APA?
Karantina Tumbuhan adalah tindakan sebagai upaya pencegahan
masuk dan tersebarnya organisme pengganggu tumbuhan dari
luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri atau
keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia.
MENGAPA?
Serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) di dalam
negeri telah menimbulkan kerugian yang sangat besar pada
produksi pertanian. Pada kenyataannya, terdapat terdapat jenisjenis OPT tertentu yang belum terdapat atau belum menyebar luas
di dalam negeri. Kerugian pada produksi pertanian akan semakin
meningkat apabila terdapat investasi OPT dari luar negeri atau
terjadinya penularan dari suatu area ke area lain di dalam negeri.
Dengan meningkatnya lalulintas media pembawa (tumbuhan dan
bagian-bagiannya, hasil tumbuhan, serta media lain yang dapat
mebawa OPT) antar negara serta antar wilayah di dalam negeri
semakin membuka peluang bagi kemungkinan masuk dan
menyebarnya OPT yang dapat merusak dan meninbulkan kerugian
yang lebih besar.
BAGAIMANA?
Setiap media pembawa OPT yang dimasukkan ke dalam wilayah
negara Republik Indonesia, dilalulintaskan antar area di dalam
negeri atau di keluarkan dari dalam negara Republik Indonesia
harus memenuhi persyaratan dan mengikuti prosedur yang
ditentukan oleh Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992, Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2002 serta peraturan pelaksana
lainnya. Persyaratan dan prosedur Karantina Tumbuhan dijelaskan
pada bagian lain buku ini.
SISTEM/PROSEDUR
KARANTINA TUMBUHAN
melalui
pelabuhan
laut
IMPOR
Apakah Termasuk
KOMODITAS TERLARANG?
YA
MUSNAHKAN
!
TOLAK/RE-EKSPOR/
MUSNAHKAN
TIDAK
TIDAK
Apakah Termasuk
KOMODITAS BERSYARAT?
YA
YA
Apakah memenuhi
PERSYARATAN
ADMINISTRATIF?
TIDAK
TIDAK
PERIKSA!
tahan
Apakah termasuk
Kategori harus di
KPM-kan?
YA
MASUKKAN
KE
DALAM KPM
TIDAK
YA
TIDAK
Apakah dapat
diberikan
PERLAKUAN?
YA
YA
BEBASKAN!
BERIKAN
YA
PERLAKUAN
SESUAI MANUAL
TIDAK
MUSNAHKAN
9!
BEBASKAN
SETELAH
DIBERI
PERLAKUAN
10
Terbitkan PHYTOSANITARY
CERTIFICATE
EKSPOR
Apakah memerlukan
IZIN MENTERI PERTANIAN?
YA
Apakah memenuhi
Persyaratan
NEGARA TUJUAN?
TIDAK
Apakah Termasuk
Komoditas yang diatur oleh
CITES dan ESA?
YA
YA
Apakah telah
melengkapi semua
persyaratan?
TIDAK
YA
Apakah dalam
pemeriksaan dianggap
sehat?
YA
TIDAK
TOLAK PERMOHONAN
PHYTOSANITARY
CERTIFICATE
TIDAK
Apakah eksportir
bersedia komoditinya
diobati?
YA
Berikan perlakuan
sesuai manual
11
12
Pemeriksaan
Dokumen
Pembebasan/
Pelepasan
YA
Lengkap
(SKTAA)*
TIDAK
Pemeriksaan
Fisik/Kesehatan
YA
Bebas
OPTK
Pemusnahan
YA
TIDAK
TIDAK
YA
Dikirim ke
Area Asal
Penolakan
(14 hari)
TIDAK
Dapat dibebaskan
dari OPTK
13
Perlakuan
Pemeriksaan
Dokumen
Penolakan
TIDAK
Dokumen
Lengkap
Pemeriksaan
Fisik/Kesehatan/
Pengasingan/
Pengamatan
YA
Pembebasan/
Pelepasan
YA
Bebas
OPTK
TDAK
YA
TDAK
Dapat dibebaskan
dari OPTK
Perlakuan
14
PERUNDANG-UNDANGAN
KARANTINA TUMBUHAN
15
16
18
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KARANTINA
HEWAN, IKAN, DAN
TUMBUHAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Karantina adalah tempat pengasingan dan/atau tindakan
sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan
penyakit atau organisme pengganggu dari luar negeri dan dari
suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari
dalam wilayah negara Republik Indonesia.
2. Karantina hewan, ikan, dan tumbuhan adalah tindakan sebagai
upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit
hewan, hama dan penyakit ikan, atau organisme pengganggu
tumbuhan dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di
dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah negara
Republik Indonesia.
3. Hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, atau
organisme penggangu tumbuhan adalah semua organisme
yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau
menyebabkan kematian hewan, ikan, atau tumbuhan.
4. Hama dan penyakit hewan karantina adalah semua hama dan
penyakit hewan yang ditetapkan pemerintah untuk dicegah
masuknya ke dalam, tersebarnya di dalam, dan keluarnya dari
wilayah negara Republik Indonesia.
5. Hama dan penyakit ikan karantina atau organisme penggangu
tumbuhan karantina adalah semua hama dan penyakit ikan
atau organisme pengganggu tumbuhan yang ditetapkan
pemerintah untuk dicegah masuknya ke dalam dan
tersebarnya di dalam wilayah negara Republik Indoneia.
19
c.
Pasal 8
Dalam hal-hal tertentu, sehubungan dengan sifat hama dan
penyakit hewan, atau hama dan penyakit ikan, atau organisme
pengganggu tumbuhan, Pemerintah dapat menetapkan kewajiban
tambahan disamping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, Pasal 6, dan pasal 7.
BAB III
TINDAKAN KARANTINA PERTANIAN
Pasal 9
(1) Setiap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina
yang dimasukkan, dibawa, atau dikirim dari suatu area ke area
lain di dalam, dan/atau dikeluarkan dari wilayah negara
Republik Indonesia dikenakan tindakan karantina.
(2) Setiap media pembawa hama dan penyakit ikan karantina atau
organisme pengganggu tumbuhan karantina yang dimasukkan
ke dalam dan/atau dibawa atau dikirim dari suatu area ke area
lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia dikenakan
tindakan karantina.
(3) Media pembawa hama dan penyakit ikan karantina dan
organisme pengganggu tumbuhan karantina yang dikeluarkan
dari wilayah negara Republik Indonesia tidak dikenakan
tindakan karantina, kecuali disyaratkan oleh negara tujuan.
Pasal 10
Tindakan karantina dilakukan oleh petugas karantina, berupa :
a. Pemeriksaan
b. Pengasingan
c. Pengamatan
d. Perlakuan
e. Penahanan
f. Penolakan
g. Pemusnahan
h. Pembebasan
23
Pasal 11
(1) Tindakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal
10 huruf a, dilakukan untuk mengetahui kelengkapan dan
kebenaran isi dokumen serta untuk mendeteksi hama dan
penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina,
atau organisme pengganggu tumbuhan karantina.
(2) Pemeriksaan terhadap hewan, bahan asal hewan, dan ikan
dapat dilakukan koordinasi dengan instansi lain yang
bertanggung jawab di bidang penyakit karantina yang
membahayakan kesehatan manusia.
Pasal 12
Untuk mendeteksi lebih lanjut terhadap hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme
pengganggu tumbuhan karantina tertentu yang karena sifatnya
memerlukan waktu lama, sarana, dan kondisi khusus, maka
terhadap media pembawa yang telah diperiksa sebagaimana
dimaksud dalam pasal 11, dapat dilakukan pengasingan untuk
diadakan pengamatan.
Pasal 13
(1) Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme
pengganggu tumbuhan karantina diberikan perlakuan untuk
membebaskan atau menyucihamakan media pembawa
tersebut.
(2) Perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan
apabila setelah dilakukan pemeriksaaan atau pengasingan
untuk diadakan pengamatan ternyata media pembawa
tersebut :
a. Tertular atau diduga tertular hama dan penyakit hewan
karantina atau hama dan penyakit ikan karantina atau
b. Tidak bebas atau diduga tidak bebas dari organisme
pengganggu tumbuhan karantina.
24
Pasal 14
(1) Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme
pengganggu tumbuhan karantina dilakukan penahanan apabila
setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 11, ternyata persyaratan karantina untuk pemasukan
kedalam atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah
negara Republik Indonesia belum seluruhnya dipenuhi.
(2) Pemerintah menetapkan batas waktu pemenuhan persyaratan,
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 15
Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina,
hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu
tumbuhan karantina yang dimasukkan ke dalam atau dimasukkan
daru suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik
Indonesia dilakukan penolakan apabila ternyata:
a. Setelah dilakukan pemeriksaan di atas alat angkut, tertular
hama dan penyakit hewan karantina, atau hama dan penyakit
ikan karantina, atau tidak bebas dari organisme pengganggu
tumbuhan karantina tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah,
atau busuk, atau rusak, atau merupakan jenis-jenis yang
dilarang pemasukkannya, atau
b. Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, pasal 6,
dan pasal 8, tidak seluruhnya dipenuhi atau
c. Setelah dilakukan penahanan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 14 ayat (1), keseluruhan persyaratan yang harus
dilengkapi dalam batas waktu yang ditetapkan tidak dapat
dipenuhi, atau
d. Setelah diberi perlakuan di atas alat angkut, tidak dapat
disembuhkan dan/atau disucihamakan dari hama dan penyakit
hewan karantina, atau hama dan penyakit ikan karantina, atau
tidak dapat dibebaskan dari organisme pengganggu tumbuhan
karantina.
