Anda di halaman 1dari 2

Makalah:

Administrasi Pembangunan dan Reformasi Administrasi


Seperti yang diakui oleh Kristiadi (1994) bahwa administrasi pembangunan sebenarnya merupakan salah
satu paradigma admnistrasi negara yaitu paradigma yang berkembang setelah ilmu administrasi negara
sebagai ilmu administrasi pada sekitar tahun 1970. Mengacu dari kerangka perkembangan administrasi
pembangunan seperti tersebut di atas, Kristiadi memberi pengertian tentang Administrasi Pembangunan
adalah ”Administrasi Negara yang mampu mendorong kearah proses perubahan dan pembaharuan serta
penyesuaian”. Oleh karena itu administrasi pembangunan juga merupakan pendukung perencanaan dan
implementasinya.
Masalah yang serius dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah lemahnya kemampuan birokrasi
dalam menyelenggarakan pembangunan. Dari latar belakang ini, maka administrasi pembangunan yang
berkembang di negara-negara sedang berkembang memiliki perbedaan ruang lingkup dan karakteristik
dengan negara-negara yang telah maju. Dasar inilah Bintoro Tjokroamidjojo (1995) mengemukakan
bahwa administrasi pembangunan mempunyai tiga fungsi:
Pertama, penyusunan kebijaksanaan penyempurnaan administrasi negara yang meliputi: upaya
penyempurnaan organisasi, pembinaan lembaga yang diperlukan, kepegawaian dan pengurusan sarana-
sarana administrasi lainnya. Ini disebut the development of administration (pembangunan administrasi),
yang kemudian lebih dikenal dengan istilah “Administrative Reform” (reformasi admnistrasi).
Kedua, perumusan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-programa pembangunan di berbagai
bidang serta pelaksanaannya secara efektif. Ini disebut the administration of development (Administrasi
untuk pembangunan). Administrasi untuk pembangunan (the development of administration) dapat dibagi
atas dua; yaitu; (a) Perumusan kebijaksanaan pembangunan, (b) pelaksanaan kebijaksanaan
pembangunan secara efektif.
Ketiga, pencapaian tujuan-tujuan pembangunan tidak mungkin terlaksana dari hasil kegiatan
pemerintahan saja. Faktor yang lebih penting adalah membangun partisipasi masyarakat.
Seperti yang diuraikan di atas bahwa administrasi pembangunan adalah administrasi negara yang cocok
diterapkan di negara-negara yang sedang berkembang, namun Bintoro Tjokroamidjojo membedakan
bahwa administrasi pembangunan lebih banyak memberika perhatian terhadap lingkungan yang
berbeda-beda, terutama lingkungan masyarakat yang baru berkembang. Sedangkan administrasi
pembangunan berperan aktif dan berkempentingan terhadap tujuan-tujuan pembangunan, sedangkan
dalam ilmu administrasi negara bersifat netral terhadap tujuan-tujuan pembangunan. Administrasi
pembangunan berorientasi pada upaya yang mendorong perubahan-perubahankearah ke keadaan yang
lebih baik dan berorientasi mada depan, sedangkan ilmu administrasi negara lebih menekankan pada
pelaksanaan kegiatan secara efektif/tertib, efisien pada masing-masing unit pemerintahan.
Administrasi pembangunan berorientasi pada pelaksanaan tugas-tugas pembangunan yaitu kemampuan
merumuskan kebijakan pembangunan sedangkan ilmu administrasi negara lebih menekankan pada
tugas-tugas rutin dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Administrasi pembangunan mengaitkan
diri dengan substansi perumusan kebijaksanaan dan pelaksanaan tujuan-tujuan pembangunan
diberbagai bidang, Ilmu administrasi negara lebih memperhatikan pada kerapihan/ketertiban aparatur
administrasinya sendiri. Administrator pada administrasi pembangunan merupakan
penggeraka perubahan (change agent), sedangkan administrator pada administrasi pembangunan
berorientasi pada lingkungan, kegiatan dan pemecahan masalah sedangkan pada administrasi negara
lebih bersifat legalitas.
Reformasi administrasi atau pembaharuan administrasi dilakukan karena
ketidakmampuan administratif untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang diembannya. Studi yang dilakukan
Heady (1995), menemukan lima ciri yang umum administrasi publik di negara-negara berkembang, yaitu:
(1) pola dasar (basic pattern) administrasi publik bersifat ciplakan (imitative) daripada asli (indigenous),
(2) birokrasi di negara berkembang kekurangan (difficient) sumber daya manusia terampil untuk
menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi kualitas. Yang justru
