1. Konsep Kebudayaan
Secara estimologis, kata “kebudayaan” berasal dari bahasa
Sansekerta Buddhayaha yang merupakan bentuk jamak dari
kata Buddhi yang berarti akal atau budi, sedangkan daya
mengandung makna tenaga, kekuatan, kesanggupan. Dengan
demikian, kebudayaan secara gamblang dapat di artikan
sebagai hal-hal yang berkenaan dengan kesanggupan atau
kekuatan budi dan akal yang dimiliki manusia untuk
menghadapi segala kesulitan berkenaan dengan tata cara
tertentu dalam kehidupan.
Koentjaraningrat (2004) menjelaskan, kebudayaan adalah
seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang
tidak berakar kepada nalurinya, dan kebudayaan merupakan
kebiasaan/cara-cara yang di lakukan oleh manusia secara
terus-menerus dan atau di ulang dengan pola yang teratur,
sehingga membentuk cara berperilaku maupun bertindak.
Kebudayaan haruslah memuat unsur-unsur yang memang
mencakup dan menunjukan isi utama dari kebudayaan yakni:
memuat sistem religi dan upacara keagamaan, sistem
organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa,
kesenian, sistem mata pencaharian, terakhir sistem teknologi
dan peralatan.
Diantara unsur-unsur kebudayaan yang telah disebutkan
terdapat pembagian antara unsur yang paling mudah
dipengaruhi kebudayaan lain hingga unsur yang paling sukar
untuk berubah dan diganti dengan unsur-unsur serupa dari
kebudayaan-kebudayaan lain. Keadaan ini sebenanrnya
menunjukan bahwa seiring perkembangan ilmu pengetahuan,
tehknologi, dan kebudayaan luar, individu maupun kelompok
berhadapan langsung dengan tantangan dan pengaruh besar
yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan termasuk nilai-nilai, sikap-
sikap, dan pola-pola perilaku antar kelompok dalam
masyarakat. Ketujuh unsur kebudayaan universal telah
mewakili seluruh kebudayaan mahkluk manusia di manapun
juga baik di perkotaan atau pedesaan, yang memuat ruang
lingkup serta isi dari kebudayaan itu.
Koentjaraningrat (2004) menjelaskan, terdapat pranata
dalam kebudayaan masyarakat manusia. Pranata merupakan
sistem norma dan tata kelakuan berpola dari manusia dalam
kebudayaannya. Lebih lanjut, Koenjtaraningrat (2004)
menjelaskan, unsur-unsur pranata merujuk pada unsur-unsur
pada kebudayaan yang saling berkaitan satu sama lain,
sehingga unsur-unsur tersebut menjelaskan kelakuan berpola
yang diperlihatkan masyarakat. Dengan demikian, pranata
berfungsi sebagai prinsip-prinsip dominan yang diterapkan
masyarakat dalam hal berhubungan dengan sesama berangkat
dari nilai-budaya, norma, aturan-aturan yang berkembang.
Terdapat delapan pranata yang ada dalam masyarakat
yakni: domestic institution (mengenai sistem kebutuhan
kehidupan kekerabatan), economic institution (mengenai
sistem kebutuhan hidup untuk memproduksi, mendistribusi,
dan konsumsi), educational institution (mengenai sistem
kebutuhan penerangan dan pendidikan manusia), scientific
institution (mengenai sistem kebutuhan ilmiah manusia untuk
menyelami alam semesta dan sekelilingnya), aesthetic and
recreational institution (mengenai sistem kebutuhan manusia
menyatakan rasa keindahannya dan untuk rekreasi), religious
institution (mengenai sistem kebutuhan manusia untuk
berhubungan dengan Tuhan atau dengan alam gaib), political
institution (mengenai sistem untuk mengatur kehidupan
berkelompok/bernegara), somatic institution (mengenai sistem
kebutuhan jasmaniah dari manusia). Koentjaraningrat (2004)
kembali menjelaskan, meskipun penggolongan tersebut tidak
memuaskan karena tidak mencakup segala pranata yang ada
dalam masyarakat, namun antar-satu aspek atau lebih bisa
saling berkaitan dan menjelaskan suatu aktivitas
manusia/masyarakat. Misalnya: pertambangan adalah suatu
sistem hubungan antara pemilik modal, pemilik tanah, dan
penggarap tanah, yang pada dasarnya sebagai aktivitas
produksi dianggap economic institution, tetapi juga sebagai
hubungan antara penguasa dan rakyat sebagai political
institution.
