Anda di halaman 1dari 5

Nama : Shoviana

Nim : 23010150237

Kelas : C

BANYAKNYA PERATURAN MEMBUAT REMAJA


SEMAKIN KREATIF MENGAKALI

Pendahuluan
Setiap makhluk yang hidup pasti memiliki peraturan, begitu pula dengan
manusia. Peraturan dibuat agar kehidupan dalam bermasyarakat lebih teratur,
tertib dan disiplin. Menurut Abdullah “Peraturan merupakan bagian dari upaya
pembentukan karakter manusia.”1 Dengan demikian mampu mengarahkan
manusia untuk melakukan kebaikan dan menghindari kesalahan. Banyaknya
peraturan yang harus ditaati membuat remaja merasa tertekan, keadaan seperti
itu membuat mereka melampiaskan kondisi emosional yang dirasakan dengan
perilaku menentang aturan yang ditandai dengan pelanggaran tata tertib.

Kreativitas Remaja dalam Mengakali Peraturan


Berdasarkan ilmu biologi yang dipelajari penulis semasa SMA, anak
memasuki masa remaja mereka mengalami perubahan hormon. Perubahan
tersebut mengakibatkan perubahan fisiknya maupun emosionalnya. Banyak
orang beranggapan bahwa masa remaja merupakan masa yang paling rawan
terhadap munculnya berbagai permasalahan (baik permasalahan terhadap diri
sendiri, kelompok, orang tua dan sikap membrontak terhadap peraturan-
peraturan yang telah ditetapkan).
Remaja merupakan masa percobaan, peralihan dan masa yang bergejolak,
maka sulit untuk dipahami. Sehingga dibutuhkan peran serta orang dewasa
untuk membantu, membimbing, mengarahkan, mendidik, memahami pola
pikir, perilaku dan emosinya yang masih berbeda dengan orang dewasa.
Langkah dan cara orang dewasa menghadapi remaja antara lain:
Orang dewasa (orang tua, guru dan tokoh masyarakat) harus bertingkah
laku sesuai dengan norma-norma yang baik. 2) Pendidik sebaiknya lebih
bersifat membimbing, mencarikan alternatif dan tidak otoriter. 3)

1
Abdullah Munir, Pendidikan Karakter, Bintang Pustaka Abadi, Yogyakarta, 2010, hlm. 11.

1
Komunikasi orang tua dan guru harus ditingkatkan. 4) Penanaman norma-
norma harus logis dan disertai dengan contohnya.2

Remaja itu suka akan kebebasan, maka sebaiknya orang tua lebih
membebaskan remaja karena mereka memang tidak bisa dilarang. Ketika
remaja dilarang mereka bagaikan terbentur tembok penghalang dan mereka
akan selalu berusaha mencari cara untuk menerobos. Untuk menyikapi sifat
remaja yang suka kebebasan, maka orang tua memang perlu menyerahkan
kendali ke anak, namun harus dengan kontrol.
Remaja memang suka akan kebebasan, menurut Azizah “Remaja mula-
mula tidak mau memakai pedoman hidup dan sikap atau pedoman hidup yang
baru, hal inilah yang menyebabkan dan akan menimbulkan masalah-masalah.”3
Oleh karenanya memang orang tua harus menanamkan aturan-aturan sedini
mungkin. Sebab, ketaatan anak terhadap suatu aturan itu tidak terbentuk dalam
waktu yang sekejap.
Menurut Imam “Orang tua dalam memberikan aturan harus konsisten,
karena dengan cara inilah remaja akan belajar memahami apa yang diharapkan
darinya. Sikap orang tua yang tidak konsisten dalam menegakkan aturan dapat
membuat anak menjadi oportunis (mencari kesempatan untuk memperoleh
keuntungan semata).”4

Orang tua memang boleh melarang boleh membuat aturan, tapi cara
melarang dan menegakkan aturan berbeda ketika mereka masih anak-anak.
Orang tua sebaiknya mengajak anak untuk berpikir mengapa mereka dilarang.
Contoh hal yang pernah dilakukan penulis dan kerap dilakukan remaja
diantaranya yaitu: Usai jam sekolah, mereka tak langsung pulang. Begitu
mereka pulang agak sore, sudah menyiapkan serangkaian jawaban untuk
menutupi kenyataan yang sesungguhnya mereka lakukan. Itulah hal yang
umum dan jadi pemandangan keseharian yang bisa kita lihat dari ulah remaja
guna melepaskan diri dari aturan yang dibuat orang tua.

Melihat kondisi remaja yang sering melanggar dan pandai membuat sejuta
alasan, orang tua sebaiknya mengajak anak berdiskusi dan membiarkan ia
2
Azizah, Kebahagiaan dan Permasalahan di Usia Remaja, dalam Jurnal Bimbingan
Konseling Islam, No. 2 Tahun 2013, hlm. 297.
3
Ibid., hlm. 305.
4
Imam Musbikin, Mendidik Anak Nakal, Mitrapustaka, Yogyakarta, 2007, hlm. 75.

