Anda di halaman 1dari 57

ASUHAN KEBIDANAN PADA BY NY.

N USIA 1 MINGGU DENGAN


HIPERBILIRUBINEMIA

Diajukan untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal

Dosen Pembimbing :
Erni Dwi Widyana, SST., M.Kes
NIP. 198203172006042002

Disusun Oleh :
Dwi Novita Anggraini
NIM 1602450008

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


JURUSAN KEBIDANAN
PRODI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN MALANG
TAHUN 2018
LEMBAR PENGESAHAN
ASUHAN KEBIDANAN PADA BY NY. N USIA 1 MINGGU DENGAN
HIPERBILIRUBINEMIA

Makalah ini telah dipresentasikan pada tanggal …………………


Dan dibaca, dikoreksi serta disetujui oleh:

Pembimbing

(Erni Dwi Widyana. SST, M.Kes)

NIP. 191982003172006042002
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Asuhan Kebidanan
Kegawatdaruratann Materal Neonatal. Penulis ini mengambil judul “Asuhan Kebidanan pada By
Ny.N usia 1 minggu dengan Hiperbilirubinemia”

Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis telah mendapatkan begitu banyak bantuan
sehingga makalah ini bisa terselesaikan. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Erni Dwi Widyana, SST., M.Kes selaku pembimbing dalam proses pembuatan makalah
ini.
2. Kedua orang tua yang telah memberikan segala bentuk dukungan moril selama proses
pembuatan makalah ini.
3. Semua pihak yang telah memberikan berbagai bentuk bantuan guna makalah ini yang
tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi anggota khususnya dan semua pihak yang membaca
makalah ini pada umumnya.

Malang, 08 September 2018

Penulis
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Ikhterus Neonatorum


2.1.1 Definisi Ikhterus
Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat
penimbunan bilirubin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih
dari 5 mg/ml dalam 24 jam, yang menandakan terjadinya gangguan fungsional
dari liper, sistem biliary, atau sistem hematologi
Ikterus adalah salah satu keadaan menyerupai penyakit hati yang terdapat
pada bayi baru lahir akibat terjadinya hiperbilirubinemia. Ikterus merupakan
salah satu kegawatan yang sering terjadi pada bayi baru lahir,sebanyak 25-50%
pada bayi cukup bulan dan 80 % pada bayi berat lahir rendah
2.1.2 Klasifikasi Ikhterus
Ikterus dibagi menjadi dua, yaitu ikterus fisiologis dan ikterus patologis.
Ikterus fisiologis adalah peningkatan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi
serum selama minggu pertama kehidupan yang menghilang sendiri. Sedangkan
ikterus patologis adalah ikterus yang terjadi sebelum usia 24 jam dan kecepatan
peningkatannya > 0,5 mg/dL/jam.

IKHTERUS FISIOLOGIS

Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin


serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai
ikterus fisiologis . Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar
bilirubin serum total biasanya terjadi pada hari ke-2 dan ke-3 dan mencapa puncaknya
pada hari ke-5 – ke-7, kemudian menurun kembali pada hari ke-10. Pada neonates cukup
bulan, kadar bilirubin tidak melebihi 10mg/dL dan pada bayi kurang bulan kurang dari
12mg/dL.
Karakteristik Ikhterus Fisiologi :

1. Timbul pada hari kedua – ketiga


2. Tidak mempunyai dasar patologis
3. Kadarnya tidak melampaui kadar yang membahayakan
4. Tidak mempunyai potensi menjadi kern-icterus
5. Tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi
6. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % perhari
7. Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg %
8. Ikterus hilang paling lambat 10-14 hari pertama

IKHTERUS PATOLOGIS

Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologi.


Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologi pada setiap bayi
berbeda-beda. Dapat juga diartikan sebagai ikterus dengan konsentrasi bilirubin, yang
serumnya mungkin menjurus ke arah terjadinya kerinkterus bila kadar bilirubin tidak
dikendalikan.

Karakteristik Ikhterus Patologis :

1. Ikterus terjadi pada 24 jam pertama setelah lahir


2. Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam
3. Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg % pada neonatus kurang bulan dan 12,5 mg
% pada neonates cukup bulan
4. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G6PD
dan sepsis)
5. Ikterus yang disertai berat lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi kurang dari 36
minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi, hipoglikemia,
hiperkapnia, hiperosmolalitas darah
6. Ikhterus yang mempunyai dasar patologis
7. Ikhterus klinis yang menetap setelah bayi berusia 14 hari
Tabel 1. Klasifikasi Ikterus

Klasifikasi Ikterus Tanya Tanda / Klasifikasi


dan Lihat Gejala

Mulai kapan ikterus ? Ikterus segera Ikterus patologis


Daerah mana yang ikterus ? setelah lahir
Bayinya kurang bulan ? Ikterus pada 2 hari
Warna tinja ? pertama Ikterus
pada usia > 14 hari
Ikterus lutut/ siku/
lebih Bayi kurang
bulan Tinja pucat
Ikterus usia 3-13 hari Tanda Ikterus fisiologis
patologis (-)

2.2 Etiologi
Hiperhiperbilirubin pada bayi baru lahir paling sering timbul karena fungsi hati
masih belum sempurna untuk membuang bilirubin dari aliran darah. Hiperbilirubin juga
bias terjadi karena beberapa kondisi klinik, diantaranya adalah:
1. Ikterus fisiologis merupakan bentuk yang paling sering terjadi pada bayi baru lahir:
a. Jenis bilirubin yang menyebabkan pewarnaan kuning pada icterus disebut
bilirubin tidak tergonjugasi, merupakan jenis yang tidak mudah di buang dari
tubuh bayi.
b. Hati bayi akan berubah menjadi bilirubin ini menjadi bilirubin terkonjugasi yang
lebih mudah di buang oleh tubuh.
c. Hati bayi lahir masih belum mateng sehingga masih belum mampu untuk
melakukan mengubah ini dengan baik sehingga akan terjadi peningkatan kadar
bilirubin dalam darah yang ditandai sebagai pewarnaan kuning pada bayi.
d. Bila kuning tersebut murni disebabkan oleh factor ini maka disebut sebagai
icterus fisiologis.
2. Breastfeeding jaunding:
a. Keadaan ini dapat terjadi pad abayi yang mendapat air susu ibu (ASI) eklsusif.
b. Terjadi akibat kekurangan ASI yang biasanya timbul pada hari kedua atau ketiga
pada waktu ASI belum banyak dan biasanya tidak memerlukan pengobatan.
3. Ikterus ASI (breastmilk jaundice):
a. Ikterus ini berhubungan dengan pemberian ASI dari seorang ibu tertentu dan
biasanya akan timbul pada setiap bayi yang di susukannya bergantung pada
kemampuan bayi tersebut mengubah bilirubin indirek.
b. Jang mengancam jiwa dan timbul setelah 4-7hari pertama dan berlangsung lebih
lama dari ikterus fisiologis yaitu 3-12 minggu.
4. Ikterus pada bayi baru lahir akan terjadi pada kasus ketidak cocokan golongan darah
(inkompatibilitas ABO) dan rhesus (inkomplibilitas rhesus) ibu dan janin:
a. Tubuh ibu akan memproduksi antibody yang akan menyerang sel darah merah
janin
b. Kondisi tersebut akan menyebabkan pecahnya sel darah merah sehingga akan
meningkatkan pelepasan bilirubindari sel darah merah.
5. Lebam pada kulit kepala bayi yang disebut dengan sefalhematom dapat timbul dalam
proses persalinan.
a. Lebam terjadi karena penumpukan darah beku di bawah kulit kepala
b. Secara alamiah tubuh akan menghancurkkan bekuan ini sehingga bilirubin juga
akan keluar yang mungkin saja terlalu banyak untuk dapat ditangani oleh hati
sehingga timbul kuning.
6. Ibu yang menderita diabetes dapat mengakibatkan bayi menjadi kuning.
A. Patofisiologi
1. Patofisiologi hiperbilirubin dapat dimengerti, apabila memahami berbagai hal tentang
bilirubin.
2. Hal- hal yang perlu di pahami antara lain tentang pembentukan bilirubin, yang
masing masing dijelaskan sebagian berikut:
a. Pembentukan bilirubin:
1. Bilirubin adalah pigmen Kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan
bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi
oksidasi-reduksi
2. Langkah oksidasi yang perma adalah biliverdin yang di bentuk dari heme
dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian
besar terdapat dalam sel hati, dan organ lain
3. Pada reaksi tersebut juga terdapat besi yang digunakan kembali untuk
pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida yang diekresikan kedalam
paru biliverdin kemudian akan di reduksi menjadi bilirubin oleh enzim
biliverdin reduktase
4. Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan dirubah menjadi
bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase
5. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik terikat dengan hydrogen
serta pada pH normal bersifat tidak larut
6. Jika tubuh akan mengeksrekresikan, di perlukan mekanisme transport
eliminasi bilirubin
b. Transportasi bilirubin:
1. Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikulo endotheial, selanjutnya
dilepaskan ke sirkulasi yang akan diberikan dengan album
2. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap
bilirubin karena konsentrasi albumi yang rendah dan kapasitas ikatan molar
yang kurang
3. Bilirubin yang terikat pada albumi serum ini merupakan zat non polar dan
tidak larut dalam air dan kemudian akan di transportasikan kedalam sel hepar
4. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan syaraf
pusat dan bersifat nontosik. Selain itu albumin juga mempunyai afinitas yang
tinggi terhadap obat-obatan yang bersifat asam seperti pinicilin dan
sulfonamide
5. Obat-obat tersebut akan menempati tempat utama perlekatan albumi untuk
bilirubin sehingga bersifat competitor serta dapat pula melepaskan ikatan
bilirubin dengan albumin.
6. Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda yaitu:
a. Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk
sebagian besar bilirubin tak terkonjugasi serum
b. Bilirubin bebas
c. Bilirubin tak terkonjugasi yaitu bilirubin yang siap di ekresikan melalui
ginjal
d. Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum
c. Asupan bilirubin
1. Pada saat kompleks bilirubin albumin mencapai membrane plasma hepatosit,
albumin terikat kereseptor permikaan sel.
2. Kemudian bilirubin di transfer melalui sle membrane yang berikatan dengan
ligandin (protein) mungkin juga dengan protein ikatan sitosiliklainnya
d. Konjugasi bilirubin:
1. Bilirubin tak terkonjugasi di konversikan kebentukan bilirubin konjugasi yang
larut dalam air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridini
diphospate glukuronosyl transferase (UDPG-T)
2. Katalisa oleh enzim ini akan merubah formai menjadi bilirubin
monoglukoronida yang selanjutnya akan di konjugasi menjadi bilirubin
diglukoronida
3. Bilirubin ini kemudian di eksresikan kedalam klanikulus empeduh
4. Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembli ke
reticukulum endoplasmic untuk rekonjugasi berikutnya
e. Ekresi Bilirubin
1. Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekresikan ke dalam
kandung empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan di ekresikan melalui
feses
2. Setlah berada dalam usus halus bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung
dapat di resorbsi, kecuali jika ada di konversikan kembali menjadi bentuk
tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukonidase yang terdapat dalam usus
3. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembai ke hati untuk di
kojugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.
2.3 Klasifikasi
Ikterus dibedakan menjadi 3 tipe, yakni ikterus fisiologis, ikterus patologik, dan kern
ikterus.
1. Ikterus Fisiologik
Icterus pada neonatus tidak selamanya merupakan icterus patologik. Icterus
fisiologik adalah icterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga yang tidak memiliki
dasar patologik, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau yang memiliki
potensi menjadi kern icterus dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.
(Marmi,2015)
Icterus fisiologi bisa disebabkan karena hati dalam bayi belum matang, atau
disebabkan kadar penguraian sel darah merah yang cepat. Dalam kadar tinggi bilirubin
bebas ini bersifat racun sulit larut dalam air. Masalahnya organ dari sebagian bayi baru
lahir belum dapat berfungsi optimal dalam mengeluarkan bilirubin tersebut. Barulah
setelah beberapa hari, organ hati mengalami pematangan dan proses pembuangan
bilirubin bisa berlangsung dengan lancer. Masa “matang” organ hati pada setiap hati
berbeda-beda. Namun umumnya pada hari ketujuh organ hati mulai melakukan fungsinya
dengan baik. (Marmi, 2015)
Menurut Vivian (2010), icterus fisiologis memiliki tanda-tanda sebagai berikut.
a. Timbul pada hari kedua dan ketiga setelah bayi lahir.
b. Kadar bilirubin indirect tidak lebih dari 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan 12,5
mg% pada neonatus kurang bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak lebih dari 5 mg% per hari.
d. Kadar bilirubin direct tidak lebih dari 1 mg%.
e. Icterus menghilang pada 10 hari pertama.
f. Tidak terbukti mempunyai dengan keadaan patologis.
Ikterus baru dapat dikatakan fisiologis apabila sesudah pengamatan dan
pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai
potensi berkembang menjadi kern icterus. Kern icterus ialah suatu perlengketan otak
akibat bilirubin indirek pada otak. (Saifuddin, 2009)

