Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara berkembang yang terus-menerus melaksanakan

pembangunan nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Setiap wajib

pajak diwajibkan untuk ikut berpartisipasi agar laju pertumbuhan dan pelaksanaan

pembangunan nasional dapat berjalan dengan baik demi kesejahteraan negara. Salah

satu sumber penerimaan negara yang paling besar adalah pajak, (Ida ,2016). Definisi

pajak menurut Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 ayat 1 merupakan kontribusi wajib kepada negara

yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan

undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan

untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pajak yang merupakan sumber pembiayaan anggaran terbesar bagi negara

ditargetkan dapat memberikan pemasukkan sebesar 1.360 triliun di tahun 2016 (Brian

dan Martani, 2014). Sehubungan dengan hal ini, pemerintah khususnya Direktorat

Jenderal Pajak (DJP) diharapkan mampu mengoptimalkan pemasukkan negara melalui

fungsinya guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan.

Negara selaku pemungut pajak dan perusahaan selaku wajib pajak memiliki

kepentingan yang berbeda. Perusahaan pun cenderung mencari cara untuk mengurangi

1
2

jumlah pembayaran pajak (Ngadiman dan Puspitasari, 2014). Dalam memperkecil

jumlah pajak yang harus dibayar, perusahaan dapat memperkecil nilai pajak dengan

tetap mengikuti peraturan pajak yang berlaku (penghindaran pajak) atau memperkecil

nilai pajak dengan melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan undang-undang

penggelapan pajak, (Brian dan Martani, 2014). Berikut tabel realisasi perpajakan tahun

2013-2017

Tabel 1.1
Realisasi Perpajakan 2013-2017

Tahun Realisasi Target hingga Realisasi Target Nominal Target


30 September (%) Tahunan (%) (Rp Triliun)
2013 64.1 93,4 1.148,40
2014 64 91,8 1.246,10
2015 53 81,5 1.294,30
2016 58.5 81,5 1.355,20
2017 60 91 1.263,60
Sumber : Timothy Loen, CNN Indonesia, diolah dari Kementerian Keuangan, 2017

Berdasarkan tabel 1.1 menunjukkan bahwa penerimaan target perpajakan di Indonesia

untuk setiap tahunnya belum maksimal dimana pada tahun 2013 realisasi penerimaan

pajak nasional sebesar 93,4%, pada tahun 2014 nilai realisasi menurun menjadi 91,8%,

sedangkan di tahun 2015 terus mengalami penurunan sebesar 81,5% , pada tahun 2014

kosntan sebesar 81,5 % dan terakhir di tahun 2017 nilai realisasi meningkat mencapai

91%. Penyebab DJP belum bisa mengoptimalkan pendapatan pajak, salah satunya

adalah karena kepatuhan WP sangat rendah (Bambang Brodjonegoro, 2015)


3

Pemungutan pajak bukan merupakan hal yang mudah untuk diterapkan. Pajak

dari sisi perusahaan merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan karena pajak

dianggap beban yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup perusahaan (Masri dan

Martani, 2012). Wajib pajak juga tidak mendapat imbalan secara langsung dari hasil

pembayaran pajaknya, meskipun dana yang berasal dari pajak diperuntukkan untuk

kepentingan negara dan kemakmuran rakyat. Pajak dari sisi fiskus merupakan salah

satu sumber pendapatan yang secara potensial dapat mempengaruhi dan meningkatkan

penerimaan negara. Hal ini akan menyebabkan adanya perbedaan kepentingan antara

fiskus dengan perusahaan dimana fiskus sebagai prinsipal (pemangku kepentingan)

menginginkan penerimaan pajak yang sebesar-besarnya dari masyarakat sedangkan

perusahaan sebagai agen menginginkan pembayaran pajak yang seminimal mungkin

kepada negara (Hardika, 2007).

Perbedaan kepentingan antara fiskus dan perusahaan berdasarkan teori

keagenan akan menimbulkan ketidakpatuhan yang dilakukan oleh wajib pajak atau

pihak manajemen perusahaan yang akan berdampak pada upaya perusahaan untuk

melakukan penghindaran pajak (tax avoidance). Penghindaran pajak (tax avoidance)

adalah usaha untuk mengurangi utang pajak yang bersifat legal (lawful) (Xynas, 2011).

