Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH IMUNOLOGI VETERINER

“ RESPON IMUN TERHADAP ANTIGEN MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS ”

DI SUSUN OLEH:

MOHAMMAD AGUNG BAHUTALA 155130107111024

GATOT BUDI WICAKSONO 165130100111013

YANDA PELIA AGUSTINA 165130100111026

MOKH WILDAN ZUHRI 165130100111028

MASRIN FARDAN ZAINUL H. 165130100111038

MALIKUL AMIN 165130100111039

FITRI DWI FEBRIYANTI 165130100111040

RICKY DARMAWAN 165130100111041

FAHRIZAL FALNA 165130100111042

FENTI NURSAFITRI 165130100111043

ZEVANYA INDAH OKTAVIANA 165130100111044

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Tubercolosis merupakan salah satu penyakit menular yang berkembang biak


di dalam bagian tubuh dimana terdapat banyak aliran darah dan oksigen. Infeksi
bakteri ini biasanya menyebar melewati pembuluh darah dan kelenjar getah bening,
tetapi secara utama menyerang paru-paru. Bakteri TB akan membunuh jaringan dari
organ yang terinfeksi . Tubercolosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
yaitu sejenis basil aerobik yang non-motil dan tahan asam serta ditularkan melalui
udara. Tuberkolosis dapat menyebabkan komplikasi berbagai penyakit dan
merupakan penyebab kematian utama di dunia. Bakteri ini merupakan bakteri basil
yang sangat kuatsehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Pada
individu yang terpapar oleh mybacterium tubercolosis , akan timbul respon imun dari
dalam tubuh , infeksi M. tuberculosis lebih dipengaruhi oleh sistem imunitas seluler
daripada imunitas humoral. Respon yang diperantarai oleh sistem imun dapat berupa
respon imun non spesifik dan respon imun spesifik. Respon imun non spesifik adalah
respon terhadap suatu benda asing atau infektor tanpa perlu pengenalan terlebih
dahulu, sedangkan respon imun spesifik bersifat spesifik terhadap infektor tertentu.
Aktivasi anti mikrobial dikontrol oleh limfosit T melalui mediator terlarut
yang dikenal sebagai sitokin. M. tuberculosis yang terhirup dan masuk ke paru akan
ditelan oleh makrofag alveolar. Sitokin yang dihasilkan makrofag mempunyai potensi
untuk menekan efek imunoregulator dan menyebabkan manifestasi klinis terhadap
tuberkulosis. IL-1 merupakan pirogen endogen menyebabkan demam sebagai
karakteristik tuberkulosis. IL-6 akan meningkatkan produksi imunoglobulin oleh sel B
yang teraktivasi, menyebabkan hiperglobulinemia yang banyak dijumpai pada pasien
tuberkulosis. TGF berfungsi sama dengan IFN untuk meningkatkan produksi
metabolit nitrit oksida dan membunuh bakteri serta diperlukan untuk pembentukan
granuloma untuk mengatasi infeksi mikobakteri. Selain itu TNF dapat menyebabkan
efek patogenesis seperti demam, menurunnya berat badan dan nekrosis jaringan yang
merupakan ciri khas tuberkulsois. Pada pasien tuberkulosis TNF juga berperan untuk
meningkatkan kerentanan sel T melakukan apoptosis baik secara spontan maupun
oleh stimulasi M. tuberculosis secara in vitro. IL-10 menghambat produksi sitokin
oleh monosit dan limfosit sedangkan TGF menekan proliferasi sel T dan menghambat
fungsi efektor makrofag.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Respon imunitas secara umum?
2. Bagaimana Respon imunitas terhadap antigen TBC?
3. Bagaimana reaksi imun ketika terjadi TBC?
4. Komponen imun apakah yang bekerja ketika terjadi TBC?
5. Bagaimana cara pemusnahan atau eliminasi antigen TBC dari dalam tubuh?
1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui bagaimana respon imun terhadap antigen TBC


2. Untuk mengetahui komponen imun yang bekerja dalam TBC
3. Untuk mengetahui cara mengeliminasi Antigen TBC dari dalam tubuh

1.4 Manfaat

Diharapkan dapat di ketahui bagaimana respon imun dan komponen imun yang
bekerja terhadap antigen TBC , serta dapat diketahui bagaimana cara mengeleminasi
antigen TBC dari dalam tubuh.
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Mycobacterium tuberculosis

Taksonomi Mycobacterium tuberculosis :

Kingdom : Bacteria
Filum : Actinobacteria
Kelas : Actinobacteria
Ordo : Actinomycetales
Subordo : Corynebacterineae
Famili : Mycobacteriaceae
Genus : Mycobacterium
Spesies : M. tuberculosis

Kuman Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau agak bengkok,


berukuran panjang 5 μ dan lebar 3 μ. Dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen akan tampak
berwarna merah dengan latar belakang (Handayani, 2011).
Berdasarkan struktur dinding selnya yang mengandung peptidoglikan
tebal, M. tuberculosis diklasifikasikan ke dalam bakteri gram positif. Bakteri bersifat
aerob obligatif sehingga kompleks M. tuberculosis selalu ditemukan di lobus paru
bagian atas yang memiliki sirkulasi udara yang baik. M. tuberculosis memiliki
dinding sel yang terdiri dari dua bagian. Bagian luar membran berupa sel amplop
yang mengandung lebih dari 60% lipid. Lipid tersebut mengandung beberapa
komponen, seperti asam mikolat, glikolipid dan polisakarida (Todar, 2008). Asam
mikolat mencapai 50% dari berat kering sel amplop. Asam mikolat adalah molekul
hidrofobik yang membentuk cangkang lipid di sekeliling sel M. tuberculosis.
Komponen ini berpengaruh terhadap permeabilitas permukaan sel (Todar, 2008).
Selain komponen tersebut, terdapat peptidoglikan (PG) yang berikatan kovalen
dengan arabinogalaktan (AG). Arabinogalaktan melekat pada asam mikolat dengan
meromycolate panjang dan rantai pendek. Kompleks dinding sel ini disebut dengan
mycolyl arabinogalactanpeptidoglikan (mAGP). Selain itu, terdapat komponen lain
berupa protein, phosphatidylmyo inositol mannosides (PIMs), phthiocerol lipid,
lipomannan (LM) dan lipoarabinomannan (LAM). Bagian dalam terdiri dari
komponen lipid bilayer, beberapa mengandung asam lemak dengan rantai pendek dan
beberapa asam lemak pendek dengan rantai panjang (Yustikarini, 2015).
Struktur Morfologi M. tuberculosis (Yustikarini, 2015)

