Anda di halaman 1dari 11

 HOME

 SMP
 SMA
 SMK
 S1
 S2
 UMUM

Bhineka Tunggal Ika : Pengertian, Fungsi,


Dan Makna Serta Sejarahnya Lengkap
Oleh bitarDiposting pada 17/10/2018
Bhinneka Tunggal Ika : Pengertian, Fungsi, Dan Makna Beserta
Sejarahnya Secara Lengkap – Jika kamu orang indonesia pasti anda tahu
semboyan dari Bhinneka Tunggal Ika ?? Semboyan dari Bhinneka Tunggal
Ika yaitu“berbeda-beda tapi tetap satu jua”. Tapi apakah anda tahu dari
pengertian, fungsi, sejarah, dan makna Bhinneka Tunggal Ika. Jika anda
belum mengetahuinya anda tepat sekali karena disini akan mengulas
secara lengkap.
Contents
 1 Pengertian Bhineka Tunggal Ika
 2 Sejarah Bhineka Tunggal Ika
 3 Pembentuk jati diri bangsa
 4 Fungsi Bhinneka Tunggal Ika
 5 Prinsip Bhinneka Tunggal Ika
o 5.1 1. Common Denominator
o 5.2 2. Tidak Bersifat Sektarian dan Enklusif
o 5.3 3. Tidak Bersifat Formalistis
o 5.4 4. Bersifat Konvergen
 6 Implementasi Bhinneka Tunggal Ika
o 6.1 1. Perilaku Inklusif
o 6.2 2. Mengakomodasi Sifat Prulalistik
o 6.3 3. Tidak Mencari Menangnya Sendiri
o 6.4 4. Musyawarah untuk Mufakat
o 6.5 5. Dilandasi Rasa Kasih Sayang dan Rela Berkorban
o 6.6 Posting terkait:

Pengertian Bhineka Tunggal Ika


Secara etimologi atau asal-usul bahasa, kata-kata Bhinneka Tunggal Ika
berasal dari bahasa Jawa Kuno yang bila dipisahkan menjadi Bhinneka =
beragam atau beraneka, Tunggal = satu, dan Ika = itu. Artinya, secara
harfiah, jika diartikan menjadi beraneka satu itu. Maknanya, bisa dikatakan
bahwa beraneka ragam tetapi masih satu jua. Semoboyan ini diambil dari
kitab atau kakawin Sutasoma karangan Empu Tantular, yang hidup pada
masa Kerajaan majapahit sekitar abad ke-14 M.

Hal ini menunjukkan persatuan dan kesatuan yang terjadi diwilayah


Indonesia, dengan keberagaman penduduk Indonesia yang terdiri dari
bermacam-macam suku, bahasa daerah, ras, agama, dan kepercayaan,
lantas tidak membuat Indonesia menjadi terpecah-belah. Melalui
semboyan ini, Indonesia bisa dipersatukan dan semua keberagaman
tersebut menjadi satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).

Sejarah Bhineka Tunggal Ika


Sebelumnya semboyan yang dijadikan semboyan resmi Negara Indonesia
sangat panjang yaitu Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.
Semboyan Bhineka Tunggal Ika dikenal untuk pertama kalinya pada masa
Majapahit era kepemimpinan Wisnuwardhana. Perumusan semboyan
Bhineka Tunggl Ika ini dilakukan oleh Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma.
Perumuan semboyan ini pada dasarnya merupakan pernyataan kreatif
dalam usaha mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan.
Hal itu dilakukan sehubungan usaha bina Negara kerajaan Majapahit saat
itu.

Semboyan Negara Indonesia ini telah memberikan nilai-nilai inspiratif


terhadap system pemerintahan pada masa kemerdekaan. Bhineka Tunggal
Ika pun telah menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan Negara
Kesatuan Republik Indoesia. Dalam kitab Sutosoma, definisi Bhineka
Tunggal Ika lebih ditekankan pada perbedaan dalam hal kepercayaan dan
keaneragaman agama yang ada di kalangan masyarakat Majapahit.

