Anda di halaman 1dari 11

PORTOFOLIO

SNAKE BITE

Oleh:

Dr. Gigih Parditha Yudha

RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH BABAT

2017
No. ID dan Nama Peserta : dr. Gigih Parditha Yudha
No. ID dan Nama Wahana : RS Muhammadiyah Babat, Lamongan
Topik : Snake bite (bedah, emergency)
Tanggal (kasus) : 1 Mei 2017
Nama Pasien : Tn. S / 48th No. RM : 063752
Tanggal Presentasi : 10 Mei 2017 Pendamping : dr. Erniek Saptowati
Tempat Presentasi : Ruang Bimbingan Dokter Internship RS Muhammadiyah Babat
Objektif Presentasi :
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil
Seorang laki-laki, 48 tahun datang ke IGD RS Muhammadiyah Babat dengan keluhan
kaki kanannya digigit ular saat bekerja di sawah. Pasien mengatakan ia digigit ular
□ Deskripsi : sekitar 5 jam SMRS. Ular yang menggigit berwarna hijau dengan panjang sekitar 30
cm. Pasien terkena gigitan 1 kali. Kemudian pasien merasakan kaki kanannya
semakin nyeri terasa sampai lutut, bengkak serta perut terasa mual.
Mampu mendiagnosis dan memberikan penanganan yang tepat, cepat, dan
□ Tujuan :
akurat pada pasien dengan gigitan ular (snike bite)
Bahan
□ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Bahasan :
Cara
□ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ E-mail □ Pos
Membahas :

Data
Nama : Tn. S No. Registrasi :
Pasien :
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1. Diagnosis / Gambaran Klinis :
Keadaan umum pasien terlihat tampak kesakitan, Compos Mentis, Terdapat 2 titik luka
dibagian dalam ibu jari kaki kanan dengan jarak ±2 cm, nyeri tekan, bengkak, berwarna
kemerahan sampai agak keunguan dengan batas tidak tegas. Terdapat kain yang diikat di
1/3 medial tungkai bawah kanan yang diikatkan oleh pasien dengan tujuan mencegah
penyebaran bisa ular.
2. Riwayat Pengobatan :
Pasien menyangkal sedang dalam pengobatan.
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit :
Pasien pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya sekitar tahun 2005, pasien
menyangkal mengalami hipertensi, DM, penyakit jantung, dan ginjal.
4. Riwayat Keluarga :
Pasien menyangkal adanya anggota keluarga dengan keluhan yang sama. Tidak ada riwayat
penyakit HT, DM ataupun jantung.
5. Riwayat Pekerjaan :
Pasien bekerja sebagai petani.
6. Lain-lain:
Kondisi lingkungan tempat bekerja dan tidak menggunakan alat pelindung diri saat bekerja
memungkinkan terjadinya gigitan ular

Daftar Pustaka :
1. Warrell, David A. 2010. Guideline for Management of Snake-bites. Regional office of South
East Asia. World Health Organization.
2. Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite: patophysiology. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104
3. De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta
4. Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes RI.
Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.

Hasil Pembelajaran :
1. Diagnosis Snake Bite melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.
2. Penatalaksanaan kegawatan pada kasus Snake Bite (khususnya dalam konteks setting di
ruang gawat darurat/IGD)
3. Edukasi pada pasien mengenai pencegahan resiko terkena gigitan ular
4. Meningkatkan kewaspadaan karena snake bite merupakan salah satu keadaan gawat
darurat di bidang ilmu bedah dan harus mendapat pertolongan segera.

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

1. Subjektif :

Pasien datang dengan keluhan kaki kanan digigit ular sejak 5 jam yang lalu. Kaki
kanan bengkak, kemerahan, dan terasa nyeri. Selain itu, pasien mengeluh pusing
dan mual. Pasien mengaku pernah digigit ular sebelumnya akan tetapi tidak separah
gigitan saat ini.