25
Pasal 16
(1) Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme
pengganggu tumbuhan karantina yang dimasukkan ke dalam
atau dimasukkan dari suatu area ke area lain di dalam wilayah
negara Republik Indonesia dilakukan pemusnahan apabila
ternyata:
a. Setelah media pembawa tersebut diturunkan dari alat
angkut dan dilakukan pemeriksaan, tertular hama dan
penyakit hewan karantina, atau hama dan penyakit ikan
karantina, atau tidak bebas dari organisme pengganggu
tumbuhan karantina tertentu yang ditetapkan oleh
pemerintah, atau busuk, atau rusak, atau merupakan jenisjenis yang dilarang pemasukkannya, atau
b. Setelah dilakukan penolakan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 15, media pembawa yang bersangkutan tidak
segera dibawa ke luar dari wilayah negara republik
indonesia atau dari area tujuan oleh pemiliknya dalam
batas waktu yang telah ditetapkan, atau
c. Setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan,
tertular hama dan penyakit hewan karantina, atau hama
dan penyakit ikan karantina, atau tidak bebas dari
organisme pengganggu tumbuhan karantina tertentu yang
ditetapkan oleh pemerintah, atau
d. Setelah media pembawa tersebut diturunkan dari alat
angkut dan diberi perlakuan, tidak dapat disembuhkan dan
atau disucihamakan dari hama dan penyakit hewan
karantina, atau hama dan penyakit ikan karantina, atau
tidak dapat dibebaskan dari organisme pengganggu
tumbuhan karantina.
(2) Dalam hal dilakukan tindakan pemusnahan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), pemilik media pembawa hama dan
penyakit hewan karantina, atau hama dan penyakit ikan
karantina, atau tidak dapat dibebaskan dari organisme
pengganggu tumbuhan karantina tidak berhak menuntut ganti
rugi apapun.
26
Pasal 17
Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina,
hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu
tumbuhan karantina yang dimasukkan dari suatu area ke area lain
di dalam wilayah negara Republik Indonesia dilakukan
pembebasan apabila ternyata:
a. Setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksudkan
dalam pasal 11, tidak tertular hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau bebas dari
organisme pengganggu tumbuhan karantina atau
b. Setelah
dilakukan
pengamatan
dalam
pengasingan
sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 12, tidak tertular
hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan
karantina, atau bebas dari organisme pengganggu tumbuhan
karantina, atau
c. Setelah dilakukan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 13, dapat disembuhkan dari hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau dapat
dibebaskan dadri organisme pengganggu tumbuhan karantina,
atau
d. Setelah dilakukan penahanan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 14, seluruh persyaratan yang diwajibkan telah dapat
dipenuhi.
Pasal 18
Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 6, pasal 7 dan pasal 8, terhadap media pembawa hama dan
penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau
organisme pengganggu tumbuhan karantina yang akan
dikeluarkan dari dalam atau dikeluarkan dari suatu area ke area
lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia dilakukan
pembebasan apabila ternyata:
a. Setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 11, tidak tertular hama dan penyakit hewan karantina,
hama dan penyakit ikan karantina, atau bebas dari organisme
pengganggu tumbuhan, atau
27
b. Setelah
dilakukan
pengamatan
dalam
pengasingan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 12, tidak tertular hama
dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan
karantina, atau bebas dari organisme pengganggu tumbuhan,
atau
c. Setelah dilakukan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 13, dapat disembuhkan dari hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau dapat
dibebaskan dari organisme pengganggu tumbuhan.
Pasal 19
(1) Pembebasan media pembawa sebagaimana dimaksud dalam
pasal 17, disertai dengan pemberian serifikat pelepasan.
(2) Pembebasan media pembawa sebagaimana dimaksud dalam
pasal 18, disertai dengan pemberian sertifikat kesehatan.
Pasal 20
(1) Tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam pasal 10,
dilakukan oleh petugas karantina di tempat pemasukan
dan/atau pengeluaran, baik di dalam maupun di luar instansi
karantina.
(2) Dalam hal-hal tertentu, tindakan karantina sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dapat di luar tempat pemasukan
dan/atau pengeluaran, baik di dalam maupun di luar instansi
karantina.
(3) Ketentuan mengenai tindakan karantina di luar tempat
pemasukan dan/atau pengeluaran sebagaimana dimaksudkan
dalam ayat (2), ditetapkan oleh pemerintah.
Pasal 21
Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9, terhadap orang, alat angkut, peralatan, air, atau
pembungkus yang diketahui atau diduga membawa hama dan
penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau
organisme pengganggu tumbuhan karantina, dapat dikenakan
tindakan karantina.
28
Pasal 22
(1) Setiap orang atau badan hukum yang memanfaatkan jasa atau
sarana yang disediakan oleh pemerintah dalam pelaksanaan
tindakan karantina hewan, ikan, atau tumbuhan dapat
dikenakan pungutan jasa karantina.
(2) Ketentuan mengenai pungutan jasa karantina sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
BAB IV
KAWASAN KARANTINA PERTANIAN
Pasal 23
(1) Dalam hal ditemukan atau terdapat petunjuk terjadinya
serangan suatu hama dan penyakit hewan karantina, hama
dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu
tumbuhan karantina di sekitar kawasan yang semula diketahui
bebas dari hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu
tumbuhan karantina tersebut, Pemerintah dapat menetapkan
kawasan yang berangkutan untuk sementara waktu sebagai
kawasan karantina.
(2) Pemasukan dan pengeluaran media pembawa hama dan
penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina,
atau organisme pengganggu tumbuhan karantina ke dan dari
kawasan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
diatur oleh pemerintah.
BAB V
JENIS HAMA DAN PENYAKIT,
ORGANISME PENGGANGGU, DAN MEDIA PEMBAWA
Pasal 24
Pemerintah menetapkan :
a. Jenis hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit
ikan karantina, dan organisme pengganggu tumbuhan
karantina,
29
Pasal 29
Peranserta rakyat dalam perkarantinaan hewan, ikan, dan
tumbuhan diarahkan dan digerakkan pemerintah melalui berbagai
kegiatan yang berdayaguna dan berhasil guna.
BAB VIII
PENYIDIKAN
Pasal 30
(1) Selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia, juga
pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan departemen
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi
pembinaan karantina hewan, ikan, dan tumbuhan, dapat pula
diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang no 8 tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak
pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan.
(2) Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
tidak mengurangi kewenangan penyidik sebagaimana diatur
dalam undang-undang nomor 9 tahun 1985 tentang Perikanan
dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang
untuk :
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
karantina hewan, ikan, dan tumbuhan.
b. Melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk
didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
dalam tindak pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan
tumbuhan.
c. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti
tindak pidana karantina hewan, ikan, dan tumbuhan.
d. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau
badan sehubungan dengan tindak pidana di karantina
hewan, ikan, dan tumbuhan.
e. Membuat dan menandatangani berita acara.
31
f.
6.
7.
8.
9.
10.
Ttd
SOEHARTO
35
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Juni 1992
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1992 NOMOR 56
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum Perundang-undangan
36
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 1992
TENTANG
KARANTINA HEWAN, IKAN, DAN TUMBUHAN
I. UMUM
Tanah Air Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
yang kaya akan sumberdaya alam hayati berupa aneka ragam
jenis hewan, ikan, dan tumbuhan merupakan modal dasar
pembangunan nasional yang sangat penting dalam rangka
peningkatan taraf hidup, kemakmuran serta kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, perlu dijaga dan dilindungi kelestariannya.
Salah satu ancaman yang dapat merusak kelestarian
sumberdaya alam hayati tersebut adalah serangan hama dan
penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, serta organisme
pengganggu tumbuhan. Kerusakan tersebut sangat merugikan
bangsa dan negara karena akan menurunkan hasil produksi
budidaya hewan, ikan, dan tumbuhan, baik kuantitas maupun
kualitas atau dapat mengakibatkan musnahnya jenis-jenis hewan,
ikan atau tumbuhan tertentu yang bernilai ekonomis dan ilmiah
tinggi. Bahkan beberapa penyakit hewan dan ikan tertentu dapat
menimbulkan gangguan terhadap kesehatan masyarakat.
Bahwa wilayah negara Republik Indonesia masih bebas dari
berbagai jenis hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan,
serta organisme pengganggu tumbuhan yang berbahaya. Kondisi
geografis wilayah negara Republik Indonesia yang terdiri dari
ribuan pulau dan terpisah oleh laut, telah menjadi rintangan alami
bagi penyebaran hama dan penyakit serta organisme pengganggu
ke atau dari suatu area ke area lain. Dengan makin meningkatnya
mobilitas manusia atau barang yang dapat menjadi media
pembawa hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, dan
organisme pengganggu tumbuhan, serta masih terbatasnya
37
Angka 9
Pengertian hasil bahan asal hewan termasuk diantaranya daging
rebus, dendeng, kulit yang disamak setengah proses, tepung
tulang, tulang, darah, bulu hewan, kuku dan tanduk, usus, pupuk
hewan dan organ-organ, kelenjar, jaringan, serta cairan tubuh
hewan.