M. tuberculosis memiliki Suhu optimum 37˚C, tidak tumbuh pada suhu 25˚C
atau lebih dari 40˚C. Mycobacterium tuberculosis dapat mati jika terkena cahaya
matahari langsung selama 2 jam. Karena kuman ini tidak tahan terhadap sinar ultra
violet. Mycobacterium tuberculosis mudah menular, mempunyai daya tahan tinggi
dan mampu bertahan hidup beberapa jam ditempat gelap dan lembab. Oleh karena itu,
dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant (tidur), tertidur lama selama beberapa
tahun. Basil yang ada dalam percikan dahak dapat bertahan hidup 8-10 hari (
Handayani, 2011).
2.2 Respon Imunitas Secara Umum
Secara umum, pertahanan tubuh diperantarai oleh sistem imun bawaan dan
sistem imun dapatan. Sistem imun bawaan merupakan sistem imun yang dibawa sejak
lahir, sedangkan sistem imun dapatan adalah sistem imun yang didapat setelah lahir
akibat terinduksi oleh infektor tertentu. Sistem imun bawaan berlaku sebagai
pertahanan pertama terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Sistem imun
dapatan akan bereaksi secara spesifik terhadap infektor penstimulasinya. Sistem imun
dapatan juga akan mengingat infektor tersebut untuk mencegah terjadinya penyakit
pada infeksi berikutnya (Roit, 1985).
Respon yang diperantarai oleh sistem imun dapat berupa respon imun non
spesifik dan respon imun spesifik. Respon imun non spesifik adalah respon terhadap
suatu benda asing atau infektor tanpa perlu pengenalan terlebih dahulu, sedangkan
respon imun spesifik bersifat spesifik terhadap infektor tertentu.
Respon imun non spesifik diperantarai oleh adanya barier fisik, sel-sel
fagosit,sel NK (Natural Killer Cells), interferon, komplemen, respon inflamasi, dan
demam. Barier fisik melindungi tubuh dari masuknya infektor. Untuk menyebabkan
infeksi, senyawa infektor atau patogen masuk ke jaringan dalam tubuh dan melewati
sel-sel epitel tubuh terlebih dahulu. Sel epitel ini memberikan perlindungan yang
efektif untuk jaringan di bawahnya. Sel epitel terdapat pada kulit, saluran pernapasan,
saluran pencernaan, dan saluran urinari. Jika infektor masuk ke dalam tubuh, infektor
tersebut akan oleh sel-sel fagosit. Sel fagosit merupakan pertahanan pertama dari
pertahanan selular dalam mengeliminasi infektor. Sel-sel fagosit akan menelan,
menghancurkan, dan mengeliminasi infektor. Sel-sel fagosit terdiri dari mikrofag dan
makrofag. Mikrofag merupakan neutrofil dan eosinofil yang berada dalam sirkulasi
darah. Mikrofag dapat meninggalkan aliran darah dan memasuki jaringan periferal
yang terinfeksi. Makrofag adalah sel fagositik yang berukuran besar. Makrofag
menangani patogen dengan beberapa cara yaitu menelan patogen atau infektor
lainnya, menghancurkannya dengan bantuan enzim lisosom, berikatan dengan
patogen atau memindahkan patogen dari cairan interstisial dan menghancurkannya
dengan bekerja sama 4 dengan sel-sel lain, atau mengeluarkan zat kimia yang toksik
seperti Tumor Necrosis Factors (TNF),nitrit oksida, atau hidrogen peroksida.
Makrofag dapat berupa makrofag terfiksasi yaitu makrofag yang secara permanen
terdapat dalam suatu jaringan atau organ, dan makrofag bebas yang bergerak ke
jaringan-jaringan (Martini,2001).
Selain sel fagosit, sel lain yang berperan dalam respon imun nonspesifik
adalah sel NK (Natural Killer Cell). Sel NK adalah limfosit bergranul besar yang
dapat mengenali dan menghancurkan sel-sel abnormal yang ada di jaringan perifer.
Sel NK akan mengeluarkan protein toksik yang dikenal dengan perforin. Perforin
yang dibebaskan oleh badan golgi sel NK akan membentuk pori-pori di dinding sel
abnormal sehingga menyebabkan lisis sel. Mekanisme lisis sel dengan cara demikian
disebut mekanisme Membran Attack Complex (MAC).
Interferon merupakan protein yang dilepaskan oleh limfosit atau makrofag
yang teraktivasi dan sel yang terinfeksi virus. Interferon menstimulasi aktivitas
makrofag dan sel NK. Plasma darah mengandung 11 protein komplemen yang
membentuk sistem komplemen. Efek aktivasi komplemen antara lain kerusakan
membran sel target yang serupa dengan mekanisme MAC, stimulasi inflamasi dan
meningkatnya aliran darah ke daerah inflamasi, tertariknya makrofag dan neutrofil ke
daerah inflamasi, dan proses fagositosis oleh makrofag melalui proses opsonisasi
yang lebih mudah terjadi (Martini, 2001).
Respon imun spesifik dihasilkan dari aktivitas sel T dan sel B. Sel T berperan
dalam imunitas selular yaitu pertahanan terhadap sel-sel abnormal dan infektor yang
terdapat di dalam sel. Sel B lebih berperan dalam menghasilkan imunitas humoral
(Roit, 1989). Sel T terdiri dari tiga tipe utama yaitu sel T sitotoksik, sel T helper, dan
sel T supresor. Sel T sitotoksik bekerja dengan cara menghancurkan infektor secara
fisik dan kimia. Sel T helper berperan dalam menstimulasi respon sel T dan sel B.
Produksi antibodi oleh sel B terjadi bila sel B teraktivasi oleh sel T helper. Sel T
supresor bekerja menekan atau mengendalikan aktivitas sel T dan sel B agar tidak
terjadi respon imun yang berlebihan (Martini, 2001).
Sel B memproduksi antibodi yang akan berikatan dengan infektor yang
menstimulasinya. Ada beberapa mekanisme dalam mengeliminasi infektor yang
diperantarai oleh antibodi, yaitu : 1) Neutralisasi, antibodi mengikat sisi aktif toksin
bakteri dan virus sehingga tidak dapat menginfeksi jaringan tubuh; 2) Aglutinasi dan
presipitasi, antibodi membentuk kompleks dengan infektor yang dapat berupa
endapan atau agregat. Infektor yang larut akan berikatan dengan antibodinya yang
bersifat presipitin membentuk endapan (presipitasi), sedangkan infektor pada
permukaan virus atau sel lainnya akan bereaksi dengan antibodi spesifiknya
membentuk agregat-agregat yang menumpuk (aglutinasi); 3) Aktivasi komplemen,
ikatan antara infektor dan antibodi dapat mengaktivasi sistem komplemen untuk
mengeliminasi infektor, 4) Khemotaktik sel fagositik, ikatan antigen-antibodi menarik
eosinofil, neutrofil, dan makrofag untuk mengeliminasi infektor; 5) Opsonisasi,
antibodi menempel pada infektor sehingga lebih mudah dikenali oleh sel fagosit; 6)
Stimulasi inflamasi, antibodi dapat mengakibatkan terjadinya inflamasi melalui
aktivasi basofil dan sel mast; 7) Pencegahan adhesi bakteri dan virus, antibodi terlarut
pada saliva, mukus, dan lapisan epitel menyulitkan infektor masuk ke dalam tubuh
(Martini, 2001).
2.3 Imunitas Terhadap Antigen