2. Objektif :

Pada pemeriksaan fisik didapatkan 2 titik luka dengan jarak ±2cm pada medial
digiti I pedis dextra. Terdapat nyeri tekan, edema (+), eritema (+) dengan batas
tidak tegas. cor, abdomen, dan thorax dalam batas normal. Akral teraba hangat,
CRT <2 detik. Vital Sign pasien; TD 100/80, HR 114x/m, RR 18x/m, S 37,3oC. Status
neurologis: pupil isokor, diameter 3/3 mm, RC +/+.
Pada kasus ini diagnosis ditegakkan melalui anamnesis bahwa pasien mengalami
gigitan ular serta dari hasil pemeriksaan fisik.

3. Assesment (penalaran klinis) :

Pada kasus gigitan ular penting untuk mengetahui apakah ular tersebut berbisa atau
tidak berbisa. Setiap jenis ular memiliki jenis dan kadar racun yang berbeda-beda.
Umumnya racun ular bekerja dengan mempengaruhi sistem multiorgan, terutama
neurologik, kardiovaskuler dan sistem pernapasan. Racun/bisa diproduksi dan
disimpan di sepasang kelenjar di bawah mata. Racun tersebut dapat merusak
jaringan sehingga menyebabkan nekrosis jaringan yang luas dan hemolisis. Gejala
dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak sebanding dengan besar
luka, edema, petekie, ekimosis, bula, dan tanda nekrosis jaringan.

Pada kasus ini, diketahui bahwa pasien melihat corak dan warna ular yang
menggigitnya, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ular yang menggigit pasien
adalah salah satu jenis ular yang berbisa. Selain itu, gambaran gejala klinis pada
pasien juga mengarah pada gigitan ular berbisa. Gigitan ular umum terjadi di
wilayah tropis dan di daerah dimana pekerjaan utamanya adalah pertanian atau
perkebunan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan bekas gigitan berbentuk 2 titik luka pada ibu jari
kaki kanan, kemudian terdapat gejala lokal seperti nyeri pada daerah gigitan,
bengkak, serta kemerahan di kaki kanan. Semua gejala klinis tersebut terbentuk
akibat masuknya komponen racun dalam tubuh. Komponen tersebut menyebabkan
reaksi hemolysis yang dapat berujung pada nekrosis jaringan.

Pasien juga mengeluh agak mual sekitar 1 jam sebelum masuk RS. Hal ini terkait
dengan gejala sistemik yang muncul pasca gigitan ular. Cepat atau lambatnya gejala
sistemik muncul tergantung pada jenis ular yang menggigit. Semakin kuat racun
yang dilepaskan kedalam tubuh maka reaksi yang ditimbulkan akan lebih cepat.
Gejala sistemik yang muncul pasca gigitan ular yaitu hipotensi, kelemahan otot,
berkeringat, mengigil, mual, hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan
kabur.

Dari gejala yang terlihat pada pasien, kasus ini termasuk kedalam Snake Bite derajat
II dimana pasien membutuhkan Serum Anti Bisa Ular (SABU) untuk mencegah
kerusakan jaringan lebih lanjut.

4. Plan :

Diagnosis: Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan diagnosis snake bite.
Upaya diagnosis telah dilakukan optimal.
Pengobatan: Penatalaksanaan pasien dengan snake bite tergantung pada derajat
gigitan yang dialami. Penatalaksanaan awal mencakup penilaian tanda-tanda vital
dan pembebasan jalan nafas jika terjadi depresi pernapasan. Kemudian perlu juga
dilakukan cross insisi pada luka serta pemasangan tourniquet agar penyebaran
racun tidak cepat terjadi. Jika timbul gejala klinis yang telah memenuhi kriteria
snake bite derajat II atau lebih tinggi, maka harus diberikan Serum Anti Bisa Ular
(SABU). Pemberian SABU tergantung derajat snake bite yang dialami. Untuk kasus
derajat II, dapat diberikan 1 atau 2 vial SABU yang dilarutkan dalam 500cc NaCL atau
dextrose 5% dengan kecepatan 40-80 tetes permenit. Untuk kasus derajat III-V,
SABU yang dibutuhkan bisa mencapai 15 vial dengan dosis maksimal 100cc SABU
perhari.