Angka 10
Pengertian ikan meliputi:
a. ikan bersirip (Pisces);
b. udang, rajungan, kepiting dan sebangsanya (Crustacea);
c. kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput dan sebangsanya
(Mollusca);
d. ubur-ubur dan sebangsanya (Coelenterata);
e. tripang, bulu babi dan sebangsanya (Echinodermata);
f. kodok dan sebangsanya (Amphibia);
g. buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air dan sebangsanya
(Reptilia);
h. paus, lumba-lumba, pesut, duyung dan sebangsanya
(Mammalia);
i. rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain yang hidupnya di
dalam air (Algae);
j. biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis
tesebut diatas, termasuk ikan yang dilindungi
Angka 11
Pengertian tumbuhan termasuk tumbuhan yang dilindungi, kecuali
rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain yang hidupnya di dalam air
(Algae).
Angka 12
Cukup jelas
Angka 13
Cukup jelas
40
Pasal 2
Dengan dianutnya asas kelestarian sumberdaya alam hayati
hewan, ikan, dan tumbuhan, berarti penyelenggaraan karantina
hewan, ikan, dan tumbuhan harus semata-mata ditujukan untuk
melindungi kelestarian sumber daya alam hayati hewan, ikan, dan
tumbuhan dari serangan hama dan penyakit hewan karantina,
hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu
tumbuhan karantina, dan tidak untuk tujuan-tujuan lainnya.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Pengertian area meliputi daerah dalam suatu pulau, atau pulau,
atau kelompok pulau di dalam wilayah negara Republik Indonesia
yang dikaitkan dengan pencegahan penyebaran hama dan
penyakit dan organisme pengganggu.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Sertifikat kesehatan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
Dianggap telah dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik
Indonesia apabila telah dibebaskan dari tempat-tempat.
dilakukannya tindakan karantina atau telah dilalulintasbebaskan di
dalam wilayah negara Republik Indonesia.
41
Pasal 6
Dianggap telah dimasukkan ke suatu area dari area lain di dalam
wilayah negara Republik Indonesia apabila telah dibebaskan dari
tempat-tempat dilakukannya tindakan karantina atau telah
dilalulintasbebaskan di area tujuan di dalam wilayah negara
Republik Indonesia. Dianggap telah dikeluarkan dari suatu area ke
area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia apabila telah
dimuat dalam suatu alat angkut di tempat-tempat pengeluaran
untuk dibawa ke area lain di dalam wilayah negara Republik
Indonesia.
Pasal 7
Ayat (1)
Dianggap telah dikeluarkan dari wilayah negara Republik
Indonesia apabila telah dimuat dalam suatu alat angkut di tempattempat pengeluaran untuk dibawa ke suatu tempat lain di luar
wilayah negara Republik Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Kewajiban tambahan yang ditetapkan oleh Pemerintah antara lain
berupa :
a. pemberian perlakuan tertentu terhadap media pembawa hama
dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan
karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan karantina di
negara asal, atau
b. pengenaan tindakan karantina di negara ketiga, atau
c. larangan diturunkannya media pembawa hama dan penyakit
hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau
organisme pengganggu tumbuhan karantina yang akan
dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia di
negara tertentu apabila alat angkut yang membawanya transit
di negara tersebut, atau
d. keharusan melengkapi dengan sertifikat tertentu untuk
pemasukan media pembawa tertentu.
42
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Tindakan karantina dalam ayat ini dapat dikenakan setelah
dilakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap dokumen barang
yang kemudian disesuaikan dengan daftar hama dan penyakit ikan
karantina, organisme pengganggu tumbuhan karantina, media
pembawa hama dan penyakit ikan karantina, atau media pembawa
organisme pengganggu tumbuhan karantina.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Perlakuan dalam ayat ini merupakan tindakan membebaskan atau
menyucihamakan media pembawa dari hama dan penyakit hewan,
hama dan penyakit ikan, atau organisme pengganggu tumbuhan,
yang dilakukan dengan cara fisik, kimia, biologi dan lain-lain.
Perlakuan secara fisik, antara lain berupa radiasi, pemanasan, dan
pendinginan; perlakuan secara kimia, antara lain dengan pestisida,
antibiotika, dan khemoterapeutik; dan perlakuan secara biologi
antara lain dengan serum dan vaksin.
Huruf e
Cukup jelas
43
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Pembebasan dalam tindakan karantina mencakup pembebasan ke
luar atau masuknya media pembawa hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, dan organisme
pengganggu tumbuhan karantina dari atau ke dalam wilayah
negara Republik Indonesia, serta dari suatu area ke area lain di
dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Pembebasan keluarnya disertai sertifikat kesehatan, sedangkan
pembebasan masuknya disertai sertifikat pelepasan.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penyakit karantina yang membahayakan kesehatan manusia
diantaranya meliputi penyakit karantina sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina
Laut dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina
Udara, yaitu :
a. pes (plague);
b. kolera (cholera);
c. demam kuning (yellow fever);
d. cacar (smallpox);
e. typhus bercak wabah, typhus exanthematicus infectiosa (louse
borne typhus);
f. demam balik-balik (louse borne relapsing fever).
Apabila dalam pemeriksaan media pembawa hama dan penyakit
hewan karantina atau hama dan penyakit ikan karantina ditemukan
penyakit karantina, petugas karantina di tempat pemasukan atau
44
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Sertifikat pelepasan dikeluarkan oleh petugas karantina sesuai
bidangnya masing-masing. Khusus sertifikat pelepasan karantina
hewan dikeluarkan oleh dokter hewan petugas karantina.
Ayat (2)
Sertifikat kesehatan dikeluarkan oleh petugas karantina sesuai
bidangnya masing-masing. Khusus sertifikat kesehatan karantina
hewan dikeluarkan oleh dokter hewan petugas karantina.
Pasal 20
Ayat (1)
Tindakan karantina di tempat pemasukan dan/atau pengeluaran di
luar instalasi karantina dilakukan antara lain di kandang, gudang
atau tempat penyimpanan barang pemilik, alat angkut, kade yang
letaknya di dalam daerah pelabuhan laut, pelabuhan sungai,
pelabuhan penyeberangan, bandar udara, kantor pos, dan pos
perbatasan dengan negara lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Penyelenggaraan karantina hewan, ikan, dan tumbuhan
memerlukan biaya yang cukup besar sehingga dipandang perlu
memberikan sebagian biaya tersebut kepada pihak pengguna jasa
dan/atau sarana karantina yang disediakan oleh Pemerintah.
46
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Termasuk dalam pengertian media pembawa lain adalah sampah,
antara lain sisa-sisa makanan yang mengandung bahan asal
hewan, ikan, tumbuhan, sisa makanan hewan, dan kotoran hewan.
Pasal 26
Cukup Jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup Jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup Jelas
Pasal 31
Cukup jelas
47
Pasal 32
Cukup Jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3482
48
TENTANG
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Tumbuhan adalah semua jenis sumber daya alam nabati
dalam keadaan hidup atau mati, baik belum diolah maupun
telah diolah;
2. Karantina Tumbuhan adalah tindakan sebagai upaya
pencegahan masuk dan tersebarnya Organisme Pengganggu
Tumbuhan dari luar negeri dan dari suatu Area ke Area lain di
dalam negeri atau keluarnya dari dalam wilayah Negara
Republik Indonesia;
3. Area adalah meliputi daerah dalam suatu pulau, atau pulau,
atau kelompok pulau di dalam wilayah Negara Republik
Indonesia yang dikaitkan dengan pencegahan penyebaran
Organisme Pengganggu Tumbuhan;
4. Instalasi Karantina Tumbuhan yang selanjutnya disebut
Instalasi Karantina adalah tempat beserta segala sarana yang
ada padanya yang digunakan untuk melaksanakan tindakan
Karantina Tumbuhan;
5. Organisme Pengganggu Tumbuhan adalah semua organisme
yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau
menyebabkan kematian tumbuhan;
6. Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina adalah semua
Organisme Penganggu Tumbuhan yang ditetapkan oleh
Menteri untuk dicegah masuknya ke dalam dan tersebarnya di
dalam wilayah Negara Republik Indonesia;
7. Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina Golongan I
adalah Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina yang
tidak dapat dibebaskan dari Media Pembawanya dengan cara
perlakuan;
8. Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina Golongan II
adalah semua Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
yang dapat dibebaskan dari Media Pembawanya dengan cara
perlakuan;
50
17.
18.
19.
20.
Pasal 3
(1) Setiap Media Pembawa yang dibawa atau dikirim dari suatu
Area ke Area lain di dalam wilayah Negara Republik Indonesia,
wajib :
a. dilengkapi Sertifikat Kesehatan Tumbuhan dari Area asal
bagi tumbuhan dan bagian-bagiannya, kecuali Media
Pembawa yang tergolong benda lain;
b. melalui tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran yang
telah ditetapkan;
c. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas Karantina
Tumbuhan di tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran
untuk keperluan tindakan Karantina Tumbuhan.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan
terhadap setiap Media Pembawa yang dibawa atau dikirim dari
suatu Area yang tidak bebas ke Area lain yang bebas dari
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina.
(3) Penetapan Area sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilakukan oleh Menteri berdasarkan hasil survei dan
pemantauan daerah sebar serta dengan mempertimbangkan
hasil analisis resiko Organisme Pengganggu Tumbuhan
Karantina.
Pasal 4
Setiap Media Pembawa yang akan dikeluarkan dari dalam wilayah
Negara Republik Indonesia, apabila disyaratkan oleh negara
tujuan wajib:
a. dilengkapi Sertifikat Kesehatan Tumbuhan dari tempat
pengeluaran bagi tumbuhan dan bagian-bagiannya, kecuali
Media Pembawa yang tergolong benda lain;
b. melalui tempat-tempat pengeluaran yang telah ditetapkan;
c. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas Karantina
Tumbuhan di tempat-tempat pengeluaran untuk keperluan
tindakan Karantina Tumbuhan.