Kebudayaan sangat erat hubungan nya dengan
masyarakat. Herskovits dan Bronislaw (dalam Sulasman dan
Gumilar, 2013), mereka mengemukakan bahwa segala sesuatu
yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan
yang dimiliki oleh masyarakat itu (Cultural-Determinism).
Dengan kata lain, kebudayaan merupakan sesuatu yang di
wariskan turun-temurun dari satu generasi kepada generasi
lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Terlepas
dari semua itu, kebudayaan dapat diartikan sebagai fenomena
sosial yang tidak dapat dilepaskan dari perilaku dan tindakan
manusia yang menghayatinya dalam setiap aktivitas
kehidupan, karena kebudayaan menyatu dan mendarah daging
dalam diri manusia.
Berbicara tentang kebudayaan juga tidak bisa terlepas dari
peradaban (civilazation) karena kebudayaan merupakan
prasayarat bagi pengembangan peradaban -jika peradaban di
maknai sebagai budaya tinggi (high culture)- yang meliputi tata
cara yang memungkinkan berlangsungnya pergaulan sosial
masyarakat sebagai yang lancar dan sesuai dengan norma
kesopanan yang berlaku dalam masyarakat. Koentjaraningrat
(2004) menyatakan, bahwa istilah peradaban dipakai untuk
menjelaskan keberadaan perkembangan kebudayaan suatu
masyarakat yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan,
seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju
dan kompleks.
Sulasman dan Gumilar (2013) menyatakankan, suatu
kebudayaan tidak dapat eksis tanpa masyarakat, begitu juga
sebaliknya, sehingga konsep kebudayaan tersebut telah
melahirkan suatu kenyataan bahwa kebudayaan dapat dilihat
dari dua sisi: (1) konsep kebudayaan yang bersifat
materialistis, yangmendefenisikan kebudayaan sebagai sistem
hasil adaptasi di lingkungan alam atau sistem untuk
mempertahankan kehidupan masyarakat; dan, (2) konsep
kebudayaan bersifat idealistis, yang memandang semua
fenomena eksternal sebagai manifestasi suatu sistem internal.
Menurut J.J Hoenigman (dalam Sulasman dan Gumilar,
2013), wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga yakni:
gagasan,aktivitas, dan artefak.
a. Gagasan (wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang
berbentuk kumpulan ide, gagasan, nilai, norma, peraturan,
dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba
atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam
kepalaatau alam pikiran warga masyarakat. Jika
masyarakat tersebut menyatakan gagasannya dalam bentuk
tulisan, lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam
karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga
masyarakat tersebut.
Wujud ideal dapat pula disebut sebagai ideologi. Istilah
ideologi mengacu pada kawasan ideasional dalam suatu
budaya. Dengan demikian, istilah ideologi meliputi nilai,
norma, falsafah, dan kepercayaan religius, sentimen, kaidah
etis, pengetahuan atau waswasan tentang dunia, etos, dan
semacamnya.
b. Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat. Sebagai
perwujudan gagasan dalam kebudayaan,aktivitas (perilaku)
dibagi menjadi perilaku verbal (lisan dan tulisan) dan
nonverbal (artefak dan alam). Wujud perilaku sering
berbentuk sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri atas
aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan
kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut
pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.
