Anda di halaman 1dari 10

Finding & Analysis Program Cocoa Life

Secara umum Program Cocoa Life merupakan program kakao keberlanjutan


Mondelez International yang bersifat holistik dan berfokus pada petani. membantu
masyarakat berkembang di enam asal utama penghasil kakao seperti Ghana, Pantai Gading,
Indonesia, India, Republik Dominika, dan Brasil. Mondelez membantu mereka
memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan mata pencaharian
mereka, memperkuat komunitas mereka dan menginspirasi generasi petani kakao
berikutnya.

Cocoa Life berhasil menumbuhkan peluang bagi petani kakao dan keluarga mereka.
Mondelez menginvestasikan $400 juta selama 10 tahun untuk memberdayakan 200.000
petani kakao dan meningkatkan kehidupan lebih dari satu juta orang di komunitas kakao.

Adapun progress dari program cocoa life sendiri setiap tahun dapat dilihat dengan
menggunakan FLOCERT (pemberi sertifikasi global untuk Fairtrade) melacak dan
memverifikasi aliran kakao dari komunitas Cocoa Life ke dalam rantai pasokan. Hal ini
juga menegaskan bahwa petani kakao menerima manfaat dari program ini, seperti
pembayaran premi. Verifikasi memberikan transparansi untuk mengukur dampak Cocoa
Life pada komunitas petani. dan Ipsos (agen penelitian pihak ketiga) untuk memverifikasi
dan mengukur kemajuan program secara independen dan menjaga tetap pada jalurnya.

Dalam menyelesaikan pekerjaannya membutuhkan sumber daya yang sangat


besar, baik dalam permodalan maupun sumber daya manusia. Pada praktiknya, sumber
daya yang dibutuhkan tidak dapat disediakan secara penuh. Dalam proses pengerjaan
program tersebut maka melibatkan tidak hanya pihak ketiga, seperti pemasok barang
dan jasa tetapi juga grup afiliasi perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa.
Adanya Bahan baku, tenaga kerja dan ketrampilan teknis berdatangan dari segenap penjuru
dunia, membuat biaya-biaya sumber daya pendukung yang kemudian tergantikan dengan
sistem yang lebih modern, seperti diketahu misalnya Activity Base Costing atau suatu
sistem biaya modern, dimana biaya yang timbul didasarkan pada setiap aktivitas yang
terjadi.

Kondisi tersebut telah menimbulkan adanya transaksi antara perusahaan dengan


induk perusahaan dan juga antara afiliasi perusahaan yang mempunyai hubungan
istimewa. Transaski antar grup tersebut lebih dikenal dengan sebutan transaksi
intercompany.

Adapun penerapan kebijakan transfer pricing melalui transaksi intercompany dapat


dilakukan untuk tujuan kendali manajemen serta pengendalian marjin perusahaan. Dari
kebijakan transfer pricing ternyata upaya efisiensi berhasil dilakukan melalui transaksi
intercompany.

Transaksi intercompany dengan grup perusahaan yang memiliki hubungan


istimewa juga telah mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan dan biaya.
Efisiensi yang terjadi melalui transaksi intercompany tersebut ternyata mengurangi potensi
pajak apabila mengacu pada ketentuan perpajakan. Adanya hubungan istimewa antara
dengan grup perusahaan membuat harga transfer tersebut menjadi tidak wajar.
Kekurangwajaran harga yang tercatat atas transaksi tersebut dapat terlihat antara lain
pada: Pembayaran gaji , Biaya Pelatihan, Jasa manajemen.

Misal terhadap Pembayaran gaji atas pekerja asing atau expatriate yang bekerja
dalam program cocoa life yang ditempatkan di Indonesia . Pembayaran gaji tersebut
dibayarkan oleh induk perusahaan kepada para pekerja asing . Pada periode berikutnya
pembayaran gaji tersebut dialokasikan kembali sebagai pihak penerima jasa yang
diberikan oleh pekerja asing tersebut. dimana kontribusi pekerjaanya sebagian
difokuskan untuk program Cocoa Life Mondelez di Indonesia.

