Anda di halaman 1dari 137

KARANTINA TUMBUHAN:

APA, MENGAPA, DAN BAGAIMANA

APA?
Karantina Tumbuhan adalah tindakan sebagai upaya pencegahan
masuk dan tersebarnya organisme pengganggu tumbuhan dari
luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri atau
keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia.
MENGAPA?
Serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) di dalam
negeri telah menimbulkan kerugian yang sangat besar pada
produksi pertanian. Pada kenyataannya, terdapat terdapat jenisjenis OPT tertentu yang belum terdapat atau belum menyebar luas
di dalam negeri. Kerugian pada produksi pertanian akan semakin
meningkat apabila terdapat investasi OPT dari luar negeri atau
terjadinya penularan dari suatu area ke area lain di dalam negeri.
Dengan meningkatnya lalulintas media pembawa (tumbuhan dan
bagian-bagiannya, hasil tumbuhan, serta media lain yang dapat
mebawa OPT) antar negara serta antar wilayah di dalam negeri
semakin membuka peluang bagi kemungkinan masuk dan
menyebarnya OPT yang dapat merusak dan meninbulkan kerugian
yang lebih besar.
BAGAIMANA?
Setiap media pembawa OPT yang dimasukkan ke dalam wilayah
negara Republik Indonesia, dilalulintaskan antar area di dalam
negeri atau di keluarkan dari dalam negara Republik Indonesia
harus memenuhi persyaratan dan mengikuti prosedur yang
ditentukan oleh Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992, Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2002 serta peraturan pelaksana
lainnya. Persyaratan dan prosedur Karantina Tumbuhan dijelaskan
pada bagian lain buku ini.

SISTEM/PROSEDUR
KARANTINA TUMBUHAN

PROSEDUR KARANTINA TUMBUHAN IMPOR


Pemilik media pembawa (MP) atau kuasanya menyampaikan
laporan pemasukan MP dengan mengisis formulir KT-11 kepada
petugas karantina tumbuhan melalui counter yang tersedia dengan
melampirkan dokumen sebagai berikut:
1. Lembar asli Phytosanitary certificate dari instansi Karantina
Tumbuhan negara asal,
2. Lembar asli Surat Izin Pemasukan dari menteri pertanian
(Khusus untuk pemasukan benih dan tanaman hidup)
Untuk MP yang berupa bibit tanaman, laporan pemasukan
disampaikan selambat-lambatnya 5 hari sebelum MP tiba di tempat
pemasukan, sedangkan untuk MP lainnya pelaporan dapat
dilakukan pada saat tiba di tempat pemasukan.
Khusus untuk pemasukan buah-buahan dan sayuran buah segar
hanya boleh dilakukan di pintu pemasukan yang ditetapkan yaitu:
Pelabuhan Laut Tanjungpriok, Jakarta; Pelabuhan Laut
Tanjungperak, Surabaya; Pelabuhan Laut Belawan, Medan;
Pelabuhan Laut Batu Ampar, Batam; Bandar Udara Soekarno
Hatta, Jakarta; Bandar Udara Ngurah Rai, Denpasar; dan
Pelabuhan Laut Makasar. Sementara untuk pemasukan umbi
lapis segar dari famili allium (bawang-bawangan) hanya boleh
dilakukan di pintu pemasukan yang ditetapkan yaitu: Pelabuhan
Laut Belawan, Medan; Pelabuhan Laut Tanjung Balai Asahan;
Pelabuhan Laut Dumai, Riau; Pelabuhan Laut Batam;
Pelabuhan Sungai Boom Baru, Palembang; Pelabuhan Laut
Tanjung Priok, Jakarta; Pelabuhan Laut Tanjung Emas,
Semarang; Pelabuhan Laut Tanjung Perak, Surabaya;
Pelabuhan Laut Pontianak; Pelabuhan Laut Tarakan;
Pelabuhan Laut Makasar; Pos Lintas Batas Entikong; Bandar
Udara Soekarno, Hatta, Jakarta; dan Bandar Udara Ngurah
Rai, Denpasar.
Pemasukan buah, sayuran buah segar dan umbi lapis segar ke
dalam wilayah negara Republik Indonesia selain melalui pintu
7

pemasukan tersebut termasuk


Tanjungpinang DILARANG.

melalui

pelabuhan

laut

Petugas counter membukukan laporan pemasukan ke dalam buku


agenda serta dilanjutkan dengan pemeriksaan kelengkapan,
kebenaran, serta keabsyahan dokumen persyaratan oleh Petugas
Karantina tumbuhan. Jika dokumen persyaratan tidak lengkap
maka terhadap MP tersebut dilakukan penahanan dan kepada
pemilik MP atau kuasanya akan diberikan surat penahanan (KT24). Selama MP dalam penahanan, pemilik MP atau kuasanya
harus melengkapi semua dokumen yang dipersyaratkan.
Apabila dokumen persyaratan tersebut tidak dapat dilengkapi
dalam waktu 14 hari, maka terhadap MP tersebut akan dilakukan
penolakan dan kepada pemilik MP atau kuasanya diberikan surat
penolakan (KT-26). Apabila setelah 14 hari sejak diterimanya surat
penolakan MP tersebut tidak dikirim kembali ke luar negeri (di reeksport), maka terhadap MP tersebut dilakukan pemusnahan dan
kepada pemilik atau kuasanya akan diberikan Surat Perintah
Pemusnahan (KT-28).
Apabila semua dokumen persyaratan dapat dilengkapi maka
petugas karantina tumbuhan akan melakukan pemeriksaan
fisik/kesehatan yang dilanjutkan dengan tindakan karantina
tumbuhan lain yang diperlukan. Adapun alur tindak karantina
tumbuhan untuk MP impor disajikan pada gambar 1.

ALGORITMA TINDAK KARANTINA TUMBUHAN IMPOR

IMPOR
Apakah Termasuk
KOMODITAS TERLARANG?

YA

MUSNAHKAN
!

TOLAK/RE-EKSPOR/
MUSNAHKAN

TIDAK

TIDAK
Apakah Termasuk
KOMODITAS BERSYARAT?

YA

YA

Apakah memenuhi
PERSYARATAN
ADMINISTRATIF?

TIDAK
TIDAK

PERIKSA!

tahan

Gambar 3. Algoritma Tindak Karantina


Tumbuhan Impor

Apakah termasuk
Kategori harus di
KPM-kan?

YA

MASUKKAN
KE
DALAM KPM

Apakah dapat dibebaskan


dari Organisme Pengganggu
Tuimbuhan Karantina
(OPTK)?

TIDAK

YA

Apakah bebas dari


Organisme Pengganggu
Tuimbuhan Karantina
(OPTK)?

TIDAK
Apakah dapat
diberikan
PERLAKUAN?

YA

YA

BEBASKAN!

BERIKAN
YA
PERLAKUAN
SESUAI MANUAL

TIDAK

MUSNAHKAN
9!

BEBASKAN
SETELAH
DIBERI
PERLAKUAN

PROSEDUR KARANTINA TUMBUHAN EKSPOR


Pemilik media pembawa (MP) atau kuasanya menyampaikan
laporan pengeluaran MP dengan mengisis formulir KT-11 kepada
petugas karantina tumbuhan melalui counter yang tersedia. Untuk
jenis-jenis komoditas tertentu, laporan harus dilampiri dengan
dokumen sebagai berikut:
1. Lembar Asli Surat Izin Pengeluaran dari Menteri Pertanian/
Kehutanan (Khusus untuk pengeluaran bibit tanaman tembakau.
Agave, abaca, kopi, kelapa sawit, kakao, tebu, karet, teh, kina,
rauwolfia, cover crops, cengkeh, pala, lada, kelapa, raflesia,
anggrek alam, beberapa spesies tanaman hutan)
2. Copy Sertifikat CITES yang dilegalisir oleh Departemen
Kehutanan untuk jenis tumbuhan yang dilindungi.
Petugas counter membukukan laporan pemasukan ke dalam buku
agenda serta dilanjutkan dengan pemeriksaan kelengkapan,
kebenaran, serta keabsyahan dokumen persyaratan oleh Petugas
Karantina tumbuhan. Jika dokumen persyaratan tidak lengkap
maka pemilik komoditas atau kuasanya harus melengkapinya
terlebih dahulu dan kepadanya akan diberikan Surat
Pemberitahuan untuk Melengkapi Dokumen Persyaratan Karantina
Tumbuhan (KT-15). Laporan pengeluaran MP tersebut akan
diproses lebih lanjut setelah dokumen persyaratan dipenuhi.
Apabila dokumen persyaratan tidak dapat dilengkapi dalam waktu
14 hari, maka terhadap MP tersebut akan dilakukan penolakan
untuk diekspor dan kepada pemilik MP atau kuasanya diberikan
surat penolakan (KT-26). Apabila semua dokumen persyaratan
dapat dilengkapi maka terhadap MP yang akan diekspor dilakukan
pemeriksaan fisik/kesehatan yang dilanjutkan dengan tindakan
karantina tumbuhan lain yang diperlukan. Adapun alur tindak
karantina tumbuhan untuk MP Ekspor disajikan pada gambar 2.

10

ALGORITMA TINDAK KARANTINA TUMBUHAN EKSPOR

Terbitkan PHYTOSANITARY
CERTIFICATE

EKSPOR

Apakah memerlukan
IZIN MENTERI PERTANIAN?

YA
Apakah memenuhi
Persyaratan
NEGARA TUJUAN?

TIDAK
Apakah Termasuk
Komoditas yang diatur oleh
CITES dan ESA?

YA

YA

Apakah telah
melengkapi semua
persyaratan?

TIDAK

YA

Apakah dalam
pemeriksaan dianggap
sehat?

YA

TIDAK

TOLAK PERMOHONAN
PHYTOSANITARY
CERTIFICATE

TIDAK

Apakah eksportir
bersedia komoditinya
diobati?

YA
Berikan perlakuan
sesuai manual

Gambar 2. Algoritma Tindak Karantina Tumbuhan Ekspor

11

PROSEDUR KARANTINA TUMBUHAN ANTAR AREA


Pemilik media pembawa (MP) atau kuasanya menyampaikan
laporan pemasukan/pengeluaran MP dengan mengisis formulir KT11 kepada petugas karantina tumbuhan. Laporan disampaikan
kepada petugas karantina tumbuhan dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. Di tempat pengeluaran, pelaporan disampaikan di tempat
pengeluaran sebelum media pembawa dimuat ke dalam alat
angkut yang akan memberangkatkannya.
2. Di tempat pemasukan, untuk barang muatan atau barang
bawaan, pelaporan dilakukan paling lambat pada saat media
pembawa tiba di tempat pemasukan.
Apabila semua dokumen persyaratan dapat dilengkapi maka
petugas karantina tumbuhan akan melakukan pemeriksaan
fisik/kesehatan yang dilanjutkan dengan tindakan karantina
tumbuhan lain yang diperlukan.
Persyaratan Karantina Tumbuhan bagi pengiriman media
pembawa antar area di dalam negeri adalah sebagai berikut:
1. Dilengkapi sertifikat kesehatan tumbuhan dari Area asal bagi
tumbuhan dan bagian-bagiannya, kecuali media pembawa
yang tergolong benda lain;
2. melalui tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran yang
telah ditetapkan;
3. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina
tumbuhan di tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran
untuk keperluan tindakan karantina tumbuhan.
Algoritma Tindak karantina Tumbuhan terhadap media pembawa
yang dilalulintaskan antar area disajikan pada gambar 3 (domestik
masuk) dan gambar 4 (domestik keluar).

12

ALGORITMA TINDAK KARANTINA TUMBUHAN DOMESTIK MASUK


Laporan Pemasukan komoditas
Domestik Masuk oleh Pemilik

Pemeriksaan
Dokumen

Pembebasan/
Pelepasan

YA

Lengkap
(SKTAA)*

TIDAK

Pemeriksaan
Fisik/Kesehatan

YA

Bebas
OPTK

Pemusnahan
YA

TIDAK

TIDAK

YA

Dikirim ke
Area Asal

Penolakan
(14 hari)

TIDAK

Dapat dibebaskan
dari OPTK

* SKTAA = Sertifikat Kesehatan Tumbuhan Antar Area (KT-5)


Gambar 3. Algoritma Tindak Karantina Tumbuhan Domestik Masuk

13

Perlakuan

ALGORITMA TINDAK KARANTINA TUMBUHAN DOMESTIK KELUAR


Laporan Pemasukan komoditas
Domestik Keluar oleh Pemilik

Pemeriksaan
Dokumen

Penolakan

TIDAK

Dokumen
Lengkap

Pemeriksaan
Fisik/Kesehatan/
Pengasingan/
Pengamatan

YA

Pembebasan/
Pelepasan

YA

Bebas
OPTK

TDAK
YA

TDAK

Dapat dibebaskan
dari OPTK

Perlakuan

Gambar 4. Algoritma Tindak Karantina Tumbuhan Domestik Keluar

14

PERUNDANG-UNDANGAN
KARANTINA TUMBUHAN

15

16

UNDANG . UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 16 TAHUN 1992
TENTANG
KARANTINA HEWAN, IKAN, DAN TUMBUHAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. Bahwa tanah air Indonesia dikaruniai Tuhan Yang Maha Esa
berbagai jenis sumberdaya alam hayati berupa aneka ragam
jenis hewan, ikan dan tumbuhan yang perlu dijaga dan
dilindungi kelestariannya.
b. Bahwa sumberdaya alam hayati tersebut merupakan salah
satu modal dasar dan sekaligus sebagai faktor dominan yang
perlu diperhatikan dalam pembangunan nasional untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang- Undang 1945.
c. Bahwa tanah air Indonesia atau sebagian pulau-pulau di
Indonesia masih bebas dari berbagai hama dan penyakit
hewan, hama dan penyakit ikan, serta organisme pengganggu
tumbuhan yang memiliki potensi untuk merusak kelestarian
sumberdaya alam hayati.
d. Bahwa dengan meningkatnya lalu lintas hewan, ikan, dan
tumbuhan antar negara dan dari suatu area ke area lain di
dalam wilayah negara Republik Indonesia, baik dalam rangka
perdagangan, pertukaran, maupun penyebarannya, semakin
membuka
peluang
bagi
kemungkinan
masuk
dan
Menyebarnya hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit
ikan, serta organisme pengganggu tumbuhan yang berbahaya
atau menular yang dapat merusak sumber daya alam hayati.
e. Bahwa untuk mencegah masuknya hama dan penyakit hewan,
hama dan penyakit ikan, serta organisme pengganggu
tumbuhan ke wilayah negara Republik Indonesia, mencegah
17

tersebarnya dari satu area ke area lain, dan mencegah


keluarnya dari wilayah negara Republik Indonesia, diperlukan
karantina hewan, ikan, dan tumbuhan dalam satu sistem yang
maju dan tangguh.
f. Bahwa peraturan perundang-undangan yang menyangkut
perkarantinaan hewan, ikan, dan tumbuhan warisan
pemerintah kolonial yang masih berlaku sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan hukum dan kepentingan nasional,
perlu dicabut.
g. Bahwa peraturan perundang-undangan nasional yang ada
belum menampung dan mengatur secara menyeluruh
mengenai karantina hewan, ikan, dan tumbuhan.
h. Bahwa sehubungan dengan hal-hal di atas, perlu ditetapkan
ketentuan tentang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan dalam
suatu undang-undang.
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), dan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945.
2. Undang-undang
Nomor
5
Tahun
1967
tentang
Ketentuanketentuan pokok Kehutanan (Lembaran Negara
Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2823).
3. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang ketentuanketentuan pokok peternakan dan kesehatan hewan (lembaran
Negara Tahun 1967 nomor 10, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2824)
4. Undang-undang Nomor 9 tahun 1985 tentang perikanan
(Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3299).
5. Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Lembaran Negara
Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3419).

18

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KARANTINA
HEWAN, IKAN, DAN
TUMBUHAN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Karantina adalah tempat pengasingan dan/atau tindakan
sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan
penyakit atau organisme pengganggu dari luar negeri dan dari
suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari
dalam wilayah negara Republik Indonesia.
2. Karantina hewan, ikan, dan tumbuhan adalah tindakan sebagai
upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit
hewan, hama dan penyakit ikan, atau organisme pengganggu
tumbuhan dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di
dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah negara
Republik Indonesia.
3. Hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, atau
organisme penggangu tumbuhan adalah semua organisme
yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau
menyebabkan kematian hewan, ikan, atau tumbuhan.
4. Hama dan penyakit hewan karantina adalah semua hama dan
penyakit hewan yang ditetapkan pemerintah untuk dicegah
masuknya ke dalam, tersebarnya di dalam, dan keluarnya dari
wilayah negara Republik Indonesia.
5. Hama dan penyakit ikan karantina atau organisme penggangu
tumbuhan karantina adalah semua hama dan penyakit ikan
atau organisme pengganggu tumbuhan yang ditetapkan
pemerintah untuk dicegah masuknya ke dalam dan
tersebarnya di dalam wilayah negara Republik Indoneia.
19

6. Media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama


dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu
tumbuhan karantina adalah hewan, bahan asal hewan, hasil
bahan asal hewan, ikan, tumbuhan dan bagian-bagiannya
dan/atau benda lain yang dapat membawa hama dan penyakit
hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau
organisme pengganggu tumbuhan karantina.
7. Hewan adalah semua binatang yang hidup di darat, baik yang
dipelihara maupun yang hidup secara liar.
8. Bahan asal hewan adalah bahan yang berasal dari hewan
yang dapat diolah lebih lanjut.
9. Hasil bahan asal hewan adalah bahan asal hewan yang telah
diolah.
10. Ikan adalah semua biota perairan yang sebagian atau seluruh
daur hidupnya berada di dalam air, dalam keadaan hidup atau
mati, termasuk bagian-bagiannya.
11. Tumbuhan adalah semua jenis sumberdaya alam nabati dalam
keadaan hidup atau mati, baik belum diolah maupun telah
diolah.
12. Tempat pemasukan dan tempat pengeluaran adalah
Pelabuhan laut, Pelabuhan sungai, Pelabuhan penyebrangan,
Bandar udara, Kantor pos, Pos perbatasan dengan negara
lain, dan tempat-tempat lain yang dianggap perlu , yang
ditetapkan sebagai tempat untuk memasukkan dan/atau
mengeluarkan media pembawa hama dan penyakit hewan,
hama dan penyakit ikan, atau organisme pengganggu
tumbuhan.
13. Petugas karantina hewan, ikan, dan tumbuhan adalah pegawai
negeri tertentu yang diberi tugas untuk melakukan tindakan
Karantina berdasarkan undang-undang ini.
Pasal 2
Karantina hewan, ikan, dan tumbuhan berasaskan kelestarian
sumberdaya alam hayati hewan, ikan, dan tumbuhan.
Pasal 3
Karantina hewan, ikan, dan tumbuhan bertujuan :
20

b. Mencegah masuknya hama dan penyakit hewan karantina,


hama dan penyakit ikan karantina, dan organisme penggangu
tumbuhan karantina dari luar negeri ke dalam wilayah negara
Republik Indonesia
c. Mencegah tersebarnya hama dan penyakit hewan karantina,
hama dan penyakit ikan karantina, dan organisme penggangu
tumbuhan karantina dari suatu area ke area lain di dalam
wilayah Negara Republik Indonesia.
d. Mencegah keluarnya hama dan penyakit hewan karantina dari
wilayah negara Republik Indonesia.
e. Mencegah keluarnya hama dan penyakit ikan, dan organisme
pengganggu tumbuhan tertentu dari wilayah negara Republik
Indonesia apabila negara tujuan menghendakinya.
Pasal 4
Ruang lingkup pengaturan tentang karantina hewan, ikan, dan
tumbuhan meliputi :
a. Persyaratan karantina
b. Tindakan karantina
c. Kawasan karantina
d. Jenis hama dan penyakit, organisme pengganggu dan media
pembawa
e. Tempat pemasukan dan pengeluaran
BAB II
PERSYARATAN KARANTINA PERTANIAN
Pasal 5
Setiap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina,
hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu
tumbuhan karantina yang dimasukkan ke dalam wilayah negara
Republik Indonesia wajib:
a. Dilengkapi sertifikat kesehatan dari negara asal dan negara
transit bagi hewan, bahan asal hewan, ikan, tumbuhan, dan
bagian-bagian tumbuhan, kecuali media pembawa yang
tergolong benda lain.
b. Melalui tempat- tempat pemasukan yang telah ditetapkan.
21

c.

Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di


tempat-tempat pemasukan untuk keperluan tindakan
karantina.
Pasal 6

Setiap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina,


hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu
tumbuhan karantina yang dibawa atau dikirim dari suatu area ke
area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib:
a. Dilengkapi sertifikat kesehatan dari daerah asal bagi hewan,
bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan, ikan, tumbuhan
dan bagian-bagian tumbuhan, kecuali media pembawa yang
tergolong benda lain.
b. Melalui tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran yang
telah ditetapkan
c. Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di
tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran untuk keperluan
tindakan karantina.
Pasal 7
(1) Setiap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina
yang akan dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia
wajib:
a. Dilengkapi sertifikat kesehatan bagi hewan, bahan asal
hewan, dan hasil bahan asal hewan, kecuali media
pembawa yang tergolong benda lain,
b. Melalui tempat-tempat pengeluaran yang telah ditetapkan
c. Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di
tempat-tempat pengeluaran untuk keperluan tindakan
karantina.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku
juga bagi media pembawa hama dan penyakit ikan dan media
pembawa organisme pengganggu tumbuhan yang akan
dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia apabila
disyaratkan oleh negara tujuan.
22

Pasal 8
Dalam hal-hal tertentu, sehubungan dengan sifat hama dan
penyakit hewan, atau hama dan penyakit ikan, atau organisme
pengganggu tumbuhan, Pemerintah dapat menetapkan kewajiban
tambahan disamping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, Pasal 6, dan pasal 7.
BAB III
TINDAKAN KARANTINA PERTANIAN
Pasal 9
(1) Setiap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina
yang dimasukkan, dibawa, atau dikirim dari suatu area ke area
lain di dalam, dan/atau dikeluarkan dari wilayah negara
Republik Indonesia dikenakan tindakan karantina.
(2) Setiap media pembawa hama dan penyakit ikan karantina atau
organisme pengganggu tumbuhan karantina yang dimasukkan
ke dalam dan/atau dibawa atau dikirim dari suatu area ke area
lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia dikenakan
tindakan karantina.
(3) Media pembawa hama dan penyakit ikan karantina dan
organisme pengganggu tumbuhan karantina yang dikeluarkan
dari wilayah negara Republik Indonesia tidak dikenakan
tindakan karantina, kecuali disyaratkan oleh negara tujuan.
Pasal 10
Tindakan karantina dilakukan oleh petugas karantina, berupa :
a. Pemeriksaan
b. Pengasingan
c. Pengamatan
d. Perlakuan
e. Penahanan
f. Penolakan
g. Pemusnahan
h. Pembebasan
23

Pasal 11
(1) Tindakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal
10 huruf a, dilakukan untuk mengetahui kelengkapan dan
kebenaran isi dokumen serta untuk mendeteksi hama dan
penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina,
atau organisme pengganggu tumbuhan karantina.
(2) Pemeriksaan terhadap hewan, bahan asal hewan, dan ikan
dapat dilakukan koordinasi dengan instansi lain yang
bertanggung jawab di bidang penyakit karantina yang
membahayakan kesehatan manusia.
Pasal 12
Untuk mendeteksi lebih lanjut terhadap hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme
pengganggu tumbuhan karantina tertentu yang karena sifatnya
memerlukan waktu lama, sarana, dan kondisi khusus, maka
terhadap media pembawa yang telah diperiksa sebagaimana
dimaksud dalam pasal 11, dapat dilakukan pengasingan untuk
diadakan pengamatan.
Pasal 13
(1) Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme
pengganggu tumbuhan karantina diberikan perlakuan untuk
membebaskan atau menyucihamakan media pembawa
tersebut.
(2) Perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan
apabila setelah dilakukan pemeriksaaan atau pengasingan
untuk diadakan pengamatan ternyata media pembawa
tersebut :
a. Tertular atau diduga tertular hama dan penyakit hewan
karantina atau hama dan penyakit ikan karantina atau
b. Tidak bebas atau diduga tidak bebas dari organisme
pengganggu tumbuhan karantina.

24

Pasal 14
(1) Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme
pengganggu tumbuhan karantina dilakukan penahanan apabila
setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 11, ternyata persyaratan karantina untuk pemasukan
kedalam atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah
negara Republik Indonesia belum seluruhnya dipenuhi.
(2) Pemerintah menetapkan batas waktu pemenuhan persyaratan,
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 15
Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina,
hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu
tumbuhan karantina yang dimasukkan ke dalam atau dimasukkan
daru suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik
Indonesia dilakukan penolakan apabila ternyata:
a. Setelah dilakukan pemeriksaan di atas alat angkut, tertular
hama dan penyakit hewan karantina, atau hama dan penyakit
ikan karantina, atau tidak bebas dari organisme pengganggu
tumbuhan karantina tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah,
atau busuk, atau rusak, atau merupakan jenis-jenis yang
dilarang pemasukkannya, atau
b. Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, pasal 6,
dan pasal 8, tidak seluruhnya dipenuhi atau
c. Setelah dilakukan penahanan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 14 ayat (1), keseluruhan persyaratan yang harus
dilengkapi dalam batas waktu yang ditetapkan tidak dapat
dipenuhi, atau
d. Setelah diberi perlakuan di atas alat angkut, tidak dapat
disembuhkan dan/atau disucihamakan dari hama dan penyakit
hewan karantina, atau hama dan penyakit ikan karantina, atau
tidak dapat dibebaskan dari organisme pengganggu tumbuhan
karantina.

25

Pasal 16
(1) Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme
pengganggu tumbuhan karantina yang dimasukkan ke dalam
atau dimasukkan dari suatu area ke area lain di dalam wilayah
negara Republik Indonesia dilakukan pemusnahan apabila
ternyata:
a. Setelah media pembawa tersebut diturunkan dari alat
angkut dan dilakukan pemeriksaan, tertular hama dan
penyakit hewan karantina, atau hama dan penyakit ikan
karantina, atau tidak bebas dari organisme pengganggu
tumbuhan karantina tertentu yang ditetapkan oleh
pemerintah, atau busuk, atau rusak, atau merupakan jenisjenis yang dilarang pemasukkannya, atau
b. Setelah dilakukan penolakan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 15, media pembawa yang bersangkutan tidak
segera dibawa ke luar dari wilayah negara republik
indonesia atau dari area tujuan oleh pemiliknya dalam
batas waktu yang telah ditetapkan, atau
c. Setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan,
tertular hama dan penyakit hewan karantina, atau hama
dan penyakit ikan karantina, atau tidak bebas dari
organisme pengganggu tumbuhan karantina tertentu yang
ditetapkan oleh pemerintah, atau
d. Setelah media pembawa tersebut diturunkan dari alat
angkut dan diberi perlakuan, tidak dapat disembuhkan dan
atau disucihamakan dari hama dan penyakit hewan
karantina, atau hama dan penyakit ikan karantina, atau
tidak dapat dibebaskan dari organisme pengganggu
tumbuhan karantina.
(2) Dalam hal dilakukan tindakan pemusnahan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), pemilik media pembawa hama dan
penyakit hewan karantina, atau hama dan penyakit ikan
karantina, atau tidak dapat dibebaskan dari organisme
pengganggu tumbuhan karantina tidak berhak menuntut ganti
rugi apapun.
26

Pasal 17
Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina,
hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu
tumbuhan karantina yang dimasukkan dari suatu area ke area lain
di dalam wilayah negara Republik Indonesia dilakukan
pembebasan apabila ternyata:
a. Setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksudkan
dalam pasal 11, tidak tertular hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau bebas dari
organisme pengganggu tumbuhan karantina atau
b. Setelah
dilakukan
pengamatan
dalam
pengasingan
sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 12, tidak tertular
hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan
karantina, atau bebas dari organisme pengganggu tumbuhan
karantina, atau
c. Setelah dilakukan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 13, dapat disembuhkan dari hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau dapat
dibebaskan dadri organisme pengganggu tumbuhan karantina,
atau
d. Setelah dilakukan penahanan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 14, seluruh persyaratan yang diwajibkan telah dapat
dipenuhi.
Pasal 18
Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 6, pasal 7 dan pasal 8, terhadap media pembawa hama dan
penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau
organisme pengganggu tumbuhan karantina yang akan
dikeluarkan dari dalam atau dikeluarkan dari suatu area ke area
lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia dilakukan
pembebasan apabila ternyata:
a. Setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 11, tidak tertular hama dan penyakit hewan karantina,
hama dan penyakit ikan karantina, atau bebas dari organisme
pengganggu tumbuhan, atau
27

b. Setelah
dilakukan
pengamatan
dalam
pengasingan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 12, tidak tertular hama
dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan
karantina, atau bebas dari organisme pengganggu tumbuhan,
atau
c. Setelah dilakukan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 13, dapat disembuhkan dari hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau dapat
dibebaskan dari organisme pengganggu tumbuhan.
Pasal 19
(1) Pembebasan media pembawa sebagaimana dimaksud dalam
pasal 17, disertai dengan pemberian serifikat pelepasan.
(2) Pembebasan media pembawa sebagaimana dimaksud dalam
pasal 18, disertai dengan pemberian sertifikat kesehatan.
Pasal 20
(1) Tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam pasal 10,
dilakukan oleh petugas karantina di tempat pemasukan
dan/atau pengeluaran, baik di dalam maupun di luar instansi
karantina.
(2) Dalam hal-hal tertentu, tindakan karantina sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dapat di luar tempat pemasukan
dan/atau pengeluaran, baik di dalam maupun di luar instansi
karantina.
(3) Ketentuan mengenai tindakan karantina di luar tempat
pemasukan dan/atau pengeluaran sebagaimana dimaksudkan
dalam ayat (2), ditetapkan oleh pemerintah.
Pasal 21
Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9, terhadap orang, alat angkut, peralatan, air, atau
pembungkus yang diketahui atau diduga membawa hama dan
penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau
organisme pengganggu tumbuhan karantina, dapat dikenakan
tindakan karantina.
28

Pasal 22
(1) Setiap orang atau badan hukum yang memanfaatkan jasa atau
sarana yang disediakan oleh pemerintah dalam pelaksanaan
tindakan karantina hewan, ikan, atau tumbuhan dapat
dikenakan pungutan jasa karantina.
(2) Ketentuan mengenai pungutan jasa karantina sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
BAB IV
KAWASAN KARANTINA PERTANIAN
Pasal 23
(1) Dalam hal ditemukan atau terdapat petunjuk terjadinya
serangan suatu hama dan penyakit hewan karantina, hama
dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu
tumbuhan karantina di sekitar kawasan yang semula diketahui
bebas dari hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu
tumbuhan karantina tersebut, Pemerintah dapat menetapkan
kawasan yang berangkutan untuk sementara waktu sebagai
kawasan karantina.
(2) Pemasukan dan pengeluaran media pembawa hama dan
penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina,
atau organisme pengganggu tumbuhan karantina ke dan dari
kawasan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
diatur oleh pemerintah.
BAB V
JENIS HAMA DAN PENYAKIT,
ORGANISME PENGGANGGU, DAN MEDIA PEMBAWA
Pasal 24
Pemerintah menetapkan :
a. Jenis hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit
ikan karantina, dan organisme pengganggu tumbuhan
karantina,
29

b. Jenis media pembawa hama dan penyakit hewan karantina,


hama dan penyakit ikan karantina, dan organisme pengganggu
tumbuhan karantina,
c. Jenis media pembawa hama dan penyakit hewan karantina,
dan organisme pengganggu tumbuhan karantina yang dilarang
untuk dimasukkan dan/atau dibawa atau dikirim dari suatu
area ke area lain di dalam wilayah negara republik indonesia.
Pasal 25
Media pembawa lain yang terbawa oleh alat angkut dan diturunkan
di tempat pemasukkan harus dimusnakan oleh pemilik alat angkut
yang bersangkutan di bawah pengawasan petugas karantina.
BAB VI
TEMPAT PEMASUKAN DAN PENGELUARAN
Pasal 26
Pemerintah menetapkan tempat-tempat pemasukkan dan
pengeluaran media pembawa hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, dan organisme
pengganggu tumbuhan karantina.
Pasal 27
Ketentuan terhadap alat angkut yang membawa media pembawa
hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan
karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan karantina dan
melakukan transit di dalam wilayah negara Republik Indonesia
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
PEMBINAAN
Pasal 28
Pemerintah bertanggung jawab membina kesadaran masyarakat
dalam perkarantinaan hewan, ikan, dan tumbuhan.
30

Pasal 29
Peranserta rakyat dalam perkarantinaan hewan, ikan, dan
tumbuhan diarahkan dan digerakkan pemerintah melalui berbagai
kegiatan yang berdayaguna dan berhasil guna.
BAB VIII
PENYIDIKAN
Pasal 30
(1) Selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia, juga
pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan departemen
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi
pembinaan karantina hewan, ikan, dan tumbuhan, dapat pula
diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang no 8 tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak
pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan.
(2) Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
tidak mengurangi kewenangan penyidik sebagaimana diatur
dalam undang-undang nomor 9 tahun 1985 tentang Perikanan
dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang
untuk :
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
karantina hewan, ikan, dan tumbuhan.
b. Melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk
didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
dalam tindak pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan
tumbuhan.
c. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti
tindak pidana karantina hewan, ikan, dan tumbuhan.
d. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau
badan sehubungan dengan tindak pidana di karantina
hewan, ikan, dan tumbuhan.
e. Membuat dan menandatangani berita acara.
31

f.

Menghentikan penyidikan apabila tidak di dapat cukup


bukti tentang adanya tindak pidana di bidang hewan, ikan,
dan tumbuhan.
(4) Penyidik
sebagaimana
dimaksud
dalam
ayat
(1),
memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut
umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 107 Undang-udang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 31
(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 21, dan
Pasal 25, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 150.000.000,- (seratus lima
puluh juta rupiah).
(2) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran
sebagaimana terhadap ketentuan-ketentuan yang dimksud
dalam pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, pasal 21, dan Pasal
25, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah).
(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah
kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), adalah pelanggaran.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundangundangan dibidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan yang
telah ada tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan
32

Undang-undang ini atau sampai dengan dikeluarkannya peraturan


pelaksanaan yang berdasarkan Undang-undang ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 33
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini,dinyatakan tidak
berlaku lagi :
1. Ordonansi tentang peninjauan Kembali Ketentuanketentuan tentang Pengawasan Pemerintah dalam Bidang
Kehewanan dan Polisi Kehewanan (Herziening Van de
Bepalingen Omtrent het Veeartsenijkundige Politie,
Staatsblad 1921 No. 432) sepanjang yang mengatur
karantina hewan.
2. Ordonansi tentang Perubahan dan Penambahan
Peraturan tentang Pengawasan Pemerintah dalam Bidang
Kehewanan di Hindia Belanda (Wijziging en Aanvulling van
het Reglement op het Veeartssenijkundige staatstoezicht
en de Veeartsenijkundige Politie in Nederlandsch-indie,
Staatsblad 1913 No.598).
3. Ordonansi tentang Perubahanan Penambahan Lebih
Lanjut Peraturan mengenai Pengaasan Pemerintah dalam
Bidang Kehewanan dan Polisi Kehewanan di Hindia
Belanda (Nadere Aanvulling en Wijziging van het
Reglement op het Veeartsenijkundige Staatstoezicht en de
Veeartsenijkundige
Politie
in
Nederlandsch-Indie,
Staatsblad 1917 No. 9).
4. Ordonansi tentang Perubahanan Penambahan Lebih
Lanjut Peraturan mengenai Pengawasan Pemerintah
dalam Bidang Kehewanan dan Polisi Kehewanan di Hindia
Belanda (Nadere Aanvulling en Wijziging van het
Reglement op het Veeartsenijkundige Staatstoezicht en de
Veeartsenijkundige
Politie
in
Nederlandsch-Indie,
Staatsblad 1923 No.289).
5. Ordonansi tentang Perubahanan Penambahan Peraturan
mengenai Campur Tangan Pemerintah dalam Bidang
33

6.

7.

8.

9.

10.

Kehewanan dan Polisi Kehewanan di Hindia Belanda


(Wijziging en Aanvulling van het Reglement op de
Veeartsenijkundige
Overheidsbemoeiensis
en
de
Veeartsenijkundige
Politie
in
Nederlandsch-Indie,
Staatsblad 1936 No.205).
Ordonansi tentang Larangan Pengeluaran Buah Pisang,
Tumbuhan Pisang, Umbi Pisang dan Bagian-bagiannya
dari Sulawesi dan Daerah-Daerah Kekuasaannya, Manado
(Verbod op de Uitvoer van Pisang Vruchten, Planten,
Knollen
of
Dellenjdaarvan
uit
Celebes
en
Onderhorigheden, Manado, Staatsblad 1912 no. 532).
Ordonasi tentang Peraturan Guna Mencegah Pemasukan
Bubuk Buah Kopi ke Pulau-Pulau Sulawesi dan Daerahdaerah Kekuasaannya, Manado, Amboina, Bali dan
Lombok, Timor dan Daerah-Daerah Kekuasaannya
(Maatregelen ter Voorkoming van den Invoer van den
Koffiebessenboeboek op de Eilanden, Behorende tot
Celebes en Ondehorigheden, Manado, Amboina, Bali en
Lombok, Timor en Onderhorigheden, Staatsblad 1924 No.
439).
Ordonasi tentang Peraturan Guna Mencegah Penyebaran
Hama Belalang yang terdapat di kepulauan Sangihe dan
Talaud (Maatregelenter Voorkoming van de Verspreiding
van de op Sangihe en Talaud Eilanden Voorkomende
sabelsprinkhaanplaag, Staatsblad 1924 No. 571).
Ordonasi tentang Peraturan Guna Mencegah Penyebaran
lebih Lanjut Ulat Umbi Kentang (Maatregelen om verdure
Verspreiding van de Aardappelen-knollenrups tegen te
gaan, Staatsblad 1925 No. 114).
Ordonansi tentang Ikhtisar dan Perbaikan PeraturanPeraturan tentang Pemasukan Bahan Tumbuhan Hidup
Guna Mencegah Penularan Penyakit dan Hama
Tumbuhan Budidaya di Hindia Belanda (Samenvatting en
Herziening van de Regelen op de Invoer van Levend
Ziekten en Plagen op Cultuurgewassen in NederlandschIndie,Staatsblad 1926 No. 427).
34

11. Ordonansi tentang Ketentuan-ketentuan Baru Mengenai


Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Anjing Gila
(Rabies) di Hindia Belanda (Nieuwe Bepalingen ter
Voorkoming en Bestrijiding van Hondsdolheid (Rabies) in
Nederlandsch-Indie, Staatsbiad 1926 No. 451) sepanjang
yang mengatur karantina hewan.
12. Ordonansi tentang Perubahan Ordonansi dalam
Staatsblad 1926 No. 427, mengenai Ikhtisar dan
Perbaikan Peraturan-Peraturan tentang Pemasukkan
Bahan-Bahan Tumbuhan Hidup (Wijziging van de
Ordonnantie en Herziening van de Regelen op den Invoer
van Levend Plantenmateriaal, Staatsblad 1932 No. 523).
13. Ordonansi tentang Perubahan Ordonansi tentang
Peninjauan
Kembali
Ketentuanketentuan
Tentang
Pengawasan Pemerintah dalam Bidang Kehewanan dan
Polisi Kehewanan (Staatsblad 1912 No.432) dan
Ordonansi tentang Ketentuan-ketentuan Baru Mengenai
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Anjing Gila
(Staatsblad 1926 No. 451) (Wijziging van het Reglement
op de Veearsenijkundige Overheidsbemoeienis en de
Veearsenijkundige Politie en van de Hondsdolheids
Ordonnantie, Staatsblad 1936 No. 715) sepanjang
mengenai karantina hewan.
14. Ordonansi Pengangkutan Kentang Antarpulau (Ordonantie
Interinsulair Vervoer Aardappelen, Staatsblad 1938 No.
699).
Pasal 34
Undang - undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang . undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal, 8 Juni 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Ttd
SOEHARTO
35

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Juni 1992
MENTERI SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1992 NOMOR 56
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum Perundang-undangan

Bambang Kesowo, SH, LL.M.