Penerapan tax avoidance tersebut dilakukan bukanlah tanpa sengaja, bahkan banyak

perusahaan yang memanfaatkan upaya pengurangan beban pajak melalui aktivitas

penghindaran pajak (tax avoidance). Tax avoidance memiliki persoalan yang rumit dan
4

unik karena di satu sisi tax avoidance diperbolehkan, namun di sisi lain penghindaran

pajak tidak diinginkan (Budiman dan Setiyono, 2012).

Penelitian ini dilakukan karena banyaknya praktek penghindaran pajak di

Indonesia diantaranya fenomena yang terjadi di Indonesia. Agus Martowardojo

sebelum melepas jabatannya mengatakan, ada ribuan perusahaan multinasional yang

tidak menjalankan kewajibannya kepada negara. Agus Marto menyebutkan hampir

4.000 perusahaan tidak membayar pajaknya selama tujuh tahun. Di Indonesia,

peningkatan pembayaran royalti ke perusahaan induk (parent company) berpotensi

mengurangi PPh badan yang harus dibayar perusahaan. Laporan keuangan di BEI,

sebuah perusahaan consumer goods harus membayar royalti kepada holding company

di Belanda, dari 3,5 persen meningkat ke 5 sampai 8 persen mulai tahun 2013-2015.

Asumsi omset tahun 2013-2015, consumer goods tersebut stagnan di angka Rp

27 triliun, dengan kenaikan royalti dari 3,5 persen menjadi 8 persen, berarti ada

kenaikan royalti sebesar 4,5 persen dikalikan Rp 27 triliun atau sekitar Rp 1,215 triliun.

Potensial loss PPh badan tahun 2015 adalah Rp 1,215 triliun dikalikan 25 persen atau

sebesar Rp 303 milyar. Hal ini menurut aturan adalah legal namun kurang adil jika

dilihat dari sisi pajak bagi negara sumber penghasilan, karena 8 persen harga produk

dibayar rakyat Indonesia lari ke royalti holding company. Kejadian ini sangatlah

mungkin terjadinya penghindaran pajak (tax avoidance) dan merupakan masalah yang

utama bagi pemerintah, karena pajak perusahaan merupakan kontribusi utama dan

terbesar bagi pendapatan pemerintah.( Chazizah Gusnita, 2013)


5

PT. Kaltim Prima Coal pada tahun 2007 Melakukan praktik transfer pricing

dengan menjual batubara dengan harga miring, dibawah harga yang berlaku di pasar

ke perusahaan terafiliasi (PT Indocoal Resource Limited). Penjualan batubara hanya

dihargai separuh dari harga yang biasa dilakukan KPC menjual langsung kepada

pembeli. Berikutnya, penjualan ke pembeli lainnya pun dilakukan oleh Indocoal

dengan memakai harga jual KPC biasanya. Akibatnya, omset penjualan batubara KPC

jauh lebih rendah sehingga negara dirugikan sebesar Rp 1,7 triliun. (Agoeng Wijaya,

2010).

Upaya penghindaran pajak dari perusahaan global juga terjadi di berbagai

negara di dunia. Bahkan khusus di Uni Eropa sendiri penghindaran pajak diperkirakan

merugikan keuangan anggota Uni Eropa 1 triliun euro atau Rp 12.000 triliun di tahun

2012. Kasus franchisor kedai kopi asal Amerika Serikat (AS). Parlemen Inggris

menyoroti laporan keuangan franchisor yang menyatakan rugi sebesar 112 juta pounds

selama tahun 2008-2010 dan tidak membayar pajak PPh (pajak penghasilan) badan

pada 2011. Dalam laporan ke investor, franchisor menyatakan omzet selama 2008-

2010, senilai 1,2 milyar pounds (Rp 18 triliun). Modus franchisor ini dengan membuat

laporan keuangan seolah rugi dengan tiga cara yaitu: (1). Membayar royalti offshore

licensing atas desain, resep dan logo ke cabangnya di Belanda.