Apabila pencatatan pembayaran gaji tersebut tidak dilakukan di Indonesia. Dan


pencatatan tersebut dilakukan langsung oleh induk perusahaan atau afiliasi perusahaan
kedalam sistem akuntasi yaitu berupa jumlah gaji dan detail komponennya, yang
menjadi masalah adalah pihak kita tidak dapat mengetahui secara pasti berapa jumlah
gaji pokok , sehingga kemungkinan pada pencatatan periode berikutnya biaya ini
muncul kembali.Sehingga sulit dibedakan apakah biaya gaji tersebut merupakan
pembebanan dalam bulan berjalan atau kekurangan dari pembayaran gaji sebelumnya.

Jika biaya yang dikenakan merupakan biaya internalisasi Adapun biaya


akomodasi lainnya yaitu sesuai dengan biaya yang terjadi. Dalam hal ini tidak ada
mark-up di dalamnya. Biaya lainnya berdasarkan metode biaya sebenarnya atau metode
biaya (Cost – Based Transfer Price). Alokasi biaya sewa ,akomodasi lainnya ditentukan
harga transfer nya dengan metode harga pokok plus. Pasal 13 ayat (5) PMK-
22/PMK.03.2020
melakukan pembandingan gross mark-up transaksi afiliasi dengan gross mark-up
transaksi independen setelah dilakukan analisis kesebandingan. Terdapat dua cara
pembandingan gross mark-up, yaitu:
(1) Pembandingan langsung (direct comparison) yaitu apabila berdasarkan analisis
kesebandingan tidak terdapat perbedaan kondisi antara transaksi afiliasi dengan
transaksi independen yang secara material berpengaruh terhadap gross mark-up,
maka atas selisih gross mark-up tersebut dapat ditentukan harga penjualan wajar
dan dilakukan koreksi atas selisih harga penjualan wajar dengan harga penjualan
dari pihak afiliasi.
(2) Pembandingan tidak langsung (indirect comparison) dilakukan apabila
berdasarkan analisis kesebandingan terdapat perbedaan kondisi antara transaksi
afiliasi dengan transaksi independen yang secara material berpengaruh terhadap
gross mark-up, maka penyesuaian yang akurat (reasonably accurate adjusment)
dilakukan untuk menghilangkan pengaruh material tersebut agar didapat harga
penjualan yang wajar.
Tujuan dilakukan peningkatan kesebandingan adalah untuk menghilangkan
pengaruh material terhadap gross mark-up. Peningkatan kesebandingan pada metode biaya-
plus, umumnya dilakukan dengan membuat penyesuaian yang akurat, penggunaan data
beberapa tahun, agregasi transaksi, serta melakukan kriteria pencarian dan seleksi manual.

Praktek transfer pricing ini dulunya hanya dilakukan oleh perusahaan sematamata
hanya untuk menilai kinerja antar anggota atau divisi perusahaan, tetapi seiring dengan
perkembangan zaman praktek transfer pricing sering juga dipakai untuk manajemen pajak
yaitu sebuah usaha untuk meminimalkan jumlah pajak yang harus di bayar.

Praktek transfer pricing ini dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan


atau dasar pengenaan pajak dan/atau biaya dari satu Wajib Pajak ke Wajib Pajak yang
lainnya, yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan jumlah pajak terutang atas
Wajib Pajak-Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut. Sebenarnya
kekurang-wajaran yang bisa timbul karena adanya praktek transfer pricing dapat terjadi
antar Wajib Pajak dalam negeri atau antara Wajib Pajak dalam Negeri dengan pihak luar
negeri, terutama yang berkedudukan di Tax Haven Countries (negara yang tidak
memungut/memungut pajak lebih rendah dari Indonesia). Direktorat Jenderal Pajak,
melalui Surat Edaran Dirjen Pajak N0. SE04/PJ.7/1993 Tanggal 3 Maret 1993
menyebutkan bahwa kekurang-wajaran dari adanya praktek transfer pricing dapat terjadi
atas : 1. Harga penjualan 2. Harga pembelian 3. Alokasi biaya administrasi dan umum
(overhead cost) 4. Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham
(shareholder loan) 5. Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa
manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya 6. Pembelian harta
perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang mempunyai hubungan
istimewa yang lebih rendah dari harga pasar 7. Penjualan kepada pihak luar negeri melalui
pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha (misalnya dummy company,
letter box company atau reinvoicing center)

Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Perpajakan No. 10 Tahun 1994 mengatur
bahwa :

1. Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya


perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak
berdasarkan undang-undang ini.

2. Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya deviden oleh Wajib Pajak
dalam negeri atas pneyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha
yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut sekurangkurangnya 50%
(lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor atau

b. Secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan
modal sebesar 50% (lima puluh persen) atau lebih dari jumlah saham yang disetor.

3. Dalam pasal ini berbunyi Direktur Jendral Pajak berwenang menentukan kembali
besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman
usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.

Selanjutnya Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perpajakan No. 11 Tentang Pajak


Pertambahan Nilai juga mengatur tentang transaksi yang berhubungan dengan transfer
pricing. Pasal ini berbunyi : Dalam hal harga jual atau penggantian dipengaruhi oleh
hubungan istimewa, maka harga jual atau penggantian dihitung atas dasar harga pasar
wajar pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan.

Keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor : KEP-01/PJ.7/1993 tentang Pedoman


Pemeriksaan Pajak Terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa juga
dimaksudkan untuk menanggulangi menurunnya jumlah pajak yang disetor yang dilakukan
lewat praktek transfer pricing. Dalam Surat Keputusan ini diatur mengenai tahap-tahap
pemeriksaan yang perlu dilakukan oleh pihak yang berwenang berkaitan dengan adanya
praktek transfer pricing yaitu :

Mempelajari berkas Wajib Pajak dan berkas data. Tahap ini dilakukan dengan
mempelajari akte notaris dan perubahannya. Harus diteliti apakah dari struktur pemilikan
saham-saham Wajib Pajak yang diperiksa tampak adanya hubungan istimewa sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 10 Tahun
1994 dan Undang-Undang No. 1 tentang Pajak Pertambahan Nilai pasal 2 ayat (1).

Mempelajari kemungkinan over/under invoicing. Pembelian/impor maupun


penjualan/ekspor yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa
dengan pemasok maupun pelanggan yang terutama berkedudukan di Tax Heaven
Countries, harus dipelajari kemungkinan adanya over dan under invoicing.

Menganalisa SPT dan Laporan Keuangan Wajib Pajak. Tujuan dilaksanakan analisa
ini adalah untuk mendeteksi ketidak-wajaran harga penjualan atau pembelian di antara
pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut. Untuk melakukan hal ini digunakan
analisa rasio yang berlaku secara umum.

Adapun program cocoa life Mondelez International yang dilaksankan di Indonesia


melibatkan para pekerja / tenaga ahli dalam hal ini bisa terjadinya perjanjian secondment
yang mungkin membuat sebagaimana pihak pihak tersebut yang kemudian untuk biaya
biaya gaji , biaya akomodasi, sewa dll nya akan dicharge sepenuhnya ke perusahaan
Mondelez di luar negri . ada pun transaksi seperti reimbursment dan payroll fee atau bisa
termasuk management fee . atas transaksi tersebut tergolong sebagai penyerahan Jasa Kena
Pajak dari luar negri dimana perusahaan harus menyetor PPN secara self assesment , dan
transaksi tersebut terutang PPh 26 .

Jasa Manajemen/ Management Fee merupakan hal yang lumrah dan wajar
dikenakan oleh perusahaan multinasional. Kegiatan tersebut tidak secara langsung
berdampak, namun secara global dampaknya akan terasa pada saat adanya keputusan
mengenai kelangsungan perusahaan.