Obat-obatan penunjang seperti antihistamin, analgetik, antibiotik atau steroid


diperlukan untuk mengurangi nyeri pada luka serta untuk mengurangi kemungkinan
alergi pemberian SABU.
Obat-Obatan:
- SABU 2 vial + inf NaCl 0.9%
- inj. Ceftriaxon 1 g IV
- inj. Metamizole 1g IV
- inj. Ranitidin 50mg IV
- inj. Dexamethason 5mg IV

Pendidikan: Dilakukan kepada pasien dan keluarga untuk mengurangi kemungkinan


terulangnya kasus gigitan ular. Penting untuk pasien menggunakan alat pelindung
diri seperti memakai sepatu boot jika bekerja di sawah agar bagian ekstremitas lebih
terlidung. Selain itu edukasi perlu dilakukan kepada pasien dan keluarga saat
pemberian SABU karena tingkat alergi terhadap SABU yang tinggi.

Konsultasi: Dilakukan penanganan kegawatan awal di Instalasi Gawat Darurat dan


konsul Spesialis Bedah.

Kegiatan Periode Hasil yang Diharapkan

Primary Survey dan Segera saat pasien MRS Pasien kondisi stabil dan
Stabilisasi pasien dapat dilakukan proses
penanganan lebih lanjut
Pemberian SABU Segera setelah dilakukan Pasien tidak menunjukkan
rawat luka+cross insisi reaksi alergi
Tinjauan Pustaka

1. Etiologi
Korban gigitan ular adalah pasien yang digigit ular atau diduga digigit ular. Gigitan ular
berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya dari kira-kira ratusan jenis ular yang
diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi
manusia (de Jong, 1998).
Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar 250
spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 familli utama
yaitu:
 Famili Elapidae misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan ular cabai
 Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau dan ular bandotan puspo
 Familli Hydrophidae, misalnya ular laut
 Familli Colubridae, misalnya ular pohon
Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat dipakai rambu-
rambu yang bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut:
a. Ciri-ciri ular tidak berbisa:
 Bentuk kepala segi empat panjang
 Gigi taring kecil
 Bekas gigitan, luka halus berbentuk lengkung
b. Ciri-ciri ular berbisa:
 Kepala segi tiga
 Dua gigi taring besar di rahang atas
 Dua luka gigitan utama akibat gigi taring

Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak dijumpai di
Indonesia adalah jenis ular :
 Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau), Ankistrodon rhodostoma (ular tanah),
aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan
endotel (racun prokoagulan memicu kaskade pembekuan)
 Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular sendok), ular kobra, ular
laut. Neurotoksin pascasinaps seperti α-bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada reseptor
asetilkolin pada motor end-plate sedangkan neurotoxin prasinaps seperti β-bungarotoxin,
crotoxin, taipoxin dan notexin merupakan fosfolipase-A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin
pada neuromuscular junction. Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi
rabdomiolisin sistemik sementara spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat
gigitan.