2. Ikterus Patologik
Icterus patologi adalah icterus yang mempunyai dasar patologi atau kadar
bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Dasar patologi ini
misalnya jenis bilirubin saat timbulnya dan menghilangnya icterus dan penyebabnya.
Icterus yang kemungkinan menjadi patologik atau dapat dianggap sebagai bilirubinemia
ialah:
a. Icterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
b. Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg%, atau lebih setiap 24 jam.
c. Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan 12,5
mg% pada pada neonatus kurang bulan.
d. Icterus yang disertai proses hemolysis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim
G6PD dan sepsis).
e. Icterus yang disebabkan oleh bayi baru lahir kurang dari 2000 gram yang disebabkan
karena usia dibawah 20 tahun atau diatas 35 tahun dan kehamilan pada remaja, masa
gestasi kurang dari 6 minggu, asfiksia, hipoksia, hiperkopnia, hipersomolitas darah.
(Marmi, 2015)
3. Kern Ikterus
Kern icterus ialah suatu perlengketan otak akibat bilirubin indirek pada otak.
(Saifuddin, 2009)
Kern icterus mengacu pada enselopati bilirubin yang berasal dari deposit bilirubin
terutama pada batang otak (brainstem) dan nucleus serebrobasal. Warna kuning (jaundis
pada jaringan otak) dan nekrosis neuron-neuron akibat toksik bilirubin tidak terkonyugasi
(unconjugated bilirubin) yang mampu melewati sawar darah otak karena kemudahannya
lrut dalam lemak (high lipid solubility). Kern icterus bisa terjadi pada bayi tertentu tanpa
disertai dengan jaundis klinis, tetapi umumnya berhubungan langsung pada kadar
bilirubin total dalam serum. (Marmi, 2015)
Pada bayi cukup bulan, kadar bilirubin dalam serum 20 mg%/dl dianggap berada
pada batas atas sebelum kerusakan otak dimulai. Hanya saja gejala sisa spesifik pada bayi
yang selamat yakni serebral palsy koreotoid. Gejala sisa lain seperti retardasi mental dan
ketidakmampuan sensori yang serius bisa menggambarkan hipoksia, cedera vaskuler atau
infeksi yang berhubungan dengan kern icterus sekitar 70% bayi baru lahir yang
mengalami kernicterus akan meninggal selama periode neonatal. (Marmi, 2015)
Jenis-Jenis Hiperbilirubinemia
1) Hiperbilirubin Hemolitik
Pada umumnya merupakan suatu golongan penyakit yang disebabkan
oleh inkompabiliatas golongan darah ibu dan bayi, seperti :
a) Inkompabilitas Rhesus
Bayi dengan Rh positif dari ibu Rh negative tidak selamanya menunjukkan
gejala klinik pada waktu lahir (15-20%). Gejala klinik yang dapat terlihat adalah
icterus semakin lama semakin berat disertai dengan anemia yang makin lama
makin berat pula. Bilamana sebelum kelahiran terdapat hemolysis yang berat,
maka bayi dapat lahir dengan edema umum disertai icterus dan pembesaran
hepar. Terapi ditujukan untuk memperbaiki anemia dan mengeluarkan bilirubin
yang berlebihan dalam serum agar tidak terjadi kern icterus.
b) Inkompabilitas ABO
Icterus dapat terjadi pada hari pertama dan kedua dan sifatnya biasanya
ringan. Bayi tidak tampak sakit, anemia ringan hepar tidak membesar. Kalau
hemolisisnya berat seringkali diperlukan juga transfuse tukar untuk mencegah
terjadinya kernicterus. Pemeriksaan yang perlu dilakukan ialah pemeriksaan
kadar bilirubin serum sewaktu-waktu.
c) Inkompabilitas golongan darah lain.
Pada neonaatus dengan icterus hemolitik dimana pemeriksaan kearah
inkompatibilitas Rh dan ABO hasilnya negative sedangkan coombs test positif,
kemungkinan icterus akibat hemolysis inkompatibilitas golongan darah lain
harus dipikirkan.
d) Kelainan eritrosit conginetal
Golongan penyakit ini dapat menimbulkan gambaran klinik yang
menyerupai eritoblast fetalis akibat iso-imunitas. Pada penyakit ini coombs test
biasanya negative.
e) Defisiensi enzim G6PD
Hemolysis akibat defisiensi enzim G6PD. G6PD adalah enzim yang
menolong memperkuat dinding sel darah merah. Ketika mengalami kekurangan
enzim G6PD sel darah merah akan lebih mudah pecah dan memproduksi
bilirubin lebih banyak. Defisiensi G6PD merupakan salah satu yang memerlukan
transfuse tukar.

2) Hiperbilirubin Obstruktiva
Hiperbilirubin yang terjadi karena sumbatan penyaluran empedu baik dalam hati
maupun diluar hati. Akibat sumbatan itu terjadi penumpukan bilirubin tidak
langsung.

3) Hiperbilirubin yang disebabkan oleh hal lain, seperti :


a. Pengaruh hormon atua obat yang mengurangi kesanggupan hepar untuk
mengadakan konjugasi bilirubin. Misalnya pada breast milk jaundice. Icterus
karena ASI ibu disebabkan Karen Hormone yang dihasilkan dalam ASI ibu
menghalangi penyingkiran bilirubin melalui usus.
b. Hipolbuminemia.
c. Adanya obat atau zat kimia yang mengurangi ikatan bilirubin tidak
langsung pada albumin misalnya, sulfafurzole, salsilat dan heparin.
d. Sindroma Griger – Najur. Penyakit ini tidak terdapat atau sangat kurang
glukoronil transferase dalam hepar.
e. Ikterus karena late feeding.
f. Asidosis metabolik.
g. Pemakian vitamin K, kalau dosis melebihi 10 mg %.
(Marmi, 2015)

1. Derajat 1 : daerah kepala dan leher, perkiraan kadar bilirubin 5,0 mg %


2. Derajat 11 : sampai badan atas, perkiraan kadar bilirubin 9,0 mg%
3. Derajat 111: sampai badan bawah hingga tungkai, bilirubin 11,4 mg%
4. Derajat 1v : sampai daerah lengan, kaki bawah lutut, 12,4 mg%
5. Derajat v : sampai daerah telapak tangan dan kaki 16,0 mg%
2.4 Tanda dan Gejala
1. Ketika kadar bilirubin meningkat dalam darah maka warna kuning akan di mulai dari
kepala kemudian turun ke lengan, badan, dan akhirnya kepala
2. Jika kadar bilirubin sudah cukup tinggi, bayi akan tampak kuning hingga di bawah
lutut serta telapak tangan
3. Cara yang mudah untuk memeriksa warna kuning ini adalah dengan menekan jari
pada kulit yang diamati dan sebaiknya dilakukan di bawah cahaya/ sinar matahari
4. Pada anak yang lebih tua dan orang dewasa warna kuning pada kulit akan timbul jika
jumlah bilirubin pada daraah diatas 2 mg/dl
5. Pada bayi baru lahir akan tampak kuning jika kadar bilirubin lebih dari 5 mg/dl
6. Hal ini penting untuk mengenali dan menangani ikterus pada bayi paa baru lahir
karena kadar bilirubin yang tinggi akan menyebabkan kerusakn yang permanen pada
otak yang disebut dengan kern ikterus
7. Kuning sendiri tidak akanmenunjukkan gejala klinis terapi penyakit lain yang
menyertai mungkin akan menunjukkkan suatu gejala seperti keadaan bayi tampak
sakit, demam, dan malas minum
Beberapa kasus komplikasi hiperbilirubinemia dapat di jelaskan sebagai berikut:
1. Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi kadang kadar
hiperbilirubin yang sangat tinggi bias menyebabkan kerusakan otak (keadaannya
di sebut kern ikterus)
2. Kern ikterus:
a. Kern ikterus adalah suatu keadaan dimana terjadi penimbunan bilirubin dalam
otak, sehingga terjadi kerusakan otak
b. Efek jangka panjang dari kern ikterus adalah keterbelakangan mental,
kelumpuhan serebral (pengontrolan otot yang abnormal cerebral palsy), tuly
dan mata tidak dapat di gerakan ke atas
3. Bilirubin ensefalopati dan kern ikterus:
a. Istilah bilirubin ensefalopati lebih menunjukkan kepada manifestasi klinik
yang mungkin timbul akibat efek toksis bilirubin pada sistem syaraf pusat
yaitu basal ganglia dan pada berbagai nuclei batang otak
b. Sedang istilah kern ikterus adalah perubahan neuropatologi yang di tandai
oleh deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah di otak terutama di
ganglia basalis, pons, dan sereblum
2.5 Patofisiologis
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh
tubuh. Sebagian besar hasil bilirubin berasal dari degredasi hemoglobin darah dan
sebagian lagi berasal dari hem bebas atau dari proses eritropoelisis yang tidak efektif.
Pembentukan bilirubin tadai dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan
biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi
bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam
lemak,karena mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui
membrane biologi seperti plasenta dan sawar dalam otak. Bilirubin bebas tersebut
kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Dalam hepar terjadi
mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat dengan oleh reseptor membrane sel hati
dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persenyawaan
dengan ligandin (protein Y, protein Z, dan glutation hati lain yang membawanya ke
reticulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi. Proses ini timbul berkat
adanya enzim glukoronil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin
direk. Jenis bilirubin ini larut dalam air dan pada kadar terteentu dappat diekresikan
melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini diekskresikan melalui
duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan
keluar dari tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diarbsorbsi kembali oleh
mukosa usus dan terbentuklah proses arbsorbsi enteroheptik.
Sebagian besar neonates mengalami peningkatan kadar bilirubin indirek pada
hari- hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologiktertentu
pada neonates. Proses tersebut antara lain karena tingginya karena eritrosit neonates,
masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari_), dan belum matangnya fungsi
hepar.
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian
tersering adalah apabila terdapat pertambahan beban bilirubin pada sel hepar yang
berlebihan. Hal ini dapat ditentukan bila terdapat mendeknya umur eritrosit bayi/janin,
meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi
enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar
bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau pada
keadaan protein Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalkan pada bayi dengan
asidosi atau keadaan anoksia/hipoksia. Keaaan lain yang dapat memperlihatkan
peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan konjugasi hepar (defisiensi enzim
glukoroni transferase) atau bayi menderita gangguan ekresi, misalnya penderita hepatitis
neonatal atau sumbatan saluran empedu ekstra/ intrahepatic.
2.6 Diagnosis
a. Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat
digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus
kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode
visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih
boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera
dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut. WHO dalam panduannya
menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:
Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan
cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan
pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang. Tekan
kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan
jaringan subkutan. Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian
tubuh
b. Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus
neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal
yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah
tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan
morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum
harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil). Beberapa senter menyarankan
pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2
minggu.
c. Bilirubinometer Transkutan
Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip
memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm.
Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang
diperiksa. Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang
amat dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan
multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan
bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.
d. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO
Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini
menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin
serum yang rendah. Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar
bilirubin bebas. Salah satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini
berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin
menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata laksana
ikterus neonatorum akan lebih terarah. Seperti telah diketahui bahwa pada
pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen.
Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui
pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.

