Anda di halaman 1dari 20

BAB II

KAJIAN PUSTAKA,KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Teori Agensi

Teori keagenan yang menjelaskan hubungan antara manajamen perusahaan

(agen) dengan pemegang saham (principal) pertama kali diungkapkan Jensen dan

Meckling (1976). Di dalam teori keagenan, yang dimaksud dengan agen adalah

manajemen yang mengelola asset pemilik, sedangkan principal adalah pemegang

saham. Pada umumnya, tidak terdapat hubungan keagenan yang terlepas dari adanya

agency problematau konflik keagenan. Konflik ini didasari kepentingan pribadi (self-

interest behavior) yang dapat terjadi antara manajemen dan pemegang saham.

Konflik yang terjadi antara pemegang saham dengan manajer disebut konflik

keagenan tipe 1. Panda dan Leepsa (2017) menyatakan, konflik keagenan tipe 1 ini

muncul akibat adanya pemenuhan kepuasan pribadi yang didasarkan pada rasionalitas

perilaku manusia. Teori tersebut menyatakan bahwa tindakan manusia adalah rasional

dan didorong oleh kepentingan pribadi. Sebagai contoh, principal ingin agen

memaksimalkan laba, sedangkan agen memiliki keinginan untuk memperoleh

manfaat pribadi, seperti kenaikan gaji dan bonus. Benturan konflik tersebut serta

kurangnya pengawasan akibat dari struktur kepemilikan yang tersebar dapat

menciptakan konflik keagenan tipe 1.

13
14

Sedangkan struktur kepemilikan terkonsentrasi pada perusahaan menciptakan

konflik keagenan tipe 2. Villalonga dan Amit (2006) menyatakan bahwa konflik

keagenan tipe 2 terjadi antara pemegang saham mayoritas dan minoritas. Pemegang

saham mayoritas dapat menggunakan jumlah kepemilikannya untuk mengendalikan

pemegang saham minoritas demi keuntungan pribadi sehingga hal ini menyebabkan

pemegang saham minoritas mengalami kerugian (Famma & Jensen, 1983).

Selain itu , timbulnya masalah-masalah keagenan terjadi karena terdapat

pihak- pihak yang memiliki perbedaan kepentingan namun saling bekerja sama dalam

pembagian tugas yang berbeda. Konflik keagenan dapat merugikan pihak principal

(investor) karena tidak terlibat langsung dalam pengelolaan perusahaan sehingga

tidak memiliki akses untuk mendapatkan informasi yang memadai. Manajemen

selaku agen diberikan wewenang untuk mengelola aktiva perusahaan sehingga

mempunyai insentif melakukan transfer pricing dengan tujuan menurunkan pajak

yang harus dibayakan (Yuniasih dkk,2012).

2.1.2 Transfer Pricing (TP)

Transfer pricing adalah kebijakan antar perusahaan yang dipengaruhi

hubungan istimewa dalam menentukan harga transfer suatu transaksi. ( Mury,

2015:195). Organization for Economic Co–operation and Development (OECD)

mendefinisikan transfer pricing sebagai harga transfer suatu transaksi yang

ditentukan dalam suatu grup yang memiliki hubungan afiliasi yang menyimpang dari

harga wajarnya.
Harga transfer dalam pengertian netral adalah strategi perusahaan tanpa

adanya pengurangan pajak. Sedangkan dalam makna peyoratif harga transfer adalah

sebagai suatu tindakan yang dilakukan untuk menghemat pajak, dengan cara

menggeser penghasilan ke negara yang tarif pajak lebih rendah (Suandy, 2011: 74).

Pengertian hubungan istimewa menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan

No. 36 Tahun 2008 (UU PPh) adalah hubungan istimewa dianggap apabila wajib

pajak memiliki penyertaan modal langsung ataupun tidak minimal 25%, adanya

hubungan keluarga, adanya kepemilikan manajemen dan penguasaan teknologi.

