Anda di halaman 1dari 5

TUGAS ILMU PERUNDANG- UNDANGAN

1. PERATURAN YANG TIDAK HIRARKI


Pasal 182 Huruf G UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Yang
Bertentangan Dengan Pasal 28I Ayat 2 Dan Pasal 28J Ayat 2 UUD 1945

Pasal 182 huruf g UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan umum


“Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada
publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”

Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 I ayat 2 UUD 1945


“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun
dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu.”

Dan Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945


“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”

Akibat hukumnya

Dalam pasal 182 huruf g terdapat kalimat “mantan terpidana” yang dalam hal ini
mengandung unsur diskrimansi. Dalam hal ini terusiknya rasa keadilan pada masyarakat
yang pernah melakukan perbuatan tindak pidana yang dilatar belakangi ketidak sengajaan
atau kealpaan ringan (culva levis). Seperti kasus nenek Asyani yang disangkakan mencuri
sepotong kayu jati, diperlakukan sama dengan mantan terpidana yang tindak kejahatannya
dilakukan atas unsur kesengajaan (dolus) dan niat jahat (mens rea), seperti diantaranya
tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian pada masyarakat secara luas.

Saran:
Agar frasa “mantan terpidana” pada pasal 182 huruf g pada UU No.7 tahun 2017 diganti
dan/atau diperjelas maknanya sehingga tidak berlaku pada seluruh mantan terpidana.

2. Peraturan yang tidak Harmonis


Pasal 81 ayat 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
setelah perubahan melalui Perppu No.1 Tahun 2016 bertentangan Pasal 10 KUHP dan
Pasal 71 UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Pasal 81 ayat 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak


setelah perubahan melalui Perppu No.1 Tahun 2016 berbunyi;
“Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai
tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan cip”

Pasal 10 KUHP
Pidana terdiri atas:
a. Pidana pokok:
1. Pidana mati
2. Pidana penjara
3. Pidana kurungan
4. Pidana denda
5. Pidana tutupan
b.Pidana tambahan:
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim

Kika ditelisik dari pidana tambahan dalam KUHP Indonesia, hanya ada 3 hukuman
tambahan dalam KUHP, Mulai dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-
barang tertentu dan pengumuman putusan hakim. Nah jika frasa pencabutan hak-hak
tertentu dalam hukuman tambahan, yang dijadikan landasan dari pemerintah untuk
meloloskan pasal tentang hukuman kebiri dalam Perpu tentang pemberatan hukuman
tambahan bagi pelaku kejahatan seksual anak adalah juga tidak tepat, menjadi tidak tepat
karena dalam pasal 35 KUHP tidak mengatur soal pencabutan hak untuk mempunyai
keturunan tersebut.
Pasal 35 KUHP
(1) Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang
ditentukan dalam Kitab Undang-undang , atau dalam aturan umum lainnya ialah:
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu
2. Hak memasuki angkatan bersenjata
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan
umum
4. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi
wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak
sendiri
5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak
sendiri
6. Hak menjalankan mata pencaharian tertentu

Selain bertentangan dengan KUHP, Hukuman kebiri juga bertentangan dengan pasal 71
UU No 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Pasal 71
(1) Pidana pokok bagi anak terdiri atas;
a. Pidana peringatan
b. Pidana dengan syarat;
1) Pembinaan di luar lembaga
2) Pelayanan masyarakat
3) Pengawasan
c. Pelatihan kerja
d. Pembinaan dalam lembaga;dan
e. Penjara
(2) Pidana tambahan terdiri dari:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana atau
b. Pemenuhan adat
Dari pasal 71 UU No 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, makin jelas bahwa
hukuman kebiri yang dijadikan sebagai hukuman tambahan yang sudah diputuskan oleh
pemerintahtidak memiliki dasar hukumnya sama sekali. Karena tidak hanya bertentangan
dengan hukuman pokok dalam KUHP (lex generalis), tetapi juga bertentangan
dengan hukuman pokok bagi anak dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak (lex
specialis).
Hukuman tambahan lain, selain pasal 35 ayat (1) ke 1,2,3,4,5,6, yang harusnya juga
diakomodir dalam Perppu tentang hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual anak,
adalah hukuman tambahan dalam pasal 71 ayat 2 huruf b, yakni pemenuhan adat.

Akibat Hukum
Jika pasal ini dilaksanakan maka Pemerintah telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)
Jika hal ini diterapkan juga belum tentu menjadikan efek jera bagi pelaku kejahatan

Saran:
 Perkosaan tidak hanya penetrasi kelamin, tapi bisa menggunakan alat-alat yang
berbahaya.Problemnya ada di otak, pikiran, mindset dalam memandang perempuan
 Menyerang martabat dan kodrat manusia (basic human's right)
 Efektivitas hukuman kebiri belum jelas, apakah cukup membuat jera
 Reaktif, menakut-nakuti (mimicry), tidak melalui kajian yang mendalam

Jadi saran saya untuk pidana tambahan kasus kekerasan seksual terhadap anak sebaiknya
berupa dikucilkan dari masyarakat.
Bisa pula hukuman tambahan berupa pidana kerja sosial termasuk pula mengakomodir sanksi
sosial seperti menempelkan foto wajah pelaku tersebut di pusat keramaian seperti bandara,
pelabuhan, mal, stasiun dan pusat keramaian lainnya yang tak lain tujuannya adalah agar efek
Indonesia darurat kekerasan seksual, tapi beda pendapat mengenai tambahan hukuman kebiri.
Karena sudah masuk kejahatan luar biasa, tentu di perlukan berbagai upaya yang luar biasa
untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, setidakntya di mulai dari kita sendiri, bukan
hanya jangan sampai orang-orang di sekitar kita menjadi korban tapi jangan sampai
menjadikan anak-anak kita menjadi pelakunya
TUGAS ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
“Hirarki dan Harmonisasi Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia”
(Dosen: Bpk. Erfanto Sanaf, S.H, M.H)

Disusun oleh:
CHANDRA KIRANA
151.249

UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA


2018

Anda mungkin juga menyukai