53
Pasal 5
(1) Selain persyaratan yang diwajibkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4, dalam hal tertentu
Menteri dapat menetapkan kewajiban tambahan.
(2) Kewajiban tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berupa persyaratan teknis dan/atau kelengkapan dokumen
yang ditetapkan berdasarkan analisis Organisme Pengganggu
Tumbuhan.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang kewajiban tambahan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri.
BAB III
TINDAKAN KARANTINA TUMBUHAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 6
(1) Setiap Media Pembawa yang dimasukkan ke dalam wilayah
Negara Republik Indonesia dikenakan tindakan Karantina
Tumbuhan.
(2) Setiap Media Pembawa yang dibawa atau dikirim dari suatu
Area yang tidak bebas ke Area lain yang bebas di dalam
wilayah Negara Republik Indonesia dikenakan tindakan
Karantina Tumbuhan.
(3) Setiap Media Pembawa yang akan dikeluarkan dari wilayah
Negara Republik Indonesia dikenakan tindakan Karantina
Tumbuhan apabila disyaratkan oleh negara tujuan.
Pasal 7
Tindakan Karantina Tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 dilakukan oleh petugas Karantina Tumbuhan berupa
pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan,
penolakan, pemusnahan dan pembebasan.
54
Pasal 8
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 meliputi :
a. pemeriksaan administratif untuk mengetahui kelengkapan,
kebenaran isi, dan keabsahan dokumen persyaratan; dan
b. pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi kemungkinan
adanya Organisme Pengganggu Tumbuhan dan/atau
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina.
(2) Pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf b, dapat dilakukan secara visual dan/atau laboratoris.
(3) Pemilik membantu kelancaran pelaksanaan pemeriksaan
sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) huruf b.
Pasal 9
(1) Pengasingan dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 dimaksudkan untuk mendeteksi kemungkinan adanya
Organisme Pengganggu Tumbuhan dan/atau Organisme
Pengganggu Tumbuhan Karantina yang karena sifatnya
memerlukan waktu lama, sarana khusus dan kondisi khusus.
(2) Pengasingan dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan di suatu tempat yang terisolasi selama
waktu tertentu sesuai dengan masa inkubasi Organisme
Pengganggu Tumbuhan dan/atau Organisme Pengganggu
Tumbuhan Karantina yang bersangkutan.
Pasal 10
(1) Perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilakukan
untuk membebaskan Media Pembawa, orang, alat angkut,
peralatan, dan pembungkus dari Organisme Pengganggu
Tumbuhan dan/atau Organisme Pengganggu Tumbuhan
Karantina Golongan II.
(2) Perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat
dilakukan secara fisik maupun kimiawi.
Pasal 11
Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dimaksudkan
untuk
mengamankan
Media
Pembawa
dengan
cara
55
Pasal 14
Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilakukan
apabila Media Pembawa yang bersangkutan :
a. bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan dan/atau
organisme Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina; dan
b. semua persyaratan yang ditetapkan bagi pemasukan atau
pengeluaran Media Pembawa tersebut telah dipenuhi.
Bagian Kedua
Pemasukan Media Pembawa dari Luar Negeri ke
Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia
Pasal 15
Pelaporan dan penyerahan Media Pembawa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Untuk barang muatan yang pemasukannya dikenakan
tindakan pengasingan dan pengamatan, laporan pemasukan
dilakukan oleh Pemilik paling lambat 5 (lima) hari sebelum
Media Pembawa tersebut tiba di tempat pemasukan dan
penyerahannya dilakukan pada saat tiba di tempat
pemasukan;
b. Untuk barang muatan yang tidak dikenakan pengasingan dan
pengamatan atau barang bawaan, laporan pemasukan dan
penyerahan media pembawa tersebut dilakukan oleh Pemilik
pada saat Media Pembawa tersebut tiba di tempat
pemasukan;
c. Untuk kiriman pos, penyerahan Media Pembawa tersebut
dilakukan oleh petugas pos kepada petugas Karantina
Tumbuhan pada saat Media Pembawa tersebut tiba di tempat
pemasukan, sedangkan laporan pemasukannya dilakukan oleh
Pemilik paling lambat 3 (tiga) hari setelah yang bersangkutan
menerima pemberitahuan dari petugas pos.
57
Pasal 16
(1) Apabila Pemilik tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15, maka setibanya Media Pembawa di
tempat pemasukan terhadap Media Pembawa tersebut
dilakukan penahanan paling lama 14 (empat belas) hari.
(2) Selama Media Pembawa berada dalam penahanan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemilik harus
melaporkan pemasukan Media Pembawa tersebut kepada
petugas Karantina Tumbuhan setempat.
(3) Apabila setelah jangka waktu penahanan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Pemilik tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka terhadap Media
Pembawa tersebut dilakukan penolakan.
Pasal 17
Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal
15, dan Pasal 16 ayat (2) dapat dipenuhi, maka terhadap Media
Pembawa tersebut dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8.
Pasal 18
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 terhadap
Media Pembawa dapat dilakukan :
a. setelah Media Pembawa tersebut diturunkan dari alat angkut;
dan/atau
b. di atas alat angkut.
Pasal 19
(1) Apabila setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 huruf a, ternyata Media Pembawa
tersebut:
a. merupakan Media Pembawa yang pemasukannya
dikenakan tindakan pengasingan dan pengamatan, maka
terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pengasingan
dan pengamatan;
58
65
Pasal 34
Apabila setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33, ternyata Media Pembawa tersebut:
a. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Golongan II, maka terhadap Media Pembawa tersebut
dilakukan perlakuan di atas alat angkut;
b. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Golongan I, busuk, rusak atau merupakan jenis-jenis yang
dilarang pemasukannya, maka terhadap Media Pembawa
tersebut dilakukan penolakan dan dilarang diturunkan dari alat
angkut yang membawanya;
c. bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina,
maka Media Pembawa tersebut dapat diturunkan dari alat
angkut yang membawanya dengan tetap memberlakukan
ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal
32.
Pasal 35
(1) Apabila setelah diberi perlakuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 huruf a, ternyata Media Pembawa tersebut:
a. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan
Karantina Golongan II, maka terhadap Media Pembawa
tersebut dilakukan penolakan dan dilarang diturunkan dari
alat angkut yang membawanya;
b. bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Golongan II, dengan tetap memperhatikan ketentuan yang
diatur dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 32, maka
terhadap Media Pembawa tersebut dapat diturunkan dari
alat angkut yang membawanya.
(2) Apabila setelah 14 (empat belas) hari sejak diterimanya surat
penolakan oleh Pemiliknya ternyata Media Pembawa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau Pasal 34
huruf b tidak/belum dibawa keluar dari tempat pemasukan atau
Area bersangkutan oleh Pemiliknya, maka Media Pembawa
tersebut diturunkan dari alat angkut yang membawanya untuk
dimusnahkan.
66
67
Bagian Keempat
Pengeluaran dari Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia
Pasal 39
Pelaporan Media Pembawa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf c dilakukan oleh Pemilik kepada petugas Karantina Tumbuhan
di tempat pengeluaran sebelum Media Pembawa tersebut dimuat di
atas alat angkut yang akan memberangkatkannya.
Pasal 40
Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dapat
dipenuhi, maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
Pasal 41
Apabila setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40, ternyata Media Pembawa tersebut:
a. merupakan Media Pembawa yang pengeluarannya dikenakan
tindakan pengasingan dan pengamatan, maka terhadap Media
Pembawa tersebut dilakukan pengasingan dan pengamatan;
b. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan, maka
terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan perlakuan;
c. busuk atau rusak dan/atau merupakan jenis-jenis Media
Pembawa yang pengeluarannya tidak diperbolehkan melalui
tempat pengeluaran yang bersangkutan atau dikeluarkan dari
dalam wilayah Negara Republik Indonesia atau dimasukkan ke
negara tujuan, dan/atau tidak memenuhi persyaratan
administrasi dan/atau persyaratan teknis yang diatur dalam
Pasal 5 ayat (1), maka terhadap Media Pembawa tersebut
dilakukan penolakan.
d. bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan, maka
terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pembebasan.
68
Pasal 42
Apabila
selama
dalam
pengasingan
dan
pengamatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf a, ternyata Media
Pembawa tersebut:
a. busuk, atau rusak, maka terhadap Media Pembawa tersebut
dilakukan penolakan;
b. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan, maka
terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan perlakuan;
c. bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan, maka
terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pembebasan.
Pasal 43
Apabila setelah dilakukan perlakuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 huruf b atau Pasal 42 huruf b, ternyata Media
Pembawa tersebut:
a. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan, maka
terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan penolakan;
b. bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan, maka
terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pembebasan.
Pasal 44
(1) Setiap Media Pembawa yang ditolak pengeluarannya dari
dalam wilayah Negara Republik Indonesia, paling lambat dalam
waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya surat penolakan
oleh Pemilik, harus sudah dibawa keluar oleh Pemiliknya dari
tempat pengeluaran.
(2) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) Media Pembawa tersebut belum dibawa keluar oleh
Pemiliknya dari tempat pengeluaran, maka terhadap Media
Pembawa tersebut dilakukan pemusnahan.
