PENDAHULUAN
1
I.3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka yang menjadi rumusan masalah adalah
kurangnya informasi tentang perjalanan penyakit abses retrofaring.
I.4. Manfaat
1.4.1. Bagi Penulis
Menambah wawasan, pengetahuan yang lebih mendalam bagi penulis.
1.4.2. Bagi Institusi Rumah Sakit
Tulisan ini dapat digunakan sebagai informasi bagi Rumah Sakit Tk.II AK Gani
Palembang
1.4.3. Bagi Penulis Selanjutnya
Sebagai referensi untuk penulis berikutnya dalam penulisan lebih lanjut
mengenai Abses Retrofaring.
1.4.4. Bagi Institusi Pendidikan
Menjadi bahan bacaan bagi Instansi dalam kegiatan proses belajar.
1.4.5. Bagi Masyarakat
Untuk memberikan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan bagi masyarakat
khususnya tentang Abses Retrofaring.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1. Definisi
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus
pada daerah retrofaring dan merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam
(deep neck infection).1,2
II. 2. Anatomi
Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus
organ, otot, saraf, dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang
potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis
superfisialis dan fasia servikalis profunda.2
Fasia servikalis superfisialis terletak tepat di bawah kulit leher berjalan dari
perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah
ke arah toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara
fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe
superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna.1,2
Fasia servikalis profunda terdiri dari 3 lapisan yaitu:2
1. Lapisan superfisial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar tengkorak
sampai daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah wajah
dan melekat pada klavikula serta membungkus m. sternokleidomastoideus, m.
trapezius, m. maseter, kelenjar parotis dan kelenjar submaksila. Lapisan ini
disebut juga lapisan eksternal, investing layer, lapisan pembungkus, dan lapisan
anterior.1,2
2. Lapisan media
Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan visera. Divisi
muskular terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan
membungkus m. sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid. Di
bagian superior melekat pada os hioid dan kartilago tiroid serta dibagian inferior
melekat pada sternum, klavikula dan scapula.1
3
Divisi visera membungkus organ – organ anterior leher yaitu kelenjar tiroid,
trakea dan esofagus. Di sebelah posterosuperior berawal dari dasar tengkorak
bagian posterior sampai ke esofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat
pada kartilago tiroid dan os hioid. Lapisan ini berjalan ke bawah sampai ke
thoraks, menutupi trakea dan esofagus serta bersatu dengan perikardium. Fasia
bukofaringeal merupakan bagian dari divisi visera yang berada pada bagian
posterior faring dan menutupi m. konstriktor faringeal dan m. buccinators.1
3. Lapisan profunda
Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi
alar terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi
prevertebra, yang berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan
bersatu dengan divisi visera lapisan media fasia servikalis profunda. Divisi alar
melengkapi bagian posterolateral ruang retrofaring dan merupakan dinding
anterior dari danger space.1
Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke lateral
meluas ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot di daerah tersebut.
Berjalan dari dasar tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding
posterior dari danger space dan dinding anterior dari korpus vertebra. Ketiga
lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk selubung karotis (carotid
4
sheath) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang faringomaksilaris
sampai ke toraks.
5
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang dibatasi
oleh: 1,2
1. anterior: fasia bukofaringeal (divisi visera lapisan media fasia servikalis
profunda) yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan tiroid;
2. posterior: divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda;
3. lateral 0: selubung karotis (carotid sheath) dan daerah parafaring.
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum
setinggi bifurkasio trakea (vertebra torakal I atau II) dimana divisi visera dan alar
bersatu. Daerah retrofaring terbagi menjadi 2 daerah yang terpisah di bagian lateral
oleh midline raphe. Tiap-tiap bagian mengandung 2-5 buah kelenjar limfe
retrofaring yang biasanya menghilang setelah berumur 4-5 tahun. Kelenjar ini
menampung aliran limfe dari rongga hidung, sinus paranasalis, nasofaring, faring,
tuba Eustachius, dan telinga tengah. Daerah ini disebut juga dengan ruang
retrovisera, retroesofagus, dan ruang visera posterior.1
Selain itu juga dijumpai daerah potensial lainnya di leher yaitu: 1,2
1. danger space, dibatasi oleh divisi alar pada bagian anterior dan divisi
prevertebra pada bagian posterior (tepat di belakang ruang retrofaring);
2. prevertebral space : dibatasi oleh divisi prevertebra pada bagian anterior dan
korpus vertebra pada bagian posterior (tepat di belakang danger space). Ruang
ini berjalan sepanjang kolumna vertebralis dan merupakan jalur penyebaran
infeksi leher dalam ke daerah koksigeus.
