Tanda Vital
Airway : terdengar bunyi snoring
Breathing : frekuensi nafas 10x/menit
Circulation : tekanan darah 160/90 mmHg, frekuensi nadi 40x/menit
Wajah
Terlihat adanya brill hematoma
Trauma di daerah sepertiga tengah wajah, pada pemeriksaan terlihat adanya cerebrospinal
rhinorrhea, mobilitas dari maxilla, krepitasi dan maloklusi dari gigi.
Hidung
Inspeksi : adanya edema atau deformitas pada hidung tidak ada
Palpasi : terdapat krepitasi pada hidung
Pemeriksaan fisik menggunakan rinoskopi anterior : terdapat clothing perdarahan aktif tidak
ada, tampak laserasi di septum dan konka inferior
Telinga
Liang telinga : lapang, terdapat laserasi, clothing (+), tidak terdapat perdarahan aktif dan
membran timpani utuh
Status Neurologi
GCS E1 M1 V1, pupil : bulat, anisokor, diameter 5 mm/3 mm, RCL -/+, RCTL -/+, kesan
hemiparesis dekstra, reflex patologis Babinsky +/-
1
KATA SULIT
2
PERTANYAAN
3
JAWABAN
1. Adanya gangguan kordinasi pada bagian gangguan kesadaran pada otak kecil
(cerebellum) dikarenakan adanya perdarahan sehingga terganggu kordinasinya.
2. Karena peningkatan tekanan intrakranial.
3. Karena ada fraktur os. Maxilla.
4. Karena terdapat trauma yang menyebabkan perdarahan yang mendesak otak.
5. Karena terdapat adanya trauma yang menyebabkan perdarahan yang mendesak otak.
6. Karena adanya hambatan jalan nafas disebabkan oleh lidah menutup rongga (jatuh
kebelakang).
7. Fraktur basis cranii, cedera kepala berat, perdarahan intrakranial.
8. Penanganan pertama : A (Airway Joutrash), B (Breathing Oksigenasi), C
(Circulation Resusitasi Cairan, menutup perdarahan).
9. Tekanan darah meningkat Syok dengan jantung berkompensasi dengan
peningkatan tekanan darah tekanan darah meningkat pembuluh darah
berkompensasi vasokontriksi frekuensi nadi rendah karena banyak aliran
darah dari tubuh.
10. CT Scan dan MRI.
11. Karena terdapat trauma yang menyebabkan perdarahan yang mendesak otak.
12. Karena terdapatnya adanya trauma yang menyebabkan perdarahan yang mendesak
otak.
13. Karena terdapat trauma yang mendesak perdarahan yang mendesak otak.
4
HIPOTESIS
5
SASARAN BELAJAR
6
6.6.Menjelaskan Tatalaksana dari Fraktur Os. Nasal.
6.7.Menjelaskan Komplikasi dari Fraktur Os. Nasal.
6.8.Menjelaskan Prognosis dari Fraktur Os. Nasal.
6.9.Menjelaskan Pencegahan dari Perda Fraktur Os. Nasal.
7
SASARAN BELAJAR
Hematom subdural Kecelakaan lalu lintas atau terjatuh, khususnya pada orang
berusia tua atau orang dengan penyalahgunaan alkohol yang
kronik
8
atau kepala yang membentur objek dengan sangat kuat;
fraktur tulang temporal, fraktur tulang occipital, dampak ke
arah atas dari vertebra cervical (fraktur dasar tulang
tengkorak)
Cedera penetrasi Misil (peluru) atau proyektil yang tajam (pisau, pemecah es,
kapak, baut)
Cedera aksonal difus Kepala yang sedang bergerak dan membentur permukaan
yang keras atau objek yang sedang bergerak membentur
kepala yang dalam kondisi diam; kecelakaan lalu lintas (saat
kerja atau pejalan kaki); gerakan kepala memutar
9
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr
dkk,2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus
pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade,
yang efeknya merusak otak.
Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah
cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon
dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya
glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan
perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya
kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel
fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang
konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera
metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan
sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan
iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak ( Lombardo, 2003 ).
b. Cedera tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.
10
jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna
merah kebiruan.
Abrasi
Luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini tidak sampai
pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak
ujung-ujung saraf yang rusak.
Avulsi
Apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian masih
berhubungan dengan tulang kranial. Intak kulit pada kranial terlepas
setelah kecederaan.
Fraktur diastasis
Jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak yang menyebabkan
pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Pada usia dewasa sering terjadi pada
sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.
Fraktur kominutif
Jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu fragmen dalam
satu area fraktur.
Fraktur impresi
Fraktur ini terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung
mengenai tulang kepala. Dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada
durameter dan jaringan otak.
11
1.5.Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding dari Cedera Kepala.
1. Anamnesis
Sedapatnya dicatat apa yang terjadi, dimana, kapan waktu terjadinya
kecelakaan yang dialami pasien. Selain itu perlu dicatat pula tentang
kesadarannya, luka-luka yang diderita, muntah atau tidak, adanya kejang.
Keliarga pasien ditanyakan apa yang terjadi.
12
verbal
5 Orientasi baik dan Menyebutkan kata – Menangis kuat
mampu kata yang sesuai
berkomunikasi
4 Disorientasi tapi Menyebutkan kata – Menangis lemah
mampu kata yang tidak sesuai
berkomunikasi
3 Menyebutkan kata Menangis dan menjerit Kadang – kadang
– kata yang tidak menangus/menjerit
sesuai (kasar, lemah
jorok)
2 Mengeluarkan Mengeluarkan suara Mengeluarkan suara
suara lemah lemah
1 Tidak ada respon Tidak ada respon Tidak ada respon
Pemeriksaan Skala Koma Glasgow tidak dapat dilakukan bila kedua mata
tertutup, misalnya bila kelopak mata membengkak. Rangsangan nyeri untuk
menimbulkan respon motorik dilakukan dengan menekan pertengahan
sternum dengan kapitulum metakarpal (telapak tangan) pertama jari tengah.
Bila ada tetraplegi tentu tes ini tidak akan berguna.
3. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah
abnormal.Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan
terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya
bisa merupakan akibat dari cedera kepala. Penilaian ukuran pupil dan
responnya terhadap rangsangan cahaya adalah pemeriksaan awal terpenting
dalam menangani cedera kepala. Salah satu gejala dini dari herniasi dari lobus
temporal adalah dilatasi dan perlambatan respon cahaya pupil. Dalam hal ini
adanya kompresi maupun distorsi saraf okulomotorius sewaktu kejadian
herniasi tentorial unkal akan mengganggu funsi akson parasimpatis yang
menghantarkan sinyal eferen untuk konstrksi pupil.Perubahan pupil pada
hematom epidural dapat dilihat dari tabel
13
(alert) dan mempunyai gerakan bola mata yang baik menandakan intaknya
sistem motorikokuler di batang otak. Pada keadaan kesadaran yang menurun,
gerakan bola mata volunter menghilang, sehingga untuk menilai gerakannya
ditentukan dari refleks okulosefalik dan okulovestibuler.
4. Pemeriksaan Neurologis
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis
lengkap seperti biasanya. Pada pasien yang berada dalam keadaan koma hanya
dapat dilakukan pemeriksaan obyektif. Pemeriksaan neurologis dilaksanakan
terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus,kekuatan, koordinasi, sensasi
dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.
Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda perangsangan
meningens, yang berupa tes kaku kuduk yang hanya boleh dilakukan bila
kolumna vertebralis servikalis (ruas tulang leher) normal. Tes ini tidak boleh
dilakukan bila ada fraktur atau dislokasi servikalis. Selain itu dilakukan
perangsangan terhadap sel saraf motorik dan sarah sensorik (nervus kranialis).