36

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 1992
TENTANG
KARANTINA HEWAN, IKAN, DAN TUMBUHAN
I. UMUM
Tanah Air Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
yang kaya akan sumberdaya alam hayati berupa aneka ragam
jenis hewan, ikan, dan tumbuhan merupakan modal dasar
pembangunan nasional yang sangat penting dalam rangka
peningkatan taraf hidup, kemakmuran serta kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, perlu dijaga dan dilindungi kelestariannya.
Salah satu ancaman yang dapat merusak kelestarian
sumberdaya alam hayati tersebut adalah serangan hama dan
penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, serta organisme
pengganggu tumbuhan. Kerusakan tersebut sangat merugikan
bangsa dan negara karena akan menurunkan hasil produksi
budidaya hewan, ikan, dan tumbuhan, baik kuantitas maupun
kualitas atau dapat mengakibatkan musnahnya jenis-jenis hewan,
ikan atau tumbuhan tertentu yang bernilai ekonomis dan ilmiah
tinggi. Bahkan beberapa penyakit hewan dan ikan tertentu dapat
menimbulkan gangguan terhadap kesehatan masyarakat.
Bahwa wilayah negara Republik Indonesia masih bebas dari
berbagai jenis hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan,
serta organisme pengganggu tumbuhan yang berbahaya. Kondisi
geografis wilayah negara Republik Indonesia yang terdiri dari
ribuan pulau dan terpisah oleh laut, telah menjadi rintangan alami
bagi penyebaran hama dan penyakit serta organisme pengganggu
ke atau dari suatu area ke area lain. Dengan makin meningkatnya
mobilitas manusia atau barang yang dapat menjadi media
pembawa hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, dan
organisme pengganggu tumbuhan, serta masih terbatasnya
37

kemampuan melakukan pengawasan, penangkalan, dan


pengamanan, maka peluang penyebaran hama dan penyakit serta
organisme pengganggu tersebut cukup besar. Hal tersebut akan
sangat membayakan kelestarian sumberdaya alam hayati dan
kepentingan ekonomi nasional. Oleh karena itu, diperlukan
antisipasi dan kesiagaan yang tinggi agar penyebaran hama dan
penyakit serta organisme pengganggu tersebut dapat dicegah.
Upaya mencegah masuknya ke dalam, dan tersebarnya dari
suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik
Indonesia hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan,
serta organisme pengganggu tumbuhan yang memiliki potensi
merusak kelestarian sumberdaya alam hayati tersebut dilakukan
melalui karantina hewan, ikan, dan tumbuhan oleh Pemerintah.
Sesuai dengan ketentuan internasional, bangsa Indonesia juga
memiliki kewajiban untuk mencegah keluarnya hama dan penyakit
hewan, hama dan penyakit ikan, serta organisme pengganggu
tumbuhan dari wilayah negara Republik Indonesia. Oleh karena
itu, penyelenggaraan karantina hewan, ikan, dan tumbuhan
merupakan salah satu wujud pelaksanaan kewajiban internasional
tersebut.
Pentingnya peranan karantina hewan,ikan,dan tumbuhan
memerlukan landasan hukum yang jelas, tegas dan menyeluruh
guna menjamin kepastian hukum dalam bentuk undang-undang
sebagai dasar penyelenggaraannya.
Beberapa ordonansi warisan pemerintah kolonial yang sampai
sekarang masih digunakan sebagai dasar penyelenggaraan
kegiatan karantina hewan, ikan, dan tumbuhan di Indonesia isinya
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Demikian
pula hukum nasional yang menjadi landasan penyelenggaraan
karantina hewan, ikan, dan tumbuhan dewasa ini yaitu Undangundang Nomor 2 Tahun 1961 tentang Pengeluaran dan
Pemasukan Tanaman dan Bibit Tanaman, Undang-undang Nomor.
6 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Peternakan dan Kesehatan
Hewan, serta Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang
Perikanan, tidak secara lengkap atau konkrit mengatur masalah
karantina hewan, ikan, atau tumbuhan, sehingga tidak mampu
38

menjawab permasalahan-permasalahan yang timbul di bidang


perkarantinaan hewan, ikan, atau tumbuhan.
Sehubungan dengan hal-hal di atas, dipandang perlu untuk
mengatur secara lengkap karantina hewan, ikan, dan tumbuhan
dalam suatu Undang-undang.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Termasuk pengertian benda lain diantaranya bahan patogenik,
bahan biologik, makanan ikan, bahan pembuat makanan ternak
dan/atau ikan, sarana pengendalian hayati, biakan organisme,
tanah, kompos atau media pertumbuhan tumbuhan lainnya, dan
vektor.
Angka 7
Pengertian hewan, termasuk hewan yang dilindungi menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Angka 8
Pengertian bahan asal hewan termasuk diantaranya daging, susu,
telor, bulu, tanduk, kuku, kulit, tulang, mani.
39

Angka 9
Pengertian hasil bahan asal hewan termasuk diantaranya daging
rebus, dendeng, kulit yang disamak setengah proses, tepung
tulang, tulang, darah, bulu hewan, kuku dan tanduk, usus, pupuk
hewan dan organ-organ, kelenjar, jaringan, serta cairan tubuh
hewan.
Angka 10
Pengertian ikan meliputi:
a. ikan bersirip (Pisces);
b. udang, rajungan, kepiting dan sebangsanya (Crustacea);
c. kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput dan sebangsanya
(Mollusca);
d. ubur-ubur dan sebangsanya (Coelenterata);
e. tripang, bulu babi dan sebangsanya (Echinodermata);
f. kodok dan sebangsanya (Amphibia);
g. buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air dan sebangsanya
(Reptilia);
h. paus, lumba-lumba, pesut, duyung dan sebangsanya
(Mammalia);
i. rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain yang hidupnya di
dalam air (Algae);
j. biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis
tesebut diatas, termasuk ikan yang dilindungi
Angka 11
Pengertian tumbuhan termasuk tumbuhan yang dilindungi, kecuali
rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain yang hidupnya di dalam air
(Algae).
Angka 12
Cukup jelas
Angka 13
Cukup jelas

40

Pasal 2
Dengan dianutnya asas kelestarian sumberdaya alam hayati
hewan, ikan, dan tumbuhan, berarti penyelenggaraan karantina
hewan, ikan, dan tumbuhan harus semata-mata ditujukan untuk
melindungi kelestarian sumber daya alam hayati hewan, ikan, dan
tumbuhan dari serangan hama dan penyakit hewan karantina,
hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu
tumbuhan karantina, dan tidak untuk tujuan-tujuan lainnya.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Pengertian area meliputi daerah dalam suatu pulau, atau pulau,
atau kelompok pulau di dalam wilayah negara Republik Indonesia
yang dikaitkan dengan pencegahan penyebaran hama dan
penyakit dan organisme pengganggu.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Sertifikat kesehatan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
Dianggap telah dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik
Indonesia apabila telah dibebaskan dari tempat-tempat.
dilakukannya tindakan karantina atau telah dilalulintasbebaskan di
dalam wilayah negara Republik Indonesia.

41

Pasal 6
Dianggap telah dimasukkan ke suatu area dari area lain di dalam
wilayah negara Republik Indonesia apabila telah dibebaskan dari
tempat-tempat dilakukannya tindakan karantina atau telah
dilalulintasbebaskan di area tujuan di dalam wilayah negara
Republik Indonesia. Dianggap telah dikeluarkan dari suatu area ke
area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia apabila telah
dimuat dalam suatu alat angkut di tempat-tempat pengeluaran
untuk dibawa ke area lain di dalam wilayah negara Republik
Indonesia.
Pasal 7
Ayat (1)
Dianggap telah dikeluarkan dari wilayah negara Republik
Indonesia apabila telah dimuat dalam suatu alat angkut di tempattempat pengeluaran untuk dibawa ke suatu tempat lain di luar
wilayah negara Republik Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Kewajiban tambahan yang ditetapkan oleh Pemerintah antara lain
berupa :
a. pemberian perlakuan tertentu terhadap media pembawa hama
dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan
karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan karantina di
negara asal, atau
b. pengenaan tindakan karantina di negara ketiga, atau
c. larangan diturunkannya media pembawa hama dan penyakit
hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau
organisme pengganggu tumbuhan karantina yang akan
dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia di
negara tertentu apabila alat angkut yang membawanya transit
di negara tersebut, atau
d. keharusan melengkapi dengan sertifikat tertentu untuk
pemasukan media pembawa tertentu.
42

Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Tindakan karantina dalam ayat ini dapat dikenakan setelah
dilakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap dokumen barang
yang kemudian disesuaikan dengan daftar hama dan penyakit ikan
karantina, organisme pengganggu tumbuhan karantina, media
pembawa hama dan penyakit ikan karantina, atau media pembawa
organisme pengganggu tumbuhan karantina.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Perlakuan dalam ayat ini merupakan tindakan membebaskan atau
menyucihamakan media pembawa dari hama dan penyakit hewan,
hama dan penyakit ikan, atau organisme pengganggu tumbuhan,
yang dilakukan dengan cara fisik, kimia, biologi dan lain-lain.
Perlakuan secara fisik, antara lain berupa radiasi, pemanasan, dan
pendinginan; perlakuan secara kimia, antara lain dengan pestisida,
antibiotika, dan khemoterapeutik; dan perlakuan secara biologi
antara lain dengan serum dan vaksin.
Huruf e
Cukup jelas
43

Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Pembebasan dalam tindakan karantina mencakup pembebasan ke
luar atau masuknya media pembawa hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, dan organisme
pengganggu tumbuhan karantina dari atau ke dalam wilayah
negara Republik Indonesia, serta dari suatu area ke area lain di
dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Pembebasan keluarnya disertai sertifikat kesehatan, sedangkan
pembebasan masuknya disertai sertifikat pelepasan.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penyakit karantina yang membahayakan kesehatan manusia
diantaranya meliputi penyakit karantina sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina
Laut dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina
Udara, yaitu :
a. pes (plague);
b. kolera (cholera);
c. demam kuning (yellow fever);
d. cacar (smallpox);
e. typhus bercak wabah, typhus exanthematicus infectiosa (louse
borne typhus);
f. demam balik-balik (louse borne relapsing fever).
Apabila dalam pemeriksaan media pembawa hama dan penyakit
hewan karantina atau hama dan penyakit ikan karantina ditemukan
penyakit karantina, petugas karantina di tempat pemasukan atau
44

pengeluaran melakukan koordinasi dengan dokter kesehatan


pelabuhan.
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Persyaratan karantina belum seluruhnya dipenuhi apabila misalnya
belum dilengkapi dengan sertifikat kesehatan atau surat
keterangan tertentu sebagai kewajiban tambahan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan ini menegaskan, bahwa pemusnahan yang dilakukan
membebaskan instansi dan petugas yang bertanggung jawab di
bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan dari segala tuntutan
hukum.
Pasal 17
Cukup jelas
45

Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Sertifikat pelepasan dikeluarkan oleh petugas karantina sesuai
bidangnya masing-masing. Khusus sertifikat pelepasan karantina
hewan dikeluarkan oleh dokter hewan petugas karantina.
Ayat (2)
Sertifikat kesehatan dikeluarkan oleh petugas karantina sesuai
bidangnya masing-masing. Khusus sertifikat kesehatan karantina
hewan dikeluarkan oleh dokter hewan petugas karantina.
Pasal 20
Ayat (1)
Tindakan karantina di tempat pemasukan dan/atau pengeluaran di
luar instalasi karantina dilakukan antara lain di kandang, gudang
atau tempat penyimpanan barang pemilik, alat angkut, kade yang
letaknya di dalam daerah pelabuhan laut, pelabuhan sungai,
pelabuhan penyeberangan, bandar udara, kantor pos, dan pos
perbatasan dengan negara lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Penyelenggaraan karantina hewan, ikan, dan tumbuhan
memerlukan biaya yang cukup besar sehingga dipandang perlu
memberikan sebagian biaya tersebut kepada pihak pengguna jasa
dan/atau sarana karantina yang disediakan oleh Pemerintah.
46

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Termasuk dalam pengertian media pembawa lain adalah sampah,
antara lain sisa-sisa makanan yang mengandung bahan asal
hewan, ikan, tumbuhan, sisa makanan hewan, dan kotoran hewan.
Pasal 26
Cukup Jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup Jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup Jelas
Pasal 31
Cukup jelas
47

Pasal 32
Cukup Jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3482

48

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 14 TAHUN 2002
TENTANG
KARANTINA TUMBUHAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka memberikan landasan hukum yang kuat
bagi penyelenggaraan karantina hewan, ikan, dan tumbuhan,
telah ditetapkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992
tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan;
b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang
tersebut
dalam
penyelenggaraan
kegiatan
karantina
tumbuhan, perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Karantina Tumbuhan;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana
telah diubah dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar
1945;
2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3478);
3. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina
Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3482);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN
PEMERINTAH
KARANTINA TUMBUHAN.
49

TENTANG

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Tumbuhan adalah semua jenis sumber daya alam nabati
dalam keadaan hidup atau mati, baik belum diolah maupun
telah diolah;
2. Karantina Tumbuhan adalah tindakan sebagai upaya
pencegahan masuk dan tersebarnya Organisme Pengganggu
Tumbuhan dari luar negeri dan dari suatu Area ke Area lain di
dalam negeri atau keluarnya dari dalam wilayah Negara
Republik Indonesia;
3. Area adalah meliputi daerah dalam suatu pulau, atau pulau,
atau kelompok pulau di dalam wilayah Negara Republik
Indonesia yang dikaitkan dengan pencegahan penyebaran
Organisme Pengganggu Tumbuhan;
4. Instalasi Karantina Tumbuhan yang selanjutnya disebut
Instalasi Karantina adalah tempat beserta segala sarana yang
ada padanya yang digunakan untuk melaksanakan tindakan
Karantina Tumbuhan;
5. Organisme Pengganggu Tumbuhan adalah semua organisme
yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau
menyebabkan kematian tumbuhan;
6. Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina adalah semua
Organisme Penganggu Tumbuhan yang ditetapkan oleh
Menteri untuk dicegah masuknya ke dalam dan tersebarnya di
dalam wilayah Negara Republik Indonesia;
7. Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina Golongan I
adalah Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina yang
tidak dapat dibebaskan dari Media Pembawanya dengan cara
perlakuan;
8. Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina Golongan II
adalah semua Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
yang dapat dibebaskan dari Media Pembawanya dengan cara
perlakuan;
50

9. Organisme Pengganggu Tumbuhan Penting adalah Organisme


Pengganggu Tumbuhan selain Organisme Pengganggu
Tumbuhan Karantina, yang keberadaannya pada benih
tanaman yang dilalulintaskan dapat menimbulkan pengaruh
yang merugikan secara ekonomis terhadap tujuan
penggunaan benih tanaman tersebut dan ditetapkan oleh
Menteri untuk dikenai tindakan Karantina Tumbuhan;
10. Media Pembawa Organisme Pengganggu Tumbuhan yang
selanjutnya disebut Media Pembawa adalah tumbuhan dan
bagian-bagiannya dan/atau benda lain yang dapat membawa
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina;
11. Analisis resiko Organisme Pengganggu Tumbuhan adalah
suatu proses untuk menetapkan bahwa suatu Organisme
Pengganggu Tumbuhan merupakan Organisme Pengganggu
Tumbuhan Karantina atau Organisme Penganggu Tumbuhan
Penting, serta menentukan syarat-syarat dan tindakan
Karantina Tumbuhan yang sesuai untuk mencegah masuk dan
tersebarnya Organisme Pengganggu Tumbuhan tersebut;
12. Alat angkut Media Pembawa adalah semua alat transportasi
darat, air, maupun udara yang dipergunakan untuk
melalulintaskan Media Pembawa;
13. Pemilik Media Pembawa yang selanjutnya disebut Pemilik
adalah orang atau badan hukum yang memiliki Media
Pembawa dan/atau yang bertanggung jawab atas pemasukan,
pengeluaran atau transit Media Pembawa;
14. Penanggung jawab alat angkut adalah orang atau badan
hukum yang bertanggung jawab atas kedatangan,
keberangkatan, atau transit alat angkut;
15. Transit Media Pembawa, peralatan, atau pembungkus adalah
singgah sementara dan diturunkannya dari alat angkut Media
Pembawa, peralatan, atau pembungkus di dalam wilayah
Negara Republik Indonesia sebelum Media Pembawa,
peralatan, atau pembungkus tersebut sampai di negara atau
Area tujuan;
16. Transit alat angkut adalah singgah sementara alat angkut di
dalam wilayah Negara Republik Indonesia atau di suatu Area
51

17.

18.
19.

20.

di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, sebelum alat


angkut tersebut sampai ke negara atau Area tujuan;
Sertifikat Kesehatan Tumbuhan adalah surat keterangan yang
dibuat oleh pejabat yang berwenang di negara atau Area
asal/pengirim/transit yang menyatakan bahwa tumbuhan atau
bagian-bagian tumbuhan yang tercantum di dalamnya bebas
dari Organisme Pengganggu Tumbuhan, Organisme
Pengganggu Tumbuhan Karantina, Organisme Pengganggu
Tumbuhan Karantina Golongan I, Organisme Pengganggu
Tumbuhan Karantina Golongan II, dan/atau Organisme
Pengganggu Tumbuhan Penting serta telah memenuhi
persyaratan Karantina Tumbuhan yang ditetapkan dan/atau
menyatakan keterangan lain yang diperlukan;
Wabah atau eksplosi adalah serangan Organisme
Pengganggu Tumbuhan yang sifatnya mendadak, populasinya
berkembang sangat cepat, dan menyebar luas dengan cepat;
Negara atau Area asal yang mempunyai resiko tinggi adalah
negara atau Area asal yang mempunyai potensi kuat sebagai
tempat yang menjadi sumber penyebaran Organisme
Pengganggu Tumbuhan;
Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang
Karantina Tumbuhan.
BAB II
PERSYARATAN KARANTINA TUMBUHAN
Pasal 2

Setiap Media Pembawa yang dimasukkan ke dalam wilayah


Negara Republik Indonesia, wajib :
a. dilengkapi Sertifikat Kesehatan Tumbuhan dari negara asal
dan negara transit bagi tumbuhan dan bagian-bagiannya,
kecuali Media Pembawa yang tergolong benda lain;
b. melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan;
c. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas Karantina
Tumbuhan di tempat tempat pemasukan untuk keperluan
tindakan Karantina Tumbuhan.
52

Pasal 3
(1) Setiap Media Pembawa yang dibawa atau dikirim dari suatu
Area ke Area lain di dalam wilayah Negara Republik Indonesia,
wajib :
a. dilengkapi Sertifikat Kesehatan Tumbuhan dari Area asal
bagi tumbuhan dan bagian-bagiannya, kecuali Media
Pembawa yang tergolong benda lain;
b. melalui tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran yang
telah ditetapkan;
c. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas Karantina
Tumbuhan di tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran
untuk keperluan tindakan Karantina Tumbuhan.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan
terhadap setiap Media Pembawa yang dibawa atau dikirim dari
suatu Area yang tidak bebas ke Area lain yang bebas dari
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina.
(3) Penetapan Area sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilakukan oleh Menteri berdasarkan hasil survei dan
pemantauan daerah sebar serta dengan mempertimbangkan
hasil analisis resiko Organisme Pengganggu Tumbuhan
Karantina.
Pasal 4
Setiap Media Pembawa yang akan dikeluarkan dari dalam wilayah
Negara Republik Indonesia, apabila disyaratkan oleh negara
tujuan wajib:
a. dilengkapi Sertifikat Kesehatan Tumbuhan dari tempat
pengeluaran bagi tumbuhan dan bagian-bagiannya, kecuali
Media Pembawa yang tergolong benda lain;
b. melalui tempat-tempat pengeluaran yang telah ditetapkan;
c. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas Karantina
Tumbuhan di tempat-tempat pengeluaran untuk keperluan
tindakan Karantina Tumbuhan.

53

Pasal 5
(1) Selain persyaratan yang diwajibkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4, dalam hal tertentu
Menteri dapat menetapkan kewajiban tambahan.
(2) Kewajiban tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berupa persyaratan teknis dan/atau kelengkapan dokumen
yang ditetapkan berdasarkan analisis Organisme Pengganggu
Tumbuhan.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang kewajiban tambahan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri.
BAB III
TINDAKAN KARANTINA TUMBUHAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 6
(1) Setiap Media Pembawa yang dimasukkan ke dalam wilayah
Negara Republik Indonesia dikenakan tindakan Karantina
Tumbuhan.
(2) Setiap Media Pembawa yang dibawa atau dikirim dari suatu
Area yang tidak bebas ke Area lain yang bebas di dalam
wilayah Negara Republik Indonesia dikenakan tindakan
Karantina Tumbuhan.
(3) Setiap Media Pembawa yang akan dikeluarkan dari wilayah
Negara Republik Indonesia dikenakan tindakan Karantina
Tumbuhan apabila disyaratkan oleh negara tujuan.
Pasal 7
Tindakan Karantina Tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 dilakukan oleh petugas Karantina Tumbuhan berupa
pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan,
penolakan, pemusnahan dan pembebasan.

54

Pasal 8
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 meliputi :
a. pemeriksaan administratif untuk mengetahui kelengkapan,
kebenaran isi, dan keabsahan dokumen persyaratan; dan
b. pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi kemungkinan
adanya Organisme Pengganggu Tumbuhan dan/atau
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina.
(2) Pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf b, dapat dilakukan secara visual dan/atau laboratoris.
(3) Pemilik membantu kelancaran pelaksanaan pemeriksaan
sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) huruf b.
Pasal 9
(1) Pengasingan dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 dimaksudkan untuk mendeteksi kemungkinan adanya
Organisme Pengganggu Tumbuhan dan/atau Organisme
Pengganggu Tumbuhan Karantina yang karena sifatnya
memerlukan waktu lama, sarana khusus dan kondisi khusus.
(2) Pengasingan dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan di suatu tempat yang terisolasi selama
waktu tertentu sesuai dengan masa inkubasi Organisme
Pengganggu Tumbuhan dan/atau Organisme Pengganggu
Tumbuhan Karantina yang bersangkutan.
Pasal 10
(1) Perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilakukan
untuk membebaskan Media Pembawa, orang, alat angkut,
peralatan, dan pembungkus dari Organisme Pengganggu
Tumbuhan dan/atau Organisme Pengganggu Tumbuhan
Karantina Golongan II.
(2) Perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat
dilakukan secara fisik maupun kimiawi.
Pasal 11
Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dimaksudkan
untuk
mengamankan
Media
Pembawa
dengan
cara
55

menempatkannya di bawah penguasaan dan pengawasan petugas


Karantina Tumbuhan dalam waktu tertentu karena persyaratan
karantina belum sepenuhnya dipenuhi.
Pasal 12
(1) Penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
dimaksudkan agar Media Pembawa yang bersangkutan
segera dibawa ke negara atau Area asal atau Area lain untuk
menghindari kemungkinan terjadinya penyebaran Organisme
Pengganggu Tumbuhan dan/atau OrganismePengganggu
Tumbuhan Karantina dari Media Pembawa tersebut ke
lingkungan sekitarnya.
(2) Pengiriman Media Pembawa yang dikenai tindakan penolakan
ke negara atau Area asal atau Area lain dilakukan oleh Pemilik
di bawah pengawasan petugas Karantina Tumbuhan.
Pasal 13
(1) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilakukan
dengan cara membakar, menghancurkan, mengubur, dan
cara-cara pemusnahan lainnya yang sesuai sehingga Media
Pembawa tidak mungkin lagi menjadi sumber penyebaran
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina.
(2) Pelaksanaan pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) menjadi tanggung jawab Pemilik dan dilakukan di bawah
pengawasan petugas Karantina Tumbuhan.
(3) Dalam hal Media Pembawa yang bersangkutan tertular
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina atau tidak
dikirim kembali ke negara atau Area asal atau Area lain oleh
Pemiliknya setelah ditolak pemasukan atau pengeluarannya,
pemusnahannya dilakukan terhadap seluruh partai kiriman
Media Pembawa.
(4) Dalam hal Media Pembawa yang bersangkutan berada dalam
keadaan busuk atau rusak, pemusnahannya dilakukan hanya
terhadap Media Pembawa yang busuk atau rusak.
(5) Pelaksanaan pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) dinyatakan dalam suatu
berita acara.
56

Pasal 14
Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilakukan
apabila Media Pembawa yang bersangkutan :
a. bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan dan/atau
organisme Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina; dan
b. semua persyaratan yang ditetapkan bagi pemasukan atau
pengeluaran Media Pembawa tersebut telah dipenuhi.
Bagian Kedua
Pemasukan Media Pembawa dari Luar Negeri ke
Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia
Pasal 15
Pelaporan dan penyerahan Media Pembawa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Untuk barang muatan yang pemasukannya dikenakan
tindakan pengasingan dan pengamatan, laporan pemasukan
dilakukan oleh Pemilik paling lambat 5 (lima) hari sebelum
Media Pembawa tersebut tiba di tempat pemasukan dan
penyerahannya dilakukan pada saat tiba di tempat
pemasukan;
b. Untuk barang muatan yang tidak dikenakan pengasingan dan
pengamatan atau barang bawaan, laporan pemasukan dan
penyerahan media pembawa tersebut dilakukan oleh Pemilik
pada saat Media Pembawa tersebut tiba di tempat
pemasukan;
c. Untuk kiriman pos, penyerahan Media Pembawa tersebut
dilakukan oleh petugas pos kepada petugas Karantina
Tumbuhan pada saat Media Pembawa tersebut tiba di tempat
pemasukan, sedangkan laporan pemasukannya dilakukan oleh
Pemilik paling lambat 3 (tiga) hari setelah yang bersangkutan
menerima pemberitahuan dari petugas pos.