Namun, sebagai semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia, konsep


Bhineka Tunggal Ika bukan hanya perbedaan agama dan kepercayaan
menjadi fokus, tetapi pengertiannya lebih luas. Bhineka Tunggal Ika
sebagai semboyan Negara memiliki cakupan lebih luas, seperti perbedaan
suku, bangsa, budaya (adat-istiadat), beda pulau, dan tentunya agama dan
kepercayaan yang menuju persatuan dan kesatuan Negara.

Seluruh perbedaan yang ada di Indonesia menuju tujuan yang satu atau
sama, yaitu bangsa dan Negara Indonesia. Berbicara mengenai Lambang
Negara Kesatuan Republik Indonesia, lambang Garuda Pancasila dengan
semboyan Bhineka Tunggal Ika ditetapkan secara resmi menjadi bagian
dari Negara Indonesia melalui Peraturan Pemerintahan Nomor 66 Tahun
1951 pada 17 Oktober 1951 dan di undang – undangkan pada 28 Oktober
1951 sebagai Lambang Negara. Usaha pada masa Majapahit maupun
pada masa pemerintahan Indonesia berlandaskan pada pandangan yang
sama, yaitu pandangan mengenai semangat rasa persatuan, kesatuan,
dan kebersamaan sebagai modal dasar untuk menegakkan Negara.
Sementara itu, semboyan “Tan Hana Darma Mangrwa” dipakai sebagai
motto lambang Lembaga Pertahanan Nasional. Makna dari semboyan itu
adalah “tidak ada kebenaran yang bermuka dua”.

Namun, Lemhanas kemudian mengubah semboyan tersebut menjadi yang


lebih praktis dan ringkas yaitu “bertahan karena benar”. Makna “tidak ada
kebenaran yang bermuka dua” sebenarnya memiliki pengertian agar
hendaknya manusia senantiasa berpegang dan berlandaskan pada
kebenaran yang satu. Semboyan “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Darma
Mangrwa” adalah ungkapan yang memaknai kebenaran aneka unsur
kepercayaan pada Majapahit. Tdak hanya Siwa dan Budha, tetapi
sejumlah aliran yang sejak awal telah dikenal terlebih dulu sebagian besar
anggota masyarakat Majapahit yang memiliki sifat majemuk.

Sehubungan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, cikal bakal dari


Singasari, yakni pada masa Wisnuwardhana sang dhinarmeng ring
Jajaghu (Candi Jago), semboyan tersebut dan candi Jago disempurnakan
pada masa Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, kedua simbol tersebut
lebih dikenal sebagai hasil perdaban masa Kerajaan Majapahit. Dari segi
agama dan kepercayaan, masyarakat Majapahit merupakan masyarakat
yang majemuk.

Selain adanya beberapa aliran agama dan kepercayaan yang berdiri


sendiri, muncul juga gejala sinkretisme yang sangat menonjol antara Siwa
dan Budha serta pemujaan terhadap roh leluhur. Namun, kepercayaan
pribumi tetap bertahan. Bahkan, kepercayaan pribumi memiliki peranan
tertinggi dan terbanyak di kalangan mayoritas masyarakat. Pada saat itu,
masyarakat Majapahit terbagi menjadi beberapa golongan. Pertama,
golongan orang-orang islam yang datang dari barat dan menetap di
Majapahit. Kedua, golongan orang-orang China yang mayoritas berasal
dari Canton, Chang-chou, dan Fukien yang kemudian bermukim di daerah
Majapahit. Namun, banyak dari mereka masuk agama Islam dan ikut
menyiarkan agama Islam.\\