Sifat konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan
dapat diamati dan didokumentasikan. Sistem sosial terkait
pula dengan struktur sosial. Struktur sosial merupakan
konfigurasi (penggabungan) kelompok-kelompok yang
unggul/dominan yang merupakan seperangkat norma atau
aturan.
c. Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa
hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia
dalam masyarakat, berupa benda atau hal-hal yang dapat
diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya
palingkonkret di antara ketiga wujud kebudayaan.
2. Teori Kebudayaan
a. Kebudayaan Sebagai Sistem dengan Pendekatan
Struktur Fungsional
Salah satu pendekatan yang digunakan dalam
menganalisis masyarakat dan kebudayaan umat manusia
adalah pendekatan fungsionalisme dan struktural
fungsionalisme. Ritzer (2010) menyatakan, penganut teori
fungsional memang memandang segala pranata sosial yang
ada dalam suatu masyarakat tertentu serba fungsional
dalam artian positif dan negatif. Sulasman dan Gumilar
(2013) mengatakan, Pendekatan ini muncul di dasari oleh
pemikiran bahwa manusia sepanjang hayatnya dipengaruhi
oleh pemikiran dan tindakan orang sekitarnya, sehingga
manusia tidak pernah mampu sepenuhnya menentukan
pilihan tindakan, sikap, atau perilaku tanpa
mempertimbangkan orang lain.
Menurut Ritzer (2010), perspektif struktural fungsional
memandang bahwa masyarakat merupakan suatu sistem
sosial yang terdiri atas bagian atau elemen yang saling
berkaitan dan saling berintegrasi dalam suatu
keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu unsur
dari sistem sosial akan berdampak pada unsur yang
lainnya. Pendapat Sulasman dan Gumilar (2013)
menguatkan asumsi dasar dariperspektif ini, bahwa setiap
bagian atau struktur pada sistem sosial bersifat fungsional
terhadap bagian dan struktur lainnya.
Comte (dalam Sulasman dan Gumilar, 2013)
mengemukakankonsep statik sosial, bahwa dalam bentuk
kehidupan sosial terdapat hubungan yang saling berkaitan
dan saling bergantung satu sama lain. Masyarakat
diibaratkan sebagai suatu organisme yang terdiri atas
strruktur dan fungsi. Masyarakat terdiri atas bagian-bagian
yang saling berinteraksi dan mempunyai fungsi-fungsi
tersendiri dalam menciptakan keseimbangan. Statik sosial
akan menentukan tata tertib sosial dalam organisme
masyarakat.
Spencer (dalam Martono, 2012) mengemukakan, bahwa
masyarakat dibentuk dari organisme hidup. Spencer
mengatakan bahwa antara masyarakat (sistem sosial) dan
organisme hidup (sistem biologi) terdapat perbedaan dan
kesamaan. Spancer (dalam Sulasman dan Gumilar, 2013)
mengatakan bahwa masyarakat ataupun organisme akan
meengalami pertumbuhan. Keduanya juga akan mengalami
pertambahan dari segi ukurannya sehingga struktur tubuh-
sosial (social body) ataupun tubuh organisme (living body)
juga mengalami pertambahan. Oleh karena itu, semakin
besar suatu struktur sosial, semakin banyak bagian yang
ada didalamnya. Perubahan yang terjadi dalam suatu sistem
organisme ataupun sistem sosial akan mengakibatkan
perubahan pada bagian-bagian lainnya yang pada akhirnya
terjadi dalam sebuah sistem secara keseluruhan.
Dari uraian di atas, tampak bahwa masyarakat
merupakan sistem yang dibentuk oleh bagian-bagian
menyatu menjadi suatu keseluruhan. Sistem sosial hanya
dapat dipahami dari sisi kelangsungan struktur khusus
yangmemiliki fungsi memapankan keseluruhan sistem dan
sistem tersebut dihadapkan pada persyaratan tertentu
apabila ingin tetap berlangsung artinya fungsi struktur
harus harus ditentukan dengan kebutuhannya.