Aturan lebih lanjut tentang transfer pricing dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor 32

Tahun 2011. Di dalam aturan ini menerapkan prinsip dari arm’s length principle,

yaitu transaksi yang mencerminkan harga pasar yang wajar.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa transfer pricing

adalah penentuan harga atas penyerahan barang, jasa atau kepada perusahaan yang

memiliki hubungan istimewa sesuai prinsip kewajaran.

2.1.2.1 Pertimbangan Penetapan Harga Transfer

Dalam operasi luar negeri, dibutuhkan beberapa pertimbangan untuk dapat

sampai kepada suatu harga transfer, diantaranya sebagai berikut :

1. Perpajakan

Tarif pajak penghasilan antarnegara yang memiliki perbedaan siginfikan,

dapat menyebabkan kompleksitas penetapan harga

transfer, dimana terjadi


pergeseran laba ke negara yang tarif pajaknya lebih rendah sehingga dapat

mengurangi jumlah pajak penghasilan perusahaan di negara tersebut

2. Peraturan Pemerintah

Untuk mencegah penetapan harga transfer yang tidak wajar ,otoritas pajak

pemerintah mengeluarkan peraturan yang menentukan bagaimana pengukuran

harga transfer antar pihak berelasi.

3. Nilai tukar

Harga transfer bila digunakan untuk mengurangi resiko nilai tukar uang

misalnya dengan memindahkan dana dari negara yang mata uangnya lemah ke

negara mata uangnya kuat.

4. Pengawasan Nilai Tukar Mata Uang

Beberapa negara membatasi jumlah nilai mata uang asing yang tersedia untuk

mengimpor komoditas tertentu. Karena kondisi seperti itu, harga transfer yang

lebih rendah memungkinkan anak perusahaan membawa jumlah komoditi

yang lebih banyak.Penentuan harga transfer bisa digunakan untuk

memindahkan dana keluar dari suatu negara yang beroperasi secara ketat

terhadap pemindahan deviden maupun modalnya

5. Akumulasi Dana

Perusahaan mungkin ingin mengakumulasikan dananya di satu negara tertentu

daripada negara lain. Harga transfer adalah salah satu cara untuk mengalihkan

dana tersebut ke dalam atau ke luar negara tertentu.


6. Joint Venture

Joint venture dapat memicu masalah kompleksitas dalam menentukan harga

transfer. Contohnya perusahaan Singapura melakukan joint venture di

Indonesia dengan perusahaan lokal. Apabila induk perusahaan menetapkan

harga lebih tinggi, maka pihak dari Indonesia dapat menolak harga transfer

tersebut, dikarenakan dapat menurunkan laba.

2.1.2.2 Peraturan Mengenai Transfer Pricing

Peraturan mengenaitransfer pricing diatur dalam Pasal 18 Undang-undang

Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Aturan lainnya dan lebih detail

tentang transfer pricing termuat Peraturan Dirjen Pajak Nomor 32 Tahun 2011

tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi Antara

Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

Seiring dengan berkembangnya pertumbuhan perusahaan multinasional

kebijakan transfer pricing tersebut mengalami perubahan tercantum dalam Peraturan

Direktur Jendral Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 mengenai perubahan atas Peraturan

Direktur Jendral Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang penerapan prinsip kewajaran

dan kelaziman usaha dalam transaksi antara wajib pajak dengan pihak yang

mempunyai hubungan istimewa. Penyempurnaan dilakukan di beberapa pasal, yang

secara garis besar membahas tentang asas kesebandingan, prinsip kewajaran dan

metode transfer pricing. Peraturan Dirjen Pajak tersebut diatur bahwa arm’s length

principle dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah: (a) melakukan analisis


kesebandingan dan menentukan pembanding; (b) menentukan metode penentuan

harga transfer yang tepat; (c) menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha

berdasarkan hasil analisis kesebandingan dan metode penentuan harga transfer yang

tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara wajib pajak dengan pihak yang

mempunyai hubungan istimewa; dan (d) mendokumentasikan setiap langkah dalam

menentukan harga wajar atau laba wajar sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan yang berlaku. Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan

No.213/PMK.03/2016 dalam rangka menetapkan ketentuan baru mengenai dokumen

harga transfer. Peraturan ini mencakup ketentuan atas pelaporan dokumen induk,

dokumen lokal, dan laporan per negara wajib pajak yang melakukan transaksi

hubungan istimewa.