Saraf yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai saraf 12, yaitu :
a. nervus I (nervus olfaktoris)
b. nervus II (nervus optikus)
c. nervus III (nervus okulomotoris)
d. nervus IV (troklearis)
e. nervus V (trigeminus)
f. nervus VI (Abdusens)
g. nervus VII (fasialis)
h. nervus VIII (oktavus)
i. nervus IX (glosofaringeus)
j. nervus X (vagus)
k. nervus XI (spinalis)
l. nervus XII (hipoglosus)
nervus spinalis (pada otot lidah) dan nervus hipoglosus (pada otot belikat)
berfungsi sebagai saraf sensorik dan saraf motorik
5. Analisa gas darah untuk mengetahui masalah ventilasi dan oksigenasi akibat
peningkatan tekanan intracranial.
14
b) Compute Tomografik Scan (CT-Scan)
CT Scan untuk menentukan hemoragi, ukuran ventrikel, pergeseran
jaringan otak. CT-Scan diciptakan oleh Hounsfield dan Ambrose pada
tahun 1972. Dengan pemeriksaan ini kita dapat melihat ke dalam rongga
tengkorak. Potongan-potongan melintang tengkorak bersama isinya
tergambar dalam foto dengan jelas.43 Indikasi pemeriksaan CT-Scan pada
penderita trauma kapitis:
o GCS < 15 atau terdapat penurunan kesadaran
o Trauma kapitis ringan yang disertai dengan fraktur tulang
tengkorak
o Adanya tanda klinis fraktur basis kranii
o Adanya kejang
o Adanya tanda neurologis fokal
o Sakit kepala yang menetap.
d) Angiografi
Angiografi untuk menunjukkan kelainan sirkulasi cerebral seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
16
Perubahan kesadaran
Kesadaran rendah
Asimptomatis Sakit kepala progresif
Gejala fokal
Dizziness Intoksikasi alkohol/obat
Penurunan kesadaran
Laserasi skalp Riwayat tidak sesuai
Cedera penetrasi
Abrasi skalp ± perforasi tengkorak / fraktur depress
Fraktura depress
cedera wajah serius
a. Primary Survey
Airway
Membersihkan jalan nafas dengan memperhatikan kontrol servikal. Pasang
servikal collar untuk immobilisasi servikal sampai terbukti tidak ada
cedera servikal. Intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan pada
penderita koma.
Breathing
Penderita diberikan ventilasi dengan oksigen 100 % sampai diperoleh hasil
pemeriksaan analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang
tepat terhadap FiO2. Penggunaan pulse oksimeter sangat bermanfaat untuk
memonitor saturasi O2 (target > 98%).
Circulation
Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat,
walaupun tidak selalu tampak jelas. Pada penderita yang hipotensi, harus
segera distabiisasi untuk mencapai euvolemia, segera lakukan pemberian
cairan untuk mengganti volume yang hilang dengan perbandigan 3:1 (300
ml RL/100 mL darah yang hilang).
17
o Amnesia (Retrograde/antegrade), Sakit kepala (Ringan, sedang
atau berat)
8. Kriteria pemulangan
o Tidak memenuhi kriteria rawat
o Diskusikan kemungkinan kembali kerumah sakit bila keadaan
memburuk dan berikan lembaran observasi
o Jadwalkan untuk kontrol ulang (1 minggu)
18
e. Muntah, aspirasi, anoksia, kejang.
f. Riwayat peyakit sebelumnya, termasuk obat yang dipakai dan alergi.
2. Stabilisasi kardiopulmoner
a. Jalan napas, intubasi dini
b. Tekanan darah, normalkan segera dengan salin normal atau darah.
c. Kateter Folley, NGT.
d. Film diagnostik : Servikal, Abdomen, Perlvis, Tengkorak, dan
Ekstremitas.
3. Pemeriksaan Umum
5. Pemeriksaan neurologis
a. Kemampuan membuka mata
b. Respon motor
c. Respon verbal
d. Reflek pupil
e. Okulosefalik (dolls)
f. Okulovestibuler (kalorik)
6. Obat-obat terapeutik
a. Na Bikarbonat
b. Manitol
7. Tes Diagnostik
a. CT-Scan
b. Ventrikulogram udara
c. Angiogram
Cairan Intravena
Diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan
normovolemia. Jangan memberikan cairan hipotonik. Penggunaan cairan
yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang
berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu, cairan yang dianjurkan
adalah larutan garam fisiologis atau Ringer’s Lactate.
Hiperventilasi
Dilakukan dengan menurunkan PCO2 dan akan menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah otak. Sebaiknya dilakukan secara selektif
19
dan hanya pada waktu tertentu. Umumnya, PCO2 dipertahankan pada 35
mmHg atau lebih, karena PCO2 < 30 mmHg akan menyebabkan
vasokonstriksi serebri berat dan akhirnya iskemia otak. Hiperventilasi
dalam waktu singkat (25-30 mmHg) dapat diterima pada keadaan
deteriorasi neurologis akut.
Manitol
Merupakan diuretik osmotik yang poten, digunakan untuk menurunkan
TIK yang meningkat. Sediaan yang tersedia adalah cairan dengan
konsentrasi 20%. Dosis yang diberikan adalah 1 g/kg BB intravena. Jangan
diberikan pada pasien yang hipotensi. Indikasinya adalah deteriorasi
neurologis yang akut seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis atau
kehilangan kesadaran saat pasien observasi. Pada keadaan ini, berikan
bolus manitol dengan cepat (dalam 5 menit) dan penderita langsung
dibawa ke CT-Scan atau kamar operasi (bila sebab telah diketahui dengan
CT-Scan).
Furosemid
Diberikan bersama manitol, dosis yang biasa diberikan adalah 0,3-0,5
mg/kgBB diberikan secara intravena, tapi jangan diberikan pada pasien
hipovolemik.
Steroid
Pemberiannya tidak dianjurkan karena menurut beberapa penelitian tidak
menunjukkan manfaat.
Barbiturat
Bermanfaat menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obatan lain.
Tapi jangan diberikan pada keadaan hipotensi dan hipovolemi
Antikonvulsan
Epilepsi pascatrauma kadang terjadi, diduga berkaitan dengan kejang awal
yang terjadi pada minggu pertama, perdarahan intrakranial, atau fraktur
depresi. Fenitoin adalah obat yang biasa diberikan pada fase akut. Dosis
dewasa awalnya adalah 1 g intravena dengan kecepatan pemberian < 50
mg/menit dan dosis pemeliharaannya adalah 100 mg/8 jam, dengan titrasi
untuk mencapai kadar terapeutik serum. Pada pasien dengan kejang lama,
diazepam atau lorazepam digunakan digunakan sebagai tambahan sampai
kejang berhenti.
d. Tatalaksana Bedah (Tidak berlaku bila mati batang otak)
Dilakukan bila ada :
20
Massa lobus temporal 30 ml
A. Komplikasi bedah
1. Hematoma Intrakranial
Dapat terjadi pada keadaan akut setelah cedera kepala atau delayed
setelah beberapa waktu. Keberhasilan pengobatan tergantung pada
cepatnya diagnosis dan operasi evakuasi sesegera mungkin.
2. Hidrosefalus
5. Kebocoran CSS
Terutama menyertai fraktur basis. Pada proses penyembuhan luka,
umumnya kebocoran tersebut akan berhenti. Jika robekan durameter
terjepit pada garis fraktur dan menyebabkan kebocoran terus-menerus,
maka perlu tindakan operatif.
21
B. Komplikasi non bedah
1. Kejang post traumatika
Merupakan tanda cedera kortikal yang dapat timbul, baik secara dini,
maupun lambat, dan biasanya terjadi karena cedera vertikal atau
kerusakan pada lobus frontal, temporal ataupun parietal.
