uji disolusi khususnya untuk sediaan pada bentuk tablet, maka pengamatan jumlah
zat aktif yang terlarut kedalam medium sebagai fungsi waktu menjadi hal yang
mutlak harus dikerjakan sebagai jaminan akan ketersediaan farmasetis suatu obat.
Uji disolusi merupakan kelanjutan dari pengamatan waktu hancur tablet yang
dahulu orang menganggap penting sebagai parameter dalam biofarmasi.
Dalam USPXIX/NFXIV disebutkan bahwa standar ketersediaan hayati
invivo tidak merupakan ketentuan yang mutlak, tetapi gambaran korelasi in-vitro-
in vivo sebaiknya didapatkan hasil yang memuaskan. Alat uji disolusi yang resmi
digunakan adalah alat dayung USP terutama dipakai untuk sediaan tablet yang
mengalami desintegrasi. Perkembangan teknologi farmasi memungkinkan hadirnya
sediaan-sediaan baru seperti sediaan tablet lepas lambat, pelepasan yang diperlama,
dan sebagainya. Untuk itu pengamatan kualitas sediaan obat didasarkan pada
kinetika pelepasan obat, secara in vitro. Secara prinsip berdasarkan pada jenis
sediaan obat, maka karakteristik pelepasan obat in vitro diberlakukan untuk :
a. Sediaan oral padat terutama pelepasan yang diperlama (sustained
release)
b. Sediaan rektal seperti suppositoria
c. Sediaan pulmoner (penghantaran melalui paru-paru)
d. Sediaan pada, seperti salep, krim
e. Sediaan transdermal dan sediaan pelepasan termodifikasi lain
Perkembangan lebih lanjut memungkinkan untuk melihat korelasi yang
lebih positif antara sifat fisika kimia obat, seperti disolusi dengan ketersediaan
hayatinya, seperti digambarkan dalam sistem klasifikasi biofarmasetika
(Biopharmaceutics system) yang dikenal sejak tahun 1995. Biopharmaceutics
clasifications system (BCS) memberikan klasifikasi produk yang sederhana
berdasarkan sifat kelarutan dan permeabilitas.
Sebetulnya pelepasan obat (drug release) memberikan gambaran tentang
proses yang terjadi ketika obat lepas meninggalkan sediaannya dan seterusnya
mengalami absorpsi, distribusi, metabolisme dan eksresi. Sedangkan disolusi
(dissolution) menunjukkan gambaran terdispersinya suatu partikel solid kedalam
medium menjadi unsurnya yang terdistribusi secara merata dalam bentuk molekul
atau ion.
Dalam realitasnya, baik untuk penelitian maupun kontrol kualitas hasil
fabrikasi suatu sediaan obat di industri farmasi, kedua istilah itu (disolusi atau
pelepasan obat) secara teknis dilakukan dengan cara yang sama yaitu mengamati
perubahan jumlah zat aktif yang terlarut di dalam medium dan analisis keduanya
baik kinetika disolusi ataupun bentuk pelepasan obat menggunakan teori atau
persamaan matematis yang diperlukan sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Disolusi adalah proses melarutnya zat aktif (bahan obat) dalam sedaan obat
ke dalam suatu medium. Pada umunya medium yang digunakan berupa air.
Tablet atau kapsul setelah dikonsumsi akan mengalami peristiwa seperti
terlihat dalam gambar 1.
Disintegrasi Deagregasi
Tablet/kapsul Granul/agregat Partikel halus
Gambar 1
Bagan peristiwa hancurnya tablet/kapsul setelah dikonsumsi
Setelah kontak dengan cairan badan, mula-mula tablet akan mengalami
proses disintegrasi, yaitu hancurnya tablet menjadi granul/agregat, lalu diteruskan
dengan deagregasi yang berupa hancurnya agregat menjadi partikel penyusunya.
Baik langsung dari tablet dari granul ataupun dalam bentuk partikel halus, zat aktif
akan mengalami proses disolusi dengan kecepatan masing-masing K1,K2 dan K3.
Besarnya k1<<k2<<k3.
Kalau kecepatan disolusi (k1+k2+k3) jauh lebih kecil dari kecepatan
disintegrasi atau kecepatan absorpsi zat aktif kedalam badan (lebih kecil dari 1/20
kalinya), maka kecepatan disolusi merupakan faktor penentu proses penyerapan
obat ke dalam tubuh.
