Anda di halaman 1dari 7

Appendiks

TEUKU MOEHAMMAD HASAN;


Menteri Agama Kabinet PDRI
Dwi Purwoko

Proses sosialisasi baik yang bersifat internal, lingkungan keluarga, maupun


bersifat eksternal, lingkungan sosial masyarakat dan kondisi negara, terkadang
mempengaruhi sikap politik seseorang. Kedua unsur tersebut saling terkait sehingga
dapat memperjelas persepsi dan tingkah laku seseorang dalam melaksanakan tugasnya.

Demikian halnya dengan Teuku Moehammad Hasan. Dalam mencapai jenjang


karier politiknya tidak terlepas dari didikan keluarganya sejak kecil. Arah pendidikan
keluarga yang menekankan pendidikan umum dan agama membentuk kepribadiannya.
Lingkungan sosial Aceh yang terkenal dengan julukan Serambi Mekkah telah
mendorong dirinya untuk memahami nilai-nilai keislaman. Dan kondisi kenegaraannya
yang terkadang telah sampai ke jurang kehancuran mendorong dirinya untuk segera
bertindak. Ia tampil sebagai Gubernur Sumatera yang pertama dan menjadi seorang
menteri dalam Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang menangani
beberapa bidang sekaligus dan salah satunya adalah agama.

Keluarga Bangsawan

Hasan, demikian panggilan akrabnya, dilahirkan pada 4 April 1906. Ia adalah


anak pasangan T. Bintara Pineung Ibrahim (ayah) dan Cut Maayak (ibu). T. Ibrahim
adalah Uluebalang (zelfbestuurder) di landschap Pineung, Aceh.

Hasan menghabiskan masa kecilnya di tanah kelahirannya, desa Peukan Set,


Sigli, Aceh. Sejak kecil Hasan telah memperoleh pendidikan agama. Meskipun ayahnya
adalah uluebalang atau kepala daerah, tapi ia mempunyai perhatian besar terhadap
pendidikan agama, khususnya terhadap anak-anaknya. Bahkan ayahnya mendirikan
pesantren Blang Paseh yang cukup terkenal di Peukan Sigli. Ia mendatangkan seorang
ulama yang masih mempunyai pertalian darah (kakak ibu Hasan), yakni Teungku M. Ali
Basyah yang juga wakil kadi.

Tak jarang sang ayah memberi pelajaran agama secara langsung kepada Hasan,
terutama pelajaran fiqh. T. Ibrahim selalu mengingatkan anak-anaknya tentang
kewajiban melaksanakan salat lima waktu dan berpuasa pada bulan Ramadhan. Ia juga
memberi pelajaran bahasa Arab. Namun bahasa Arab yang diberikannya tidaklah terlalu
mendalam. Hasan belajar bahasa Arab lebih lanjut dengan ulama tempat kelahirannya
yakni Teungku Nurdin dan lebih memperdalam ketika pindah ke Jakarta. Ketika belajar
Islamologi di Belanda, Hasan menyempatkan diri belajar bahasa Arab dengan Prof.
Wensik dan Prof. Snouck Hurgronje.

Memang kedengarannya aneh, bahwa sementara rakyat Aceh tak pernah bisa
menerima kehadiran Belanda, tapi Hasan justru belajar ke negeri Belanda dan belajar
Islamologi dengan Snouck Hurgronje—orang yang paling berjasa “menjinakkan” Aceh
yang merumuskan “politik Islam” yang menguntungkan kolonialisme Belanda. Mungkin
jawabannya adalah karena policy pemerintah Belanda yang ketika itu ingin memisahkan
antara kelompok keagamaan (ulama) dengan kelompok bangsawan (kaum adat). Hasan
berasal dari kaum bangsawan. Dengan memberi kesempatan belajar ke luar negeri
(Nederland), Belanda ingin agar nantinya ia dapat mendukung kebijakan pemerintah
kolonial. Belanda tidak pernah memberi kesempatan seperti ini kepada anak para
ulama di Aceh. Bagi Hasan, menuntut ilmu itu hukumnya wajib walau “harus ke negeri
Cina.” Ia tidak mempunyai sikap fanatisme sempit. Namun ironisnya, Hasan kemudian
justru melawan kekuasaan Belanda.