Pasal 45
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pelaksanaan tindakan
Karantina Tumbuhan terhadap pengeluaran Media Pembawa dari
dalam wilayah Negara Republik Indonesia ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
69
Bagian Kelima
Instalasi Karantina
Pasal 46
(1) Untuk keperluan pelaksanaan tindakan Karantina Tumbuhan,
Pemerintah membangun Instalasi Karantina di tempat-tempat
pemasukan dan pengeluaran atau tempat-tempat lain.
(2) Instalasi Karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilengkapi dengan sarana pemeriksaan, sarana pengasingan,
sarana pengamatan, sarana perlakuan, sarana penahanan,
sarana pemusnahan, dan sarana pendukungnya.
Pasal 47
(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya dapat menetapkan
tempat milik perorangan atau badan hukum sebagai Instalasi
Karantina atas permintaan Pemilik tempat bersangkutan.
(2) Instalasi Karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus memenuhi kelayakan teknis untuk pelaksanaan tindakan
Karantina Tumbuhan sesuai dengan peruntukannya.
(3) Menteri dapat mencabut kembali penetapan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) atas permintaan Pemilik tempat yang
bersangkutan atau apabila dari hasil evaluasi yang dilakukan,
dikemudian hari ternyata Instalasi Karantina tersebut dianggap
tidak lagi memenuhi kelayakan teknis sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Instalasi Karantina milik
perorangan atau badan hukum sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Bagian Keenam
Tindakan Karantina Tumbuhan
di Luar Tempat Pemasukan dan Pengeluaran
Pasal 48
(1) Pelaksanaan tindakan Karantina Tumbuhan dapat dilakukan di
luar tempat pemasukan dan/atau pengeluaran, baik di dalam
maupun di luar Instalasi Karantina.
70
Pasal 52
Setiap alat angkut yang akan tiba di tempat pemasukan harus
dilaporkan kedatangannya oleh penanggung jawab alat angkut
tersebut kepada petugas Karantina Tumbuhan setempat.
Pasal 53
(1) Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52,
dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk kapal atau pesawat udara, laporan kedatangannya
dilakukan di tempat pemasukan, sebelum kedatangan
kapal atau pesawat udara tersebut;
b. untuk alat angkut darat yang tiba dari suatu Area di dalam
wilayah Negara Republik Indonesia dan yang secara
khusus digunakan mengangkut Media Pembawa atau
yang
berasal/melalui
daerah
wabah,
laporan
kedatangannya dilakukan di tempat pemasukan;
c. untuk alat angkut darat sebagaimana dimaksud pada huruf
b yang datang dari luar negeri, laporan kedatangannya
dilakukan di tempat pemasukan pada saat kedatangan alat
angkut tersebut.
(2) Setibanya alat angkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di
tempat pemasukan, Pemilik alat angkut wajib menyampaikan
daftar/keterangan tentang muatan alat angkut serta
dokumen/keterangan lain yang dipandang perlu kepada
petugas Karantina Tumbuhan setempat.
Pasal 54
Pada saat alat angkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 tiba
di tempat pemasukan, terhadap alat angkut tersebut dilakukan
pemeriksaan oleh petugas Karantina Tumbuhan setelah
berkoordinasi dengan petugas instansi terkait dengan ketentuan:
a. untuk kapal, pemeriksaan dilakukan sebelum atau pada saat
kapal merapat di dermaga;
b. untuk pesawat udara, pemeriksaan dilakukan pada saat
kedatangan pesawat udara tersebut;
72
c.
Pasal 61
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pelaksanaan tindakan
Karantina Tumbuhan terhadap orang, alat angkut, peralatan dan
pembungkus ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Bagian Kedelapan
Transit Media Pembawa
Pasal 62
Transit Media Pembawa hanya diperbolehkan apabila melalui
tempat pemasukan dan pengeluaran yang ditetapkan.
Pasal 63
Pada saat kedatangan Media Pembawa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 62, Pemilik wajib melaporkan dan menyerahkan Media
Pembawa tersebut kepada petugas Karantina Tumbuhan setempat.
Pasal 64
(1) Selama transit, Media Pembawa tersebut harus berada di
bawah pengawasan petugas Karantina Tumbuhan.
(2) Apabila disyaratkan oleh negara atau Area tujuan atau atas
pertimbangan petugas Karantina Tumbuhan, maka terhadap
Media Pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan pemeriksaan.
Pasal 65
(1) Apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64 ayat (2) ternyata Media Pembawa tersebut tidak
bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina dan
tidak dapat dibebaskan dengan cara perlakuan, atau berada
dalam keadaan busuk atau rusak, atau merupakan jenis-jenis
Media Pembawa yang dilarang pemasukannya ke dalam
wilayah Negara Republik Indonesia atau Area yang
bersangkutan, maka terhadap Media Pembawa tersebut
dilakukan penolakan dan harus segera dibawa keluar dari
76
77
Bagian Kesembilan
Transit Alat Angkut
Pasal 67
Transit alat angkut yang membawa Media Pembawa di dalam
wilayah Negara Republik Indonesia hanya boleh dilakukan di
tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran.
Pasal 68
Penanggung jawab alat angkut wajib melaporkan kedatangan alat
angkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 kepada petugas
Karantina Tumbuhan setempat sebelum kedatangan alat angkut
tersebut.
Pasal 69
Penanggung jawab alat angkut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 68 dilarang menurunkan Media Pembawa dari alat angkut
yang sedang transit.
Bagian Kesepuluh
Tindakan Karantina Tumbuhan
Dalam Keadaan Darurat
Pasal 70
(1) Jika kapal atau pesawat udara yang memuat Media Pembawa
karena keadaan darurat merapat atau mendarat bukan di
tempat tujuan, penanggung jawab alat angkut yang
bersangkutan harus segera melaporkan hal tersebut kepada
petugas Karantina Tumbuhan terdekat.
(2) Kecuali karena alasan-alasan yang memaksa, Media
Pembawa, peralatan, serta Media Pembawa lain yang terdapat
dalam kapal atau pesawat udara tersebut dan yang
berhubungan langsung dengan Media Pembawa di atas,
dilarang dibongkar atau diturunkan dari alat angkut sebelum
diperiksa dan diizinkan oleh petugas Karantina Tumbuhan.
(3) Dalam hal kapal atau pesawat udara yang merapat atau
mendarat darurat tidak dapat meneruskan perjalanannya,
78
Bagian Keempatbelas
Pemasukan Media Pembawa yang Ditolak
Negara atau Area Tujuan
Pasal 74
(1) Pemasukan kembali Media Pembawa yang ditolak negara atau
Area tujuan dikenakan tindakan Karantina Tumbuhan, kecuali
tindakan penolakan.
(2) Pemasukan kembali Media Pembawa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), harus disertai dengan surat keterangan
penolakan dari negara atau Area tujuan.
(3) Sertifikat Kesehatan Tumbuhan yang menyertai Media
Pembawa tersebut pada waktu pengeluaran dapat
diberlakukan sebagai persyaratan Karantina Tumbuhan.
Bagian Kelimabelas
Tindakan Karantina Tumbuhan terhadap Media Pembawa
Organisme Pengganggu Tumbuhan Penting
Pasal 75
(1) Terhadap
Media
Pembawa
Organisme
Pengganggu
Tumbuhan Penting yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara
Republik Indonesia atau diangkut dari suatu Area ke Area lain
di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, dikenakan
tindakan Karantina Tumbuhan.
(2) Tindakan Karantina Tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang sertifikasi benih.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang tindakan Karantina Tumbuhan
terhadap Media Pembawa Organisme Pengganggu Tumbuhan
Penting ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
80
Bagian Keenambelas
Dokumen Tindakan Karantina Tumbuhan
Pasal 76
(1) Untuk setiap tindakan Karantina Tumbuhan diterbitkan
dokumen tindakan Karantina Tumbuhan oleh petugas
Karantina Tumbuhan.
(2) Dokumen tindakan Karantina Tumbuhan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib segera disampaikan kepada
Pemilik dan/atau pihak lain yang berkepentingan.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang jenis, bentuk, dan tata cara
penerbitan dokumen tindakan Karantina Tumbuhan ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
BAB IV
PUNGUTAN JASA KARANTINA TUMBUHAN
Pasal 77
(1) Setiap Pemilik yang memanfaatkan jasa atau sarana
pemerintah dalam pelaksanaan tindakan Karantina Tumbuhan,
dikenakan pungutan jasa Karantina Tumbuhan.
(2) Pungutan jasa Karantina Tumbuhan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), terdiri dari biaya penggunaan sarana pada
Instalasi Karantina milik Pemerintah dan biaya jasa
pelaksanaan tindakan Karantina Tumbuhan yang dilakukan
oleh petugas Karantina Tumbuhan.
Pasal 78
(1) Semua penerimaan yang berasal dari pungutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 merupakan Penerimaan Negara
Bukan Pajak dan harus disetor ke Kas Negara.
(2) Tata cara dan besarnya pungutan jasa Karantina Tumbuhan
akan ditetapkan lebih lanjut dalam peraturan tersendiri sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
81
BAB V
KAWASAN KARANTINA TUMBUHAN
Pasal 79
(1) Dalam hal ditemukan atau terdapat petunjuk terjadinya
serangan suatu Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
di suatu kawasan yang semula diketahui bebas dari
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina tersebut,
Menteri dapat menetapkan kawasan tersebut sebagai
kawasan Karantina Tumbuhan.