Baca Juga : Pengertian Dan Jenis Sedimentasi Beserta 5 Dampaknya Secara


Lengkap

 Pembentuk jati diri bangsa


Sejak Negara Republik Indonesia ini merdeka, para pendiri bangsa
mencantumkan kalimat Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan pada
lambang negara Garuda Pancasila. Kalimat itu sendiri diambil dari falsafah
Nusantara yang sejak jaman Kerajaan Majapahit yang juga sudah dipakai
sebagai motto pemersatu Nusantara, yang diikrarkan oleh Patih Gajah
Mada dalam Kakawin Sutasoma, karya Mpu Tantular:
Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa,
bhinnêki rakwa ring apan kěna parwanosěn,
mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
bhinnêka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa (Pupuh 139: 5).
Terjemahan:
Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka
memang
berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam
selintas
pandang? Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu
sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda, namun
hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua. (Bhineka
Tunggal ika tan Hana Dharma Mangrwa).
Frasa tersebut berasal dari bahasa Jawa Kuna dan diterjemahkan dengan
kalimat berbeda-beda tetapi tetap satu. Kemudian terbentuklah Bhineka
Tunggal Ika menjadi jati diri bangsa Indonesia. Ini artinya, bahwa sudah
sejak dulu hingga saat ini kesadaran akan hidup bersama di dalam
keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat bangsa di
negeri ini. Munandar (2004:24) dalam Tjahjopurnomo S.J. mengungkapkan
bahwa sumpah palapa secara esensial, isinya mengandung makna tentang
upaya untuk mempersatukan nusantara. Sumpah Palapa Gajah Mada
hingga kini tetap menjadi acuan, sebab Sumpah Palapa itu bukan hanya
berkenaan dengan diri seseorang, namun berkenaan dengan kejayaan
eksistensi suatu kerajaan. Oleh karena itu, sumpah palapa merupakan
aspek penting dalam pembentukan Jati Diri Bangsa Indonesia.

Menurut Pradipta (2009), pentingnya Sumpah Palapa karena di dalamnya


terdapat pernyataan suci yang diucapkan oleh Gajah Mada yang berisi
ungkapan “lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa” (kalau telah
menguasai Nusantara, saya melepaskan puasa/tirakatnya). Naskah
Nusantara yang mendukung cita-cita tersebut di atas adalah Serat
Pararaton. Kitab tersebut mempunyai peran yang strategis, karena di
dalamnya terdapat teks Sumpah Palapa. Kata sumpah itu sendiri tidak
terdapat di dalam kitab Pararaton, hanya secara tradisional dan
konvensional para ahli Jawa Kuno menyebutnya sebagai Sumpah Palapa.
Bunyi selengkapnya teks Sumpah Palapa menurut Pararaton edisi Brandes
(1897 : 36) adalah sebagai berikut:
Sira Gajah Mada Patih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa,
sira Gajah Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti
palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring
Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik, samana isun amukti palapa”.
Terjemahan:
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan
puasa (nya). Beliau Gajah Mada: Jika telah mengalahkan
nusantara, saya (baru) melepaskan puasa, jika (berhasil)
mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo,
Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru)
melepaskan puasa (saya)
Kemudian dilanjutkan dengan adanya Sumpah Pemuda yang tidak kalah
penting dalam sejarah perkembangan pembentukan Jati Diri Bangsa ini.
Tjahjopurnomo (2004) menyatakan bahwa Sumpah Pemuda yang
diikrarkan pada 28 Oktober 1928 secara historis merupakan rangkaian
kesinambungan dari Sumpah Palapa yang terkenal itu, karena pada intinya
berkenaan dengan persatuan, dan hal ini disadari oleh para pemuda yang
mengucapkan ikrar tersebut, yakni terdapatnya kata sejarah dalam isi
putusan Kongres Pemuda Kedua. Sumpah Pemuda merupakan peristiwa
yang maha penting bagi bangsa
Indonesia, setelah Sumpah Palapa. Para pemuda pada waktu itu dengan
tidak memperhatikan latar kesukuannya dan budaya sukunya berkemauan
dan berkesungguhan hati merasa memiliki bangsa yang satu, bangsa
Indonesia. Ini menandakan bukti tentang kearifan para pemuda pada waktu
itu. Dengan dikumandangkannya Sumpah Pemuda, maka sudah tidak ada
lagi ide kesukuan atau ide kepulauan, atau ide propinsialisme atau ide
federaslisme. Daerah-daerah adalah bagian yang tidak bisa dipisah-
pisahkan dari satu tubuh, yaitu tanah Air Indonesia, bangsa Indonesia, dan
bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda adalah ide kebangsaan Indonesia
yang bulat dan bersatu, serta telah mengantarkan kita ke alam
kemerdekaan, yang pada intinya didorong oleh kekuatan persatuan
Indonesia yang bulat dan bersatu itu.