Pendidikan Umum

Selain mempelajari pengetahuan agama, T. Ibrahim juga selalu menekankan


pentingnya pendidikan umum kepada anaknya. Karena itu ia menyekolahkan anaknya
ke Sekolah Rakyat (SR), yang waktu itu masih di sebut “ sekolah desa” di lampoih Saka
pada tahun 1915. Meskipun Hasan berasal dari kalangan bangsawan tapi ia dimasukkan
di Sekolah Rakyat agar dapat banyak bergaul dengan bangsanya dan merasakan nasib
murid lainnya.

Setelah menamatkan SR, Hasan dibawa ke Sigli dan amsuk sekolah dasar
Belanda, Hollandsch Inlandsche School (HIS). Karena sekolah ini menggunakan bahasa
Belanda dan Hasan belum mengenal bahasa Belanda ia dimasukkan di kelas 0. Namun
proses adaptasi yang cepat menyebabkan Hasan dapat mengikuti pelajaran dengan
baik.

Setelah itu, Hasan masuk Koningin Wilhelmina School (KWS) dan melanjutkan ke
Algemeene Middlelbare School (AMS) yang sekarang disebut Sekolah Menengah Umum.
Setelah tamat dari AMS Hasan masuk Rechthoogeschool atau Sekolah Hakim Tinggi,
yang sekarang sejajar dengan Fakultas Hukum, di Belanda. Minatnya masuk ke sekolah
hukum ini dipengaruhi karibnya yakni Hanafiah. Ia memberi saran kepada Hasan agar
memilih fakultas Hukum karena hampir semua gubernur jenderal berlatarbelakang
akademik sarjana hukum (Mr). Saran sahabat karibnya dilaksanakan oleh Hasan.

Sebelumnya, Hasan ingin melanjutkan pendidikannya di Sekolah Teknik (yang


sekarang menjadi ITB), mengingat sejak sekolah dasar hingga lanjutan atas, ia menyukai
pelajaran Aljabar dan memperoleh angka yang baik. Akan tetapi saran Hanafiah
tersebut ada benarnya. Dalam perkembangan selanjutnya, Hasan pernah menjadi
Gubernur yang berkuasa penuh atas Sumatera—jabatan yang dapat disamakan dengan
Gubernur Jenderal pada masa kolonial. Hal ini karena segala peraturan, peradilan dan
urusan-urusan pemerintah, semuanya dipercayakan kepada Hasan ketika menjabat
sebagai Gubernur Sumatera. Pendidikan hukumnya sangat berguna bagi Hasan dalam
memahami sistem ketatanegaraan.

Aktif di Pergerakan

Pada 1931 Hasan pergi ke Belanda untuk belajar hukum di Rijk Universiteit,
Leiden. Di negeri ini ia tidak ahnya belajar tapi juga aktif dalam kegiatan politik. Ia
menghadapi rapat-rapat Perhimpunan Indonesia (PI) meskipun sering diadakan di luar
kota Leiden. Hasan pernah turut dengan rombongan PI ke Amsterdam guna
mengadakan rapat anti kolonialisme. Pada 1932 Hasan juga turut rombongan PI ke
Rotterdam berhubung untuk menemui Mohammad Hatta.

Selama di Leiden, Hasan pernah menerima surat dari Assisten Residen J.


Jongejans di Sigli (Aceh) yang isinya mengajak Hasan bekerjasama demi kepentingan
Indonesia. Surat Jongejans itu dibalas Hasan dengan menyatakan bahwa kerjasama
antara Belanda dan Indonesia adalah hal yang mustahil karena Belanda adalah
pemerintah dan Indonesia adalah yang diperintah. Dari sisi budaya pun jelas berbeda;
Belanda menghalalkan minum-minuman keras, sedangkan Indonesia terutama Rakyat
Aceh sangat anti terhadap perilaku semacam itu karena Islam mengharamkannya.