2.1.2.3 Metode Penentuan Harga Transfer

Dalam aturan PER-32/PJ/2011, penentuan metode harga wajar dilakukan

dengan penentuan harga transfer sebagai berikut :

1. Metode Perbandingan Harga antara pihak yang tidak mempunyai hubungan

istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP)

Metode penentuan harga transfer dilakukan dengan cara membandingkan nilai

wajar transaksi yang dilakukan antara pihak yang memiliki hubngan istimewa

dan yang tidak memiliki hubungan istimewa dalam keadaan yang sebanding.

2. Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM)

Metode harga penjualan kembali dilakukan dengan membandingkan harga

transaksi suatu produk antar pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan
harga jual kembali produk setelah dikurangi laba kotor eajar kepada pihak lain

yang tidak memiliki hubungan istimewa.

3. Metode Biaya Plus (Cost Plus Method/CPM)

Metode biaya plus dilakukan dengan menambah tingkat laba kotor wajar

perusahaan yang sama dari transaksi yang tidak memiliki hubungan istimewa

pada harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan Prinsip kewajaran dan

kelaziman usaha.

4. Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM)

Metode penentuan harga transfer berbasis laba transaksional yang dilakukan

dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi yang akan

dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dengan

menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi, yang memberikan

perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi, dan akan tercemin

dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istmewa.

5. Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin

Method/TNMM)

Metode penentuan harga transfer ini dilakukan dengan membandingkan

persentase laba bersih operasi terhadap biaya, terhadap dasar lainnya atas

transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa dan tidak memiliki

hubungan istiewa atas transaksi yang sebanding.

Pengukuran yang dilakukan oleh Lanis dan Richardson (2013) dan di

modifikasi lagi oleh penulis menyesuaikan dengan kondisi di perusahaan


Indonesia yang terdapat dalam praktik transfer pricing, dapat dirumuskan

sebagai berikut :

a. Transaksi pinjaman tanpa bunga antar pihak berelasi

Pinjaman tanpa bunga merupakan transaksi khusus yang dilakukan

hanya oleh perusahaan yang memiliki hubungan afiliasi sehingga

diperlukankriteria untuk menilai kewajarannya dalamrangka mencegah

upaya transfer pricing. Langkah identifikasi kewajaran pada transaksi

pinjaman tanpa bunga menggunakan analisis fungsional. Lebih lanjut

pada analisis intercompany loan OECD. Di Indonesia, pelaksanaan

analisistersebut tertuang pada lampiran SE50/PJ/2013. Kriteria yang

mencerminkan kewajaran transaksi pinjaman tanpa bunga berdasarkan

analisis OECD dan lampiran SE-50/PJ/2013 terkait tiga pengujian,

yaitukewajaran dan kelaziman, kemanfaatan dankeberadaan.

Berdasarkan PP 94 tahun 2010, pinjaman tanpa bunga dapat dianggap

wajar dan tidak perlu dilakukan koreksi apabila : (a) pinjaman tersebut

berasal dari dana milik pemegang saham pemberi pinjaman itu sendiri

dan bukan berasal dari pihak lain; (b) modal yang seharusnya disetor

oleh pemegang saham pemberi pinjaman kepada perusahaan penerima

pinjaman telah disetor seluruhnya; (c) pemegang saham pemberi

pinjaman tidak dalam keadaan merugi; (d) perusahaan penerima

pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan

usahanya.
b. Transaksi penghapusan piutang antar pihak berelasi

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.010/2015

tentang piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang dapat dikurangkan

dari penghasilan bruto dijelaskan bahwa : (a) piutang yang timbul dari

transaksi bisnis yang wajar sesuai dengan bidang usahanya; (b) yang nyata-

nyata tidak dapat ditagih meskipun telah dilakukan upaya-upaya penagihan

yang maksimal atau terakhir oleh Wajib Pajak. (c) piutang yang bukan berasal

dari transaksi bisnis dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa

dengan wajib pajak.

c. Transaksi penjualan antar pihak berelasi

Transaksi penjualan antar pihak berelasi dilakukan dengan harga yang lebih

rendah kepada pihak berelasi, yang dapat merugikan entitas. Penjualan

tersebut dilakukan dengan tujuan memberikan keuntungan kepada pihak

berelasi tersebut.

d. Transaksi pembelian antar pihak berelasi.