Tuberkulosis merupakan penyakit yang pada umumnya menyerang paru paru..


Inhalasi droplet di fagosit oleh makrofag alveolar. Makrofag berusaha
menghancurkan patogen dan mengangkutnya ke saluran kelenjar limfe. Lesi
granulomatous yang berisi bakteri terbentuk kemudian. Granula tidak secara langsung
menyebabkan penyakit. Resiko berkembangnya penyakit tetap ada, karena bakteri
tidak di eradikasi. Pada individu dengan sistem imun kompromis, penyakit akan
berkembang setelah infeksi primer. Pada individu dengan imunodefisiensi,
berkembangan tuberkulosis akan lebih cepat. (Kaufmann, 2002)

Saat awal infeksi, makrofag merupakan sel target utama, setelah teraktifasi
akan membunuh bakteri dan berpartisipasi dalam respons protektif sel tipe-1 T helper
(imunitas seluler) dan respons Th2 untuk target ekstraseluler (imunitas humoral)
(Marino, 2004). Tipe sitokin Th-1 paling utama dalam imunitas protektif. Sel
dendritik melepas sitokin yang diinduksi oleh Th-1 yaitu IL-12 dan IFN—a.
Makrofag yang terinfeksi memproduksi sitokin proinflamasi IL-10, IL-4 (Indah,
2013).

Gambar Respons imun pada tuberkulosis aktif


Respon imun terhadap Mycobacterium tuberculosis selain respon imun sel
Th1 yang protektif juga dapat merangsang respon imun sel Th2 yang diduga tidak
protektif (Handojo, 2004).

Produksi sitokin anti inflamasi seperti IL-10 (diproduksi oleh sel Th2) dalam
menanggapi kuman tuberculosis dapat menurunkan respon imun dan membatasi
kerusakan jaringan dengan menghambat respon inflamasi yang berlebihan. Sitokin ini
jika diproduksi berlebihan dapat menyebabkan kegagalan untuk mengendalikan
infeksi yang menyebabkan perluasan penyakit tuberculosis. (Sharma, 2001)

Interleukin-10 (IL-10) merupakan sitokin yang telah diidentifikasikan sebagai


faktor penghambat sitokin-sitokin. IL-10 diproduksi oleh sel-sel Th2, subset sel T
CD4+ termasuk Th1 dan Th17, sel B, neutrofil, makrofag dan beberapa subset sel
dendritik. IL10 dapat menghambat kemampuan sel myeloid seperti makrofag dan sel
dendritik untuk mengaktifkan sel-sel Th1, sehingga produksi sitokin dari Th1 dapat
terhalang. IL-10 juga dapat menghambat proses fagositosis dan eliminasi mikroba
seperti M. tuberkulosis dengan cara membatasi produksi intermediate oksigen dan
nitrogen reaktif yang dimediasi oleh aktifasi INF-γ. IL-10 juga dapat menghambat
pematangan fagosom sehingga memfasilitasi kelangsungan hidup dan perkembangan
basil M. tuberculosis (Redford,2011). Kenaikan kadar IL10 pada serum penderita
tuberculosis menghambat produksi IFN-γ dan sitokin-sitokin tipe 1 dalam merespon
antigen Mycobacterium tuberculosis (Vankayalapati, 2002). Berdasarkan penjelasan
dari berbagai literatur, produksi IL-10 di dalam tubuh, khususnya pada penderita TB
menunjukkan peranan yang sangat penting dalam progresivitas penyakit TB.

Mycobacterium tuberculosis yang aktif secara metabolik, memproduksi


protein sekresi berupa Early secreted antigenic target kDa 6 (ESAT-6) dan Culture
Filtrate Protein 10 (CFP10). ESAT-6 dan CFP-10 berpotensi untuk digunakan sebagai
antigen dalam diagnosis tuberkulosis. Kedua antigen sekresi faktor virulensi tersebut
menstimulus aktivasi limfosit T sehingga memproduksi interferon gamma (IFN-γ),
TNF-α dan menginduksi makrofag untuk memproduksi interleukin 10 (IL-10)
(Masniari, 2013).

Adanya kuman TB pada makrofag akan memberi sinyal, sehingga retikulum


endoplasmik memproduksi molekul MHC kelas II. Molekul ini akan membawa
fragmen kuman TB yang diproses oleh makrofag ke permukaan makrofag dan
dipaparkan, sehingga dikenali dan diikat oleh reseptor limfosit T-CD4+ . Sel limfosit
T-CD4+ yang teraktivasi akan memproduksi sitokin yang penting dalam
menghancurkan atau mengontrol pertumbuhan kuman TB. Sitokin utama adalah
Interferon Gamma, TNF alfa dan interleukin 2. Salah satu sitokin yang diproduksi
oleh sel T-CD4+ adalah IFN-γ yang berperan penting dalam mengeliminasi
Mycobacterium tuberculosis. Interferon Gamma memperkuat potensi fagosit
makrofag yang terinfeksi M.Tb, yaitu dengan cara menstimulasi pembentukan
fagolisosom. Interferon Gamma juga menstimulasi pembentukan radikal bebas yang
dapat menghancurkan komponen M.Tb.Interferon Gamma akan merangsang
makrofag yang mengandung kuman TB untuk meningkatkan reactive nitrogen
intermediate (RNI) yang diperlukan untuk menghancurkan kuman TB (Abbas et al.,
2014). Penelitian tuberkulosis terus dilakukan berkelanjutan dalam mencari solusi
yang tepat mematahkan rantai patofisiologi biomolekuler tuberkulosis (Corbiere,
2012).