Surat balasan Hasan di atas yang secara tegas menolak kerjasama dengan
Belanda kemudian oleh Jongejans dikirim kepada Gubernur Aceh di Kutaraja dan
disimpan di map khusus, dengan diberi catatan bahwa Hasan adalah anti Belanda dan
harus diawasi secara khusus.

Meskipun aktif dalam pergerakan, hal itu tidak sampai menggagalkan studi
hukumnya. Hal itu terbukti bahwa pada 1933 ia telah menyelesaikan studinya. Setelah
itu ia kembali ke Aceh. Namun sebelum pulang, ia sempat singgah di Mesir untuk belajar
agama dengan Nur Ibrahimi (menantu Daud Beureueh) yang sedang memperdalam
studi Islam di University Al-Azhar, Kairo. Setelah ia pulang ke tempat kelahirannya.

Selama di Aceh, ia sering mengunjungi keluarga, pedagang, uleebalang dan


ulama. Ia sering dimintai bantuan oleh para pedagang besar di Sigli, khususnya dalam
mengurus masalah perizinan perdagangan. Sedangkan dengan para ulama ia sering
mendiskusikan hukum Barat dan hukum Islam.

Kedekatan Hasan dengan rakyat, keluarga bangsawan dan kalangan ulama


menimbulkan rasa kekhawatiran Belanda. Tidak mengherankan bila kemudian
pemerintah mengirimnya ke Batavia (Jakarta) dengan dalih mencarikan pekerjaan.

Piagam Jakarta
Karena Hasan berasal dari Aceh, yang dianggap sebagai pusat perlawanan Islam
terhadap kolonialisme Belanda, dan ia sendiri juga mempunyai pengetahuan agama
yang memadai dan pendidikan umum yang baik serta keterlibatannya dalam
menentang pemerintah Belanda, Hasan diperhitungkan dalam struktur birokrasi
pemerintah RI setelah maupun sesudah merdeka, yakni ketika terjadi keputusan
penghapusan tujuh kata keramat Piagam Jakarta yang menyangkut kepentingan bangsa.

Ketika Jepang menyampaikan janji kemerdekaan, Hasan bersama Dr.


Moehammad Amir dan Mr. Abdul Abbas diangkat pemerintah Jepang sebagai utusan
Sumatera pada Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesa (PPKI). Sebelum
sidang dimulai, masalah yang mengganjal adalah adanya tujuh kata “dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta yang telah
ditetapkan Badan penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Kisahnya bermula pada pagi hari, 18 agustus 1945, sebelum sidang PPKI dimulai, Hatta
mengundang para anggota PPKI yang dianggap mewakili Islam untuk meninjau kembali
perumusan tujuh kata tersebut. Wakil Islam yang diundang terdiri dari Ki Bagus
Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo dan Teuku Moehammad Hasan.

Wakil-wakil Islam itu diundang tidak terlepas dari keterangan yang diperoleh
Hatta dari pihak Jepang, bahwa rakyat Kristen di daerah Indonesia Timur akan menolak
masuk dalam RI yang diproklamasikan bila tetap mempertahankan tujuh kata tersebut
dalam konstitusi. Mereka menganggap rumusan Piagam Jakarta cenderung
diskriminatif.

Di antara keempat wakil Islam, Ki Bagus Hadikusumo adalah yang paling keras
menolak dihapuskannya tujuh kata dari Piagam Jakarta. Soekarno-Hatta juga sulit
menghadapi kekukuhan pendapat Ki Bagus Hadikusumo.

Hatta kemudian mencari Hasan dan menjelaskan kepadanya tentang kekokohan


Ki Bagus Hadikusumo untuk mempertahankan tujuh kata. Hasan pun dipanggil Sukarno
untuk membicarakan masalah itu. Kemudian Hatta menunjuk Hasan yang dianggap
mampu berdiplomasi untuk melunakkan sikap Ki Bagus Hadikusumo. Hatta percaya
pada Hasan karena ia orang Aceh, taat menjalankan agama dan mengetahui masalah
agama serta mempunyai kemampuan dalam berdiplomasi.