Uji disolusi banyak dilakukan diindustri farmasi, baik dilakukan dibagian
kontrol kualitas sebagai kontrol rutin setelah fabrikasi ataupun dilakukan dibagian
Riset dan pengembangan dalam melakukan penelitiannya. Keduanya mempunyai
orientasi dan tujuan sendiri-sendiri sehingga pelaksanaan uji dan analisis hasil
yang diperoleh bisa berbeda.
Untuk itu uji disolusi mempunyai beberapa tujuan yang berbeda, yaitu :
1. Uji disolusi untuk optimasi formula.
Uji ini dilakukan dalam penelitian di bagian Riset dan pengembangan untuk
memperoleh suatu formula sediaan obat yang paling baik.
Sesuai dengan tujuan yang diharapkan maka ada silang pendapat dalam hal
ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa uji disolusi hanya dapat
memberikan arti positif apabila ada korelasi dengan uji in-vivo. Untuk itu,
perlu ada kesamaan kondisi percobaan in-vitro dan in-vivo, seperti kekuatan
pengadukan in-vitro dengan kekuatan gerak gastro-intestinal dengan
medium yang digunakan dalam uji disolusi.
Dilain pihak, pendapat lain menganggap bahwa untuk melakukan uji
disolusi tidak ada keharusan hasilnya harus bverkolerasi erat dengan
percobaan in-vivo, mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi hasil
uji disolusi in-vitro, maupun uji klinik secara in-vivo.
Lepas dari perbedaan yang ada , uji disolusi merupakan langkah penting
untuk bisa mendapatkan gambaran pelepasan obat secara in-vitro dari suatu
sediaan obat.
2. Kontrol rutin setelah fabrikasi.
Proses produksi sediaan obat di industri farmasi dikerjakan secara terus-
menerus dari satu bets ke bets yang lain. Padahal jumlah dan macam sediaan
obat yang diproduksi demikian banyak, selain tuntutan untuk terus
diproduksi demikian banayak selain tuntutan untuk terus berproduksi tidak
pernah berhenti. Untuk itu hal yang harus diperhatikan untuk pelaksanaan
uji disolusi adalsh menyederhanakan alat dan prosedur kerja, otomatisasi
alat, menaikkan kapasitas dan kualitas alat, dan penanganan uji disolusi oleh
operator yang berpengalaman.
Uji disolusi sebagai kontrol rutin seelah fabrikasi, dimaksudkan untuk
jaminan kesamaan kualitas produksi antar bets dan jaminan kualitas
ketersediaan farmasetis secara in-vivo.
Disolusi adalah hilangnya kohesi suatu zat padat karena pengaruh cairan
yang menghasilkan dispersi homogen dalam bentuk molekul atau ion. Dapat pula
dikatakan bahwa disolusi adalah jumlah zat aktif yang terlarut kedalam medium
sebagai fungsi waktu. Sehingga kalau diungkapkan dalam persamaan terlihat
sebagai berikut:
Dc / dt = k.S (Cs-C).............................(1)
Keterangan :
dC/dt : jumlah zat aktif yang terlarut dalam medium
k : tetapan disolusi
S : luas kontak muka
Cs : konsentrasi pada saat saturasi
C : konsentrasi zat yang terlarut pada saat t.
Dari persamaan tersebut dapatlah dimengerti bahwa proses disolusi
merupakan proses yang dinamis yang berjalan dari waktu ke waktu sejak awal
pengujian sampai selesai pengamatannya. Untuk itu, perlu disadari bahwa jumlah
zat aktif yang terlarut dalam medium disuatu waktu tertentu akan dipengaruhi oleh
besarnya konsentrasi zat tersebut pada waktu sebelumnya, sehingga untuk
mendapatkan data yang valid dan reprodusibel dari uji disolusi suatu zat aktif dalam
medium diperlukan :
a. Pemahaman yang baik tentang teori disolusi dan mekanismenya
b. Pengenalan yang dalam masalah alat dan lingkungan pengujian
c. Kecermatan dalam melakukan teknis pengambilan sampel dan analisis
hasilnya dan
d. Ketekunan dan kesabaran dalam menghadapi hambatan yang dijumpai
selama pengujian berlangsung.
1. Disolusi
Apabila suatu zat padat dimasukkan kedalam medium maka akan melarut
sesuai dengan fungsi wakktu, karena gerakan dari medium. Dalam bentuk
sediaan tablet maka tablet akan mengalami disintegrasi terlebih dahulu,
kemudian dilanjutkan dengan deagregasi menjadi partikel-partikel halus
termasuk partikel halus zat aktif yang terkandung dalam sediaan tersebut. Baru
kemudian zat aktif melarut kedalam medium dalam wujud dispersi merata
dalam bentuk molekuler atau dispersi ionik. Oleh karena itu, efektivitas bahan
obat dalam sediaan tablet sangat ditentukan oleh kecepatan disintegrasi,
deagregasi dan kecepatan disolusinya.