Penelitian penemuan vaksin untuk tuberkulosis, parameter antigenik baik


secara protein, gen, sitokin dan teori imunologi lainnya dalam rangka mendeteksi
mekanisme imun untuk mengeliminasi patogenitas. Kemampuan kuman untuk tetap
hidup dalam suasana respons imun yang kuat, menunjukkan adanya mekanisme
penghindaran dari kuman tuberculosis (Pollock, 2013).

Mengetahui kadar IFN-γ dan IL-10 terhadap stimulus antigen ESAT-6, dapat
diketahui spesifisitas potensial antibodi pada imunodiagnostik tuberkulosis,
memprediksi aktivitas virulensi antigen dalam inang (Kenyorini, 2012). Pemeriksaan
serologi untuk mendiagnosis tuberkulosis aktif dan laten diperlukan pada kasus saat
pemeriksaan rutin sederhana dan radiologi tidak membantu (Corbiere, 2012).
Penelitian pemeriksaan imunologi terus berkembang untuk mendeteksi antibodi/
respons imun terhadap antigen tuberkulosis. Diperlukan kombinasi beberapa
pemeriksaan untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitasnya (Hermayanti, 2014).

Insiden TB yang tinggi dan adanya keterbatasan klinik, bakteriologi dan


radiologi dalam menilai keberhasilan pengobatan TB, penelitian ini membandingkan
respons imun seluler inang terhadap penderita TB laten, TB aktif dan orang sehat,
terutama ekspresi Interferon Gamma dan Interleukin 10 setelah stimulasi dengan
antigen ESAT-6.

A. Sitokin

Sitokin adalah protein yang di sintesis oleh sel yang dapat mempengaruhi sel
lainnya. Sitokin dapat sebagai mediator, pengatur imunitas, inflamasi, hematopoesis.
Sitokin bisa bereaksi secara sinergis dengan dua atau lebih sitokin lain, bersama sama
atau secara antagonis (Gustiani, 2014). Sitokin memicu pelepasan sitokin lainnya, dan
sitokin juga dapat berperan mencegah reaksi berlebihan inflamasi. Sitokin merupakan
sinyal penting untuk mengaktifkan kerja sel yang lain, sehingga jenis sitokin yang
dihasilkan tersebut memberikan efek pada sel targetnya (Afif, 2013). Sitokin
imunologi tipe 1 atau sel tipe Th1 yang meningkatkan respons imun seluler (IFN-γ,
TNF-α, TGF-β, IL-1, IL-2, IL-11, IL-12, IL-18). Sitokin Th-1 mengaktifkan
makrofag, membentuk sitokin pro inflamasi dan menginduksi mekanisme imun
efektor sitotoksik dari makrofag. Sel tipe Th2 yang mendukung respons antibodi (IL-
4, IL-5, IL-6, IL-10, IL-13). Sitokin Th-2 menginduksi pembentukan antibodi, juga
menghambat fungsi makrofag, disebut sebagai sitokin anti inflamasi (Kusuma, 2007).

B. Early Secreted Antigen Target (ESAT-6)


Early secreted antigen target (ESAT-6) adalah antigen yang disekresi oleh
Mycobacterium tuberculosis dan wild type Mycobacterium bovis, namun tidak
dijumpai pada vaksin Bacille Calmette Guerin (BCG) (Ganguly, 2008). Pengukuran
terhadap respons antigen ini melalui deteksi produksi interferon gamma. Pengeluaran
IFN-γ dapat diukur dengan penilaian supernatan dari sel yang distimulasi ESAT-6
spesifik sel CD-4 (Lume, 2010).

C.Interferon gamma (IFN-γ)

Interferon gamma di produksi oleh limfosit sel T helper dan bekerja pada sel
makrofag, sel endotel, fibroblast, sel T sitotoksik dan limfosit B anti-viral (Jalius,
2012). Interferon gamma di hasilkan selama respons imun berlangsung oleh adanya
antigen spesifik sel T dan natural killer cells (sel NK) yang di stimulasi oleh IL-
2.(Roostati, 2008). Pengaruhnya mengaktifkan makrofag untuk meningkatkan
fagositosis dan kemampuan membunuh sel tumor, meningkatkan pertumbuhan sel T
sitolitik dan sel NK. Aktivitas IFN-γ lainnya yakni meningkatkan presentasi antigen
oleh makrofag, mengaktifkan aktivitas lisosom di dalam makrofag, meningkatkan
aktivitas Th2, mempengaruhi sel normal untuk meningkatkan ekspresi molekul MHC
kelas I, mempromosikan adesi dan mengikat leukosit yang bermigrasi,
mempromosikan aktivitas sel NK dan mengaktifkan APCs, merangsang diferensiasi
Th1 dengan pengaturan transkripsi faktor T (Widjaja, 2010).

IFN-γ meregulasi ekspresi antigen MHC-1 dan menginduksi MHC kelas II.
Dengan diaktifkannya MHC kelas II pada sel endotel, sel tersebut menjadi peka
terhadap aksi sel T sitolitik spesifik kelas II (Kusuma, 2007).

D. Interleukin- 10 (IL-10)

Interleukin-10 (IL-10) merupakan sitokin yang telah diidentifikasikan sebagai


faktor penghambat sitokin. IL-10 diproduksi oleh sel Th2, subset sel T CD4+
termasuk Th1 dan Th17, sel B, neutrophil, makrofag dan beberapa subset sel
dendritik. IL-10 dapat menghambat kemampuan sel mieloid seperti makrofag dan sel
dendritik untuk mengaktifkan sel Th1, sehingga produksi sitokin dari Th1 dapat
terhalang. Il-10 juga dapat menghambat proses fagositosis dan eliminasi mikroba
seperti M. tuberculosis dengan cara membatasi produksi intermediate oksigen dan
nitrogen reaktif yang dimediasi oleh aktifasi IFN-γ. IL-10 dapat menghambat
pematangan fagosom sehingga memfasilitasi kelangsungan hidup dan perkembangan
baksil Mycobacterium tuberculosis (Redford et al, 2011). IL-10 terbukti menyebabkan
penurunan terhadap sekresi dan transkripsi IL-8 yang berfungsi mengerahkan leukosit
menuju formasi granuloma pada penyakit tuberculosis (Ameixa and Friedland, 2001).
Berbagai studi telah mengidentifikasi bahwa IL-10 berkorelasi dengan kerentanan
terhadap tuberculosis, baik pada manusia maupun hewan percobaan (mencit). Pada
penderita tuberkulosis IL-10 dapat ditemukan pada serum dan cairan bronkoalveolar.
IL-10 dianggap memungkinkan untuk menjadi biomarker klinis yang penting terhadap
progesivitas penyakit (Beamer, 2008).
2.4. Respon Imun Tubuh Terhadap Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi M.


tuberculosis complex.1 Transmisi umumnya terjadi dari seseorang ke orang yang
lainnya melalui droplet dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak
yang terkontaminasi.