Baca Juga : "Cermin Datar" Pengertian & ( Ciri - Sifat - Manfaat )


Pada saat kemerdekaan diproklamirkan, 17 Agustus 1945 yang
didengungkan oleh Soekarno-Hatta, kebutuhan akan kesatuan dan
persatuan bangsa Indonesia tampil mengemuka dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar Negara RI. Sejak waktu itu,
Sumpah Palapa dirasakan eksistensi dan perannya untuk menjaga
kesinambungan sejarah bangsa Indonesia yang utuh dan menyeluruh.
Seandainya tidak ada Sumpah Palapa, NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia) akan dikoyak-koyak sendiri oleh suku-suku bangsa Nusantara
yang merasa dirinya bisa memisahkan diri dengan pemahaman
federalisme dan otonomi daerah yang berlebihan.

Gagasan-gagasan memisahkan diri sungguh merupakan gagasan dari


orang-orang yang tidak tahu diri dan tidak mengerti sejarah bangsanya,
bahkan tidak tahu tentang “jantraning alam” (putaran zaman) Indonesia,
yang harus kita lakukan adalah, dengan kesadaran baru yang ada pada
tingkat kecerdasan, keintelektualan, serta kemajuan kita sekarang ini,
bahwa bangsa ini dibangun dengan pilar bernama Bhinneka Tunggal Ika
yang telah mengantarkan kita sampai hari ini menjadi sebuah bangsa yang
terus semakin besar di antara bangsa-bangsa lain di atas bumi ini, yaitu
bangsa Indonesia, meskipun berbeda-beda (suku bangsa) tetapi satu
(bangsa Indonesia).

Dan dikuatkan dengan pilar Sumpah Palapa diikuti oleh Sumpah Pemuda
yang mengikrarkan persatuan dan kesatuan Nusantara / bangsa Indonesia,
serta proklamasi kemerdekaan dalam kesatuan dan persatuan bangsa
Indonesia yang utuh dan menyeluruh. Hal itu tidak terlepas dari
pembentukan jati diri daerah sebagai dasar pembentuk jati diri bangsa.

Fungsi Bhinneka Tunggal Ika


Bangsa Indonesai sudah lama hidup di dalam keaneka ragaman, tetapi hal
ini tidak pernah menampilkan perseteruan antar rakyat Indonesia.
Keberagaman yang ada dipakai untuk membentuk suatu Negara yang
besar. Keberagaman yang terjadi baik itu di dalam segi kepercayaan,
warna kulit, suku bangsa, agama, bahasa, menjadikan Bangsa Indonesia
merupakan suatu bangsa yang besar dan berdaulat. Sejarah mencatat
bahwasanya semua anak bangsa yang tergabung dalam berbagai macam
suku turut serta memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dengan
mengambil peran masing-masing.
Para tokoh bangsa yang bergerak dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia sudah menyadari tantangan yang harus dihadapi oleh karena
kemajemukan yang ada di dalam bangsa ini. Keberagaman menjadi
sebuah realitas yang tidak bisa dihindari di dalam negeri ini. Pemikiran dan
tindakan yang diperbuat tidak lain dan tidak bukan hanya untuk
menunjukkan pada dunia bahwa cita-cita bangsa akan terwujud dengan
keanekaragaman itu. Ke-bhinneka-an adalah sebuah hakikat realitas yang
sudah ada dalam bangsa Indonesia, sedangkan ke-Tunggal-Ika-an adalah
sebuah cita-cita kebangsaan. Semboyan inilah yang menjadi jembatan
emas penghubung menuju pembentukan Negara berdaulat serta
menunjukkan kebesarannya di mata dunia.

