Anda di halaman 1dari 6

Dari artikel “ Jika Murid Salah,Bolehkah Guru Menghukum “, ada beberapa

permasalahan :

1. Perilaku siswa yang di anggap tidak sopan oleh guru Bimbingan dan Penyuluhan
karena menuliskan kata-kata jorok di dalam buku sakunya.

2. Hukuman yang diberikan oleh guru terhadap siswa yang dianggap melanggar tata
krama.

3. Hukuman fisik yang dilakukan oleh guru berupa penamparan sebagai upaya untuk
mendiskripsikan anak.

4. Reaksi orang tua terhadap hukuman fisik yang di lakukan oleh guru Bimbingan dan
Penyuluhan.

FILSAFAT

Berdasarkan berita diatas maka dapat dikatakan bahwa jika guru menghukum siswa
maka hal tersebut bukan merupakan suatu kekerasan sebab tugas guru bukan hanya mengajar
siswa tetapi juga mendidik dan membimbing siswa agar berperilaku baik. Jika ditinjau dari
segi filsafat hukum dan filsafat pendidikan maka akan diperoleh pemaparan sebagai berikut:

Guru boleh menghukum peserta didik dengan menjewer maupun mencubit peserta
didik dengan tujuan supaya peserta didik jera dan tidak mengulangi kesalahan tersebut. Pasal
1367 KUHPd menetapkan bahwa guru sekolah bertanggung jawab tentang kerugian yang
diterbitkan oleh murid selama waktu murid itu berada di bawah pengawasan mereka. Jadi,
selama murid berada di bawah pengawasan guru, guru boleh menghukum siswa yang nakal
dan tidak disiplin dengan sedikit kekerasan dan hukuman fisik agar para murid takut dan
terpacu untuk belajar, patuh, taat, hormat, disiplin, bertanggung jawab, tahu aturan, dan lain
sebagainya. Hukuman fisik bisa berdampak positif dan negatif. Berdampak positif karena
bisa membuat peserta didik tidak mengulangi kesalahan tersebut. Mereka menjadi takut untuk
berbuat kesalahan karena resikonya adalah dijewer ataupun dicubit, sehingga mau tidak mau
mereka harus patuh terhadap tata tertib yang ada. Dengan terbiasa mematuhi peraturan yang
ada, peserta didik akan menjadi disiplin.

NON FILSAFAT

Berdasarkan berita diatas maka berita maka dapat dikatakan dari kasus tersebut jika
terjadi kekerasan pada siswa yang dilakukan oleh guru jelas hal tersebut melanggar filsafat
hukum dan filsafat pendidikan.

Filsafat Hukum

Kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan dengan:

1. Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional, “fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab”.

2. Pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demikratis


dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukkan bangsa (UU Sisdiknas)

3. Tentang kekerasan fisik, pada pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang


Perlindungan Anak dinyatakan sebagai berikut:(1) Setiap orang yang melakukan
kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau
denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).(2) Dalam hal
anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang
tuanya.

Selanjutnya secara khusus, undang-undang ini bahkan mengamanatkan bahwa anak-


anak wajib dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk guru di
sekolah.Seperti yang tercantum dalam Pasal 54 :“Anak di dalam dan di lingkungan sekolah
wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau
teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”

Jika melihat undang-undang tersebut, sesungguhnya sudah sangat nyata bahwa


tindakan kekerasan terhadap anak merupakan tindakan kriminal yang pelakunya akan
diproses secara hukum. Tindakan kekerasan dengan bungkus pendidikan juga dapat
mengakibatkan pelaku dikenai tindak pidana, sebagaimana disebutkan dalam pasal 80 UU.
No. 23 tahun 2002. Jadi jelas dikatakan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap
murid tersebut termasuk melanggar filsafat hukum karena melanggar hak asasi maunusia
khususnya untuk perlindungan anak-anak.