Imunopatogenesis

Tubuh manusia mempunyai suatu sistem imun yang bertujuan melindungi


tubuh dari serangan benda asing seperti kuman, virus dan jamur. Sistem tersebut
terdiri atas berbagai macam sel dan molekul protein yang sanggup membedakan
antara self antigen dan nonself antigen. Setelah sistem imun dibangkitkan terhadap
suatu antigen asing, sistem tersebut akan mempunyai memory atau daya ingat dan
akan melakukan respons yang lebih spesifik serta lebih aktif jika antigen tersebut
masuk ke dalam tubuh untuk kedua kalinya.

Respons imun proteksi utama terhadap kuman intraseluler adalah cell


mediated immunity (CMI) atau imuniti seluler. Imuniti seluler terdiri atas dua tipe
reaksi yaitu fagositosis (oleh makrofag teraktivasi) dan lisis sel terinfeksi (oleh
limfosit T sitolitik). Secara imunologis, sel makrofag dibedakan menjadi makrofag
normal dan makrofag teraktivasi. Makrofag normal berperan pada pembangkitan daya
tahan imunologis nonspesifik, dilengkapi dengan kemampuan bakterisidal atau
bakteriostatik terbatas. Makrofag ini berperanan pada daya tahan imunologis bawaan
(innate resistance). Sedang makrofag teraktivasi mempunyai kemampuan bakterisidal
atau bakteriostatik sangat kuat yang merupakan hasil aktivasi sel T sebagai bagian
dari respons imun spesifik (acquired resistance). Kuman yang masuk pertama-tama
akan dihadang oleh neutrofil, baru kemudian oleh makrofag. Kuman yang masuk ke
alveoli akan ditelan dan sering dihancurkan oleh makrofag alveolar.

Sel T adalah mediator utama pertahanan imun melawan M.tb. Secara


imunofenotipik sel T terdiri dari limfosit T helper, disebut juga clusters of
differentiation 4 (CD4) karena mempunyai molekul CD4+ pada permukaannya,
jumlahnya 65% dari limfosit T darah tepi. Sebagian kecil (35%) lainnya berupa
limfosit T supresor atau sitotoksik, mempunyai molekul CD8+ pada permukaannya
dan sering juga disebut CD8. Sel T helper (CD4) berproliferasi dan berdiferensiasi
menjadi sel T helper 1 (Th1) dan sel T helper 2 (Th2). Subset sel T tidak dapat
dibedakan secara morfologik tetapi dapat dibedakan dari perbedaan sitokin yang
diproduksinya. Sel Th1 membuat dan membebaskan sitokin tipe 1 meliputi IL-2, IL-
12, IFN-g dan tumor nekrosis faktor alfa (TNF-a). Sitokin yang dibebaskan oleh Th1
adalah activator yang efektif untuk membangkitkan respons imun seluler. Sel Th2
membuat dan membebaskan sitokin tipe 2 antara lain IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, dan IL-
10. Sitokin tipe 2 menghambat proliferasi sel Th1, sebaliknya sitokin tipe 1
menghambat produksi dan pembebasan sitokin tipe 2.
Interaksi antara pejamu dan kuman dalam setiap lesi merupakan kelainan yang
berdiri sendiri dan tidak dipengaruhi oleh lesi lainnya. Senjata pejamu dalam interaksi
tersebut adalah makrofag teraktivasi dan sel sitotoksik. Makrofag teraktivasi dapat
membunuh atau menghambat kuman yang ditelannya. Sel sitotoksik dapat secara
langsung maupun tidak langsung membunuh makrofag tidak teraktivasi yang berisi
kuman TB yang sedang membelah secara aktif dalam sitoplasmanya. Kematian
makrofag tidak teraktivasi akan menghilangkan lingkungan intraseluler (tempat yang
baik untuk tumbuh), diganti dengan lingkungan ekstraseluler berupa jaringan
perkijuan padat (nekrotik) yang akan mengambat pertumbuhan kuman. Senjata kuman
dalam interaksi tersebut adalah kemampuan untuk membelah secara logaritmik dalam
makrofag tidak teraktivasi, misalnya dalam monosit yang baru saja migrasi dari aliran
darah ke tempat infeksi. Senjata lainnya adalah kemampuan untuk membelah (kadang
sangat cepat) dalam bahan perkijuan cair. Ketika kuman sedang membelah
ekstraseluler dalam perkijuan cair, sejumlah besar antigen yang dihasilkannya
menyebabkan nekrosis jaringan lebih banyak, erosi dinding bronkus, pembentukan
kaviti dan selanjutnya penyebaran kuman ke dalam saluran napas.

Fase Pembentukan Respons Imun

Selama beberapa hari atau minggu awal infeksi TB primer, respons kompleks
sedang disiapkan oleh pejamu. Walaupun lekosit polimorfonuklear (PMN) telah aktif
pada awal inflamasi namun mereka tidak bekerja dengan baik. Respons humoral atau
antibodi yang biasanya merupakan pusat pertahanan terhadap bakteri patogen,
peranannya bisa diabaikan dalam melawan tuberkulosis. Namun demikian sistem
komplemen ikut berperan pada tahap awal fagositosis. Mekanisme pertahanan
spesifik terjadi 4-8 minggu setelah infeksi berupa sensitisasi sel T terhadap antigen
spesifik. Mekanisme tersebut pada tuberkulosis ditandai dengan dimulainya respons
cell-mediated immunity (CMI) dan delayed-type hipersensitivity (DTH) yang akan
meningkatkan kemampuan pejamu untuk menghambat atau mengeliminasi kuman.

Respons CMI dan DTH merupakan fenomena yang sangat erat hubungannya
dan timbul akibat aktivasi sel T yang bersifat spesifik. Kedua fenomena yang belum
dapat dipisahkan tersebut terjadi melalui mekanisme respons imun yang sama dan
akan mengubah respons pejamu terhadap pajanan antigen berikutnya. Respons DTH
ditandai dengan nekrosis perkijuan akibat lisisnya sel makrofag alveoli yang belum
teraktivasi, sedang respons CMI timbul setelah makrofag alveoli teraktivasi sehingga
menjadi sel epiteloid matur. Penelitian pada binatang percobaan mendapatkan kesan
bahwa kedua respons imun tersebut terjadi pada pejamu yang rentan maupun resisten
tetapi dengan derajat yang berbeda. Pada pejamu yang resisten didapatkan rasio sel-
sel epiteloid terhadap nekrosis perkijuan jauh lebih besar dibandingkan pejamu yang
rentan.