2
memikirkan tindakannya. Dulu saat penulis memasuki masa remaja ia hanya
butuh didengar, karena itu orang tua jangan terlalu banyak berbicara. Orang tua
juga sebaiknya tidak menghakimi anak jika mereka menjelaskan alasan-alasan
dari tindakannya. Jadilah orang tua yang mampu menjadi sahabat bagi anak-
anaknya karena dari situ bisa memberi pengarahan dan penjelasan apa yang
boleh mereka lakukan dan apa yang harus mereka hindari.
Sebuah aturan itu ada hubungannya dengan kedisiplinan dalam melakukan
suatu hal. Berbagai redaksi definisi disiplin akan peraturan dapat ditelaah pada
buku-buku yang ada, di antaranya Conny berpendapat sebagai berikut:
Disiplin adalah pengaruh yang dirancang untuk membantu anak mampu
menghadapi tuntutan dari lingkungannya. Disiplin itu tumbuh dari
kebutuhan untuk menjaga keseimbangan antara kecenderungan dan
keinginan individu untuk berbuat sesuatu. Dengan batasan peraturan yang
diperlukan terhadap dirinya atau lingkungan dimana individu itu hidup.5

Banyaknya aturan yang dibuat orang tua membuat anak tertekan, hal
tersebut meningkatkan kreativitas anak bagaimana cara mengelabuhi atauran-
aturan yang dilarang tersebut. Dalam mengelabuhi sebuah aturan terkadang
anak melampaui batas dan menjadi anak yang membangkang. Dalam
pandangan psikologi yang diungkapkan oleh Mahasri:
Memang terdapat periode tertentu dimana anak punya kecenderungan suka
membangkang, dimana anak muncul keinginan untuk mencoba-coba
otoritasnya untuk menguasai dan mengendalikan lingkungan, bukan
sebaliknya, lingkungan yang mengendalikan dirinya.6

Saat anak menunjukkan sikap membangkang terhadap suatu aturan, orang


tua tidak boleh serta merta menyalahkan anaknya. Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan diantaranya yaitu keteladan yang diberika orang tua pada
anaknya.
Misalnya: Ketika orang tua menghendaki anak-anaknya sholat berjama’ah di
masjid, maka mereka juga harus beranjak dari tempat kerjanya untuk bersama-
sama berangkat ke masjid. Dengan demikian keteladanan orang tua menjadi
penting untuk diperhatikan agar anak tidak membangkan terhadap suatu aturan

5
Conny R. Semiawan, Pendidikan Keluarga dalam Era Global, PT Prenhallindo, Jakarta,
2002, hlm. 90.
6
Mahasri Shobahiya, Mengapa Anak Menjadi “Pembangkang”?, dalam Artikel Prosiding
Seminar Nasional Parenting, Tahun 2013, hlm. 188.

3
yang ingin ditegakkan. “Keteladanan adalah metode influitif yang paling
meyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk moral,
spiritual, dan sosial anak.”7
Peraturan yang diperlakukan orang tua terhadap anak remajanya terkadang
membuat tidak nyaman bahkan mereka mengaku kemerdekaan mereka sebagai
remaja serasa dirampas. Semua itu dilakukan orang tua karena mereka tau buah
hatinya memiliki potensi bisa sebagai korban, juga bisa menjadi pelaku tindak
kejahatan dan itu bisa berawal dari lingkungan pergaulan mereka yang buruk.
Maka dari itu orang tua senantiasa mewanti-wanti bahkan memberikan
pengawasan ekstra ketat terhadap anak-anaknya sebelum segala kemungkinan
buruk itu terjadi dan menimpa anak remajanya.
Menurut penulis mengakali peraturan yang diperlakukan orang tua itu
terkadang perlu, sebab terlalu patuh dan taat dengan aturan membuat si anak
jadi tak punya prinsip dan kesempatan untuk menunjukkan potensi bahwa dia
bisa tetap menjadi anak yang dibanggakan meski berbeda pandangan dengan
disiplin yang dibuat orang tuanya. Dan justru ketika anak memiliki keberanian
untuk membantah dan meluruskan pandangan orang tua yang salah itu, maka
anak menunjukkan keberaniannya untuk membangun sebuah komunikasi yang
tidak melulu pendapat orang tua harus diterima dan dicerna begitu saja.
Seringkali peraturan juga berujung pada hukuman, ketika anak tidak
menaati aturan yang ditetapkan orang tua maka akan dihukum. Dalam memberi
hukuman jangan pernah memakai kekerasan. “Karena menghentikan kekerasan
dengan kekerasan akan menciptakan lingkaran setan dimana bentuk kekerasan
menjadi spiral violence tanpa ujung pangkal.”8
Selain itu kehidupan pada hakikatnya memiliki dua dorongan esensial
yaitu dorongan untuk maju belajar dan berkembang terus the drive to grow, to
develop, dan dorongan untuk mempertahankan diri, diterima dan diakui dalam
masyarakat sosial (to drive survive).9

7
Ibid., hlm. 192.
8
ABD. Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan, Tiara Wacana Yogya,
Yogyakarta, 2004, hlm. 249.
9
Conny R. Semiawan, Penerapan Pembelajaran pada Anak, PT Indeks, Jakarta, 2008,
hlm. 99.

4
Penulis berpendapat jika ada keseimbangan dalam arti saling menghargai
alasan sebuah penolakan dan penerimaan pasti yang namanya konflik dengan
orang tua yang disebabkan aturan yang mereka buat takkan ada. Peraturan tetap
peraturan yang wajib dipatuhi, tapi harus dilihat aturan yang seperti apa. Ketika
menolak suatu aturan harus jelas alasannya dan bisa diterima oleh dua belah
pihak. Dengan demikian tidak ada rasa tekanan dalam menjalankannya sebuah
aturan.

Anda mungkin juga menyukai