasi
kerangka hidung luar atau pada septum nasi.
¤ Waktu kejadian
Trauma lain yang sering dihubungkan dengan fraktur nasal adalah fraktur
frontalis, ethmoid dan tulang lakrimalis, fraktur nasoorbital ethmoid; fraktur

45
dinding orbita; fraktur lamina kribriformis; fraktur sinus frontalis dan fraktur
maksila Le Fort I, II, dan III. Terdapat beberapa jenis fraktur nasal antara lain :

¤ Fraktur lateral
Adalah kasus yang paling sering terjadi, dimana fraktur hanya terjadi pada
salah satu sisi saja, kerusakan yang ditimbulkan tidak begitu parah.

Gambar. Fraktur lateral


¤ Fraktur bilateral
Merupakan salah satu jenis fraktur yang juga paling sering terjadi selain
fraktur lateral, biasanya disertai dislokasi septum nasal atau terputusnya
tulang nasal dengan tulang maksilaris.

Gambar. Fraktur bilateral


¤ Fraktur direct frontal
Yaitu fraktur os nasal dan os frontal sehingga menyebabkan desakan dan
pelebaran pada dorsum nasalis. Pada fraktur jenis ini pasien akan
terganggu suaranya.

46
Gambar. Fraktur direct frontal
¤ Fraktur comminuted
Adalah fraktur kompleks yang terdiri dari beberapa fragmen. Fraktur ini
akan menimbulkan deformitas dari hidung yang tampak jelas.

Gambar. Fraktur comminuted, 1: tulang hidung, 2: frontal dan 3 septum nasi


Terdapat berbagai klasifikasi mengenai fraktur nasal yang telah dibuat, yaitu
¤ Menurut Stranc dan Roberston, arah asal trauma akan mempengaruhi
beratnya kerusakan pada tulang hidung dan septum. Klasifikasi ini hanya
berdasarkan pemeriksaan fisik tanpa pemeriksaan radiologis.
♪ Tipe I : Fraktur ini menyebabkan terjadinya avulsi kartilago lateral
atas, dislokasi posterior septum dan ala nasal.
♪ Tipe II : Fraktur ini menyebabkan deviasi dorsum nasi dan juga
menyebabkan tulang hidung menjadi datar.
♪ Tipe III : Fraktur pada tulang hidung dan juga menyebabkan
kerusakan pada mata dan struktur intrakranial.
¤ Menurut Harrison, fraktur nasi dibagi menjadi 3 berdasarkan beratnya dan
juga penatalaksanaannya:
♪ Kelas I : Pada keadaan ini terdjadi fraktur depres hidung tanpa
melibatkan septum nasi.
♪ Kelas II : Fraktur yang terjadi menyebabkan fraktur
komunitiva,sehingga deviasi semakin jelas. Khasnya pada fraktur ini
akan tampak gambaran seperti huruf C.
♪ Kelas III : Fraktur ini disebut juga fraktur naso orbito etmoidalis
(NOE)

