Anda di halaman 1dari 11

Judul Analisis pelaksanaan pemeriksaan pajak kriteria seleksi

Pengarang Hutasoit, Sahappon


Subjek Tax auditing
Peranan penerimaan pajak dalam mendukung pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dari tahun ke tahun senantiasa meningkat. Dalam APBN tahun 2003 misalnya, kontribusi pajak
dalam mendukung pembiayaan belanja negara mencapai 70%. Bahkan secara nominal, jumlah penerimaan
pajak dalam tiga tahun terakhir menyamai total penerimaan pajak selama sepuluh tahun sebelumnya. Hal
ini menunjukkan bahwa peranan pajak akan semakin menentukan bagi jalannya roda pemerintahan di masa
yang akan datang.

Salah satu proses administrasi pajak yang sangat berperan penting dalam pengamanan penerimaaan negara
adalah pemeriksaan pajak. Pada tahun 2003, mulai digencarkan Pemeriksaan Kriteria Seleksi walaupun
sebenarnya telah diperkenalkan sejak tahun 1999. Karakteristik khas dari jenis pemeriksaan ini adalah
peranan komputerisasi agar pemilihan wajib pajak menjadi lebih obyektif dan memenuhi rasa keadilan bagi
wajib pajak.

Penelitian ini mencoba menganalisis pelaksanaan pemeriksaan kriteria seleksi yang telah dilakukan
Direktorat Jenderal Pajak. Data yang digunakan bersumber dari literatur-literatur, peraturan pemeriksaan,
dan sumber lainnya. Kesemuanya digunakan untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan jenis pemeriksaan
ini.
Abstrak
Sebagai konsekuensi administrasi pajak yang menganut sistem self assessment, pihak pemerintah haruslah
secara sistematis menata dan menguji kepatuhan wajib pajak. Biasanya, keterbatasan personil
mengakibatkan ketidakmungkinan setiap SPT diperiksa dengan cermat, sehingga dibutuhkan sebuah
program investigasi dan pemeriksaan pajak yang terencana dengan baik. Sistem pemeriksaan kriteria
seleksi bertujuan mengefektifkan pengujian kepatuhan wajib pajak sehingga mampu menjaga penerimaan
negara serta menumbuhkan respek wajib pajak terhadap langkah pemeriksaan pajak itu sendiri. Lebih jauh
lagi, program tersebut haruslah memiliki kemampuan mencapai target rencana tahun ini, untuk tahun depan
tidak dapat ditawartawar harus dapat menentukan SPT-SPT yang akan diperiksa.

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari buku-buku, majalah-majalah, koran,
peraturan perundang-undangan dan sumber tertulis lainnya. Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh
landasan teori sebagai pemecahan masalah serta acuan terhadap fenomena atau kondisi yang terjadi.

Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa jenis pemeriksaan dapat berubah tiap tahunnya Selain itu terjadi
peningkatan volume pemeriksaan yang cukup tinggi yang mengakibatkan pula pemeriksaan terus menerus
atas seorang wajib pajak. Tetapi di lain pihak, dengan diterapkannya kebijakan pemeriksaan kriteria seleksi,
target penerimaan pajak dari pemeriksaan pajak dapat tercapai walaupun tidak terjadi pada seluruh Kantor
Wilayah.
Permalink http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=81065

Perpajakan Program BOS


PADA kesempatan lalu kita telah membahas kewajiban perpajakan penggunaan bantuan operasional sekolah (BOS) untuk
pengeluaran alat tulis kantor (ATK) .
Dalam kesempatan ini akan dilanjutkan kewajiban perpajakan untuk pengeluaran-pengeluaran dana BOS yang lain. I.
Kewajiban pajak untuk pengadaan buku pelajaran pokok dan buku penunjang untuk perpustakaan adalah sebagai berikut:
A.Bagi bendaharawan/ pengelola dana BOS pada sekolah negeri kewajiban perpajakannya adalah: 1) Memungut PPh
Pasal 22 sebesar 1, 5 persen dari nilai pembelian, tidak termasuk PPN dan menyetorkannya ke kas negara.

Dalam hal nilai pembelian tersebut tidak melebihi jumlah Rp1 juta dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah
maka atas pengadaan atau pembelian barang tersebut tidak dipotong/dipungut PPh Pasal 22. 2) Atas pembelian bukubuku
pelajaran umum,kitab suci,dan buku-buku pelajaran agama, PPN terutang dibebaskan. 3) Mengawasi agar pemenuhan
kewajiban bea meterai berkaitan dengan dokumendokumen, seperti kontrak, invoice, atau bukti pengeluaran uang
(kuitansi) dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku.

