Keluarga Bangsawan
Tak jarang sang ayah memberi pelajaran agama secara langsung kepada Hasan,
terutama pelajaran fiqh. T. Ibrahim selalu mengingatkan anak-anaknya tentang
kewajiban melaksanakan salat lima waktu dan berpuasa pada bulan Ramadhan. Ia juga
memberi pelajaran bahasa Arab. Namun bahasa Arab yang diberikannya tidaklah terlalu
mendalam. Hasan belajar bahasa Arab lebih lanjut dengan ulama tempat kelahirannya
yakni Teungku Nurdin dan lebih memperdalam ketika pindah ke Jakarta. Ketika belajar
Islamologi di Belanda, Hasan menyempatkan diri belajar bahasa Arab dengan Prof.
Wensik dan Prof. Snouck Hurgronje.
Memang kedengarannya aneh, bahwa sementara rakyat Aceh tak pernah bisa
menerima kehadiran Belanda, tapi Hasan justru belajar ke negeri Belanda dan belajar
Islamologi dengan Snouck Hurgronje—orang yang paling berjasa “menjinakkan” Aceh
yang merumuskan “politik Islam” yang menguntungkan kolonialisme Belanda. Mungkin
jawabannya adalah karena policy pemerintah Belanda yang ketika itu ingin memisahkan
antara kelompok keagamaan (ulama) dengan kelompok bangsawan (kaum adat). Hasan
berasal dari kaum bangsawan. Dengan memberi kesempatan belajar ke luar negeri
(Nederland), Belanda ingin agar nantinya ia dapat mendukung kebijakan pemerintah
kolonial. Belanda tidak pernah memberi kesempatan seperti ini kepada anak para
ulama di Aceh. Bagi Hasan, menuntut ilmu itu hukumnya wajib walau “harus ke negeri
Cina.” Ia tidak mempunyai sikap fanatisme sempit. Namun ironisnya, Hasan kemudian
justru melawan kekuasaan Belanda.
Pendidikan Umum
Setelah menamatkan SR, Hasan dibawa ke Sigli dan amsuk sekolah dasar
Belanda, Hollandsch Inlandsche School (HIS). Karena sekolah ini menggunakan bahasa
Belanda dan Hasan belum mengenal bahasa Belanda ia dimasukkan di kelas 0. Namun
proses adaptasi yang cepat menyebabkan Hasan dapat mengikuti pelajaran dengan
baik.
Setelah itu, Hasan masuk Koningin Wilhelmina School (KWS) dan melanjutkan ke
Algemeene Middlelbare School (AMS) yang sekarang disebut Sekolah Menengah Umum.
Setelah tamat dari AMS Hasan masuk Rechthoogeschool atau Sekolah Hakim Tinggi,
yang sekarang sejajar dengan Fakultas Hukum, di Belanda. Minatnya masuk ke sekolah
hukum ini dipengaruhi karibnya yakni Hanafiah. Ia memberi saran kepada Hasan agar
memilih fakultas Hukum karena hampir semua gubernur jenderal berlatarbelakang
akademik sarjana hukum (Mr). Saran sahabat karibnya dilaksanakan oleh Hasan.
Aktif di Pergerakan
Pada 1931 Hasan pergi ke Belanda untuk belajar hukum di Rijk Universiteit,
Leiden. Di negeri ini ia tidak ahnya belajar tapi juga aktif dalam kegiatan politik. Ia
menghadapi rapat-rapat Perhimpunan Indonesia (PI) meskipun sering diadakan di luar
kota Leiden. Hasan pernah turut dengan rombongan PI ke Amsterdam guna
mengadakan rapat anti kolonialisme. Pada 1932 Hasan juga turut rombongan PI ke
Rotterdam berhubung untuk menemui Mohammad Hatta.
Surat balasan Hasan di atas yang secara tegas menolak kerjasama dengan
Belanda kemudian oleh Jongejans dikirim kepada Gubernur Aceh di Kutaraja dan
disimpan di map khusus, dengan diberi catatan bahwa Hasan adalah anti Belanda dan
harus diawasi secara khusus.