Kebudayaan tidak dapat lagi diartikan sebagai warisan
perilaku simbolik yang menjadikan manusia sebagai
manusia, atau warisan yang diberikan kepada individu-
individu dalam masyarakat tertentu. Di Jerman abad ke
19 telah tercipta suatu hubungan harmonis antara
kebudayaan sebagai suatu ide intelektual dan kebudayaan
sebagai ciri fundamental suatu masyarakat atau disebut
juga sebagai suatu etos. Konsepsi tentang hukum, tujuan
agama, filsafat, tema-tema sastra, corak seni telah
dipelajari untuk melihat ciri fundamental suatu
masyarakat. Ketika penekanan pada bidang intelektual, seni
dan moral berjalan, ide kebudayaan diterapkan dalam
masyarakat secara keseluruhan. Pada saat itu
penggunaan istilah kebudayaan dan peradaban
dipergunakan secara bergantian, penggunaan istilah itu
mencirikan masyarakat telah berkembang dari tingkat yang
lebih rendah ketingkat yang lebih tinggi. Kebudayaan
menunjukan prestasi manusia mengembangkan kapasitas
berpikir dan kemampuan menggunakan alat sebagai
kepanjangan tangan. Dalam perkembangan selanjutnya
penggunaan istilah peradaban dan kebudayaan telah
dipisahkan. Peradaban mengandung makna evaluasi, dan
kebudayaan menunjukan kepada perbedaan cara hidup
masyarakat apapun bentuknya.
b. Teori Kebudayaan
1) Teori evolusioner dan ekologis mengenai kebudayaan
Perspektif teori evolusioner dan ekologis
beranggapan, bahwa kebudayaan merupakan sistem
adaptasi. Pengembangan pemikiran ini berasal dari
kalangan ilmuan di Michigan dan Columbia. Pemikiran
yang dipelopori oleh Leslie White dan kemudian
dikembangkan oleh para ilmuwan antropologi dan
sosiologi, seperti Sahlins, Rappaport, Vayda, Harris,
Carneiro serta Binford, Longacre, Sanders, Price dari
Maggers.
Menurut aliran ini kebudayaan dipandang
sebagai sistem pola perilaku yang disalurkan secara
sosial guna menghubungkan masyarakat dengan
lingkungan ekologisnya. Menurut pendapat Marvin
Harris, kebudayaan adalah pola perilaku yang
berhubungan dengan kelompok, adat kebiasaan atau
cara hidup suatu bangsa. Sedangkan menurut Meggers,
kebudayaan adalah proses penyesuaian manusia
dengan lingkungan melalui dengan dibimbing oleh
ketentuan seleksi alamiah sebagaimana dalam
mengatur adaptasi biologis, yang selalu berubah
menuju equilibrium.
Apabila terjadi gangguan pada equilibrium oleh
berbagai perubah perubahan seperti perubahan
lingkungan yang bersifat fisik, demografis, teknologi
atau sistem lainnya, maka kebudayaan terpengaruh
mengikurti perubahan. Misalnya teknologi, ekonomi dan
unsur-unsur organisasi sosial lain yang langsung terikat
dengan perubahan tersebut. Disinilah kebudayaan
bersifat adaptif.
Nilai suatu kebudayaan adalah keyakinan yang
dipegang secara luas oleh masyarakat. Dari nilai ini
lahirlah peradaban (civilization). Karena itu dapat
dikatakan bahwa kebudayaan ditandai oleh nilai
yang mendukungnya, dengan dilengkapi oleh norma
sosial yang merupakan pengen dali langsung dalam
berperilaku adaptif.
Perkembangan paling terbaru dari pandangan ini
adalah analisis Rappaport yang mengungkapkan,
bahwa siklus ibadah suku Tsembaga Maring sebagai
komponen-komponen dari sistem penyesuaian.
Sistem ibadah dan pengetahuan kebudayaan tentang
kesucian memainkan fungsi penting dalam adaptasi
kebudayaan.