47
¤ Menurut Hwang, fraktiur nasal dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
♪ Tipe I : Fraktur sederhana tanpa deviasi
♪ Tipe II : Fraktur sederhana dengan deviasi
♪ IIA : Unilateral
♪ IIAs : Unilateral dengan fraktur septum nasi
♪ IIB : Bilateral
♪ IIBs : Bilateral dengan fraktur septum nasi
♪ Tipe III : Fraktur communited
¤ Menurut Michael, fraktur nasal dapat diklasifikasikan berdasarkan
beratnya dan kerusakan pada septum nasi
♪ Tipe I : Fraktur sederhana tanpa deviasi, jika terjadi fraktur unilateral
atau bilateral tanpa menyebabkan pergeseran pada garis tengah
♪ Tipe II : Fraktur sederhana dengan deviasi, jika terjadi fraktur
unilateral atau bilateral dan menyebabkan pergeseran pada garis tengah
♪ Tipe III : Fraktur communited, jika terjadi fraktur bilateral yang
menyebabkan septum tidak lurus tetapi tidak menyebabkan pergeseran
garis tengah
♪ Tipe IV : Deviasi tulang hidung dan fraktur septum nasi , jika terjadi
fraktur bilateral yang menyebabkan septum tidak lurus dan
menyebabkan pergeseran garis tengah dan juga terjadi fraktur septum
nasi ataupun dislokasi septum nasi.
♪ Tipe V : Fraktur kompleks nasal dan septum nasi, jika terjadi fraktur
dan juga menyebabkan laserasi pada jaringan serta saddle nose.
¤ Menurut Samuel, yang memodifikasi klasifikasi fraktur nasal yang telah
dibuat oleh Murray, fraktur nasal dapat diklasifikasikan menjadi:
♪ Tipe I : Cedera jaringan lunak sekitar hidung
♪ Tipe IIa : Fraktur sederhana unilateral tanpa deviasi
♪ Tipe IIb : Fraktur sederhana bilateral dengan deviasi
♪ Tipe III : Fraktur sederhana disertai deviasi
♪ Tipe IV : Fraktur communited tertutup
♪ Tipe V : Fraktur communited terbuka atau termasuk fratur tipe II-IV
tetapi disertai dengan kebocoran cairan serebrospinal, hematom septum
nasi, obstruksi jalan nafas, deviasi berat dan termasuk fraktur Naso-
orbito-etmoidalis.

6.4.Menjelaskan Manifestasi Klinis dari Fraktur Os. Nasal.

Tanda yang mendukung terjadinya fraktur tulang hidung dapat berupa :


¤ Depresi atau pergeseran tulang – tulang hidung.
¤ Terasa lembut saat menyentuh hidung.
¤ Adanya pembengkakan pada hidung atau muka.
¤ Memar pada hidung atau di bawah kelopak mata (black eye).
¤ Deformitas hidung.
¤ Keluarnya darah dari lubang hidung (epistaksis).
¤ Saat menyentuh hidung terasa krepitasi.
¤ Rasa nyeri dan kesulitan bernapas dari lubang hidung.

Tanda-tanda berikut merupakan saat dimana sebaiknya meminta pertolongan


dokter meliputi:
¤ Nyeri dan pembengkakan tidak menghilang 3x24 jam

48
¤ Hidung terlihat miring atau melengkung
¤ Sulit bernapas melalui hidung meskipun reaksi peradangan telah mereda
¤ Terjadi demam
¤ Perdarahan hidung berulang

Tanda-tanda berikut dimana sebaiknya meminta pertolongan ke unit gawat


darurat :
¤ Perdarahan yang berlangsung lebih dari beberapa menit pada satu atau kedua
lubang hidung
¤ Keluar cairan berwarna bening dari lubang hidung
¤ Cedera lain pada tubuh dan muka
¤ Kehilangan kesadaran
¤ Sakit kepala yang hebat
¤ Muntah yang berulang
¤ Penurunan indra penglihatan
¤ Nyeri pada leher
¤ Rasa kebas, baal,atau lemah pada lengan.

6.5.Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding dari Fraktur Os. Nasal.


Diagnosis fraktur tulang hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi
dan pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior,
biasanya ditandai dengan pembengkakan mukosa hidung terdapatnya bekuan dan
kemungkinan ada robekan pada mukosa septum, hematoma septum, dislokasi atau
deviasi pada septum.
Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto sinusparanasal posisi
Water dan bila perlu dapat dilakukan pemindaian dengan CT scan. CT scan
berguna untuk melihat fraktur hidung dan kemungkinan terdapatnya fraktur
penyerta lainnya.
Pasien harus selalu diperiksa terhadap adanya hematoma septum akibat
fraktur, bilamana tidak terdeteksi. Dan tidak dirawat dapat berlanjut menjadi
abses, dimana terjadi resorpsi kartilago septum dan deformitas hidung pelana (
saddle nose ) yang berat.