2. Patofisiologi
Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan protein. Jumlah bisa, efek letal
dan komposisinya bervariasi tergantung dari spesies dan usia ular. Bisa ular bersifat stabil dan resisten
terhadap perubahan temperatur. Secara mikroskop elektron dapat terlihat bahwa bisa ular merupakan
protein yang dapat menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel dinding pembuluh darah, sehingga
menyebabkan kerusakan membran plasma. Komponen peptida bisa ular dapat berikatan dengan
reseptor-reseptor yang ada pada tubuh korban. Bradikinin, serotonin dan histamin adalah sebagian hasil
reaksi yang terjadi akibat bisa ular. Enzim yang terdapat pada bisa ular misalnya L-arginine esterase
menyebabkan pelepasan bradikinin sehingga menimbulkan rasa nyeri, hipotensi, mual dan muntah serta
seringkali menimbulkan keluarnya keringat yang banyak setelah terjadi gigitan. Enzim protease akan
menimbulkan berbagai variasi nekrosis jaringan. Phospholipase A menyebabkan terjadi hidrolisis dari
membran sel darah merah. Hyaluronidase dapat menyebabkan kerusakan dari jaringan ikat. Amino acid
esterase menyebabkan terjadi KID.
Pada kasus yang berat bisa ular dapat menyebabkan kerusakan permanen, gangguan fungsi
bahkan dapat terjadi amputasi pada ekstremitas. Bisa ular dari famili Crotalidae/Viperidae bersifat
sitolitik yang menyebabkan nekrosis jaringan, kebocoran vaskular dan terjadi koagulopati. Komponen
dari bisa ular jenis ini mempunyai dampak hampir pada semua sistem organ.
Bisa ular dari famili Elapidae dan Hydrophidae terutama bersifat sangat neurotoksik, dan
mempunyai dampak seperti kurare yang memblok neurotransmiter pada neuromuscular junction. Aliran
dari bisa ular di dalam tubuh, tergantung dari dalamnya taring ular tersebut masuk ke dalam jaringan
tubuh.

3. Derajat Keparahan
Derajat berat kasus gigitan ular berbisa dibagi dalam 4 skala, yaitu derajat 1 (minor) = tidak ada
gejala, derajat 2 (moderate)= gejala lokal, derajat 3 (severe)= gejala berkembang ke daerah regional,
derajat 4 (major) = gejala sistemik.
Tabel Derajat Keparahan Gigitan Ular
Derajat Venerasi Nyeri Edema/Eritema Tanda Sistemik
0 - +/- <3cm/12 jam -
I +/- + <3cm/12 jam -
II + ++ >12-25cm/12 jam + neurotoksik, mual, pusing, syok
III ++ +++ >25cm/12 jam ++ syok, petekie, ekimosis
IV +++ +++ Pada satu
++ gangguan faal ginjal, koma,
ekstremitas secara
perdarahan
menyeluruh

4. Gejala dan Tanda Klinis


Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas dan hemolisis. Gejala
dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat, udem, eritem, petekia, ekimosis, bula dan tanda nekrosis
jaringan. Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau perikardium, udem paru, dan syok berat karena
efek racun langsung pada otot jantung. Ular berbisa yang terkenal adalah ular tanah, bandotan puspa,
ular hijau dan ular laut. Ular berbisa lain adalah ular kobra dan ular welang yang biasanya bersifat
neurotoksik. Gejala dan tanda yang timbul karena bisa jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual,
salivasi, dan muntah. Pada pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak napas sampai
akhirnya terjadi henti nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan. Ular kobra dapat juga menyemprotkan
bisanya yang kalau mengenai mata dapat menyebabkan kebutaan sementara. (de Jong, 1998)
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang terjadi dan
memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut:
a. Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit – 24 jam)
b. Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual, hipersalivasi,
muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur
c. Gejala khusus gigitan ular berbisa :
a) Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum, otak, gusi,
hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri,
koagulasi intravaskular diseminata (KID)
b) Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis oftalmoplegi,
paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma
c) Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma
d) Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda-tanda 5P (pain, pallor, paresthesia,
paralysis, pulseless).

5. Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah
 Menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular
 Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah
 Mengatasi efek lokal dan sistemik
Usahakan membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh lubang bekas masuknya taring
ular sepanjang dan sedalam ½ cm, kemudian dilakukan pengisapan mekanis. Bila tidak tersedia alatnya,
darah dapat diisap dengan mulut asal mukosa mulut utuh tak ada luka. Bisa yang tertelan akan
dinetralkan oleh cairan pencernaan. Selain itu dapat juga dilakukan eksisi jaringan berbentuk elips
karena ada dua bekas tusukan gigi taring, dengan jarak ½ cm dari lubang gigitan, sampai kedalaman
fasia otot.
Usaha menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang tourniket beberapa centimeter
di proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang terlihat, dengan tekanan yang cukup untuk
menghambat aliran vena tapi lebih rendah dari tekanan arteri. Tekanan dipertahankan dua jam.
Penderita diistirahatkan supaya aliran darah terpacu. Dalam 12 jam pertama masih ada pengaruh bila
bagian yang tergigit direndam dalam air es atau didinginkan dengan es.
Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular intravena atau intra arteri
yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan. Serum polivalen ini dibuat dari darah kuda yang
disuntik dengan sedikit bisa ular yang hidup di daerah setempat. Dalam keadaan darurat tidak perlu
dilakukan uji sensitivitas lebih dahulu karena bahanya bisa lebih besar dari pada bahaya syok
anafilaksis.
Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah dan pemberian vasopresor untuk
menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan fibrinogen untuk memperbaiki kerusakan sistem
pembekuan. Dianjurkan juga pemberian kortikosteroid.
Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan memasang respirator
untuk ventilasi. Diberikan juga antibiotik spektrum luas dan vaksinasi tetanus. Bila terjadi
pembengkakan hebat, biasanya perlu dilakukan fasiotomi untuk mencegah sindrom kompartemen. Bila
perlu, dilakukan upaya untuk mengatasi faal ginjal. Nekrotomi dikerjakan bila telah tampak jelas batas
kematian jaringan, kemudian dilanjutkan dengan cangkok kulit.
Bila ragu-ragu mengenai jenis ularnya, sebaiknya penderita diamati selama 48 jam karena kadang
efek keracunan bisa timbul lambat. Gigitan ular tak berbisa tidak memerlukan pertolongan khusus,
kecuali pencagahan infeksi. (de Jong, 1998)

Tindakan Pelaksanaan
A. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah:
 Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan
 Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung alkohol
 Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat daerah proksimal dan
distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca
gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau ateri.

B. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai berikut:
 Penatalaksanaan jalan napas
 Penatalaksanaan fungsi pernapasan
 Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid
 Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas luka, imobilisasi
(dengan bidai)
 Ambil 5–10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin, APTT, D-dimer, fibrinogen dan Hb,
leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan,
jika >10 menit, menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati
 Apus tempat gigitan dengan venom detection
 Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan), polivalen 1 ml berisi:
 10-50 LD50 bisa Ankystrodon
 25-50 LD50 bisa Bungarus
 25-50 LD50 bisa Naya Sputarix
 Fenol 0.25% v/v

Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5% dengan
kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada luka tidak dianjurkan.
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka. Pedoman
terapi SABU menurut Luck:
 Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
 Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberian antivenom
~ Jika koagulopati tidak membak (fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan darah tetap
memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya,
dst.
~ Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun) maka monitor
ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikkannya. Monitor
dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk
penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah
gigitan
 Terapi suportif lainnya pada keadaan :
• Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen (dan antivenin)
• Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K, tranfusi
trombosit
• Hipotensi: beri infus cairan kristaloid
• Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
• Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan
• Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
• Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas atropin
• Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan
• Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan obat-obatan
narkotik depresan
 Terapi profilaksis
• Pemberian antibiotika spektrum luas. Kuman terbanyak yang dijumpai adalah P.aerugenosa,
Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis
• Beri toksoid tetanus
• Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi

6. Pencegahan
Petunjuk Praktis Pencegahan Terhadap Gigitan Ular:
 Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan untuk memakai sepatu
dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada
daerah paha bagian bawah sampai kaki
 Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular
 Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak-semak
 Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti
 Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit akibat kejadian
semacam itu.

Anda mungkin juga menyukai