2) Teori idealisme mengenai kebudayaan
Pada sisi lain sejumlah antropolog memandang
kebudayaan sebagai sistem idealisme. Ada tiga
pendekatan teori ini yaitu: (1) kebudayaan sebagai
sistem kognisi, (2) kebudayaan sebagai sistem
struktural; (3) dan kebudayaan sebagai sistem
simbolik.
a) Kebudayaan sebagai sistem kognisi
Dalam kajian antropolog terdapat aliran
antropologi kognitif seperti dikenal (ethnoscience,
semantic ethnography). Pandangan, bahwa
kebudayaan sebagai sistem pengetahuan terlihat dari
pernyataan Goodenough, yang menyatakan:
Kebudayaan suatu masyarakat terdiri dari apapun
yang ia untuk dapat diketahui dan dipercaya dalam
melangsungkan pekerjaan yang tertentu dengan
cara yang dapat diterima para anggotanya.
Kebudayaan bukanlah suatu gejala materi; ia
terdiri dari benda-benda, orang perilaku atau
emosi, tetapi lebih merupakan suatu organisasi.
Kebudayaan merupakan bentuk hal-hal yang ada di
dalam ingatan orang-orang. Contohnya: mereka
mengamati, menghubungkan dari
menginterpretasinya.
Kebudayaan terdiri dari standar untuk
memutuskan apa untuk memutuskan apa yang
mungkin untuk memutuskan apa yang kita rasakan
mengenai hal ini untuk memutuskan apa yang akan
dilakukan mengenai hal ini, dan untuk memutuskan
bagaimana akan melakukannya. Kebudayaan secara
epistemologis berada di dalam bidang yang sama
dengan bahasa, yang dalam aliran humanis holistik
bahasa merupakan salah satu dari tujuh unsur
budaya universal. Di dalam konseptualisasi ini,
bahasa adalah suatu subsistem kebudayaan. Para
peneliti antropologi kognitif berharap dan
beranggapan, bahwa metode linguistik berikut
model-modelnya tetap menjadi bidang kajian
kebudayaan.
b) Kebudayaan sebagai sistem struktural
Pendekatan strukturalis telah dilakukan oleh
para ilmuwan sosial yang terlatih dalam tradisi
Anglo-Amerika, salah seorang tokohnya adalah
Talcot Parsons. Kebadayaan dianggap sebagi pola-
pola perilaku yang berperan sebagai struktur
sosial, yang menyajikan norma-norma yang harus
dilaksanakan dalam proses sosial.
Proses sosial yang dilaksanakan oleh setiap
individu berdasarkan kepada peran-peran dalam
posisi atau status yang di embanya secara
struktural. Posisi atau kedudukan berkhirarki
semakin tinggi semakin sedikit, namun semakin besar
tanggung jawabnya. Sedangkan derivasinya semakin
kebawah semakin banya dan semakin spesifik, karena
itu sangsi dan tanggung jawabnya semakin kecil.
c) Kebudayaan sebagai sistem simbolik
Dalam karyanya Levy-Strauss, memandang
kebudayaan sebagai sistem simbol yang disalurkan
dan merupakan kreasi akal kumulatif. Ia berusaha
menemukannya dalam mitos, seni, hubungan
kekeluargaan, bahasa. Lingkungan fisik manusia
telah meyediakan bahan mentah untuk
dikembangkan melalui penalaran dalam pola yang
berbeda, namun secara formal sama.
Akal menentukan tatanan yang dipola secara
kultural. Levy-Strauss lebih peduli terhadap
kebudayaan daripada suatu kebudayaan. Ia
memandang mitologi Indian Amerika sebagai pola
yang tumpang tindih dan saling berkaitan. Hal ini
lebih penting dari organisasi kognitif pendukung
kebudayaan, bahkan lebih penting dari batas-batas
bahasa dan adat kebiasaan yang membedakan
masyarakat yang satu dengan yang lain. Pendekatan
ini berhubungan, tetapi berbeda dari pendekatan
kognitif. Geert (1971) memandang pandangan
kognitif Goodenough dan para teoretisi etnografi
baru bersifat reduksionistik dan formalistik.