Keseimbangan antara CMI dan DTH akan menentukan bentuk penyakit yang
akan berkembang. Respons CMI akan mengaktifkan makrofag dan selanjutnya
membunuh kuman secara intraselular sedang respons DTH menyebabkan nekrosis
perkijuan dan pertumbuhan kuman dihambat secara ekstraselular. Keduanya
merupakan respons imun yang sangat efektif menghambat perjalanan penyakit. Untuk
keberhasilan pengelolaan TB, diperlukan pengetahuan tentang saling pengaruh antara
kedua respons imun tersebut dan perubahan rasio antara keduanya.

Dalam makrofag, M. tuberculosis hidup bereplikasi dalam fagosom dengan


menghambat fusi fagosom dengan lisosom melalui inhibisi sinyal Ca2+ dan
menghambat recruitment dan assembly protein yang memediasi fusi fagosom-
lisosom. Oleh karena itu, fase awal TB primer pada individu yang berlum
tersensitisasi adalah proliferasi bakteri dalam makrofag alveolar dengan bakteremia
dan seeding pada beberapa tempat. Meski terjadi bakteremia, umumnya TB
asimtomatik atau terjadi gejala seperti flu yang ringan.

Kuman M.tb dalam makrofag akan dipresentasikan ke sel Th1 melalui major
histocompatibility complex (MHC) kelas II. Sel Th1 selanjutnya akan mensekresi IFN
g yang akan mengaktifkan makrofag sehingga dapat menghancurkan kuman yang
telah difagosit. Jika kuman tetap hidup dan melepas antigennya ke sitoplasma maka
akan merangsang sel CD8 melalui MHC kelas I. Sel CD8 yang bersifat sitolitik
selanjutnya akan melisiskan makrofag. Tidak semua makrofag akan teraktivasi oleh
IFN-g yang dihasilkan oleh Th1 sehingga sel yang terlewat tersebut selanjutnya akan
dilisiskan melalui mekanisme DTH. Sitokin IFN-g yang disekresi oleh Th1 tidak
hanya berguna untuk meningkatkan kemampuan makrofag melisiskan kuman tetapi
juga mempunyai efek penting lainnya yaitu merangsang sekresi TNF a oleh sel
makrofag. Hal ini terjadi karena substansi aktif dalam komponen dinding sel kuman
yaitu lipoarabinomannan (LAM) yang dapat merangsang sel makrofag memproduksi
TNF-a. Respons DTH pada infeksi TB ditandai dengan peningkatan sensitivity
makrofag tidak teraktivasi terhadap efek toksik TNF-a. Makrofag tidak teraktivasi
tersebut merupakan tempat yang baik untuk pertumbuhan kuman, sehingga perlu
dihancurkan untuk menghambat proliferasi kuman lebih lanjut.8 Perkembangan
infeksi berhubungan dengan kemampuan makrofag sekitar lesi mengendalikan
proliferasi dan penyebaran kuman TB. Pada hampir semua pejamu normal, lesi primer
dalam paru akan membaik karena pengaruh pertahanan seluler atau CMI.

Pada sebagian pejamu kemampuan meningkatkan respons imun lemah


sehingga tidak mampu mengendalikan TB. Pejamu tersebut secara klinis akan
menderita TB beberapa minggu sampai bulan sesudah infeksi primer. Termasuk
dalam kelompok ini adalah bayi (sistem imun imatur), usia lanjut (kompetensi imun
menurun dengan bertambahnya usia), dan immunocompromised (khususnya orang
dengan human immunodeficiency virus / HIV atau acquired immunodeficiency
síndrome / AIDS).

2.5. Komponen Imun Yang Bekerja pada Tuberkulosis

Terdapat dua macam respon imun pertahanan tubuh terhadap infeksi


tuberkulosis yaitu respon imun selular (sel T dan makrofag yang teraktivasi) bersama
sejumlah sitokin dan pertahanan secara humoral (anti bodi-mediated). Respon imun
seluler lebih banyak memegang peranan dalam pertahan tubuh terhadap infeksi
tuberkulosis. Pertahanan secara humoral tidak bersifat protektif tetapi lebih banyak
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis.(5) Respon ini di awali dengan
diferensiasi limfosit B menjadi satu populasi sel plasma yang memproduksi dan
melepaskan anti bodi spesifik ke dalam darah yang dinamakan imunoglobulin.
Imunoglobulin (Ig) di bentuk oleh sel plasma yang berasal dari ploriferasi sel B akibat
adanya kontak dengan anti gen. Anti bodi yang terbentuk secara spesifik ini akan
mengikat anti gen baru lainnya yang sejenis.

Respon imun primer terjadi sewaktu anti gen pertama kali masuk ke dalam
tubuh, yang ditandai dengan munculnya IgM beberapa hari setelah pemaparan. Kadar
IgM mencapai puncaknya pada hari ke-7. pada 6-7 hari setelah pemaparan, barulah
bisa di deteksi IgG pada serum, sedangkan IgM mulai berkurang sebelum kadar IgG
mencapai puncaknya yaitu 10-14 hari setelah pemaparan anti gen. Respon imun
sekunder terjadi apabila pemaparan anti gen terjadi untuk yang kedua kalinya, yang di
sebut juga booster. Puncak kadar IgM pada respon sekunder ini umumnya tidak
melebihi puncaknya pada respon primer, sebaliknya kadar IgG meningkat jauh lebih
tinggi dan berlangsung lebih lama. Perbedaan dalam respon ini di sebabkan adanya
sel B dan sel T memory akibat pemaparan yang pertama (Kardjito. 1994).

IgG merupakan komponen utama imunoglobulin serum, kadarnya dalam


serum sekitar 13 mg/ml, merupakan 75% dari semua imunoglobulin. Kadar IgG
meninggi pada infeksi kronis dan penyakit auto imun. Anti bodi yang pertama di
bentuk dalam respon imun adalah IgM, oleh karena itu kadar IgM yang tinggi
merupakan petunjuk adanya infeksi dini (Kardjito. 1996).