B.Kewajiban perpajakan bagi bendaharawan/pengelola dana BOS pada sekolah bukan negeri atau pesantren
salafiyahadalah: 1) Tidak mempunyai kewajiban memungut PPh Pasal 22 karena tidak termasuk sebagai pihak yang
ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22. 2) Atas pembelian buku-buku pelajaran umum,kitab suci dan buku-buku
pelajaran agama, PPN terutang dibebaskan. 3) Mengawasi agar pemenuhan kewajiban bea meterai berkaitan dengan
dokumendokumen seperti kontrak, invoice, atau bukti pengeluaran uang (kuitansi) dilaksanakan sesuai ketentuan yang
berlaku.

II. Kewajiban perpajakan yang terkait dengan penggunaan dana BOS, baik pada sekolah negeri, sekolah swasta maupun
pesantren salafiyah, dialihkan untuk membayar honor tukang bangunan atau tukang kebun yang melaksanakan kegiatan
pemeliharaan atau perawatan sekolah.

Semua bendaharawan/ penanggung jawab dana BOS di masing-masing unit penerima dana BOS harus memotong PPh
Pasal 21 dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Jika upah harian atau rata-rata upah harian yang diterima tidak melebihi
Rp110.000 dan jumlah seluruh upah yang diterima dalam bulan takwim yang bersangkutan belum melebihi Rp1, 1 juta,
maka tidak ada PPh Pasal 21 yang dipotong.

2)Jika upah harian atau rata-rata upah harian yang diterima tidak melebihi Rp110.000, namun jumlah seluruh upah yang
diterima dalam bulan takwim yang bersangkutan telah melebihi Rp1, 1 juta, maka pada saat jumlah seluruh upah telah
melebihi Rp1, 1 juta harus dipotong PPh Pasal 21 sebesar 5 persen atas jumlah bruto upah setelah dikurangi PTKP yang
sebenarnya.

3)Jika upah harian atau rata-rata upah harian yang diterima lebih dari Rp110.000 dan jumlah seluruh upah yang diterima
dalam bulan takwim yang bersangkutan belum melebihi Rp1, 1 juta maka harus dipotong PPh Pasal 21 sebesar 5 persen
dari jumlah upah harian atau rata-rata upah harian di atas Rp110 ribu.

4)Jika upah harian atau rata-rata upah harian yang diterima lebih dari Rp110 ribu dan jumlah seluruh upah yang diterima
dalam bulan takwim yang bersangkutan telah melebihi Rp1, 1 juta, maka pada saat jumlah seluruh upah telah melebihi
Rp1, 1 juta, harus dihitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong dengan menerapkan tarif 5 persen atas
jumlah bruto upah setelah dikurangi PTKP yang sebenarnya. (*)

Purwo Yuwono

Sumber : okezone
Tanggal: 09 Agustus 2008

Analisi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Waib Pajak Terhadap Penentuan Cara Perhitungan
PPH Terhutang Pada Wajib Pajak Orang Pribadi Di Jakarta Utara