Hasan kemudian menemui Ki Bagus Hadikusumo dan menyarankan agar


melunakkan sikapnya. Hasan mengingatkan Ki Bagus Hadikusumo agar tidak sekedar
melihat kepentingan “kelompoknya”, tapi harus melihat kepentingan nasional. Hasan
menekankan bahwa yang terpenting adalah kemerdekaan. Menurut Hasan, bila kita
terus mempertahankan kepentingan sepihak, bisa-bisa orang Kristen dipersenjatai
Belanda. Padahal, yang kita cari adalah kemerdekaan, bukan berperang.

Hasan mengatakan: “Kita tidak perlu takut, mengingat jumlah ummat Islam
adalah 90 %. Kalau kita banyak, kita tidak perlu cemas. Yang penting adalah merdeka
dulu. Setelah itu terserah kita, mau dibawa kemana negara ini.”
Hasan kemudian melanjutkan: “Yang penting bagi bangsa ini merdeka lebih
dahulu; rakyat kita cukup besar, tak ada yang mampu menggoyahkannya, meskipun
tujuh kata itu dihapus. Kalau kita bersikeras, kemungkinan perang masih tetap ada.
Mungkin Belanda akan mempersenjatai mereka. Meskipun kita menang, karena jumlah
kita banyak, lalu kapan kita merdeka.”

Tampaknya argumen Hasan tersebut diterima Ki Bagus Hadikusumo. Setelah Ki


Bagus menyetujuinya, Hasan kemudian segera melaporkan hasil pembicaraannya
kepada Soekarno-Hatta. Diterimanya penghapusan tujuh kata dari Piagam Jakarta
adalah untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Dan ini merupakan
pengorbanan yang besar dari ummat Islam.

Menjadi Menteri Agama

Setelah merdeka, Hasan menjabat Gubernur Sumatera yang pertama. Ketika


Yogyakarta sebagai ibu kota RI jatuh ke tangan Belanda dan Sukarno-Hatta sebagai
Presiden dan Wakil Presiden ditawan, Hasan memerintahkan para pejabat tinggi
Sumatera untuk berkumpul pada malam hari dan bersama-sama berangkat ke Halaban,
dekat Bukit Tinggi. Di Halaban inilah PDRI diproklamirkan pada 22 Desember 1949.

Integritas keagamaan dan mengutamakan kepentingan nasional terlihat ketika


Hasan menerima jabatan sebagai Menteri Agama pada masa PDRI. Pada masa ini, selain
dipercaya menjadi Menteri Agama ia juga merangkap sebagai Wakil Ketua PDRI,
Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Sewaktu menjabat Menteri Agama, tidak ada fasilitas sama sekali, baik berupa
kantor maupun dana kegiatan. Semuanya dilakukan serba darurat dan bertujuan untuk
menghidupkan negara RI. Perjuangan Hasan pada masa ini luar biasa. Bersama
rombongannya ia berjuang keluar masuk hutan demi negara.

Selam bergerilya, Hasan menyamar sebagai pejabat agama sambil memakai


sarung, tongkat, tudung dan memelihara kumis dan jenggot. Penyamaran tersebut
terpaksa dilakukan, sebab bila tidak, akan mudah diketahui kaki tangan Nica yang
segera melaporkannya kepada tentara Belanda. Tetapi tetap saja ia masih dikenali
orang-orang tertentu. Meskipun Hasan berjalan dengan seorang pengiring saja,
sedangkan pengawal dan pengiring lain berjalan jauh di belakangnya, mereka yang
mengenalinya tetap memberi hormat.