Disolusi sering merupakan faktor penentu proses absorpsi obat dalam tubuh
manusia, terutama apabila zat aktif tersebut mempunyai kelarutan yang keci
dalam medium gastrik intestinal. Banyak upaya yang dilakukan para peneliti
untuk mengatasi masalah tersebut, dengan menambahkan eksipien tertentu
(seperti surfaktan) dalam formula, membuat dispersi padat atau dengan cara
lain.
Disolusi merupakan proses kinetik sehingga cerminan prosesnya diamati
dari pengamatan terhadap jumlah zat aktif yang terlarut kedalam medium
sebagai fungsi waktu. Penggambaran proses yang terjadi selama disolusi ini,
sering diungkapkan dalam persamaan-persamaan matematis yang terus
dikembangkan oleh peneliti. Bermula dari upaya yang dilakukan oleh Noyes
dan Whitney dalam mencoba menguantifikasikan jumlah obat yang terlarut
dalam suatu medium air tahun 1897 dengan persamaannya :
Dw/dt= D.S/h (Cs-C)...................(11)
Atau
dC/dt= D.S/V.h (Cs-C).................(12)
W adalah beberapa zat aktif yang terlarut dalam medium selama waktu t, sehingga
dW/dt adalah kecepatan disolusi zat aktif (gram/waktu). D adalah koefisien difusi
zat terlarut dalam medium yang digunakan, S adalah luas kontak muka zat aktif –
medium, h adalah tebal lapisan tipis (film/difusi) sedang Cs adalah konsentrasi
dalam keadaan saturasi, yang besarnya sama dengan kelarutan zat aktif tersebut
dalam medium. Harga C menunjukkan konsentrasi zat aktif terlarut pada saat t.
Apabila berat zat yang terlarut dinyatakan dalam konsentrasi sebagai faktor
dC/dt, maka persamaan akan berubah dengan menyertakan faktor volume medium
(V). Disisi lain apabila C jauh lebih kecil dari Cs (kelarutannya), maka kondisi
seperti ini dikenal dengan kondisi sink. Dampaknya persamaan akan berubah
menjadi :
dC/dt= D.S/V.h.Cs....................(13)
Perkembangan dari gambaran persamaan-persamaan diatas terus terjadi sejalan
dengan semakin berkembangnya penelitian-penelitian tentang disolusi, dengan
masuknya asumsi-asumsi yang diberikan oleh peneliti. Seperti ketebalan film h
yang disatu sisi dianggap konstan, namun peneliti lain melihat adanya pengaruh
kecepatan gerak dari medium ini dengan penipisan ketebalan lapisan film (h).
Pengaruh lain terhadap kecepatan disolusi adalah luas permukaan. Banyak peneliti
yang sengaja membuat permukaan bahan uji dalam kondisi konstan dalam
percobaan dan membuat bentuk pellet, sehingga parameter kecepatan disolusi bisa
dikalkulasi dari persamaan yang ada. Tetapi asumsi lain melihat bahwa selam uji
dilakukan luas permukaan zat aktif turun secara eksponensial seperti tergambar
dalam persamaan berikut :
S = So.eeks(t-to)...............(14)
S : luas permukaan setelah waktu t, sedangkan So adalah luas permukaan
pada saat to (awal penngujian), dan ks adalah tetapan
Akibat adanya asumsi tersebut, penyelesaian data uji disolusi harus
menggunakan rumus lain yang berbeda.
2. Pelepasan obat
Pelepasan obat adalah proses lepasnya /keluarnya obat/bahan aktif dari
sediaan obat, untuk kemudian dapat diabsorbsi dan masuk dalam sirkulasi
darah. Dalam pengamatan uji pelepasan obat lebih banyak ditekankan pada
bentuk sediaan yang non konvensional, seperti sediaan sustained release,
prolonged action dan sedian lain.