Anamnesis
Rentang waktu antara trauma dan konsultasi dengan dokter sangatlah
penting untuk penatalaksanaan pasien. Sangatlah penting untuk menentukan
waktu trauma dan menentukan arah dan besarnya kekuatan dari benturan. Sebagai
contoh, trauma dari arah frontal bisa menekan dorsum nasal, dan menyebabkan
fraktur nasal. Pada kebanyakan pasien yang mengalami trauma akibat olahraga,
trauma nasal yang terjadi berulang dan terus menerus, dan deformitas hidung akan
menyebabkan sulit menilai antara trauma lama dan trauma baru sehingga akan
mempengaruhi terapi yang diberikan. Informasi mengenai keluhan hidung
sebelumnya dan bentuk hidung sebelumnya juga sangat berguna. Keluhan utama
yang sering dijumpai adalah epistaksis, deformitas hidung, obstruksi hidung dan
anosmia.

49
Pemeriksaan fisik
Kebanyakan fraktur nasal adalah pelengkap trauma seperti trauma akibat
dihantam atau terdorong. Sepanjang penilaian awal dokter harus menjamin bahwa
jalan napas pasien aman dan ventilasi terbuka dengan sewajarnya. Fraktur nasal
sering dihubungkan dengan trauma pada kepala dan leher yang bisa
mempengaruhi patennya trakea. Fraktur nasal ditandai dengan laserasi pada
hidung, epistaksis akibat robeknya membran mukosa. Jaringan lunak hidung akan
nampak ekimosis dan udem yang terjadi dalam waktu singkat beberapa jam
setelah trauma dan cenderung nampak di bawah tulang hidung dan kemudian
menyebar ke kelopak mata atas dan bawah.
Deformitas hidung seperti deviasi septum atau depresi dorsum nasal yang
sangat khas, deformitas yang terjadi sebelum trauma sering menyebabkan
kekeliruan pada trauma baru. Pemeriksaan yang teliti pada septum nasal sangatlah
penting untuk menentukan antara deviasi septum dan hematom septi, yang
merupakan indikasi absolut untuk drainase bedah segera. Sangatlah penting untuk
memastikan diagnosa pasien dengan fraktur, terutama yang meliputi tulang
ethmoid. Fraktur tulang ethmoid biasanya terjadi pada pasien dengan fraktur nasal
fragmental berat dengan tulang piramid hidung telah terdorong ke belakang ke
dalam labirin ethmoid, disertai remuk dan melebar, menghasilkan telekantus,
sering dengan rusaknya ligamen kantus medial, apparatus lakrimalis dan lamina
kribriformis, yang menyebabkan rhinorrhea cerebrospinalis.
Pada pemeriksaan fisis dengan palpasi ditemukan krepitasi akibat
emfisema subkutan, teraba lekukan tulang hidung dan tulang menjadi irregular.
Pada pasien dengan hematom septi tampak area berwarna putih mengkilat atau
ungu yang nampak berubah-ubah pada satu atau kedua sisi septum nasal.
Keterlambatan dalam mengidentifikasi dan penanganan akan menyebabkan
deformitas bentuk pelana, yang membutuhkan penanganan bedah segera.
Pemeriksaan dalam harus didukung dengan pencahayaan, anestesi, dan semprot
hidung vasokonstriktor. Spekulum hidung dan lampu kepala akan memperluas
lapangan pandang. Pada pemeriksaan dalam akan nampak bekuan darah dan/atau
deformitas septum nasal.

Pemeriksaan radiologis
Jika tidak dicurigai adanya fraktur nasal komplikasi, radiografi jarang
diindikasikan. Karena pada kenyataannya kurang sensitif dan spesifik, sehingga
hanya diindikasikan jika ditemukan keraguan dalam mendiagnosa. Radiografi
tidak mampu untuk mengidentifikasi kelainan pada kartilago dan ahli klinis sering
salah dalam menginterpretasikan sutura normal sebagi fraktur yang disertai
dengan pemindahan posisi. Bagaimanapun, ketika ditemukan gejala klinis seperti
rhinorrhea cerebrospinalis, gangguan pergerakan ekstraokular atau maloklusi. CT-
scan dapat diindikasikan untuk menilai fraktur wajah atau mandibular.