2.7 Penilaian

Pengamatan ikhterus kadang-kadang agak sulit apalagi dalam cahaya buatan.


Paling baik pengamatan dilakukan dalam cahaya matahari dan dengan menekan sedikit
kulit yang akan diamati untuk menghilangkan warna kaena pengaruh sirkulasi darah.

Penentuan derajat ikterus menurut pembagian zona tubuh (Kramer, 1969) adalah:

1. Kramer I. Apabila warna kuning didaerah kepala (bilirubin total ± 5 – 7 mg %)

2. Kramer II. Apabila warna kuning sampai dada – pusat (bilirubin total ± 7 – 10 mg%)
3. Kramer III. Apabila warna kuning sampai perut dibawah pusat sampai dengan lutut
(bilirubin total ± 10 – 13 mg %)

4. Kramer IV. Apabila warna kuning sampai lengan sampai dengan pergelangan tangan
tungkai bawah sampai dengan pergelangan kaki (bilirubin total ± 13 – 17 mg%)

5. Kramer V. Apabila warna kuning sampai dengan telapak tangan dan telapak kaki
(bilirubin total > 17 mg%)

Contoh 1 : Kulit bayi kuning di kepala, leher dan badan bagian atas, berarti bilirubin kira-
kira 9mg%.

Contoh 2 : Kulit bayi kuning seluruh badan sampai kaki dan tangan, berarti jumlah
biirubin ≥ 15mg%.

2.8 Komplikasi

Terjadi kern ikhterus dan ensefalopati biliaris, kern ikhterus adalah kerusakan
otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum,
thalamus, nucleus, subtalamus hipokampus, nucleus merah di dasar ventrikel IV.

Gejala kern ikhterus pada awalnya tidak jelas dapat berupa :

a. mata berputar
b. letargi
c. kejang
d. tidak mau menghisap
e. malas minum
f. tonus otot meningkat
g. leher kaku dan episotonus
h. spasme otot
i. ketulian pada nada tinggi bicara, retardasi mental

2.9 Penatalaksanaan
A. Langkah promotif dan preventif
1. Menghindari pengguanana obat obatan pada ibu hamil yang berakibat
menimbulkan ikterus ( sulfa,antimalaria,nitrofurantio ,aspirin, novobiosin
oksitosin )
2. Penanaganan keadaadn yang berakibat BBLR
3. Penanaganan infeksi maternal ,KPD secara tepat dan cepat
4. Penanganan asfiksia dan trauma persalinan dengan tepat
5. Pemenuhan kebutuhan nutrisi bayi baru lahir dengan ASI eksklusif
B. Pentalaksanaan pada Ikterus Fisiologis
1. Mengajari ibu cara menyinari bayi dengan cahaya matahari pagi biasanaya
sekitar jam 7 pagi sampai jam 8 pagi selama 15-30 menit
2. Lakukan asuhan dasar pada bayi
a. Beri minum bayi sesuai kebutuhan dan kalori yang cukup
b. Perhatikan frekwensi BAB
c. Usahakan agar bayi tidak terlalu kepanasan atau kedinginan
d. Memeliahara kebersihan tempat tidur bayi dan lingkungannya
e. Mencegah Mencegah terjadinya infeksi
f. Jika bayi dapat menghisap ,anjurkan ibu untuk menyusui secara dini dan ASI
eklusif lebih sering minimal setiap 2 jam
g. Jika bayi tidak dapat menyusu beriakn ASI melalui pipa nasogastrik atau
dengan gelas dan sendok
h. Jaga bayi agar tetap hangat
i. Ikterus fisisologis tidak memerlukan penanganan khusus dan dapat dirawat
jalan dengan nasehat untuk kunjungan ulang setelah tujuh hari .Jika bayi tetap
kuning selama 7 hari maka
1. Lakukan penilaian lengkap
2. Lakukan pemeriksaan ulang untuk ikterus tanyakan apakah kencing
sehari semalam atau apakah sering buang air besar
3. Tindakan
Jika tetap didapatkan klasifikasi ikhterus fisiologis
Disertai kencing 6 kali sehari semalam atau BAB sering ajari ibu cara
menyinari bayi dan kunjungan ulang setelah 14 hari
Disertai kencing 6 kali sehari semalan dan BAB kurang lakukan penilaian
ulang pemberian ASI.
C. Pentalaksanaan pada Ikterus Patologis
1. Cegah agar gula darah tidak turun
2. Jika anak masih bisa menetek mintalah pada ibu untuk menetekkan anakanya
3. Jika anak tidak bisa menetek lagi tapi masih bisa menelan beri perasan ASI atau
susu pengganti ,Jika keduanaya tidak memungkinkan beri air gula 30-50 cc
sebelum dirujuk
4. Jika anak tidak bisa menelan berikan 50cc air susu atau air gula melalaui pipa
ansogastrik ,jika tidak rujuk segera
5. Nasehati ibu agar menjaga bayi tetap hangat
6. Sertakan contoh darah ibu jika kuning terjadi pada 2 hari pertama kehidupan
7. Rujuk segera.
8. Setiap ikterik yang muncul pada 24 jam pertama adalah patologis dan
membutuhkan pemeriksaan labor lanjut
9. Pada bayi dengan ikterus kramer grade 3 atau lebih perlu dirujuk
10. Perhatikan frekwensi BAK dan BAB
11. Beri terapi sinar untuk bayi yang dirawat di RS dan jemur bayi dibawah sinar
matahari pagi pada jam 7-8 selaam 30 menit/.15 menit telentang dan 15 menit
telungkup
12. Cegah kontak kdengan keluarga yang sakit dan cegah trjadinya infeksi
D. Ragam Terapi
Jika setelah tiga-empat hari kelebihan bilirubin masih terjadi, maka bayi harus
segera mendapatkan terapi. Bentuk terapi ini macam-macam, disesuaikan kadar
kelebihan yang ada.
1. Terapi Sinar (fototerapi)
Menurut Buku Ajar Bidan-Diane Fraser, 2009:
Fototerapi digunakan untuk mencegah konsentrasi bilirubin tak-
terkonyugasi dalam darah mencapai kadar yang menyebabkan terjadinya
neurotoksisitas. Permukaan kulit neonatus dipajankan terhadap cahaya dengan
intensitas tinggi, yang secara fotokimiawi mengubah bilirubin tak-terkonyugasi
larut-lemak menjadi bilirubin larut air yang dapat diekskresikan dalam empedu
dan urin. Terapi dapat dilakukan intermitten, atau kontinyu dengan fototerapi,
dihentikan hanya untuk perawatan esensial.
Indikasi untuk fototerapi, didasarkan pada kadar bilirubin serum dan kondisi
individu setiap bayi, terutama jika ikhterus terjadi dalam 12-24 jam pertama:
a. untuk bayi prematur <1500 gr, antara 85 dan 140µmol/L ( 5 dan 8 mg/dl )
b. untuk bayi prematur >1500 gr, bayi sakit dan bayi dengan hemolisis, antara
140 dan 165µmol/L ( 8 dan 10 mg/dl )
c. untuk bayi aterm sehat yang ikhterus setelah 48 jam, antara 280 dan
365µmol/L ( 17 dan 22 mg/dl )
d. Efek samping terapi (Fototerapi fluorosens konvensional, warna putih biru):
hipertermia, peningkatan kehilangan cairan dan dehidrasi, kerusakan pada
retina karena intensitas cahaya tinggi
2. Terapi transfuse
Jika setelah menjalani fototerapi tidak ada perbaikan dan kadar bilirubin
terus meningkat hingga mencapai 20 mg/dl atau lebih, perlu dilakukan terapi
transfusi darah. Kelebihan bilirubin dapat menimbulkan kerusakan sel saraf otak
(kern ikhterus). Efek inilah yang harus diwaspadai karena bayi bisa mengalami
gangguan perkembangan, seperti: keterbelakangan mental, cerebral palsy,
gangguan motoric dan bicara, serta gangguan penglihatan dan pendengaran.
Untuk itu, darah bayi yang teracuni akan dibuang dan ditukar dengan darah lain
yang dilakukan bertahap.
Bila dengan sekali tukar darah, kadar bilirubin menunjukkan angka yang
menggembirakan, maka terapi transfuse bisa berhenti. Tapi bila masih tinggi
perlu dilakukan proses transfusi lagi. Efek samping adalah masuknya kuman
penyakit yang bersumber dari darah yang dimasukkan ke dalam tubuh bayi.
Meski begitu, terapi ini efektif untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi.
c. Terapi obat-obatan
Terapi lainya adalah dengan obat-obatan. Misalnya, obat Phenobarbital
atau luminal untuk meningkatkan pengikatan bilirubin di sel-sel hati sehingga
bilirubin yang sifatnya indirect berubah jadi direct. Ada juga obat-obatan yang
mengandung plasma atau albumin yang berguna untuk mengurangi timbunan
bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hati. Biasanya terapi ini
dilakukan bersamaan dengan terapi lain, seperti fototerapi. Jika sudah tampak
perbaikan maka terapi obat-obatan ini dikurangi bahkan dihenntikan. Efek
sampingnya adalah mengantuk. Akibatnya bayi jadi banyak tidur dan kurang
minum ASI sehingga dikhawatirkan terjadi kekurangan kadar gula dalam
darah yang justru memicu peningkatan bilirubin. Oleh karena itu, terapi obat-
obatan bukan menjadi pilihan utama untuk menangani hiperbilirubin karena
biasanya dengan fototerapi bayi bisa ditangani (revel-indonesia.com).
Metaloporfirin (tin-mesoporfirin/SnMP dan tin-protoporfirin/SnPP) sedang
digunakan secara eksperimen untuk mencegah dan menangani
hiperbilirubinemia neonatus. Tidak seperti terapi lain yang berusaha untuk
menghilangkan pigmen empedu yang berlebihan, obat ini mencegah
pembentukan bilirubin. SnMP adalah inhibitor poten terhadap aktivitas
oksigenase hem, dan sekaligus produksi bilirubin (Kappas et al 2001,
Steffensrud 1998 dalam Buku Ajar Bidan-Diane Fraser, 2009).
3. Menyusui Bayi dengan ASI
Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urin.
Untuk itu bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki
zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat memperlancar buang air besar dan kecilnya.
4. Terapi Sinar Matahar
Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya
dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya, bayi dijemur
selama setengah jam dengan posisi yang berbeda-beda. Seperempat jam dalam
keadaan telentang, misalnya, seperempat jam kemudian telungkup. Lakukan
anatara jam 07.00 sampai 09.00 pagi. Inillah waktu dimana sinar surya efektif
mengurangi kadar bilirubin. Dibawah jam tujuh, sinar ultraviolet belum cukup
efektif, sedangkan di atas jam Sembilan kekuatannya sudah terlalu tinggi
sehingga akan merusak kulit. Hindari posisi yang membuat bayi melihat
langsung ke matahari karena dapat merusak matanya. Perhatikan pula situasi
disekeliling, keadaan udara harus bersih.
BAB II

