Anda di halaman 1dari 10

Clinical Study

MRI payudara pada pasien dengan discharge puting berdarah dan cairan serosa: sebuah
perbandingan dengan galactography

Tujuan: menilai peran MRI dibandingkan dengan galactography payudara pada pasien dengan
discharge puting darah atau cairan serosa.

Metode: penelitian retrospective termasuk 53 pasien unilateral discharge yang dilakukan dengan
galactography dan MRI. Kami mengevaluasi kemampuan dari teknik keduanya dalam
mengidentifikasi patologi dan membedakan antara lesi nonmalignant dan malignant. Lesi BIRADS
(Breast Imaging-Reporting and Data System) ½ menjalani tindak lanjut, sementara itu pemeriksaan
histologi setelah operasi telah menjadi gold standar untuk menilai patologi dalam lesi BIRADS 3/4/5.
Analisis ROC sudah digunakan untuk kemampuan tes diagnostik MRI dan galactography.

Hasil: setelah operasi dan ditindak lanjuti, 8 pasien tidak memiliki penyakit (15%). 23 didiagnosis
papilloma (43%), 11 didiagnosis papillomatosis (21%), 5 didiagnosis kanker duktal in situ (10%), and
6 didiagnosis karsinoma papillary.kedua teknik memperlihatkan 100% spesifitas; sensivisitas MRI
adalah 98% dibandingkan galctography 49%. Mengingat MRI, kami menemukan secara statistik
hubungan antara peningkatan masa dan papilloma (P < 0,001; AUC 0.957; CI 0,888-1,025),
peningkatan duktal dan papillomatosis (P < 0,001; AUC 0,790; CI 0,623-0,958), peningkatan
segmental dan kanker duktal in situ (P= 0,007; AUC 0,750; CI 0,429-1,071) dan peningkatan linier
dan kanker pappilary (P = 0,011).

Kesimpulan: MRI adalah alat yang valid untuk mendeteksi patologi duktus pada pasien dengan
suspek discharge puting berdarah atau cairan serosa dibuktikan dengan peningkatan sensivisitas dan
spesifitas dibandingkan dengan galactography.
Pendahuluan

Discharge puting menggambarkan sekitar 7-10% dari gejala kanker payudara dan itu adalah
gejala ketiga tersering dikeluhkan setelah nyeri dan masa pada payudara. Biasanya disebabkan oleh
keadaan yang jinak tapi kadang kala itu mengindikasikan adanya permasalahan kesehatan yang serius,
khususnya terjadi secara spontan dan perdarahan/cairan serosa dan tidak berhubungan dengan kondisi
fisiologi, seperti hamil atau menyusui.
Penyebab tersering adalah adanya beberapa lesi payudara yang jinak, seperti papilloma soliter
intraductal dan diikuti papillomatosis, dalam persentase kecil dari beberapa kasus (antara 5% dan
21%), karna lesi ganas, seperti karsinoma papillary, kanker duktal in situ (DCIS) dan karsinoma
duktal invasive.
Manajemen diagnostik pasien memerlukan riwayat klinis lengkap, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan sitologi dan pemeriksaan radiologi. Sayangnya, pemeriksaan sitologi bukan selalu
menjadi penentu diagnostik. Mammograpghy dan sonography merupakan pertimbangan pertama
metode pengambilan gambar sebagai standar dari perawatan pada evaluasi diagnostik discharge
puting. Meskipun begitu, kedua metode ini mungkin terdapat beberapa keterbatasan dan kesulitan
dalam mengevaluasi lesi intraduktal.
Dulu kala, galactography sudah dipertimbangkan menjadi gold standard untuk menilai
discharge puting. Galactography langsung menunjukan saluran pengeluaran, dimana tersambung dan
opacified melalui suntikan medium kontras. Galactrography aman dan ekonomis, dalam beberapa
kasus mudah ditemukan. Akan tetapi, galactrography tidak selalu menunjukan penemuan yang
spesifik, jadi kemungkinan sulit untuk membuat diagnosis banding antara penyakit saluran payudara
jinak dan ganas.
Selain itu, sulit untuk menyambungkan salurannya, khususnya pada pasien dengan discharge
intermitten atau retraksi puting. Hal penting lainnya adalah penggunaan radiasi ionisasi, terutama
pada pasien dengan usia diatas 35 tahun.
Magnetic resonance imaging (MRI) adalah teknik dengan sensitivitas tinggi dalam
mendeteksi penyakit payudara seperti kanker payudara invasive (68-100%) dan DCIS (77-96%)
Beberapa studi sudah melakukan evaluasi potensial peran MRI dalam mendiagnosis patologi duktus
tapi beberapa peneliti juga telah membuat perbandingan antara MRI dan galactography.
Tujuan dari penelitian adalah membandingkan antara galactography dan MRI pada pasien
dengan discharge puting berdarah/cairan serosa unilateral, dengan tujuan untuk mengevaluasi
sensitivitas, spesifisitas dan akurasi dalam menegakan diagnosis banding antara penyakit jinak dan
ganas.

