Anda di halaman 1dari 23

Judul makalah: TOKSIKOLOGI OBAT(Obat Analgetika)

Nama : Yasinta Narty

Nim : 150 900 5050

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau
menghalaurasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Nyeri merupakan suatu perasaan pribadi
dan ambang toleransi nyeri yang berbeda-beda bagi setiap orang. (Tan dan Kirana 2002)
Parasetamol merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja menghambat sintesis
prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat(SSP).

Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan
tunggalsebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu,
melalui resep dokter atau yang dijual bebas. (Lusiana Darsono 2002) .Parasetamol mempunyai
daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja antiradang dan tidak menyebabkan
iritasi serta peradangan lambung hal ini disebabkan parasetamol bekerja pada tempat yang tidak
terdapat peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan peroksid
sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai
sedang seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain (Katzung, 2011)

Parasetamol mempunyai efek samping yang paling ringan dan aman untuk anak-
anak.Untuk anak-anak di bawah umur dua tahun sebaiknya digunakan Parasetamol, kecuali ada
pertimbangan khusus lainnya dari dokter.Dari penelitian pada anak-anak dapat diketahui bahawa
kombinasi Asetosal dengan Parasetamol bekerja lebih efektif terhadap demam daripada jika
diberikan sendiri-sendiri. (Sartono 1996) Obat ini digunakan untuk mengurangi atau
melenyapkan rasa nyeri, misalnya pada sakit kepala, sakit gigi, nyeri haid dan lain sebagainya.

1
Obat-obat golongan ini yang beredar sebagai obat bebas adalah untuk sakit yang bersifat ringan,
sedangkan untuk sakit yang berat (misal: sakit karena batu ginjal, batu empedu dan kanker) perlu
menggunakan jenis obat yang lebih poten (harus dengan resep dokter) dan untuk demam yang
berlarut-larut membutuhkan pemeriksaan dokter. (Widodo 2004).Berbeda dengan obat analgetik
yang lain seperti aspirin dan ibuprofen, parasetamol tidak memiliki sifat antiradang.

Parasetamol aman dalam dosis standar, tetapi karena mudah didapati, kejadian overdosis obat
baik sengaja atau tidak sengaja sering terjadi. (Nasution, Y.A., 2009)

1.2 Rumusan Masalah

1. Jelaskan Obat-obat Sistem Saraf (Analgetika-Antipiretika)?

2. Jelaskan Analgetika-Narkotika ?

3. Jelaskan Hipnotik-Sedativa (Penenang) ?

1.3 Tujuan

1. Agar Mahasiswa Mengetahui Tentang Obat-obat Sistem Saraf Analgetika dan antipiretika

2. Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Ilmu Toksikologi

1.4 Manfaat

1. Supaya mahasiswa mengetahui jenis-jenis obat analgetik dan cara kerja obat analgetik

2. Supaya mahasiswa mampu mebedakan obat analgetika dan antipiretika

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obat-Obat Sistem Saraf

A. Analgetika-Antipiretika

Pengertian

Analgetika adalah obat-obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa sakit tanpa
menghilangkan kesadaran.Analgetika pada umumnya diartikan sebagai suatu obat yang efektif
untuk menghilangkan sakit kepala, nyeri otot, nyeri sendi, dan nyeri lainnya.Hampir semua
analgetika ternyata memiliki efek anti inflamasi dimana efek anti inflamasi sendiri berguna untuk
mengobati radang sendi (artritis remautoid).Jadi analgetika anti inflamasi non steroid adalah
obat-obat analgetika yang selain mempunyai efek analgetika juga mempunyai efek anti
inflamasi, sehingga obat-obat jenis ini digunakan dalam pengobatan reumatik dan gout.
Obat anti inflamasi non steroid (AINS) merupakan obat yang paling banyak diresepkan dan juga
digunakan tanpa resep dari dokter.Obat-obat golongan ini merupakan suatu obat yang heterogen
secara kimia. Klasifikasi kimiawi AINS, tidak banyak manfaat kliniknya karena ada AINS dari
subgolongan yang sama memiliki sifat yang berbeda, sebaliknya ada obat AINS yang berbeda
subgolongan tetapi memiliki sifat yang serupa. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek
sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG).

Beberapa AINS umumnya bersifat anti-inflamasi, analgesik dan antipiretik. Efek


antipiretiknya bari terlihat pada dosis yang lebih besar dari pada efek analgesiknya, dan AINS
relatif lebih toksis dari pada antipiretika klasik, maka obat-obat ini hanya digunakan untuk terapi
penyakit inflamasi sendi seperti artritis reumatoid, osteo-artritis, spondilitis ankliosa dan

3
penyakit pirai. Respon individual terhadap AINS bisa sangat bervariasi walaupun obatnya
tergolong dalam kelas atau derivat kimiawi yang sama. Sehingga kegagalan dengan satu obat
bisa dicoba dengan obat sejenis dari derivat kimiawi yang sama. Semua AINS merupakan iritan
mukosa lambung walaupun ada perbedaan gradasi antar obat-obat ini.