6
Gambar 2.5. Ruang pada servikalis tampak lateral. 4
II. 3. Epidemiologi
Abses retrofaring jarang ditemukan dan lebih sering terjadi pada anak di
bawah usia 5 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih
berisi kelenjar limfe. Penelitian selama 35 tahun terhadap anak-anak yang diterapi di
Children’s Hospital, Los Angeles dijumpai sebanyak 50% kasus berusia kurang dari
3 tahun dan 71% kasus berusia kurang dari 6 tahun. Sedangkan di Sydney, Australia
didapati sebanyak 55% kasus berusia kurang dari 1 tahun dimana 10% diantaranya
dijumpai pada periode neonatus.3
7
Pada banyak kasus Pada banyak kasus sering ditemukan adanya kuman aerob
dan anaerob secara bersamaan. Beberapa organisme yang dapat menyebabkan abses
retrofaring adalah: 1,6
1. Bakteri aerob: Streptococcus beta hemolyticus group A (paling sering),
Streptococcus pneumoniae, Streptococcus non hemolyticus, Staphylococcus
aureus, Haemophillus sp;
2. Bakteri anaerob: Bacteroides sp, Veilonella, Peptostreptococcus, Fusobacteria.
II. 5. Patofisiologi
Ruang retrofaring berada di anterior fasia prevertebra yang berjalan inferior
dari basis kranii sepanjang faring. Ruang ini merupakan lanjutan ruang parafaring
dan fossa infratemporal. Ruang retrofaring dan parafaring dipisahkan oleh fasia alar,
yang merupakan barier yang kurang efektif terhadap penyebaran infeksi. Ruang
retrofaring berhubungan dengan mediastinum superior dan posterior, sehingga dapat
menjadi jalur yang potensial penyebaran infeksi ke thoraks.7
8
Ruang retrofaring terdiri dari jaringan areolar longgar dan cincin limfe,
sehingga dapat mengikuti pergerakan faring dan esofagus pada saat menelan.
Kelenjar limfe retrofaring menerima aliran limfe dari hidung, sinus paranasalis, tuba
eustachius, dan faring. Pembentukan pus pada kelenjar limfe retrofaring pada
umumya terlokalisir dengan baik, sehingga penyebaran vertikal dari infeksi biasanya
terjadi setelah beberapa waktu dalam progresi penyakit, meskipun keadaan ini
jarang terjadi pada praktiknya. Sebagian besar gejala abses retrofaring berhubungan
dengan obstruksi saluran napas bagian atas dan iritasi lokal otot (misalnya
sternomastoid dan pterigoid).7
Danger space berada diantara ruang retrofaring dan ruang prevertebra yang
dipisahkan oleh dua komponen yaitu fasia alar dan fasia prevertebra. Hal ini dapat
menyebabkan penyebarab infeksi diantara basis kranii dan mediatinum posterior
sampai pada level diafragma.4
9
retrofaring. Limfadenopati retrofaring kemudian menyebabkan abses retrofaring
akibat supurasi kelenjar getah bening nasofaring. Hal ini merupakan alasan abses
retrofaring yang disebabkan oleh proses non-traumatik jarang ditemukan pada orang
dewasa karena kelenjar getah bening retrofaring telah mengalami regresi.2,9
Kasus trauma tembus pada faring sebagai penyebab sekunder abses
retrofaring akut yang terjadi pada anak dapat disebabkan benda asing seperti tulang
ikan, tangkai es krim, dan pensil. Sedangkan penyebab sekunder iatrogenik
misalnya trauma post laringoskopi, intubasi endotrakeal, endoskopi, pemasangan
pipa orogastrik, maupun prosedur dental. Trauma pada faring menyebabkan
inokulasi langsung agen patogen piogenik ke dalam ruang retrofaring yang
kemudian terjadi proses supurasi dan membentuk abses.2
Abses retrofaring akut pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh inokulasi
langsung patogen piogenik ke dalam ruang retrofaring yang disebabkan trauma pada
faring atau esofagus akibat tertelan benda asing atau prosedur medis yang traumatik
seperti endoskopi, laringoskopi direk, maupun intubasi endotrakeal. Penyakit-
penyakit seperti diabetes melitus, keganasan, alkoholisme kronik, dan AIDS
dilaporkan sebagai predisposisi abses retrofaring pada orang dewasa.9
Abses retrofaring kronis pada anak dapat terjadi akibat infeksi tuberkulosis.