kurang adalah administrator yang terlatif dengan kapasitas manajemen, keterampilan-keterampilan
pembangunan (development skills) dan penguasaan tesis yang kurang memadai, (3) birokrat lebih
berusaha mewujudkan tujuan pribadinya dibanding dengan pencapaian sasaran program. Dari sifat
seperti ini lahir Nepotisme, korupsi dan penyalagunaan wewenang, (4) adanya kesenjangan yang lebar
antara apa yang hendak ditampilkan dengan kenyataan. Fenomena ini oleh Rigss disebut formalisme,
yaitu gejala yang lebih berpegang pada wujud-wujud dan ekspresi formal dibanding dengan
sesungguhnya, dan (5) Birokrasi di negara berkembang acapakali bersifat otonom, artinya lepas dari
proses politik dan pengawasan masyarakat.
Dari fenomena dan wajah administrasi publik ini, maka reformasi atau pembaharuan administrasi publik
menjadi suatu tuntutan dan keharusan. Berdasarkan kasus administrasi negara di Indonesia oleh Bintoro
(1999) mengajukan pada: (a) reformasi kearah sistem politik yang demokratis, partisipatif dan egalitarian,
(b) reformasi ABRI (TNI) sebagai birokrasi pemerintahan, (c) reformasi sistem pemerintahan yang
sentralistik kearah desentralisasi, dan (d) reformasi terhadap upaya penciptaan clean goverment. Pada
bukunya yang lain, Bintoro Tjokroamidjojo (1998), mengatakan bahwa pembangunan administrasi publik
atau reformasi birokrasi pemerintah diarahkan pada program-program sebagai berikut: (1) deregulasi dan
debirokratisasi ekonomi serta dekonsetrasi dan desentralisasi pemerintah, (2) meningkatkan efisiensi
birokrasi (termasuk mengurangi pungutan-pungutan tak resmi), (3) mutu, orientasi, pelayanan dan
pemberdayaan birokrasi, (4) sistem karier dan efektivitas birokrasi, (5) kesejahteraan pegawai dan
pelayanan administrasi kepegawaian.
Menurut Riggs (1996), pembaharuan administrasi merupakan suatu pola yang menunjukkan peningkatan
efektivitas pemanfaatannya sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Birokrasi itu sendiri menurut pandangan Riggs, merupakan sebuah organisasi yang konkrit, terdiri dari
peran-peran yang bersifat hirarkis dan saling berkaitan, yang bertindak secara formal sebagai alat (agent)
untuk suatu kesatuan (entity) atau sistem sosial yang lebih besar. Dengan demikian menurut pandangan
ini, tujuan dari birokrasi ditetapkan oleh kekuasaan di luar kewenangan birokrasi itu sendiri. Atas dasar
ini, maka kebertanggungjawaban (accountability) dari birokrasi dalam menjalankan tugasnya sangat
esensial sifatnya. Oleh karena itu, pembaharuan administrasi akan berkaitan erat dengan peningkatan
kebertanggungjawaban dalam proses pengambilan keputusan atau dalam hal bagaimana sumber daya
instrumental dimobilisasi untuk mencapai tujuan.
Riggs melihat pembaharuan administrasi dari dua sisi, yaitu perubahan struktural dan kinerja
(performance). Secara struktural Riggs menggunakan diferensiasi struktural sebagai salah satu ukuran.
Pandangan ini didasarkan atas kecenderungan peran-peran yang makin terspesialisasi (role
spesealization) dan pembagian pekerjaan yang makin tajam dalam masyarakat modern. Sedangkan
mengenai kinerja, Riggs menekankan sebagai ukuran bukan hanya kinerja seseorang atau suatu unit,
tetapi bagaimana peran dan pengaruhnya kepada kinerja organisasi secara keseluruhan. Ia menekankan
pentingnya kerjasama dan teamwork dalam mencapai tujuan.
Sementara Wallis dalam Ginanjar (1997) mengartikan pembaharuan admnistratif sebagai dalam dimensi;
(a)perubahan harus merupakan perbaikan dari keadaan sebelumnya, (b) perbaikan diperoleh dengan
upaya yang sengaja dan bukan terjadi secara kebetulan atau tanpa usaha, dan (c) perbaikan yang terjadi
bersifat jangka panjang dan tidak sementara, untuk kemudian kembali lagi ke keadaan semula.
Sementara Esman (1995), menunjukkan bahwa memperbaiki kinerja birokrasi harus meliputi
ketanggapan (responsiveness) terhadap pengawasan politik, efisiensi dalam penggunaan sumber daya
dan efektivitas dalam pemberian pelayanan. Untuk itu upaya perbaikan administrasi meliputi peningkatan
keterampilan, penguasaan teknologi informasi dan manajemen finansial, pengaturan atau
pengelompokkan kembali realignment fungsi-fungsi, sistem insentif, memanusiakan manajemen
(humanising management) dan mendorong partisipasi yang seluas-luasnya dalam pengambilan
keputusan serta cara rekruitmen yang harus lebih bersifat representatif

Anda mungkin juga menyukai