Patologi : Adapun penyebab nyeri sendiri yaitu akibat pengeluaran prostaglandin secara
berlebihan akibat adanya rangsangan nyeri. Adapun rangsangan nyeri sendiri yaitu :

1. Fisika , dapat berupa benturan dan menyebabkan bengkak

2. Kimia, dapat terjadi karena tertetesi HCL dan zat-zat kimia lainnya

3. Biologi , dapat terjadi karena terinfeksi bakteri atau kuman

Nyeri timbul oleh karena aktivasi dan sensitisasi sistem nosiseptif, baik perifer maupun
sentral.Dalam keadaan normal, reseptor tersebut tidak aktif.Dalam keadaan patologis, misalnya
inflamasi, nosiseptor menjadi sensitive bahkan hipersensitif. Adanya pencederaan jaringan akan
membebaskan berbagai jenis mediator inflamasi, seperti prostaglandin, bradikinin, histamin dan
sebagainya. Mediator inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan munculnya
nyeri. AINS mampu menghambat sintesis prostaglandin dan sangat bermanfaat sebagai antinyeri

Mekanisme Kerja:

Mekanisme kerja anti-inflamsi non steroid (AINS) berhubungan dengan sistem biosintesis
prostaglandin yaitu dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam
arakhidonat menjadi PGG2 menjadi terganggu.Enzim siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform
yang disebut COX-1 dan COX-2. Kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang berbeda. Secara
garis besar COX-1 esensial dalam pemelihraan berbagai fungsi dalam keadaan normal di
berbagai jaringan khususnya ginjal, saluran cerna, dan trombosit.Dimukosa lambung aktivitas
COX-1 menghasilakan prostasiklin yang bersifat protektif.Siklooksigenase 2 diinduksi berbagi
stimulus inflamatoar, termasuk sitokin, endotoksindan growth factors.Teromboksan A2 yang di
sintesis trombosit oleh COX-1 menyebabkan agregasi trombosit vasokontriksi dan proliferasi
otot polos.Sebaliknya prostasiklin PGL2 yang disintesis oleh COX-2 di endotel malvro vasikuler
melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi trombosit.

4
Dibawah ini adalah obat-obat yang tergolong AINS, yaitu :

1. Asam mefenamat dan Meklofenamat

Asam mefenamat digunakan sebagai analgetika dan anti-inflamasi, asam mefenamat kurang
efektif dibandingkan dengan aspirin.Meklofenamat digunakan sebagai obat anti-inflamasi pada
reumatoid dan osteoartritis.Asam mefenamat dan meklofenamat merupakan golongan
antranilat.Asam mefenamat terikat kuat pada pada protein plasma.Dengan demikian interaksi
dengan oabt antikoagulan harus diperhatikan.

Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia, diare sampai diare
berdarah dan gejala iritasi terhadap mukosa lambung.Dosis asam mefenamat adalah 2-3 kali 250-
500 mg sehari.Sedangakan dosis meklofenamat untuk terapi penyakit sendi adalah 240-400 mg
sehari.Karena efek toksisnya di Amerika Serikat obat ini tidak dianjurkan kepada anak dibawah
14 tahun dan ibu hamil dan pemberian tidak melebihi 7 hari.

2. Diklofenak

Diklofenak merupakan derivat asam fenilasetat. Absorpsi obat ini melalui saluran cerna
berlangsung lengkap dan cepat.Obat ini terikat pada protein plasma 99% dan mengalami efek
metabolisma lintas pertama (first-pass) sebesar 40-50%.Walaupun waktu paruh singkat 1-3 jam,
dilklofenakl diakumulasi di cairan sinoval yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih
panjang dari waktu paruh obat tersebut.

Efek samping yang lazim ialah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala sama seperti semua
AINS, pemakaian obat ini harus berhati-hati pada pasien tukak lambung. Pemakaian selama
kehamilan tidak dianjurkan.Dosis orang dewasa 100-150 mg sehari terbagi dua atau tiga dosis.

3. Ibuprofen

Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan pertama kali dibanyak
negara.Obat ini bersifat analgesik dengan daya efek anti-inflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek
analgesiknya sama seperti aspirin, sedangkan efek anti-inflamasinya terlihat pada dosis 1200-
2400 mg sehari. Absorpsi ibuprofen cepat melalui lambung dan kadar maksimum dalam plasma

5
dicapai dicapai setelah 1-2 jam. 90% ibuprofen terikat dalam protein plasma, ekskresinya
berlangsung cepat dan lengkap.

Pemberian bersama warfarin harus waspada dan pada obat anti hipertensi karena dapat
mengurangi efek antihipertensi, efek ini mungkin akibat hambatan biosintesis prostaglandin
ginjal.Efek samping terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan dengan aspirin.Ibuprofen
tidak dianjurkan diminum wanita hamil dan menyusui.Ibuprofen dijual sebagai obat generik
bebas dibeberapa negara yaitu inggris dan amerika karena tidak menimbulkan efek samping
serius pada dosis analgesik dan relatif lama dikenal.

4. Fenbufen

Berbeda dengan AINS lainnya, fenbufen merupakan suatu pro-drug.Jadi fenbufen bersifat
inaktif. Zat ini memiliki waktu paruh 10 jam sehingga cukup diberikan 1-2 kali sehari. Absorpsi
obat melalui lambung dan kadar puncak metabolit aktif dicapai dalam 7.5 jam. Efek samping
obat ini sama seperti AINS lainnya, pemakaian pada pasien tukak lambung harus berhati-hati.
Pada gangguan ginjal dosis harus dikurangi. Dosis untuk reumatik sendi adalah 2 kali 300 mg
sehari dan dosis pemeliharaan 1 kali 600 mg sebelum tidur.

5. Indometasin

Merupakan derivat indol-asam asetat.Obat ini sudah dikenal sejak 1963 untuk pengobatan artritis
reumatoid dan sejenisnya.Walaupun obat ini efektif tetapi karena toksik maka penggunaan obat
ini dibatasi.Indometasin memiliki efek anti-inflamasi sebanding dengan aspirin, serta memiliki
efek analgesik perifer maupun sentral.In vitro indometasin menghambat enzim siklooksigenase,
seperti kolkisin.