Pada anak usia kurang dari 5 tahun, abses retrofaring kronis disebabkan penyebaran
dari infeksi tuberkulosis pada kelenjar limfe servikal dalam ke kelenjar retrofaring
yang membentuk abses dingin. Abses retrofaring kronis yang demikian dikenal
sebagai tipe lateral karena secara klinis terlihat lebih ke arah lateral dari garis tengah
tubuh, fluktuan, dengan tanda inflamasi yang minimal. Pada anak yang lebih tua dan
orang dewasa abses retrofaring kronis biasanya disebabkan spondilitis tuberkulosis
pada vertebra servikalis (Pott’s disease) dimana pus menyebar melalui ligamentum
longitudinal anterior dan dikenal sebagai tipe sentral. Abses terjadi diantara korpus
vertebra dan fasia prevertebra. Abses mula-mula terbentuk pada garis tengah dan
menyebar ke lateral. Pada pemeriksaan ditemukan pembengkakan pada garis tengah
dan dinding faring yang berfluktuasi dengan tanda inflamasi yang minimal.10
10
II. 6. Diagnosis
II.6.1 Anamnesis
Keluhan pasien dengan abses retrofaring akut bervariasi bergantung kepada
kelompok umur.3 Gejala abses retrofaring berbeda untuk orang dewasa, anak-anak, dan
bayi yang dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 2.2. Temuan pemeriksaan fisik abses retrofaring pada berbagai kelompok usia. 3
11
Anamnesis yang baik sangat penting karena kondisi serius lain merupakan
diagnosis banding dari abses retrofaring. Abses retrofaring seringkali merupakan
sekuele dari infeksi saluran napas atas (misalnya faringitis, tonsilitis, sinusitis, infeksi
gigi) dan lebih sering terjadi pada anak sehingga riwayat tertelan benda asing harus
ditanyakan.7
Pada anak manifestasi klinis dapat tidak jelas dan bergantung pada tingkat
penyakit tetapi gejala khas termasuk demam tinggi, nyeri leher (terutama pada saat
digerakkan) atau tortikolis, disfagia, iritabilitas, malaise, dan odinofagia. Odinofagia
menyebabkan drooling, intake oral yang buruk, dan anoreksia. Gejala minor lain
misalnya trismus, disfonia, stridor, dan sleep apnea. Anak dapat terlihat menarik-narik
telinga atau tenggorokan yang menunjukkan adanya nyeri.7
Pada orang dewasa manifestasi klinis lebih spesifik dengan drooling dan disfagia
tetapi dengan onset perlahan. Penting untuk menanyakan komorbiditas seperti diabetes
mellitus dan melakukan kontrol glukosa darah apabila ditemukan. Hampir sepertiga
pasien dengan abses leher dalam memiliki diabetes mellitus.7
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan rongga mulut dan leher untuk
mencari edema tonsil, edema orofaring, dan limfadenopati. Observasi penting lain
dilakukan terhadap drooling, dispneu, tortikolis, dan massa atau pembengkakan pada
leher. Pada anak-anak pemeriksaan mungkin terbatas bergantung pada usia dan
kooperasi dari anak dan orang tua. 7
Gangguan terhadap jalan napas biasanya tampak dengan gejala dispneu, distres
pernapasan, dan fatigue. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda seperti
takipneu, sianosis, tracheal thug, atau retraksi interkosta. Laju pernapasan yang cepat
dan saturasi oksigen membantu diagnosis gangguan jalan napas. 7
Abses retrofaring kronik yang disebabkan oleh infeksi tuberkulosis biasanya
timbul dengan gejala kaku pada leher dan nyeri pada belakang leher. Diagnosis
ditunjang dengan riwayat menderita tuberkulosis paru dan spondilitis tuberkulosis
(khusus untuk tipe sentral). Pada pemeriksaan fisik ditemukan pembengkakan pada
garis tengah (tipe sentral) dan lateral korpus vertebra (tipe lateral) yang berfluktuasi
dengan tanda inflamasi yang minimal.10
12
Gambar 2.7. Abses retrofaring kronik tipe lateral (kiri) dan sentral (kanan) 10
Pemeriksaan Hasil
Darah lengkap Leukosistosis (terutama
netrofil)
Laju endap darah Meningkat
menentukan derajat penyakit inflamasi apabila tidak
ditemukan netrofilia yang signifikan.