Pilihan kebijakan dalam hal Jasa Manajemen ini sebenarnya mengarah pada
metode harga negosiasi (Negotiated Transfer Price) antara Mondelez indonesia dan
Mondelez Holdings. Pada tataran Jasa Manajemen ini Mondelez tidak melakukan
keputusan sendiri dan juga tidak dikenakan keseluruhan. Keputusan tersebut menjadi
kebijakan bersama yang diterapkan kepada seluruh grup perusahaan.

Besarnya penghasilan harus ditentukan kembali dengan memperhatikan tingkat


penghasilan yang wajar yang seharusnya diperoleh oleh wajib pajak orang pribadi yang
bersangkutan di negara asalnya. Besarnya selisih penghasilan setelah ditentukan kembali
tidak boleh melebihi jumlah biaya atau pengeluaran lain yang dibebankan atau dibayarkan
oleh pemberi kerja kepada perusahaan induknya di luar negeri (Pasal 3 ayat [3] dan ayat (4)
Peraturan Menteri Keuangan No. 139/PMK.03/2010 tentang Penentuan
Kembali Besarnya Pajak Penghasilan yang Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri dari Pemberi Kerja yang Memiliki Hubungan Istimewa dengan Perusahaan Lain
yang Tidak Didirikan dan Tidak Bertempat Kedudukan di Indonesia). Penentuan kembali
besarnya penghasilan ini dapat berpedoman pada Kepdirjen Pajak No. 173/2002

Dasar hukum:

1. Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana empat


kali diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008

2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

3. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

4. Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian

5. Keputusan Direktur Jenderal Pajak No: KEP-173/PJ./2002 tentang Pedoman Standar


Karyawan Asing

6. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. M.01-
IZ.01.10 Tahun 2007 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menteri Kehakiman
Republik Indonesia No: M.02-IZ.0L.10 Tahun 1995 tentang Visa Singgah, Visa Kunjungan,
Visa Tinggal Terbatas, Izin Masuk, dan Izin Keimigrasian

7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No: PER.02/MEN/III/2008


tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing

8. Peraturan Menteri Keuangan No. 139/PMK.03/2010 tentang Penentuan


Kembali Besarnya Pajak Penghasilan yang Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri dari Pemberi Kerja yang Memiliki Hubungan Istimewa dengan Perushaan Lain
yang Tidak Didirikan dan Tidak Bertempat Kedudukan di Indonesia.

Apabila tidak dapat memberikan penjelasan mengenai penentuan harga pasar


wajar dari setiap transaksinya.Pada masa mendatang selisih tersebut menimbulkan
beban administrasi lainnya seperti pokok hutang pajak, bunga keterlambatan dan denda
administrasi lainnya.
Dalam hal mencegah tindakan koreksi pada setiap harga jual yang di transfer
terdapat alterntif solusi yang dapat digunakan oleh . Solusi tersebut berupa mekanisme
APA (Advance Pricing Agreement). Adanya APA ini pemeriksa tidak perlu melakukan
koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual wajib pajak kepada
perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa. Walau tidak mudah dan aturan
pelaksanaan yang belum jelas,mondelez dapat menggunakan mekanisme APA
(Advance Pricing Agreement) dalam kebijakan transfer pricing nya, sehingga efisiensi yang
diharapkan dapat tercapai

Proses kegiatan yang dilakukan oleh mondelez banyak berhubungan dengan


kerjasama antar grup perusahaan maupun induk perusahaan dalam hal penyediaan
barang atau jasa. Demikian halnya dengan kegiatan jasa yang dilakukan oleh mondelez
atau pun grup perusahaan maupun induk perusahaan berupa penyediaan personel atau
orang-orang yang akan ditempatkan seperti dalam program Cocoa Life Mondelez
International. Keseluruhan proses tersebut menimbulkan transaksi-transaksi antar grup
perusahaan yang mana akan berdampak pada kondisi laporan keuangan perusahaan.