Filsafat Pendidikan

Menurut Sekjen KPA, Arist Merdeka Sirait, pada tahun 2009 telah terjadi aksi
bullying atau kekerasan di sekolah sebanyak 472 kasus. Angka ini meningkat dari tahun
2008, yang jumlahnya sebanyak 362 kasus. Begitu banyak kekerasan yang terjadi di sekolah
merupakan hal yang menyedihkan bagi dunia pendidikan. Kekerasan seharusnya tidak terjadi
di negara kita yang berfalsafah Pancasila, apalagi ini terjadi dalam dunia pendidikan. Bangsa
kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang sesuai dengan sila
kedua Pancasila. Segala bentuk kekerasan tentunya melanggar nilai-nilai kemanusiaan
khususnya hak asasi manusia. Dan pelanggaran hak asasi manusia akan mendapatkan
konsekuensi hukum sesuai dengan perundang-undangan yang belaku di negara kita.

Sekolah merupakan tempat siswa menimba ilmu pengetahuan dan seharusnya


menjadi tempat yang aman bagi siswa.Namun ternyata di beberapa sekolah terjadi kasus
kekerasan pada siswa oleh guru.Kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada siswa
seperti dilempar penghapus dan penggaris,dijemur dilapangan dan dipikul.Disamping itu
siswa juga mengalami kekerasan psikis dalam bentuk bentakan dan kata makian.Kasus
kekerasan-kekeraan sangat berlawanan dari peran seorang guru sebagai pendidik ,pengajar
dan pembimbing.Kuriake mengatakan bahwa Indonesia cukup banyak guru yang menilai cara
kekerasan masih efektif untuk mengendalikan siswa (Philip,2007).Padahal cara ini bisa
menyebabkan trauma psikologis,atau siswa akan menyimpan dendam,makin tebal terhadap
hukuman,dan cenderung melampiaskan kemarahan dan agresi terhadap siswa lain yang
dianggap lemah.lingkaran negatif ini jika terus berputar bisa melanggengkan budaya
kekerasan di masyarakat. Hal diatas jelas melanggar filsafat pendidikan karena tujuan dari
pendidikan ialah memanusiakan manusia.

Ditinjau dari tiga aspek

1). Aspek Ontologi

Pendidikan dan pengajaran memang tidak identik dengan kekerasan, baik di masa
yang lalu apalagi sekarang ini. Tapi kekerasan sering kali dihubung-hubungkan dengan
kedisiplinan dan penerapannya dalam dunia pendidikan. Istilah “tegas” dalam membina sikap
disiplin pada anak didik. Di lingkungan pendidikan para guru biasa menerapkan norma
kejujuran dan kedisiplinan. Namun untuk melaksanakannya tidak mudah, karena ada banyak
siswa yang memiliki berbagai macam-macam karakter yang harus di didik.

Belakangan ini banyak terjadi berbagai macam kasus yang terjadi di lingkungan
pendidikan yang berhubungan dengan kekerasan yang di lakukan oleh guru terhadap anak
didiknya. Seperti contoh artikel “JIKA MURID SALAH, BOLEHKAH GURU
MENGHUKUM”. Kebanyakan dari kasus yang terjadi disebabkan oleh penerapan norma
kedisiplinan yang terlalu di paksakan terhadap anak didik. Sedangkan tidak semua anak didik
terbiasa dengan perilaku disiplin. Cara penanaman kedisiplinan yang salah dapat berupa
terjadinya kekerasan baik fisik maupun mental terhadap anak. Hal yang paling terlihat adalah
kekerasan fisik. Tidak jarang hal ini sampai ke pengadilan karena orang tua siswa merasa di
rugikan.