Metode
Kriteria Inklusi: dalam penelitian kami, kami memakai analisis retrospective. Kami ekstrapolasi
pasien yang memiliki puting keluar darah dan cairan serosa dari database radiologi kami, dimana
dikumpulkan 1700 payudara dengan MRI. Lima puluh tiga pasien wanita, berusia antara 28 sampai 65
tahun (rataan usia 42 tahun), dimasukan kriteria inklusi kami. mereka memiliki puting yang keluar
darah atau cairan serosa dan melakukan pemeriksaan menggunakan galactography dan MRI di
departemen radiologi kami. waktu yang dipakai antara kedua pemeriksaan itu maksimal dua minggu.
Semua pasien yang memiliki lesi diklasifikasikan BIRADS 1 atau BIRADS 2 menjalani tindak lanjut,
dilakukan dengan mammography, ultrasound, atau sitologi. Rata-rata waktu tindak lanjut adalah 18
bulan. Pemeriksaan histologi sudah menjadi gold standard untuk menilai macam-macam lesi patologi
yang diklasifikasikan sebagai BIRADS 3, BIRADS 4, dan BIRADS 5.
Galactography. Galactography melakukan pembuatan saluran sekretori dengan dedicated kanul
tumpul dimana sebelumnya disuntikan sebuah agen kontras nonionic iodinat (iopamidol 300) sampai
maksimalnya 1-1,5 mL. Setelah kanul dilepaskan, pengambilan gambar x-ray dari craniocaudal dan
posisi mediolateral oblique yang sudah di akurasi dengan sistem mammography digital.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 1: (a) duktus ektasia, (b) pengisian berhenti, (c)kerusakan saat waktu pengisian, (d) distorsi duktus

Temuannya akan diklasifikasikan menurut pada klasifikasi Gregl:


(1). Teknik pemeriksaan inadequate
(2). Normal
(3). Duktal ectasia
(4). Kerusakan saat pengisian
(5). Pengisian berhenti
(6). Penyimpangan duktal