57

Pasal 16
(1) Apabila Pemilik tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15, maka setibanya Media Pembawa di
tempat pemasukan terhadap Media Pembawa tersebut
dilakukan penahanan paling lama 14 (empat belas) hari.
(2) Selama Media Pembawa berada dalam penahanan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemilik harus
melaporkan pemasukan Media Pembawa tersebut kepada
petugas Karantina Tumbuhan setempat.
(3) Apabila setelah jangka waktu penahanan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Pemilik tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka terhadap Media
Pembawa tersebut dilakukan penolakan.
Pasal 17
Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal
15, dan Pasal 16 ayat (2) dapat dipenuhi, maka terhadap Media
Pembawa tersebut dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8.
Pasal 18
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 terhadap
Media Pembawa dapat dilakukan :
a. setelah Media Pembawa tersebut diturunkan dari alat angkut;
dan/atau
b. di atas alat angkut.
Pasal 19
(1) Apabila setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 huruf a, ternyata Media Pembawa
tersebut:
a. merupakan Media Pembawa yang pemasukannya
dikenakan tindakan pengasingan dan pengamatan, maka
terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pengasingan
dan pengamatan;
58

b. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan


Karantina Golongan II, maka terhadap Media Pembawa
tersebut dilakukan perlakuan;
c. tidak dilengkapi dengan Sertifikat Kesehatan Tumbuhan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan
kewajiban tambahan berupa dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), maka terhadap Media
Pembawa tersebut dilakukan penahanan paling lama 14
(empat belas) hari, dan selama Media Pembawa tersebut
dalam penahanan, Pemilik harus dapat melengkapi
Sertifikat Kesehatan Tumbuhan dan dokumen lain yang
disyaratkan;
d. tidak melalui tempat pemasukan yang telah ditetapkan
dan/atau tidak memenuhi ketentuan teknis yang
disyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1), maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan
penolakan;
e. merupakan jenis-jenis Media Pembawa yang tidak
diperboleh-kan untuk dimasukkan melalui tempat
pemasukan yang bersangkutan, maka terhadap Media
Pembawa tersebut dilakukan penolakan;
f. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan
Karantina Golongan I, busuk, rusak atau merupakan jenisjenis yang dilarang pemasukannya, maka terhadap Media
Pembawa tersebut dilakukan pemusnahan;
g. bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina,
maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan
pembebasan.
(2) Apabila setelah lewat jangka waktu penahanan Pemilik tidak
dapat melengkapi Sertifikat Kesehatan Tumbuhan dan/atau
dokumen lain yang disyaratkan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf c, maka terhadap Media Pembawa tersebut
dilakukan penolakan.
Pasal 20
(1) Jangka waktu pengasingan dan pengamatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a, disesuaikan dengan
59

masa inkubasi Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina


yang akan dideteksi.
(2) Apabila setelah dilakukan pengasingan dan pengamatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Media Pembawa
tersebut ternyata:
a. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan
Karantina Golongan I, busuk atau rusak, maka terhadap
Media Pembawa tersebut dilakukan pemusnahan;
b. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan
Karantina Golongan II, maka terhadap Media Pembawa
tersebut dilakukan perlakuan;
c. bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina,
maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan
pembebasan.
Pasal 21
Apabila setelah dilakukan perlakuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b atau Pasal 20 ayat (2) huruf b,
ternyata Media Pembawa tersebut:
a. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Golongan II, maka terhadap Media Pembawa tersebut
dilakukan pemusnahan;
b. bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Golongan II, maka terhadap Media Pembawa tersebut
dilakukan pembebasan.
Pasal 22
Pemeriksaan terhadap Media Pembawa di atas alat angkut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b dilakukan apabila:
a. Media Pembawa tersebut berasal dari negara atau transit di
negara atau Area yang tertular wabah;
b. alat angkut Media Pembawa tersebut berasal dari negara atau
transit di negara atau Area yang tertular wabah;
c. Media Pembawa tersebut berasal dari negara atau transit di
negara atau Area yang mempunyai resiko tinggi; atau
60

d. berdasarkan pertimbangan petugas Karantina Tumbuhan,


pemeriksaan terhadap Media Pembawa tersebut perlu
dilakukan di atas alat angkut.
Pasal 23
Apabila setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22, ternyata Media Pembawa tersebut:
a. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Golongan II, maka terhadap Media Pembawa tersebut
dilakukan perlakuan di atas alat angkut;
b. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Golongan I, busuk, rusak atau merupakan jenis-jenis yang
dilarang pemasukannya, maka terhadap Media Pembawa
tersebut dilakukan penolakan dan dilarang diturunkan dari alat
angkut yang membawanya;
c. bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina,
maka Media Pembawa tersebut dapat diturunkan dari alat
angkut yang membawanya dengan tetap memberlakukan
ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal
21.
Pasal 24
(1) Apabila setelah diberi perlakuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 huruf a, ternyata Media Pembawa tersebut:
a. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan
Karantina Golongan II, maka terhadap Media Pembawa
tersebut dilakukan penolakan dan dilarang diturunkan dari
alat angkut yang membawanya;
b. bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Golongan II, maka Media Pembawa tersebut dapat
diturunkan dari alat angkut yang membawanya dengan
tetap memberlakukan ketentuan yang diatur dalam Pasal
18 sampai dengan Pasal 21.
(2) Apabila tanpa persetujuan petugas Karantina Tumbuhan,
Media Pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
a atau Pasal 23 huruf b diturunkan dari alat angkut yang
61

membawanya, maka terhadap Media Pembawa tersebut


dilakukan pemusnahan.
Pasal 25
Dalam hal perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf
a tidak mungkin dilaksanakan di atas alat angkut, terhadap Media
Pembawa tersebut dilakukan penolakan dan Media Pembawa
tersebut dilarang diturunkan dari alat angkut yang membawanya.
Pasal 26
(1) Setiap Media Pembawa yang ditolak pemasukannya ke dalam
wilayah Negara Republik Indonesia, paling lambat dalam
waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya surat penolakan
oleh Pemilik, harus sudah dibawa keluar dari wilayah Negara
Republik Indonesia oleh Pemiliknya.
(2) Apabila setelah jangka waktu tersebut yang dimaksud dalam
ayat (1) Media Pembawa tersebut tidak/belum dibawa keluar
dari wilayah Negara Republik Indonesia oleh Pemiliknya, maka
terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pemusnahan.
Pasal 27
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pelaksanaan tindakan
Karantina Tumbuhan terhadap pemasukan Media Pembawa ke
dalam wilayah Negara Republik Indonesia ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
Bagian Ketiga
Pengeluaran dan Pemasukan Media Pembawa dari Suatu Area
ke Area Lain di Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia
Pasal 28
Pelaporan dan penyerahan Media Pembawa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. di tempat pengeluaran, pelaporan dan penyerahan Media
Pembawa tersebut dilakukan oleh Pemilik kepada petugas
Karantina Tumbuhan di tempat pengeluaran sebelum Media
62

Pembawa tersebut dimuat ke atas alat angkut yang akan


memberangkatkannya
b. di tempat pemasukan untuk barang muatan atau barang
bawaan, pelaporan pemasukan dilakukan oleh Pemilik paling
lambat pada saat Media Pembawa tersebut tiba di tempat
pemasukan dan penyerahannya dilakukan pada saat tiba di
tempat pemasukan;
c. di tempat pemasukan untuk kiriman pos, penyerahan Media
Pembawa tersebut kepada petugas Karantina Tumbuhan
dilakukan oleh petugas pos pada saat Media Pembawa
tersebut tiba di tempat pemasukan, sedangkan laporan
pemasukannya dilakukan oleh Pemilik selambat-lambatnya 3
(tiga)
hari
setelah
yang
bersangkutan
menerima
pemberitahuan dari kantor pos.
Pasal 29
(1) Apabila Pemilik tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 huruf b dan c, maka terhadap Media
Pembawa tersebut dilakukan penahanan paling lama 14
(empat belas) hari.
(2) Selama Media Pembawa berada dalam penahanan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemilik harus
melaporkan pemasukan Media Pembawa tersebut kepada
petugas Karantina Tumbuhan setempat.
(3) Apabila setelah lewat jangka waktu penahanan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) Pemilik tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka terhadap Media
Pembawa tersebut dilakukan penolakan.
(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
huruf a dapat dipenuhi, maka terhadap Media Pembawa yang
akan dikeluarkan dari suatu Area ke Area lain tersebut
dilakukan pemeriksaan.
(5) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
Pasal 5 ayat (1), Pasal 28 huruf b dan huruf c dapat dipenuhi,
maka terhadap Media Pembawa yang akan dimasukkan dari
suatu Area ke Area lain tersebut dilakukan pembebasan.
63

(6) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat


(1) huruf a tidak dapat dipenuhi, maka terhadap Media
Pembawa tersebut dilakukan pemeriksaan kesehatan.
Pasal 30
Apabila setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (4) dan ayat (6), ternyata Media Pembawa
tersebut:
a. merupakan Media Pembawa yang pemasukan dan
pengeluarannya dikenakan tindakan pengasingan dan
pengamatan, maka terhadap Media Pembawa tersebut
dilakukan pengasingan dan pengamatan;
b. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Golongan II, maka terhadap Media Pembawa tersebut
dilakukan perlakuan;
c. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Golongan I, busuk atau rusak dan/atau merupakan jenis-jenis
Media Pembawa yang pemasukan dan pengeluarannya tidak
diperbolehkan melalui tempat pemasukan dan pengeluaran
bersangkutan atau dikeluarkan dari Area bersangkutan atau
dimasukkan ke Area tujuan dan/atau tidak memenuhi
persyaratan administrasi dan/atau persyaratan teknis yang
diatur dalam Pasal 5, maka terhadap Media Pembawa tersebut
dilakukan penolakan;
d. bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina,
maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan
pembebasan.
Pasal 31
(1) Jangka waktu pengasingan dan pengamatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 huruf a, disesuaikan dengan masa
inkubasi Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina yang
akan dideteksi.
(2) Apabila selama dalam pengasingan dan pengamatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a, ternyata
Media Pembawa tersebut:
64

a. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan


Karantina Golongan I, busuk atau rusak, maka terhadap
Media Pembawa tersebut dilakukan penolakan;
b. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan
Karantina Golongan II, maka terhadap Media Pembawa
tersebut dilakukan perlakuan;
c. bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina,
maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan
pembebasan.
Pasal 32
Apabila setelah dilakukan perlakuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 huruf b atau Pasal 31 ayat (2) huruf b, ternyata
Media Pembawa tersebut:
a. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Golongan II, maka terhadap Media Pembawa tersebut
dilakukan penolakan;
b. bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Golongan II, maka terhadap Media Pembawa tersebut
dilakukan pembebasan.
Pasal 33
Pemeriksaan terhadap Media Pembawa yang dimasukkan dari
suatu Area ke Area lain di dalam wilayah Negara Republik
Indonesia dapat dilakukan di atas alat angkut, apabila:
a. Media Pembawa dimaksud berasal dari Area atau transit di
Area yang tertular wabah;
b. alat angkut Media Pembawa dimaksud berasal dari Area atau
transit di Area yang tertular wabah;
c. Media Pembawa dimaksud berasal dari Area atau transit di
Area yang mempunyai resiko tinggi; atau
d. berdasarkan pertimbangan petugas Karantina Tumbuhan,
pemeriksaan terhadap Media Pembawa tersebut perlu
dilakukan di atas alat angkut.

65

Pasal 34
Apabila setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33, ternyata Media Pembawa tersebut:
a. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Golongan II, maka terhadap Media Pembawa tersebut
dilakukan perlakuan di atas alat angkut;
b. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Golongan I, busuk, rusak atau merupakan jenis-jenis yang
dilarang pemasukannya, maka terhadap Media Pembawa
tersebut dilakukan penolakan dan dilarang diturunkan dari alat
angkut yang membawanya;
c. bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina,
maka Media Pembawa tersebut dapat diturunkan dari alat
angkut yang membawanya dengan tetap memberlakukan
ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal
32.
Pasal 35
(1) Apabila setelah diberi perlakuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 huruf a, ternyata Media Pembawa tersebut:
a. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan
Karantina Golongan II, maka terhadap Media Pembawa
tersebut dilakukan penolakan dan dilarang diturunkan dari
alat angkut yang membawanya;
b. bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Golongan II, dengan tetap memperhatikan ketentuan yang
diatur dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 32, maka
terhadap Media Pembawa tersebut dapat diturunkan dari
alat angkut yang membawanya.
(2) Apabila setelah 14 (empat belas) hari sejak diterimanya surat
penolakan oleh Pemiliknya ternyata Media Pembawa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau Pasal 34
huruf b tidak/belum dibawa keluar dari tempat pemasukan atau
Area bersangkutan oleh Pemiliknya, maka Media Pembawa
tersebut diturunkan dari alat angkut yang membawanya untuk
dimusnahkan.
66

(3) Apabila tanpa persetujuan petugas Karantina Tumbuhan,


Media Pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
a atau Pasal 34 huruf b oleh suatu sebab yang bukan
berdasarkan pertimbangan teknis petugas Karantina
Tumbuhan diturunkan dari alat angkut yang membawanya,
maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan
pemusnahan.
Pasal 36
Dalam hal perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf
a tidak mungkin dilaksanakan di atas alat angkut, terhadap Media
Pembawa tersebut dilakukan penolakan dan Media Pembawa
tersebut dilarang diturunkan dari alat angkut yang membawanya.
Pasal 37
(1) Setiap Media Pembawa yang ditolak pemasukan atau
pengeluarannya dari suatu Area ke Area lain di dalam wilayah
Negara Republik Indonesia, paling lambat dalam waktu 14
(empat belas) hari sejak diterimanya surat penolakan oleh
Pemilik, harus sudah dibawa keluar oleh Pemiliknya dari
tempat pemasukan atau pengeluaran.
(2) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) Media Pembawa tersebut tidak/belum dibawa keluar
dari tempat pemasukan atau pengeluaran yang bersangkutan
oleh Pemiliknya, maka terhadap Media Pembawa tersebut
dilakukan pemusnahan.
Pasal 38
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pelaksanaan tindakan
Karantina Tumbuhan terhadap pemasukan dan pengeluaran Media
Pembawa dari suatu Area ke Area lain dalam wilayah Negara
Republik Indonesia ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

67

Bagian Keempat
Pengeluaran dari Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia
Pasal 39
Pelaporan Media Pembawa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf c dilakukan oleh Pemilik kepada petugas Karantina Tumbuhan
di tempat pengeluaran sebelum Media Pembawa tersebut dimuat di
atas alat angkut yang akan memberangkatkannya.
Pasal 40
Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dapat
dipenuhi, maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
Pasal 41
Apabila setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40, ternyata Media Pembawa tersebut:
a. merupakan Media Pembawa yang pengeluarannya dikenakan
tindakan pengasingan dan pengamatan, maka terhadap Media
Pembawa tersebut dilakukan pengasingan dan pengamatan;
b. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan, maka
terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan perlakuan;
c. busuk atau rusak dan/atau merupakan jenis-jenis Media
Pembawa yang pengeluarannya tidak diperbolehkan melalui
tempat pengeluaran yang bersangkutan atau dikeluarkan dari
dalam wilayah Negara Republik Indonesia atau dimasukkan ke
negara tujuan, dan/atau tidak memenuhi persyaratan
administrasi dan/atau persyaratan teknis yang diatur dalam
Pasal 5 ayat (1), maka terhadap Media Pembawa tersebut
dilakukan penolakan.
d. bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan, maka
terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pembebasan.

68

Pasal 42
Apabila
selama
dalam
pengasingan
dan
pengamatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf a, ternyata Media
Pembawa tersebut:
a. busuk, atau rusak, maka terhadap Media Pembawa tersebut
dilakukan penolakan;
b. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan, maka
terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan perlakuan;
c. bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan, maka
terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pembebasan.
Pasal 43
Apabila setelah dilakukan perlakuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 huruf b atau Pasal 42 huruf b, ternyata Media
Pembawa tersebut:
a. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan, maka
terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan penolakan;
b. bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan, maka
terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pembebasan.
Pasal 44
(1) Setiap Media Pembawa yang ditolak pengeluarannya dari
dalam wilayah Negara Republik Indonesia, paling lambat dalam
waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya surat penolakan
oleh Pemilik, harus sudah dibawa keluar oleh Pemiliknya dari
tempat pengeluaran.
(2) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) Media Pembawa tersebut belum dibawa keluar oleh
Pemiliknya dari tempat pengeluaran, maka terhadap Media
Pembawa tersebut dilakukan pemusnahan.
Pasal 45
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pelaksanaan tindakan
Karantina Tumbuhan terhadap pengeluaran Media Pembawa dari
dalam wilayah Negara Republik Indonesia ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
69

Bagian Kelima
Instalasi Karantina
Pasal 46
(1) Untuk keperluan pelaksanaan tindakan Karantina Tumbuhan,
Pemerintah membangun Instalasi Karantina di tempat-tempat
pemasukan dan pengeluaran atau tempat-tempat lain.
(2) Instalasi Karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilengkapi dengan sarana pemeriksaan, sarana pengasingan,
sarana pengamatan, sarana perlakuan, sarana penahanan,
sarana pemusnahan, dan sarana pendukungnya.
Pasal 47
(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya dapat menetapkan
tempat milik perorangan atau badan hukum sebagai Instalasi
Karantina atas permintaan Pemilik tempat bersangkutan.
(2) Instalasi Karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus memenuhi kelayakan teknis untuk pelaksanaan tindakan
Karantina Tumbuhan sesuai dengan peruntukannya.
(3) Menteri dapat mencabut kembali penetapan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) atas permintaan Pemilik tempat yang
bersangkutan atau apabila dari hasil evaluasi yang dilakukan,
dikemudian hari ternyata Instalasi Karantina tersebut dianggap
tidak lagi memenuhi kelayakan teknis sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Instalasi Karantina milik
perorangan atau badan hukum sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Bagian Keenam
Tindakan Karantina Tumbuhan
di Luar Tempat Pemasukan dan Pengeluaran
Pasal 48
(1) Pelaksanaan tindakan Karantina Tumbuhan dapat dilakukan di
luar tempat pemasukan dan/atau pengeluaran, baik di dalam
maupun di luar Instalasi Karantina.
70

(2) Berdasarkan analisis resiko Organisme Pengganggu


Tumbuhan, pelaksanaan tindakan Karantina Tumbuhan dapat
dilakukan di negara asal.
(3) Semua fasilitas yang diperlukan dalam pelaksanaan tindakan
Karantina Tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) menjadi tanggung jawab Pemilik.
Pasal 49
Dalam melaksanakan tindakan Karantina Tumbuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1), setiap Media Pembawa, Media
Pembawa lain, peralatan, atau pembungkus yang akan dikenai
tindakan Karantina Tumbuhan setelah diterima oleh petugas
Karantina Tumbuhan dari Pemiliknya atau pejabat bea dan cukai
atau petugas pos, diangkut langsung ke Instalasi Karantina atau
tempat lain di luar Instalasi Karantina di bawah pengawasan
petugas Karantina Tumbuhan.
Pasal 50
(1) Dalam hal tindakan Karantina Tumbuhan tersebut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1), dilaksanakan
di tempat lain di luar Instalasi Karantina, tempat tersebut harus
memenuhi syarat untuk digunakan sebagai tempat
pelaksanaan tindakan Karantina Tumbuhan.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan tindakan Karantina
Tumbuhan di luar tempat pemasukan dan pengeluaran
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Bagian Ketujuh
Tindakan Karantina Tumbuhan terhadap Orang, Alat Angkut,
Peralatan, dan Pembungkus
Pasal 51
Terhadap orang, alat angkut, peralatan, atau pembungkus yang
diketahui atau diduga membawa Organisme Pengganggu
Tumbuhan Karantina dapat dikenakan tindakan Karantina
Tumbuhan.
71

Pasal 52
Setiap alat angkut yang akan tiba di tempat pemasukan harus
dilaporkan kedatangannya oleh penanggung jawab alat angkut
tersebut kepada petugas Karantina Tumbuhan setempat.
Pasal 53
(1) Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52,
dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk kapal atau pesawat udara, laporan kedatangannya
dilakukan di tempat pemasukan, sebelum kedatangan
kapal atau pesawat udara tersebut;
b. untuk alat angkut darat yang tiba dari suatu Area di dalam
wilayah Negara Republik Indonesia dan yang secara
khusus digunakan mengangkut Media Pembawa atau
yang
berasal/melalui
daerah
wabah,
laporan
kedatangannya dilakukan di tempat pemasukan;
c. untuk alat angkut darat sebagaimana dimaksud pada huruf
b yang datang dari luar negeri, laporan kedatangannya
dilakukan di tempat pemasukan pada saat kedatangan alat
angkut tersebut.
(2) Setibanya alat angkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di
tempat pemasukan, Pemilik alat angkut wajib menyampaikan
daftar/keterangan tentang muatan alat angkut serta
dokumen/keterangan lain yang dipandang perlu kepada
petugas Karantina Tumbuhan setempat.
Pasal 54
Pada saat alat angkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 tiba
di tempat pemasukan, terhadap alat angkut tersebut dilakukan
pemeriksaan oleh petugas Karantina Tumbuhan setelah
berkoordinasi dengan petugas instansi terkait dengan ketentuan:
a. untuk kapal, pemeriksaan dilakukan sebelum atau pada saat
kapal merapat di dermaga;
b. untuk pesawat udara, pemeriksaan dilakukan pada saat
kedatangan pesawat udara tersebut;
72

c.