KONSEP MANAJEMEN KEBIDANAN


PADA NEONATUS DENGAN HIPERBILIRUBINEMIA

1.1 PENGKAJIAN
Pengkajian dilakukan pada:
Tanggal :
Jam :
Tempat :
Oleh :
2.1.1 DATA SUBJEKTIF
Data ini bisa didapat dengan cara anamnesa yaitu tanya jawab antara klien dengan
petugas kesehatan maupun antara petugas kesehatan dengan orang lain yang mengetahui
keadaan / kondisi klien. Anamnesa dapat dilakukan pada pertama kali klien datang (secara
lengkap) dan anamnesa selanjutnya / ulang untuk hal yang diperlukan saja setelah
melakukan review data yang lalu. Hal – hal yang perlu dikaji dalam dat subjektif, meliputi :
1) Biodata
A. Biodata Bayi
a) Nama Bayi
Dikaji untuk memudahkan tenaga kesehatan dalam mengidentifikasi
b) Umur Bayi
Untuk mengetahui berapa umur bayi yang nanti akan disesuaikan dengan
tindakan yang akan dilakukan, dan untuk mengetahui tingkat keparahan ikterus
yaitu jika timbul pada 24 jam sesudah kelahiran termasuk ikterus patologis
sedangkan jika timbul pada hari kedua–ketiga termasuk ikterus fisiologis.
c) Tanggal/jam
Untuk mengetahui kapan bayi lahir, sesuai atau tidak dengan perkiraan
lahienya, dan untuk menegtahui tingkat kenaikan kadar bilirubin pada bayi
cukup bulan atau bayi kurang bulan.
d) Jenis Kelamin
Untuk mengetahui jenis kelamin bayi dan membedakan dengan bayi yang
lain.
e) Anak ke
Dikaji untuk mengetahi apakah anak sebelumnya (jika ada) mengalami hal
serupa.
B. Biodata Orang Tua
a) Nama klien
Dimaksudkan agar lebih mengenal klien sehingga tercipta hubungan
interpersonal yang baik, sehingga bidan lebih mudah dalam memberikan
asuhannya karena klien lebih kooperatif.
b) Umur Klien
Dikaji menurut tanggal lahir ibu. Untuk mengetahui apakah umur klien
termasuk dalam usia produktif atau usia beresiko tinggi.
c) Pendidikan
Dikaji menurut ijazah terakhir ibu. Dimaksudkan untuk mengetahui
tingkat pendidikan dan tingkat intelegensi klien, sehingga bidan bisa
menyesuaikan cara pemberian Konseling, Informasi dan Edukasi (KIE) dengan
kemampuan daya tangkap klien.
d) Pekerjaan
Pekerjaan suami dan ibu sendiri untuk mengetahui bagaimana taraf hidup
dan sosial ekonominya agar nasehat kita sesuai, juga mengetahui apakah
pekerjaan mengganggu atau tidak, misalnya bekerja di pabrik rokok, mungkin zat
yang dihisap akan berpengaruh pada janin.
75.32% ibu pernah terpapar merokok baik di rumah mereka atau di tempat
kerja. Banyak penelitian membuktikan bahwa merokok atau paparan asap akan
berdampak buruk pada janin dan dapat menyebabkan banyak komplikasi
neonatal. (Aiswarya dan Sajeeth, 2016)
e) Agama
Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui agama atau kepercayaan yang
dianut klien, sehingga bidan secara tidak langsung dapat menyesuaikan pemberian
KIE yang sesuai dengan ajaran-ajaran maupun norma-norma agama atau
kepercayaan yang dianut.
f) Alamat
Ditanyakan untuk maksud mempermudah hubungan bila diperlukan bila
keadaan mendesak. Dengan diketahuinya alamat tersebut, bidan dapat mengetahui
tempat tinggal pasien/klien dan lingkunganya. Dengan tujuan untuk
mempermudah menghubungi keluarganya, menjaga kemungkinan bila ada nama
ibu yang sama, untuk dijadikan saat kunjungan rumah.

2) Keluhan Utama
Keluhan utama dikaji untuk mengetahui apa yang terjadi pada klien/bayi. Pada
kasus BBL dengan hiperbilirubinemia terkait dengan keluhan, yang perlu dikaji adalah
sejak kapan bayi mengalami icterus / menjadi kuning, serta susah menyusu atau tidak.

3) Riwayat Kesehatan Ibu


Pada kasus bayi dengan hiperbilirubinemia hal yang perlu dikaji terkait dengan
riwayat kesehatan ibu adalah apakah ibu memiliki penyakit seperti diabetes, hepatitis,
darah tinggi. Diabetes, darah tinggi dan hepatitis pada ibu merupakan factor resiko yang
dapat menyebabkan hiperbilirubinemia pada neonates. Riwayat TORCH juga harus
dikaji terkait dengan kasus ini. Karena salah satu etiologi dari hiperbilirubinemia salah
satunya adalah adanya infeksi TORCH. dengan menanyakan apakah ibu pernah
mengalami diare lama dan batuk lama yang tidak sembuh-sembuh (HIV), apakah pada
kemaluan ibu terdapat buntil-bintil seperti kutil, dan infeksi pada kemaluan yang
lainnya.

4) Riwayat Kesehatan Keluarga


Pada kasus bayi dengan hiperbilirubinemia hal yang perlu dikaji terkait dengan
kesehatan keluarga adalah apakah ada yg menderita penyakit hepatitis.

5) Riwayat Menstruasi
Pada kasus bayi dengan hiperbilirubinemia hal yang perlu dikaji terkait dengan
riwayat menstruasi adalah
1. HPHT.
HPHT digunakan untuk menentukan UK dan HPL, untuk menetukan apakah
bayi yang di lahirkan sudah cukup bulan atau premature. Prematuritas adalah salah
satu penyebab dari kejadian hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir. (Anggraini,
2014)
6) Riwayat kehamilan, persalinan dan postnatal sekarang
a. Riwayat kehamilan
Riwayat kehamilan yang perlu dikaji adalah
 Kehamilan ke berapa.
Untuk mengetahui ibu merupakan primigravida atau multigravida. Menurut
penelitian primipara merupakan salah satu factor resiko hiperbilirubinemia
pada naonatus terkait dengan breastfeeding jaundice. (Rose Xavier, et al, 2016)
 Apakah ibu pernah mengalami abortus atau keguguran. Abortus, menunjukkan
hubungan dengan sejarah kebidanan masa lalu.
Pada pasien dengan aborsi sebelumnya atau lebih menunjukkan hubungan yang
signifikan dengan adanya hiperbilirubinemia neonatal. (D.Sumangala dan
Bindu Vijaykumar, 2017).
 Apakah ibu pernah mengalami bayi meninggal dalam kandungan. Apabila bayi
meninggal dalam kandungan kaji penyebabnya, apakah terkait dengan
ketidakcocokan antara golongan darah ibu dan bayi atau sebab lainnya.
 Kaji golongan darah ibu.
 Hasil penelitian menunjukan bahwa kejadian hiperbilirubenimia sering terjadi
pada ibu yang bergolongan darah O. Hal tersebut sejalan dengan teori bahwa
kejadian hiperbilurin akan beresiko lebih tinggi pada ibu yang memiliki
golongan darah O dan berbeda golongan darah dengan bayinya. . (Elli
Hidayati, Martsa Rahmaswari, 2015)
 Apakah pernah mengalami demam saat hamil. Demam pada saat hamil
merupakan tanda-tanda infeksi. Atau mungkin ada beberapa tanda-tanda
infeksi pada kemaluan seperti bintil-bintil atau seperti jengger ayam, kemaluan
mengeluarkan bau yang tidak sedap.
Bermacam infeksi yang dapat terjadi pada bayi atau ditularkan dari ibu ke janin
di dalam rahim dapat meningkatkan risiko hiperbilirubinemia. Kondisi ini
dapat meliputi infeksi kongenital virus herpes, sifilis kongenital, rubela, dan
sepsis.
 Apakah ibu sudah pernah suntik TT.
 Apakah ibu pernah tes gula selama hamil (riwayat diabetes gestasional),
apakah ibu mengalami darah tinggi saat hamil.
Darah tinggi dan diabetes gestasional, peneilitian menunjukkan hubungan
antara komplikasi kehamilan dan icterus pada neonatal. Presentase dari
diabetes gestasional menunjukkan hubungan yang sangat signifikan dengan
adanya icterus pada neonates, serta disusul oleh hipertensi dan IUGR
b. Riwayat persalinan
Riwayat persalinan yang perlu dikaji adalah
 Ibu melahirkan pada usia kehamilan kurang bulan atau cukup bulan.
Prematuritas adalah salah satu penyebab dari kejadian hiperbilirubinemia
pada bayi baru lahir. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yetti (2014)
mengenai hubungan antara prematuritas dengan kejadian hiperbilirubinemia di
dapatkan hasil bahwa persalinan prematur memiliki peluang 6,107 kali lebih
besar mengalami hiperbilirubin dibandingkan dengan persalinan maturitas.
(Anggraini, 2014)
Pada bayi dengan persalinan prematur hiperbilirubin terjadi karena belum
maturnya fungsi hepar, bayi prematur memiliki kadar zat besi yang tinggi
dalam sel darah merahnya. Proses pemecahan hemoglobin terjadi pada akhir
usia sel darah merah yaitu 120 hari, sedangkan bayi prematur memiliki sel
darah merah yang jangka usianya pendek yaitu 80-90 hari, karena itu sel darah
merah harus diganti dalam waktu yang lebih cepat. Pada penelitian ini juga
diperoleh bahwa bayi yang lahir prematur rata-rata memiliki berat badan lahir
rendah yaitu <2500 gram, sehingga berat bayi lahir rendah juga mempengaruhi
terjadinya hiperbilirubin. (Anggraini, 2014)
 Apakah ibu mengalami ketuban pecah dini, ketuban keruh atau ketuban
berwarna hijau.
Pasien dengan PPROM menunjukkan hubungan yang signifikan dengan
terjadinya ikterus neonatal yang disebabkan oleh prematuritas terkait.
(D.Sumangala dan Bindu Vijaykumar, 2017).
Ketuban keruh bahkan berwarna hijau (mekoneal) menandakan bahwa telah
terjadi fetal distress. Ketuban mekoneal dapat menyebabkan bayi asfiksi saat
lahir.
 Bagaimana proses persalinannya (persalinan normal atau dengan tindakan
seperti vakum). Bayi yang dilahirkan secara ekstraksi vacum dan ekstrasi
forcep mempunyai kecenderungan terjadinya perdarahan tertutup di kepala,
seperti caput sudccadenaum dan cepalhematoma yang merupakan factor resiko
terjadinya hiperbilirubin pada bayi. (Elli Hidayati, Martsa Rahmaswari, 2015)
 Bayi lahir langsung menangis spontan atau tidak. Bayi lahir dengan asfiksi
adalah penyebab penting terjadinya icterus pada neonates. Dan rendahnya
APGAR score pada menit pertama dan kelima diketahui sangat mempengaruhi
atas kejadian neonatal hiperbilirubinemia lahir .
 Jenis kelamin anak dan berat badan lahir anak.
Hiperbilirubin terjadi pada bayi berat badan lahir rendah karena fungsi hepar
yang belum matang atau terdapat gangguan fungsi hepar seperti hipoksia,
hipoglikemi, asidosis, dan lain-lain sehingga mengakibatkan kadar bilirubin
meningkat
Penelitian menunjukkan bahwa berat badan bayi baru lahir < 2500
menunjukkan kaitan yang signifikan antara berat lahir dan kejadian neonates
dengan hiperbilirubinemia. lahir
c. Riwayat Postnatal
Riwayat persalinan yang perlu dikaji adalah
 Apakah anak sebelumnya pernah mengalami icterus/tidak
Salah satu faktor risiko klinis termasuk usia kehamilan kurang dari 38 minggu,
vakum pada saat bersalin, pemberian ASI ekslusif saudara yang lebih tua dengan
penyakit kuning neonatal yang di butuhkan fototerapi, dan hematoma atau memar
yang luas.
 Apakah ibu menyusui anaknya, dan apakah ASInya lancar.
Untuk mengetahui apakah ibu sudah mampu untuk memeberikan asupan yang
cukup untuk bayinya. Menurut penelitian primipara merupakan salah satu factor
resiko hiperbilirubinemia pada naonatus terkait dengan breastfeeding jaundice.
 Bagaimana pemberian ASI, berapa jam sekali.
Pemberian ASI, dikaji untuk mengetahui apakah pemberian ASI kepada bayi
sudah adekuat untuk menghindarkan bayi dari dehidrasi. Bayi yang kelaparan dan
/ atau dehidrasi, mungkin berisiko tinggi terhadap bilirubin encephalopathy.
 Apakah pada anak sebelumnya pernah mengalami demam tinggi atau kejang pada
hari-hari pertama kehidupan. Demam tinggi bisa menandakan adanya infeksi.