Kekerasan dapat terjadi dimana saja, termasuk di sekolah. Berdasarkan hasil


penelitian yang dilakukan oleh UNICEF (2006) di beberapa daerah di Indonesia
menunjukkan bahwa sekitar 80% kekerasan yang terjadi pada siswa dilakukan oleh guru.
Belakangan ini masyarakat dikejutkan dengan berita mengenai seorang guru yang memukul
salah satu siswanya karena kedapatan menuliskan kata-kata jorok di dalam buku
sakunya.Spontan guru tersebut memukul siswa karena menganggap anak tersebut sudah
melanggar tatakrama.

2). Aspek Epistemologi

Secara umum, kekerasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang tidak
menyenangkan atau merugikan orang lain, baik secara fisik maupun psikis. Kekerasan tidak
hanya berbentuk eksploitasi fisik semata, tetapi justru kekerasan psikislah yang perlu
diwaspadai karena akan menimbulkan efek traumatis yang cukup lama bagi si korban.
Dewasa ini, tindakan kekerasan dalam pendidikan sering dikenal dengan istilah bullying.
Pada kenyataannya, praktik bullying ini dapat dilakukan oleh siapa saja, baik oleh teman
sekelas, kakak kelas ke adik kelas, maupun bahkan seorang guru terhadap muridnya. Terlepas
dari alasan apa yang melatarbelakangi tindakan tersebut dilakukan, tetap saja praktik bullying
tidak bisa dibenarkan, terlebih lagi apabila terjadi di lingkungan sekolah.

3). Aspek Aksiologi

Aksiologi sebagai cabang filsafat yang mempelajari nilai-nilai dan duniamnilai,


menjadi penentu dan dasar tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan yang dirumuskan tanpa
memperhatikan ajaran dan dunia nilai adalah hampa. Selain itu,aksiologi akan memberikan
sumbangan dalam penilaian hasil-hasil pendidikan dan proses pendidikan dalam
kedudukannya sebagai gejala sosial, kultural, dan politis.Terutama apabila pembahasan
pendidikan bersangkut paut dengan masalah kesusilaan dan keagamaan. Uraian tadi jika
dipahami lebih jauh memberikan pengertian bahwa filsafat mencakup nilai nilai yang harus
dijunjung tinggi dan dijadikan pedoman dalam pembuatan, terutama dalam pekerjaan
mendidik.
Dengan kata lain, mendidik adalah merealisasikan nilai nilai yang dimiliki Guru
selama nilai nilai tersebut tidak bertentangan dengan hakekat anak didik. Nilai-nilai dalam
pendidikan bersumber pada filsafat atau ajaran filsafat, yang telah berakar dalam sosio-
kultural atau kepribadian suatu bangsa, yang akan tumbuh sebagai realita dan filsafat hidup.
Jadi jelas, bahwa ide ide filsafat menentukan pendidikan. Jika masalah pendidikan
merupakan masalah yang berhubungan langsung dengan hidup dan kehidupan manusia, maka
masalah kepribadian pun mempunyai ruang lingkup yang luas, yang didalamnya terdapat
masalah sederhana menyangkut praktik dan pelaksanaan sehari hari.
Masa remaja (usia sekolah) adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya
mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi
pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel menyatakan bahwa para remaja mulai membuat
penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan
lingkungan mereka, semisal rokok. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku,
sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai
mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak
alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan
membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya.
Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama
ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat
hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan
seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu
saja selama masa kanak-kanak.
Dampak yang akan muncul dari kekerasan akan melahirkan pesimisme dan apatisme
dalam sebuah generasi. Selain itu terjadi proses ketakutan dalam diri anak untuk menciptakan
ide-ide yang inovatif dan inventif. Kepincangan psikologis ini dapat dilihat pada gambaran
anak-anak sekolah saat ini yang cenderung pasif dan takut berbicara dimuka kelas.
Sedangkan dalam keluarga, anak yang sering diberi hukuman fisik akan mengalami gangguan
psikologis dan akan berperilaku lebih banyak diam dan selalu menyendiri selain itu terkadang
melakukan kekerasan yang sama terhadap teman main atau ke orang lain.

Anda mungkin juga menyukai