Pajak merupakan salah satu sumber yang cukup penting bagi penerimaan negara guna pembiayaan pembangunan di
akhir-akhir ini. Kontribusi pajak terhadap pembangunan telah menyamai atau bahkan lebih besar dari sektor minyak dan
gas sebagai sumber dana pembangunan. Penelitian ini merupakan replikasi dari Heny (2003) yang berjudul “Analisis
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Menentukan Cara Perhitungan PPh Terutang di
Surakarta” yang dilakukan pada tahun 2003. Dalam penelitian ini obyek penelitian adalah wajib pajak orang pribadi di
Jakarta Utara.
Tujuan studi dalam penelitian ini adalah pengujian hipotesis dengan menggunakan analisis regresi linier berganda.
Penelitian ini ingin membuktikan dan menunjukkan pengaruh perhitungan pajak penghasilan sesuai Undang-undang No.
17 Tahun 2000. Dalam penelitian ini yang ingin diteliti adalah faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan penghitungan
PPh menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN).
Hasil penelitian ini adalah: (1) Hasil analisis regresi menunjukkan harga R sebesar 0,173 menunjukkan bahwa korelasi
antara perhitungan PPh dengan jenis usaha cukup kuat dan koefisien determinasi sebesar 0,030 atau angka adjusted R
square adalah 0,010, (2) Nilai R sebesar 0,537 menunjukkan korelasi antara perhitungan PPh dengan peredaran bruto
cukup kuat dan koefisien determinasi sebesar 0,289 atau angka adjusted R square adalah 0,281, (3) Hasil regresi
menunjukkan nilai R sebesar 0,310 berarti korelasi antara perhitungan PPh dengan pendidikan terakhir/tahun sukses cukup
kuat dan koefisien determinasi adalah 0,096 atau angka adjusted R square adalah 0,087, (4) Persamaan regresi: Y = 5,130
+ 0,799P.Bruto + 0,235 Pend - 0,415Home industry + 0,120 Profesi, dengan variabel jenis usaha dagang sebagai
benchmark (pembanding), (5) Hasil uji t regresi variabel dummy diperoleh nilai signifikansi sebesar (Dagang = 0,750,
Home industri = 0,098, Profesi = 0,388) lebih dari 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel dummy tidak
mempengaruhi penentuan perhitungan pajak penghasilan, (6) Hasil uji t regresi terhadap masing-masing variabel
menunjukkan variabel peredaran bruto selama satu tahun mempengaruhi penentuan perhitungan pajak penghasilan,
variabel tingkat pendidikan mempengaruhi penentuan perhitungan pajak penghasilan, (7) Hasil Uji F disimpulkan ada
pengaruh jenis usaha, jumlah peredaran bruto, dan tingkat pendidikan (tahun sukses) terhadap penentuan perhitungan
pajak penghasilan.
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa faktor peredaran bruto dan pendidikan terakhir/tahun sukses
mempengaruhi penentuan perhitungan pajak, sedangkan faktor jenis usaha tidak mempengaruhi penentuan perhitungan
pajak. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa faktor jenis usaha, pendidikan terakhir/tahun sukses dan jumlah peredaran
bruto memiliki pengaruh secara bersama-sama terhadap penentuan perhitungan pajak penghasilan wajib pajak orang
pribadi di Jakarta Utara.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara hukum yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan
bagi rakyatnya sehingga terbentuk suatu masyarakat yang adil dan makmur, tentram, aman yang merata bagi seluruh
bangsa Indonesia. Negara juga mempunyai beberapa kewajiban yang paling utama yaitu melindungi rakyat dengan segala
kepentingannya dan menyediakan sarana serta fasilitas yang diperlukan untuk memperlancar pelaksanaan pemerintahan
dan memberikan pelayanan kepada rakyat, mempertahankan hukum, memelihara ketertiban dan keamanan negara. Untuk
dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut negara membutuhkan sumber-sumber penghasilan seperti penghasilan
perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, penghasilan dari barang-barang
milik negara, penghasilan dari denda dan sitaan barang karena suatu pelanggaran, hibah dan sumbangan dari negara lain
atau organisasi internasional maupun penghasilan dari hak-hak waris dan penerimaan dari berbagai macam pajak,
retribusi, bea, dan cukai serta bentuk-bentuk pungutan lainnya. Dari sumber-sumber penerimaan negara tersebut, pajak
merupakan sumber yang paling dominan karena hal tersebut terbukti dari angka yang terdapat pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) dari tahun ke tahun yang menunjukkan bahwa penerimaan pajak terus mengalami
peningkatan.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam Anggaran Pendapatan Negara yang dibuat oleh Pemerintah terdapat tiga sumber
penerimaan yang menjadi pokok andalan, yaitu:
a. Penerimaan dari sektor pajak.
b. Penerimaan dari sektor migas (minyak dan gas bumi), dan
c. Penerimaan dari sektor bukan pajak.
