Anda di halaman 1dari 2

CARA GUS DUR MENGKADER KAMI …PERTAMA KALI!

Oleh Ahmad Baso

Suatu hari di akhir tahun 1985, Gus Dur diundang berceramah oleh Rektor IKIP
Makassar, Prof. Dr. HP. Parawangsah, dan Gubernur Sulawesi Selatan waktu itu, Prof.
Dr. H. A. Amiruddin. Gus Dur berangkat ke IKIP dan dijamu sarapan pagi, sambil
berdiskusi dengan Amiruddin terkait berbagai hal yang dihadapi bangsa Indonesia.
Setelah penjemput dari IKIP datang, Gubernur mengantar Gus Dur ke bawah dijemput
oleh Wakil Gubernur HZB Palaguna. Ahmad Amiruddin meminta Palaguna
mendampingi Gus Dur ke IKIP, sambil berujar: “Dampingi dia ya! Dia orang pintar!”

Di atas mobil dalam perjalanan menuju IKIP, Gus Dur bertanya kepada panitia, “Tema
apa yang akan saya bawakan dalam ceramah nanti ?”. “Temanya, Transformasi Sosial
menuju Masa Depan Indonesia”, jawab H. Abdurrahman, salah seorang panitia yang
waktu itu pengurus NU wilayah Sulawesi Selatan. Sampai di IKIP, Gus Dur dijemput oleh
Rektor IKIP di rumah jabatan. Setelah minum teh, Gus Dur diantar ke gedung Serba
Guna, dan disambut oleh Civitas Academika IKIP dan ratusan mahasiswa yang
memenuhi aula gedung.

Usai pidato penyambutan oleh Rektor IKIP, Gus Dur lalu dipersilakan ke mimbar. Pada
awal ceramahnya, mahasiswa menyambut dengan suara gemuruh “Uuuuuuh”. Tetapi
pada pertengahan ceramahnya, hadirin mulai terdiam dan termangu, tampak menyimak
ceramah Gus Dur dari kata per kata. Menjelang akhir ceramahnya, ketika hampir setiap
kalimatnya disambut dengan tepuk tangan yang meriah, Gus Dur menutup ceramahnya
disambut dengan tepuk tangan yang panjang sambil hadirin berdiri mengantarkan Gus
Dur meninggalkan tempat upacara.

Ya, begitulah Gus Dur di Makassar. Di lain kesempatan, akhir Januari 1989, Gus Dur
datang lagi ke Makassar dalam rangka sosialisasi pelaksanaan Muktamar NU di
Yogyakarta akhir tahun 1989. Kali ini Gus Dur menggelar pertemuan dan dialog dengan
para kiai, pengurus NU dan para ulama Makassar. Tempatnya di sebuah pesantren yang
baru berdiri, Pesantren Pondok Madinah asuhan Gurutta KH Sanusi Baco, Lc, kini
Mustasyar PBNU dan Rais Syuriyah PWNU Sulawesi Selatan.

Saya waktu itu hanya seorang santri di Aliyah kelas 2 Pesanten Annahdlah Makassar,
sekitar 3 kilometer dari Pondok Madinah. Kiai saya adalah ketua NU Makassar, dan
butuh seorang santri mendampinginya. Maka jadilah saya yang ditunjuk bersama beliau
ke acara langka bersama cucu pendiri NU itu. Waktu itu nama Gus Dur sudah tidak asing
bagi kaums antri Makassar. Guru-guru kami di pesantren sudah langganan koran Warta
NU. Demikian buku dan majalah yang banyak memuat tulisan dan berita tentang Gus
Dur juga bertebaran.

Sesampai di Pondok Madinah, para hadirin yang datang sudah banyak menunggu Gus
Dur datang. Tapi saya mencari tempat yang lebih dekat dengan panggung kecil tempat
Gus Dur duduk. Kiai saya juga mencari tempat yang lebih dekat, hingga duduk tenang
dan terkagum-kagum mendengarkan ceramah Gus Dur sekitar 1 jam itu.

Pas Gus Dur masuk ruangan, para hadirin berdiri dan berjabat tangan dengan beliau.
Termasuk kiai saya. Saya tidak menduga kiai saya yang kharismatik itu, almaghfurlah
Gurutta KH. Harisah AS, begitu mengagumi Gus Dur, bahkan mengoleksi tulisan-tulisan
Gus Dir di beberapa media, koran, majalah dan buku. Dan saya pun untuk pertama
kalinya menjadi santri pertama beliau yang diperkenalkan langsung dan bertemu
dengan Ketum PBNU ini. Sementara beliau sendiri kenal Gus Dur ketika beliau
menghadiri acara nasional NU pertama kali di Munas NU Situbondo tahun 1983.

Salah satu isi ceramah Gus Dur di depan para kiai Makassar itu adalah mengajak para
kiai mengenal dan menghormati salah seorang nenek moyang Wali Songo, yakni Sayyid
Jamaluddin al Akbari al Husaini atau Syekh Jumadil Kubro, kakek Sunan Ampel di
Surabaya. Menurut Gus Dur, ia mendapat pesan dari kakeknya, Hadratussyekh KH.
Hasyim Asy’ari, supaya menziarahi 27 makam Wali di Indonesia. Keesokan harinya Gus
Dur bersama rombingan pengurus NU datang ke Tosora, Wajo, tempat makam Syekh
Jumadil Kubro itu.

Beginilah sekelumit cara Gus Dur mengkader kiai saya dan saya sekaligus untuk pertama
kalinya dari Makassar! Jangan heran kalau sejak itu kiai saya menjadi Gusdurian, apalagi
santrinya ini yang menulis pengantar buku ini.

Selamat membaca. Semoga barakah.

Anda mungkin juga menyukai