(2) Penetapan kawasan Karantina Tumbuhan sebagaimana
dimaksut dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri berdasarkan
pengkajian atas luas serangan Organisme Pengganggu
Tumbuhan tersebut dan setelah memperhatikan pertimbangan
Kepala Daerah setempat.
(3) Sambil menunggu penetapan kawasan Karantina Tumbuhan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kepala Daerah
setempat dapat mengambil langkah dan tindakan yang
diperlukan
untuk
mencegah
tersebarnya
dan/atau
mengeradikasi Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
yang menjadi dasar penetapan kawasan Karantina Tumbuhan
tersebut.
Pasal 80
Dalam hal suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan Karantina
Tumbuhan, maka:
a. pencegahan penyebaran dari dan pemberantasan Organisme
Pengganggu Tumbuhan Karantina di kawasan Karantina
Tumbuhan tersebut, menjadi wewenang dan tanggung jawab
Menteri;
b. Gubernur setempat mengkoordinasikan pelaksanaan tugas
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Pasal 81
(1) Penetapan kawasan Karantina Tumbuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79 bersifat sementara dan akan dicabut
82
BAB IX
PEMBINAAN
Pasal 89
(1) Menteri melakukan pembinaan untuk meningkatkan kesadaran
dan peran serta masyarakat dalam bidang perkarantinaan
tumbuhan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselenggarakan melalui kegiatan pendidikan, pelatihan,
penyuluhan, dan penyebarluasan informasi secara terencana
dan berkelanjutan.
(3) Dalam menyelenggarakan kegiatan pembinaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Menteri dapat mengikutsertakan
organisasi-organisasi profesi atau lembaga-lembaga lainnya.
BAB X
KERJASAMA ANTAR NEGARA DI BIDANG
KARANTINA TUMBUHAN
Pasal 90
(1) Menteri
dapat
melakukan
kerjasama
yang
saling
menguntungkan dengan negara lain di bidang Karantina
Tumbuhan.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilakukan dalam bentuk kerjasama bilateral, regional, dan/atau
multilateral.
BAB XI
PETUGAS KARANTINA TUMBUHAN
Pasal 91
(1) Pelaksanaan tindakan Karantina Tumbuhan dilakukan oleh
petugas Karantina Tumbuhan.
(2) Petugas Karantina Tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah Pejabat Fungsional Pengendali Organisme
Pengganggu Tumbuhan yang bekerja pada instansi Karantina
Tumbuhan.
85
Pasal 92
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, petugas Karantina Tumbuhan
berwenang untuk:
a. memasuki dan memeriksa alat angkut, gudang, kade,
apron,
ruang keberangkatan atau kedatangan
penumpang, atau tempat-tempat lain di tempat-tempat
pemasukan dan pengeluaran untuk mengetahui ada atau
tidaknya Media Pembawa yang akan dilalulintaskan;
b. mengambil contoh Media Pembawa yang akan
dilalulintaskan;
c. membuka atau memerintahkan orang lain untuk membuka
pembungkus, kemasan, atau paket Media Pembawa, peti
kemas atau bagasi, palka untuk mengetahui ada atau
tidaknya Media Pembawa yang akan atau sedang
dilalulintaskan;
d. melarang orang yang tidak berkepentingan untuk
memasuki Instalasi Karantina, alat angkut atau tempattempat lain dimana sedang dilakukan tindakan Karantina
Tumbuhan;
e. melarang diturunkannya
dari alat
angkut atau
dipindahtempatkannya Media Pembawa yang sedang
dalam pengawasan petugas Karantina Tumbuhan;
f. memasuki tempat-tempat penyimpanan/penampungan
Media Pembawa untuk keperluan tindakan Karantina
Tumbuhan terhadap Media Pembawa tersebut dalam hal
tindakan Karantina Tumbuhan dilakukan di luar tempattempat pemasukan dan pengeluaran; dan/atau
g. menetapkan cara perawatan dan pemeliharaan Media
Pembawa yang sedang dikenai tindakan Karantina Tumbuhan.
(2) Dalam melaksanakan tugas dan kewenangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), petugas Karantina Tumbuhan
melakukan koordinasi dengan instansi terkait.
Pasal 93
Penyidikan tindak pidana di bidang Karantina Tumbuhan dapat
dilakukan oleh petugas Karantina Tumbuhan yang diberi
86
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 April 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002
NOMOR 35.
87
MENTERI PERTANIAN
REPUBLIK INDONESIA
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Pasal 3
Ruang lingkup pengaturan dalam peraturan ini meliputi
persyaratan teknis pemasukan, tindakan karantina tumbuhan dan
tempat pemasukan buah-buahan dan atau sayuran buah segar.
BAB II
PERSYARATAN TEKNIS PEMASUKAN
BUAH-BUAHAN DAN ATAU SAYURAN BUAH SEGAR
Pasal 4
Buah-buahan dan atau sayuran buah segar yang dimasukkan ke
dalam wilayah Negara Republik Indonesia, wajib:
a. dilengkapi Sertifikat Kesehatan Tumbuhan dari negara asal
dan negara transit;
b. melalui tempat-tempat pemasukan yang ditetapkan.
c. dilaporkan dan diserahkan kepada Petugas Karantina
Tumbuhan di tempat-tempat pemasukan untuk keperluan
tindakan karantina tumbuhan.
Pasal 5
Pemasukan buah-buahan dan atau sayuran buah segar ke dalam
wilayah negara Republik Indonesia dapat berasal dari area
produksi di negara asal yang bebas dari infestasi organisme
pengganggu tumbuhan karantina seperti tercantum dalam
Lampiran Peraturan ini atau berasal dari area produksi di negara
asal yang tidak bebas dari infestasi organisme pengganggu
tumbuhan karantina.
Pasal 6
Pemasukan buah-buahan dan atau sayuran buah segar ke dalam
wilayah negara Republik Indonesia yang berasal dari area
produksi di negara yang bebas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, harus dinyatakan dalam kolom keterangan tambahan
(Additional Declaration) pada Sertifikat Kesehatan Tumbuhan yang
menyertai kiriman.
92
Pasal 7
(1) Pemasukan buah-buahan dan atau sayuran buah segar ke
dalam wilayah negara Republik Indonesia yang berasal dari
area produksi yang tidak bebas dari infestasi organisme
pengganggu tumbuhan karantina sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5, harus diberi perlakuan.
(2) Perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain
berupa pendinginan dengan suhu sesuai jenis buah-buahan
dan atau sayuran buah segar maupun jenis lalat buah yang
dicegah, dan dinyatakan dalam kolom perlakuan pada
Sertifikat Kesehatan Tumbuhan yang menyertai kiriman.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlakuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan
Karantina Pertanian.
Pasal 8
Buah-buahan dan atau sayuran buah segar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 harus dibungkus / dikemas antara lain
menggunakan karton dan plastik, serta diangkut dengan peti
kemas yang dilengkapi sarana pendingin.
Pasal 9
(1) Untuk barang muatan, Pemilik menyampaikan pemberitahuan
rencana pemasukan buah-buahan dan atau sayuran buah
segar kepada Kepala Badan Karantina Pertanian cq. Kepala
Unit Pelaksana Teknis Karantina Tumbuhan di tempat
pemasukan yang ditunjuk.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan sebelum dinaikkan ke alat angkut di tempat
pengeluaran negara asal.
(3) Pemberitahuan rencana pemasukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) antara lain meliputi jumlah, jenis, merk, jenis
kemasan, jenis alat angkut, peti kemas, tempat pengeluaran
negara asal, tempat pemasukan, dan tempat transit.
93
Pasal 10
Kepala Badan Karantina Pertanian cq. Kepala Unit Pelaksana
Teknis Karantina Tumbuhan di tempat pemasukan, dengan
memperhatikan ketentuan tersebut dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal
7, dan Pasal 8, memberikan jawaban terhadap rencana
pemasukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Pasal 11
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10,
juga berlaku untuk buah-buahan dan atau sayuran buah segar
dalam bentuk bawaan penumpang dan jasa kiriman pos.
Pasal 12
(1) Untuk mengetahui bebas tidaknya suatu area produksi di
negara asal dari infestasi organisme pengganggu tumbuhan
karantina, dapat dilakukan survei di area produksi di negara
asal oleh Petugas Karantina Tumbuhan dan atau pejabat lain
yang ditunjuk oleh Kepala Badan Karantina Pertanian.
(2) Survei sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas
pertimbangan analisis risiko organisme pengganggu tumbuhan
khususnya lalat buah dan dilakukan sesuai dengan standar
yang ditetapkan oleh Sekretariat Konvensi Perlindungan
Tanaman Internasional (IPPC Secretariate - Food and
Agriculture Organization) dan standar lainnya yang telah
dipublikasikan.
(3) Biaya yang diperlukan untuk survei sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibebankan kepada Anggaran Badan Karantina
Pertanian dan atau Pemilik.
BAB III
TINDAKAN KARANTINA TUMBUHAN
Pasal 13
(1) Buah-buahan dan atau sayuran buah segar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 yang dimasukkan ke dalam wilayah
negara Republik Indonesia tidak memenuhi ketentuan
94
Pasal 16
Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tindakan
penolakan atau pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 dan Pasal 15 menjadi tanggung jawab dan dibebankan kepada
pemilik buah-buahan dan atau sayuran buah segar.
