Anda di halaman 1dari 2

Penyakit-penyakit kardiovaskuler masih merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia.

Data WHO tahun 2012 menyatakan bahwa terdapat 17.512.520 orang meninggal dunia akibat
penyakit-penyakit kardiovaskular. Data tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. Data tahun
2015 menunjukkan bahwa kematian akibat penyakit kardivaskular mencapai angka 17.866.560
orang. Bahkan diprediksi bahwa angka kejadian kematian akibat penyakit-penyakit
kardiovaskular tersebut akan menjadi 22.245.272 orang pada tahun 2030 (WHO, 2015).
Kondisi yang paling mungkin terjadi akibat penyakit-penyakit kardiovaskuler ini adalah
cardiac arrest atau henti jantung. Kejadian cardiac arrest yang menyebabkan kematian
mendadak terjadi ketika sistem kelistrikan jantung menjadi tidak berfungsi dengan baik dan
menghasilkan irama jantung yang tidak normal, yaitu hantaran listrik jantung menjadi cepat
(ventricular tachycardia) atau tidak beraturan (ventricular fibrillation). Di Amerika Serikat
angka kejadian cardiac arrest mencapai 250.000 orang per tahun dan paling banyak dialami oleh
penderita penyakit jantung koroner (Ulfah, 2010).
Tindakan yang tepat untuk menangani kondisi henti jantung adalah dengan memberikan
kejutan listrik menggunakan defibrillator. Namun, karena terbatasnya jumlah defibrillator di
masyarakat, maka penanganan pertama dengan cardiopulmonary resuscitation (CPR) merupakan
tindakan yang tepat. Namun, tidak semua pasien dengan henti jantung dapat diberikan
pertolongan menggunakan CPR. Ada kondisi-kondisi tertentu yang menyebabkan seorang
petugas kesehatan tidak diperbolehkan memberikan CPR pada korban henti jantung. Salah
satunya adalah pada korban dengan status Do Not Resuscitate (AHA, 2010).
Do Not Resuscitate (DNR), sebuah perintah jangan dilakukan resusitasi, adalah pesan
untuk tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum untuk tidak mencoba melakukan atau
memberikan tindakan pertolongan berupa CPR jika terjadi permasalahan darurat pada jantung
pasien atau terjadinya henti napas pada pasien. Sebuah hasil review literatur oleh Cormik (2011)
tentang hak untuk meninggal dengan tenang dan budaya yang melatar belakanginya membahas
bahwa kebudayaan setempat sangat berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan oleh
tim medis maupun oleh keluarga untuk memutuskan DNR pada pasien. Di negara barat
pengambilan keputusan seperti ini sering kali melalui pertimbangan yang matang dan telah
melewati proses konsultasi pada dokter atau tim medis yang merawat pasien, sehingga nantinya
tidak akan ada penyesalan atau rasa bersalah dari keluarga maupun dari tim medis yang merawat
pasien (Cormik, 2011).
Adapun penatalaksanaan DNR di Indonesia telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan
lewat Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 519/MENKES/PER/III/2011
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif Di Rumah
Sakit. Peraturan tersebut menentukan bahwa pelayanan tindakan resusitasi adalah pelayanan
resusitasi pada pasien yang berisiko mengalami henti jantung meliputi bantuan hidup dasar,
lanjut dan jangka panjang yang menggunakan Standar Internasional serta pedoman praktis untuk
resusitasi jantung paru mengikuti American Heart Association (AHA) dan/atau European
Resuscitation Council. Kebijakan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia tersebut memang tidak secara langsung menyatakan batasan-batasan dalam melakukan
Resusitasi Jantung Paru (RJP) yang didalamnya dapat saja terdapat tindakan DNR.
Walaupun Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah menetapkan kebijakan terkait
pelaksanaan DNR sesuai dengan pedoman AHA, tetapi penelitian terkait DNR yang dijalankan
di Indonesia masih sangat minim dibandingkan dengan penelitian dari luar negeri. Hal tersebut
salah satunya adalah adanya perbedaan sudut pandang dari masyarakat Indonesia sendiri dengan
luar negeri.
Fenomena yang ada di lahan klinik seperti di RS, yang menentukan DNR adalah keluarga
dari pasien tersebut. Sangat jauh berbeda dengan keadaan di luar negeri dimana pengambilan
keputusan DNR adalah tenaga kesehatan maupun pasien itu sendiri. Banyak keluarga pasien
yang meminta kepada tenaga kesehatan untuk tidak memberikan RJP kepada anggota keluarga
mereka yang mengalami henti jantung. Hal tersebut dikarenakan beberapa nilai yang mereka
anut. Baik dari sisi agama maupun dari pasien itu sendiri.
Keluarga memandang tidak perlunya diberikan RJP kepada anggota keluarga mereka yang
mengalami henti jantung karena menganggap bahwa memang sudah waktunya bagi
pasien/anggota keluarga tersebut untuk hidup dan menjalankan tugasnya di dunia ini dan siap
menghadap Sang Pencipta. Selain itu dengan dilakukan kompresi pada bagian dada pasien,
keluarga menganggap hal tersebut dapat ‘merusak’ keadaan terbaik tubuh pasien.
Hal tersebut memang belum terdapat landasan penelitian terkait, tetapi hal tersebut
menjadikan gambaran yang kuat pandangan masyarakat, terutama keluarga dengan anggota
keluarga henti jantung terhadap DNR. Fenomena tersebut dijumpai terutama di daerah Jawa
Tengah bagian selatan area Surakarta.
Menanggapi hal tersebut tentunya seorang perawat akan mengalami dilema etik dalam
pengambilan keputusan yang ada. Menurut Priharjo (2002) pengambilan keputusan masalah etik
oleh perawat haruslah mengacu pada prinsip-prinsip moral. Yaitu otonomi, benefisiensi, keadilan
(justice), nonmalefisien, veracity (kejujuran), fidelity, kerahasiaan (confidentiality), dan
akuntabilitas (accountability). Penelitian terkait pengambilan keputusan etik oleh perawat di
Indonesia terutama tentang DNR juga belum terlalu banyak dilakukan. Tetapi berdasarkan
fenomena yang terjadi di daerah Surakarta tersebut, pada akhirnya perawat dan tenaga kesehatan
menerima keputusan DNR dari pihak keluarga.
Analisis pengambilan keputusan tenaga kesehatan khususnya perawat terkait DNR akan
dibahas dalam tulisan ini. Sejauh mana perawat menjalankan perannya dalam pengambilan
keputusan DNR di Indonesia?

Daftar Pustaka

American Heart Association. (2010). Heart disease & stroke statistics 2010 Update. Dallar,
Texas: American Heart Association
Cormic, M. (2011). Self dtermination, The Right to Die and Culture. Social Work, 56(2), 119-
128.
Kementerian Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
519/MENKES/PER/III/2011 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan
Anestesiologi Dan Terapi Intensif Di Rumah Sakit. Diakses dari www.depkes.go.id
Priharjo, R. (2002). Pengantar Etika Keperawatan. Yogyakarta: Kanisius.
Ulfah, R. (2000). Gejala Awal dan Deteksi Dini Penyakit Jantung Koroner. Artikel. http//www.
pdpersi.co.id. Diakses pada 2 Oktober 2015.
WHO. (2015). Global Health Observatory Data Repository.
http://apps.who.int/gho/data/node.main.PROJNUMWORLD?lang=en. Diakses pada 2
Oktober 2015.

Anda mungkin juga menyukai