7) Data Psikososial
 Apakah ibu senang dengan kelahiran anaknya?
 Apabila ada ibu yang tidak menyusui bayinya, maka ditanyakan alasan mengapa ibu
tidak menyusui bayinya.
 Apakah ibu mengkonsumsi obat-obatan, merokok, atau minum alcohol sebelum,
selama maupun sesudah melahirkan.
 Siapa yang merawatnya apakah bayi dirawat oleh kedua orang tua kandung, oleh
neneknya, atau diasuh oleh orang lain

8) Pola Pemenuhan Kebutuhan


 Nutrisi
Dikaji apakah bayi diberi ASI secara eksklusif, setiap berapa jam, atau bayi malah
tidak mau menyusu. Apakah bayi diberi makanan/minuman tambahan?
 Eliminasi
Dikaji BAB terakhir dan ditanyakan bagaimana warna fesesnya. Apakah feses
berwarna gelap (mekoneal) atau tampak pucat (berwarna seperti dempul).
BAK terakhir ditanyakan, dan apakah warna urinnya normal atau warna urine
gelap (bilirubinuria). Pada neonates dengan hiperbilirubin obstruktiv, seperti pada
atresia biliaris, maka feses akan berwarna seperti dempul dan terjadi bilirubinuria
karena meningkatnya konsentrasi bilirubin yang tidak dapat di ekskresikan
melalui usus, tetapi melalui ginjal. (Marmi, 2015)
 Istirahat
Dikaji berapa jam bayi tidur. Apakah bayi tidur terus menerus, atau setiap 2 jam
dibangunkan untuk menyusu. Pola istirahat dikaji untuk mengetahui seberapa
serinng bayi dapat disusui.
 Aktifitas
Apakah bayi bergerak aktif, lemas, atau kejang.

2.1.2 DATA OBYEKTIF


1) Pemeriksaan umum, meliputi :
a) Keadaan umum
Dikaji pada saat pertama kali pasien datang. Lihat apakah pasien tampak baik
atau tampak lemah.
b) Kesadaran : composmentis/apatis//delirium/somnolen/stupor/coma
c) Suhu
Suhu normal bayi baru lahir adalah 36,5-37-5. Suhu lebih dari 38°C
menandakan adanya kemungkinan infeksi. (Marmi, 2015)
d) Pernafasan
Pernafasan normal pada bayi baru lahir adalah 40-60x/menit (Marmi, 2015)
e) Gerakan
Gerakan perlu dikaji apakah anak masih bergerak normal, atau kejang
f) Berat badan
Penelitian menunjukkan bahwa berat badan bayi baru lahir < 2500
menunjukkan kaitan yang signifikan antara berat lahir dan kejadian neonates
dengan hiperbilirubinemia. lahir Berat badan saat ini harus dibandingkan
dengan berat badan saat lahir/berat badan sebelumnya untuk menegtahui
seberapa besar penurunan berat badan yang dialami oleh bayi. Bayi biasanya
mengalami penurunan berat badan dalam beberapa hari pertama yang harus
kembali normal pada hati ke-10. Bayi dapat ditimbang pada hari ke-3 atau ke-4
untuk mengkaji jumlah penurunan berat badan. Tetapi bila bayi tumbuh dan
minum dengan baik, hal ini tidak diperlukan, sebaiknya dilakukan
penimbangan pada hari ke-10 untuk memastikan bahwa berat badan lahir telah
kembali

2) Pemeriksaan fisik
i. Inspeksi
 Kepala
Adakah caput susadenum, atau cepalhematoma
 Wajah
Pewarnaan pada muka bagaimana apakah pucat, kuning, atau biru.
 Mata
Cekung atau tidak, pewarnaan pada konjungtiva pucat, kemerahan atau
putih, dan warna sklera kuning atau merah muda.
 Hidung
Adakah pernafasan cuping hidung
 Leher
Tampak ikterik/tidak, leher kaku dan akhirnya epistotonus pada
kernicterus.
 Dada
Bagaimana pergerakan dadam dilihat adakah retraksi dinding dada atau
dada tidak bergerak. (terjadi apne, cyanosis, dispnea pada keadaan
kernikterus. Serta pewarnaan pada bagian dada apakah kuning atau
kemerahan.
 Abdomen
Kembung atau tidak, dilihat apakah ada tanda-tanda pembesaran organ,
dilihat keadaan tali pusat apakah kering atau basah, apakah terdapat
tanda-tanda infeksi tali pusat atau tidak, serta pewarnaan pada bagian
abdomen kuning atau kemerahan.
 Anus
Dilihat adanya pengeluaran feses. Apabila ada pengeluaran feses maka
dilihat warnanya. Apakah feses berupa mekoneum atau feses berwarna
pucat (tinja berwarna seperti dempul)
 Ekstrimitas : pewarnaan pada bagian ekstremitas apakah kuning atau
tidak. tonus otot meninggi atau tidak.
 Refleks.
Dilihat apakah ada tremor, reflek moro dan menghisap ada/tidak, bayi
kejang/tidak.
ii. Palpasi
 Abdomen
Adakah pembesaran pada organ terutama pada hati.

3) Pemeriksaan penunjang
1. Bilirubin serum , indirek dan indirek : peningkatan bilirubin diatas 10 mg/dl pada bayi
aterm atau 12 mg/dl pada BBLR 2.
2. Serial level bilirubin total, lebih atau sama dengan 0,5 mg/jam samapi 20 mg/dl
mengindikasikan resiko kernikterus dan kebutuhan transfusi tukar tergantung dari
berat badan bayi dan umur kehamilan.
3. Golongan darah ibu dan bayi, serologi darah tali pusat. Golongan darah dan faktor Rh
pada ibu dan bayi untuk menentukan resiko incompatibilitas, Rh ayah juga diperiksa
jika Rh ibu negatif
4. Pemeriksaan DL. Hb dan HCT : Hb kurang dari 14 gr% dan HCT kurang dari 42%
menandakan adanya proses hemolitik. Hb dari tali pusat kurang dari 12 g/dl indikasi
diperlukaannya transfusi tukar. Hitung retikulosit, meningkat pada hemolisis.

5. Leukosit darah untuk memantau adanya infeksi, menurun sampai dibawah 5000/mm3,
mengindikasikan terjadinya infeksi
6. Cooombs test
- Coombs test (direct) pada darah tali pusat setelah persalinan, positif bila antibodi
terbentuk pada bayi.
- Coombs test (indirect) pada darah tali pusat, positif bila antibodi terdapat pada
darah ibu.

7. Direct bilirubin level, meningkat jika terjadi infeksi atau gangguan hemolisis Rh
8. Pemeriksaan G6PD
9. Kultur mikrobiologi darah, urin, dan cairan serebrospinal untuk infeksi

1.2 IDENTIFIKASI DIAGNOSIS DAN MASALAH


Dx : By Ny “X” usia ….. (jam/hari) dengan hiperbilirubinemia derajat I/II/III/IV/V
sejak hari ke …
Dx dapat ditegakkan berdasarkan temuan-temuan yang ada pada Ds, Do serta Data
penunjang, jika ada. Penentuan derajat pada diagnosis hiperbilirubin dapat ditentukan dari
tabel Kramer. Diagnose banding juga dapat ditegakkan apabila ada temuan-temuan seperti
yang sudah dijelaskan pada tinjauan teori pada bab 1.
Ds :
Ds harus berisi data-data yang menunjang diagnose yang ditegakkan
- Tanggal dan jam lahir anak
- Ibu mengatakan anaknya menjadi kuning pada daerah… sejak kapan…
- Anak masih mau menyusu/anak tidak mau menyusu.
- Pemberian ASInya bagaimana
- dll
Do :
Do harus berisi data-data yang menunjang diagnose yang ditegakkan, mulai dari pemeriksaan
umum, pemeriksaan fisik, hingga pemeriksaan penunjang. Do harus berisi data-data focus
yang menunjang penegakan diagnose. Misalkan:
- Disebutkan pada bagian mana saja terjadi icterus
- Bagaimana warna tinja
- Bagaimana hasil pemeriksaan lab yang dapat menunjang diagnose (jika ada)
- dll…

1.3 IDENTIFIKASI DIAGNOSA POTENSIAL


Diagnosa potensial pada penyakit ikterus antar lain : terjadi akumulasi bilirubin dalam
darah sehingga kulit (terutama) dan atau sklera bayi (neonatus) tampak kekuningan dan
muncul pewarnaan kuning pada permukaan kulit, bayi mengalami dehidrasi/kekurangan
cairan, serta berpotensial juga terjadi kern ikterus.