untuk alat angkut darat, pemeriksaan dilakukan pada saat


kedatangan alat angkut darat tersebut.
Pasal 55

(1) Apabila setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 54 ditemukan atau terdapat petunjuk
adanya Organisme Pengganggu Tumbuhan karantina, maka
terhadap alat angkut tersebut dilakukan perlakuan dan/atau
tindakan Karantina Tumbuhan lainnya.
(2) Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 22, Pasal 23,
Pasal 24, Pasal 25, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35 dan Pasal
36, muatan kecuali orang, yang terdapat di atas alat angkut
sebagaimana dimaksud dalam (1) hanya diperbolehkan untuk
diturunkan dari alat angkut tersebut setelah terlebih dahulu
dilakukan perlakuan dan/atau tindakan Karantina Tumbuhan
lainnya.
(3) Tindakan Karantina Tumbuhan terhadap orang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) berupa perlakuan dan dapat
dilakukan di atas alat angkut atau setelah orang tersebut turun
dari alat angkut.
Pasal 56
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, juga
diberlakukan apabila alat angkut:
a. datang dari, atau selama dalam perjalanan menuju ke wilayah
Negara Republik Indonesia atau Area tujuan, transit di negara
atau Area yang mempunyai resiko tinggi atau sedang terjangkit
wabah; atau
b. mengangkut Media Pembawa yang berasal dari negara atau
Area yang mempunyai resiko tinggi atau sedang terjangkit
wabah.
Pasal 57
Setiap peralatan atau pembungkus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Republik
Indonesia atau dari suatu Area ke Area lain di dalam wilayah
73

Negara Republik Indonesia wajib dilaporkan dan diserahkan


kepada petugas Karantina Tumbuhan pada saat peralatan atau
pembungkus tersebut tiba di tempat pemasukan untuk dilakukan
pemeriksaan dan/atau tindakan Karantina Tumbuhan lainnya.
Pasal 58
Apabila setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 ternyata peralatan dan pembungkus tersebut:
a. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Golongan I dan peralatan atau pembungkus tersebut masih
berada di atas alat angkut, maka terhadap peralatan atau
pembungkus tersebut dilakukan penolakan;
b. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Golongan II, maka terhadap peralatan atau pembungkus
tersebut, dilakukan perlakuan;
c. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Golongan I dan peralatan atau pembungkus tersebut telah
diturunkan dari alat angkut, maka terhadap peralatan atau
pembungkus tersebut dilakukan penolakan atau pemusnahan;
d. bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina,
maka terhadap peralatan atau pembungkus tersebut dilakukan
pembebasan.
Pasal 59
(1) Apabila setelah diberi perlakuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 58 huruf b dan peralatan atau pembungkus
tersebut masih berada di atas alat angkut, ternyata:
a. peralatan atau pembungkus tersebut tidak bebas dari
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina Golongan II,
maka terhadap peralatan atau pembungkus tersebut
dilakukan penolakan dan dilarang diturunkan dari alat
angkut yang membawanya;
b. peralatan atau pembungkus tersebut bebas dari
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina Golongan II,
maka terhadap peralatan atau pembungkus tersebut
dilakukan pembebasan.
74

(2) Apabila setelah diberi perlakuan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 58 huruf b dan peralatan atau pembungkus
tersebut telah diturunkan dari alat angkut yang membawanya,
ternyata :
a. peralatan atau pembungkus tersebut tidak bebas dari
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina Golongan II,
maka terhadap peralatan atau pembungkus tersebut
dilakukan penolakan atau pemusnahan;
b. peralatan atau pembungkus tersebut bebas dari
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina Golongan II,
maka terhadap peralatan atau pembungkus tersebut
dilakukan pembebasan.
(3) Terhadap peralatan atau pembungkus yang ditolak
pemasukannya, paling lambat dalam waktu 14 (empat belas)
hari sejak diterimanya surat penolakan oleh Pemiliknya, harus
sudah dikeluarkan dari wilayah Negara Republik Indonesia
atau dikirim kembali ke Area asal oleh Pemiliknya.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) peralatan atau pembungkus tersebut tidak atau belum
dibawa keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia atau
dikirim kembali ke Area asal oleh Pemiliknya, maka terhadap
peralatan atau pembungkus dilakukan pemusnahan.
(5) Apabila tanpa persetujuan petugas Karantina Tumbuhan,
peralatan atau pembungkus sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a ternyata telah diturunkan dari alat angkut yang
membawanya, maka terhadap peralatan atau pembungkus
tersebut dilakukan pemusnahan.
Pasal 60
Terhadap benda yang dibungkus dengan pembungkus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf b dilakukan tindakan
Karantina Tumbuhan sebagai berikut:
a. diberi perlakuan, dan setelah diberi perlakuan, terhadap benda
tersebut dilakukan pembebasan;
b. apabila perlakuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak
mungkin untuk dilakukan, maka terhadap benda tersebut dilakukan
penolakan atau pemusnahan.
75

Pasal 61
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pelaksanaan tindakan
Karantina Tumbuhan terhadap orang, alat angkut, peralatan dan
pembungkus ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Bagian Kedelapan
Transit Media Pembawa
Pasal 62
Transit Media Pembawa hanya diperbolehkan apabila melalui
tempat pemasukan dan pengeluaran yang ditetapkan.
Pasal 63
Pada saat kedatangan Media Pembawa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 62, Pemilik wajib melaporkan dan menyerahkan Media
Pembawa tersebut kepada petugas Karantina Tumbuhan setempat.
Pasal 64
(1) Selama transit, Media Pembawa tersebut harus berada di
bawah pengawasan petugas Karantina Tumbuhan.
(2) Apabila disyaratkan oleh negara atau Area tujuan atau atas
pertimbangan petugas Karantina Tumbuhan, maka terhadap
Media Pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan pemeriksaan.
Pasal 65
(1) Apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64 ayat (2) ternyata Media Pembawa tersebut tidak
bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina dan
tidak dapat dibebaskan dengan cara perlakuan, atau berada
dalam keadaan busuk atau rusak, atau merupakan jenis-jenis
Media Pembawa yang dilarang pemasukannya ke dalam
wilayah Negara Republik Indonesia atau Area yang
bersangkutan, maka terhadap Media Pembawa tersebut
dilakukan penolakan dan harus segera dibawa keluar dari
76

dalam wilayah Negara Republik Indonesia atau Area transit


yang bersangkutan.
(2) Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya surat penolakan oleh Pemilik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak dibawa keluar dari wilayah
Negara Republik Indonesia atau Area transit yang
bersangkutan oleh Pemiliknya, maka terhadap Media
Pembawa tersebut dilakukan pemusnahan.
Pasal 66
(1) Terhadap Media Pembawa yang sedang transit, dapat
diberikan Sertifikat Kesehatan Tumbuhan oleh petugas
Karantina Tumbuhan di tempat transit, apabila:
a. diminta oleh Pemilik Media Pembawa yang bersangkutan
atau disyaratkan oleh negara tujuan atau negara atau Area
transit berikutnya, bagi Media Pembawa yang akan dikirim
ke luar negeri; atau
b. disyaratkan sebagai kewajiban tambahan, bagi Media
Pembawa yang dimaksudkan untuk dikirim ke Area lain di
dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
(2) Sertifikat Kesehatan Tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tersebut diberikan apabila setelah dilakukan
pemeriksaan ternyata Media Pembawa tersebut:
a. disertai dengan Sertifikat Kesehatan Tumbuhan dari
negara/Area asal/pengirim atau negara/Area transit
sebelumnya;
b. bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina;
dan
c. tidak bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan
dan/atau Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina,
akan tetapi setelah diberi perlakuan dapat dibebaskan dari
Organisme Pengganggu Tumbuhan dan/atau Organisme
Pengganggu Tumbuhan Karantina.

77

Bagian Kesembilan
Transit Alat Angkut
Pasal 67
Transit alat angkut yang membawa Media Pembawa di dalam
wilayah Negara Republik Indonesia hanya boleh dilakukan di
tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran.
Pasal 68
Penanggung jawab alat angkut wajib melaporkan kedatangan alat
angkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 kepada petugas
Karantina Tumbuhan setempat sebelum kedatangan alat angkut
tersebut.
Pasal 69
Penanggung jawab alat angkut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 68 dilarang menurunkan Media Pembawa dari alat angkut
yang sedang transit.
Bagian Kesepuluh
Tindakan Karantina Tumbuhan
Dalam Keadaan Darurat
Pasal 70
(1) Jika kapal atau pesawat udara yang memuat Media Pembawa
karena keadaan darurat merapat atau mendarat bukan di
tempat tujuan, penanggung jawab alat angkut yang
bersangkutan harus segera melaporkan hal tersebut kepada
petugas Karantina Tumbuhan terdekat.
(2) Kecuali karena alasan-alasan yang memaksa, Media
Pembawa, peralatan, serta Media Pembawa lain yang terdapat
dalam kapal atau pesawat udara tersebut dan yang
berhubungan langsung dengan Media Pembawa di atas,
dilarang dibongkar atau diturunkan dari alat angkut sebelum
diperiksa dan diizinkan oleh petugas Karantina Tumbuhan.
(3) Dalam hal kapal atau pesawat udara yang merapat atau
mendarat darurat tidak dapat meneruskan perjalanannya,
78

terhadap Media Pembawa yang diangkutnya diberlakukan


ketentuan-ketentuan tentang pemasukan sebagaimana diatur
pada Bagian Kedua atau Bagian Ketiga Bab ini.
(4) Apabila kapal atau pesawat udara yang merapat darurat dapat
meneruskan perjalanannya, terhadap Media Pembawa yang
diangkutnya diberlakukan ketentuan-ketentuan tentang transit
sebagaimana diatur pada Bagian Kedelapan dan/atau Bagian
Kesembilan Bab ini.
Bagian Kesebelas
Tindakan Karantina Tumbuhan terhadap Barang Diplomatik
Pasal 71
Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini juga berlaku
bagi pemasukan, pengeluaran dan transit Media Pembawa yang
dibawa atau dikirim sebagai barang diplomatik.
Bagian Keduabelas
Tindakan Karantina Tumbuhan
oleh Pihak Ketiga
Pasal 72
a. Tindakan Karantina Tumbuhan dapat dilakukan oleh pihak
ketiga di bawah pengawasan petugas Karantina Tumbuhan.
b. Tindakan Karantina Tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), yaitu pemeriksaan fisik, pengasingan, pengamatan,
perlakuan dan/atau pemusnahan.
c. Ketentuan lebih lanjut tentang syarat dan tata cara
pelaksanaan tindakan Karantina Tumbuhan oleh pihak ketiga
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Bagian Ketigabelas
Media Pembawa Dalam Penguasaan Instansi Lain
Pasal 73
Terhadap Media Pembawa yang statusnya dalam penguasaan
instansi lain yang berwenang, dapat dikenakan tindakan Karantina
Tumbuhan sebagaimana diatur dalam Bab ini.
79

Bagian Keempatbelas
Pemasukan Media Pembawa yang Ditolak
Negara atau Area Tujuan
Pasal 74
(1) Pemasukan kembali Media Pembawa yang ditolak negara atau
Area tujuan dikenakan tindakan Karantina Tumbuhan, kecuali
tindakan penolakan.
(2) Pemasukan kembali Media Pembawa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), harus disertai dengan surat keterangan
penolakan dari negara atau Area tujuan.
(3) Sertifikat Kesehatan Tumbuhan yang menyertai Media
Pembawa tersebut pada waktu pengeluaran dapat
diberlakukan sebagai persyaratan Karantina Tumbuhan.
Bagian Kelimabelas
Tindakan Karantina Tumbuhan terhadap Media Pembawa
Organisme Pengganggu Tumbuhan Penting
Pasal 75
(1) Terhadap
Media
Pembawa
Organisme
Pengganggu
Tumbuhan Penting yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara
Republik Indonesia atau diangkut dari suatu Area ke Area lain
di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, dikenakan
tindakan Karantina Tumbuhan.
(2) Tindakan Karantina Tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang sertifikasi benih.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang tindakan Karantina Tumbuhan
terhadap Media Pembawa Organisme Pengganggu Tumbuhan
Penting ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

80

Bagian Keenambelas
Dokumen Tindakan Karantina Tumbuhan
Pasal 76
(1) Untuk setiap tindakan Karantina Tumbuhan diterbitkan
dokumen tindakan Karantina Tumbuhan oleh petugas
Karantina Tumbuhan.
(2) Dokumen tindakan Karantina Tumbuhan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib segera disampaikan kepada
Pemilik dan/atau pihak lain yang berkepentingan.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang jenis, bentuk, dan tata cara
penerbitan dokumen tindakan Karantina Tumbuhan ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
BAB IV
PUNGUTAN JASA KARANTINA TUMBUHAN
Pasal 77
(1) Setiap Pemilik yang memanfaatkan jasa atau sarana
pemerintah dalam pelaksanaan tindakan Karantina Tumbuhan,
dikenakan pungutan jasa Karantina Tumbuhan.
(2) Pungutan jasa Karantina Tumbuhan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), terdiri dari biaya penggunaan sarana pada
Instalasi Karantina milik Pemerintah dan biaya jasa
pelaksanaan tindakan Karantina Tumbuhan yang dilakukan
oleh petugas Karantina Tumbuhan.
Pasal 78
(1) Semua penerimaan yang berasal dari pungutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 merupakan Penerimaan Negara
Bukan Pajak dan harus disetor ke Kas Negara.
(2) Tata cara dan besarnya pungutan jasa Karantina Tumbuhan
akan ditetapkan lebih lanjut dalam peraturan tersendiri sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak.

81

BAB V
KAWASAN KARANTINA TUMBUHAN
Pasal 79
(1) Dalam hal ditemukan atau terdapat petunjuk terjadinya
serangan suatu Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
di suatu kawasan yang semula diketahui bebas dari
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina tersebut,
Menteri dapat menetapkan kawasan tersebut sebagai
kawasan Karantina Tumbuhan.
(2) Penetapan kawasan Karantina Tumbuhan sebagaimana
dimaksut dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri berdasarkan
pengkajian atas luas serangan Organisme Pengganggu
Tumbuhan tersebut dan setelah memperhatikan pertimbangan
Kepala Daerah setempat.
(3) Sambil menunggu penetapan kawasan Karantina Tumbuhan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kepala Daerah
setempat dapat mengambil langkah dan tindakan yang
diperlukan
untuk
mencegah
tersebarnya
dan/atau
mengeradikasi Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
yang menjadi dasar penetapan kawasan Karantina Tumbuhan
tersebut.
Pasal 80
Dalam hal suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan Karantina
Tumbuhan, maka:
a. pencegahan penyebaran dari dan pemberantasan Organisme
Pengganggu Tumbuhan Karantina di kawasan Karantina
Tumbuhan tersebut, menjadi wewenang dan tanggung jawab
Menteri;
b. Gubernur setempat mengkoordinasikan pelaksanaan tugas
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Pasal 81
(1) Penetapan kawasan Karantina Tumbuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79 bersifat sementara dan akan dicabut
82

kembali apabila Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina


yang menjadi dasar penetapan tersebut telah dapat dieradikasi
atau tidak dapat dieradikasi.
(2) Pencabutan
tatus kawasan
Karantina Tumbuhan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
(3) dilakukan oleh Menteri setelah mempertimbangkan pendapat
Kepala Daerah setempat.
Pasal 82
Ketentuan lebih lanjut tentang syarat-syarat dan tata cara
penetapan serta pencabutan kawasan Karantina Tumbuhan
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
BAB VI
JENIS ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN
DAN MEDIA PEMBAWANYA
Pasal 83
Menteri menetapkan jenis-jenis Organisme Pengganggu
Tumbuhan Karantina Golongan I, Organisme Pengganggu
Tumbuhan Karantina Golongan II, Organisme Pengganggu
Tumbuhan Penting serta Media Pembawanya berdasarkan hasil
analisis resiko Organisme Pengganggu Tumbuhan dan daerah
sebarnya.
Pasal 84
Menteri menetapkan jenis-jenis Media Pembawa Organisme
Pengganggu Tumbuhan Karantina sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 83, yang dilarang untuk:
a. dimasukkan ke atau dikeluarkan dari wilayah Negara Republik
Indonesia;
b. dikeluarkan dari atau dimasukkan ke suatu Area ke Area lain di
dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
Pasal 85
(1) Untuk mengetahui keberadaan dan/atau penyebaran
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina di dalam
83

wilayah Negara Republik Indonesia dilakukan kegiatan


pemantauan Organisme Pengganggu Tumbuhan karantina.
(2) Kegiatan pemantauan Organisme Pengganggu Tumbuhan
Karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
oleh petugas Karantina Tumbuhan dengan melibatkan pihakpihak terkait yang berhubungan dengan kegiatan perlindungan
tanaman.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang pemantauan Organisme
Peengganggu Tumbuhan Karantina sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri
BAB VII
MEDIA PEMBAWA LAIN
Pasal 86
Media Pembawa lain yang diturunkan dari alat angkut di tempat
pemasukan, harus dimusnahkan oleh penanggung jawab alat
angkut bersangkutan di bawah pengawasan petugas Karantina
Tumbuhan.
Pasal 87
Penanggung jawab tempat pemasukan wajib menyediakan sarana
penampungan dan/atau pemusnahan bagi Media Pembawa lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86.
BAB VIII
TEMPAT PEMASUKAN DAN PENGELUARAN
Pasal 88
(1) Dengan mempertimbangkan resiko masuk dan tersebarnya
Organisme
Pengganggu
Tumbuhan
Karantina
serta
kelancaran dan perkembangan transportasi, perdagangan, dan
pembangunan nasional, Menteri menetapkan tempat-tempat
pemasukan Media Pembawa.
(2) Dalam menetapkan tempat-tempat pemasukan dan/atau
pengeluaran Media Pembawa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan menteri terkait.
84

BAB IX
PEMBINAAN
Pasal 89
(1) Menteri melakukan pembinaan untuk meningkatkan kesadaran
dan peran serta masyarakat dalam bidang perkarantinaan
tumbuhan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselenggarakan melalui kegiatan pendidikan, pelatihan,
penyuluhan, dan penyebarluasan informasi secara terencana
dan berkelanjutan.
(3) Dalam menyelenggarakan kegiatan pembinaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Menteri dapat mengikutsertakan
organisasi-organisasi profesi atau lembaga-lembaga lainnya.
BAB X
KERJASAMA ANTAR NEGARA DI BIDANG
KARANTINA TUMBUHAN
Pasal 90
(1) Menteri
dapat
melakukan
kerjasama
yang
saling
menguntungkan dengan negara lain di bidang Karantina
Tumbuhan.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilakukan dalam bentuk kerjasama bilateral, regional, dan/atau
multilateral.
BAB XI
PETUGAS KARANTINA TUMBUHAN
Pasal 91
(1) Pelaksanaan tindakan Karantina Tumbuhan dilakukan oleh
petugas Karantina Tumbuhan.
(2) Petugas Karantina Tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah Pejabat Fungsional Pengendali Organisme
Pengganggu Tumbuhan yang bekerja pada instansi Karantina
Tumbuhan.
85

Pasal 92
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, petugas Karantina Tumbuhan
berwenang untuk:
a. memasuki dan memeriksa alat angkut, gudang, kade,
apron,
ruang keberangkatan atau kedatangan
penumpang, atau tempat-tempat lain di tempat-tempat
pemasukan dan pengeluaran untuk mengetahui ada atau
tidaknya Media Pembawa yang akan dilalulintaskan;
b. mengambil contoh Media Pembawa yang akan
dilalulintaskan;
c. membuka atau memerintahkan orang lain untuk membuka
pembungkus, kemasan, atau paket Media Pembawa, peti
kemas atau bagasi, palka untuk mengetahui ada atau
tidaknya Media Pembawa yang akan atau sedang
dilalulintaskan;
d. melarang orang yang tidak berkepentingan untuk
memasuki Instalasi Karantina, alat angkut atau tempattempat lain dimana sedang dilakukan tindakan Karantina
Tumbuhan;
e. melarang diturunkannya
dari alat
angkut atau
dipindahtempatkannya Media Pembawa yang sedang
dalam pengawasan petugas Karantina Tumbuhan;
f. memasuki tempat-tempat penyimpanan/penampungan
Media Pembawa untuk keperluan tindakan Karantina
Tumbuhan terhadap Media Pembawa tersebut dalam hal
tindakan Karantina Tumbuhan dilakukan di luar tempattempat pemasukan dan pengeluaran; dan/atau
g. menetapkan cara perawatan dan pemeliharaan Media
Pembawa yang sedang dikenai tindakan Karantina Tumbuhan.
(2) Dalam melaksanakan tugas dan kewenangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), petugas Karantina Tumbuhan
melakukan koordinasi dengan instansi terkait.
Pasal 93
Penyidikan tindak pidana di bidang Karantina Tumbuhan dapat
dilakukan oleh petugas Karantina Tumbuhan yang diberi
86

wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai


dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 94
Semua peraturan pelaksanaan di bawah Peraturan Pemerintah
yang berkaitan dengan Karantina Tumbuhan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 95
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya pada Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 April 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 April 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd

BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002
NOMOR 35.