Absorpsi pada pemberian oral cukup baik 92-99%.Indometasin terikat pada protein plasma dan
metabolisme terjadi di hati. Di ekskresi melalui urin dan empedu, waktu paruh 2- 4 jam. Efek
samping pada dosis terapi yaitu pada saluran cerna berupa nyeri abdomen, diare, perdarahan
lambung dan pankreatis.Sakit kepala hebat dialami oleh kira-kira 20-25% pasien dan disertai
pusing.Hiperkalemia dapat terjadi akibat penghambatan yang kuat terhadap biosintesis
prostaglandin di ginjal.

6
Karena toksisitasnya tidak dianjurkan pada anak, wanita hamil, gangguan psikiatrik dan pada
gangguan lambung. Penggunaanya hanya bila AINS lain kurang berhasil. Dosis lazim
indometasin yaitu 2-4 kali 25 mg sehari, untuk mengurangi reumatik di malam hari 50-100 mg
sebelum tidur.

6. Piroksikam dan Meloksikam

Piroksikam merupakan salah satu AINS dengan struktur baru yaitu oksikam, derivat asam enolat.
Waktu paruh dalam plasma 45 jam sehingga diberikan sekali sehari. Absorpsi berlangsung cepat
di lambung, terikat 99% pada protein plasma.Frekuensi kejadian efek samping dengan
piroksikam mencapai 11-46% dan 4-12%.Efek samping adalah gangguan saluran cerna, dan efek
lainnya adalah pusing, tinitus, nyeri kepala dan eritema kulit.Piroksikam tidak dianjurkan pada
wanita hamil, pasien tukak lambung dan yang sedang minum antikoagulan.Dosis 10-20 mg
sehari.

Meloksikam cenderung menghambat COX-2 dari pada COX-1.Efek samping meloksikam


terhadap saluran cerna kurang dari piroksikam.

7. Salisilat

Asam asetil salisilat yang lebih dikenal dengan asetosal atau aspirin adalah analgesik antipiretik
dan anti inflamasi yang sangat luas digunakan.Asam salisilat sangat iritatif, sehingga hanya
digunakan sebagai obat luar.Derivatnya yang dapat dipakai secara sistemik adalah ester salisilat
dengan substitusi pada gugus hidroksil, misalnya asetosal. Untuk memperoleh efek anti-
inflamasi yang baik dalam kadar plasma perlu dipertahankan antara 250-300 mg/ml.
Pada pemberian oral sebagian salisilat diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk utuh di lambung.
Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian. Setelah diabsorpsi salisilat segera
menyebar ke jaringan tubuh dan cairan transeluler sehingga ditemukan dalam cairan sinoval.
Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak peptik, efek
samping lain adalah gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan biosintesa tromboksan.

8. Diflunsial

7
Obat ini merupakan derivat difluorofenil dari asam salisilat, bersifat analgetik dan anti inflamasi
tetapi hampir tidak bersifat antipiretik. Kadar puncak yang dicapai 2-3 jam. 99% diflunsial
terikat albumin plasma dan waktu paruh berkisar 8-12 jam. Indikasi untuk nyeri sedang sampai
ringan dengan dosis awal 250-500 mg tipa 8-12 jam. Untuk osteoartritis dosis awal 2 kali 250-
500 mg sehari. Efek samping lebih ringan dari asetosal.

9. Fenilbutazon dan Oksifenbutazon

Fenilbitazon dan oksifenbutazon merupakan derivat pirazolon. Dengan adanya AINS yang lebih
aman, fenilbutazon dan oksifenbutazon tidak lagi dianjurkan digunakan sebagai anti-inflamasi
kecuali obat lain tidak efektif.

Derivat pirazolon ini memiliki khasiat antiflogistik yang lebih kuat dari pada kerja analgetiknya
jadi golongan ini hanya digunakan sebagai obat rematik.Fenilbutazon dimasukan secara diam-
diam dengan maksud untuk mengobati keadaan lesu dan letih, otot-otot lemah dan nyeri. Efek
samping derivat pirazolon dapat menyebabkan agranulositosis, anemia aplastik, dan
trombositopenia.
10. Allopurinol

Allopurinol digunakan untuk menurunkan kadar asam urat di dalam serum dan urin pada
penanganan gout primer dan sekunder. Allopurinol bekerja dengan menghambat xanthin
oksidase, enzim yang bertugas mengubah hipoxanthine menjadi xanthin kemudian menjadi asam
urat.Allopurinol mencegah atau menurunkan endapan asam urat sehingga mencegah gout
arthritis.Dengan dosis awal 2 kali sehari 100-300 mg sehari diminum segera setelah makan.Efek
samping allopurinol dapat menyebabkan hipersensitfitas, gangguan gastrointestinal, sakit kepala
dan megantuk.Maka harus berhat-hati pada pasien yang sedang mengendarai dan
mengoperasikan mesin.

2.2 Analgetika Narkotika

Analgetika opioid sering disebut analgetika sentral. Memiliki daya penghalang nyeri
yang kuat sekali dengan titik kerja yang terletak di SSP. Umumnya dapat mengurangi kesadaran

8
(mengantuk) dan memberikan perasaan nyaman (euphoria). Analgetik opioid ini merupakan
pereda nyeri yang paling kuat dan sangat efektif untuk mengatasi nyeri yang hebat.

Dapat juga menyebabkan toleransi, kebiasaan (habituasi), ketergantungan fisik dan psikis
(adiksi) dan gejala-gejala abstinensia bila diputuskan pengobatan (gejala putus obat). Karena
bahaya dan gejala-gejala di atas maka pemakaian obat-obat ini diawasi dengan seksama oleh
DEPKES dan dimasukkan kedalam Undang-undang Obat Bius (Narkotika).