CT scan leher dengan kontras Lesi hipodens dikelilingi
pemeriksaan definitif. cincin pada rongga retrofaring
mengkonfirmasi adanya abses dan membantu dalam
merencanakan approach tindakan bedah. Adanya udara di
dalam atau di sebelah akumulasi cairan atau udara bebas yang
berlebih diantara fascia leher sangat prediktif untuk abses.
Foto polos servikal soft tissue lateral Pembengkakan pada ruang
dilakukan apabila terdapat kecurigaan tetapi tidak tersedia CT prevertebra (> 7mm pada C2
scan tetapi dapat dilakukan sebelum CT scan apabila dan > 14 mm pada C6)
kecurigaan tinggi terhadap abses retrofaring.
Pemeriksaan dengan anestesi Bulging pada dinding posterior
dilakukan apabila kecurigaan tinggi dan terdapat gangguan orofaring.
jalan napas atau apabila tidak terdapat fasilitas CT scan.
juga dapat dilakukan apabila kecurigaan tinggi tetapi hasil
pencitraan tidak konsisten dengan abses retrofaring.
Pemeriksaan ini dapat mengkonfirmasi diagnosis dan
langsung dilakukan insisi transoral dan drainase serta
pengambilan pus untuk kultur.
Kultur pus Positif terhadap organisme
pus yang didapatkan dari drainase dilakukan kultur dan uji penyebab.
sensitivitas antibiotik.
13
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain foto polos dada
yang diindikasikan apabila terdapat kecurigaan timbulnya komplikasi berupa
pneumonia aspirasi atau mediastinitis.3 Kultur darah tidak rutin dilakukan kecuali pada
kecurigaan terjadinya sepsis.7
Untuk abses retrofaring kronis pemeriksaan penunjang yang mendukung
diagnosis adalah leukositosis, peningkatan laju endap darah, dan tes Mantoux yang
positif. Foto polos servikal lateral menunjukkan destruksi korpus vertebra dengan
peningkatan ruang retrofaring dan bayangan udara di dalamnya. CT scan dapat lebih
mengkonfirmasi temuan tersebut.10
14
Tabel 2.4. Berbagai kelainan yang menjadi diagnosis banding abses retrofaring. 7
Pemeriksaan Penunjang
Kondisi Tanda/Gejala yang Berbeda
untuk Membedakan
Epiglotitis akut Sulit untuk dibedakan dengan abses CT scan tidak ditemukan
retrofaring tetapi secara umum gambaran abses retrofaring.
memiliki onset yang lebih akut. Foto polos servikal soft
Kesulitan bernapas. tissue menunjukkan
bayangan radio opak atau
epiglotis yang meradang.
Laringotrakeobronkitis Batuk menggonggong. CT scan daerah retrofaring
(croup) normal.
Meningitis Nyeri kepala, ruam purpura dapat CT scan daerah retrofaring
ditemukan pada beberapa kasus. normal.
Pungsi lumbal positif untuk
meningitis.
Tonsilitis Tanda-tanda infeksi tonsil, dinding Diagnosis klinis.
posterior faring normal.
Abses peritonsiler Edema peritonsiler dengan deviasi Aspirasi atau insisi drainase
uvula, dinding posterior faring normal. lesi mengkonfirmasi
diagnosis.
Limfadenopati Edema tanpa fluktuasi pada dinding CT scan dengan kontras
retrofaring posterior faring. dapat membedakan
limfadenopati dengan
abses.
Infeksi virus Epstein- Dapat ditemukan hepatosplenomegali Tes Paul-Bunnel atau
Barr dan limfadenopati generalisata. monospot positif
Retropharyngeal Gejala dan tanda serupa dengan abses CT scan menunjukkan
calcific tendonitis retrofaring. kalsifikasi anterior terhadap
Bersifat self-limiting dan biasanya reda korpus vertebra C1 dan/atau
setelah 2 minggu. C2 dengan akumulasi
cairan yang non-ring-
enhanced pada ruang
prevertebra.