87

MENTERI PERTANIAN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN


NOMOR : 37/Kpts/HK.060/1/2006
TENTANG
PERSYARATAN TEKNIS DAN
TINDAKAN KARANTINA TUMBUHAN UNTUK PEMASUKAN
BUAH-BUAHAN DAN ATAU SAYURAN BUAH SEGAR KE
DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
MENTERI PERTANIAN,
Menimbang :
a. bahwa lalat buah dikenal sebagai hama utama pada banyak
jenis tanaman hortikultura yang dapat menurunkan
produktivitas buah-buahan dan sayuran buah segar di dalam
negeri;
b. bahwa dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor
358/Kpts/OT.140/9/2005 telah ditetapkan Persyaratan Teknis
dan Tindakan Karantina Tumbuhan Untuk Pemasukan Buahbuahan dan Sayuran Buah Segar ke Dalam Wilayah Negara
Republik Indonesia yang dalam pelaksanaannya mengalami
berbagai hambatan;
c. bahwa berdasarkan huruf (a) dan (b) di atas dipandang perlu
untuk menetapkan kembali Peraturan Menteri Pertanian
tentang Persyaratan Teknis dan Tindakan Karantina Tumbuhan
Untuk Pemasukan Buah-buahan dan Sayuran Buah Segar ke
Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina
Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 56; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3482);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Agreement Establishing The World Trade Organization
(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)
88

3.

4.

5.
6.
7.
8.
9.

10.

11.
12.
13.

(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan


Lembaran Negara Nomor 35);
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Karantina Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 35; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4196);
Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 1977 sebagaimana telah
diamandir dengan Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 1990
tentang Pengesahan International Plant Protection Convention
1951;
Keputusan Presiden Nomor 58 Tahun 1992 tentang
Pengesahan Asian Plant Protection Convention;
Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja
Kementerian Negara Republik Indonesia;
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit
Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik
Indonesia;
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 38/Kpts/HK.310/1990
tentang Syarat-Syarat Dan Tindakan Karantina Tumbuhan
Untuk Pemasukan Tanaman Bibit Tanaman Ke Dalam Wilayah
Negara Republik Indonesia;
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 627/Kpts/PD.540/12/2003
juncto
Keputusan
Menteri
Pertanian
Nomor
117/Kpts/PD.540/2/2004 tentang Jenis-Jenis Organisme
Pengganggu Tumbuhan Karantina Golongan I, Golongan II
dan Media Pembawanya;
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 469/Kpts/HK.310/8/2002
tentang Tempat-Tempat Pemasukan dan Pengeluaran Media
Pembawa Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina;
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/OT.140/7/2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian;
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/OT.140/9/2005
tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Pertanian.
89

Memperhatikan : Notifikasi WTO Nomor 6/SPS/N/IDN/24 tanggal


18 Mei 2005;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG
PERSYARATAN
TEKNIS
DAN
TINDAKAN
KARANTINA
TUMBUHAN UNTUK PEMASUKAN BUAH-BUAHAN DAN ATAU
SAYURAN BUAH SEGAR KE DALAM WILAYAH NEGARA
REPUBLIK INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Buah-buahan dan atau sayuran buah segar adalah hasil
tanaman buah atau sayuran yang berupa buah berdaging, baik
utuh atau bagiannya dan belum diproses menjadi bahan
olahan, yang masih berpotensi sebagai media pembawa
organisme pengganggu tumbuhan.
2. Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina adalah semua
organisme pengganggu tumbuhan yang ditetapkan oleh
Menteri Pertanian untuk dicegah masuknya ke dalam dan
tersebarnya di dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
3. Media Pembawa Organisme Pengganggu Tumbuhan yang
selanjutnya disebut Media Pembawa adalah tumbuhan dan
bagian-bagiannya dan atau benda lain yang dapat membawa
organisme pengganggu tumbuhan karantina.
4. Analisis Risiko Organisme Pengganggu Tumbuhan adalah
suatu proses untuk menetapkan bahwa suatu Organisme
Pengganggu Tumbuhan merupakan organisme pengganggu
tumbuhan karantina atau organisme pengganggu tumbuhan
penting, serta menentukan syarat-syarat dan tindakan
karantina tumbuhan yang sesuai untuk mencegah masuk dan
tersebarnya organisme pengganggu tumbuhan tersebut.
5. Alat Angkut Media Pembawa adalah semua alat transportasi
darat, air, maupun udara yang dipergunakan untuk
melalulintaskan media pembawa.
90

6. Sertifikat Kesehatan Tumbuhan (Phytosanitary Certificate)


adalah surat keterangan yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang di negara atau area asal / pengirim / transit yang
menyatakan bahwa tumbuhan atau bagian-bagian tumbuhan
atau yang tercantum di dalamnya bebas dari Organisme
Pengganggu Tumbuhan, Organisme Pengganggu Tumbuhan
Karantina, Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Golongan I, Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Golongan II, dan atau Organisme Pengganggu Tumbuhan
Penting serta telah memenuhi persyaratan karantina tumbuhan
yang ditetapkan dan atau yang menyatakan keterangan lain
yang diperlukan.
7. Tempat Pemasukan adalah pelabuhan laut, pelabuhan sungai,
pelabuhan penyeberangan, bandar udara, kantor pos, pos
perbatasan dengan negara lain dan tempat-tempat lain yang
dianggap perlu, yang ditetapkan sebagai tempat untuk
memasukkan media pembawa organisme pengganggu
tumbuhan.
8. Petugas Karantina Tumbuhan adalah Pegawai Negeri Sipil
tertentu yang diberi tugas untuk melakukan tindakan karantina
tumbuhan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
9. Pemilik adalah orang atau badan hukum yang memiliki dan
atau yang bertanggung jawab atas pemasukan buah-buahan
dan atau sayuran buah segar.
Pasal 2
(1) Peraturan ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi Petugas
Karantina Tumbuhan untuk menerapkan persyaratan teknis
dan melakukan tindakan karantina tumbuhan terhadap
pemasukan buah-buahan dan atau sayuran buah segar ke
dalam wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Tujuan pengaturan ini agar buah-buahan dan atau sayuran
buah segar yang masuk ke dalam wilayah negara Republik
Indonesia bebas dari lalat buah.
91

Pasal 3
Ruang lingkup pengaturan dalam peraturan ini meliputi
persyaratan teknis pemasukan, tindakan karantina tumbuhan dan
tempat pemasukan buah-buahan dan atau sayuran buah segar.
BAB II
PERSYARATAN TEKNIS PEMASUKAN
BUAH-BUAHAN DAN ATAU SAYURAN BUAH SEGAR
Pasal 4
Buah-buahan dan atau sayuran buah segar yang dimasukkan ke
dalam wilayah Negara Republik Indonesia, wajib:
a. dilengkapi Sertifikat Kesehatan Tumbuhan dari negara asal
dan negara transit;
b. melalui tempat-tempat pemasukan yang ditetapkan.
c. dilaporkan dan diserahkan kepada Petugas Karantina
Tumbuhan di tempat-tempat pemasukan untuk keperluan
tindakan karantina tumbuhan.
Pasal 5
Pemasukan buah-buahan dan atau sayuran buah segar ke dalam
wilayah negara Republik Indonesia dapat berasal dari area
produksi di negara asal yang bebas dari infestasi organisme
pengganggu tumbuhan karantina seperti tercantum dalam
Lampiran Peraturan ini atau berasal dari area produksi di negara
asal yang tidak bebas dari infestasi organisme pengganggu
tumbuhan karantina.
Pasal 6
Pemasukan buah-buahan dan atau sayuran buah segar ke dalam
wilayah negara Republik Indonesia yang berasal dari area
produksi di negara yang bebas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, harus dinyatakan dalam kolom keterangan tambahan
(Additional Declaration) pada Sertifikat Kesehatan Tumbuhan yang
menyertai kiriman.
92

Pasal 7
(1) Pemasukan buah-buahan dan atau sayuran buah segar ke
dalam wilayah negara Republik Indonesia yang berasal dari
area produksi yang tidak bebas dari infestasi organisme
pengganggu tumbuhan karantina sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5, harus diberi perlakuan.
(2) Perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain
berupa pendinginan dengan suhu sesuai jenis buah-buahan
dan atau sayuran buah segar maupun jenis lalat buah yang
dicegah, dan dinyatakan dalam kolom perlakuan pada
Sertifikat Kesehatan Tumbuhan yang menyertai kiriman.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlakuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan
Karantina Pertanian.
Pasal 8
Buah-buahan dan atau sayuran buah segar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 harus dibungkus / dikemas antara lain
menggunakan karton dan plastik, serta diangkut dengan peti
kemas yang dilengkapi sarana pendingin.
Pasal 9
(1) Untuk barang muatan, Pemilik menyampaikan pemberitahuan
rencana pemasukan buah-buahan dan atau sayuran buah
segar kepada Kepala Badan Karantina Pertanian cq. Kepala
Unit Pelaksana Teknis Karantina Tumbuhan di tempat
pemasukan yang ditunjuk.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan sebelum dinaikkan ke alat angkut di tempat
pengeluaran negara asal.
(3) Pemberitahuan rencana pemasukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) antara lain meliputi jumlah, jenis, merk, jenis
kemasan, jenis alat angkut, peti kemas, tempat pengeluaran
negara asal, tempat pemasukan, dan tempat transit.

93

Pasal 10
Kepala Badan Karantina Pertanian cq. Kepala Unit Pelaksana
Teknis Karantina Tumbuhan di tempat pemasukan, dengan
memperhatikan ketentuan tersebut dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal
7, dan Pasal 8, memberikan jawaban terhadap rencana
pemasukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Pasal 11
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10,
juga berlaku untuk buah-buahan dan atau sayuran buah segar
dalam bentuk bawaan penumpang dan jasa kiriman pos.
Pasal 12
(1) Untuk mengetahui bebas tidaknya suatu area produksi di
negara asal dari infestasi organisme pengganggu tumbuhan
karantina, dapat dilakukan survei di area produksi di negara
asal oleh Petugas Karantina Tumbuhan dan atau pejabat lain
yang ditunjuk oleh Kepala Badan Karantina Pertanian.
(2) Survei sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas
pertimbangan analisis risiko organisme pengganggu tumbuhan
khususnya lalat buah dan dilakukan sesuai dengan standar
yang ditetapkan oleh Sekretariat Konvensi Perlindungan
Tanaman Internasional (IPPC Secretariate - Food and
Agriculture Organization) dan standar lainnya yang telah
dipublikasikan.
(3) Biaya yang diperlukan untuk survei sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibebankan kepada Anggaran Badan Karantina
Pertanian dan atau Pemilik.
BAB III
TINDAKAN KARANTINA TUMBUHAN
Pasal 13
(1) Buah-buahan dan atau sayuran buah segar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 yang dimasukkan ke dalam wilayah
negara Republik Indonesia tidak memenuhi ketentuan
94

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 6 atau Pasal 7,


Pasal 8 dan Pasal 9 ditolak atau dimusnahkan.
(2) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
tindakan pengiriman kembali ke negara asal atau negara lain.
Pasal 14
(1) Pemeriksaan kesehatan buah-buahan dan atau sayuran buah
segar dilakukan oleh Petugas Karantina Tumbuhan setelah
persyaratan karantina tumbuhan dan persyaratan teknis
dipenuhi.
(2) Petugas Karantina Tumbuhan membuka atau memerintahkan
pihak lain untuk membuka peti kemas bersama-sama Petugas
Bea dan Cukai, dan disaksikan oleh Pemilik buah-buahan dan
atau sayuran buah segar di tempat pemasukan atau di luar
tempat pemasukan baik di dalam maupun di luar instalasi
karantina tumbuhan.
Pasal 15
(1) Apabila
setelah
dilakukan
pemeriksaan
kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) ternyata
buah-buahan dan atau sayuran buah segar tidak bebas dari
organisme pengganggu tumbuhan karantina sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, maka dilakukan tindakan perlakuan.
(2) Apabila setelah dilakukan tindakan perlakuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ternyata tidak dapat dibebaskan dari
organisme pengganggu tumbuhan karantina sebagaimana
dimaksud Pasal 5, maka terhadap buah-buahan dan atau
sayuran buah segar tersebut dilakukan tindakan pemusnahan
yang disaksikan oleh pejabat berwenang dan dibuatkan berita
acara pemusnahan.
(3) Apabila setelah dilakukan tindakan perlakuan sebagaimana
dimaksud ayat (1) ternyata dapat dibebaskan dari organisme
pengganggu tumbuhan karantina sebagaimana dimaksud
Pasal 5, maka terhadap buah-buahan dan atau sayuran buah
segar tersebut dilakukan tindakan pembebasan dengan
menerbitkan sertifikat pelepasan.
95

Pasal 16
Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tindakan
penolakan atau pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 dan Pasal 15 menjadi tanggung jawab dan dibebankan kepada
pemilik buah-buahan dan atau sayuran buah segar.
BAB IV
TEMPAT-TEMPAT PEMASUKAN
Pasal 17
(1) Tempat-tempat pemasukan buah-buahan dan atau sayuran
buah segar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b,
terdiri atas:
1. Pelabuhan Laut Tanjung Priok, Jakarta.
2. Pelabuhan Laut Tanjung Perak, Surabaya.
3. Pelabuhan Laut Belawan, Medan.
4. Pelabuhan Laut Batu Ampar, Batam.
5. Bandar Udara Soekarno-Hatta, Jakarta.
6. Bandar Udara Ngurah Rai, Denpasar.
7. Pelabuhan Laut Makassar.
(2) Berdasarkan pertimbangan teknis dan strategis, pemasukan
buah-buahan dan atau sayuran buah segar atas persetujuan
Menteri Pertanian dapat dilakukan di luar tempat-tempat
pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Tempat-tempat pemasukan yang ditetapkan dalam Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 469/Kpts/HK.310/8/2001 tetap
berlaku untuk pemasukan media pembawa Organisme
Pengganggu Tumbuhan Karantina selain buah-buahan dan
atau sayuran buah segar.
Pasal 18
Peraturan ini dilaksanakan secara efektif paling lambat dalam
waktu 2 (dua) bulan sejak tanggal ditetapkan.
Pasal 19
Dengan ditetapkannya Peraturan ini, maka Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 358/Kpts/OT.140/9/2005 dinyatakan tidak berlaku
lagi.
96

BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan : Di Jakarta.
Pada tanggal : 27 Januari 2006

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;


Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
Menteri Luar Negeri;
Menteri Dalam Negeri;
Menteri Keuangan;
Menteri Perhubungan;
Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia;
Menteri Kelautan dan Perikanan;
Menteri Kehutanan;
Menteri Perdagangan;
Kepala Kepolisian Republik Indonesia;
Jaksa Agung Republik Indonesia;
Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;
Kepala Badan Intelejen Negara;
Direktur Jenderal Bea dan C ukai, Departemen Keuangan;
Direktur Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Departemen Kehutanan;
17. Para Pejabat Eselon I lingkup Departemen Pertanian;
18. Para Gubernur di seluruh Indonesia.

97

MENTERI PERTANIAN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN


NOMOR : 38/Permentan/OT.140/8/2006
TENTANG
PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BENIH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PERTANIAN,
Menimbang :
a. bahwa dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor
1017/Kpts/TP.120/12/1998 telah ditetapkan Izin Produksi Benih
Bina, Izin Pemasukan Benih dan Pengeluaran Benih Bina;
b. bahwa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, pemasukan
benih dan pengeluaran benih bina menjadi kewenangan
pemerintah;
c. bahwa atas dasar hal-hal tersebut di atas dan dengan adanya
perubahan organisasi dilingkungan Departemen Pertanian
dipandang perlu meninjau kembali Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 1017/Kpts/TP.120/12/1998;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman (lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);
2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina
Hewan, Ikan dan tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3482);
3. Undang.Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4437);
4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan
International Treaty on Plant Genetic Resources For Food And
Agriculture (Perjanjian mengenai Sumber Daya Genetik
98

5.
6.

7.
8.

9.
10.
11.

12.
13.
14.
15.

Tanaman Untuk Pangan dan Pertanian) (Lembaran Negara


Tahun 2006 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4612);
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1995 tentang
Perbenihan Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor
85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3616);
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, tentang
Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah
Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3952);
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Karantina Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor
35, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4196);
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang
Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (Lembaran
Negara Tahun 2005 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4498)
Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1971 tentang Badan
Benih Nasional;
Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Negara Republik Indonesia juncto Peraturan
Presiden Nomor 62 Tahun 2005;
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit
Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik
Indonesia;
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 902/Kpts/TP.240/12/1996
tentang Pengujian, Penilaian dan Pelepasan Varietas juncto
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 737/Kpts/TP 240/9/98;
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 803/Kpts/OT.210/7/97
tentang Sertifikasi dan Pengawasan Mutu Benih Bina;
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 856/Kpts/HK.330/9/1997
tentang Ketentuan Keamanan Hayati Produk Bio Teknologi
Pertanian Hasil Rekayasa Genetik;
99

16. Keputusan
Menteri
Pertanian
Nomor
1038/Kpts/HK.030/11/1997 tentang Pembentukan Komisi
Keamanan Hayati Produk Bioteknologi Pertanian Hasil
Rekayasa Genetika;
17. Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri
Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Negara Pangan dan
Hortikultura
Nomor
998/Kpts/OT.210/9/1999,
Nomor
790.a/Kpts-IX/1999, Nomor 1145.A/MENKES/SKB/IX/1999,
dan Nomor 015.A/ Meneg PHOR/09/1999 tentang Keamanan
Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil
Rekayasa Genetik;
18. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 388/Kpts/OT.160/6/2004
tentang Tim Penilai dan Pelepas Varietas (TP2V);
19. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 02/Kpts/OT.140/1/2006
tentang Pembentukan Tim Penyusun Konsep Sistem
Perbenihan dan Perbibitan Nasional;
20. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/OT.140/7/2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian;
21. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/OT.140/9/2005
tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Pertanian;
22. SK Menteri Pertanian Nomor 74/Kpts/TP.500/2/98 tentang
Jenis Komoditi Binaan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan
dan Hortikultura dan Direktorat Jenderal Perkebunan ;
23. Memperhatikan :
24. Memorandum Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian selaku Ketua Tim Penyusun Konsep Sistem
Perbenihan dan Perbibitan Nasional Nomor 194/TU.220/
J/5/2006 tanggal 30 Mei 2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG
PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BENIH.

100

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Benih tanaman yang selanjutnya disebut benih adalah
tanaman
atau
bagiannya
yang
digunakan
untuk
memperbanyak dan/atau mengembangbiakkan tanaman.
2. Benih bina adalah benih dari varietas unggul yang telah
dilepas, yang produksi dan peredarannya diawasi.
3. Benih Hibrida adalah keturunan pertama (F1) yang dihasilkan
dari persilangan antara 2 atau lebih tetua pembentuknya
dan/atau galur induk/inbrida homozigot.
4. Pemasukan benih adalah serangkaian kegiatan untuk
memasukkan benih tanaman dari luar negeri kedalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik sebagai introduksi
untuk pemuliaan tanaman maupun untuk pengadaan benih
bina tanaman.
5. Pengeluaran benih adalah serangkaian kegiatan untuk
mengeluarkan benih dari wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
6. Izin pemasukan adalah keterangan tertulis berisikan hak yang
diberikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk kepada
perorangan, badan hukum atau instansi Pemerintah untuk
dapat
7. melakukan kegiatan pemasukan benih tanaman.
8. Izin pengeluaran adalah keterangan tertulis berisikan hak yang
diberikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk kepada
perorangan, badan hukum atau instansi Pemerintah untuk
dapat melakukan kegiatan pengeluaran benih.
9. Direktorat Jenderal adalah unit kerja organisasi di lingkungan
Departemen Pertanian yang dipimpin oleh seorang Direktur
Jenderal yang bersangkutan yang melaksanakan tugas dan
fungsi dibidang Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan,
atau Hijauan Pakan ternak.
10. Pusat Perizinan dan Investasi Pertanian yang selanjutnya
disebut PPI adalah unit kerja organisasi di lingkungan
101

Departemen Pertanian yang dipimpin oleh seorang Kepala


Pusat yang melaksanakan tugas dan fungsi dibidang perizinan
dan investasi.
11. Benih
introduksi
adalah
benih
dari
varietas
baru/galur/klon/hibrida/mutan/ transgenik yang pertama kali
didatangkan dari luar negeri dan belum pernah beredar atau
diperdagangkan di wilayah negara Republik Indonesia.
12. Pemerhati tanaman adalah orang atau sekelompok orang atau
organisasi yang menaruh perhatian besar terhadap tanaman
dengan tujuan untuk koleksi, perlindungan, pelestarian dan seni.
13. Materi Induk adalah tanaman dan/atau bagiannya yang
digunakan sebagai bahan perbanyakan benih.
Pasal 2
Peraturan ini bertujuan untuk:
a. menjamin kelestarian sumber daya genetik,meningkatan
keragaman genetik dan menjaga keamanan hayati;
b. menjamin ketersediaan benih secara berkesinambungan;
c. menumbuh kembangkan industri benih dalam negeri;dan
d. meningkatkan devisa negara;
Pasal 3
Ruang lingkup peraturan ini meliputi izin pemasukan dan
pengeluaran benih tanaman.
BAB II
PEMASUKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
(1) Pemasukan benih atau materi induk dapat dilakukan oleh
perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang
mempunyai tugas dan fungsi di bidang penelitian dan
pengembangan, agribisnis dan/atau pemerhati tanaman.
102