Analgetika narkoti, kini disebut juga opioida (= mirip opiate) adalah zat yang bekerja
terhadap reseptor opioid khas di susunan saraf pusat, hingga persepsi nyeri dan respon emosional
terhadap nyeri berubah (dikurangi). Minimal ada 4 jenis reseptor, pengikatan padanya
menimbulkan analgesia.Tubuh dapat mensintesa zat-zat opioidnya sendiri, nyakni zat –zat
endorphin yang juga bekerja melalui reseptor opioid tersebut.

Tubuh sebenarnya memiliki sistem penghambat nyeri tubuh sendiri (endogen), terutama
dalam batang otak dan sumsum tulang belakang yang mempersulit penerusan impuls nyeri.

Dengan sistem ini dapat dimengerti mengapa nyeri dalam situasi tertekan, misalnya luka pada
kecelakaan lalu lintas mula-mula tidak terasa dan baru disadari beberapa saat kemudian.
Senyawa-senyawa yang dikeluarkan oleh sistem endogen ini disebut opioid endogen. Beberapa
senyawa yang termasuk dalam penghambat nyeri endogen antara lain: enkefalin, endorfin, dan
dinorfin.

Endorphin (morfin endogen) adalah kelompok polipeptidaendogen yang terdapat di CCS


dan dapat menimbulkan efek yang menyerupai efek morfin.Zat-zat ini dapat dibedakan antara β-
endorfin, dynorfin dan enkefalin (yun. Enkephalos = otak), yang menduduki reseptor-reseptor
berlainan.secara kimiawi za-zat ini berkaitan dengan kortikotrofin (ACTH), menstimulasi
pelepasanya juga dari somatotropin dan prolaktin. Sebaiknya pelepasan LH dan FSH dihambat
oleh zat ini.β-endorfin pada hewan berkhasiat menahan pernapasan, menurunkan suhu tubuh dan
menimbulkan ketagihan. Zat ini berdaya analgetis kuat, dalam arti tidak merubah persepsi nyeri,
melainkan memperbaiki ‘’penerimaannya”. Rangsangan listrik dati bagian- bagian tertentu otak
mengakibatkan peningkatan kadar endorphin dalam CCS. Mungkin hal ini menjelaskan efek
analgesia yang timbul (selama elektrostimulasi) pada akupunktur, atau pada stress (misalnya
pada cedera hebat).Peristiwa efek placebo juga dihubungkan dengan endomorfin.

9
Opioid endogen ini berhubungan dengan beberapa fungsi penting tubuh seperti fluktuasi
hormonal, produksi analgesia, termoregulasi, mediasi stress dan kegelisahan, dan pengembangan
toleransi dan ketergantungan opioid. Opioid endogen mengatur homeostatis, mengaplifikasi
sinyal dari permukaan tubuh ke otak, dan bertindak juga sebagai neuromodulator dari respon
tubuh terhadap rangsang eksternal.Baik opioid endogen dan analgesik opioid bekerja pada
reseptor opioid, berbeda dengan analgesik nonopioid yang target aksinya pada enzim.

Ada beberapa jenis Reseptor opioid yang telah diketahui dan diteliti, yaitu reseptor
opioid μ, κ, σ, δ, ε. (dan yang terbaru ditemukan adalah N/OFQ receptor, initially called the
opioid-receptor-like 1 (ORL-1) receptor or “orphan” opioid receptor dan e-receptor, namum
belum jelas fungsinya).Reseptor μ memediasi efek analgesik dan euforia dari opioid, dan
ketergantungan fisik dari opioid. Sedangkan reseptor μ 2 memediasi efek depresan pernafasan.

Reseptor δ yang sekurangnya memiliki 2 subtipe berperan dalam memediasi efek analgesik dan
berhubungan dengan toleransi terhadap μ opioid. reseptor κ telah diketahui dan berperan dalam
efek analgesik, miosis, sedatif, dan diuresis. Reseptor opioid ini tersebar dalam otak dan sumsum
tulang belakang. Reseptor δ danreseptorκ menunjukan selektifitas untuk ekekfalin dan dinorfin,
sedangkan reseptor μ selektif untuk opioid analgesic.

Mekanisme umumnya :

Terikatnya opioid pada reseptor menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke dalam
sel, selain itu mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K+ ke
dalam sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion kalsium dalam sel adalah terjadinya pengurangan
terlepasnya dopamin, serotonin, dan peptida penghantar nyeri, seperti contohnya substansi P, dan
mengakibatkan transmisi rangsang nyeri terhambat.

Endorfin bekerja dengan jalan menduduki reseptor – reseptor nyeri di susunan saraf pusat,
hingga perasaan nyeri dapat diblokir.Khasiat analgesic opioida berdasarkan kemampuannya
untuk menduduki sisa-sisa reseptor nyeri yang belum di tempati endokfin.Tetapi bila analgetika
tersebut digunakan terus menerus, pembentukan reseptor-reseptor baru di stimulasi dan pdoduksi
endorphin di ujung saraf pusat dirintangi.Akibatnya terjadilah kebiasaan dan ketagihan.

Efek-efek yang ditimbulkan dari perangsangan reseptor opioid diantaranya:

10
1. Analgesik

2. Medullary effect

3. Miosis

4. Immune function and Histamine

5. Antitussive effect

6. Hypothalamic effect

7. GI effect

Efek samping umum

1. Pada dosis biasa : gangguan lambung usus (mual, muntah, obstipasi), efek saraf pusat
(kegelisahan, rasa kantuk, euphoria), dan lain-lain.

2. Pada dosis tinggi : efek yang lebih berbahaya seperti sulit bernafas, tekanan darah turun,
sirkulasi darah terganggu, koma, dan sampai pernafasan terhenti.