50
Gambar : Foto x-ray fraktur hidung

Gambar : CT-scan potongan coronal dan axial pada fraktur nasal

6.6.Menjelaskan Tatalaksana dari Fraktur Os. Nasal.

Tujuan Penangananan Fraktur Hidung :


¤ Mengembalikan penampilan secara memuaskan
¤ Mengembalikan patensi jalan nafas hidung
¤ Menempatkan kembali septum pada garis tengah
¤ Menjaga keutuhan rongga hidung
¤ Mencegah sumbatan setelah operasi, perforasi septum, retraksi kolumela,
perubahan bentuk punggung hidung
¤ Mencegah gangguan pertumbuhan hidung

Konservatif
Penatalaksanaan fraktur nasal berdasarkan atas gejala klinis, perubahan
fungsional dan bentuk hidung, oleh karena itu pemeriksaan fisik dengan
dekongestan nasal dibutuhkan. Dekongestan berguna untuk mengurangi
pembengkakan mukosa. Pasien dengan perdarahan hebat, biasanya dikontrol
dengan pemberian vasokonstriktor topikal. Jika tidak berhasil bebat kasa tipis,
kateterisasi balon, atau prosedur lain dibutuhkan tetapi ligasi pembuluh darah
jarang dilakukan. Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol
perdarahan setelah vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung selama
2-5 hari sampai perdarahan berhenti. Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada
hidungnya dan kepala sedikit ditinggikan untuk mengurangi pembengkakan.
Antibiotik diberikan untuk mengurangi resiko infeksi, komplikasi dan kematian.

51
Analgetik berperan simptomatis untuk mengurangi nyeri dan memberikan rasa
nyaman pada pasien.
Fraktur nasal merupakan fraktur wajah yang tersering dijumpai. Jika dibiarkan
tanpa dikoreksi, akan menyebabkan perubahan struktur hidung dan jaringan lunak
sehingga akan terjadi perubahan bentuk dan fungsi. Karena itu, ketepatan waktu
terapi akan menurunkan resiko kematian pasien dengan fraktur nasal. Terdapat
banyak silang pendapat mengenai kapan seharusnya penatalaksanaan dilakukan.
Penatalaksanaan terbaik seharusnya dilakukan segera setelah fraktur terjadi,
sebelum terjadi pembengkakan pada hidung. Sayangnya, jarang pasien dievaluasi
secara cepat. Pembengkakan pada jaringan lunak dapat mengaburkan apakah
patah yang terjadi ringan atau berat dan membuat tindakan reduksi tertutup
menjadi sulit dilakukan. Sebab dari itu pasien dievaluasi setelah 3-4 hari
berikutnya. Tindakan reduksi tertutup dilakukan 7-10 hari setelahnya dapat
dilakukan dengan anestesi lokal. Jika tindakan ditunda setelah 7-10 hari maka
akan terjadi kalsifikasi.
Setelah memastikan bahwa saluran napas dalam kondisi baik, pernapasan
optimal dan keadaan pasien cenderung stabil, dokter baru melakukan
penatalaksaan terhadap fraktur. Penatalaksanaan dimulai dari cedera luar pada
jaringan lunak. Jika terjadi luka terbuka dan kemungkinan kontaminasi dari benda
asing, maka irigasi diperlukan. Tindakan pembersihan (debridement) juga dapat
dilakukan. Namun pada tindakan debridement harus diperhatikan dengan bijak
agar tidak terlalu banyak bagian yang dibuang karena lapisan kulit diperlukan
untuk melapisi kartilago yang terbuka.
Terdapat berbagai algoritma dalam penatalksanaan fraktur nasal tergantung
dari klasifikasi yang digunakan.
¤ Algoritma yang dibuat oleh Michael et al:

Evaluasi

Fraktur tipe I,II,III Fraktur Tipe IV Fraktur Tipe V

Dapat Fraktur Deviasi septu Deviasi


digerakkan inkomplit ringan-sedang septum berat

Reduksi septorinoplasti
tertutup Reduksi
terbuka tulang
gagal dan septum

Modifikasi reduksi Deformitas (+),


Gagal/terdap deviasi septum
terbuka dengan
at pilihan (+)
osteotomi

Gambar : Algoritma penatalaksanaan fraktur nasal

52
¤ Algoritma yang dibuat oleh Samuel et al:

Gambar : Algoritma penatalaksanaan fraktur hidung 2

Operatif
Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen tulang,
penanganan bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan spontan.
Deformitas akibat fraktur nasal sering dijumpai dan membutuhkan reduksi dengan
fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi hidung.

¤ Teknik reduksi tertutup


Reduksi tertutup adalah tindakan yang dianjurkan pada fraktur hidung akut
yang sederhana dan unilateral. Teknik ini merupakan satu teknik pengobatan
yang digunakan untuk mengurangi fraktur nasal yang baru terjadi. Namun,
pada kasus tertentu tindakan reduksi terbuka di ruang operasi kadang
diperlukan. Penggunaan analgesia lokal yang baik, dapat memberikan hasil
yang sempurna pada tindakan reduksi fraktur tulang hidung. Jika tindakan
reduksi tidak sempurna maka fraktur tulang hidung tetap saja pada posisi yang
tidak normal. Tindakan reduksi ini dikerjakan 1-2 jam sesudah trauma, dimana
pada waktu tersebut edema yang terjadi mungkin sangat sedikit. Namun
demikian tindakan reduksi secara lokal masih dapat dilakukan sampai 14 hari
sesudah trauma. Setelah waktu tersebut tindakan reduksi mungkin sulit
dikerjakan karena sudah terbentuk proses kalsifikasi pada tulang hidung
sehingga perlu dilakukan tindakan rinoplasti estetomi.

Deformitas hidung yang minimal akibat fraktur dapat direposisi dengan


tindakan yang sederhana. Reposisi dilakukan dengan cunam Walsham. Pada
penggunaan cunam Walsham ini, satu sisinya dimasukkan ke dalam kavum
nasi sedangkan sisi yang lain di luar hidung dia atas kulit yang diproteksi
dengan selang karet. Tindakan manipulasi dilakukan dengan kontrol palpasi
jari.

Jika terdapat deviasi piramid hidung karena dislokasi karena dislokasi


tulang hidung, cunam Asch digunakan dengan cara memasukkan masing-

53
masing sisi (blade) ke dalam kedua rongga hidung sambil menekan septum
dengan kedua sisi forsep. Sesudah fraktur dikembalikan pada posisi semula
dilakukan pemasangan tampon di dalam rongga hidung. Tampon yang
dipasang dapat ditambah dengan antibiotika.

Perdarahan yang timbul selama tindakan akan berhenti, sesudah


pemasangan tampon pada kedua rongga hidung. Fiksasi luar (gips) dilakukan
dengan menggunakan beberapa lapis gips yang dibentuk dari huruf “T” dan
dipertahankan hingga 10-14 hari.

¤ Teknik reduksi terbuka


Fraktur nasal reduksi terbuka cenderung tidak memberikan keuntungan.
Pada daerah dimana fraktur berada sangat beresiko mengalami infeksi sampai
ke dalam tulang. Masalah pada hidung menjadi kecil karena hidung
mempunyai banyak suplai aliran darah bahkan pada masa sebelum adanya
antibiotik, komplikasi infeksi setelah fraktur nasal dan rhinoplasti sangat
jarang terjadi.
Teknik reduksi terbuka diindikasikan untuk :
♪ Ketika operasi telah ditunda selama lebih dari 3 minggu setelah trauma.
♪ Fraktur nasal berat yang meluas sampai ethmoid. Disini, sangat nyata
adanya fragmentasi tulang sering dengan kerusakan ligamentum kantus
medial dan apparatus lakrimalis. Reposisi dan perbaikan hanya mungkin
dengan reduksi terbuka, dan sayangnya hal ini harus segera dilakukan.
♪ Reduksi terbuka juga dapat dilakukan pada kasus dimana teknik
manipulasi reduksi tertutup telah dilakukan dan gagal. Pada teknik reduksi
terbuka harus dilakukan insisi pada interkartilago. Gunting Knapp
disisipkan di antara insisi interkartilago dan lapisan kulit beserta jaringan
subkutan yang terpisah dari permukaan luar dari kartilago lateral atas,
dengan melalui kombinasi antara gerakan memperluas dan memotong.