Pelepasan obat dari bentuk sediaan banyak ditentukan oleh sifat fisika kimia
bahan obat, disamping kombinasi dari ekspesien yang digunakan sebagai sistem
pendukung bentuk sediaan seperti contoh yang diungkapkan oleh Higuchi
dalam pelepasan, obat yang larut sukar larut dalam air dari berbagai matrik
sediaan padat atau semi padat. Dalam hal ini obat terdispersi homogen dalam
matrik secara merata dalam tablet, kemudian secara pelan tablet terkikis karena
adanya gerakan medium. Obat diasumsikan melarut dalam matrik polimer dan
berdifusi keluar dari permukaan matrik.
Pengamatan uji pelepasan obat sebenarnya identik dengan uji disolusi yaitu
dengan mengamati jumlah berat/ konsentrasi obat yang terlepas dari sediaan
dan masuk kedalam medium. Seperti yang dilakukan oleh Costa dan Lobo
(2001) dalam mempelajari pengaruh kecepatan putar pengaduk dan macam alat
terhadap pelepasan dilthiazem HCl dari tablet sustained release (SR). Hasilnya
ternyata terlihat ada pengaruh kedua faktor tersebut terhadap karakter
disolusinya,
Selain itu, disimpulkan bahwa pelepasan dilhiazem dari sistem sedian ini
sediaan ini tidak konstan dan mengecil sebagai fungsi akar waktu. Penelitian
lain banyak yang berfokus pada aplikasi senyawa matrik hidrofilik. Dalam hal
ini, pelepasan obat dikontrol oleh penetrasi air melalui suatu lapisan gel,
kemudian diikuti difusi obat dan erosi dari lapisan gelnya. Besarnya erosi dan
difusi yang terjadi tergantung pada polimer yang dipilih dan perbandingan
komposisi obat dan polimer.
Pelepasan obat dari suatu matrik yang inert dituliskan dalam persamaan
Higuchi sebagai berikut :
Q = [D.(2A-Cs).Cs.t]1/2.....................(15)
Q adalah jumlah obat yang terlepas setelah waktu t, per unit luas permukaan, A
adalah jumlah total obat yang terlepas dalam matrik per unit volume dan Cs adalah
kelarutan obat tersebut dalam medium. Sedang D adalah koefisien difusi obat dalam
matrik yang besarnya menurut Shuterland – Einstein sebesar :
D = RT / (6 π.η.r) . N .......................(16)
R adalah konstante molar gas, T adalah temperatur absolut, η adalah viskositas, r
adalah jari-jari partikel dengan asumsi bentuk bulat dan N adalah bilangan
Avogadro.
Apabila percobaan dilakukan dalam kondisi sink, maka hasil differensiasi
persamaan (15) menghasilkan persamaan sebagai berikut :
dQ/dt= [A.D.Cs / 2.t] ½ ...........................(17)
selain itu, persamaan lain yang menggambarkan pelepasan obat dari sistem matrik
hidrofilik diungkapkan oleh Korsmeyer-Peppas sebagai berikut :
Mt/M∞ = K.tn ..........................................(18)
Mt/M∞ adalah fraksi obat yang lepas pada waktu t, k adalah konstante dan n adalah
bilangan eksponensial difusi.
Banyak peneliti lain yang kemudian mengembangkan persamaan untuk mencoba
memahami mekanisme pelepasan obat ini dengan menggunakan persamaan zero
order, first order, Hixson Crowell, Weibull dan yang lain.
BAB IV
DISOLUSI DALAM KOMPENDIA
Gambar 1.2
Alat metode tabung disintegrasi NF XIII
Dengan alat yang mempunyai prinsip yang sama, British Pharmacopeia
(BP) 1968 menggunakan tabung yang lebih besar, yaitu panjang 8 sampai 10 cm
dan diameter 28 mm. modifikasi alat ini dilakukan pada lubang ayakan, yaitu tidak
10 mesh tetapi 40 mesh (0,42 mm) atau ada pula yang 100 mesh (0,149 mm).
meskipun alat yang digunakan dalam uji disolusi ini termasuk alat yang sederhana,
namun banyak peneliti yang mengamati tentang kelemahan metode ini, seperti:
i. Pengadukan terlalu kuat sehingga menimbulkan gerakan turbulen
dari medium yang kuat, dan gerakan ini tak dapat dimodifikasi.
ii. Kemungkinan terjadiny penguapan sangat besar, karena alat ini
tidak dilengkapi dengan penutup wadah. Hal ini menyebabkan
kesalahan yang tak dapat diabaikan, karena volume medium akan
terus berkurang selama percobaan berlangsung.