3. Supresi susunan saraf pusat, misalnya sedasi, menekan pernafasan dan batuk, miosis,
hypothermia, dan perubahan suasana jiwa (mood). Akibat stimulasi lagsung dari CTZ (Chemo
Trigger Zone) timbul mual dam muntah. Pada dosis lebih tinggi mengakibatkan menurunnya
aktifitas mental dan motoris.

4. Saluran cerna : motilitas berkurang (obstipasi), kontraksi sfingter kandung empedu (kolik
batu empedu).

5. Saluran urogenital : retensi urin (karena naik nonus dari tonus dan sfingter kandung kemih),
motilitas uterus berkurang (waktu persalinan diperpanjang).

6. Saluran nafas: bronchkontriksi, penafasan menjadi lebih dangkal dan frekuensi turun.

7. System sirkulasi : vasodilatasi, hypertensi dan bradycardia.

8. Histamine-liberator: urticaria dan gatal-gatal, karena menstimulasi pelepasan histamine.

11
9. Kebiasaan dengan resiko adiksi pada penggunaan lama. Bila terapi dihentikan dapat terjadi
gejala abstinensia.

Penggolongan

Atas dasar cara kerjanya, obat – obat ini dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yakni :

1. Agonis opiate, yang dapat dibagi dalam :Alkaloida candu : morfin, kodein, heroin,
nicomorfin.Zat-zat sintesis : metadon dan derivate-derivatnya (dekstromoramida, propoksifen,
bezitramida), petidin dan detivatnya (fentanil, sufentanil) dan tramadol.Cara kerja obat-obat ini
sama dengan morfin hanya berlainan dengan potensi dan lama kerjanya. Efek samping dan
resiko akan kebiasaan dengan ketergantungan fisik.

2. Antagonis opiate : nalokson, nalorfin, pentazosin, buprenorfin, dan nalbufin. Bila digunakan
sebagai analgetika, obat ini dapat menduduki salah satu reseptor.

3. Kombinasi, zat-zat ini juga mengikat pada reseptor opioid, tetapi tidak mengaktifasi kerjanya
dengan sempurna.

Penggunaan

Tangga analgetika. WHO telah menyusun suatu program penggunaan analgetika untuk nyeri
hebat misalnya pada kanker, yang mengolongkan obat dalam 3 kelas, yakni :

a. Non-opioida : NSAID s, termasuk asetosal dan kodein

b. Opioida lemah : d-propoksifen, tramadol, dan kodein, atau kombinasi parasetamol dengan
kodein

c. Opioida kuat : morfin dan derivate – derifatnya serta zat – zat sintetis opioid.

12
Menurut program ini, pertama-tama obat diberika 4 dd 1 g parasetamol, bila efeknya kurang
beralih ke 4-6 dd kodein 30-60 mg (bersama parasetamol).Baru bila langkah ini tidak
menghasilkan analgesi yang memuaskan, dapat biberikan opioid kuat. Pilihan pertama dalam hal
ini adalah morfin ( oral, subkutan kuntinu, intravena, epidural atau spinal).

Tujuan utama dari program ini adalah untuk meghindari resiko kebiasaan dan adiksi untuk
opioid bila diberikan sembarangan.

Kebiasaan dan Ketergantungan

Penggunaan pada jangka waktu yang lama pada sebagian pemakai menimbulkan
kebiasaan dan ketegantungan.Penyebabnya mungkin karena berkurangnya resoprpsi opioid atau
perombakan /eliminasinya yang dipercepat atau bisa juga karena penurunan kepekaan
jaringan.Obat menjadi kurang efektif, sehingga diperlukan lagi dosis yang lebih tinggi lagi untuk
mencapai efek semula.Peristiwa ini disebut dengan toleransi dan bercirikan pula bahwa dosis
tinggi dapat lebih baik diterima tanpa menimbulakn efek intoksikasi. Disamping ketergantungan
fisik tersebut dapat pula ketergantungan psikis, yaitu kebutuhan mental akan efek psikotrop
(euphoria, rasa nyaman dan segar) yang dapat menjadi sangat kuat, hingga pasien seolah olah
terpaksa melanjutkan penggunaan obat.

Gejala abstinensi selalu timbul bila penggunaan obat dihentikan ( dengan mendadak) dan
semula dapat berupa menguap, berkeringan hebat dan air mata mengalir, tidur gelisan dan
merasa kedinginan.. lalu timbul muntah-muntah, diare, tachycardia, ydriasis (pupil membesar),
tremor, kejang otot, peningkatan tensi, yang dapat disertai dengan reaksi psikis hebat (gelisah,
mudah marah dank e khawatiran mati). Efek-efek ini menjadi penyebab mengapa penderita yang
duah ketagihan sukar sekali menghentikan opiate.Guna menghindari efek-efek opiate ini, mereka
terpaksa melanjutkan penggunaannya. Ketergantingan fisik lazimnya sudah lenyak dua minggu
setelah penggunaan obat dihentikan.Ketergantungan psikis seringgkali sangan erat, maka
pembebasan yang tuntas skar sekali dicapai.

13
Anatgonis Morfin

Antagonis morfin adalah zat-zat yang dapat melawan efek-efek opioida tanpa
mengurangi kerja analgetisnya.Yang paling terkenal adalah nalokson, naltrekson, dan nalorfin.
Obat ini digunakan terutama pada overdose intoksikasi. Khasiat antagonisnya diperkirakan
berdasarkan penggeseran opioda dari tempatnya di reseptor-reseptor otak.Antagonis morfin juga
berkhasiat analgetis, tetapi tidak digunakan dalam terapi karena khasiatnya lemah an
efeksampingnya mirip morfin (depresi pernafasan, reaksi psikotis).

Macam-macam obat Analgesik Opioid :

a. Morfin (F.I) : MS Contin, kapanol.