Pihak-pihak yang dianggap memiliki hubungan istimewa apabila salah satu

pihak dapat mengendalikan pihak lainnya dalam mengambil keputusan. Salah

satunya dapat dilihat dari transaksi pembelian antar pihak berelasi, dimana

dilakukan dengan nilai yang di atas harga pasar Sehingga pembelian tersebut

dapat menguntungkan saham pengendali.


e. Transaksi jasa antar pihak berelasi

Salah satu bentuk transaksi jasa antar pihak berelasi yaitu melalui pemberian

jasa manajemen, jasa teknik atau jasa lainnya dari satu entitas (pemberi jasa)

di negara dengan tarif pajak rendah, memberikan jasa kepada entitas lainnya

di negara dengan tarif pajak yang tinggi. Melalui skema tersebut, maka MNC

dapat mengakui service expense sebagai beban yang akan menjadi pengurang

penghasilan bagi entitas di negara yang memiliki tarif tinggi. Sedangkan bagi

entitas pemberi jasa akan menjadi tambahan penghasilan di negara dengan

tarif pajak rendah.

f. Transaksi asset tidak berwujud antar pihak berelasi

Penggunaan harta tak berwujud kepada pihak afiliasi merupakan hal yang

lazim terjadi di dunia bisnis. Bagi beberapa negara yang sudah menerapkan

aturan mengenai transfer pricing, perusahaan yang melakukan transaksi

afiliasi termasuk pembayaran royalti diwajibkan untuk menerapkan prinsip

kewajaran dan kelaziman usaha yang dituangkan dalam suatu dokumentasi

transfer pricing.

2.1.3 Konsentrasi Kepemilikan Saham

Keputusan untuk melakukan transfer pricing diantaranya dipengaruhi oleh

konsentrasi kepemilikan saham. Konsentrasi kepemilikan menggambarkan siapa saja

dan bagaimana pengendalian atas sebagian besar aktivitas bisnis perusahaan

(Abdullah, 2008). La Porta (1999) melalui struktur piramida hak kendali yang tinggi,
pemegang saham pengendali memiliki kekuatan yang lebih besar terhadap hak arus

kas mereka.

Richardson (2016) menyatakan konsentrasi kepemilikan saham berperan

sebagai entrenchment melalui mekanisme transfer pricing, pemegang saham

pengendali dapat melakukan ekspropriasi yaitu dengan mengatur transaksi

perusahaan dan mentransfer manfaat pajak ke perusahaan lain milik pemegang saham

pengendali tanpa memperhatikan kepentingan pemegang saham non pengendali.

Konsentrasi kepemilikan saham sebagai alignment dimana konsentrasi kepemilikan

saham yang melebihi kontrol efektif dapat berkomitmen untuk menyelaraskan dan

menghindari konfilik dengan pemegang saham minoritas.

Berdasarkan PSAK 65, investor mengendalikan investee ketika investor

terekspos atau memiliki hak atas imbal hasil variabel dari keterlibatannya dengan

investee dan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi imbal hasil tersebut melalui

kekuasaannya atas investee (controlling interest). Pengendalian ada jika kekuasaan

melebihi setengah hak suara sesuai perjanjian dengan investor lain dengan ciri

utamanya.

Zhou (2011) pada penelitiannya di China mengungkapkan bahwa sebagian

besar perusahaan di Cina adalah pemegang saham tunggal dan terkonsentrasi serta

memimiliki hubungan yang kuat dengan pemerintahannya. Sehingga,semakin besar

kontrol terhadap suatu perusahaan maka semakin besar pula proporsi atas

pengendaliannya. Timothy (2010) menyatakan, Semakin tingginya persentase


pemegang saham, maka akan semakin besar pula proporsi kebijakan perusahaan

untuk melakukan praktik transfer pricing.