M. tuberculosis di inhalasi sehingga masuk ke paru-paru, kemudian di telan


oleh makrofag. Makrofag tersebut mempunyai 3 fungsi utama, yakni :

1. Memproduksi enzim proteolitik dan metabolit lainnya yang memperlihatkan efek


mycobactericidal.
2. Memproduksi sitokin sebagai respon terhadap M. tuberculosis yakni IL-1, IL-6,
IL-8, IL-10, TNF- TGF-. Sitokin mempunyai efek imunoregulator yang
penting.
3. Untuk memproses dan menyajikan anti gen terhadap limfosist T (Andersen.
1994)

Pada tuberkulosis primer, perkembangan infeksi M. tuberculosis pada target


organ tergantung pada derajat aktivitas anti bakteri makrofag dari sistem imun
alamiah serta kecepatan dan kualitas perkembangan sistem imun yang di dapat. Oleh
sistem imun alamiah, basil akan di eliminasi oleh kerja sama antara alveolar makrofag
dan NK sel melalui sitokin yang dihasilkannya yakni TNF- dan INF-. Mekanisme
pertahanan tubuh terhadap infeksi ini terutama dilakukan oleh sel-sel pertahanan (sel
T dan makrofag yang teraktivasi) bersama sejumlah sitokin. Pada limfonodi regional,
terjadi perkembangan respon imun yang di dapat, yang akan mengenali basil
tuberkulosis. Tipe respon imun ini sangat tergantung pada sitokin yang dihasilkan
oleh sistem imun alamiah. Dominasi produksi sitokin oleh makrofag yang
mensekresikan IL-12 akan merangsang respon sel Th 1, sedangkan bila IL-4 yang
lebih banyak disekresikan oleh sel-T maka akan timbul respon oleh sel Th 2. Tipe
respon imun ini akan menentukan kualitas aktivasi makrofag untuk mempresentasikan
anti gen kepada sel-T khususnya melalui jalur MHC kelas-II (Kardjito. 1996).

Selama imunitas yang di dapat berkembang untuk mempercepat aktivasi


makrofag/monosit, terjadilah bakteremia. Basil menggunakan makrofag sebagai
sarana untuk menyebar dan selanjutnya tumbuh dan menetap pada sel-sel fagosit di
berbagai organ tubuh. Peristiwa ini akan terjadi bila sel-T spesifik yang teraktivasi
pada limfonodi mengalami resirkulasi dan melewati lesi yang meradang yang
selanjutnya akan membentuk granuloma. Pada peristiwa ini TNF memegang peranan
yang sangat vital. Bila respon imun yang di dapat berkembang tidak adekuat maka
akan timbul manifestasi klinis akibat penyebaran basil yang berupa tuberkulosis
milier atau tuberkulosis meningen. Granuloma merupakan mekanisme pertahanan
utama dengan cara membatasi replikasi bakteri pada fokus infeksi. Granuloma
terutama terdiri atas makrofag dan sel-T. Selama interaksi antara anti gen spesifik
dengan sel fagosit yang terinfeksi pada berbagai organ, sel-T spesifik memproduki
IFN- dan mengaktifkan fungsi anti mikroba makrofag. Dalam granuloma terjadi
enkapsulasi yang di picu oleh fibrosis dan kalsifikasi serta terjadi nekrosis yang
menurunkan pasokan nutrien dan oksigen, sehingga terjadi kematian bakteri. Akan
tetapi sering terjadi keadaan di mana basil tidak seluruhnya mati tapi sebagian masih
ada yang hidup dan tetap bertahan dalam bentuk dorman. Infeksi yang terlokalisir
sering tidak menimbulkan gejala klinis dan bisa bertahan dalam waktu yang lama
(Kardjito. 1996).
Pada tuberkulosis post primer, pertahanan tubuh di dominasi oleh
pembentukan elemen nekrotik yang lebih hebat dari kasus infeksi primer. Elemen-
elemen nekrotik ini akan selalu dikelurkan sehingga akhirnya akan terbentuk kavitas.
Limfadenitis regional jarang terjadi, M. tuberculosis menetap dalam makrofag dan
pertumbuhannya di kontrol dalam fokus-fokus yang terbentuk. Pembentukan dan
kelangsungan hidup granuloma di kontrol oleh sel-T, di mana komunikasi antara sel-T
dan makrofag di perantarai oleh sitokin. IL-1, TNF-, GM-CSF, TGF-, IL-6, INF-
dan TNF- merupakan sitokin yang mengontrol kelangsungan granuloma, sebaliknya
IL-4, IL-5 dan IL-10 menghambat pembentukan dan perkembangan granuloma
(Kardjito. 1996).

Proses aktivasi makrofag oleh sitokin merupakan faktor sentral dalam imunitas
terhadap tuberkulosis. Pada sistem ini, INF- telah di identifikasikan sebagai sitokin
utama untuk mengaktivasi makrofag, yang selanjutnya dapat menghambat
pertumbuhan patogen ini. Pembentukan granuloma dan kavitas di pengaruhi oleh
berbagai macam sitokin sebagai hasil interaksi antara sel-T spesifik, makrofag yang
teraktivasi dan berbagai macam komponen bakterial (Kardjito. 1996).

2.6 Cara pemusnahan atau eliminasi tuberculosia dari tubuh


2.6.1 pengendalian
Pengendalian infeksi M. bovis pada manusai dapat dilakukan dengan
pastuerisasi susu, vaksinasi dengan BCG, pengendalian dan eradikasi tuberculosis
pada sapi. Pengendalian yang utama dalam pencegahan M. bovis adalah dengan
pembuatan program pengendalian dan pembasmian tuberculosis pada sapi. Tindakan
eradikasi biasanya berupa uji tuberkulin secara berulang sampai semua kasus
tuberculosis tidak ditemukan lagi dan memisahkan reaktor dari kawanannya. Tetapi
pada kenyataannya pelaksanaan ini sangat sulit dilakukan karena kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang tuberculosis dan biaya yang cukup mahal untuk
melakukan uji tuberkulin pada sapi secadara berulang. Bahan yang paling efektif
dalam membunuh bakteri TBC adalah senyawa phenol 2-3%, kresol 2-3% atau
ortophenil 1%. Desinfektan ini digunakan untuk membersihkan kandang dan
peralatan lainnnya (Poeloengan.2008).

 Pencegahan dini
Pendidikan kesehatan Yaitu dengan cara dilakukannya penyampaian
kepada masyarakat tentang pengetahuan ilmiah dasar tentang faktor-faktor
yang menyebabkan penyakit tuberculosis. Penyampaian ini harus dirancang
dengan baik, dan disampaikan oleh orang-orang yang mengetahui adat
istiadat, pola dan latar belakang budaya setempat (Poeloengan.2008).