Sebagai menteri agama pada masa darurat, Hasan tidak mengenal tidur di
tempat yang enak. Ia dan rombongan justru tidur di hutan belukar, di atas lantai dahan
kayu dengan atap ranting dan dedaunan. Tengah malam, mereka terkadang disiram
hujan lebat, sering tidak bisa tidur nyenyak dan kelaparan. Mereka pernah tidur di
sebuah pondopo kecil di pinggir anak Sungai Batanghari dan dikelilingi banyak kecoa.
Mereka berjalan kaki menaiki perbukitan, menyeberangi sungai deras dengan
barang-barang bawaan yang berat. Namun setelah tiba di sebuah perkampungan,
mereka disambut dengan rasa persaudaraan yang mendalam oleh penduduk setempat.

Meskipun kementerian agama berada dalam keadaan darurat, tugas menteri


agama tetap ada. Hal ini terlihat dari maklumat yang dikeluarkan Hasan berkaitan
dengan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri. Pada 25 Juni 1949 Mr. Teuku
Moehammad Hasan selaku Menteri Agama PDRI menyampaikan telegram kepada
Komisaris Pemerintah Sumatera dan Gubernur Militer Sumatera yang isinya
menetapkan awal Ramadhan hari Senin, 27 Juni 1949 dan awal Syawal 1368 H. (hari
raya Idul Fitri) jatuh pada Rabu, 27 Juli 1949.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PDRI adalah kabinet perang atau
kabinet gerilya. PDRI merupakan kabinet tanpa kedudukan yang menetap, tetapi terus-
menerus mobile dan berpindah-pindah. Namun kementerian-kementeriannya termasuk
Kementerian Agama merupakan mata rantai penting dari rangkaian perjuangan RI.

Berpulang ke Rahmatullah

Selain menjadi Menteri Agama pada masa pemerintahan darurat, hasan juga
pernah memegang beberapa jabatan pemerintah lainnya, seperti Gubernur Sumatera
dan panitia Penyelidikan Peraturan dan hukum Perkawinan, Talak dan rujuk pada
1950-1957.

Di antara mantan menteri-menteri agama, Hasan dikaruniai umur paling


panjang, 91 tahun. Masa tuanya dihabiskan untuk beribadah. Baginya ibadah adalah
kebutuhan rohani. Baginya, salat lima waktu yang merupakan bagian dari syariat Islam
adalah yang paling pokok dalam ibadah, sebab dengan salat jiwa orang akan terbentuk
menjadi jujur, arif dan bijaksana yang semuanya merupakan modal penting dalam
perjalanan hidupnya.

Perhatiannya dalam masalah ibadah juga diimplementasikan dengan


membentuk Yayasan Kurnia di mana ia menjadi ketuanya. Tujuan yayasan ini adalah
untuk memberi bantuan perbaikan rumah ibadah, membantu fakir miskin dan yatim
piatu serta membantu pelajar, terutama yang berasal dari Aceh, yang kurang mampu
membiayai uang sekolahnya. Ia menjadi Ketua umum Yayasan pembangunan Serambi
Mekkah yang telah berhasil mendirikan Perguruan Tinggi Serambi Mekkah di Banda
Aceh. Perguruan Tinggi ini merupakan perpaduan antara pendidikan umum dan agama.
Hasan sengaja menggabungkan kedua unsur tersebut mengingat antara agama dan ilmu
pengetahuan tidak bisa dipisahkan. Tidaklah mengherankan bila di perguruan tinggi ini
terdapat Fakultas Teknik dan Tarbiah yang mendapat respons besar dari masyarakat.

Meskipun aktifitas sosial keagamaan pada masa tuanya cukup banyak, ia


terhindar dari publikasi pers. Hasan yang memperoleh penghargaan Bintang Maha
Putera Adhi Pradana dari pemerintah RI kini telah tiada. Kepergian Hasan untuk
selamanya pada 21 September 1997 juga tidak banyak diketahui pers. Namun pada
kesempatan tersebut Menteri Agama Tarmizi Taher turut melakukan sembahyang
jenazah.***

Anda mungkin juga menyukai