2. Infeksi
Infeksi pada cedera kepala umumnya disebabkan oleh kuman komensal
yang berada di kulit (scalp). Penggunaan antibiotika harus disesuaikan
dengan dugaan empiris kuman penyebab.
3. Gangguan Keseimbangan cairan dan elektrolit
Cedera kepala dapat menyebabkan gangguan aksis hipotalamus-hipofise,
sehingga produksi ADH berkurang, ditandai denganproduksi urin
menjadi berlebihan (dewasa > 250 cc/jam, anak > 3 cc/kgBB/jam),
osmolaritas urin yang rendah (50-150 Osm/L), berat jenis urin rendah
(1.001-1,005), kadar natrium serum normal atau meningkat, osmolaritas
plasma meningkat, dengan fungsi adrenal yang normal
4. Gangguan Gastrointestinal
Penderita cedera kepala akan mengalami peningkatan rangsang simpatik
yang mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga
mudah terjadi erosi. Anisipasinya adalah dengan pemberian obat
antagonis H-2 reseptor dan inhibitor pompa proton, seperti simetidin,
ranitidin, dan omeprazole.
5. Neurogenic Pulmonary Edema (NPE)
Jarang terjadi, umumnya menyertai cedera kepala yang berat.
Mekanismenya : Peningkatan TIK yang cepat atau cedera langsung pada
hipotalamus menyebabkan pelepasan rangsangan simpatik sehingga
terjadi aliran darah yang meningkat ke paru-paru dengan peningkatan
PCWP (Pulmonary Capillary Wedge Pressure) dan peningkatan
permeabilitas kapiler di paru.
Pelepasan katekolamin yang akan mempengaruhi endotel kapiler
(peningkatan permeabiitas alveolar)
22
2.2. Menjelaskan Etiologi dari Fraktur Basis Cranii.
1) Penyebab cedera kepala adalah karena adanya trauma yang dibedakan menjadi
2 faktor :
a. Trauma primer : Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung
(akselerasi dan deselerasi)
b. Trauma Sekunder : Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang
meluas, hipertensi intracranial, hipoksia, hiperkapneu atau hipotensi sistemik
2) Trauma akibat persalinan
3) Kecelakaan, kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil, kecelakaan pada saat
Olahraga
4) Jatuh
5) Cedera akibat kekerasan
3. Fraktur clivus
Digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam kecelakaan
kendaraann bermotor. Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah
dideskripsikan dalam literatur. Fraktur longitudinal memiliki prognosis
terburuk, terutama bila melibatkan sistem vertebrobasilar. Defisit pada nervus
cranial VI dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe ini.
23
Jenis – jenis fraktur tulang tengkorak :
Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada calvarium (atap tengkorak),
disebut Fraktur Calvarium dan fraktur pada basis cranium (dasar tengkorak),
disebut Fraktur Basis Cranium.
a. Fraktur Calvarium, beberapa contoh fraktur calvarium
Fraktur Liniair
Bila fraktur merupakan sebuah garis (celah) saja. Fraktur liniair yang
berbahaya ialah fraktur yang melintas os temporal; pada os temporal
terdapat alur yang dilalui Arteri Meningia Media. Bila fraktur
memutuskan Arteri Meningia Media maka akan terjadi perdarahan
hebat yang akan terkumpul di ruang diantara dura mater dan tulang
tengkorak , disebut perdarahan epidural.
24
sehingga terjadi gangguan sekresi ADH (Anti Diuretic Hormone)
yang menyebabkan Diabetes Insipidus.
25
fragmennya ke bagian lebih dalam danmemerlukan tindakan bedah saraf segera
terutama bila bersifat terbuka dimana fraktur depresi yang terjadi melebihi
ketebalan tulang tengkorak. Fraktur basis cranii merupakan fraktur yang terjadi
pada dasar tulang tengkorak yang bisa melibatkan banyak struktur neurovaskuler
pada basis cranii, tenaga benturan yang besar, dandapat menyebabkan kebocoran
cairan serebrospinal melalui hidung dan telinga danmenjadi indikasi untuk
evaluasi segera di bidang bedah saraf.
Fraktur basis Craniii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak, fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada durameter yang
merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis Craniii berdasarkan letak
anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur
fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis Craniii dan
tulang kalvaria. Durameter daerah basis Cranii lebih tipis dibandingkan daerah
kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada tulang dibandingkan
daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan
robekan durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal
yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis).
Tanda/gejala klinis fraktur tulang tengkorak antara lain:
1. Ekimosis periorbital (raccoon eyes sign) ditemukan jika frakturnya pada
bagian basis Craniii fossa anterior.
2. Ekimosis retroaurikuler (Battle sign), kebocoran cairan serebro spinal (CSS)
dari hidung (rhinorrhea) dan telinga (otorrhea) dimana keluarnya cairan otak
melalui telinga menunjukan terjadi fraktur pada petrous pyramid yang
merusak kanal auditory eksternal dan merobek membrane timpani
mengakibatkan bocornya cairan otak atau darah terkumpul disamping
membrane timpani tidak robek tanda ini ditemukan jika frakturnya pada
bagian basis Craniii fossa media.
Kondisi ini juga dapat menyebabkan lesi/gangguan nervus Craniialis VII dan VIII
(parase otot wajah dan kehilangan pendengaran), yang dapat timbul segera atau
beberapa hari setelah trauma.
Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-
anak dengan open fraktur depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli
bedah lebih suka untuk mengevaluasi fraktur depress jika segmen depress lebih
dari 5 mm di bawah inner table dari adjacent bone. Indikasi untuk elevasi segera
adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear dengan pneumocephalus, dan
hematom yang mendasarinya.
Kadang kadang, craniectomy dekompressi dilakukan jika otak mengalami
kerusaksan dan pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini, cranioplasty
dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain untuk interaksi bedah dini adalah fraktur
condylar os oksipital tipe unstable (tipe III) yang membutuhkan arthrodesis
atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi dalam-luar.
Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan
kerusakan ossicular (tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis
longitudinal pada os temporal.
Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan berlangsung selama
lebih dari 3 bulan atau jikamembrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain
adalah terjadinya kebocoran CSF yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal
ini memerlukan secara tepat lokasi kebocoran sebelum intervensi bedah
dilakukan.
27
2.8. Menjelaskan Prognosis dari Fraktur Basis Cranii.
Pada frakur basis Cranii fossa anterior dan media, prognosis baik selama
tanda tanda vital dan status neurologis dievaluasi secara teratur dan dilakukan
tindakan sedini mungkin apabila ditemukan deficit neurologis serta diberikan
profilaksis antibiotic untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder, sedangkan pada
fraktur basis Cranii posterior, prognosis buruk dikarenakan fraktur pada fossa
posterior dapat mengakibatkan kompresi batang otak
28
anak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara). Hematom epidural
yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi.
b. Letak : antara tulang tengkorak dan duramater
c. Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya
Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi :
a) Trauma kepala
b) Sobekan a/v meningea mediana
c) Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum
d) Ruptur v diplorica
Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat
adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan
arteri meningea mediana.Fraktur tengkorak yang menyertainya dijumpai
85-95 % kasus, sedang sisanya ( 9 % ) disebabkan oleh regangan dan
robekan arteri tanpa ada fraktur terutama pada kasus anak-anak dimana
deformitas yang terjadi hanya sementara.
Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang
terjadi, umumnya disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur
oksipital, parietal atau tulang sfenoid
d. Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi :
a) Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
b) Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam – 7 hari
c) Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7
e. Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri
kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam
kemudian timbul gejala-gejala yang memperberat progresif seperti nyeri
kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan darah
meninggi, pupil pada sisi perdarahan mula-mula sempit, lalu menjadi
lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap refleks cahaya. Ini adalah
tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi tentorial.
f. Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)
o Interval lucid
o Peningkatan TIK
o Gejala lateralisasi → hemiparese
g. Patofisiologi
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam
waktu yang lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir
selalu berhubungan dengan fraktur cranial linier. Pada kebanyakan pasien,
perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau keduanya.
Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur
melewati lekukan minengeal pada squama temporal.
h. Gejala Klinis
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari tria gejala;
a) Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang
diikuti dengan perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan
hemisphere contralateral. Lebih dari 50% pasien tidak ditemukan
adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari saat
terjadinya cedera.
29
Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya
jalan dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila
terdapat interval lucid.
Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang
minimal. Interval ini menggambarkan waktu yang lalu antara
ketidak sadaran yang pertama diderita karena trauma dan
dimulainya kekacauan pada diencephalic karena herniasi
transtentorial. Panjang dari interval lucid yang pendek
memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal dari
arteri.
b) Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung
dari efek pembesaran massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral
hemiparesis sampai penjendalan dapat juga menyebabkan tekanan
pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.
c) Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil
akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan
masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan
darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun sampai
koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran
sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi
yang merupakan tanda kematian.
i. Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati
hematoma subkutan
j. Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar.
Pada sisi kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda
kerusakan traktus piramidalis, misal: hemiparesis, refleks tendon meninggi
dan refleks patologik positif.
k. CT-Scan : ada bagian hiperdens yang bikonveks
l. LCS : jernih
m. Terapi
Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan
pengikatan pembuluh darah. Hematom epidural adalah tindakan
pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin, dekompresi jaringan otak di
bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan. Biasanya pasca operasi
dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari terjadinya
pengumpulan darah yamg baru.
- Trepanasi –kraniotomi, evakuasi hematom
- Kraniotomi-evakuasi hematom
n. Komplikasi outcome
Hematom epidural dapat memberikan komplikasi :
a) Edema serebri, merupakan keadaan-gejala patologis, radiologis,
maupun tampilan ntra-operatif dimana keadaan ini mempunyai
peranan yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain
shift) dan peningkatan tekanan intrakranial
b) Kompresi batang otak – meninggal
Sedangkan outcome pada hematom epidural yaitu :
a) Mortalitas 20% -30%
b) Sembuh dengan defisit neurologik 5% - 10%
30
c) Sembuh tanpa defisit neurologik
d) Hidup dalam kondisi status vegetatif
2) Hematom subdural
a. Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan
araknoid.
b. Perdarahan subdural dapat berasal dari:
e) Ruptur vena jembatan ( "Bridging vein") yaitu vena yang berjalan dari
ruangan subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan subdural
dan bermuara di dalam sinus venosus dura mater.
f) Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid
c. Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan
laserasi piamater serta arachnoid dari kortex cerebri. Trauma kepal,
Malformasi arteriovenosa, Diskrasia darah, Terapi antikoagulan
d. Klasifikasi
a) Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah
trauma.Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang
dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang
biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan
dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran
skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.
b) Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah
trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan
darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada
pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening
tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens
didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi
dari hemoglobin.
3) Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa
lebih.Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu
berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau
trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa
mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami
gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan
subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama
kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga
mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati
kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang
lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah
permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi
robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh
darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena
dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya
dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat
pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan
menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan
membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan
31
subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala
seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik
dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran
skening tomografinya didapatkan lesi hipodens
e. Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama
Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma
Gejala klinis
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit
kepala) sampai penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom
subdural tidak begitu hebat deperti kasus cedera neuronal primer, kecuali
bila ada effek massa atau lesi lainnya.
Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari
peninggian tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah,
vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor
pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya
tidak jelas, sering diduga tumor otak.
f. Patofisiologi
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecah dan mengalami memar
atau laserasi, adalah lokasi umum terjadinya perdarahan. Hal ini sangat
berhubungan dengan comtusio serebral dan oedem otak. CT Scan
menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari
ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.
g. CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian
Ada bagian hipodens yang berbentuk cresent.
Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan parenkim
otak (bagian dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar sesuai lengkung
tulang tengkorak)
Isodens → terlihat dari midline yang bergeser
Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak
(dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural
hematom akut terdiri dari trepanasi-dekompresi.
32
h. Terapi
Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom
secepatnya dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom
subdural kronis usia tua dimana biasanya mempunyai kapsul hematom
yang tebal dan jaringan otaknya sudah mengalami atrofi, biasanya lebih
dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi (diandingkan dengan
burr-hole saja).
a) Hemiparese/hemiplegia.
b) Disfasia/afasia
c) Epilepsi.
d) Hidrosepalus.
e) Subdural empyema
4) Perdarahan Intraserebral
Adalah perdarahan yang terjadi didalam jaringan otak. Hematom intraserbral
pasca traumatik merupkan koleksi darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera
regangan atau robekan rasional terhadap pembuluh-pembuluh
darahintraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera penetrans. Ukuran
hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai beberapa centimeter dan
dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera. Intracerebral hematom mengacu pada
hemorragi / perdarahan lebih dari 5 mldalam substansi otak (hemoragi yang lebih
kecil dinamakan punctate atau petechial /bercak).
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak
pada lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang
berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita dengan
perdarahan intraserebral luput dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi
dengan pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan
manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.
33
Gambar CT SCAN Intraserebral hematom
a. Etiologi
Intraserebral hematom dapat disebabkan oleh :
a) Trauma kepala.
b) Hipertensi.
c) Malformasi arteriovenosa.
d) Aneurisme
e) Terapi antikoagulan
f) Diskrasia darah
b. Klasifikasi
Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya ;
a) Hematom supra tentoral.
b) Hematom serbeller.
c) Hematom pons-batang otak.
c. Patofisiologi
Hematom intraserebral biasanta 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di
daerah ganglia basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya
serta fraktur kalvaria.
d. Gejala klinis.
Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip
dengan hematom ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada puncaknya
tampak setelah 2-4 hari pasca cedera, namun dengan adanya scan computer
tomografi otak diagnosanya dapat ditegakkan lebih cepat.
Kriteria diagnosis hematom supra tentorial
a) nyeri kepala mendadak
b) penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam.
c) Tanda fokal yang mungkin terjadi ;
- Hemiparesis / hemiplegi.
- Hemisensorik.
- Hemi anopsia homonim
- Parese nervus III.
Kriteria diagnosis hematom serebeller ;
a) Nyeri kepala akut.
b) Penurunan kesadaran.
34
c) Ataksia
d) Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial.
Kriteria diagnosis hematom pons batang otak:
a) Penurunan kesadaran koma.
b) Tetraparesa
c) Respirasi irreguler
d) Pupil pint point
e) Pireksia
f) Gerakan mata diskonjugat.
e. Terapi
Untuk hemmoragi kecil treatmentnya adalah observatif dan supportif. Tekanan
darah harus diawasi. Hipertensi dapat memacu timbulnya hemmoragi. Intra
cerebral hematom yang luas dapat ditreatment dengan hiperventilasi, manitol
dan steroid dengan monitorong tekanan intrakranial sebagai uasaha untuk
menghindari pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk hematom masif yang
luas dan pasien dengan kekacauan neurologis atau adanya elevasi tekanan
intrakranial karena terapi medis
Konservatif
a) Bila perdarahan lebih dari 30 cc supratentorial
b) Bila perdarahan kurang dari 15 cc celebeller
c) Bila perdarahan pons batang otak.