Candu atau opium adalah getah yang dikeringkan dan diperolah dari tumbuhan papaver
somniferum (Lat = menyebabkan tidur) morfin mengandung 2 kelompok alkaloida yang secara
kimia sangan berlainan. Kelompok fenantren meliputi morfin, kodein dan tebain. Kelompok
kedua adalah isokinolin dengan struktur kimiawi dan khasian amat berlainan (antara lain non-
narkotis), yakni papaverin, nosapin ( = narkotin), dan narsein. Zat ini berkhasiat analgetis sangan
kuat, lagi pula memiliki jenin kerja sentral lainnya , antara lain sedative dan hipnotis,
menimbukakn euphoria, menekan pernafasan, dan menghilangkan efek batuk, yang semuanya
berdasarkan supresi susunan saraf pusat (SSP). Morfin juga menimbulakn efek stimulasi SSP,
misalnya miosis (peciutan pupil mata), mual, muntah-muntah, eksitasi, konvulsi.Efek perifernya
yang penting adalah obstipasi, retensi kemih, dan vasodilatasi pembuluh kulit.

Penggunaannya khusus pada nyeri kuat kronis dan akut, seperti pasca-bedah dan setekah
infark jantung, juga pada fase terminal dari kanker. Banyak digunakan sebagai tablet retard
untuk memperpanjang kerjanya (MS Contin, kapanol). Resorpsinya di usus baik, tetapi BA nya
hanya ca 25 % akibat FPE besar, mulai kerjanya setelah 1-2 jam dan bertahan samai 7 jam.
Resorpsi dari suppositoria umumnya sedikin lebih baik, secara s.c./i/m baik sekali. PP nya 35%
dalam hati zat ini diubah menjadi 70% dalam bentuk glukuronida, dan hanya sebagian kecil (

14
3%) dari jumlah ini terdiri dari morfin-6-glukuronida, dengan kerja analgetis lebih kuat.
Ekskresinya melalui kemih, empedu dengan siklus enterohepatis, dan tinja.

b. Metadon : amidon, symoron

Zat sintetis ini (1947) adalah suatu campuran rasemis, yang memiliki daya analgetik dua
kali lebih kuat dari pada morfin, dan berkhasiat anastetik local.Indikasi : Detoksifikasi
ketergantungan morfin, nyeri hebat pada pasien yang di rawat di rumah sakit.

Resorpsinya di usus baik, PP-nya 90% plasma-t-1/2-nya rata-rata 25 jam dan efeknya
dapat bertahan sampai 48 jam pada terapi pemeliharaan bagi para pecadu. Umumnya metadon
tidak menimbulkan eurofia, sehingga banyak digunakan untuk menghindari gejala abstinensi
setelah penghentian penggunaan zat opioida yang lain. Khusus digunakan sebagai zat pengganti
heroin dan morfin pada terapi subtitusi para candu.

Efek sampingnya kurang hebat dari morfin terutama efek hipnotis dan euforianya lemah,
tetapi bertahan lebih lama. Penggunaan lama juga menimbulkan adiksi yang lebih mudah
disembuhkan. Efek obstipasinya agak ringan tetapi penggunaannya selama selama persalinan
harus dengan hati-hati karena dapat menekan pernafasan.

Dosis : pada nyeri oral 4-6 dd 2,5 -10 mg garam HCl, maksimum 150 mg/hari. Terapi
pemeliharaan pecandu : permulaan 20-30 mg, setelah 3-4 jam 20 mg, lalu 1 dd 50-100 mg
selama 6 bulan.

Efek tak diinginkan:

1. Depresi pernapasan

2. Konstipasi

3. Gangguan SSP

4. Hipotensi ortostatik

5. Mual dan muntah pada dosis awal

c. Fentanil :fetanyl, durogesic, *Thalamonal.

15
Derivate piveridin ini (1963) merupakan turunan dari petidin (dolnatin) yang jarang
digunakan lagi karena efek samping dan sifat adiksinya. Efek analgenis agonis opiate ini 80x
lebih kuat dari pada morfin. Mulai kerjanya cepat, yaitu 2-3 menit (i.v.), tetapi singkat hanya ca
30 menit.Indikasi : Medikasi praoperasi yang digunakan dalan anastesi dan infack jangtung.

Efek sampingnya mirip morfin, termasuk defresi pernafasan, bronchospasme, dan


kekakuan otot (thorax). Zat ini jarang menimbulkan penghambatan sirkulasi, yakni penurunan
cardiack output dan bradycardia.Dosis : pada infark i.v. 0,05 mg + 2,5 mg droperidl
(thalamonal), bila perlu diulang setelah setengah jam. Plester (durogenic) melepaskan secara
konstan morfin selama 72 jam.

Sufentanil (sufentalforte) adalah derivat (1981) dengan daya analgetis ca 10x lebih kuat.
Sifat dan efek sampingnya sama dengan fentanil. Zat ini terutama digunakan pada waktu anestesi
dan pasca bedah, juga pada waktu his dan persalinan (dikombinasi dengan suatu anestetikum).

d. Tramadol : tramal

Derivat sikloheksanol ini (1977) adalah campuran rasemis dari 2 isomer. Khasiat
analgetisnya sedang dan berdaya menghambat reuptake noradrenalin dan antitusif (anti-batuk).
Obat ini disebagian negara sianggap sebagai analgetikum opiat karena bekerja sentral, yakni
melalui pendudukan reseptor opioid. Meskipun demikina zat ini tidak menekan pernafasan,
praktis tidak mempenganruhi sistem kardiovaskuleratau motilitas lambung-usus. Tramadol
digunakan untuk sakit nyeri menengah hingga parah. Sediaan tramadol pelepasan lambat
digunakan untuk menangani nyeri menengah hingga parah yang memerlukan waktu yang lama.