Meskipun aktif dalam pergerakan, hal itu tidak sampai menggagalkan studi
hukumnya. Hal itu terbukti bahwa pada 1933 ia telah menyelesaikan studinya. Setelah
itu ia kembali ke Aceh. Namun sebelum pulang, ia sempat singgah di Mesir untuk belajar
agama dengan Nur Ibrahimi (menantu Daud Beureueh) yang sedang memperdalam
studi Islam di University Al-Azhar, Kairo. Setelah ia pulang ke tempat kelahirannya.
Piagam Jakarta
Karena Hasan berasal dari Aceh, yang dianggap sebagai pusat perlawanan Islam
terhadap kolonialisme Belanda, dan ia sendiri juga mempunyai pengetahuan agama
yang memadai dan pendidikan umum yang baik serta keterlibatannya dalam
menentang pemerintah Belanda, Hasan diperhitungkan dalam struktur birokrasi
pemerintah RI setelah maupun sesudah merdeka, yakni ketika terjadi keputusan
penghapusan tujuh kata keramat Piagam Jakarta yang menyangkut kepentingan bangsa.
Wakil-wakil Islam itu diundang tidak terlepas dari keterangan yang diperoleh
Hatta dari pihak Jepang, bahwa rakyat Kristen di daerah Indonesia Timur akan menolak
masuk dalam RI yang diproklamasikan bila tetap mempertahankan tujuh kata tersebut
dalam konstitusi. Mereka menganggap rumusan Piagam Jakarta cenderung
diskriminatif.
Di antara keempat wakil Islam, Ki Bagus Hadikusumo adalah yang paling keras
menolak dihapuskannya tujuh kata dari Piagam Jakarta. Soekarno-Hatta juga sulit
menghadapi kekukuhan pendapat Ki Bagus Hadikusumo.
Hasan mengatakan: “Kita tidak perlu takut, mengingat jumlah ummat Islam
adalah 90 %. Kalau kita banyak, kita tidak perlu cemas. Yang penting adalah merdeka
dulu. Setelah itu terserah kita, mau dibawa kemana negara ini.”
Hasan kemudian melanjutkan: “Yang penting bagi bangsa ini merdeka lebih
dahulu; rakyat kita cukup besar, tak ada yang mampu menggoyahkannya, meskipun
tujuh kata itu dihapus. Kalau kita bersikeras, kemungkinan perang masih tetap ada.
Mungkin Belanda akan mempersenjatai mereka. Meskipun kita menang, karena jumlah
kita banyak, lalu kapan kita merdeka.”
Sewaktu menjabat Menteri Agama, tidak ada fasilitas sama sekali, baik berupa
kantor maupun dana kegiatan. Semuanya dilakukan serba darurat dan bertujuan untuk
menghidupkan negara RI. Perjuangan Hasan pada masa ini luar biasa. Bersama
rombongannya ia berjuang keluar masuk hutan demi negara.
Sebagai menteri agama pada masa darurat, Hasan tidak mengenal tidur di
tempat yang enak. Ia dan rombongan justru tidur di hutan belukar, di atas lantai dahan
kayu dengan atap ranting dan dedaunan. Tengah malam, mereka terkadang disiram
hujan lebat, sering tidak bisa tidur nyenyak dan kelaparan. Mereka pernah tidur di
sebuah pondopo kecil di pinggir anak Sungai Batanghari dan dikelilingi banyak kecoa.
Mereka berjalan kaki menaiki perbukitan, menyeberangi sungai deras dengan
barang-barang bawaan yang berat. Namun setelah tiba di sebuah perkampungan,
mereka disambut dengan rasa persaudaraan yang mendalam oleh penduduk setempat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PDRI adalah kabinet perang atau
kabinet gerilya. PDRI merupakan kabinet tanpa kedudukan yang menetap, tetapi terus-
menerus mobile dan berpindah-pindah. Namun kementerian-kementeriannya termasuk
Kementerian Agama merupakan mata rantai penting dari rangkaian perjuangan RI.
Berpulang ke Rahmatullah
Selain menjadi Menteri Agama pada masa pemerintahan darurat, hasan juga
pernah memegang beberapa jabatan pemerintah lainnya, seperti Gubernur Sumatera
dan panitia Penyelidikan Peraturan dan hukum Perkawinan, Talak dan rujuk pada
1950-1957.