Dengan demikian, konsentrasi kepemilikan saham yang semakin tinggi akan

semakin besar pula kesempatan pemegang saham dalam mengendalikan suatu

perusahaaan .Pengukuran variabel ini dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai

berikut (Khotimah, 2018) :

KKS = Jumlah Kepemilikan Saham Terbesar


Jumlah Saham Beredar

2.1.4 Kompleksitas Operasi Perusahaan

Kompleksitas operasi perusahaan berhubungan dengan unit-unit perusahaan

yang saling bekerja sama dan saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan

perusahaan (Innayati dan Susilowati,2015). Kompleksitas operasi perusahaan

bergantung pada lokasi dan jumlah unit operasinya (cabang) serta diversifikasi jalur

produk dan pasarnya. Adapun jumlah anak perusahaan yang dimiliki dapat

menyebabkan kompleksitas operasi perusahaan semakin rumit. Salah satu cara yang

digunakan oleh perusahaan untuk meningkatkan laba adalah dengan melakukan

ekspansi atau perluasan usaha. Perluasan usaha bisa dilakukan secara internal dan

eksternal. Ekspansi internal dilakukan perusahaan jika perusahaan tersebut

mendirikan perusahaan baru atau melakukan perluasan dari perusahaan yang sudah

ada. Sementara itu, perusahaan dapat dikatakan melakukan ekspansi eksternal jika

perusahaan menggabungkan
kegiatan operasionalnya dengan perusahaan lain yang sudah ada sebelumnya

(Sudana, 2015).

Disversifikasi adalah salah satu alasan perusahaan untuk melakukan

penggabungan usaha. Disversifikasi dicapai melalui penggabungan dua perusahaan

atau lebih yang bergerak dalam industri berbeda. Dengan adanya penggabungan

usaha, ketika nantinya ada salah satu perusahaan mengalami kerugian maka

perusahaan lain masih memperoleh laba sebagaimana mestinya. Sehingga secara

keseluruhan laba yang diperoleh setelah penggabungan menjadi lebih stabil dan

risikonya menjadi lebih kecil. Kompleksitas dalam penelitian ini menggunakan

indikator multinationality

2.1.4.1 Multinationality

Perusahaan multinasional merupakan perusahaan yang memiliki paling sedikit

satu anak perusahaan di luar negaranya. Anak perusahaan ini dimiliki sepenuhnya

oleh induk perusahaan dengan tujuan untuk memaksimalkan nilai pada perusahaan

multinasional secara keseluruhan (Pithaloka dan Irwanto, 2016). Perusahaan

multinasional dinilai cenderung berhasil melakukan penghindaran pajak terutama

dalam bentuk transfer pricing dibandingkan dengan perusahaan domestik murni Zia

dan Kurnia, 2018). Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari adanya pemindahan laba

melalui mekanisme transfer pricing. Terlebih jika praktik tersebut dilakukan dengan

melibatkan anak perusahaan yang berada di luar negaranya dengan status tax haven.

Berdasarkan PSAK 4, suatu perusahaan menjadi anak perusahaan saat sahamnya

dimiliki perusahaan lain lebih dari 50% atau memperoleh hak mayoritas

(controlling
interest), walau demikian anak perusahaan tetap memiliki entitas usaha sendiri.

Semakin banyak anak perusahaan multinasional, maka akan semakin besar peluang

perusahaan multinasional melakukan penghindaran pajak. Slemrod (2001),

menyatakan bahwa perusahaan multinasional menggunakan metode perencanaan

pajak yang saling terkait secara global dan secara efisien mengurangi kewajiban pajak

kelompok.