Pembedahan
Kraniotomi
a) Bila perdarahan supratentorial lebih dari 30 cc dengan effek massa
b) Bila perdarahan cerebeller lebih dari 15 cc dengan effek massa
5) Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya,
mungkin hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri,
hanya lebih berat. Tekanan darah dapat naik, nadi mungkin melambat. Gejala-
gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada. Cairan otak pun normal, hanya
tekanannya dapat meninggi.
a. TIK meningkat
b. Cephalgia memberat
c. Kesadaran menurun
35
3.4. Menjelaskan Manifestasi Klinis dari Perdarahan Intrakranial.
PERDARAHAN INTRASEREBRAL
Perdarahan intraserebral merupakan salah satu jenis stroke, yang
disebabkan oleh adanya perdarahan ke dalam jaringan otak.Perdarahan
intraserebral terjadi secara tiba-tiba, dimulai dengan sakit kepala, yang diikuti oleh
tanda-tanda kelainan neurologis (misalnya kelemahan, kelumpuhan, mati rasa,
gangguan berbicara, gangguan penglihatan dan kebingungan). Sering terjadi mual,
muntah, kejang dan penurunan kesadaran, yang bisa timbul dalam waktu beberapa
menit.
Biasanya dilakukan pemeriksaan CT scan dan MRI untuk membedakan
stroke iskemik dengan stroke perdarahan.Pemeriksaan tersebut juga bisa
menunjukkan luasnya kerusakan otak dan peningkatan tekanan di dalam otak.
Pungsi lumbal biasanya tidak perlu dilakukan, kecuali jika diduga terdapat
meningitis atau infeksi lainnya. Pembedahan bisa memperpanjang harapan hidup
penderita, meskipun masih dapat meninggalkan kelainan neurologis yang berat.
Tujuan pembedahan adalah untuk membuang darah yang telah terkumpul di
dalam otak dan untuk mengurangi tekanan di dalam tengkorak.
Perdarahan intraserebral merupakan jenis stroke yang paling berbahaya.
Stroke biasanya luas, terutama pada penderita tekanan darah tinggi menahun.
Lebih dari separuh pendeirta yang memiliki perdarahan yang luas, meninggal
dalam beberapa hari. Penderita yang selamat biasanya kembali sadar dan sebagian
fungsi otaknya kembali, karena tubuh akan menyerap sisa-sisa darah.
PERDARAHAN SUBARAKNOID
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga
diantara otak dan selaput otak (rongga subaraknoid).Sumber dari perdarahan
adalah pecahnya dinding pembuluh darah yang lemah (apakah suatu malformasi
arteriovenosa ataupun suatu aneurisma) secara tiba-tiba. Kadang aterosklerosis
atau infeksi menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah sehingga pembuluh
darah pecah. Pecahnya pembuluh darah bisa terjadi pada usia berapa saja, tetapi
paling sering menyerang usia 25-50 tahun. Perdarahan subaraknoid jarang terjadi
setelah suatu cedera kepala.
Perdarahan subaraknoid karena aneurisma biasanya tidak menimbulkan
gejala. Kadang aneurisma menekan saraf atau mengalami kebocoran kecil
sebelum pecah, sehingga menimbulkan pertanda awal, seperti sakit kepala, nyeri
wajah, penglihatan ganda atau gangguan penglihatan lainnya. Pertanda awal bisa
terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa minggu sebelum aneurisma pecah.
Jika timbul gejala-gejala tersebut harus segera dibawa ke dokter agar bisa diambil
tindakan untuk mencegah perdarahan yang hebat.
Pecahnya aneurisma biasanya menyebabkan sakit kepala mendadak yang
hebat, yang seringkali diikuti oleh penurunan kesadaran sesaat. Beberapa
penderita mengalami koma, tetapi sebagian besar terbangun kembali, dengan
perasaan bingung dan mengantuk. Darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak
akan mengiritasi selaput otak (meningen), dan menyebabkan sakit kepala, muntah
dan pusing. Denyut jantung dan laju pernafasan sering naik turun, kadang disertai
dengan kejang. Dalam beberapa jam bahkan dalam beberapa menit, penderita
kembali mengantuk dan linglung. Sekitar 25% penderita memiliki kelainan
neurologis, yang biasanya berupa kelumpuhan pada satu sisi badan.
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan CT scan,
yang bisa menunjukkan lokasi dari perdarahan. Jika diperlukan, bisa dilakukan
36
pungsi lumbal untuk melihat adanya darah di dalam cairan serebrospinal.
Angiografi dilakukan untuk memperkuat diagnosis dan sebagai panduan jika
dilakukan pembedahan.
Sekitar sepertiga penderita meninggal pada episode pertama karena
luasnya kerusakan otak. Sekitar15% penderita meninggal dalam beberapa minggu
setelah terjadi perdarahan. Penderita aneurisma yang tidak menjalani pembedahan
dan bertahan hidup, setelah 6 bulan memiliki resiko sebanyak 5% untuk terjadinya
perdarahan. Banyak penderita yang sebagian atau seluruh fungsi mental dan
fisiknya kembali normal, tetapi kelainan neurologis kadang tetap ada.
Penderita harus segera dirawat dan tidak boleh melakukan aktivitas berat.
Obat pereda nyeri diberikan untuk mengatasi sakit kepala hebat. Kadang dipasang
selang drainase di dalam otak untuk mengurangi tekanan. Pembedahan untuk
menyumbat atau memperkuat dinding arteri yang lemah, bisa mengurangi resiko
perdarahan fatal di kemudian hari. Pembedahan ini sulit dan angka kematiannya
sangat tinggi, terutama pada penderita yang mengalami koma atau stupor.
Sebagian besar ahli bedah menganjurkan untuk melakukan pembedahan
dalam waktu 3 hari setelah timbulnya gejala. Menunda pembedahan sampai 10
hari atau lebih memang mengurangi resiko pembedahan tetapi meningkatkan
kemungkinan terjadinya perdarahan kembali.
2) GCS < 13
a. Posisi terlentang kepala miring kekiri dengan diberi bantal tipis (head up 15
– 300) hal ini untuk memperbaiki venous return sehingga tekanan intra
kranial turun.
b. Beri masker Oksigen 6 – 8 liter/menit
c. Atasi hipotensi, usahakan tekanan sistolok diatas 100mmHg, jika tidak ada
perbaikan dapat diberikan vasopressor.
d. Pasang infus D5% 1/2 saline 1500 – 2000 cc/24 jam atau 25 – 30
CC/KgBB /24 jam
37
3) Pada penderita dengan GCS < 9 atau diperkirakan akan memerlukan perawatan
yang lebih lama maka hendaknya dipasang maagslang ukuran kecil (12 Fr)
untuk memberikan makanan, yang dimulai pada hari I dihubungkan dengan
500 CC Dextrose 5% gunanya pemberian sedini mungkin adalah untuk
menghindari atrophi villi usus, menetralisasikan asam lambung yang biasanya
sangat tinggi pH nya (stress ulcer), menambah energi yang tetap dibutuhkan
sehingga tidak terjadi metabolisme yang negatip, pemberian makanan melalui
pipa lambung ini akan ditingkatkan secara perlahan-lahan samai didapatkan
volume 2000 CC/ 24 jam dengan kalori 2000 Kkal., keuntungan lain dari
pemberian makanan peroral lebih cepat pada penderita tidak sadar antara laian :
(a) Mengurangi translokasi kuman di dinding usus halus dan usus besar, (b)
Mencegah normal flora usus masuk kedalam system portal
Sedini mungkin penderita dilakukan mobilisasi untuk menghindari terjadinya statik
pneumonia atau dekubitus dengan cara melakukan miring kekiri kan kanan setiap 2
jam. Pada penderita yang gelisah harus dicari dulu penyebabnya tidak boleh
langsung diberikan obat penenang seperti diazepam karena dapat menyebabkan
masking efek terhadap kesadarannya dan terjadinya depresi pernafasan. Pada
penderita gelisah dapat terjadi karena: (a) Nyeri OK : ( fraktur, kandung seni yang
penuh, tempat tidur yang kotor ), (b) Penderita mulai sadar, (c) Penurunan
kesadaran, (d) Shock, (e) Febris
Obat penenang hanya diberikan bila tidak didapatkan adanya hematom intrakranial
yang diketahui dari pemeriksaaan CT Scan.