Konsep Bhinneka Tunggal Ika adalah sebuah semboyan yang dijadikan


dasar Negara Indonesia. Oleh sebab itu, Bhinneka Tunggal Ika patut
dijadikan sebagai landasan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan di
dalam bangsa Indonesia. Kita sebagai generasi selanjutnya yang bisa
menikmati kemerdekaan dengan mudah, haruslah bersungguh-sungguh
dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kita dapat saling
menghargai dengan masyarakat tanpa saling memikirkan percampuran
suku bangsa, ras, agama, bahasa, dan keaneka ragaman lainnya. Tanpa
adanya kesadaran di dalam diri rakyat Indonesia, maka pantaslah
Indonesia akan hancur dan terpecah belah.

Prinsip Bhinneka Tunggal Ika


1. Common Denominator
Di Indonesia, berbagai macam keaneka ragaman yang ada tidaklah
membuat bangsa ini menjadi pecah. Terdapat 5 agama yang ada di
Indonesia, dan hal tersebut tidak membuat agama-agama tersebut untuk
saling mencela. Maka sesuai dengan prinsip pertama dari Bhinneka
Tunggal Ika, maka perbedaan-perbedaan di dalam agama tersebut
haruslah dicari common denominatornya, atau dengan kata lain kita
haruslah mencari sebuah persamaan dalam perbedaan itu, sehingga
semua rakyat yang hidup di Indonesia dapat hidup di dalam
keanekaragaman dan kedamaian dengan adanya kesamaan di dalam
perbedaan tersebut.
Begitu juga halnya dengan dengan aspek lain yang mempunyai perbedaan
di Indonesia, seperti adat dan kebudayaan yang terdapat di setiap daerah.
Semua macam adat dan budaya itu tetap diakui konsistensinya sebagai
adat dan budaya yang sah di Indonesia, tapi segala macam perbedaan
tersebut tetap bersatu di dalam bingkai Negara kesatuan republik
Indonesia.

2. Tidak Bersifat Sektarian dan Enklusif


Makna yang terkandung di dalam prinsip ini yakni semua rakyat Indonesia
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan menganggap
bahwa dirinya atau kelompoknya adalah yang paling benar, paling hebat,
atau paling diakui oleh yang lain. Pandangan-pandangan sectarian dan
enklusif haruslah dihilangkan pada segenap tumpah darah Indonesia,
karena ketika sifat sectarian dan enklusif sudah terbentuk, maka akan
banyak suatu konflik yang terjadi dikarenakan kecemburuan, kecurigaan,
sikap yang berlebihan, dan kurang memperhitungkan keberadaan
kelompok atau pribadi lain.

Baca Juga : Fungsi Tulang Dada Dan Rusuk Serta Penjelasannya

Bhinneka Tunggal Ika sifatnya inklusif, dengan kata lain segala kelompok
yang ada haruslah saling memupuk rasa persaudaraan, kelompok
mayoritas tidak memperlakukan sebuah kelompok minoritas ke dalam
posisi terbawah, tetapi haruslah hidup berdampingan satu sama lain.
Kelompok mayoritas juga tidak harus memaksakan kehendaknya kepada
kelompok lain.

3. Tidak Bersifat Formalistis


Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis, yang hanya menunjukkan
sebuah perilaku semu dan kaku. Tetapi, Bhinneka Tunggal Ika
sifatnya universal dan menyeluruh. Hal ini dliandasi oleh adanya rasa cinta
mencintai, rasa hormat menghormati, saling percaya mempercayai, dan
saling rukun antar sesame. Karena dengan cara inilah, keanekaragaman
bisa disatukan dalam bingkai ke-Indonesiaan.