Perencanaan pada perusahaan multinasional dinilai kompleks karena berkaitan

dengan perbedaan yurisdiksi pada masing-masing negara. Adanya berbagai transaksi

yang dilakukan perusahaan multinasional antar pihak yang berelasi seperti penjualan

barang dan jasa , lisensi atau asset tak berwujud lainnya , hal ini tidak luput dari

praduga rekayasa transfer pricing (Lingga, 2012). Jadi dapat disimpulkan,

multinationality atau perusahaan multinational adalah perusahaan perusahaan yang

beroperasi memproduksi dan menjual produknya serta memiliki anak perusahaan di

lebih dari satu negara. Dalam penelitian ini, indikator yang digunakan dalam

mengukur multinationality adalah jumlah dari anak perusahaan asing dibandingkan

dengan jumlah anak perusahaan, dapat dirumuskan sebagai berikut

Multinationality = Jumlah anak perusahaan asing


2.1.5 Penelitian Terdahulu

Penelitian sebelumnya sangatlah penting untuk diungkapkan karena dapat

digunakan sebagai sumber informasi dan bahan acaun yang berguna bagi peneliti.

Beberapa penelitian telah melakukan penelitian berkaitan dengan konsentrasi

kepemilikan saham dan kompleksitas operasi perusahaan.

Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu

Penulis dan
No Tahun Judul Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian
1. Grant Determinants of Profitabilty,Firm Firm size,
Richardson transfer pricing size leverage, profitability,
(2013) aggressiveness: intangible assets dan leverage,
Empirical Transfer Pricing intangible assets
evidence from berpengaruh positif
Australian firms. siginifikan terhadap
keputusan transfer
pricing.
Perusahaan publik di
Australia mealukakan
penggabungan dari
multinasionalitas dan
asset tak berwujud
untuk meningkatkan
harga transfer
2. Machfirah Pengaruh Mekanisme Bonus, Mekanisme bonus,
Aprilia Rezky Mekanisme Bonus, Ukuran Perusahaan, ukuran perusahaan,
dan Fachrizal Ukuran Perusahaan, Leverage dan leverage dan
(2018) Leverage dan Multinationality dan multinationality
Multinationality Transfer Pricing berpengaruh positif
terhadap Keputusan terhadap keputusan
Transfer Pricing transfer pricing
pada Perusahaan
Manufaktur yang
terdaftar di Bursa
Efek Indonesia

3. Lo et al., (2010) Tax, Financial Pajak , Pelaporan Semakin besar


Reporting, and Keuangan, Tunneling persentase
Tunneling Incentive dan kepemilikan saham
Incentives for Transfer Pricing pengendali semakin
Income Shifting: besar praktik
An Empirical transfer
Analysis of the pricing.Perusahaan
Transfer Pricing mempertimbangkan
Behavior of penghematan pajak
Chinese-Listed dan tunneling ketika
Companies” membuat keputusan
penentuan harga
transfer.
4. Zhou (2011) Ownership Struktur Kepemilikan, Semakin besar
Structure, Karakteristik Dewan, kepemilikan saham
Board dan Agresivitas Pajak pegendali, semakin
Characteristics, besar agresivitas
And Tax pajak, karakteristik
Aggressiveness dewan tidak
berpengaruh
signifikan terhadap
agresivitas pajak.

5 Khotimah Pengaruh Beban Beban Pajak, Beban pajak


(2018) Pajak, Tunneling Tunneling Incentive, berpengaruh negatif
Incentive dan Ukuran Perusahaan terhadap transfer
Ukuran Perusahaan dan Transfer pricing, tunneling
Dalam Melakukan Pricing. incentive tidak
Transfer Pricing berpengaruh terhadap
transfer pricing, dan
ukuran perusahaan
berpengaruh negatif
terhadap transfer
pricing.
6 Tri Marta Pengaruh transfer Transfer Pricing dan Praktik transfer
Chandraningrum pricing terhadap Multinationality pricing dapa
(2014) perencanaan pajak mempengaruhi
perencanaan pajak
di perusahaan pada perusahaan
multinasional. multinasional di
Indonesia

2.2 Kerangka Pemikiran

2.2.1 Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan Saham terhadap Keputusan Transfer