Magnetic resonance imaging. MRI dijalankan menggunakan magnet 1,5 tesla (magnetom vision,
Avanto Siemens Medical System, Erlangen, Germany; gradients 25 mT/m2; slew rate 800 T/m/s; rise
time 400 us) dengan dua gulungan dedicated untuk penelitian payudara (4-Channel BI Breast Coil).
Pada pasien premenopause kami melakukan pemeriksaan pada tanggal siklus menstruasi ke 7 dan ke
14.
Rangkaian tata cara termasuk memasukan pemberian medium kontras: T2-STIR dihimpit
berurutan di bidang axial. (TR 5320/TE 58 ms; FOV read 300; FOV phase 100; ketebalannya 3,5 mm
tanpa jarak, panjang 5 min); 3D flash NFS TI-weighted berurutan pada bidang axial (TR 7.73/TE 4.76
ms; Flip angle 25, FOV read 320; FOV phase 100; ketebalannya 1 mm; panjang 1 min dan 50(s) pada
duktus payudara.
Tambahan gambar pada bidang axial dan sagittal bisa menggunakan visualisasi rangkaian
duktal tiga dimensi.
Lalu kami menggunakan gradient 3D menggunakan kembali echo (GRE) saturasi lemak TI-
weighted berurutan pada bidang axial dan sagital, didapatkan satu scan sebelumnya (panjang 2 menit
dan 53 detik) dan empat scan berurutan (jeda 10 detik basal scan) setelah pemberian medium kontras
dengan panjang tiap scan (2 menit dan 53 detik tanpa jeda). Total lama dari pemeriksaan ini adalah
20 menit.
Pengantar medium kontras dilakukan menggunakan suntikan otomatis pemberian gadobutrol
dengan dosis 0,1 mmol per berat badan dalam kg dengan rata-ratanya 2 mL/s bersamaan dengan 10
mL bolus saline.
Urutan T2-STIR digunakan untuk mendapatkan informasi tentang morfologi dan struktur
payudara (termasuk lemak, jaringan fibrosa, dan kelenjar) dan untuk mengevaluasi sistem duktus.
Duktus ektasia biasanya muncul dengan satu bentuk atau banyak saluran.
Gambar saturasi lemak Flash 3D precontras TI-weighted dianalisis untuk menilai
karakteristik isi cairan intraluminal, identifikasi keberadaannya dengan sinyal intensitas tinggi, seperti
darah atau material proinaceous.
Untuk mengevaluasi adanya peningkatan area, kami menggunakan urutan TI-weighted
setelah pemberian medium kontras. Dengan fakta-fakta, kami mempertimbangkan parameter seperti
morfologi dan tipe peningkatan. Disetiap peningkatan lesi, kami mengklasifikasi tipe peningkatan
berdasarkan BIRADS lexicon sebagai menyerupai-masa atau tidak menyerupai-masa (linear, duktus,
segemental dan regional)
Dua ahli radiologi berpengalaman selama 15 dan 5 tahun dalam penggambaran payudara
berdasarkan pemeriksaan histologi dan melihat pemeriksaan MRI dan galactography.

Histopatologi
Tiga puluh tiga pasien menjalani prosedur coreneedle biopsy (CNB). CNB dilakukan
berdasarkan pedoman under ultrasound (US) menggunakan senjata otomatis biopsi ukuran 14 (Bard,
Magnum Instrumen, Covington, Georgia, USA) atau senjata biopsi semiotomatis(PRESICA, Hospital
Service, Aprilia, Italy). Kami mengumpulkan minimal tiga sampel tiap biopsi. Sebelas pasien,
memperlihatkan banyak lesi didalam duktus, langsung menjalani operasi karna terdapat sedikit resiko
yang berhubungan antara papilloma dan papillomatosis dengan kanker payudara.

Analisis Statistik
Sensitivitas, spesifitas, dan positif dan negatif diagnostik memprediksi angka (PPV dan NPV)
untuk kedua modalitasnya kami nilai.
Analisis ROC untuk menguji kemampuan galactography dan MRI secara terpisah. Sesudah
itu, kami membandingkan secara analisis histologi.
Metode analisis statistik ROC biasanya digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan dari satu
diagnostik yang dilakukan. Gabungan penggunaan modalities pelengkap yang berbeda membuat kami
perlu mengevaluasi kontribusi tunggal yang diberikan oleh masing-masing modalitas tersebut.
Area dibawah kurva (AUC) dari tiap modalitas diagnostik sudah dipehitungkan dan hasilnya
diperlihatkan dengan 95% dari nilai interval kepercayaan (CI 95%).
Kami melakukan uji probabilitas exact fisher untuk analisis univariat dan, dimana
kemungkinan, uji X2 dengan correction continuity.
Analisis statistik dilakukan menggunakan SPSS 19.0 untuk windows dan nilai signifikansi di
tetapkan P < 0,05