Pada penderita dengan gelisah yang tidak disertai adanya lesi fokal intrakranial
oleh penulis dapat diberikan obat Chlorpromazine 12,5 mg (1/4 ampul) diberikan
IM pemberian dapat diulang 4 jam kemudian, pemberian obat ini harus hati-hati
karena dapat menyebabkan terjadinya orthostatik hipotensi.
Obat-obatan yang lain:
a. Antibiotika jika terdapat luka, atas indikasi yang lain biasanya golongan
penisillin misal ampicillin dengan dosis 50 mg/Kg BB/ hari dosis dibagi 4
b. Analgesik biasanya, metamizol (dewasa 3 X 1 ampul /IV)
c. Antimuntah, metocloperamide (dewasa 3X 1 ampul /IV)
d. Neurotropik seperti Citi cholin dengan dosis 3 X 250 mg/hari minimal 5 hari
dan jika masih terdapat gejala sisa diteruskan sampai 8 minggu
Pada penderita kejang :
Hentikan kejang dengan pemberian diazepam dosis 0,1 – 0,2 mg/kg sampai
kejang berhenti, tetapi jangan memberikan diazepam jika kejang sudah berhenti
sedangkan untuk mencegah kejang dapat diberikan diphenyl hidantoin dengan
dosis 5 – 8 mg/Kg BB/ hari dibagi 2 – 3, setelahnya harus dicari apa penyebab
kejang tersebut apakah faktor intrakranial atau faktor ekstrakranial
Pada penderita yang febris: febris dapat dibedakan oleh karena faktor
intrakranial akibat terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (central) atau
akibat faktor ekstrakranial misal hipotensi, infeksi sehingga sebelum diberikan
antipiretika harus dicari penyeabnya lebih dahulu karena obat anti piretika kadang
dapat menyebabkan hipotensi,
38
Observasi
Observasi pada kasus cidera kepala adalah kemauan dari paramedis/medis
untuk mencari komplikasi dini/lanjut dari cidera kepala tersebut seperti adanya
intrakranial hematom. Jadi hal-hal yang perlu di observasi meliputi faktor-faktor
ekstrakranial serta adanya tanda-tanda dari adanya lesi massa intrakranial.
Terapi Obat-obatan
Pengobatan perdarahan epidural bergantung pada berbagai faktor. Efek yang
kurang baik pada jaringan otak terutama dari efek massa yang menyebabkan
distorsi struktural, herniasi otak yang mengancam-jiwa, dan peningkatan tekanan
intrakranial.
Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah (1) intervensi bedah segera dan
(2) pengamatan klinis ketat, di awal dan secara konservatif dengan evakuasi
tertunda yang memungkinkan. Catatan bahwa perdarahan epidural cenderung
meluas dalam hal volume lebih cepat dibandingkan dengan perdarahan subdural,
dan pasien membutuhkan pengamatan yang sangat ketat jika diambil rute
konservatif.
Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah
segera. Jika lesinya kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis yang baik,
mengamati pasien dengan pemeriksaan neurologis berkala cukup masuk akal.
Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan dengan
penilaian klinis, publikasi terbaru “Guidelines for the Surgical Management of
Traumatic Brain Injury” merekomendasikan bahwa pasien yang memperlihatkan
perdarahan epidural < 30 ml, < 15 mm tebalnya, dan < 5 mm midline shift, tanpa
defisit neurologis fokal dan GCS > 8 dapat ditangani secara non-operatif. Scanning
follow-up dini harus digunakan untukmenilai meningkatnya ukuran hematom
nantinya sebelum terjadi perburukan. Terbentuknya perdarahan epidural terhambat
telah dilaporkan. Jika meningkatnya ukuran dengan cepat tercatat dan/atau pasien
memperlihatkan anisokoria atau defisit neurologis, maka pembedahan harus
diindikasikan. Embolisasi arteri meningea media telah diuraikan pada stadium awal
perdarahan epidural, khususnya ketika pewarnaan ekstravasasi angiografis telah
diamati.
Ketika mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan, proses penyakit
primer yang mendasarinya harus dialamatkan sebagai tambahan prinsip
fundamental yang telah didiskusikan diatas.
Terapi Bedah
Berdasarkan pada “Guidelines for the Management of Traumatic Brain
Injury“, perdarahan epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi
bedah, tanpa mempertimbangkan GCS. Kriteria ini menjadi sangat penting ketika
perdarahan epidural memperlihatkan ketebalan 15 mm atau lebih, dan pergeseran
dari garis tengah diatas 5 mm. Kebanyakan pasien dengan perdarahan epidural
seperti itu mengalami perburukan status kesadaran dan/atau memperlihatkan tanda-
tanda lateralisasi.
Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan pembedahan.
Hematom temporal, jika cukup besar atau meluas, dapat mengarah pada herniasi
uncal dan perburukan lebih cepat. Perdarahan epidural pada fossa posterior yang
sering berhubungan dengan gangguan sinus venosus lateralis, sering membutuhkan
evakuasi yang tepat karena ruang yang tersedia terbatas dibandingkan dengan
ruang supratentorial.
39
Sebelum adanya CT-scan, pengeboran eksplorasi burholes merupakan hal
yang biasa, khususnya ketika pasien memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi atau
perburukan yang cepat. Saat ini, dengan teknik scan-cepat, eksplorasi jenis ini
jarang dibutuhkan.
Saat ini, pengeboran eksplorasi burholes disediakan bagi pasien berikut ini
:Pasien dengan tanda-tanda lokalisasi menetap dan bukti klinis hipertensi
intrakranial yang tidak mampu mentolerir CT-scan karena instabilitas
hemodinamik yang berat. Pasien yang menuntut intervensi bedah segera untuk
cedera sistemiknya.
40
b. Jangan merokok
c. Jangan menggunakan obat-obat terlarang, misalnya kokain, dapat
meningkatkan risiko terjadinya perdarahan di otak
d. Mengemudi dengan hati-hati, gunakan sabuk pengaman Anda
e. Selalu memakai helm saat mengendarai sepeda motor
f. Jika Anda memiliki aneurisma, tindakan pembedahan dapat diakukan untuk
mencegah perdarahan di kemudian hari
Etiologi
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,
kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu
lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat membawa kematian
dan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka
terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun
Klasifikasi
a. Trauma Jaringan Lunak Wajah
Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan (Wim de Jong,
2000):
1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab
a. Ekskoriasi
b. Luka sayat (vulnus scissum), luka robek (vulnus laceratum), luka tusuk
(vulnus
41
punctum)
c. Luka bakar (combustio)
d. Luka tembak (Vulnus Sclopetorum)
2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
Skin Avulsion & Skin Loss
3. Dikaitkan dengan unit estetik
Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer. yang
menyilang garis Langer tidak menguntungkan mengakibatkan penyembuhan yang
secara kosmetik jelek. Insisi fasial ditempatkan sejajar dengan garis Langer
(Padersen,2007)
a. Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau bergabung dengan
fraktur – fraktur Le Fort II dan III. Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam
jenis fraktur transversus rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di
atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate.
Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara terpisah dari
bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini
sering disebut sebagai fraktur transmaksilari. Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort
I dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada
pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi.