Gambar 19
Selain sediaan tablet dan kapsul BP 2001 juga menyebutkan tata cara
pengujian disolusi dari sediaan transdermal patches. Alat yang digunakan serupa
dengan alat untuk uji tablet atau kapsul metode II (paddle apparatus), yang
dilengkapi dengan:
a) Perangkap cakram dari stailess steel (SSDA – Stainless Steel Disc
Assembly) pada Disc Assembly Method, dan
b) Sel ekstraksi (extraction cell) pada aplikasi dengan cell method
Gambar 22
Alat engaduk dayung (paddle apparatus) dengan extraction cell
Gambar 23
Sel ekstraksi (extraction cell)
Selain kedua macam alat tersebut, uji disolusi dapat pula dengan
menggunakan alat model rolating cylinder method. Alatnya sama dengan
system paddle apparatus hanya pengaduk diganti dengan stainless stell
cylinder stirring selement, seperti terlihat skemanya dalam gambar 37
berikut:
Gambar 24
Perangkat pengaduk silinder
V. FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP DISOLUSI ZAT
AKTIF
Uji disolusi dilakukan dengan mengamati sejumlah zat aktif/obat cepat yang
terlarut dalam suatu medium sebagai fungsi waktu.cepat tidaknya obat larut
kedalam medium dipengaruhi oleh banyak faktor seperti :
A. Sifat fisika kimia obat
1. Fator yang berhubungan dengan kelarutan, seperti polimorfi bentuk
hidrat, solvat, bentuk asam bebas, basa bebas atau garamnya senyawa
komplek, dispersi padat, campuran eutektikum, ukuran partikel dan
adanya surfaktan.
2. Faktor yang berhubungan dengan luas kontak muka.
B. Macam alat yang digunakan
C. Kondisi percobaan seperti: intensitas pengadukan, macam dan komposisi
medium, temperatur percobaan, bentuk dan volume labu yang digunakan.
D. Formulasi dan metode fabrikasi, seperti macam dan jenis bahan tambahan
yang digunakan dalam formula, metode pembuatan, tekanan kompresi.
E. Faktor lain, seperti bentuk sediaan kondisi penyimpanan dan vibrasi.
V.A. faktor yang berhubungan dengan sifat fisika kimia obat
Setiap bahan obat (zat aktif) mempunyai sifat fisika kimia yang berbeda satu
dengan yang lain. Hal ini disebabkan karena masing-masing zat aktif mempunyai
struktur kimia yang berbeda, disamping jjuga mempunyai karakter fisik yang
berbeda seperti kelarutan dalam air dan bentuk kristal atau ukuran dan distribusi
partikel yang bervariasi antara satu zat dengan zat lain. Dampaknya adalah
berpengaruh pada kecepatan disolusinya dalam medium.
V.A.1 Kelarutan
Berdasarkan persamaan Noyes dan Whitney, kecepatan disolusi sangat
ditentukan oleh kelarutan zat aktif dalam medium. Semakin besar kelarutannya
dalam medium, maka semakin banyak jumlah zat aktif yang dapat terlarut
didalamnya. Banyak upaya peneliti yang mencoba untuk menaikkan disolusi zat
aktif dengan menaikkan kelarutannya dalam medium, dengan membuat dispersi
padat, menambah surfaktan dalam formula atau dengan cara lain. Besarnya
kelarutan zat aktif dalam medium sangat bergantung pada banyak faktor seperti
polimorfi, hidrat atau solvat, bentuk asam bebas, basa bebas atau garamnya dispersi
padat dan yang lain.
a. Polimorfi
Dua zat dikatakan polimorfi apabila mempunyai perbedaan susunan inti
kristal, sedangkan fase cair dan fase gasnya identik. Dalam bentuk kristal
tunggal (singel entity), dikatakan polimorfi apabila pada saat pengkristalan
kembali terjadi paling sedikit dua macam susunan inti kristal yang berbeda.
Ada dua macam bentuk folimorfi yaitu bentu stabilndan metastabil. Dalam
bentuk metastabil, kelarutan zat padat bertambah besar. Akibatnya akan
menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi selama proses disolusi, dan
kemudian turun pada tingkat kelarutan normal bentuk stabil.
Pristiwa polimorfi banyak dijumpai dalam kimia organik dan dikenal orang
sejak tahun 1815. Suatu zat menunjukkan peristiwa polimorfi apabila zat
tersebut dapat dikristalkan kembali dalam beberapa sistem kristal yang berbeda
– beda karena pengaruh temperatur, tekanan, dan kondisi penyimpanan.
Akibatnya terjadi perbedaan sifat fisika-kimianya seperti titik lebur, kelarutan,
sifat optik dan lain-lain.