(2).Membayar bunga utang sangat tinggi, di mana utang tersebut justru digunakan

untuk ekspansi kedai kopi di negara lain, (3).Membeli bahan baku dari cabangnya di
6

Swiss. Walaupun pengiriman barang langsung dari negara produsen, dan tidak masuk

ke Swiss. (Anandita, 2013)

Secara umum tindakan penghindaran pajak dianggap sebagai tindakan yang

legal, dengan melakukan penghindaran pajak maka perusahaan dapat meningkatkan

profitabilitas dan arus kas.l (Huseynov, 2012). Profitabilitas merupakan salah satu

pengukuran bagi kinerja keuangan suatu perusahaan. Profitabilitas suatu perusahaan

menggambarkan kemampuan suatu perusahaan dalam menghasilkan laba selama

periode tertentu pada tingkat penjualan, asset dan modal saham tertentu. Return on

assets (ROA) merupakan salah satu pendekatan yang dapat mencerminkan

profitabilitas suatu perusahaan. ROA juga memperhitungkan kemampuan perusahaan

dalam menghasilkan laba yang terlepas dari pendanaan. Semakin tinggi rasio ini, maka

akan semakin bagus performa perusahaan tersebut (Akbar, 2015) . ROA dilihat dari

laba bersih perusahaan dan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) untuk Wajib Pajak

Badan. Perusahaan yang memiliki profitabilitas tinggi memiliki kesempatan untuk

memposisikan diri dalam tax planning yang mengurangi jumlah beban kewajiban

perpajakan (Chen et al. 2010).

Penelitian yang dilakukan Deddy dan Rita (2016) menyatakan profitabilitas

yang diukur dengan (ROA) tidak berpengaruh terhadap tax avoidance sedangkan

menurut Kurniasih dan Sari (2013) profitabilitas (ROA) berpengaruh signifikan

terhadap tax avoidance atau penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan, apabila

kemampuan perusahaan menghasilkan laba meningkat maka laba operasional


7

perusahaan juga akan meningkat dan nilai pajak juga meningkat oleh karena inilah

profitabilitas berpengaruh terhadap tax avoidance , namun apabila laba meningkat

penghindaran pajak menurun hal ini disebabkan oleh perusahaan tidak melakukan

tindakan efisiensi dalam pembayaran pajaknya.

Leverage juga dapat mempengaruhi praktik penghindaran pajak. Leverage atau

solvabilitas merupakan suatu ukuran seberapa besar asset yang dimiliki perusahaan

dibiayai oleh utang. Leverage menunjukkan penggunaan utang untuk membiayai

investasi (Brigham dan Houston, 2010). Debt to Asset Ratio (DAR) merupakan salah

satu rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat solvabilitas perusahaan dimana

rasio ini digunakan untuk menilai utang dengan total asset (Kasmir, 2010). Penelitian

terkait dengan leverage yang dilakukan oleh Noor et al. (2010) yang menjelaskan

bahwa perusahaan dengan jumlah utang lebih banyak memiliki tarif pajak yang efektif

baik, hal ini berarti bahwa dengan jumlah utang yang banyak, perusahaan untuk

melakukan tax avoidance akan cenderung lebih kecil. Pernyataan ini mendukung hasil

penelitian Akbar Hadi (2015), Suyanto (2012), dan Purwanto (2016) menunjukkan

leverage berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance. Akan tetapi, bertolak

belakang dengan penelitian Dedy dan Rita (2016) yang menunjukkan bahwa leverage

tidak berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance.

Penghindaran pajak (tax avoidance) yang dilakukan oleh perusahan biasanya

melalui kebijakan yang diambil oleh pimpinan perusahaan bukanlah tanpa sengaja

(Budiman dan Setiono, 2012). Hal ini sesuai dengan Khurana dan Moser (2009) yang
8

menyatakan bahwa aktivitas tax avoidance yang dilakukan oleh manajemen suatu

perusahaan adalah upaya semata-mata untuk meminimalisasi kewajiban pajak

perusahaan. Banyaknya kasus pelanggaran penghindaran pajak yang dilakukan oleh

perusahaan-perusahaan mengindikasikan bahwa corporate governance sepenuhnya

belum diterapkan secara maksimal.