Bisa jadi penentuan harga transfer yang terjadi antara mondelez dengan grup
perusahaan dalam bentuk transfer asset lebih rendah dibandingkan dengan harga
pasarnya. Hal ini menyebabkan harus mencari harga pembanding untuk menjelaskan
bahwa harga tersebut sudah sesuai dengan harga pasar wajar (arm’s length), atau juga
harga transfer yang dibebankan oleh grup peruasahaan tidak terdapat marjin di dalam
nya, sehingga kebijakan perusahaan untuk menjadikan setiap transaksi yang ada
sebagai pusat laba tidak tercapai.

Transfer pricing di dalam perusahaan menjadi masalah yang pelik dikarenakan


oleh harga yang diakui di dalam transaksi tersebut bukan harga yang wajar (arm’s
length), namun juga transaksi yang terjadi tersebut dikarenakan adanya hubungan
istimewa antar satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Sering kali transaksi
seperti ini lazim terjadi atau dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional
lainnya, sehingga antisipasi masalah yang timbul belum dirasa perlu untuk dilakukan.
Perlakuan PPN
Berdasarkan Pasal 1 angka 19 UU PPN Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk
semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa
Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud,
tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini
dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang
dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

dari definisi di atas berarti penggantian yang menjadi DPP PPN adalah nilai berupa uang
yang dibayarkan atau seharusnya dibayar Penerima Jasa (pihak pertama) kepada pihak
penyerah jasa (pihak kedua).

Apabila pemenuhan jasa oleh pemberi jasa kepada pihak penerima jasa menggunakan pihak
ketiga (vendor/supplier) dengan sistem reimbursement dan pembayaran penggantian
kepada pihak ketiga melalui pihak kedua menjadi DPP PPN atas penyerahan pihak kedua
kepada pihak pertama maka Reimbursement tersebut tidak menjadi DPP PPN pihak
pemberi jasa apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: Biaya yang di-reimburse tidak ada
imbalan (Mark up/down) , Bukti asli pihak ketiga diserahkan kepada penanggung beban
sesungguhnya/penerima jasa (pihak pertama) , Dokumen bukti dari pihak ketiga atas nama
penanggung beban sesungguhnya/penerima jasa bukan atas nama pemberi jasa. Apabila
tidak masuk dalam kriteria di atas, maka reimbursement merupakan DPP PPN.

Pada Pasal 14 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 43/PJ/2010
tentang prinsip kewajaran dan kelaziman transaksi jasa yang dilakukan pihak yang memiliki
hubungan istimewa dianggap memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman sepanjang
memenuhi ketentuan, penyerahan atau perolehan jasa benar-benar terjadi, nilai transaksi
jasa antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sama dengan nilai transaksi
jasa yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa yang
mempunyai kondisi yang sebanding atau yang dilakukan sendiri oleh wajib pajak untuk
keperluanya.
Pada Pasal 15 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 43/PJ/2010 tentang
prinsip kewajaran dan kelaziman dalam hal transaksi jasa yang dilakukan antara wajib
pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa dapat dilakukan identifikasi jenis
transaksinya secara spesifik.

Hal ini menjelaskan bahwa transaksi jasa pun harus dilakukan metode
kesebandingan dan harus didokumentasikan secara jelas dan spesifik. Apabila Dijen Pajak
dalam hal ini pemeriksa mengangap dokumentasi atau trensaksi jasa tidak jelas atau tidak
dapat diyakini kebenarannya maka berlaku Pasal 18 ayat (3) undang undang PPh yaitu
Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan penghasilan dan pengurangan serta
penentuan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi
wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan
kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan
menggunakan metode perbandingan harga antar pihak yang independen, metode harga jual
kembali, metode biaya plus, atau metode lainnya.

Anda mungkin juga menyukai