Walaupun memiliki sifat adiksi ringan tetapi dalam praktek ternyata rasikonya praktis nihil
sehingga tidak termasuk daftar narkotika di kebanyakan negara deperti AS, GB, BRD, Swis,
Swedia, Jepang, termasuk Indonesia. Efek analgetis dari 120 mg tramadol oral setaraf dengan
30-60 mg morfin. Penggunaannya oral, rektal, dan parental untuk nyeri sedang sampai hebat,
bila kombinasi parasetamol-kodein dan NSAIDs kurang efektif atau tidak dapat digunakan.
Untuk nyeri akut atau pada kanker pada umumnya morfin lebih ampuh.

Resorpsinya di usus cepat dan tuntas dengan BA rata-rata 78%, plasma-t-1/2-nya 6 jam.
Efeknya dimulai sesudah 1 jam dan dapat bertahan hingga 6-8 jam. Dalam hati , sebagian besar

16
zat diuraikan menjadi antara lain metabolit dengan daya kerja 6 kali lebih kuat. Ekskresinya
berlangsung lewat urin, untuk 10% secara utuh.

Efek sampingnya tak begitu berat dan sering berupa termangu-mangu, berkeringat,
pusing, mual dan muntah, juga obstipasi, gatal-gatal, rash, nyeri kepala dan rasa letih. Resiko
habituasi, ketergantungan dan adiksi dianggap ringan. Namun tidak di anjurkan penggunaannya
oleh penderita dengan sejarah pengalahgunaan drugs.Wanita hamil dan menyusui. Opioda dapat
melintasi plasenta dan sebegitu jauhdiketahui tidak merugikan janin bila digunakan jauh sebelum
partus. Hanya o,1% dari dosis masuk kedalam air susu ibu. Meskipun demikian, tramadok tidak
dianjurkan selama kehamilan dan laktasi.Dosis: di atas 14 tahun 3-4 dd 50-100 mg, maksimum
400 mg sehari. Anak-anak diats 1 tahun : 3-4 dd 1-3 mg/kg.Minumlah tramadol sesuai dosis
yang diberikan, jangan minum dengan dosis lebih besar atau lebih lama dari yang diresepkan
dokter. Jangan minum tramadol lebih dari 300 mg sehari.

e. Nalokson : narcan

Antagonis morfin ini memiliki rumus morfin dengan gugus alil pada atom N (1969). Zat
ini dapat meniadakan semua khasiat morfin dan opioida lainya, terutama depresi pernafasan
tanpa mengurangi efek analgetisnya. Penekanan pernapasan dari obat-obat depresi SSP lain (
barbital, siklopropan, eter) tidak ditiadakan, tetapi juga tidak diperkuat seperti nalorfin. Bila
madiri tidak memiliki kerja agonistis (analgetis). Penggunaannya sebagai antidotum pada
overdose opioida (dan barbital), paska operasi untuk mengatasi depresi pernapasan oleh opioid.
Atau secara diagnostis untuk menentukan adiksi sebalum dimulai dengan penggunaan naltrexon.
Kinetik. Setelah injeksi i.v. sudah berefek setelah 2 menit, yang bertahan 1-4 jam. plasma-t-1/2-
nya hanya 45-90 menit, lama kerjanya lebih singkat dari opioida, maka lajimnya perlu diulang
beberapa kali.

Efek sampingnya dapat berupa tachycarsia (setelah bedah jantung), jarang reaksi alergi
dengan shock dan edema paru. Pada penangkalan efek opioida terlalu pesat dapat menjadi
mual, muntah, berkeringat, pusing-pusing, hipertensi, tremor, serangan epilepsi, dan berhentinya
jantung.Dosis : pada overdose opioida, intravena permula 0,4 mg, bila perlu diulang setiap 2-3
menit. .

17
Zat ini mampu meniadakan depresi e\pernapasan yang hebat oleh opioida, tetapi justru
memperkuat depresi yang bersifat ringan, atau akibat opioida dengan kerja campuran (agonistis
dan antagonistis) dan zat-zat sentral lain. Oleh karena itu, zat ini hanya digunakan pada
operdose opioida bila nalokson tidak tersedia.Dosis : pada overdose s.c./i.m./i.c. 5-10 mg bila
perlu diulang setelah 10-15 menit sampai maksimum 40 mg sehari. Naltrekson (Nalorex) adalah
derivat nalokson dimana gugus alil diganti dengan siklopropil (1985). Sifatnya antagonis murni
yang tidak mengakibatkan toleransi atau ketergantungan fisik dan psikis. Dalam hati zat ini
diubah menjadi metabolit aktif 6β-naltreksol yang terutama diekresi melalui kemih. Naltrekson
mengalami siklus enterohepatis, masa paruhnya 4-12 jam.

Penggunaannya terutama untuk menghambat efek-efek opioida berdasarkan pengikatan


kompetitif pada reseptor opioida dan sebagai obat antiketagihan heroin. Pada pecandu obat opiat
dapat menimbulkan gejala abstinensi hebat dalam waktu 5 menit, yang dapat bertahan 48 jam.
Obat ini hanya boleh diberikan setelah penghentian heroin / morfin atau metadon sekurang-
kurangnya masing – masing 7 dan 10 hari.

Dosis: permulaan 25 mg, bila tidak menjadi efek abstinensi setelah 1 jam diulang dengan 25 mg.
Lalu

2.3 Hipnotik-Sedativa(Penenang)

Hipnotik atau obat tidur berasal dari kata hynops yang berarti tidur, adalah obat yang
diberikan malam hari dalam dosis terapi dapat mempertinggi keinginan tubuh normal untuk
tidur, mempermudah atu menyebabkan tidur.Sedangkan sedative adalah obat obat yang
menimbulkan depresi ringan pada SSP tanpa menyebabkan tidur, dengan efek menenangkan dan
mencegah kejang-kejang. Yang termasuk golongan obat sedative-hipnotik adalah: Ethanol
(alcohol),Barbiturate,fenobarbital,Benzodiazepam, methaqualon.