Secara visualisasi dapat terlihat adanya edema pada bibir atas dan ekimosis.
Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada
pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat
rasa nyeri. Selanjutnya pemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen
dengan proyeksi wajah anterolateral.
42
b. Fraktur Le Fort II (Thomas, 2007)
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan fraktur
hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus,
fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatikomaksilaris dan
nasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena. Seperti pada fraktur Le Fort I,
bergeraknya lengkung rahang atas, biasa merupakan suatu keluhan atau ditemukan
saat pemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I,
seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I. Pemeriksaan klinis
pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan
intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi
dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis
dan edema periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung bergerak
bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang dipersarafi oleh
nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi
tidak separah jika dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi
terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan
dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah
polos dan CT scan.
Manifestasi klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma
maksilofasial dapat berupa (Grabb and Smith 2007;
Thomas, 2007)
1. Dislokasi, berupa perubahan posisi
yg menyebabkan maloklusi terutama
pada fraktur mandibula.
2. Pergerakan yang abnormal pada sisi
fraktur.
3. Rasa nyeri pada sisi fraktur.
4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas.
5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat
menentukan lokasi daerah fraktur.
6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari
ujung tulang yang fraktur.
7. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar
fraktur.
8. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat
pembengkakan
9. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi
di bawah nervus alveolaris.
43
10. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda,
penurunan pergerakan bola mata dan penurunan visus.
Diagnosis
Pemeriksaan fisik
Secara umum yang dinilai adalah sebagai berikut :
a. Lokasi nyeri dan durasi nyerinya.
b. Adanya Krepitasi.
c. Fraktur. Tanda pasti fraktur adalah pemendekan, rotasi, angulasi, dan false
movement
d.Deformitas, kelainan bentuk.
e. Trismus (tonik kontraksi rahang)
f. Edema.
g. Ketidakstabilan, atau keabnormalan bentuk dan gerakan yang terbatas
Inspeksi
Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah :
a. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema.
b. luka tembus.
c. Asimetris atau tidak.
d. Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal.
e. Otorrhea / Rhinorrhea
f. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign.
g. Cedera kelopak mata.
h. Ecchymosis, epistaksis
i. Defisit pendengaran.
j. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas.
Palpasi
Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis, jaringan
hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka terbuka untuk memastikan adanya benda
asing seperti pasir, batu kerikil.
44
6. Memahami dan Menjelaskan dari Fraktur Os. Nasal.
6.1.Menjelaskan Definisi dari Fraktur Os. Nasal.
Fraktur adalah terjadinya diskontinuitas jaringan tulang (patah tulang) yang
biasanya disebabkan benturan keras.
Fraktur os nasal merupakan kasus trauma terbanyak pada wajah dan
merupakan kasus fraktur ketiga terbanyak di seluruh tulang penyusun tubuh
manusia. Di Amerika Serikat, kejadian fraktur os nasal rata-rata 51.200 per tahun.
Fraktur os nasal banyak terjadi pada usia 15-40 tahun dan tiga kali lebih banyak
terjadi pada laki-laki. Penyebab fraktur nasal adalah kekerasan (42,65%),
kecelakaan lalu lintas (35,29%), pekerjaan (13,24%) dan terjatuh saat olahraga
(8,82%).
45
dinding orbita; fraktur lamina kribriformis; fraktur sinus frontalis dan fraktur
maksila Le Fort I, II, dan III. Terdapat beberapa jenis fraktur nasal antara lain :
¤ Fraktur lateral
Adalah kasus yang paling sering terjadi, dimana fraktur hanya terjadi pada
salah satu sisi saja, kerusakan yang ditimbulkan tidak begitu parah.
46
Gambar. Fraktur direct frontal
¤ Fraktur comminuted
Adalah fraktur kompleks yang terdiri dari beberapa fragmen. Fraktur ini
akan menimbulkan deformitas dari hidung yang tampak jelas.
47
¤ Menurut Hwang, fraktiur nasal dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
♪ Tipe I : Fraktur sederhana tanpa deviasi
♪ Tipe II : Fraktur sederhana dengan deviasi
♪ IIA : Unilateral
♪ IIAs : Unilateral dengan fraktur septum nasi
♪ IIB : Bilateral
♪ IIBs : Bilateral dengan fraktur septum nasi
♪ Tipe III : Fraktur communited
¤ Menurut Michael, fraktur nasal dapat diklasifikasikan berdasarkan
beratnya dan kerusakan pada septum nasi
♪ Tipe I : Fraktur sederhana tanpa deviasi, jika terjadi fraktur unilateral
atau bilateral tanpa menyebabkan pergeseran pada garis tengah
♪ Tipe II : Fraktur sederhana dengan deviasi, jika terjadi fraktur
unilateral atau bilateral dan menyebabkan pergeseran pada garis tengah
♪ Tipe III : Fraktur communited, jika terjadi fraktur bilateral yang
menyebabkan septum tidak lurus tetapi tidak menyebabkan pergeseran
garis tengah
♪ Tipe IV : Deviasi tulang hidung dan fraktur septum nasi , jika terjadi
fraktur bilateral yang menyebabkan septum tidak lurus dan
menyebabkan pergeseran garis tengah dan juga terjadi fraktur septum
nasi ataupun dislokasi septum nasi.
♪ Tipe V : Fraktur kompleks nasal dan septum nasi, jika terjadi fraktur
dan juga menyebabkan laserasi pada jaringan serta saddle nose.
¤ Menurut Samuel, yang memodifikasi klasifikasi fraktur nasal yang telah
dibuat oleh Murray, fraktur nasal dapat diklasifikasikan menjadi:
♪ Tipe I : Cedera jaringan lunak sekitar hidung
♪ Tipe IIa : Fraktur sederhana unilateral tanpa deviasi
♪ Tipe IIb : Fraktur sederhana bilateral dengan deviasi
♪ Tipe III : Fraktur sederhana disertai deviasi
♪ Tipe IV : Fraktur communited tertutup
♪ Tipe V : Fraktur communited terbuka atau termasuk fratur tipe II-IV
tetapi disertai dengan kebocoran cairan serebrospinal, hematom septum
nasi, obstruksi jalan nafas, deviasi berat dan termasuk fraktur Naso-
orbito-etmoidalis.
48
¤ Hidung terlihat miring atau melengkung
¤ Sulit bernapas melalui hidung meskipun reaksi peradangan telah mereda
¤ Terjadi demam
¤ Perdarahan hidung berulang
Anamnesis
Rentang waktu antara trauma dan konsultasi dengan dokter sangatlah
penting untuk penatalaksanaan pasien. Sangatlah penting untuk menentukan
waktu trauma dan menentukan arah dan besarnya kekuatan dari benturan. Sebagai
contoh, trauma dari arah frontal bisa menekan dorsum nasal, dan menyebabkan
fraktur nasal. Pada kebanyakan pasien yang mengalami trauma akibat olahraga,
trauma nasal yang terjadi berulang dan terus menerus, dan deformitas hidung akan
menyebabkan sulit menilai antara trauma lama dan trauma baru sehingga akan
mempengaruhi terapi yang diberikan. Informasi mengenai keluhan hidung
sebelumnya dan bentuk hidung sebelumnya juga sangat berguna. Keluhan utama
yang sering dijumpai adalah epistaksis, deformitas hidung, obstruksi hidung dan
anosmia.
49
Pemeriksaan fisik
Kebanyakan fraktur nasal adalah pelengkap trauma seperti trauma akibat
dihantam atau terdorong. Sepanjang penilaian awal dokter harus menjamin bahwa
jalan napas pasien aman dan ventilasi terbuka dengan sewajarnya. Fraktur nasal
sering dihubungkan dengan trauma pada kepala dan leher yang bisa
mempengaruhi patennya trakea. Fraktur nasal ditandai dengan laserasi pada
hidung, epistaksis akibat robeknya membran mukosa. Jaringan lunak hidung akan
nampak ekimosis dan udem yang terjadi dalam waktu singkat beberapa jam
setelah trauma dan cenderung nampak di bawah tulang hidung dan kemudian
menyebar ke kelopak mata atas dan bawah.