6.7.Menjelaskan Komplikasi dari Fraktur Os. Nasal.


¤ Hematom septi
Merupakan komplikasi yang sering dan serius dari trauma nasal. Septum hematom
ditandai dengan adanya akumulasi darah pada ruang subperikondrial. Ruangan ini
akan menekan kartilago di bawahnya, dan mengakibatkan nekrosis septum
irreversible. Deformitas bentuk pelana dapat berkembang dari jaringan lunak yang
hilang. Prosedur yang harus dilakukan adalah drainase segera setelah ditemukan
disertai dengan pemberian antibiotik setelah drainase.
Penanganan hematom septum berupa :
♪ Insisi dan drainase hematoma
♪ Pemasangan drain sementara
♪ Pemasangan balutan intranasal untuk menekan mukosa septum
♪ Memperkecil kemungkinan terjadinya hematom ulang
♪ Dimulainya terapi antibiotik untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
bahaya infeksi.
¤ Fraktur dinding orbita
Fraktur pada dinding orbita dan lantai orbita akibat pukulan dapat terjadi.
Gejala klinis yang muncul adalah disfungsi otot ekstraokuler.

54
¤ Fraktur septum nasal
Sekitar 70% fraktur nasal dihubungkan dengan fraktur septum nasal.
Trauma pada hidung bagian bawah akan menyebabkan fraktur septum nasal tanpa
adanya kerusakan tulang hidung. Teknik yang dilakukan adalah teknik manipulasi
reduksi tertutup dengan menggunakan forceps Asch.

¤ Fraktur lamina kribriformis


Merupakan predisposisi pengeluaran cairan cerebrospinalis, yang akan
menyebabkan komplikasi berupa meningitis, encephalitis dan abses otak

6.8.Menjelaskan Prognosis dari Fraktur Os. Nasal.


Kebanyakan fraktur nasal tanpa disertai dengan perpindahan posisi akan sembuh
tanpa adanya kelainan kosmetik dan fungsional. Dengan teknik reduksi terbuka
dan tertutup akan mengurangi kelainan kosmetik dan fungsional pada 70 %
pasien.

55
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United States of
America: Firs Impression
Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta: Pustaka
Cendekia Press of Yogyakarta
Bates, B. (1997). Buku Saku Pemeriksaan Klinik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com

Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.
De Jong, W. (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Chusid, Neuroanatomi Korelatif dan Neurology Fungsional, bagian dua. Gajah Mada
University Press, 1991
Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC

Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.


Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatra Utara:
USU Press.

Masjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Swartz, M. (1997). Intisari Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

Harsono, Kapita Selekta Neurologi, edisi kedua. Gajah Mada University Press, 2003

Iskandar J, Cedera Kepala, PT Dhiana Populer. Kelompok Gramedia, Jakarta, 1981

Sidharta P, Mardjono M, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 1981.

Haryono Y. Rinorea cairan serebrospinal. USU. Departemen THT-KL FK USU. 2006

Nadeau K. Neurologic injury(chapter 29) in Jones and barlett learning.com. 2004

Bamberger D. Diagnosis, initial management and prevention of meningitis, University of


Missouri–Kansas City School of Medicine, Kansas City, Missouri.

Pillai P, Sharma R,MacKenzie R, Reilly EF, Beery PR, Thomas, Papadimos , Stawicki SPA.
raumatic tension pneumocephalus: Two cases and comprehensive review of literature. OPUS
12 Scientist 2010;4(1):6-11

56
57

Anda mungkin juga menyukai