Makna tidak berada dalam kepala manusia.
Simbol dan makna disalurkan diantara, bukan di
dalam, mereka. Ia memandang kebudayaan sebagai
semiotik. Mempelajari kebudayaan berarti
mempelajari makna. Masalah antropologi adalah
masalah interpretasi, bukan ―penguraian, dalam hal
ini― deskripsi yang tertanam kuat dalam kekayaan
kehidupan sosial kontekstual. Geertz tidak memiliki
optimisme ethnoscience. Ia tidak berniat
memformalkan kebudayaan sebagai bahasa. Ia
tidak sefasih Levy-Strauss dalam melakukan
decoding, yaitu menginterpretasikan kebudayaan
secara lambat dan sulit. Dalam hubungan ini, Geertz,
menggambarkan masalah analisis kebudayaan adalah
persoalan kebebasan yang ditentukan seperti antar
hubungan, teluk maupun jembatan.
Citra yang benar, bila kita harus memiliki
citra mengenai organisasi kebudayaan, bukanlah
jaring laba-laba ataupun tumpukan pasir, melainkan
ia lebih cenderung sebagai ikan gurita yang alat
perabanya sebagian besar diintegrasikan secara
terpisah, secara syaraf kurang berhubungan yang
satu dengan yang lain, dan dengan apa yang ada pada
ikan gurita. Menurut Shneider, kebudayaan
menggunakan sistem lambang (simbol) dan makna.
Analisis kebudayaan sebagai sistem simbol
dapat dilakukan secara bermanfaat terlepas dari
kognisi sebenarnya yang dapat dilihat sebagai
peristiwa dan perilaku. Hubungan simbol dan
peristiwa menurutnya sangat penting, karena
dengan hubungan itu dapat menemukan bagaimana
susunan kebudayaan dihasilkan, aturan yang
mengatur perubahan mereka dan bagaimana
mereka berhubungan secara sitematis dengan kondisi
dan situasi kehidupan yang sesungguhnya.
Pembedaan antara tingkat normatif dan tingkat
kebudayaan yang dilakukan Schneider penting
secara konseptual. Oleh karena itu, perkataanya
perlu dikutip secara panjang lebar. Schneider,
mengemukakan bahwa sistem normatif dipusatkan
kepada ego dan sangat tepat bagi pembuatan
keputusan atau model interaksi dari analisis
kebudayaan.
Analisis kebudayaan dipusatkan kepada sistem
kebudayaan dengan mengambil posisi manusia
berhadapan dengan dunianya. Analisis kebudayaan
dapat menelusuri hubungan antara simbol, dasar
pemikiran dan asas suatu sistem kebudayaan
dengan baik, sehingga interpretasi kebudayaan
berbeda dari interpretasi lembaga-lembaga lainnya.
Analisis kebudayaan yang murni tidak
terkontaminasi oleh sistem sosialnya. Setelah tugas
ini logis, maka dilakukan penelusuran antara
hubungan bidang kebudayaan, sosial dan psikologi.
3. Konsep Perubahan Sosial Budaya
Menurut Herper (dalam Martono, 2012), perubahan sosial
didefenisikan sebagai pergantian (perubahan) yang signifikan
mengenai sturktur sosial dalam kurun waktu tertentu.