Deformitas hidung seperti deviasi septum atau depresi dorsum nasal yang
sangat khas, deformitas yang terjadi sebelum trauma sering menyebabkan
kekeliruan pada trauma baru. Pemeriksaan yang teliti pada septum nasal sangatlah
penting untuk menentukan antara deviasi septum dan hematom septi, yang
merupakan indikasi absolut untuk drainase bedah segera. Sangatlah penting untuk
memastikan diagnosa pasien dengan fraktur, terutama yang meliputi tulang
ethmoid. Fraktur tulang ethmoid biasanya terjadi pada pasien dengan fraktur nasal
fragmental berat dengan tulang piramid hidung telah terdorong ke belakang ke
dalam labirin ethmoid, disertai remuk dan melebar, menghasilkan telekantus,
sering dengan rusaknya ligamen kantus medial, apparatus lakrimalis dan lamina
kribriformis, yang menyebabkan rhinorrhea cerebrospinalis.
Pada pemeriksaan fisis dengan palpasi ditemukan krepitasi akibat
emfisema subkutan, teraba lekukan tulang hidung dan tulang menjadi irregular.
Pada pasien dengan hematom septi tampak area berwarna putih mengkilat atau
ungu yang nampak berubah-ubah pada satu atau kedua sisi septum nasal.
Keterlambatan dalam mengidentifikasi dan penanganan akan menyebabkan
deformitas bentuk pelana, yang membutuhkan penanganan bedah segera.
Pemeriksaan dalam harus didukung dengan pencahayaan, anestesi, dan semprot
hidung vasokonstriktor. Spekulum hidung dan lampu kepala akan memperluas
lapangan pandang. Pada pemeriksaan dalam akan nampak bekuan darah dan/atau
deformitas septum nasal.
Pemeriksaan radiologis
Jika tidak dicurigai adanya fraktur nasal komplikasi, radiografi jarang
diindikasikan. Karena pada kenyataannya kurang sensitif dan spesifik, sehingga
hanya diindikasikan jika ditemukan keraguan dalam mendiagnosa. Radiografi
tidak mampu untuk mengidentifikasi kelainan pada kartilago dan ahli klinis sering
salah dalam menginterpretasikan sutura normal sebagi fraktur yang disertai
dengan pemindahan posisi. Bagaimanapun, ketika ditemukan gejala klinis seperti
rhinorrhea cerebrospinalis, gangguan pergerakan ekstraokular atau maloklusi. CT-
scan dapat diindikasikan untuk menilai fraktur wajah atau mandibular.
50
Gambar : Foto x-ray fraktur hidung
Konservatif
Penatalaksanaan fraktur nasal berdasarkan atas gejala klinis, perubahan
fungsional dan bentuk hidung, oleh karena itu pemeriksaan fisik dengan
dekongestan nasal dibutuhkan. Dekongestan berguna untuk mengurangi
pembengkakan mukosa. Pasien dengan perdarahan hebat, biasanya dikontrol
dengan pemberian vasokonstriktor topikal. Jika tidak berhasil bebat kasa tipis,
kateterisasi balon, atau prosedur lain dibutuhkan tetapi ligasi pembuluh darah
jarang dilakukan. Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol
perdarahan setelah vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung selama
2-5 hari sampai perdarahan berhenti. Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada
hidungnya dan kepala sedikit ditinggikan untuk mengurangi pembengkakan.
Antibiotik diberikan untuk mengurangi resiko infeksi, komplikasi dan kematian.
51
Analgetik berperan simptomatis untuk mengurangi nyeri dan memberikan rasa
nyaman pada pasien.
Fraktur nasal merupakan fraktur wajah yang tersering dijumpai. Jika dibiarkan
tanpa dikoreksi, akan menyebabkan perubahan struktur hidung dan jaringan lunak
sehingga akan terjadi perubahan bentuk dan fungsi. Karena itu, ketepatan waktu
terapi akan menurunkan resiko kematian pasien dengan fraktur nasal. Terdapat
banyak silang pendapat mengenai kapan seharusnya penatalaksanaan dilakukan.
Penatalaksanaan terbaik seharusnya dilakukan segera setelah fraktur terjadi,
sebelum terjadi pembengkakan pada hidung. Sayangnya, jarang pasien dievaluasi
secara cepat. Pembengkakan pada jaringan lunak dapat mengaburkan apakah
patah yang terjadi ringan atau berat dan membuat tindakan reduksi tertutup
menjadi sulit dilakukan. Sebab dari itu pasien dievaluasi setelah 3-4 hari
berikutnya. Tindakan reduksi tertutup dilakukan 7-10 hari setelahnya dapat
dilakukan dengan anestesi lokal. Jika tindakan ditunda setelah 7-10 hari maka
akan terjadi kalsifikasi.
Setelah memastikan bahwa saluran napas dalam kondisi baik, pernapasan
optimal dan keadaan pasien cenderung stabil, dokter baru melakukan
penatalaksaan terhadap fraktur. Penatalaksanaan dimulai dari cedera luar pada
jaringan lunak. Jika terjadi luka terbuka dan kemungkinan kontaminasi dari benda
asing, maka irigasi diperlukan. Tindakan pembersihan (debridement) juga dapat
dilakukan. Namun pada tindakan debridement harus diperhatikan dengan bijak
agar tidak terlalu banyak bagian yang dibuang karena lapisan kulit diperlukan
untuk melapisi kartilago yang terbuka.
Terdapat berbagai algoritma dalam penatalksanaan fraktur nasal tergantung
dari klasifikasi yang digunakan.
¤ Algoritma yang dibuat oleh Michael et al:
Evaluasi
Reduksi septorinoplasti
tertutup Reduksi
terbuka tulang
gagal dan septum
52
¤ Algoritma yang dibuat oleh Samuel et al:
Operatif
Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen tulang,
penanganan bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan spontan.
Deformitas akibat fraktur nasal sering dijumpai dan membutuhkan reduksi dengan
fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi hidung.
53
masing sisi (blade) ke dalam kedua rongga hidung sambil menekan septum
dengan kedua sisi forsep. Sesudah fraktur dikembalikan pada posisi semula
dilakukan pemasangan tampon di dalam rongga hidung. Tampon yang
dipasang dapat ditambah dengan antibiotika.
54
¤ Fraktur septum nasal
Sekitar 70% fraktur nasal dihubungkan dengan fraktur septum nasal.
Trauma pada hidung bagian bawah akan menyebabkan fraktur septum nasal tanpa
adanya kerusakan tulang hidung. Teknik yang dilakukan adalah teknik manipulasi
reduksi tertutup dengan menggunakan forceps Asch.
55
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United States of
America: Firs Impression
Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta: Pustaka
Cendekia Press of Yogyakarta
Bates, B. (1997). Buku Saku Pemeriksaan Klinik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com
Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.
De Jong, W. (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Chusid, Neuroanatomi Korelatif dan Neurology Fungsional, bagian dua. Gajah Mada
University Press, 1991
Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC
Swartz, M. (1997). Intisari Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Harsono, Kapita Selekta Neurologi, edisi kedua. Gajah Mada University Press, 2003
Pillai P, Sharma R,MacKenzie R, Reilly EF, Beery PR, Thomas, Papadimos , Stawicki SPA.
raumatic tension pneumocephalus: Two cases and comprehensive review of literature. OPUS
12 Scientist 2010;4(1):6-11
56
57