1.4 IDENTIFIKASI KEBUTUHAN SEGERA


Antisipasi yang dilakukan pada neonatus dengan ikterus adalah memberikan asi secara
ekslusif, melakukan pemeriksaan laboratorium berupa cek bilirubin 24 jam sekali, , serta bila
kadar bilirubin < 10 mg/dl pada bayi prematur dan < 12,5 mg/dl pada bayi cukup bulan maka
lakukan fototerapi.
Apabila bidan dalam tindakan mandiri, maka apabila menemui tanda-tanda icterus yang
mengarah ke kondisi patologi segera rujuk supaya bayi cepat mendapat pemeriksaan lanjutan
dan penanganan untuk mencegah komplikasi yang mungkin akan terjadi.
Intervensi
Tanda-tanda Warna kuning pada kulit dan sclera mata (tanpa hepatomegaly,
perdarahan kulit dan kejang-kejang)
Kategori Normal Fisiologik Patologik
Penilaian
Daerah icterus 1 1+2 1 sampai 4 1 sampai 5 1 sampai 5
(rumus kremer).
Kuning hari ke: 1-2 >3 >3 >3 >3
Kadar bilirubin ≤5 mg% 5-9 mg% 11-15 mg% >15-20 > 20 mg%
mg% 
Penanganan
1. Anjurkan ibu 1. Terus diberi ASI 1. Rujukan ke rumah
untuk terus eksklusif sakit
menyusui 2. Jemur di bawah sinar
Tindakan
bayi dengan matahari pagi jam 7-9
mandiri
ASI selama 30 menit
eksklusif 3. Anjurkan untuk terapi
2. Ajarkan cara sinar
menyusui
yang benar
ASI yang
benar.
3. Jemur di
bawah sinar
matahari
pagi jam 7-9
selama 30
menit
4. Nasihat bila
semakin
kuning,
kembali

Tindakan Sama dengan 1. Terapi sinar


kolaborasi diatas 2. Pemantauan bayi dan pemberian
cairan selama terapi sinar
3. Apabila keadaan tidak membaik
dengan foto terapi maka konsultasi
dengan dokter untuk pemberian
terapi lain atau pemeriksaan lainnya

1. Pengambilan sampel darah ibu dan bayi untuk


dilakukan pemeriksaan melalui golongan
darah ibu dan bayi
2. Pemantauan keadaan bayi setelah bayi
dilakukan pemeriksaan hiperbilirubin melalui
golongan darah ibu dan bayi
Pemantauan bayi dan pemberian cairan pada bayi
setelah transfuse tukar
Rasional Intervensi.

Tindakan 1. Lakukan penilaian dan pemeriksaan pada bayi.


Mandiri R/ sebelum membuat rencana dan penatalaksanaan asuhan, maka bidan harus
melakukan penilaian terhadap icterus. Penilaian dilakukan untuk menetukan
berat ringannya icterus yang dialami bayi, penegakan diagnosis, dan
peenentuan keputusan klinik apakah bayi akan ditatalaksanai secara mandiri,
kolaborasi atau rujukan.
2. Jelaskan apa yang sedang dialami oleh bayi dan jelaskan hasil
pemeriksaan pada keluarga.
R/ penjelasan yang diberikan diharapkan dapat memberikan gambaran kepada
keluarga tentang apa yang dialami oleh dan keadaan bayi.
3. Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI eksklusif setiap 2 jam
sekali.
R/ ada hubungan antara jumlah pemerian ASI selama 3 hari pertama dengan
kadar bilirubin. Semakin banyak jumlah pemberian ASI semakin rendah
kadar bilirubin bayi. Bayi baru lahir harus disusui 8 kali atau lebih setiap hari.
Ibu dianjurkan untuk menyusui bayinya secara teratur dalam 24 jam.
Kolostrum ialah laksatif alami yang membantu meningkatkan pengeluaran
meconium. Dengan pemberian ASI yang sering dan dini akan meningkatkan
ekskresi meconium dan menurunkan kadar bilirubin. (Bobak,2005)
4. Ajarkan ibu cara menyusui yang benar.
R/ kurangnya asupan ASI yang diterima oleh bayi salah satunya dikarenakan
oleh teknik menyusui yang kurang benar. Dengan teknik menyusui yang
kurang benar, ASI yang keluar tidak maksimal sehingga bayi tidak akan
mendapat asupan yang cukup. Dengan sedikitnya intake ASI, meconium yang
dikeluarkan juga sedikit yang artinya bilirubin yang dapat dikeluarkan dari
tubuh bayi juga sedikit. Maka itu bidan harus mengajarkan cara menyusui
yang benar mulai dari posisi ibu, dan bagaimana posisi bayi supaya bayi bisa
mendapatkan ASI yang optimal.
5. KIE tentang kebutuhan gizi berkaitan dengan produksi ASI.
R/ dengan gizi seimbang dan intake yang adekuat pada ibu diharapkan ASI
dapat berproduksi secara adekuat sehingga bayi bisa mendapatkan ASI secara
optimal untuk mencegah dehidrasi dan bisa menurunkan kadar bilirubin pada
tubuh bayi.
6. Anjurkan ibu untuk menjemur bayinya dibawah sinar matahari antara
pukul 7-9 selama 30 menit dengan posisi berbeda-beda.
R/ terapi dengan sinar matahari cukup mudah untuk dilakukan. Pukul 7-9
adalah waktu yang tepat dimana sinar ultraviolet cukup efektif mengurangi
kadar bilirubin. Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke
matahari karena dapat merusak matanya. (Marmi, 2015)
7. Anjurkan untuk segera kembali apabila bayi semakin kuning
R/ dengan ibu segera kembali apabila menemui bayinya semakin kuning,
diharapkan bayi dapat segera dirujuk sehingga mendapat penatalaksanaan
lanjutan yang dapat mencegah terjadinya komplikasi.

Tindakan 8. Jelaskan pada ibu dan/keluarga tentang terapi yang harus dijalani oleh
Kolaborasi bayi
(langkah R/ dengan penjelasan yang jelas diharapkan keluarga mengetahui keadaan
1-7 sama abayinya dan kooperatif saat bayi dilakukan tindakan.
dengan 9. Berikan terapi sinar pada bayi
tindakan R/ dengan fototerapi bilirubin dalam tubuh bayi dapat dipecah dan menjadi
mandiri) mudah larut dalam air tanpa harus diubah dulu oleh organ hati, terapi sinar
juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tidak terus meningkat (marmi,
2015)
10. Anjurkan ibu untuk memompa ASInya dan diletakkan pada botol bayi.
R/ dengan ibu selalu memompa ASI diharapkan ASI tetap dapat berproduksi
walaupun tidak secara langsung disusukan kepada bayi, serta mencegah
adanya bendungan ASI. Selain itu, ASI perah dapat diberikan kepada bayi
oleh tenaga kesehatan selama terapi sinar untuk mencegah bayi dehidrasi.
11. Pantau TTV bayi selama terapi sinar.
R/ pemantauan tanda-tanda vital bertujuan untuk mengetahui apakah bayi
dalam keadaan normal atau tidak. Pemantauan suhu dilakukan setiap 4-6 jam
sekali atau sewaktu-waktu bila perlu. (Marmi,2015)
Pemantauan suhu secara cermat untuk menghindari dehidrasi. (Cunningham,
2006)
12. Pantau pemasukan cairan, pengeluaran feses dan urin, serta
pengeluaran muntah juga diukur, dicatat dan dilakukan pemantauan
tanda dehidrasi.
R/ pada fototerapi terjadi peningkatan kehilangan cairan yang tidak dapat
dihitung, dan tinja sedikit cair, lebih sering berperan pada kehilangan cairan.
Dengan pemantauan pemasukan dan pengeluaran cairan diharapkan dapat
mencegah bayi dari dehidrasi. (Tom Lissauer dan Avroy A. Fanroff. 2013)
13. Apabila keadaan tidak membaik dengan fototerapi maka konsultasi
dengan dokter untuk pemberian terapi lain atau pemeriksaan lainnya
R/ dengan selalu memantau keadaan bayi diharapkan tenaga kesehatan dapat
mengetahui perkembangan bayi terhadap terapi yang diberikan. Apabila
terjadi sesuatu yang tidak normal maka segera konsultasi dengan dokter
supaya bayi mendapatkan terapi lanjutan pada waktu yang tepat sehingga
dapat mencegah bayi dari komplikasi yang mungkin dapat terjadi.
14. Ambil sampel darah ibu dan bayi untuk dilakukan pemeriksaan melalui
golongan darah ibu dan bayi.
R/ pemeriksaan sampel darah ibu dan bayi dilakukan untuk mengetahui
adanya penyebab yang mengakibatkan hiperbilirubinemia pada bayi yang
berkaitan dengan darah.
15. Pantau keadaan bayi setelah bayi dilakukan pemeriksaan hiperbilirubin
melalui golongan darah ibu dan bayi.
R/ pemantauan dilakukan untuk memastikan keadaan bayi normal atau tidak
16. Pantau keadaan bayi dan cairan pada bayi setelah transfuse tukar.
R/ pemantauan dilakukan untuk memastikan keadaan bayi normal atau ada
perubahan reaksi transfusi (Tacykardia, bradikardia, distress nafas, perubahan
tekanan darah secara dramatis, ketidakstabilan temperatur, dan rash)
Tindakan 1. Lakukan penilaian dan pemeriksaan pada bayi.
Rujukan R/ sebelum membuat rencana dan penatalaksanaan asuhan, maka bidan harus
melakukan penilaian terhadap icterus. Penilaian dilakukan untuk menetukan
berat ringannya icterus yang dialami bayi, penegakan diagnosis, dan
peenentuan keputusan klinik apakah bayi akan ditatalaksanai secara mandiri,
kolaborasi atau rujukan.
2. Jelaskan apa yang sedang dialami oleh bayi dan jelaskan hasil
pemeriksaan pada keluarga.
R/ penjelasan yang diberikan diharapkan dapat memberikan gambaran kepada
keluarga tentang apa yang dialami oleh dan keadaan bayi dan keluarga
kooperatid terhadap tindakan yang akan dilakukan.
3. Stabilisasi pasien sebelum dirujuk apabila mengalami susah nafas atau
kejang
R/ untuk mengurangi trauma yang dapat terjadi akibat kurangnya penanganan
awal dan untuk stabilisasi kondisi bayi.
4. Jelaskan kepada keluarga mengapa bayi harus di rujuk serta jelaskan
dampak apabila bayi tidak di rujuk.
R/ dengan diberikannya penjelasan, dihadarpkan keluarga dapat kooperatif
dengan tindakan yang akan dilakukan, dan bisa bekerja sama untuk tindakan
rujukan.
5. Beri keluarga surat persetujuan atau surat penolakan rujukan.
R/ surat persetujuan atau penolakan adalah sebagai bukti bahwa keluarga
menyetujui atau menolak tindakan yang akan dilakukan
6. Rujuk pasien.
R/ dengan merujuk ke fasilitas kesehatan yang memiliki fasilitas yang lebih
lengkap, diharapkan bayi mendapatkan penanganan secara tepat sehingga
dapat mencegah komplikasi yang mungkin bisa terjadi dengan prinsip
baksokuda
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 PENGKAJIAN
Pengkajian dilakukan pada :
Tanggal : 9 September 2018
Jam : 10.30 wib
Tempat : PMB ISNA
Oleh : Dwi Novita A.
3.1.1 DATA SUBJEKTIF
Biodata
Biodata Bayi
Nama Bayi : By. Ny. N
Umur Bayi : 1 minggu
Tanggal/jam : 25 Desember 2017/ 19.55 WIB
Jenis Kelamin : Laki-laki
Anak ke : 3800 gram
Biodata Orang Tua
Ibu Ayah
Nama klien : Ny N Nama : Ny A
Umur Klien : 25 Tahun Usia : 26 Tahun
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam Agama : Islam
Alamat : Sapen RT/03, Slogo, Tanon, Sragen
9) Keluhan Utama
Ibu mengatakan bayinya berwarna kuning malas minum
10) Riwayat Kesehatan Ibu
Ibu mengatakan tidak pernah menderita penyakit hipertensi, jantung, asma, dan ginjal
11) Riwayat Kesehatan Keluarga
Ibu mengatakan dalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit menurun seperti
(DM, jantung, hipertensi, asma) dan menular seperti (Hepatitis, TBC,HIV/AIDS)
12) Riwayat Menstruasi