(2) Pemasukan benih atau materi induk sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dapat dilakukan setelah mendapat izin dari
Menteri.
Pasal 5
(1) Pemasukan benih atau materi induk sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) dapat dilakukan untuk penelitian
dan/atau bukan untuk penelitian.
(2) Pelaksanaan pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) Menteri melimpahkan kewenangan kepada
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau
Direktur Jenderal.
Bagian Kedua
Pemasukan Benih Untuk Penelitian
Pasal 6
Izin pemasukan benih atau materi induk untuk penelitian diberikan
oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Pasal 7
(1) Untuk memperoleh izin pemasukan benih sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 dapat dilakukan dengan persyaratan:
a. jumlah benih atau materi induk yang dimohonkan terbatas
sesuai dengan kebutuhan untuk melaksanakan penelitian
yang ditunjukkan dengan ringkasan usulan penelitian;
b. benih atau materi induk tersebut belum tersedia di
Indonesia;
c. dilengkapi dengan deskripsi; dan
d. memenuhi ketentuan dalam peraturan perundangundangan di bidang karantina tumbuhan.
(2) Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang
melakukan pemasukan benih atau materi induk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan realisasi pemasukan
kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
103

Bagian Ketiga
Pemasukan Benih Bukan Untuk Penelitian
Pasal 8
Izin Pemasukan benih bukan untuk penelitian diberikan oleh
Direktur Jenderal yang bersangkutan.
Pasal 9
Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dapat dilakukan untuk:
a. persiapan pelepasan varietas;
b. pengadaan benih bina;
c. kebutuhan bagi pemerhati tanaman; atau
d. kebutuhan tujuan ekspor
Pasal 10
Untuk memperoleh izin pemasukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. varietas yang bersangkutan mempunyai keunggulan dan/atau
keunikan serta kegunaan spesifik;
b. jumlah benih yang dimohonkan terbatas sesuai dengan
kebutuhan untuk pelaksanaan persiapan pelepasan varietas.
c. mengikuti peraturan perundang.undangan di bidang karantina
tumbuhan.
Pasal 11
Untuk memperoleh izin pemasukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. varietas sudah dilepas di Indonesia tetapi benihnya belum
cukup tersedia atau perbanyakannya belum dapat atau tidak
dapat diselenggarakan di wilayah Negara Republik Indonesia
atau yang tidak efisien diproduksi di Indonesia;
b. jumlah benih yang dimohonkan terbatas sesuai dengan
kebutuhan untuk pelaksanaan pengadaan benih bina;
c. mengikuti peraturan perundang.undangan di bidang karantina
tumbuhan.
104

Pasal 12
Untuk memperoleh izin pemasukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf c, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. jumlah benih yang dimohonkan terbatas sesuai dengan
kebutuhan untuk pemerhati tanaman;
b. mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang karantina
tumbuhan.
Pasal 13
Untuk memperoleh izin pemasukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf d, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. jumlah benih yang dimohonkan terbatas sesuai dengan
kebutuhan untuk pelaksanaan pertanaman tujuan ekspor ;
b. mengikuti peraturan perundang.undangan di bidang karantina
tumbuhan.
Pasal 14
Pemasukan benih hijauan pakan ternak bukan untuk penelitian
selain mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10
dan Pasal 11, harus lulus uji keamanan hayati.
Pasal 15
Pemasukan benih transgenik bukan untuk penelitian selain
mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13, harus lulus uji keamanan hayati
dan/atau keamanan pangan.
Pasal 16
(1) Pemasukan benih untuk pengadaan benih bina sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 harus memenuhi standar mutu benih
bina yang telah ditetapkan.
(2) Apabila standar mutu benih bina belum ditetapkan, Direktur
Jenderal yang bersangkutan dalam memberikan izin
pemasukan benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(2) didasarkan pada standar mutu benih kerabat terdekat.
105

(3) Setelah benih sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


dimasukkan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia,
Direktur Jenderal yang bersangkutan segera menetapkan
standar mutu benih bina.
Pasal 17
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan
Direktur Jenderal yang bersangkutan dalam memberikan izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) berkoordinasi
dengan Kepala Badan Karantina Pertanian.
Bagian Keempat
Tata Cara Pemasukan
Pasal 18
(1) Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), untuk
memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Pusat
Perizinan dan Investasi (PPI) dengan menggunakan formulir
model . 1 dengan disertai informasi mengenai mutu benih yang
akan dimasukkan ke wilayah Negara Republik Indonesia
(Information Required for Seed Introduction/Importation to
Indonesia.).
(2) Kepala PPI setelah menerima permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lambat dalam jangka waktu 3
(tiga) hari kerja telah selesai memeriksa dokumen
permohonan, dan apabila telah lengkap dan memenuhi
persyaratan, dimohonkan izin kepada Kepala Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian atau Direktur Jenderal yang
bersangkutan.
(3) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau
Direktur Jenderal yang bersangkutan setelah menerima
permohonan dari Kepala PPI sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari
kerja harus sudah memberikan jawaban diterima, ditunda atau
ditolak.
106

Pasal 19
(1) Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal penerimaan permohonan dari Kepala PPI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), Kepala
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau Direktur
Jenderal yang bersangkutan belum memberikan jawaban
menerima, menunda atau menolak, maka permohonan
dianggap diterima dan diterbitkan izin pemasukan benih dalam
bentuk
Keputusan
Kepala
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Pertanian atau Direktur Jenderal yang
bersangkutan seperti formulir model.2.
(2) Izin pemasukan yang diterbitkan dalam bentuk Keputusan
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau
Direktur Jenderal yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala PPI selanjutnya
untuk diberikan kepada pemohon.
(3)
Pasal 20
(1) Permohonan yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19, yang belum lengkap atau masih ada kekurangan
persyaratan akan diberitahukan kepada pemohon melalui
Kepala PPI secara tertulis yang disertai penjelasan penundaan
dengan formulir model-3.
(2) Pemohon dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja
sejak menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus melengkapi persyaratan.
(3) Apabila dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) pemohon belum dapat melengkapi
persyaratan, permohonan dianggap ditarik kembali.
Pasal 21
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ditolak
apabila tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 9, Pasal 10, atau Pasal 11, atau
tidak benar atau karena adanya alasan teknis, akan diberitahukan
107

kepada pemohon melalui Kepala PPI secara tertulis dengan


menggunakan formulir model-3.
Pasal 22
(1) Izin pemasukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2) berlaku untuk jangka waktu 6 (enam) bulan.
(2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
jenis dan jumlah benih yang tercantum dalam Keputusan izin
pemasukan harus sudah selesai dimasukkan ke dalam wilayah
Negara Republik Indonesia.
Pasal 23
(1) Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang
memasukkan benih atau materi induk wajib menyerahkan
Keputusan izin pemasukan benih atau materi induk kepada
petugas karantina tumbuhan di tempat pemasukan.
(2) Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang
memasukkan benih atau materi induk paling lambat dalam
jangka waktu 7 (tujuh) kerja hari sejak pemasukan benih atau
materi induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
melaporkan realisasi pemasukan benih atau materi induk
kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian atau Direktur Jenderal yang bersangkutan dan
instansi yang menangani bidang pengawasan mutu benih di
daerah tempat benih tersebut diberlakukan relabeling dengan
tembusan kepada Kepala PPI.
Pasal 24
(1) Izin pemasukan benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) dicabut, apabila:
a. pemegang izin tidak melaksanakan ketentuan yang
tercantum dalam Keputusan izin ;
b. tidak mengikuti peraturan perundang.undangan di bidang
karantina tumbuhan;
c. memindahkan izin kepada pihak lain;
d. menimbulkan gangguan dan ketertiban umum;
108

e. jangka waktu izin telah habis; atau


f. diserahkan kembali oleh pemegang izin kepada pejabat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
(2) Pencabutan
izin
pemasukan
benih
karena
alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, b dan d
dilakukan setelah kepada perorangan, badan hukum atau
instansi pemerintah diberi peringatan secara tertulis sebanyak
2 (dua) kali dalam selang waktu 1 (satu) minggu dan tidak
mengindahkan peringatan.
(3) Pencabutan izin pemasukan benih sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, e dan f dilakukan oleh Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau Direktur
Jenderal yang bersangkutan dalam bentuk keputusan dengan
menggunakan formulir model-4.
Pasal 25
Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah
memasukkan benih berkewajiban:
a. memiliki catatan/data benih yang dimasukkan
menyimpannya selama 1 (satu) tahun;
b. melaporkan perkembangan benih atau materi induk
dimasukkan kepada Kepala Badan Penelitian
Pengembangan Pertanian atau Direktur Jenderal
bersangkutan dengan tembusan Kepala PPI;

yang
serta
yang
dan
yang

BAB III
PENGELUARAN BENIH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 26
(1) Pengeluaran benih dapat dilakukan oleh perorangan, badan
hukum atau instansi Pemerintah yang mempunyai tugas dan
fungsi di bidang penelitian dan pengembangan, agribisnis
dan/atau pemerhati tanaman.
109

(2) Pengeluaran benih sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Menteri.
Pasal 27
(1) Pengeluaran benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (1) dapat dilakukan untuk penelitian atau bukan untuk
penelitian.
(2) Pelaksanaan pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (2) Menteri melimpahkan kewenangan kepada
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau
Direktur Jenderal.
Bagian Kedua
Pengeluaran Benih Untuk Penelitian
Pasal 28

(1) Izin pengeluaran benih untuk penelitian sebagaimana

(2)

dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dapat dilakukan dengan


persyaratan:
a. jumlahnya terbatas sesuai dengan kebutuhan;
b. menyertakan kesepakatan kerjasama penelitian;
c. untuk benih tanaman langka disertakan nota kesepakatan
transfer materi (MTA) dan PADIA (Prior Informed Consent);
d. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang karantina tumbuhan.
Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) juga harus terjamin kelestarian sumber daya genetik
dan dapat menjaga keamanan hayati.
Bagian Ketiga
Pengeluaran Benih Bukan Untuk Penelitian
Pasal 29

(1) Pengeluaran benih bukan untuk penelitian sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dapat dilakukan dengan
persyaratan:
a. kebutuhan benih didalam negeri telah tercukupi;
110

b. produksi benih khusus diperuntukan bagi keperluan


ekspor;
c. terjamin kelestarian sumber daya genetika dan dapat
menjaga keamanan hayati;
d. mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang
karantina tumbuhan.
(2) Benih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
standar mutu benih bina yang ditetapkan atau memenuhi
persyaratan yang ditentukan oleh negara tujuan (penerima).
Pasal 30
(1) Pengeluaran Benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (2) untuk jenis tanaman tertentu harus berupa hibrida.
(2) Jenis tanaman tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal yang
bersangkutan.
Bagian Keempat
Tata Cara Pengeluaran
Pasal 31
(1) Untuk memperoleh izin pengeluaran benih sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) perorangan, badan hukum
atau instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (1) wajib mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Kepala Pusat Perizinan dan Investasi (PPI) dengan
menggunakan formulir model . 5.
(2) Kepala PPI setelah menerima permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lambat dalam jangka waktu 3
(tiga) hari kerja telah selesai memeriksa dokumen
permohonan. Apabila
(3) lengkap dan telah memenuhi persyaratan, dimohonkan izin
kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian atau Direktur Jenderal yang bersangkutan .
(4) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau
Direktur Jenderal yang bersangkutan setelah menerima
permohonan dari Kepala PPI sebagaimana dimaksud pada
111

ayat (2), dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
harus sudah memberikan jawaban diterima, ditunda atau
ditolak.
Pasal 32
(1) Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal penerimaan permohonan dari Kepala PPI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3), Kepala
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau Direktur
Jenderal yang bersangkutan belum memberikan jawaban
menerima, menunda atau menolak, maka permohonan
dianggap diterima dan diterbitkan izin pengeluaran benih
dalam bentuk Keputusan Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian atau Direktur Jenderal yang
bersangkutan seperti formulir model.6.
(2) Izin pengeluaran yang diterbitkan dalam bentuk Keputusan
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau
Direktur Jenderal yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala PPI selanjutnya
untuk diberikan kepada pemohon.
Pasal 33
(1) Permohonan yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (3), yang belum lengkap atau masih ada
kekurangan persyaratan akan diberitahukan kepada pemohon
melalui Kepala
(2) PPI secara tertulis yang disertai penjelasan penundaan
dengan formulir model-7.
(3) Pemohon dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja
sejak menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus melengkapi persyaratan.
(4) Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) pemohon belum dapat melengkapi
persyaratan, permohonan dianggap ditarik kembali.

112

Pasal 34
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ditolak
apabila tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 atau Pasal 29, atau tidak benar atau karena adanya alasan
teknis, akan diberitahukan kepada pemohon melalui Kepala PPI
secara tertulis dengan menggunakan formulir model-7.
Pasal 35
(1) Izin pengeluaran benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 berlaku untuk jangka waktu 6 (enam) bulan.
(2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
jenis dan jumlah benih yang tercantum dalam Keputusan izin
pengeluaran harus sudah selesai dikeluarkan dari wilayah
Negara Republik Indonesia.
Pasal 36
(1) Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang
mengeluarkan benih wajib menyerahkan Keputusan izin
pengeluaran benih kepada petugas karantina tumbuhan di
tempat pengeluaran.
(2) Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang
mengeluarkan benih paling lambat dalam jangka waktu 7
(tujuh) hari kerja sejak pengeluaran benih sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan realisasi
pengeluaran benih kepada Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian atau Direktur Jenderal yang
bersangkutan dengan tembusan kepada Kepala PPI.
Pasal 37
(1) Izin pengeluaran benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 ayat (2) dicabut, apabila:
a. pemegang izin tidak melaksanakan ketentuan yang
tercantum dalam Keputusan izin ;
b. tidak mengikuti peraturan perundang.undangan di bidang
karantina tumbuhan;
c. memindahkan izin kepada pihak lain;
113

d. menimbulkan gangguan dan ketertiban umum;


e. jangka waktu izin telah habis; atau
f. diserahkan kembali oleh pemegang izin kepada pejabat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2).
(2) Pencabutan izin pengeluaran benih karena alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, b dan d
dilakukan setelah kepada perorangan, badan hukum atau
instansi pemerintah diberi peringatan secara tertulis sebanyak
2 (dua) kali dalam selang waktu 1 (satu) minggu dan tidak
mengindahkan peringatan.
(3) Pencabutan izin pengeluaran benih sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, e dan f dilakukan oleh Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau Direktur
Jenderal yang bersangkutan dalam bentuk keputusan dengan
menggunakan formulir model-8.
Pasal 38
Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang
mengeluarkan benih berkewajiban:
a. memiliki catatan/data benih yang dikeluarkan serta
menyimpannya selama 1 (satu) tahun;
b. melaporkan realisasi jumlah benih yang dikeluarkan kepada
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau
Direktur Jenderal yang bersangkutan dengan tembusan
kepada Kepala PPI ;
Pasal 39
(1) Untuk benih jenis tanaman langka pengeluarannya selain
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 harus pula disertai rekomendasi dari Komisi Plasma Nutfah.
(2) Jenis tanaman langka sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
akan ditetapkan dengan keputusan tersendiri.

114

BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 40
Permohonan izin pemasukan dan pengeluaran benih yang telah
diajukan sebelum ditetapkannya Peraturan ini, tetap diproses
sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Menteri Pertanian
nomor 1017/Kpts/TP.120/12/1998.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Dengan ditetapkannya Peraturan ini, maka ketentuan pemasukan
dan pengeluaran benih sebagaimana diatur dalam Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 1017 /Kpts/Tp.120/12/1998 dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 42
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Oktober 2006

115

DAFTAR LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN


NOMOR
: 38/Permentan/OT.140/8/2006
TANGGAL : 31 Agustus 2006
NO

KODE

NAMA FORMULIR

DITANDATANGANI
OLEH

1.

Formulir Model . 1

Surat Permohonan Izin


Pemasukan Benih ke dalam
Wilayah Negara Republik
Indonesia
Keputusan Pemberian Izin
Pemasukan Benih ke dalam
Wilayah Negara Republik
Indonesia
Surat
Penolakan/Penundaan
Izin Pemasukan Benih ke
dalam
Wilayah Negara Republik
Indonesia
Keputusan Pencabutan Izin
Pemasukan Benih ke dalam
Wilayah Negara Republik
Indonesia
Surat Permohonan Izin
Pengeluaran Benih dari
Wilayah Negara Republik
Indonesia
Keputusan Pemberian
Izin Pengeluaran Benih dari
Wilayah Negara Republik
Indonesia
Surat
Penolakan/Penundaan
Izin Pengeluaran Benih dari
Wilayah Negara Republik
Indonesia
Keputusan Pencabutan
Izin Pengeluaran Benih dari
Wilayah Negara Republik
Indonesia

Pemohon

Formulir Model . 2

Formulir Model . 3

Formulir Model . 4

Formulir Model . 5

Formulir Model . 6

Formulir Model . 7

Formulir Model . 8

Kepala Badan Litbang


Pertanian
atau Direktur Jenderal
Kepala Pusat Perizinan
dan Investasi

Kepala Badan Litbang


Pertanian
atau Direktur Jenderal
Pemohon

Kepala Badan Litbang


Pertanian
atau Direktur Jendera
Kepala Pusat Perizinan
dan Investasi

Kepala Badan Litbang


Pertanian
atau Direktur Jenderal

MENTERI PERTANIAN
TTD
ANTON APRIYANTONO

116

MENTERI PERTANIAN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN


NOMOR : 68/Permentan/OT.140/11/2007
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERTANIAN
NOMOR 38/Permentan/OT.140/8/2006 TENTANG
PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BENIH,
SERTA LAMPIRAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PERTANIAN
Menimbang :
a. Bahwa dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor
38/Permentan/OT.140/8/2006 telah ditetapkan Pemasukan dan
Pengeluaran Benih;
b. Bahwa untuk meningkatkan daya guna dan daya hasil guna
pelaksanaan tugas Pusat Perizinan dan Investasi dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat berkaitan dengan
pemberian izin, dipandang perlu mengubah Peraturan Menteri
Pertanian
Nomor
38/Permentan/OT.140/8/2006
telah
ditetapkan Pemasukan dan Pengeluaran Benih, serta
lampiran;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);
2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina
Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 56; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3482);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4437), juncto Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan
117

4.

5.
6.

7.

8.
9.
10.

11.
12.

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005


tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4548);
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan
International Treaty on Plant Genetic Resources For Food
And Agriculture (Perjanjian mengenai Sumber Daya Genetik
Tanaman untuk Pangan dan Pertanian) (Lembaran Negara
Tahun 2006 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4612);
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1995 tentang
Pembenihan Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor
85, Tambahan Lembaran Nomor 3616);
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang
Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (Lembaran
Negara Tahun 2005 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4498);
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737);
Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1971 tentang Badan
Benih Nasional;
Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004, Tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Negara Republik Indonesia, Juncto Peraturan
Presiden Nomor 62 Tahun 2005;
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit
Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik
Indonesia;
Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan
dan Perkebunan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara
Pangan dan Hortikultura Nomor 998/Kpts/OT.210/9/1999, dan
118

13.

14.

15.
16.
17.
18.

Nomor 015.A/Meneg PHOR/09/1999 tentang Keamanan


Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil
Rekayasa Genetik;
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/OT/7/2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian,
Juncto
Peraturan
Menteri
Pertanian
Nomor
11/Permentan/OT.140/2/2007;
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/OT.140/9/2005
tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Pertanian Juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor
12/Permentan/OT.140/2/2007;
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 37/Permentan/OT.140/8 /
2006 tentang Pengujian, Penilaian, Pelepasan dan Penarikan
Varietas;
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38/Permentan/OT.140/8 /
2006 tentang Pemasukan dan Pengeluaran Benih;
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 39/Permentan/OT.140/8 /
2006 tentang Produksi Sertifikasi dan Peredaran Benih Bina;
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006
tentang Komoditi Binaan Direktorat Jenderal Perkebunan,
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Direktorat Jenderal
Hortikultura.
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG


PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI
PERTANIAN NOMOR 38/Permentan/OT.140/8/
2006TENTANG
PEMASUKAN
DAN
PENGELUARAN BENIH, SERTA LAMPIRAN.
PASAL I
1. Mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri
Pertanian
Nomor:38/Permentan/OT.140/8/2006
tentang
Pemasukan dan Pengeluaran Benih, sebagai berikut:
a. Mengubah ketentuan pasal 5 ayat
keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:
119

(2)

sehingga

Pasal 5 ayat (2)


Pelaksanaan pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (2) dilakukan oleh Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian atau Direktur Jenderal yang
bersangkutan atas nama Meteri Pertanian.
b. Mengubah ketentuan Pasal 6, sehingga keseluruhannya
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
Izin pemasukan benih atau materi induk untuk penelitian diberikan
oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian untuk
dan atas nama Menteri Pertanian.
c.

Mengubah ketentuan Pasal 8, sehingga keseluruhannya


berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8

Izin Pemasukan benih bukan untuk penelitian diberikan oleh


Direktur Jenderal yang bersangkutan untuk dan atas nama Menteri
Pertanian.
d. Mengubah ketentuan Pasal 16 ayat (2) dan ayat (3), sehingga
keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:
(2) Apabila standar mutu benih bina belum ditetapkan, Direktur
Jenderal yang bersangkutan untuk atas nama Menteri
Pertanian dan memberikan izin pemasukan benih
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) didasarkan
pada standar mutu benih kerabat terdekat.
(3) Setelah benih sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dimasukkan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia,
standar mutu benih bina segera ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Pertanian yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal
yang bersangkutan untuk atas nama Menteri Pertanian.
120

e. Mengubah ketentuan Pasal 19, sehingga keseluruhannya


berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal penerimaan permohonan dari Kepala Pusat
Perizinan dan Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (3), Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian atau Direktur Jenderal yang bersangkutan belum
memberikan jawaban menerima, menunda atau menolak,
maka permohonan dianggap diterima dan diterbitkan izin
pemasukan benih dalam permohonan dianggap diterima dan
diterbitkan izin pemasukan benih dalam bentuk Keputusan
Menteri Pertanian yang ditandatangani oleh kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau Direktur
Jenderal yang bersangkutan untuk atas nama Menteri
Pertanian seperti formulir model-2.
(2) Izin pemasukan yang diterbitkan dalam bentuk Keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di sampaikan kepada
Kepala Pusat Perizinan dan investasi selanjutnya untuk
diberikan kepada pemohon.
f.