BAB IV
TEMPAT-TEMPAT PEMASUKAN
Pasal 17
(1) Tempat-tempat pemasukan buah-buahan dan atau sayuran
buah segar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b,
terdiri atas:
1. Pelabuhan Laut Tanjung Priok, Jakarta.
2. Pelabuhan Laut Tanjung Perak, Surabaya.
3. Pelabuhan Laut Belawan, Medan.
4. Pelabuhan Laut Batu Ampar, Batam.
5. Bandar Udara Soekarno-Hatta, Jakarta.
6. Bandar Udara Ngurah Rai, Denpasar.
7. Pelabuhan Laut Makassar.
(2) Berdasarkan pertimbangan teknis dan strategis, pemasukan
buah-buahan dan atau sayuran buah segar atas persetujuan
Menteri Pertanian dapat dilakukan di luar tempat-tempat
pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Tempat-tempat pemasukan yang ditetapkan dalam Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 469/Kpts/HK.310/8/2001 tetap
berlaku untuk pemasukan media pembawa Organisme
Pengganggu Tumbuhan Karantina selain buah-buahan dan
atau sayuran buah segar.
Pasal 18
Peraturan ini dilaksanakan secara efektif paling lambat dalam
waktu 2 (dua) bulan sejak tanggal ditetapkan.
Pasal 19
Dengan ditetapkannya Peraturan ini, maka Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 358/Kpts/OT.140/9/2005 dinyatakan tidak berlaku
lagi.
96
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan : Di Jakarta.
Pada tanggal : 27 Januari 2006
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
97
MENTERI PERTANIAN
REPUBLIK INDONESIA
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16. Keputusan
Menteri
Pertanian
Nomor
1038/Kpts/HK.030/11/1997 tentang Pembentukan Komisi
Keamanan Hayati Produk Bioteknologi Pertanian Hasil
Rekayasa Genetika;
17. Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri
Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Negara Pangan dan
Hortikultura
Nomor
998/Kpts/OT.210/9/1999,
Nomor
790.a/Kpts-IX/1999, Nomor 1145.A/MENKES/SKB/IX/1999,
dan Nomor 015.A/ Meneg PHOR/09/1999 tentang Keamanan
Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil
Rekayasa Genetik;
18. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 388/Kpts/OT.160/6/2004
tentang Tim Penilai dan Pelepas Varietas (TP2V);
19. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 02/Kpts/OT.140/1/2006
tentang Pembentukan Tim Penyusun Konsep Sistem
Perbenihan dan Perbibitan Nasional;
20. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/OT.140/7/2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian;
21. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/OT.140/9/2005
tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Pertanian;
22. SK Menteri Pertanian Nomor 74/Kpts/TP.500/2/98 tentang
Jenis Komoditi Binaan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan
dan Hortikultura dan Direktorat Jenderal Perkebunan ;
23. Memperhatikan :
24. Memorandum Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian selaku Ketua Tim Penyusun Konsep Sistem
Perbenihan dan Perbibitan Nasional Nomor 194/TU.220/
J/5/2006 tanggal 30 Mei 2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG
PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BENIH.
100
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Benih tanaman yang selanjutnya disebut benih adalah
tanaman
atau
bagiannya
yang
digunakan
untuk
memperbanyak dan/atau mengembangbiakkan tanaman.
2. Benih bina adalah benih dari varietas unggul yang telah
dilepas, yang produksi dan peredarannya diawasi.
3. Benih Hibrida adalah keturunan pertama (F1) yang dihasilkan
dari persilangan antara 2 atau lebih tetua pembentuknya
dan/atau galur induk/inbrida homozigot.
4. Pemasukan benih adalah serangkaian kegiatan untuk
memasukkan benih tanaman dari luar negeri kedalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik sebagai introduksi
untuk pemuliaan tanaman maupun untuk pengadaan benih
bina tanaman.
5. Pengeluaran benih adalah serangkaian kegiatan untuk
mengeluarkan benih dari wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
6. Izin pemasukan adalah keterangan tertulis berisikan hak yang
diberikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk kepada
perorangan, badan hukum atau instansi Pemerintah untuk
dapat
7. melakukan kegiatan pemasukan benih tanaman.
8. Izin pengeluaran adalah keterangan tertulis berisikan hak yang
diberikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk kepada
perorangan, badan hukum atau instansi Pemerintah untuk
dapat melakukan kegiatan pengeluaran benih.
9. Direktorat Jenderal adalah unit kerja organisasi di lingkungan
Departemen Pertanian yang dipimpin oleh seorang Direktur
Jenderal yang bersangkutan yang melaksanakan tugas dan
fungsi dibidang Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan,
atau Hijauan Pakan ternak.
10. Pusat Perizinan dan Investasi Pertanian yang selanjutnya
disebut PPI adalah unit kerja organisasi di lingkungan
101
Bagian Ketiga
Pemasukan Benih Bukan Untuk Penelitian
Pasal 8
Izin Pemasukan benih bukan untuk penelitian diberikan oleh
Direktur Jenderal yang bersangkutan.
Pasal 9
Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dapat dilakukan untuk:
a. persiapan pelepasan varietas;
b. pengadaan benih bina;
c. kebutuhan bagi pemerhati tanaman; atau
d. kebutuhan tujuan ekspor
Pasal 10
Untuk memperoleh izin pemasukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. varietas yang bersangkutan mempunyai keunggulan dan/atau
keunikan serta kegunaan spesifik;
b. jumlah benih yang dimohonkan terbatas sesuai dengan
kebutuhan untuk pelaksanaan persiapan pelepasan varietas.
c. mengikuti peraturan perundang.undangan di bidang karantina
tumbuhan.
Pasal 11
Untuk memperoleh izin pemasukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. varietas sudah dilepas di Indonesia tetapi benihnya belum
cukup tersedia atau perbanyakannya belum dapat atau tidak
dapat diselenggarakan di wilayah Negara Republik Indonesia
atau yang tidak efisien diproduksi di Indonesia;
b. jumlah benih yang dimohonkan terbatas sesuai dengan
kebutuhan untuk pelaksanaan pengadaan benih bina;
c. mengikuti peraturan perundang.undangan di bidang karantina
tumbuhan.
104
Pasal 12
Untuk memperoleh izin pemasukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf c, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. jumlah benih yang dimohonkan terbatas sesuai dengan
kebutuhan untuk pemerhati tanaman;
b. mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang karantina
tumbuhan.
Pasal 13
Untuk memperoleh izin pemasukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf d, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. jumlah benih yang dimohonkan terbatas sesuai dengan
kebutuhan untuk pelaksanaan pertanaman tujuan ekspor ;
b. mengikuti peraturan perundang.undangan di bidang karantina
tumbuhan.
Pasal 14
Pemasukan benih hijauan pakan ternak bukan untuk penelitian
selain mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10
dan Pasal 11, harus lulus uji keamanan hayati.
Pasal 15
Pemasukan benih transgenik bukan untuk penelitian selain
mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13, harus lulus uji keamanan hayati
dan/atau keamanan pangan.
Pasal 16
(1) Pemasukan benih untuk pengadaan benih bina sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 harus memenuhi standar mutu benih
bina yang telah ditetapkan.
(2) Apabila standar mutu benih bina belum ditetapkan, Direktur
Jenderal yang bersangkutan dalam memberikan izin
pemasukan benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(2) didasarkan pada standar mutu benih kerabat terdekat.
105
Pasal 19
(1) Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal penerimaan permohonan dari Kepala PPI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), Kepala
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau Direktur
Jenderal yang bersangkutan belum memberikan jawaban
menerima, menunda atau menolak, maka permohonan
dianggap diterima dan diterbitkan izin pemasukan benih dalam
bentuk
Keputusan
Kepala
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Pertanian atau Direktur Jenderal yang
bersangkutan seperti formulir model.2.
(2) Izin pemasukan yang diterbitkan dalam bentuk Keputusan
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau
Direktur Jenderal yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala PPI selanjutnya
untuk diberikan kepada pemohon.
(3)
Pasal 20
(1) Permohonan yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19, yang belum lengkap atau masih ada kekurangan
persyaratan akan diberitahukan kepada pemohon melalui
Kepala PPI secara tertulis yang disertai penjelasan penundaan
dengan formulir model-3.
(2) Pemohon dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja
sejak menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus melengkapi persyaratan.
(3) Apabila dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) pemohon belum dapat melengkapi
persyaratan, permohonan dianggap ditarik kembali.
Pasal 21
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ditolak
apabila tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 9, Pasal 10, atau Pasal 11, atau
tidak benar atau karena adanya alasan teknis, akan diberitahukan
107
yang
serta
yang
dan
yang
BAB III
PENGELUARAN BENIH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 26
(1) Pengeluaran benih dapat dilakukan oleh perorangan, badan
hukum atau instansi Pemerintah yang mempunyai tugas dan
fungsi di bidang penelitian dan pengembangan, agribisnis
dan/atau pemerhati tanaman.
109
(2)
ayat (2), dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
harus sudah memberikan jawaban diterima, ditunda atau
ditolak.
Pasal 32
(1) Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal penerimaan permohonan dari Kepala PPI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3), Kepala
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau Direktur
Jenderal yang bersangkutan belum memberikan jawaban
menerima, menunda atau menolak, maka permohonan
dianggap diterima dan diterbitkan izin pengeluaran benih
dalam bentuk Keputusan Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian atau Direktur Jenderal yang
bersangkutan seperti formulir model.6.
(2) Izin pengeluaran yang diterbitkan dalam bentuk Keputusan
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau
Direktur Jenderal yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala PPI selanjutnya
untuk diberikan kepada pemohon.