HPHT : 24 Juni 2017

HPL : 29 Maret 2018

13) Riwayat kehamilan, persalinan dan postnatal sekarang


Ibu mengatakan ini kehamilan yang pertama
 Ibu mengatakan tidak pernah mengalami keguguran
 Ibu mengatakan tidak pernah mengalami bayi meninggal dalam kandungan.
d. Riwayat persalinan
Riwayat persalinan yang perlu dikaji adalah
a. Ibu mengatakan melahirkan pada usia kehamilan kurang bulan
b. Ibu mengatakan tidak pernah mengalami mengalami ketuban pecah dini,
ketuban keruh atau ketuban berwarna hijau.
c. Ibu mengatakan berat badan anak saat lahir 2500 gr
e. Riwayat Postnatal
 Ibu mengatakan bayi jarang menyusu
 Ibu mengatakan menyusui bayi saat bayi menangis
14) Data Psikososial
 Ibu mengatakan sangat senang dengan kehadiran bayinya
 Ibu mengatakan tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan , merokok, atau minum
alcohol sebelum, selama, dan sesudah
15) Pola Pemenuhan Kebutuhan
 Nutrisi
- Ibu mengatakan memberi ASI eksklusif
 Eliminasi
- Ibu mengatakan feses bayi tampak pucat (berwarna seperti dempul).
- Ibu mengatakan bayi BAK terakhir saat sebelum berangkat periksa, warna
urin gelap
 Istirahat
- Ibu mengatakan bayi sering tidur dan tidak di bangunkan
 Aktifitas
- Ibu mengatakan bayi tidak bergerak aktif

a. Riwayat kehamilan
1. HPHT : 20 September 2016
2. HPL : 27 Juni 2017
3. Keluhan :
a. Trimester 1 : Ibu mengatakan mengeluh mual muntah
b. Trimester 2 : Ibu mengatakan sudah mulai merasa mules- mules
c. ANC : Ibu mengatakan x kunjungan dan teratur, di bidan pada usia
kehamilan 2, dan 7 bulan

3.1.2 DATA OBYEKTIF


Pemeriksaan umum
1. Keadaan umum : sedang
2. Kesadaran : sadar penuh
3. Suhu : 36,8o c
4. Pernafasan : 42x/menit
5. Gerakan : kurang aktif
6. Berat badan : 2400gr

4) Pemeriksaan fisik
 Kepala
Tidak ada caput succedaneum, kepala terlihat kuning
 Wajah
Simetris, terlihat kuning
 Mata
Sclera agak kuning, konjungtiva merah muda
 Hidung
Simetris, tidak ada kotoran/ lender, terlihat kuning terpasang sonde no 8
di lubang hidung
 Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
 Dada
Simetris tampak kuning
 Abdomen
Tidak kembung, terlihat kuning, terlihat agak buncit, tidak ada
pembesaran hati
 Anus
Positif (ada lubang)
 Ekstrimitas
Lengkap pada kuku tidak terlihat kuning
 Refleks.
a. reflek morro : kuat, saat dilakukan rangsangan
b. reflek rooting : lemah, saat dilakukan sentuhan pipi
c. reflek suching : lemah saat diberikan dot bayi menghisap dengan
lemah
d. reflek graping : kuat, bayi menggenggam lemah
e. reflek tonik neck : lemah, bila bayi ditengkurapkan maka kepala akan
menmengadah ke atas dan berputar
5) Pemeriksaan penunjang
1. Bilirubin indirek :10,55 mg%
Bilirubin direk :0,90 mg%
2. Golongan darah ibu dan bayi :O
3. Hb bayi : 18,4 gr%
4. Leukosit : 21,2 gr%
5. Hematokrit : 38,9gr %

1.5 IDENTIFIKASI DIAGNOSIS DAN MASALAH


Dx : By Ny “N” usia 1 MINGGU dengan hiperbilirubinemia derajat III sejak hari ke 4
Ds : 1. Ibu mengatkan anaknya menjadi kuning pada daerah mata dan wajah
2. Ibu mengatakan bayi malas minum
Do :
1. Keadaan umum : sedang
2. Kesadaran : sadar penuh
3. Suhu : 36,8o c
4. Pernafasan : 42x/menit
5. Gerakan : kurang aktif
6. Berat badan : 2400gr
7. Kulit kelihatan kuning pada kepala, paha sampai lutut
8. BAB 4X warna kuning kecoklatan, konsistensi lembek, BAK warna kuning jernih
9. Reflek morro kuat, reflek rooting lemah, reflek suching lemah, reflek graping,
reflek tonik neck lemah
10. Hasil pemeriksaan penunjang
Bilirubin indirek :10,55 mg%
Bilirubin direk :0,90 mg%
Golongan darah ibu dan bayi :O
Hb bayi : 18,4 gr%
Leukosit : 21,2 gr%
Hematokrit : 38,9gr %
11. Masalah
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi
12. Kebutuhan
Pemenuhan cairan dan nutrisi yang adekuat

2.1 IDENTIFIKASI DIAGNOSA POTENSIAL


Hiperbilirubin derajat IV

2.2 IDENTIFIKASI KEBUTUHAN SEGERA


Kolaborasi dengan dokter spesialis anak

2.3 INTERVENSI
Dx : By Ny “N” usia 1 minggu dengan hiperbilirubinemia derajat
IV sejak hari ke 4
Intervensi
Tanda-tanda Warna kuning pada kulit dan sclera mata (tanpa hepatomegaly,
perdarahan kulit dan kejang-kejang)
Kategori Normal Fisiologik Patologik
Penilaian
Daerah icterus 1 1+2 1 sampai 4 1 sampai 5 1 sampai 5
(rumus kremer).
Kuning hari ke: 1-2 >3 >3 >3 >3
Kadar bilirubin ≤5 mg% 5-9 mg% 11-15 mg% >15-20 > 20 mg%
mg% 
Penanganan
1. Anjurkan 1. Terus diberi ASI 1. Rujukan ke
ibu untuk eksklusif rumah sakit
terus 2. Jemur di bawah
menyusu sinar matahari
i bayi pagi jam 7-9
dengan selama 30 menit
ASI 3. Anjurkan untuk
eksklusif terapi sinar
Tindakan 2. Ajarkan
mandiri cara
menyusu
i yang
benar
ASI yang
benar.
3. Jemur di
bawah
sinar
matahari
pagi jam
7-9
selama
30 menit
4. Nasihat
bila
semakin
kuning,
kembali

Tindakan Sama dengan 4. Terapi sinar


kolaborasi diatas 5. Pemantauan bayi dan pemberian
cairan selama terapi sinar
6. Apabila keadaan tidak membaik
dengan foto terapi maka konsultasi
dengan dokter untuk pemberian
terapi lain atau pemeriksaan lainnya

1. Pengambilan sampel darah ibu dan bayi untuk


dilakukan pemeriksaan melalui golongan
darah ibu dan bayi
2. Pemantauan keadaan bayi setelah bayi
dilakukan pemeriksaan hiperbilirubin melalui
golongan darah ibu dan bayi
Pemantauan bayi dan pemberian cairan pada bayi
setelah transfuse tukar
Rasional Intervensi.

Tindakan 17. Lakukan penilaian dan pemeriksaan pada bayi.


Mandiri R/ sebelum membuat rencana dan penatalaksanaan asuhan, maka bidan harus
melakukan penilaian terhadap icterus. Penilaian dilakukan untuk menetukan
berat ringannya icterus yang dialami bayi, penegakan diagnosis, dan
peenentuan keputusan klinik apakah bayi akan ditatalaksanai secara mandiri,
kolaborasi atau rujukan.
18. Jelaskan apa yang sedang dialami oleh bayi dan jelaskan hasil
pemeriksaan pada keluarga.
R/ penjelasan yang diberikan diharapkan dapat memberikan gambaran kepada
keluarga tentang apa yang dialami oleh dan keadaan bayi.
19. Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI eksklusif setiap 2 jam
sekali.
R/ ada hubungan antara jumlah pemberian ASI selama 3 hari pertama dengan
kadar bilirubin. Semakin banyak jumlah pemberian ASI semakin rendah
kadar bilirubin bayi. Bayi baru lahir harus disusui 8 kali atau lebih setiap hari.
Ibu dianjurkan untuk menyusui bayinya secara teratur dalam 24 jam.
Kolostrum ialah laksatif alami yang membantu meningkatkan pengeluaran
meconium. Dengan pemberian ASI yang sering dan dini akan meningkatkan
ekskresi meconium dan menurunkan kadar bilirubin.
20. Ajarkan ibu cara menyusui yang benar.
R/ kurangnya asupan ASI yang diterima oleh bayi salah satunya dikarenakan
oleh teknik menyusui yang kurang benar. Dengan teknik menyusui yang
kurang benar, ASI yang keluar tidak maksimal sehingga bayi tidak akan
mendapat asupan yang cukup. Dengan sedikitnya intake ASI, meconium yang
dikeluarkan juga sedikit yang artinya bilirubin yang dapat dikeluarkan dari
tubuh bayi juga sedikit. Maka itu bidan harus mengajarkan cara menyusui
yang benar mulai dari posisi ibu, dan bagaimana posisi bayi supaya bayi bisa
mendapatkan ASI yang optimal.
21. KIE tentang kebutuhan gizi berkaitan dengan produksi ASI.
R/ dengan gizi seimbang dan intake yang adekuat pada ibu diharapkan ASI
dapat berproduksi secara adekuat sehingga bayi bisa mendapatkan ASI secara
optimal untuk mencegah dehidrasi dan bisa menurunkan kadar bilirubin pada
tubuh bayi.
22. Anjurkan ibu untuk menjemur bayinya dibawah sinar matahari antara
pukul 7-9 selama 30 menit dengan posisi berbeda-beda.
R/ terapi dengan sinar matahari cukup mudah untuk dilakukan. Pukul 7-9
adalah waktu yang tepat dimana sinar ultraviolet cukup efektif mengurangi
kadar bilirubin. Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke
matahari karena dapat merusak matanya. (Marmi, 2015)
23. Anjurkan untuk segera kembali apabila bayi semakin kuning
R/ dengan ibu segera kembali apabila menemui bayinya semakin kuning,
diharapkan bayi dapat segera dirujuk sehingga mendapat penatalaksanaan
lanjutan yang dapat mencegah terjadinya komplikasi.