Mengubah ketentuan Pasal 24 ayat


keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:

(3),

sehingga

Pasal 24 ayat (3)


Pencabutan izin pemasukan benih sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (1) huruf c, e, dan f dilakukan oleh Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau Direktur Jenderal
yang bersangkutan untuk atas nama Menteri Pertanian dalam
bentuk Keputusan dengan menggunakan formulir model-4.
g. Mengubah ketentuan Pasal 27 ayat
keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:

121

(2),

sehingga

Pasal 27 ayat (2)


Pelaksanaan pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian atau Direktur Jenderal yang
bersangkutan untuk dan atas nama Menteri Pertanian.
h. Mengubah ketentuan Pasal 30 ayat (2), sehingga
keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30 ayat (2)
Jenis tanaman tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri
Pertanian yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal yang
bersangkutan untuk atas nama Menteri Pertanian.
i.

Mengubah ketentuan Pasal 32, sehingga keseluruhannya


berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32

(1) Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh hari kerja terhitung


sejak tanggal penerimaaan permohonan dari Kepala Pusat
Perizinan dan Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 ayat (3), Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian atau Direktur Jenderal yang bersangkutan belum
memberikan jawaban menerima, menunda atau menolak,
maka permohonan dianggap diterima dan diterbitkan izin
pengeluaran benih dalam bentuk Keputusan Menteri Pertanian
yang ditandatangani oleh Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian atau Direktur Jenderal yang
bersangkutan untuk atas nama Menteri Pertanian, seperti
formulir model-6.
(2) Izin pengeluaran yang diterbitkan dalam bentuk Keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayt (1) disampaikan kepada
Kepala Pusat Perizinan dan Investasi selanjutnya untuk
diberikan kepada pemohon.

122

j.

Mengubah ketentuan Pasal 37 ayat


keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:

(3),

sehingga

Pasal 37 ayat (3)


Pencabutan izin pengeluaran benih karena alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf c,e, dan f dilakukan oleh
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau
Direktur Jenderal yang bersangkutan untuk atas nama Menteri
Pertanian dalam bentuk Keputusan dengan menggunakan formulir
model-8.
2. Mengubah Lampiran Peraturan Menteri Pertanian Nomor
38/Permentan/OT.140/8/2006,
seperti
tercantum
pada
lampiran sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan
peraturan ini.
3. Dengan ditetapkannya peraturan ini, ketentuan lain dalam
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38/Permentan/OT.140/8/
2006 masih tetap berlaku.
PASAL II
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Nopember 2007

SALINAN Peraturan ini disampaikan kepada Yth :


1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
2. Menteri Luar Negeri;
3. Menteri Keuangan;
4. Menteri Kehutanan;
5. Menteri Perdagangan;
123

6. Menteri Perindustrian;
7. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menegah;
8. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan
Perencanaan dan Pembangunan Nasional;
9. Pimpinan Unit Kerja Eselon I dilingkungan Departemen
Pertanian;
10. Gubernur Provinsi di seluruh Indonesia;
11. Bupati/Walikota di seluruh Indonesia.

124

LAMPIRAN PERATURAN MEN TERI PERTANIAN


NOMOR
: 68/Permentan/OT.140/11/2007
TANGGAL : 7 NOPEMBER 2007
NO

KODE

NAMA FORMULIR

DITANDATANGANI
OLEH

1.

Formulir Model . 1

Surat Permohonan Izin


Pemasukan Benih ke dalam
Wilayah Negara Republik
Indonesia
Keputusan Pemberian Izin
Pemasukan Benih ke dalam
Wilayah Negara Republik
Indonesia
Surat
Penolakan/Penundaan
Izin Pemasukan Benih ke
dalam
Wilayah Negara Republik
Indonesia
Keputusan Pencabutan Izin
Pemasukan Benih ke dalam
Wilayah Negara Republik
Indonesia
Surat Permohonan Izin
Pengeluaran Benih dari
Wilayah Negara Republik
Indonesia
Keputusan Pemberian
Izin Pengeluaran Benih dari
Wilayah Negara Republik
Indonesia
Surat
Penolakan/Penundaan
Izin Pengeluaran Benih dari
Wilayah Negara Republik
Indonesia
Keputusan Pencabutan
Izin Pengeluaran Benih dari
Wilayah Negara Republik
Indonesia

Pemohon

Formulir Model . 2

Formulir Model . 3

Formulir Model . 4

Formulir Model . 5

Formulir Model . 6

Formulir Model . 7

Formulir Model . 8

A.n. Menteri Pertanian


Kepala Badan Litbang
Pertanian
atau Direktur Jenderal
Kepala Pusat Perizinan
dan Investasi

A.n. Menteri Pertanian,


Kepala Badan Litbang
Pertanian
atau Direktur Jenderal
Pemohon

A.n. Menteri Pertanian,


Kepala Badan Litbang
Pertanian
atau Direktur Jendera
Kepala Pusat Perizinan
dan Investasi

A.n. Menteri Pertanian,


Kepala Badan Litbang
Pertanian
atau Direktur Jenderal

MENTERI PERTANIAN
TTD
ANTON APRIYANTONO

125

MENTERI PERTANIAN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN


NOMOR : 18/Permentan/OT.140/2/2008
TENTANG
PERSYARATAN DAN TINDAKAN KARANTINA TUMBUHAN
UNTUK PEMASUKAN HASIL TUMBUHAN HIDUP BERUPA
SAYURAN UMBI LAPIS SEGAR KE DALAM WILAYAH NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PERTANIAN
Menimbang:
a. Bahwa hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis segar
yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia
sangat besar volumenya dan sangat tinggi frekuensinya;
b. Bahwa berdasarkan hasil analisa risiko organisme
pengganggu tumbuhan, hasil tumbuhan hidup berupa sayuran
umbi lapis segar merupakan media pembawa yang sangat
potensial dalam penyebaran Organisme Pengganggu
Tumbuhan Karantina (OPTK);
c. Bahwa OPTK dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar
karena menurunkan mutu dan hasil produksi bahkan kematian
pada berbagai jenis tanaman;
d. Bahwa atas dasar hal tersebut di atas, dipandang perlu
mengatur Persyaratan dan Tindakan Karantina Tumbuhan
Untuk Pemasukan Hasil Tumbuhan Hidup Berupa Sayuran
Umbi Lapis Segar ke Dalam Wilayah Negara Republik
Indonesia;
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina
Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3482);
2. Undang . Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Agreement Establishing The World Trade Organization
(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)
126

3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

10.
11.

12.

13.

(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan


Lembaran Negara Nomor 35);
Undang . Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
(Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3817);
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Karantina Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor
35, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4196);
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan,
Mutu dan Gizi Pangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor
107, Tambahan lembaran Negara Nomor 4424)
Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 1977 juncto Keputusan
Presiden Nomor 45 Tahun 1990 tentang Pengesahan
International Plant Protection Convention 1951;
Keputusan Presiden Nomor 58 Tahun 1992 tentang
Pengesahan Asian Plant Protection Convention;
Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 juncto Peraturan
Presiden Nomor 62 Tahun 2005 tentang kedudukan, Tugas,
Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian
Negara Republik Indonesia;
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit
Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik
Indonesia;
Surat
Keputusan
Menteri
Pertanian
Nomor
796/Kpts/TP.830/10/1984 tentang Pemasukan Tanaman yang
dipergunakan sebagai Pembungkus ke dalam Wilayah Negara
Republik Indonesia;
Surat
Keputusan
Menteri
Pertanian
Nomor
797/Kpts/TP.830/10/1984
tentang
Pemasukan
Media
Pertumbuhan Tanaman ke dalam Wilayah Negara Republik
Indonesia;
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 38/Kpts/Hk.060/1/2006
tentang Jenis-jenis Organisme Pengganggu Tumbuhan
Karantina Golongan I Kategori A1 dan A2, Tanaman Inang,
Media Pembawa dan Daerah Sebarnya;
127

14. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 469/Kpts/HK.310/8/2002


tentang Tempat-Tempat Pemasukan dan Pengeluaran Media
Pembawa Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina;
15. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 229/Kpts/OT.140/7/2005
tentang Organisme dan Tata Kerja Departemen Pertanian
juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/
OT.140/2 /2007;
16. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 341/KPts/OT/9/2005
tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata kerja Departemen
Pertanian
17. Peraturan
Menteri
Pertanian
Nomor
12/Permentan/
OT.140/2/2007;
Memperhatikan:
Notifikasi WTO Nomor G/SPS/N/IDN/37 tanggal 26 Oktober 2007;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG
PERSYARATAN DAN TINDAKAN KARANTINA
TUMBUHAN
UNTUK
PEMASUKAN
HASIL
TUMBUHAN HIDUP BERUPA SAYURAN UMBI
LAPIS SEGAR KE DALAM WILAYAH NEGARA
REPUBLIK INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
2. Hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis segar adalah
bagian dari tumbuhan yang berupa umbi lapis (bulb) yang
termasuk dalam famili Allium, baik utuh atau bagiannya yang
belum diproses menjadi bahan olahan.
3. Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) adalah
semua organisme pengganggu tumbuhan yang ditetapkan
oleh Menteri Pertanian untuk dicegah masuknya ke dalam dan
tersebarnya di dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
128

4. Media Pembawa Organisme Pengganggu Tumbuhan yang


selanjutnya disebut Media Pembawa adalah tumbuhan dan
bagian-bagiannya dan atau benda lain yang dapat membawa
organisme pengganggu tumbuhan karantina.
5. Analisi Risiko Organisme Pengganggu Tumbuhan adalah
suatu proses untuk menetapkan bahwa suatu Organisme
Pengganggu Tumbuhan merupakan organisme pengganggu
tumbuhan karantina atau organisme pengganggu tumbuhan
penting, serta menentukan syarat-syarat dan tindakan
karantina tumbuhan yang sesuai untuk mencegah masuk dan
tersebarnya organisme pengganggu tumbuhan tersebut.
6. Alat Angkut Media Pembawa adalah semua alat transportasi
darat, air, maupun udara yang dipergunakan untuk
melalulintaskan media pembawa.
7. Sertifikat Kesehatan Tumbuhan (Phytosanitary Certificate)
adalah surat keterangan yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang di Negara atau area asal/ pengirim/ transit yang
menyatakan bahwa tumbuhan atau bagian-bagian tumbuhan
atau yang tercantum di dalamnya bebas dari Organisme
Pengganggu Tumbuhan, Organisme Pengganggu Tumbuhan
Karantina, Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Golongan I, Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Golongan II, dan atau Organisme Pengganggu Tumbuhan
Penting serta telah memenuhi pesyaratan karantina tumbuhan
yang ditetapkan dan atau yang menyatakan keterangan lain
yang diperlukan.
8. Tempat Pemasukan adalah pelabuhan laut, pelabuhan sungai,
pelabuhan penyeberangan, bandar udara, kantor pos, pos
perbatasan dengan negara lain, yang ditetapkan sebagai
tempat untuk memasukkan media pembawa organisme
pengganggu tumbuhan.
9. Petugas Karantina Tumbuhan adalah Pegawai Negeri Sipil tertentu
yang diberi tugas untuk melakukan tindakan karantina tumbuhan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
10. Pemilik adalah orang atau badan hukum yang memiliki
dan/atau yang bertanggung jawab atas pemasukan hasil
tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis segar.
129

11. Devitalisasi adalah suatu prosedur yang dilakukan dengan


tujuan agar tumbuhan atau hasil tumbuhan tidak mampu
berkecambah, tumbuh atau bereproduksi.
Pasal 2

(1) Peraturan ini dimasudkan sebagai pedoman bagi Petugas

(2)

Karantina Tumbuhan dalam menerapkan persyaratan


karantina tumbuhan, persyaratan teknis dan melakukan
tindakan karantina tumbuhan terhadap pemasukan hasil
tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis segar ke dalam
wilayah negara Republik Indonesia.
Tujuan pengaturan ini untuk mencegah masuk dan
menyebarnya OPTK dan menjaga mutu hasil tumbuhan hidup
berupa sayuran umbi lapis segar yang masuk ke dalam
wilayah negara Republik Indonesia.
Pasal 3

Ruang lingkup pengaturan dalam peraturan ini meliputi


persyaratan karantina tumbuhan, persyaratan teknis, tindakan
karantina tumbuhan dan tempat pemasukan hasil tumbuhan hidup
berupa sayuran umbi lapis segar yang dimasukkan ke wilayah
negara Republik Indonesia.
BAB II
PERSYARATAN PEMASUKAN HASIL TUMBUHAN HIDUP
BERUPA SAYURAN UMBI LAPIS SEGAR
Pasal 4
Hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis segar yang
dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia, wajib:
a. Dilengkapi Sertifikat Kesehatan Tumbuhan dari negara asal
dan negara transit;
b. Melalui tempat-tempat pemasukan yang ditetapkan
c. Dilaporkan dan diserahkan kepada Petugas Karantina
Tumbuhan di tempat-tempat pemasukan untuk keperluan
tindakan karantina tumbuhan.
130

Pasal 5
(1) Pemasukan hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis
ke dalam wilayah negara Republik Indonesia dapat berasal
dari area produksi yang bebas atau tidak bebas dari infestasi
organisme pengganggu tumbuhan karantina di negara asal.
(2) Jenis OPTK dan negara asal area produksi yang tidak bebas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
lampiran sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan
ini.
Pasal 6
Pemasukan hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis
segar ke dalam wilayah negara Republik Indonesia yang berasal
dari area produksi yang bebas di negara asal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), harus dinyatakan dalam kolom
keterangan tambahan (Additional Declaration) pada Sertifikat
Kesehatan Tumbuhan yang menyertai kiriman, dan telah
didevitalisasi serta bebas dari partikel tanah dan/atau kompos.
Pasal 7
(1) Pemasukan hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis
segar ke dalam wilayah negara Republik Indonesia yang
berasal dari area produksi yang tidak bebas dari infestasi
organisme pengganggu tumbuhan karantina sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), harus diberi perlakuan, telah
didevitalisasi dan bebas dari partikel tanah dan /atau kompos.
(2) Perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan
dengan jenis hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis
segar maupun jenis organisme pengganggu tumbuhan yang
dicegah pemasukannya dan dinyatakan dalam kolom
perlakuan pada Sertifikat Kesehatan Tumbuhan.
Pasal 8
Pemasukan hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis
segar ke dalam wilayah negara Republik Indonesia sebagaimana
131

dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 harus dalam kondisi tidak


busuk dan/atau tidak rusak.
Pasal 9
(1) Untuk mengetahui bebas tidaknya suatu area produksi dari
infestasi organisme pengganggu tumbuhan karantina di
negara asal dapat dilakukan survei di area produksi di negara
asal oleh Petugas Karantina Tumbuhan dan atau pejabat lain
yang ditunjuk oleh Kepala Badan Karantina Pertanian.
(2) Survei sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas
pertimbangan analisis risiko organisme pengganggu tumbuhan
khususnya organisme pengganggu tumbuhan karantina dan
dilakukan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh
Sekretariat Konvensi Perlindungan Tanaman Internasional
(IPPC Secretariate-Food and Agriculture Organization) dan
standar lainnya yang telah dipublikasikan.
(3) Biaya yang diperlukan untuk survei sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibebankan kepada Anggaran Badan Karantina
Pertanian dan/atau pemilik.
BAB III
TINDAKAN KARANTINA TUMBUHAN
Pasal 10
(1) Hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis segar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang dimasukkan ke
dalam wilayah negara Republik Indonesia yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf a, dilakukan tindakan penahanan.
(2) Apabila persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja belum
dipenuhi dilakukan tindakan penolakan.
(3) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa
tindakan pengiriman kembali ke negara asal atau ke negara
lain.
(4) Apabila setelah 14 (empat belas) hari kerja sejak surat
penolakan diterima pemilik, hasil tumbuhan hidup berupa
132

sayuran umbi lapis segar tersebut belum dikeluarkan dari


dalam wilayah negara Republik Indonesia, dilakukan tindakan
pemusnahan.
Pasal 11
(1) Hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis segar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang dimasukkan ke
dalam wilayah negara Republik Indonesia yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b, Pasal 4 huruf c, Pasal 6, Pasal 7, dan atau Pasal 8
dilakukan tindakan penolakan.
(2) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
tindakan pengiriman kembali ke negara asal atau ke negara
lain.
(3) Apabila setelah 14 (empat belas) hari kerja sejak surat
penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima
pemilik, hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis segar
tersebut belum dikeluarkan dari dalam wilayah negara
Republik Indonesia, maka dilakukan tindakan pemusnahan.
Pasal 12
(1) Pemeriksaan kesehatan hasil tumbuhan hidup berupa sayuran
umbi lapis segar yang dimasukkan ke dalam wilayah negara
Republik Indonesia dilakukan oleh Petugas Karantina
Tumbuhan setelah persyaratan karantina tumbuhan dan
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada Pasal 4,
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 dipenuhi.
(2) Petugas Karantina Tumbuhan berwenang membuka atau
memerintahkan pihak lain untuk membuka peti kemas atau
kemasan lainnya bersama-sama Petugas Bea dan Cukai, dan
disaksikan oleh Pemilik hasil tumbuhan hidup berupa sayuran
umbi lapis segar di tempat pemasukan atau di luar tempat
pemasukan baik di dalam maupun di luar instalasi karantina
tumbuhan.

133

Pasal 13
(1) Apabila
setelah
dilakukan
pemeriksaan
kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) ternyata hasil
tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis segar tidak bebas
dari OPTK Golongan II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2), maka dilakukan tindakan perlakuan.
(2) Apabila setelah dilakukan tindakan perlakuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ternyata tidak dapat dibebaskan dari
OPTK Golongan II sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (2),
terhadap hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis
segar tersebut dilakukan tindakan pemusnahan yang
disaksikan oleh pejabat berwenang dan dibuatkan berita acara
pemusnahan.
(3) Apabila setelah dilakukan tindakan perlakuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ternyata dapat dibebaskan dari OPTK
Golongan II sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (2), maka
terhadap hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis
segar tersebut dilakukan tindakan pembebasan dengan
menerbitkan sertifikat pelepasan.
(4) Apabila
setelah
dilakukan
pemeriksaan
kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) ternyata hasil
tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis segar tidak atau
belum didevitalisasi dan/atau tidak bebas dari partikel tanah
dan/atau kompos dan/atau busuk dan/ atau rusak, maka
terhadap hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis
segar tersebut dilakukan tindakan pemusnahan yang
disaksikan oleh pejabat berwenang dan dibuatkan berita acara
pemusnahan.
Pasal 14
Apabila setelah dilakukan pemeriksaan kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), ternyata hasil tumbuhan hidup
berupa sayuran umbi lapis segar tidak bebas dari OPTK Golongan
I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), dilakukan
tindakan pemusnahan yang disaksikan oleh pejabat berwenang
dan dibuatkan berita acara pemusnahan.
134

Pasal 15
Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tindakan
perlakuan, penolakan atau pemusnahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 13 dan Pasal 14 menjadi
tanggung jawab dan dibebankan kepada pemilik.
BAB IV
TEMPAT . TEMPAT PEMASUKAN
Pasal 16
(1) Tempat . tempat pemasukan hasil tumbuhan hidup berupa
sayuran umbi lapis segar yang dimasukkan ke dalam wilayah
negara Republik Indonesia hanya dibolehkan melalui:
1. Pelabuhan Laut Belawan, Medan
2. Pelabuhan Laut Tanjung Balai Asahan.
3. Pelabuhan Laut Dumai, Riau.
4. Pelabuhan Laut Batam.
5. Pelabuhan Sungai Boom Baru, Palembang.
6. Pelabuhan Laut Tanjung Priok, Jakarta.
7. Pelabuhan Laut Tanjung Emas, Semarang.
8. Pelabuhan Laut Tanjung Perak, Surabaya.
9. Pelabuhan Laut Pontianak.
10. Pelabuhan Laut Tarakan.
11. Pelabuhan Laut Makasar.
12. Pos Lintas Batas Entikong.
13. Bandar Udara Soekarno . Hatta, Jakarta.
14. Bandar Udara Ngurah Rai, Denpasar.
(2) Berdasarkan pertimbangan teknis dan strategis, pemasukan
hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis segar atas
persetujuan Menteri Pertanian dapat dilakukan di luar tempattempat pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Tempat-tempat pemasukan yang ditetapkan dalam Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 469/Kpts/HK.310/8/2001 tetap
berlaku untuk pemasukan media pembawa Organisme
Pengganggu Tumbuhan Karantina selain hasil tumbuhan hidup
berupa sayuran umbi lapis segar.
135

Pasal 17
Ketentuan dalam peraturan ini, juga berlaku untuk hasil tumbuhan
hidup berupa sayuran umbi lapis segar dalam bentuk bawaan
penumpang dan jasa kiriman pos
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Peraturan ini dilaksanakan secara efektif paling lambat dalam
waktu 2 (dua) bulan sejak tanggal ditetapkan.
Pasal 19
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal, 26 Februari 2008
MENTERI PERTANIAN
ttd
ANTON APRIYANTONO
SALINAN Peraturan ini disampaikan kepada Yth :
1. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;
2. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
3. Menteri Luar Negeri;
4. Menteri Dalam Negeri;
5. Menteri Keuangan;
6. Menteri Perhubungan;
7. Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia;
8. Menteri Kelautan dan Perikanan;
9. Menteri Kehutanan;
10. Menteri Perdagangan;
11. Kepala Kepolisian Republik Indonesia;
12. Jaksa Agung Republik Indonesia;
13. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;
14. Kepala Badan Intelijen Negara;
136

15. Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Departemen Keuangan;


16. Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam,
Departemen Kehutanan;
17. Para Pejabat Eselon I lingkup Departemen Pertanian;
18. Para Gubernur di seluruh Indonesia.

137

Anda mungkin juga menyukai