Hasil
Pemeriksaan histologi dilakukan setelah operasi atau CNB menunjukan bahwa sampel kami
berisikan 23 pasien dengan papilloma (43%), 11 dengan papillomatosis (21%), 5 dengan DCIS (10%)
dan 6 dengan karsinoma papillary (11%). Delapan pasien (15%) tanpa lesi pada pemeriksaaan
galactography dan MRI diklasifikasikan negative.
Mempertimbangkan lesi jinak, 2/23 kasus diagnosis histologi dengan papilloma
diklasiikasikan G2 dan 13/23 sebagai G3 melalui pemeriksaan galactography berdasarkan klasifikasi
Gregl. Beberapa kasus dipertimbangkan sebagai False Negative (FN), G2 dianggap sebagai temuan
yang normal dan G3, dengan kondisi ektasia duktus, sebagai temuan tidak spesifik. Sisa delapan kasus
didiagnostik dengan galactography, sementara MRI sudah berhasil mengidentifikasi semua lesi (19/23
kasus dari peningkatan masa, 2/23 kasus dari peningkatan duktus, dan 2/23 kasus yang berhubungan
dengan peningkatan masa dan duktus). Dalam 10 kasus, walaupun dengan urutan prekontras kami
bisa mengobservasi susunan solid intraduktus.
Mengenai papilomatosis, galactography dengan tepat mengidentifikasi patologi dalam 5/11
kasus, diklasifikasikan sebagai G3 (temuan tidak spesifik), 6/11 kasus dari papilomatosis,
dipertimbangkan sebagai FN. MRI mendiagnosis seluruh kasus, menunjukan 8 duktus dan 3
peningkatan regional. Selain itu, melalui urutan prekontras, kami mengidentifikasi tiga kasus kista
ektasia duktus dan dua kasus masa solid intraduktal.
Mengenai penyakit malignant, 6 pasien dengan karsinoma papillary; MRI dengan tepat
mengidentifikasi semua kasus (2 kasus peningkatan regional, 4 kasus peningkatan duktus, 2
peningkatan biasa dan 2 peningkatan cabang, tiap salah satu dari mereka berhubungan dengan ektasia
duktus), sedangkan galactography hanya menunjukan satu kasus FN.
Mempertimbangkan DCIS, galactography dan MRI dengan tepat menidentifikasi 4/5 kasus;
salah satunya diklasifikasikan sebagai G2 melalui galactography dan ditunjukan tanpa pemberian
medium kontras melalui MRI, jadi dipertimbangkan sebagai FN.
Secara keseluruhan, kami tidak mengobservasi kasus false positive (FP); MRI menunjukan
satu kasus FN (pada satu kasus DCIS) dan galactography 23 kasus FN (15 kasus papiloma, satu kasus
kanker papillary, satu kasus DCIS dan 6 kasus papilomatosis). Galactography menunjukan sensitivitas
keseluruhan 48,89%, spesifitas PPV 100% dan NPV 25,81% dalam mendeteksi adanya patologi
duktus. Sedangkan untuk sensitivitas MRI adalah 97,78%, spesivitas 100%, PPV 88,9%, dan NPV
100%.
Kami mengevaluasi kapabilitas dari kedua metode untuk mengidentifikasi patologi duktus,
kami mencoba untuk menetapkan apakah disana terdapat tanda spesifik secara radiologi yang
berhubungan dengan subtipe histologi yang spesifik, dengan tujuan untuk memastikan diagnosis
banding antara lesi jinak dan ganas.
Pada galactography, analisis univariat menunjukan secara statistik adanya hubungan
signifinkan (P < 0,001) antara duktus distorsi (G6) dan kanker papillary dan antara filling stop (G5)
dan DCIS (P = 0,034) (tabel 1). 35/53 kasus memperlihatkan duktus ektasia (G3), sehingga
mengakibatkan temuan yang nonspesifik. Kerusakan pengisian (G4), merupakan temuan terbanyak
dalam kasus papilloma (7/23), tapi datanya tidak signifikan.