 Perlindungan individual
Pekerja-pekerja dipeternakan sapi, kebun binatang maupun di
laboratorium yang selalu kontak dengan hewan yang rentan terinfeksi
tuberculosis harus dilindungi. Perlindungan ini bisa berupa penggunaan
pakaian pelindung, kenyamanan dalam bekerja, pengetahuan tentang
keselamatan kerja, kesehatan dan kebersihan pribadi. Pekerja juga harus
diperhatikan kesehatannya dengan memeriksakan ke dokter secara berkala
(Poeloengan.2008).

 Imunisasi terhadap tuberculosis


Yaitu dengan melakukan vaksinasi terutama pada bayi dan anak-anak
dengan vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerin). Vaksin ini berupa M. bovis
hidup yang telah diatenuasikan, aman dan sangat kuat dalam melindungi
manusia terhadap infeksi M. bovis dan M. tuberculosis. Vaksin ini cukup
aman dan dapat mencegah 80% kasus Tuberculosisparu-paru dan 100%
meningitis tuberculosa. Revaksinasi dianjurkan dilakukan dalam interval 5, 10
dan 15 tahun. Vaksin BCG tidak memberikan perlindungan yang baik pada
sapi dan hewan eksotik. Tindakan vaksinasi BCG pada sapi akan mengganggu
uji tuberkulinasi karena akan bereaksi (Poeloengan.2008).
 Pemberian kemoprofilaksis
1. Menurut DINAS KESEHATAN DKI JAKARTA(2002)
pencegahan agar tidak tertular kepada orang lain:
Penderita tuberculosa paru:
• Minum obat secara teratur sampai selesai
• Menutup mulut waktu bersin atau batuk
• Tidak meludah di sembarang tempat
• Meludah di tempat yang kena sinar matahari atau di tempat
yang diisi sabun atau karbol/lisol

2. Untuk keluarga:
• Jemur tempat tidur bekas penderita secara teratur
• Buka jendela lebar-lebar agar udara segar & sinar matahari
dapat masuk
• Kuman TBC akan mati bila terkena sinar matahari
Pencegahan yang lain
• Imunisasi BCG pada bayi
• Meningkatkan daya tahan tubuh dengan makanan bergizi

2.6.2 Pengobatan
Pengobatan TBC hanya dilakukan pada penderita manusia, karena wadah
sumber (reservoir) TBC justru terutama adalah amnusia, baru kmudian ternak sapi
perah. Dihidrosteptomisin cukup efektif untuk membunuh bakteri TBC. Obat lain
yang bisa diberikan adalah Etambutol dan Rifampisin (Poeloengan.2008).

Tiga prinsip pengontrolan TBC di bidang veteriner:


1. Test and Slaughter
Ternak sapi yang dinyatakan TBC dengan uji tuberkulin, maka sapi
tersebut dipotong. Cara ini dilakukan hampir di semua negara.

2. Test and Segragation


Metode ini merupakan modifikasi dari butir 1 yang biasa dilakukan di
negera-negara Eropa. Penderita yang positif TBC di[pisahkan dan diisolasi,
dan kalau dapat diupayakan untuk dilakukan pengobatan.

3. Test and Chemoterapy


Yaitu upaya pengobatann dengan menggunakan INH (Isoniazil).
Metode ini beresiko gagal tinggi, karena > 205% kasus refraksi, melahirkan
strain tahan obat. Bahaya lainnnya yaitu susu yang dihailkan akan terdapat
residu INH, apabila chemoterapy ini dihentikan, maka sering menyebabkan
penyakit timbul kembali. Keberhasilan dalam penanganan TBC ini dipengarihi
oleh beberapa faktor:
a) Sarana dan prasarana dalam melakukan pengobatan
b) Obat yang diberikan merupakan obat terbaiak tetapi harus dapat terjangkau
oleh penderita
c) Diadakannnya penyuluhan kepada masyarakat dan keluarga tentang TBC
d) Ada tidaknya penyakit lain yang diidap oleh penderita seperti kencing
manis dan HIV.

BAB III
PENUTUP

3.1Kesimpulan
Tubercolosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yaitu sejenis basil aerobik
yang non-motil Transmisi umumnya terjadi dari seseorang ke orang yang lainnya melalui
droplet dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang
terkontaminasi..Tubuh manusia mempunyai suatu sistem imun yang bertujuan melindungi
tubuh dari serangan benda asing. Respons imun proteksi utama terhadap kuman intraseluler
adalah cell mediated immunity (CMI) atau imuniti seluler. Imuniti seluler terdiri atas dua tipe
reaksi yaitu fagositosis (oleh makrofag teraktivasi) dan lisis sel terinfeksi (oleh
limfositTsitolitik). Respon imun seluler lebih banyak memegang peranan dalam pertahan
tubuh terhadap infeksituberkulosis. Pengobatan TBC hanya dilakukan pada penderita
manusia, karena wadah sumber (reservoir) TBC justru terutama adalah amnusia, baru
kmudian ternak sapi perah dengan pemberian Obat Etambutol dan Rifampisin.
DAFTAR PUSTAKA

Beamen GI. Interleukin 10 Promotor Mycobacterium tuberculosis Disease Progression in


CBA/ a Mice. The Journal of Immunology. The American Association of
Immunologist. 2008.

Fatmasari, Ayinun Riska.2007.Efek imunostimulasi ekstrak air herbal pegagan.Deartemen


farmasi.

Handayani, Elva Tri.2011.Pemeriksaan mikroskopis BTA ada asien diduga TB paru di balai
kesehatan paru masyarakat wilayah semarang pada bulan maret-april
2011.Semarang:Universitas Muhammadiyah Semarang

Indah A 2013. Hubungan tuberkulosis dengan diabetes melitus. RSUP Gatot Subroto Jakarta.

Laurens A. Ravn P. Agger A. Pollock J. Andersen P 2000. Diagnosis of tuberculosis based on


the two specific antigens ESAT-6 and CFP-10. Clinical and Vaccine
Immunology. 7(2):155.doi:10.1128/CDLI.7.2.155-160.

Vankayalapati R. Serum Cytokines Concentration Do Not Parallel Mycobacterium


tuberculosis-Induced Cytokines Production In Patients with Tuberculosis.
Infection Disease Society of America. 2002.

Poeloengan, Masniari. 2008. Bahaya dan Pengendalian Tubercolosis. Balai Besar Veteriner.

Bogor, 16114
Redford PS, Murray PJ. O’ga A. The Role of IL10 in Immune Regulation during M.
tuberculosis Infection.Mucosal Immunolog
Yustikarini, Ni Made.2015. Deteksi mycobacterium tuberculosis dengan primer promoter
inhA dari DNA metagenomik sputum pasiren tuberkulosis. Denpasar:
Universitas Udayana

Anda mungkin juga menyukai