4. Bersifat Konvergen
Bhinneka Tunggal Ika sifatnya konvergen dan tidak divergen. Segala
macam keaneka ragaman yang ada bila terjadi masalah, bukan untuk
dibesar-besarkan, tetapi haruslah dicari satu titik temu yang bisa membuat
segala macam kepentingan menjadi satu. Hal ini bisa dicapai
bila terdapatnya sikap toleran, saling percaya, rukun, non sectarian, dan
inklusif.

Implementasi Bhinneka Tunggal Ika


Implementasi terhadap Bhinneka Tunggal Ika bisa tercapai bila rakyat dan
seluruh komponen mematuhi prinsip-prinsip yang sudah disebutkankan di
atas. Yakni :

1. Perilaku Inklusif
Seseorang haruslah menganggap bahwa dirinya sedang berada di dalam
suatu populasi yang luas, sehingga dia tidak melihat dirinya melebihi dari
yang lain. Begitu juga dengan kelompok. Kepentingan bersama lebih
diutamakan daripada sebuah keuntungan pribadi atau kelompoknya.
Kepentingan bersama bisa membuat segala komponen merasa puas dan
senang. Masing-masing kelompok mempunyai peranan masing-masing di
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Mengakomodasi Sifat Prulalistik


Ditinjau dari keanekaragaman yang ada di dalam negeri ini, maka
sepantasnyalah bila Indonesia adalah bangsa dengan tinglat prulalistik
terbesar di dunia. Hal inilah yang membuat bangsa kita disegani oleh
bangsa lain. Tapi, bila hal ini tidak bisa dipergunakan dengan baik, maka
sangat mungkin akan terjadi disintegrasi di dalam bangsa.
Agama, ras, suku bangsa, bahasa, adat dan budaya yang ada di Indonesia
mempunyai jumlah yang tidak sedikit. Sikap saling toleran, saling
menghormati, saling mencintai, dan saling menyayangi menjadi hal mutlak
yang dibutuhkan oleh segenap rakyat Indonesia, supaya terciptanya
masyarakat yang tenteram dan damai.

3. Tidak Mencari Menangnya Sendiri


Perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah terjadi pada zaman
sekarang. Apalagi ditambah dengan diberlakukannya sistem demokrasi
yang menuntut segenap rakyat bebas untuk mengungkapkan pendapatnya
masing-masing. Oleh sebab itu, untuk mencapai prinsip ke-Bhinneka-an,
maka seseorang haruslah saling menghormati antar satu pendapat dengan
pendapat yang lain. Perbedaan ini tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi
untuk dicari suatu titik temu dengan mementingkan suatu kepentingan
bersama. Sifatnya konvergen haruslah benar-benar dinyatakan di dalam
hidup berbangsa dan bernegara, jauhkan sifat divergen.

4. Musyawarah untuk Mufakat


Perbedaan pendapat antar kelompok dan pribadi haruslah dicari solusi
bersama dengan diberlakukannya musyawarah. Segala macam perbedaan
direntangkan untuk mencapai satu kepentingan. Prinsip common
denominator atau mencari inti kesamaan haruslah diterapkan di dalam
musyawarah. Dalam musyawarah, segala macam gagasan yang timbul
akan diakomodasikan dalam kesepakatan. Sehingga kesepakatan itu yang
mencapai mufakat antar pribadi atau kelompok.

5. Dilandasi Rasa Kasih Sayang dan Rela Berkorban


Sesuai dengan pedoman sebaik-baik manusia yaitu yang bermanfaat bagi
manusia lainnya, rasa rela berkorban haruslah diterapkan di dalam
kehidupan sehari-hari. Rasa rela berkorban ini akan terbentuk dengan
dilandasi oleh rasa salin kasih mangasihi, dan sayang menyayangi.
Jauhilah rasa benci karena hanya akan menimbulkan konflik di dalam
kehidupan.

Anda mungkin juga menyukai