Zhou (2011) pada penelitiannya di China menyatakan bahwa sebagian besar

perusahaan di Cina adalah pemegang saham tunggal dan terkonsentrasi serta

memiliki hubungan yang kuat dengan pemerintahannya. Sehingga , semakin besar

konsentrasi kepemilikan saham, maka semakin besar pula proporsi atas

pengendaliannya. Hal ini menunjukkan adanya hubungan positif antara pemegang

saham pengendali dengan praktik transfer pricing. Lo et al., (2010) menyatakan,

semakin tingginya persentase pemegang saham, maka akan semakin besar pula

proporsi kebijakan perusahaan dan memiliki pengaruh yang lebih besar sehingga

dapat dipastikan kebijakan tersebut dapat menguntungkan pemegang saham

pengendali dan memilh kebijakan pajak yang agresif melalui praktik transfer pricing.

Dengan demikian, konsentrasi kepemilikan saham yang semakin tinggi akan

semakin besar pula kesempatan pemegang saham dalam mengendalikan suatu

perusahaaan.Pemegang saham pengendali dapat melakukan eksproprasi dengan cara

mengalihkan labatanpa mementingkan kepentingan saham non pengendali.


2.2.2 Pengaruh Multinationality terhadap Keputusan Transfer Pricing

Perusahaan dikatakan sebagai perusahaan multinasional jika perusahaan

tersebut memiliki cabang atau anak perusahaan di lebih dari satu negara. Anak

perusahaan di negara yang satu dengan anak perusahaan di negara yang lain memiliki

perbedaan regulasi pajak tergantung pada kebijakan setiap negara. Adanya perbedaan

tarif pajak tersebut, membuat perusahaan multinasional harus pandai menerapkan

strategi guna mengatasi problem perpajakan yang berbeda antar anak perusahaan.

Menurut Mangoting (2000), anak perusahaan yang didirikan pada suatu

negara terkadang hanya bersifat sebagai transit place atau hanya sebatas tempat

persinggahan. Perusahaan multinasional mendirikan perusahaan di negara-negara tax

haven untuk digunakan sebagai tempat persinggahan dalam transaksi lintas negara

perusahaan multinasional. Induk perusahaan yang berada di negara dengan tarif pajak

tinggi akan mentransfer pendapatan atau objek transaksinya ke anak perusahaan di

negara tax haven untuk meminimalkan beban pajak dan memaksimalkan laba.

Chandraningrum (2014) menyatakan perusahaan multinasional memiliki

fleksibilitas untuk memanfaatkan perbedaan antar yurisdiksi pajak nasional sehingga

dapat melakukan persegeseran laba dengan maksimal. Rezky dan Fachrizal (2018)

menyatakan multinationality berpengaruh terhadap keputusan transfer pricing. Hal

ini membuktikan bahwa perusahaan multinasional berperan dalam keputusan transfer

pricing. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Richardson et

al. (2013) yang menyatakan bahwa multinationality berpengaruh signifikan terhadap


keputusan transfer pricing, dengan memanfaatkan perbedaan kebijakan pajak antar

negara sehingga perusahaan multinasional dapat dikatakan memiliki peluang dan

kesempatan yang lebih besar.

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa semakin perusahaan itu bersifat

multinasional, semakin besar kesempatan perusahaan untuk melakukan transfer

pricing. Adanya tax haven countries mendukung perusahaan multinasional untuk

melakukan praktik transfer pricing.

Konsentrasi Kepemilikan Saham


(X1)

Keputusan Transfer Pricing


(Y)
Kompleksitas Operasi Perusahaan (X2)

Multinationality
Hipotesis Penelitian

Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
2.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah dugaan sementara yang perlu diuji kebenarannya.

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, hipotesis yang akan diuji dalam

penelitian ini adalah :

H1 : Konsentrasi kepemilikan saham berpengaruh terhadap keputusan transfer

pricing.

H2. : Multinationality berpengaruh terhadap keputusan transfer pricing.

H3 : Konsentrasi kepemilikan saham dan kompleksitas operasi perusahaan


yang diproyeksikan dengan multinationality secara simultan
berpengaruh terhadap keputusan transfer pricing.

Anda mungkin juga menyukai