Tabel 1: analisis univariat menunjukan perbandingan galactography dengan temuan histologi


G2 G3 G4 G5 G6
Histologi
n(%), P n(%), P n(%), P n(%), P n(%), P
Tidak ada patologi 7 (63,7), 0,001 2 (5,9), 0,019 0,0175 0,0174 0,0578
Papilloma 2 (18,2),0,089 18 (52,9), 0,113 7 (58,3), 0,392 6 (50), 0,899 0, 0,016
Kanker Papillary 1 (91), 1 4 (11,8), 1 1 (8,3), 1 0, 0,316 5 (71,4), <0,001
DCIS 1 (91), 1 3 (88), 1 0, 0,577 3 (25), 0,034 1 (14,3), 0,530
Papillomatosis 0, 0,94 7 (20,6), 1 4 (33,3), 0,244 3 (25), 0,701 1 (14,3), 1
Gambar 2: kurva ROC menunjukan hubungan antara (a) kanker papillary dan G6 pada galactography (AUC
0,894; CI 0715-1,074) dan (b) antara DCIS dan G5 (AUC 0,790; CI 0,534-1,046)

Analisis ROC memungkinkan kami untuk memverifikasi data kami, menunjukan hubungan
antara G6 di galactography dan kanker papilary (AUC 0,894; CI 0,715-1,074) dan antara G5 dan
DCIS (AUC: 0,790; CI 0,534-1,046), ditunjukan dalam gambar 2(a) dan 2(b).
Disamping itu, galactography menunjukan tren mengidentifikasi lesi ganas secara
keseluruhan dengan benar, tapi tidak ada hubungan signifikansi yang ditemukan antara satu gejala
radiologi pada klasifikasi Gregl dan lesi jinak secara hitologi. Sedangkan MRI, kami menemukan
secara statistik memililki hubungan signifikansi antara peningkatan masa dan adanya papilloma (P <
0,001), antara peningkatan duktus dan papillomatosis (P < 0,001), antara peningkatan segmental dan
DCIS (P = 0,007) dan antara peningkatan linear dan kanker papillary (P = 0,011) ditunjukan pada
tabel 2.
Analisis ROC mengkonfirmasi adanya hubungan antara peningkatan masa dan papilloma
(AUC 0,957; CI 0,888-1,025), pningkatan segmental dan DCIS (AUC 0,750; CI 0,429-1,071) dan
peningkatan duktus dan papillomatosis (AUC 0,790; CI 0,630-0,958), ditunjukan pada gambar 3 (a)
dan 3 (b).