Insomnia dan pengobatannya

Insomnia atau tidak bisa tidur dapat disebabkan oleh factor-faktor seperti : batuk,rasa nyeri,
sesak nafas, gangguan emosi, ketegangan, kecemasan, ataupun depresi. Factor penyebab ini
harus dihilangkan dengan obat-obatan yang sesuai seperti:Antussiva, anelgetik, obat-obat
vasilidator, anti depresiva, sedative atau tranquilizer.

18
Persyaratan obat tidur yang ideal

1. Menimbulkan suatu keadaan yang sama dengan tidur normal

2. Jika terjadi kelebihan dosis, pengaruh terhadap fungsi lain dari system saraf pusat maupun
organ lainnya yang kecil.

3. Tidak tertimbun dalam tubuh

4. Tidak menyebabkan kerja ikutan yang negative pada keesokan harinya

5. Tidak kehilangan khasiatnya pada penggunaan jangka panjang

Efek samping:

Kebanyakan obat tidur memberikan efek samping umum yng mirip dengan morfin antara lain :

a. Depresi pernafasan, terutama pada dosis tinggi, contihnya flurazepam, kloralhidrat, dan
paraldehida.

b. Tekanan darah menurun, contohnya golongan barbiturate.

c. Hang-over, yaitu efek sisa pada keesokan harinya seperti mual, perasaan ringan di kepala dan
pikiran kacau, contohnya golongan benzodiazepine dan barbiturat.

d. Berakumulasi di jaringan lemak karena umumnya hipnotik bersifat lipofil.

Penggolongan:

Secara kimiawi, obat-obat hipnotik digolongkan sebagai berikut :

1. Golongan barbiturate, seperti fenobarbital, butobarbital, siklobarbital, heksobarbital,dll.

2. Golongan benzodiazepine, seperti flurazepam, nitrazepam, flunitrazepam dan triazolam.

3. Golongan alcohol dan aldehida, seperti klralhidrat dan turunannya serta paraldehida.

4. Golongan bromide, seperti garam bromide ( kalium, natrium, dan ammonium ) dan turunan
ure seperti karbromal dan bromisoval.

19
5. Golongan lain, seperti senyawa piperindindion (glutetimida ) dan metaqualon.

Obat generik, indikasi, kontra indikasi, dan efek samping

1. Diazepam

Indikasi : hipnotika dan sedative, anti konvulsi, relaksasi, relaksasi otot dan anti ansietas (obat
epilepsi).

2. Nitrazepam

Indikasi : seperti indikasi diazepam

Efek samping : pada pengguanaan lama terjadi kumulasi dengan efek sisa (hang over ),
gangguan koordinasi dan melantur.

3. Flunitrazepam

Indikasi : hipnotik, sedatif, anestetik premedikasi operasi.

Efek samping : amnesia (hilang ingatan )

4. Kloral hidrat

Indikasi : hipnotika dan sedatif

Efek samping: merusak mukosa lambung usus dan ketagihan

5. Luminal

Indikasi : sedative, epilepsy, tetanus, dan keracunan strikhnin.

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Analgetika adalah obat-obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa sakit tanpa
menghilangkan kesadaran.Analgetika pada umumnya diartikan sebagai suatu obat yang efektif
untuk menghilangkan sakit kepala, nyeri otot, nyeri sendi, dan nyeri lainnya.Hampir semua
analgetika ternyata memiliki efek anti inflamasi dimana efek anti inflamasi sendiri berguna untuk
mengobati radang sendi (artritis remautoid)

3.2 Saran

saya sebagai penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca karena untuk kebaikan
kedepannya supaya saya bisa menyajikan karya tulis yang lebih baik dan dapat bermanfaat bagi
orang lain.

21
Daftar Pustaka

Sumardiyanta, E. 1999. Efek Analgetik Infus Umbi Teki Pada Mencit. [Skripsi]. Yogyakarta:
FKH UGM. Steenis, C. G. G. J. 1997. Flora of Java, Flora untuk Sekolah di Indonesia.

Penerjemah: Surjowinoto, M. Jakarta: Pradanya Paramita. Tjay, T.H., dan K. Rahardja. 2002.
Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. Ed. 5. Jakarta: Elex Media

Komputindo Kelompok Gramedia. Trease, G.E. dan W.C. Evans. 1978. Pharmacognosy.
London: Billiere Tindall. Turner, R.A. 1965. Screening Methods in Pharmacology. New York:
Academic Press. Turner, C.D. dan J.T. Bagnara. 1988. Endokrinologi Umum. Penerjemah:

Harsojo.. Surabaya: Airlangga University Press. Winarno, W., Y. Astuti , dan D. Sundari. 1996.
Informasi tentang fitokimia dan efek farmakologi tanaman kencur (Kaempferia galanga L.).
Warta Tumbuhan Obat 3

Pudjiastuti, B., Dzulkarnain, dan Y. Astuti. 1996. Uji analgetik infus daun sembung (Blumea
Balsamifera DC.) pada mencit putih. Cermin Dunia Kedokteran 28: 34-36. Pudjiastuti, B.,

22
Dzulkarnain, dan B. Nuratmi. 2000. Uji analgetik infus rimpang lempuyang pahit (Zingiber
amaricans BL.) pada mencit putih. Cermin Dunia

23

Anda mungkin juga menyukai