Penyakit Kawasaki Dapat menunjukkan gejala dan tanda CT scan menunjukkan
seperti abses retrofaring tetapi temuan yang serupa dengan
limfadenopati jarang ditemukan pada abses retrofaring sehingga
awal penyakit. klinisi harus berpegang
Diagnosis penyakit Kawasaki termasuk pada temuan klinis.
demam > 5 hari dengan 4 dari 5 kriteria
klinis: konjungtivitis bulbar non-
purulen, perubahan pada bibir atau
kavum oris, eksantem polimorfik,
eritema pada ekstremitas yang
kemudian mengalami deskuamasi, dan
minimal 1 limfonodi servikal dengan
diameter > 1,5 cm.
15
II. 9. Penatalaksanaan
II.9.1 Tindakan pra-hospital
Pemberian oksigen dan tindakan untuk memastikan patensi jalan napas
merupakan komponen penting perawatan pra-hospital pada pasien dengan kecurigaan
abses retrofaring. Apabila anak menunjukkan tanda distres pernapasan posisikan dalam
sniffing position. Kadang-kadang intubasi endotrakeal atau krikotirotomi dibutuhkan
apabila pasien menunjukkan tanda obstruksi jalan napas atas.3
16
kronik pasien diberikan terapi antituberkulosis selain dilakukan tindakan operatif
seperti aspirasi atau insisi dan drainase abses.10
2) Operatif
Tindakan operatif yang dapat dilakukan yaitu aspirasi pus (needle aspiration)
atau insisi drainase. Insisi drainase dapat dilakukan melalui dua pendekatan:
a) Pendekatan internal atau transoral
Dilakukan untuk abses yang kecil dan terlokalisir. Pasien diletakkan pada
posisi Trendelenburg dimana leher dalam keadaan hiperekstensi dan kepala
lebih rendah dari bahu. Insisi vertikal dilakukan pada daerah yang paling
berfluktuasi dan pus yang keluar harus segera diisap dengan alat penghisap
untuk menghindari aspirasi pus. Insisi diperlebar dengan forsep atau klem arteri
untuk memudahkan evakuasi pus. Kekurangan dari pendekatan ini terkait
dengan risiko aspirasi isi abses. Pendekatan intraoral dapat sulit dilakukan untuk
abses yang letaknya superior atau lateral.11
b) Pendekatan eksternal atau transervikal
Pendekatan eksternal baik secara anterior atau posterior dilakukan untuk
abses yang besar dan meluas ke arah hipofaring. Kelemahan dari teknik ini
adalah waktu pemulihan yang lebih lama dan terdapat kemungkinan komplikasi
cidera terhadap nervus kranialis dan pembuluh darah besar.11
Pendekatan anterior dilakukan dengan membuat insisi secara horizontal
mengikuti garis kulit setingkat krikoid atau pertengahan antara os hyoid dan
klavikula. Kulit dan subkutis dielevasi untuk memperluas pandangan sampai
terlihat m. sternokleidomastoideus. Dilakukan insisi pada batas anterior m.
sternokleidomastoideus. Dengan menggunakan klem arteri bengkok, m.
sternokleidomastoideus dan selubung karotis disisihkan ke arah lateral. Setelah
abses terpapar dengan cunam tumpul, abses dibuka dan pus dikeluarkan. Bila
diperlukan insisi dapat diperluas dan selanjutnya dipasang drain (Penrose
drain).11
Pendekatan posterior dibuat dengan melakukan insisi pada batas posterior
m. sternokleidomastoideus. Kepala diputar ke arah yang berlawanan dari abses.
17
Selanjutnya fasia dibelakang m. sternokleidomastoideus diatas abses dipisahkan.
Dengan diseksi tumpul pus dikeluarkan dari belakang selubung karotis.11
18
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
4. Gadre, A.K, Gadre, K.C. 2006. Infections of the Deep Spaces of the Neck. In: Head
& Neck Surgery – Otolararyngology fourth edition. Editor: Bailey, B.J. Lippincott
Williams & Wilkins: 665 – 682.
5. Fachruddin, D. 2007. Abses Leher Dalam. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Editor: Soepardi, E.A. FKUI:
Jakarta. 226-230.
9. Chu FKC. Retropharyngeal abscess. Hong Kong j. emerg. med. 2002;9(3): 165-7.
20