Diskusi
Discharge puting adalah gejala yang relatif banyak di tempat praktek klinik dan menjadi
kasus terbanyak yang mengacu pada kondisi jinak. Tetapi, jika itu yang khususnya terjadi secara
spontan dan terlihat adanya darah atau cairan serosa, itu membutuhkan analisis yang seksama untuk
mengesampingkan penyakit yang ganas. Oleh karena itu, penting tidak hanya mengidentifikasi
keberadaan dari penyakit tapi juga untuk membedakan antara penyebab dari discharge, membedakan
ganas dari lesi jinak.
Dalam penelitian ini kami mencoba untuk mengevaluasi peran dari kedua metode
penggambaran, galactography dan MRI, pada sampel pasien yang menunjukan gejala spesifik,
perdarahan duktus dan discharge cairan serosa.
Kami menemukan secara statistik perbedaan yang signifikan dalam semua sensitivitas antara
kedua metode. Terutama, MRI menunjukan angkat tertinggi pada sensitivitas (97,78% berbanding
48,89% sensitivitas galactography) untuk mengidentifikasi patologi duktus, sedangkan untuk
keduanya spesifitas metodenya adalah 100%. Dalam analisis kami, angka sensitivitas galactograhy
lebih rendah dari pada laporan lain sebelumnya. Ini kemungkinan berdasarkan fakta dalam penelitian
sebelumnya tentang kondisi duktus ekstasia yang dipertimbangkan sebagai temuan patologi.
Bagaimanapun, duktus ektasia juga sangat sering pada pasien yang tak ada gejala, yang tidak pernah
menunjukan discharge puting. Pada sampel kami, duktus ektasia ditemukan pada 49/53 pasien dan
terutama sekali pada semua pasien tanpa penyakit. Oleh karena itu, kami mempertimbangkan G3
sebagai temuan patologi hanya jika itu berhubungan dengan gejala anomali duktus lainnya.
Mempertimbangkan kapabilitas untuk membuat interprestasi penyakit yang benar, meskipun
kedua metode memiliki spesifitas yang sama (100%), MRI menampilkan temuan gambar, dimana
membuat kami menjadi mengerti pokok penyebab patologi dischager suatu penyakit. Faktanya, kami
bisa melihat bukan hanya patologi duktus atau duktus lainnya, menggunakan aturan T2 dan T1
prekontras, tapi juga peningkatan disekitar parenkim. Aspek ini memberikan hasil evaluasi dari suatu
penyakit, membenarkan sensitivitas tinggi MRI.
Peran MRI payudara dalam mengevaluasi discharge puting masih kontroversi. Indikasi saat
ini untuk MRI payudara, berdasarkan kepada pedoman EUSOBI, tidak memasukan evaluasi dari
pasien dengan discharge puting. Meskipun peran potensial dari MRI sudah dievaluasi oleh penelitian
sebelumnya
Beberapa peneliti sudah membawa dalam penelitian peran dari MRI dibandingkan dengan
kanalisasi galactography dan menggunakan bahan kontras intraductal untuk meningkatkan duktus
sekretorius. Pada Yoshioto et al 1997, ia melakukan perbandingan antara galactography kontras MRI
setelah galactography pada pasien, dan bahan kontras disuntikan ke keduanya secara intravena dan
kedalam duktus. Yucesoy et al. Membandingkan galactography konvensional dengan galactography
kontras MRI dalam penelitian prospektif dilakukan dengan 16 pasien menunjukan 81% konkordansi
antara kedua metode; datanya memberi kesan bahwa galactograhpy kontras MRI bisa digunakan
sebagai alternative pembuatan gambar untuk diagnosis patologi dicharge puting.
Untuk pengetahuan yang lebih baik, penelitian kami melibatkan sampel dalam jumlah yang
besar dimana semua peserta dilakukan galactography dan MRI payudara konvensional menggunakan
dedicated coil tanpa pembuatan duktus sekretorious.
Galactography adalah alat dengan pemakaian luas dan diterima sebagai alat diagnostik untuk
penggambaran dan penentu lokasi patologi duktus tapi biasanya hasil temuanya tidak spesifik, seperti
duktus ektasia, kerusakan pengisian, dan dinding duktus irregular, dimana semuanya adalah gejala
penyakit duktus tapi tidak selalu teridentifikasi sebagai penyebab discharge. Demikian, sisi positif
peneilitian ini tidak bisa membedakan penyebab discharge yang jinak dan ganas, dan sisi negative
penelitian ini tidak bisa menyingkirkan penyebab yang mendasari sebuah karsinoma (atau lesi resiko
tinggi). Dalam penelitian kami NPV untuk galactography hanya 25,81% berbanding 100% pada MRI.
Disamping itu, pembuatan saluran masih memungkinkan jika hanya duktus yang mengalami
discharge selama waktu investigasi.