Pasal 33
(1) Permohonan yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (3), yang belum lengkap atau masih ada
kekurangan persyaratan akan diberitahukan kepada pemohon
melalui Kepala
(2) PPI secara tertulis yang disertai penjelasan penundaan
dengan formulir model-7.
(3) Pemohon dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja
sejak menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus melengkapi persyaratan.
(4) Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) pemohon belum dapat melengkapi
persyaratan, permohonan dianggap ditarik kembali.
112
Pasal 34
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ditolak
apabila tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 atau Pasal 29, atau tidak benar atau karena adanya alasan
teknis, akan diberitahukan kepada pemohon melalui Kepala PPI
secara tertulis dengan menggunakan formulir model-7.
Pasal 35
(1) Izin pengeluaran benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 berlaku untuk jangka waktu 6 (enam) bulan.
(2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
jenis dan jumlah benih yang tercantum dalam Keputusan izin
pengeluaran harus sudah selesai dikeluarkan dari wilayah
Negara Republik Indonesia.
Pasal 36
(1) Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang
mengeluarkan benih wajib menyerahkan Keputusan izin
pengeluaran benih kepada petugas karantina tumbuhan di
tempat pengeluaran.
(2) Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang
mengeluarkan benih paling lambat dalam jangka waktu 7
(tujuh) hari kerja sejak pengeluaran benih sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan realisasi
pengeluaran benih kepada Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian atau Direktur Jenderal yang
bersangkutan dengan tembusan kepada Kepala PPI.
Pasal 37
(1) Izin pengeluaran benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 ayat (2) dicabut, apabila:
a. pemegang izin tidak melaksanakan ketentuan yang
tercantum dalam Keputusan izin ;
b. tidak mengikuti peraturan perundang.undangan di bidang
karantina tumbuhan;
c. memindahkan izin kepada pihak lain;
113
114
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 40
Permohonan izin pemasukan dan pengeluaran benih yang telah
diajukan sebelum ditetapkannya Peraturan ini, tetap diproses
sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Menteri Pertanian
nomor 1017/Kpts/TP.120/12/1998.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Dengan ditetapkannya Peraturan ini, maka ketentuan pemasukan
dan pengeluaran benih sebagaimana diatur dalam Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 1017 /Kpts/Tp.120/12/1998 dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 42
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Oktober 2006
115
KODE
NAMA FORMULIR
DITANDATANGANI
OLEH
1.
Formulir Model . 1
Pemohon
Formulir Model . 2
Formulir Model . 3
Formulir Model . 4
Formulir Model . 5
Formulir Model . 6
Formulir Model . 7
Formulir Model . 8
MENTERI PERTANIAN
TTD
ANTON APRIYANTONO
116
MENTERI PERTANIAN
REPUBLIK INDONESIA
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
(2)
sehingga
(3),
sehingga
121
(2),
sehingga
122
j.
(3),
sehingga
6. Menteri Perindustrian;
7. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menegah;
8. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan
Perencanaan dan Pembangunan Nasional;
9. Pimpinan Unit Kerja Eselon I dilingkungan Departemen
Pertanian;
10. Gubernur Provinsi di seluruh Indonesia;
11. Bupati/Walikota di seluruh Indonesia.
124
KODE
NAMA FORMULIR
DITANDATANGANI
OLEH
1.
Formulir Model . 1
Pemohon
Formulir Model . 2
Formulir Model . 3
Formulir Model . 4
Formulir Model . 5
Formulir Model . 6
Formulir Model . 7
Formulir Model . 8
MENTERI PERTANIAN
TTD
ANTON APRIYANTONO
125
MENTERI PERTANIAN
REPUBLIK INDONESIA
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
(2)
Pasal 5
(1) Pemasukan hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis
ke dalam wilayah negara Republik Indonesia dapat berasal
dari area produksi yang bebas atau tidak bebas dari infestasi
organisme pengganggu tumbuhan karantina di negara asal.
(2) Jenis OPTK dan negara asal area produksi yang tidak bebas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
lampiran sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan
ini.
Pasal 6
Pemasukan hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis
segar ke dalam wilayah negara Republik Indonesia yang berasal
dari area produksi yang bebas di negara asal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), harus dinyatakan dalam kolom
keterangan tambahan (Additional Declaration) pada Sertifikat
Kesehatan Tumbuhan yang menyertai kiriman, dan telah
didevitalisasi serta bebas dari partikel tanah dan/atau kompos.
Pasal 7
(1) Pemasukan hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis
segar ke dalam wilayah negara Republik Indonesia yang
berasal dari area produksi yang tidak bebas dari infestasi
organisme pengganggu tumbuhan karantina sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), harus diberi perlakuan, telah
didevitalisasi dan bebas dari partikel tanah dan /atau kompos.
(2) Perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan
dengan jenis hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis
segar maupun jenis organisme pengganggu tumbuhan yang
dicegah pemasukannya dan dinyatakan dalam kolom
perlakuan pada Sertifikat Kesehatan Tumbuhan.
Pasal 8
Pemasukan hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis
segar ke dalam wilayah negara Republik Indonesia sebagaimana
131
133
Pasal 13
(1) Apabila
setelah
dilakukan
pemeriksaan
kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) ternyata hasil
tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis segar tidak bebas
dari OPTK Golongan II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2), maka dilakukan tindakan perlakuan.
(2) Apabila setelah dilakukan tindakan perlakuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ternyata tidak dapat dibebaskan dari
OPTK Golongan II sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (2),
terhadap hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis
segar tersebut dilakukan tindakan pemusnahan yang
disaksikan oleh pejabat berwenang dan dibuatkan berita acara
pemusnahan.
(3) Apabila setelah dilakukan tindakan perlakuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ternyata dapat dibebaskan dari OPTK
Golongan II sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (2), maka
terhadap hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis
segar tersebut dilakukan tindakan pembebasan dengan
menerbitkan sertifikat pelepasan.
(4) Apabila
setelah
dilakukan
pemeriksaan
kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) ternyata hasil
tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis segar tidak atau
belum didevitalisasi dan/atau tidak bebas dari partikel tanah
dan/atau kompos dan/atau busuk dan/ atau rusak, maka
terhadap hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis
segar tersebut dilakukan tindakan pemusnahan yang
disaksikan oleh pejabat berwenang dan dibuatkan berita acara
pemusnahan.
Pasal 14
Apabila setelah dilakukan pemeriksaan kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), ternyata hasil tumbuhan hidup
berupa sayuran umbi lapis segar tidak bebas dari OPTK Golongan
I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), dilakukan
tindakan pemusnahan yang disaksikan oleh pejabat berwenang
dan dibuatkan berita acara pemusnahan.
134
Pasal 15
Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tindakan
perlakuan, penolakan atau pemusnahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 13 dan Pasal 14 menjadi
tanggung jawab dan dibebankan kepada pemilik.
BAB IV
TEMPAT . TEMPAT PEMASUKAN
Pasal 16
(1) Tempat . tempat pemasukan hasil tumbuhan hidup berupa
sayuran umbi lapis segar yang dimasukkan ke dalam wilayah
negara Republik Indonesia hanya dibolehkan melalui:
1. Pelabuhan Laut Belawan, Medan
2. Pelabuhan Laut Tanjung Balai Asahan.
3. Pelabuhan Laut Dumai, Riau.
4. Pelabuhan Laut Batam.
5. Pelabuhan Sungai Boom Baru, Palembang.
6. Pelabuhan Laut Tanjung Priok, Jakarta.
7. Pelabuhan Laut Tanjung Emas, Semarang.
8. Pelabuhan Laut Tanjung Perak, Surabaya.
9. Pelabuhan Laut Pontianak.
10. Pelabuhan Laut Tarakan.
11. Pelabuhan Laut Makasar.
12. Pos Lintas Batas Entikong.
13. Bandar Udara Soekarno . Hatta, Jakarta.
14. Bandar Udara Ngurah Rai, Denpasar.
(2) Berdasarkan pertimbangan teknis dan strategis, pemasukan
hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis segar atas
persetujuan Menteri Pertanian dapat dilakukan di luar tempattempat pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Tempat-tempat pemasukan yang ditetapkan dalam Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 469/Kpts/HK.310/8/2001 tetap
berlaku untuk pemasukan media pembawa Organisme
Pengganggu Tumbuhan Karantina selain hasil tumbuhan hidup
berupa sayuran umbi lapis segar.
135
Pasal 17
Ketentuan dalam peraturan ini, juga berlaku untuk hasil tumbuhan
hidup berupa sayuran umbi lapis segar dalam bentuk bawaan
penumpang dan jasa kiriman pos
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Peraturan ini dilaksanakan secara efektif paling lambat dalam
waktu 2 (dua) bulan sejak tanggal ditetapkan.
Pasal 19
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal, 26 Februari 2008
MENTERI PERTANIAN
ttd
ANTON APRIYANTONO
SALINAN Peraturan ini disampaikan kepada Yth :
1. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;
2. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
3. Menteri Luar Negeri;
4. Menteri Dalam Negeri;
5. Menteri Keuangan;
6. Menteri Perhubungan;
7. Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia;
8. Menteri Kelautan dan Perikanan;
9. Menteri Kehutanan;
10. Menteri Perdagangan;
11. Kepala Kepolisian Republik Indonesia;
12. Jaksa Agung Republik Indonesia;
13. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;
14. Kepala Badan Intelijen Negara;
136
137