Tindakan 24. Jelaskan pada ibu dan/keluarga tentang terapi yang harus dijalani oleh
Kolaborasi bayi
(langkah R/ dengan penjelasan yang jelas diharapkan keluarga mengetahui keadaan
1-7 sama abayinya dan kooperatif saat bayi dilakukan tindakan.
dengan 25. Berikan terapi sinar pada bayi
tindakan R/ dengan fototerapi bilirubin dalam tubuh bayi dapat dipecah dan menjadi
mandiri) mudah larut dalam air tanpa harus diubah dulu oleh organ hati, terapi sinar
juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tidak terus meningkat (marmi,
2015)
26. Anjurkan ibu untuk memompa ASInya dan diletakkan pada botol bayi.
R/ dengan ibu selalu memompa ASI diharapkan ASI tetap dapat berproduksi
walaupun tidak secara langsung disusukan kepada bayi, serta mencegah
adanya bendungan ASI. Selain itu, ASI perah dapat diberikan kepada bayi
oleh tenaga kesehatan selama terapi sinar untuk mencegah bayi dehidrasi.
27. Pantau TTV bayi selama terapi sinar.
R/ pemantauan tanda-tanda vital bertujuan untuk mengetahui apakah bayi
dalam keadaan normal atau tidak. Pemantauan suhu dilakukan setiap 4-6 jam
sekali atau sewaktu-waktu bila perlu. (Marmi,2015)
Pemantauan suhu secara cermat untuk menghindari dehidrasi.
Pantau pemasukan cairan, pengeluaran feses dan urin, serta
pengeluaran muntah juga diukur, dicatat dan dilakukan pemantauan
tanda dehidrasi.
R/ pada fototerapi terjadi peningkatan kehilangan cairan yang tidak dapat
dihitung, dan tinja sedikit cair, lebih sering berperan pada kehilangan cairan.
Dengan pemantauan pemasukan dan pengeluaran cairan diharapkan dapat
mencegah bayi dari dehidrasi. (Tom Lissauer dan Avroy A. Fanroff. 2013)
28. Apabila keadaan tidak membaik dengan fototerapi maka konsultasi
dengan dokter untuk pemberian terapi lain atau pemeriksaan lainnya
R/ dengan selalu memantau keadaan bayi diharapkan tenaga kesehatan dapat
mengetahui perkembangan bayi terhadap terapi yang diberikan. Apabila
terjadi sesuatu yang tidak normal maka segera konsultasi dengan dokter
supaya bayi mendapatkan terapi lanjutan pada waktu yang tepat sehingga
dapat mencegah bayi dari komplikasi yang mungkin dapat terjadi.
29. Ambil sampel darah ibu dan bayi untuk dilakukan pemeriksaan melalui
golongan darah ibu dan bayi.
R/ pemeriksaan sampel darah ibu dan bayi dilakukan untuk mengetahui
adanya penyebab yang mengakibatkan hiperbilirubinemia pada bayi yang
berkaitan dengan darah.
30. Pantau keadaan bayi setelah bayi dilakukan pemeriksaan hiperbilirubin
melalui golongan darah ibu dan bayi.
R/ pemantauan dilakukan untuk memastikan keadaan bayi normal atau tidak
31. Pantau keadaan bayi dan cairan pada bayi setelah transfuse tukar.
R/ pemantauan dilakukan untuk memastikan keadaan bayi normal atau ada
perubahan reaksi transfusi (Tacykardia, bradikardia, distress nafas, perubahan
tekanan darah secara dramatis, ketidakstabilan temperatur, dan rash)
Tindakan 7. Lakukan penilaian dan pemeriksaan pada bayi.
Rujukan R/ sebelum membuat rencana dan penatalaksanaan asuhan, maka bidan harus
melakukan penilaian terhadap icterus. Penilaian dilakukan untuk menetukan
berat ringannya icterus yang dialami bayi, penegakan diagnosis, dan
peenentuan keputusan klinik apakah bayi akan ditatalaksanai secara mandiri,
kolaborasi atau rujukan.
8. Jelaskan apa yang sedang dialami oleh bayi dan jelaskan hasil
pemeriksaan pada keluarga.
R/ penjelasan yang diberikan diharapkan dapat memberikan gambaran kepada
keluarga tentang apa yang dialami oleh dan keadaan bayi dan keluarga
kooperatid terhadap tindakan yang akan dilakukan.
9. Stabilisasi pasien sebelum dirujuk apabila mengalami susah nafas atau
kejang
R/ untuk mengurangi trauma yang dapat terjadi akibat kurangnya penanganan
awal dan untuk stabilisasi kondisi bayi.
10. Jelaskan kepada keluarga mengapa bayi harus di rujuk serta jelaskan
dampak apabila bayi tidak di rujuk.
R/ dengan diberikannya penjelasan, dihadarpkan keluarga dapat kooperatif
dengan tindakan yang akan dilakukan, dan bisa bekerja sama untuk tindakan
rujukan.
11. Beri keluarga surat persetujuan atau surat penolakan rujukan.
R/ surat persetujuan atau penolakan adalah sebagai bukti bahwa keluarga
menyetujui atau menolak tindakan yang akan dilakukan
12. Rujuk pasien.
R/ dengan merujuk ke fasilitas kesehatan yang memiliki fasilitas yang lebih
lengkap, diharapkan bayi mendapatkan penanganan secara tepat sehingga
dapat mencegah komplikasi yang mungkin bisa terjadi dengan prinsip
baksokuda

2.4 IMPLEMENTASI
Dilakukan tanggal 9 September 2018 pukul :10.30 WIB
1. Memberitahu orang tua tentang kondisi bayi yaitu bayi mengalami hiperbilirubin
2. Menganjurkan ibu untuk terus menyusui bayi dengan ASI eksklusif
3. Mengajarkan cara menyusui ASI yang benar.
4. Menjemur di bawah sinar matahari pagi jam 7-9 selama 30 menit
5. Menasihat bila semakin kuning, kembali
6. Kolaborasi dengan dokter spesialis anak untuk dilakukan terapi sinar

2.5 EVALUASI
S warna kulit bayi masih kuning
O:
KU : Lemah
TTV : N 160 x/menit, S 36,80C, RR 60 x/menit
A : By. Ny N usia 1 minggu dengan hiperbilirubinemia neonatorium.
P:
a. Pemantauan warna kulit
b. Pemeriksaan TTV secara continue
c. Dokumentasi

Observasi
1. Pertama :
Tanggal : 9 September 2018
S : Bayi sudah tiak berwarna kuning, bayi sudah sering menyusu
O
a. Warna kulit sudah normal
b. Glukosa dalam darah sudah mulai meningkat
c. KU : Baik
d. TTV :
1.) RR : 60x/menit
2.) S : 36,7ºC
3.) N : 160x/menit
A : By. Ny N usia 2 minggu dengan hiperbilirubin neonatorium.
Masalah : kulit bayi mengering
P:
a. Pemberian terapi sesuai resep dokter untuk menangani wana kuning pada kulit
b. Pemantauan kebutuhan cairan
c. Pemeriksaan TTV
d. Dokumentasi
2. Kedua :
Tanggal : 10 September 2018
S : Bayi sudah tidak kuning, bayi sudah bisa dan sering menyusu pada ibu
O:
a. Warna kulit kemerahan
b. Bayi menangis ketika lapar/haus
c. Glukosa darah sudah normal
d. Kadar bilirubin serum sudah menurun
e. KU : Baik
f. TTV
1.) Nadi : 140 x/menit
2.) Suhu : 36,5ºC
3.) RR : 40 x/menit
A : By. Ny S usia 9 hari dengan hiperbilirubinemia neonatorium.
Masalah : tidak ada
P:
a. Melanjutkan terapi
b. Pemeriksaan TTV
c. Pemenuhan kebutuhan cairan
d. Melakukan perawatan sehari-hari pada bayi
BAB IV
PEMBAHASAN

Dalam pembahasan kasus ini, penulis akan membahas kesesuaian antara teori dengan
hasil pengkajian dan pemeriksaan yang telah dilakukan pada tanggal 9 September 2018.
Didapatkan identitas orang tua dan bayi, nama orang tua Tn A/Ny. N. Usia 25/26 tahun. Agama
islam. Pendidikan SMA. Pekerjaan swasta/IRT. Alamat Sapen RT/03, Slogo, Tanon, Sragen.
Identitas By. Ny. N,. Jenis kelamin laki- laki. Anak pertama.

Pada data subjektif riwayat obstetri ibu menyebutkan saat hamil periksa 2 kali yaitu pada
trimster I satu kali, dan trimester ke II satu kali. Dalam teori sesuai dengan program pemerintah
bahwa ibu hamil harus memeriksakan kehamilannya minimal 4 kali sampai persalinan. Pada
pemeriksaan TTV didapatkan hasil pernapasan 42x/menit, suhu 36,8o c, nadi 140 x/menit. Dalam
teori disebutkan suhu normal 36,5 – 37,5 0C, Hipotermi <36°C, Sub febris 37,5-38 °C, Febris 38-
40 °C, Hipertermi >40°C ). Frekuensi detak jantung / menit, normalnya yaitu 100 - 160
x/menit. Pernapasan normalnya yaitu 30-60 x/menit. Dari hasil data objektif didapatkan hasil
yaitu wajah terlihat berwarna kuning sampai lutut. Berdasaran dari data objektif meunjukkan
tanda-tanda hiperbilirubin pada neonatus.

Dari data yang telah didapatkan terdapat satu kesenjangan yaitu pada pemeriksaan ANC
ibu. Pada program pemerintah ANC dilakukan minimal 4 kali selama kehamilan yaitu satu kali
pada trimester I, satu kali pada trimester II, dua kali pada trimester III. Sedangkan dalam data
subjektif ibu mengatakan hanya memeriksakan kehamilannya sebayak 2 kali yaitu pada trimester
I dan trimester II. Rencana asuhan atau intervensi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan yakni
mengatasi kejang terlebih dahulu kemudian dilakukan stabilisasi untuk merujuk ke rumah sakit.
Implementasi yang dilakukan disesuaikan dengan intervensi. Pada evaluasi ikterus pada bayi
sudah teratasi dan sudah dilakukan stabilisasi kemudian dilakukan pemantauan TTV selama
rujukan.
DAFTAR PUSTAKA

Novvi Karlina, dkk.. 2016. Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal & Neonatal. Bogor:
IN MEDIA

Ai Yeyeh Rukiyah,dkk, 2012. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta. CV Trans Info
Media

Marmi dan Kukuh Rahardjo. 2015. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Prasekolah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Virginia. 2000. Accuracy of Clinical Judgment in Neonatal Jaundice. www.archpediacs.com

Aiswarya and Sajeeth. The Incidence, Risk Factors and Management of Neonatal Jaundice in a
Government Hospital, Palakkad District, Kerala. International Journal of Health Sciences
& Research. 2016;6(6);123-129
Format Penilaian

Judul Kasus : Konsep Manajemen Kebidanan pada Kasus Neonatus dengan


Hiperbilirubinemia

Nama/NIM : Dwi Novita Anggraini/1602450008

Kelas/Semester : 3A/5

Makalah 70% Nilai


1 Orisinalitas (0 – 20)
2 Ketaatan pada aturan penulisan dan pengumpulan tugas (0 – 10)
3 Ketajaman analisis asuhan (0 – 30)
4 Daftar Pustaka (0 – 10)
Presentasi 30%
1 Kemampuan argumentasi (0 – 20)
2 Tampilan slide (0 – 10)
Total Nilai (0-100)
Catatan Pembimbing :

Malang, .............................2018

Dosen Pembimbing

Erni Dwi Widyana, SST., M.Kes

NIP. 198203172006042002

Anda mungkin juga menyukai