Jika kami mempertimbangkan penyakit jinak, dalam sampel galactograhpy kami tidak bisa
mengidentifikasi 15 kasus papilloma dan 6 kasus papillomatosis dengan benar. Pada ductography,
sebuah papilloma intraductal muncul sebagai potongan atau lobulus menghancurkan waktu pengisian,
dengan membatasi permukaan yang halus. Dalam duktus yang terdilatasi (gambar 4(a) dan 4(b)).
Lesinya secara khas meningkat dari hanya satu duktus besar dalam regio subareolar. Untuk
pengalama kami, kebanyakan lesi memiliki bentuk kecil (diameter < 8 mm) tidak menentukan sebuah
obstruksi lengkap duktus. Disamping itu, beberapa lesi lokasinya ada di perifer; meskipun, kami tidak
bisa mengamati secara langsung gejala radiological pada galactography, dimana kebanyakan kasus
terungkap haya duktus ektasia. Padahal, semua lesi benign sudah diidentifikasi secara benar melalui
MRI. Terutama sekali, papilloma yang terdeteksi ketika galactography tidak berhasil, kemunculannya
dianggap sebagai peningkatan masa pada duktus yang terdilatasi, ditunjukan pada gambar 4(c).

Kami menemukan secara statistik hubungan yang signifikan antara papillomatosis (gambar
5(a), 5(b) dan 5 (c)) dan peningkatan duktus. Ketidakberaturan duktus, terbungkus, distorsi,
obstruksi, atau kerusakan pengisian secara irregular menjadi temuan konvensional galactography
mengidikasikan adanya keganasan. Kami juga menemukan secara statistik hubungan signifikansi
antara distorsi duktus (G6) dan kanker papillar da antara “stop” (G5) dan DCIS. Galactography bisa
untuk membedakan lesi malignant; pada dua kasus FN, diungkapkan hanya duktus ektasia tipe sedang
tanpa kerusakan waktu pengisian atau dinding irregular (gambar 6(a) dan 6(b).
Pada penelitian kami, MRI dengan tepat mengidentifikasi lesi malignant. Itu ditunjukan
dengan hanya satu kasus FN; seorang pasien dengan DCIS yang tidak bisa diidentifikasi
galactography. Meskipun pasien ini sudah diklasifikasi sebagai negatif oleh keduanya pada
galactography dan MRI, operasi tetap dilakukan karna terdapat discharge yang menetap setelah satu
bulan tindakan dan pada sitologi menunjukan positive sel epithelial. Wenkel et al. Menemukan hasil
yang sama; mereka memilki kasus DCIS pada pasien dengan discharge puting tidak teridentifikasi
pada MRI. Pasien kami memilikinya sangat kecil, DCIS level-rendah, dimana tidak bisa ditunjukan
pada MRI.
Meskipun begitu, penelitian kami memiliki keterbatasan. Pertama adalah design penelitian
retrospective. Pasien dipilihkan karna berdasarkan gejala spesifik dengan kemungkinan tertinggi
terdapat patologi (jinak atau ganas); faktanya, kebanyakan dari mereka memiliki penyakit itu.
Penyebab kedua metode ini memiliki angka spesifitas tinggi. Ditambah lagi, kami melakukan
pembatasan sampel, karna kami mengurangi sejumlah besar pasien dengan discharge puting yang
tidak diperiksa dengan galactography untuk puting terektrasi atau discharge intermittent. Selanjutnya,
tindak lanjut kami sangat terbatas; pada pasien yang tidak melakukan biopsi atau operasi, waktu
tindak lanjut hanya 18 bulan. Padahal seharusnya tindak lanjut paling tidak selama tiga tahun untuk
menilai angka pasti pemeriksaan penggambaran kasus false negative.

Kesimpulan

Keberadaan kanker adalah resiko signifikan untuk pasien yang memiliki kecurigaan discherge
puting berdarah atau cairan serosa. Walaupun jika galactography menjadi teknik standar
penggambaran untuk evaluasi pasien-pasien itu, galactography tidak selalu tersedia dan bisa untuk
membedakan antara lesi jinak dan ganas kemungkinan masih diperdebatkan. Penemuan kami
mengusulkan MRI juga bisa untuk membedakan antara penyebab discharge puting dan menurut pada
literatur, menunjukan angka sensitivitas yang tinggi dalam mendeteksi penyakit pada duktus. Oleh
karena itu, discharge puting bisa dianggap indikasi valid untuk melakukan MRI.

Anda mungkin juga menyukai