Perubahan di dalam struktur ini mengandung beberapa tipe
perubahan struktur sosial, yaitu: pertama, perubahan dalam
personal (individu) yang berhubungan dengan perubahan-
perubahan peran dan individu-individu baru dalamsejarah
kehidupan manusia yang berkaitan dengan keberadaan
struktur. Perubahan dalam tipe ini bersifat gradual (bertahap)
dan tidak terlalu banyak unsur-unsur baru maupun unsur-
unsur yang hilang; kedua, perubahan dalam bagian-bagian
struktur sosial masyarakat. Perubahan ini misalnya
terjadidalam perubahan alur kerja lembaga atau pranata
masyarakat; ketiga, perubahan dalam fungsi-fungsi struktur,
berkaitan dengan apa yang dilakukan masyarakat dan
bagaimana masyarakat tersebut melakukannya; keempat,
perubahan dalam bentuk struktur yang berbeda. Contohya
dalam kebudayaan telah terjadi penyebaran (difusi) nilai-nilai
kepercayaan (sistem keyakinan) baru yang memengaruhi
secara langsung maupun tidak sistem adat-istiadat; kelima,
kemunculan struktur baru, yangmerupakan peristiwa
munculnya struktur baru untukmenggantikan struktur
sebelumnya. Contoh: akulturasi budaya.
Menurut Martono (2012) perubahan sosial dan perubahan
kebudayaan hanya dapat dibedakan dengan membedakan
secara tegas pengertian antara masyarakat dan kebudayaan
sehingga, terdapat perbedaan mendasar antara perubahan
sosial dan perubahan budaya; perubahan sosial merupakan
bagian dari perubahan budaya. Perubahan sosial meliputi
perubahan dalam perbedaan usia, tingkat kelahiran, dan
penurunan rasa kekeluargaan antar anggota masyarakat
sebagai akibat terjadinya arus urbanisasi dan modernisasi.
Sedangkan perubahan budaya menyangkut banyak aspek
dalam kehidupan sosial bermasyarakat seperti kesenian, ilmu
pengetahuan, teknologi, aturan-aturan hidup berorganisasi,
mata pencaharian, kepercayaan, bahkan penggunaan bahasa
dalam berkomunikasi.
Menurut Soemardjan dan Soemardi (dalam Arkanudin,
2011) menjelaskan, perubahan sosial yang terjadi di
masyarakat sedikit banyak mempengaruhi struktur
masyarakat itu sendiri sehingga, perubahan sosial pada
hakekatnya adalah perubahan masyarakat itu sendiri.
Perubahan pada masyarakatakan memberi dampak langsung
kepada sistem kelembagaan yang ada. Perubahan sosial
sebagai bagian dari cultural masyarakat akan
mengarahkannya kepada keadaan yang baikatau bahkan
buruk.
Perubahan sebagai sebuah proses di masyarakat, akan
mengalami kondisi dimana ada sebuah penyesuaian oleh
masyarakat terhadap unsur-unsur baru yang mempengaruhi
unsur-unsur lama. Penyesuaian (akomodasi) yang terjadi dapat
cenderung membentuk pertahankan budaya lama,
menciptakan budaya baru hasil dari akulturasi, atau justru
terjadi suatu peleburan budaya baru yang lebih dominan pada
masyarakat. Perubahan perlu beberapa dorongan untuk
menuju perubahan yang diharapkan. Untuk mendukung
hadirnya perubahan tersebut, diperluan dua faktor, yakni
faktor internal dan faktor eksternal. Berikut ini ulasan
lengkapnya.
a. Faktor internal
Faktor internal lebih cenderung dipengaruhi oleh
dorongan dari masyarakat itu sendiri untuk bersedia
melakukan perubahan. Perubahan pada proses masyarakat
dan budaya perlu adanya beberapa inovasi, pertentangan
masyarakat, pertambahan dan pengurangan penduduk,
serta adanya gerakan sosial.
1) Inovasi
Pebemuan-penemuan baru yang berupa teknologi
dapat mengubah cara individu berinteraksi dengan
orang lain. Perkembangan teknologi juga dapat
mengurangi jumlah kebutuhan tenaga kerja di sektor
bindustri karena tenaga manusia telah digantikan oleh
yang menyebabkan proses produksi semakin efektif dan
efisien.