Komisaris independen didefinisikan sebagai seorang yang tidak terafiliasi

dalam segala hal dengan pemegang saham pengendali, tidak memiliki hubungan

afiliasi dengan direksi atau dewan komisaris serta tidak menjabat sebagai direktur pada

suatu perusahaan yang terkait dengan perusahaan pemilik menurut peraturan yang

dikelurkan oleh BEI. Jumlah komisaris independen proporsional dengan jumlah saham

yang dimiliki oleh pemegang saham yang tidak berperan sebagai pengendali dengan

ketentuan jumlah komisaris independen sekurang - kurangnya tiga puluh persen (30%)

dari seluruh anggota komisaris, disamping undang dan peraturan tentang pasar modal

serta diusulkan oleh pemegang saham. Menurut Maharani dan Suardana (2014)

diperoleh hasil bahwa komisaris independen berpengaruh negatif terhadap

penghindaran pajak. Nurul (2017) ,proporsi komisaris independen tidak memiliki

pengaruh signifikan terhadap perilaku penghindaran pajak perusahaan. Hal ini

mengindikasikan peran komisaris independen yang tidak signifikan dalam

pengambilan keputusan pajak strategis perusahaan di Indonesia.

Kepemilikan Institusional merupakan lembaga yang memiliki kepentingan

besar terhadap investasi yang dilakukan termasuk investasi saham. Sehingga biasanya
9

institusi menyerahkan tanggung jawab kepada divisi tertentu untuk mengelola investasi

perushaaan. Keberadaan institusi yang memantau secara profesional perkembangan

investasinya menyebabkan tingkat pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat

tinggi sehingga potensi dapat ditekan. Menurut Deddy dan Rita (2016) menyatakan

Kepemilikan Institusional berpengaruh terhadap tax avoidance sedangkan menurut Ftri

dan Tridhaus (2015) menyatakan bahwa variabel kepemilikan institusional tidak

berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance.

Di dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pada sektor

pertambangan karena menurut badan kebijakan fiskal, sektor pertambangan merupakan

salah satu yang memiliki potensi penerimaan pajak yang besar sedangkan pemerintah

belum secara optimal dalam menggali potensi tersebut. Berdasarkan latar belakang di

atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan memilih penulisan Tesis

dengan judul “PENGARUH PROFITABILITAS, LEVERAGE , DEWAN

KOMISARIS INDEPENDEN DAN KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL

TERHADAP TAX AVOIDANCE ”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian tersebut, maka permasalahan

dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh Profitabilitas terhadap Tax Avoidance

2. Bagaimana pengaruh Leverage terhadap Tax Avoidance


10

3. Bagaimana pengaruh Dewan Komisaris Independen terhadap Tax Avoidance

4. Bagaimana pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Tax Avoidance

5. Seberapa besar pengaruh Profitabilitas, Leverage, Dewan Komisaris Independen dan

Kepemilikan Institusional secara simultan terhadap Tax Avoidance

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan penulis dengan tujuan untuk memperoleh data dan

informasi yang berkaitan dengan Profitabilitas, Leverage, Dewan Komisaris

Independen dan Kepemilikan Institusional terhadap Tax Avoidance pada perusahaan

pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sehubungan dengan latar

belakang dan identifikasi masalah di atas, maka tujuan penelitian adalah sebagai

berikut:

1. Untuk mengetahui. pengaruh Profitabilitas terhadap Tax Avoidance

2. Untuk mengetahui pengaruh Leverage terhadap Tax Avoidance

3. Untuk mengetahui pengaruh Dewan Komisaris Independen terhadap Tax

Avoidance

4. Untuk mengetahui. Kepemilikan Institusional terhadap Tax Avoidance

5. Untuk mengetahui Profitabilitas, Leverage, Dewan Komisaris Independen dan

Kepemilikan Institusional secara simultan terhadap Tax Avoidance


11

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

Adapun kegunaan teoritis dari penelitian ini adalah untuk memberikan

sumbangan pemikiran guna mendukung pengembangan teori yang sudah ada dan dapat

memperluas khasanah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan disiplin ilmu

ekonomi akuntansi, khususnya mengenai pengaruh pengaruh profitabilitas, leverage,

dewan komisaris independen dan kepemilikan institusional terhadap tax avoidance.

1.4.2 Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memberikan gambaran yang

dapat bermanfaat secara langsung maupun tidak langsung bagi berbagai pihak

diantaranya sebagai salah satu masukan khususnya pada perusahaan pertambangan

dalam rangka memberikan gambaran pentingnya tata kelola yang baik. Bagi

pemerintah juga dapat memberikan masukan dalam merumuskan kebijakan agar dapat

meminimalisir praktik pengindaran pajak.


12

Anda mungkin juga menyukai