Dari ketiga sumber penerimaan di atas, penerimaan dari sektor pajak ternyata merupakan salah satu sumber penerimaan
terbesar negara. Dari tahun ke tahun kita dapat melihat bahwa penerimaan pajak terus meningkat dan memberi andil besar
dalam penerimaan negara. Penerimaan dari sektor pajak selalu dikatakan merupakan primadona dalam membiayai
pembangunan nasional. Sedangkan penerimaan dari migas, yang dahulu selalu menjadi andalan penerimaan negara,
sekarang migas sudah tidak bisa diharapkan sebagai sumber penerimaan keuangan negara yang terus menerus karena
sifatnya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources). Penerimaan migas pada suatu waktu akan habis
sedangkan dari pajak selalu dapat diperbaharui sesuai dengan perkembangan ekonomi di masyarakat itu sendiri.
Pajak merupakan salah satu sumber yang cukup penting bagi penerimaan negara guna pembiayaan pembangunan di
akhir-akhir ini. Kontribusi pajak terhadap pembangunan telah menyamai atau bahkan lebih besar dari sektor minyak dan
gas sebagai sumber dana pembangunan. Saat ini Indonesia mulai memprioritaskan sektor pajak sebagai sumber pendanaan
pembangunan di berbagai bidang. Peningkatan penerimaan pajak tersebut dimulai pada tahun fiskal 1984, pemerintah
memberitahukan reformasi perpajakan dengan menerapkan sistem self assessment dalam pemungutan pajak (Priantara,
2000). Penerimaan sektor pajak mengalami peningkatan volume dari tahun ke tahun sejak pembaharuan di bidang
perpajakan, yang dikenal dengan reformasi pajak yang dilaksanakan tahun 1983. Dengan reformasi pajak nasional sistem
pajak yang berlaku saat ini akan disederhanakan (Suandy, 2000) Penyederhanaan tersebut mencakup jenis pajak, tarif
pajak dan cara pembayaran pajak. Setelah reformasi ini sistem pembayaran pajak akan makin adil dan wajar, sedangkan
jumlah wajib pajak akan makin luas. Selanjutnya reformasi pajak akan dilakukan terhadap aparat pajak, baik yang
menyangkut prosedur, tata kerja, disiplin maupun mental. Reformasi perpajakan tidak berhenti begitu saja, tetapi harus
dilakukan perubahan dan penyempurnaan sesuai dengan tuntutan sistem perekonomian.
Pajak juga merupakan suatu fenomena yang selalu berkembang di masyarakat Indonesia karena diiringi dengan
perkembangan perekonomian negara Indonesia. Dalam era globalisasi atau era persaingan bebas ini, cepat atau lambat
tidak dapat ditolak dan harus menerima keberadaan globalisasi ekonomi serta mengambil kesempatan yang dapat timbul
akibat adanya perubahan ekonomi internasional. Salah satu perangkat pendukung yang menunjang agar tercapai
keberhasilan ekonomi dalam meraih peluang adalah hukum pajak atau yang sering disebut dengan hukum fiskal, yaitu
keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi kewenangan pemerintah dalam memungut pajak. Untuk menjadikan
pajak sumber penerimaan negara atau pembiayaan pembangunan yang utama, bukan merupakan hal yang mudah karena
banyak kendala-kendala yang dihadapi, baik yang timbul dari masyarakat sebagai wajib pajak maupun dari pihak otoritas
pajak serta peraturan perundang-undangan.
Pada masa sebelum Peraturan Perpajakan tahun 1983 diberlakukan, diterapkan Official Assessment System dimana
dalam sistem pemungutan pajak ini memberi wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya
pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang. Dengan sistem ini wajib pajak bersifat pasif dan menunggu
dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya utang pajak seseorang baru diketahui setelah adanya surat
ketetapan pajak. Tetapi setelah tahun 1983, berdasarkan Undang-undang Perpajakan Tahun 1983 dan berlalu di Indonesia
sejak tahun 1984 sampai sekarang diterapkan Self Assessment System, dimana wajib pajak diberi wewenang penuh untuk
menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak. Dalam sistem ini wajib pajak
aktif sedangkan fiskus tidak turut campur dalam penentuan besarnya pajak yang terutang seseorang, kecuali wajib pajak
melanggar ketentuan yang berlaku.
Tiga prinsip yang mendasari sistem dan mekanisme pemungutan pajak sebagaimana dalam Penjelasan Umum Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah:
a. Pemungutan pajak merupakan perwujudan pengabdian dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-
sama melakukan kewajiban perpajakan yang diperlakukan untuk pembiayaan negara.
b. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pemungutan pajak sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan
berada pada anggota masyarakat wajib pajak sendiri. Pemerintah dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai dengan fungsinya
berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan
ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
c. Anggota masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotong royongan nasional melalui
sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (self assessment) sehingga
melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana, dan mudah
untuk dipahami oleh anggota masyarakat wajib pajak.
Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan dan kesederhanaan, maka arah dan tujuan
penyempurnaan Undang-Undang Perpajakan ini mengacu pada kebijaksanaan. Salah satu pajak yang dibebankan kepada
wajib pajak baik orang pribadi maupun badan yang menjalankan suatu usaha adalah Pajak Penghasilan (PPh). Pajak
penghasilan ini diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 1983 yang mengalami perubahan menjadi Undang-
Undang Nomor 17 tahun 2000 dan diberlakukan per 1 Januari 2001. Dengan adanya undang-undang tersebut, maka setiap
wajib pajak yang menjalankan suatu usaha wajib untuk menghitung pajak penghasilannya. Untuk menghitung besarnya
pajak penghasilan yang terutang, dalam hal ini wajib pajak orang pribadi diperkenankan untuk menggunakan dasar
pembukuan atau menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) yang telah ditentukan berdasarkan
undang-undang. Kewajiban menyelenggarakan pembukuan pada dasarnya telah diatur dalam pasal 28 Undang-Undang
No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan. Namun, ketentuan pembukuan dimaksud hanya
diberikan secara umum. Oleh karena itu, dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakan perlu ada usaha sendiri dari wajib
pajak orang pribadi untuk memahami seluk beluk pembukuan. Pada umumnya pembukuan dijadikan titik tolak untuk
menghitung penghasilan kena pajak. Namun disadari pula bahwa tidak semua wajib pajak orang pribadi mampu
menyelenggarakan pembukuan, oleh karena itu diperkenankan menerapkan norma penghitungan yang merupakan suatu
pedoman tentang cara untuk menentukan penghasilan neto dan penghasilan pajak (ps. 14 UU PPh 1984). Wujud dari
norma penghitungan adalah merupakan suatu prosentase atau angka perbandingan lainnya yang dipergunakan untuk
penghitungan penghasilan neto.
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ekorini (2001), berusaha untuk memperoleh bukti secara empiris
apakah ada perbedaan besarnya pajak penghasilan yang terutang apabila dalam perhitungannya wajib pajak orang pribadi
menggunakan Norma Penghitungan atau dasar pembukuan, serta kendala apa saja yang akan dihadapi oleh wajib pajak
orang pribadi jika dalam perhitungannya wajib pajak tersebut menggunakan dasar pembukuan dan alasan wajib pajak
orang pribadi menggunakan norma penghitungan dalam membayar pajak penghasilan yang terutang. Dari penelitian
tersebut, maka dapat diperoleh pemahaman bahwa penggunaan norma penghitungan ataupun pembukuan masing-masing
mempunyai keunggulan dan kelemahan tersendiri baik bagi fiskus maupun wajib pajak itu sendiri. Dan diperoleh bukti
bahwa pajak penghasilan yang harus dibayarkan kepada pemerintah apabila menggunakan Norma Penghitungan akan
lebih besar dibandingkan dengan menggunakan pembukuan. Hal ini disebabkan prosentase besarnya norma penghitungan
ditentukan oleh pemerintah melalui Menteri Keuangan dan besarnya prosentase norma penghitungan dari tahun ke tahun
seringkali berubah-ubah dan cenderung mengalami kenaikan. Ada beberapa kendala yang dihadapi oleh wajib pajak orang
pribadi apabila mereka menggunakan dasar pembukuan dalam menentukan penghitungan pajak penghasilannya, yaitu:
tidak memahami tata cara pembukuan yang baik; jenis usaha relatif masih kecil karena dapat menggunakan dasar
pembukuan maka akan menambah pengeluaran biaya untuk tenaga kerja pembukuan; dan adanya pemikiran bahwa
pembukuan itu merepotkan dan tanpa pembukuanpun usaha masih dapat berjalan dengan baik, maka bagi mereka
penggunaan pembukuan tersebut tidak ada manfaatnya.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Heny (2003) ingin mengetahui pengaruh dari faktor jenis usaha, jumlah
peredaran bruto selama satu tahun, dan tingkat pendidikan (tahun sukses) terhadap keputusan wajib pajak orang pribadi
dalam menentukan cara perhitungan pajak penghasilan, serta mengetahui apakah ada perbedaan mengenai besarnya pajak
penghasilan yang harus dibayar oleh wajib pajak pribadi apabila pajak penghasilan tersebut dihitung menggunakan dasar
pembukuan atau norma penghitungan berdasarkan jumlah peredaran bruto selama satu tahun. Sedangkan dalam penelitian
ini peneliti akan melakukan penelitian di lokasi yang berbeda yaitu di Jakarta Utara, dengan tahun pengamatan pada tahun
2004. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dalam penelitian ini penulis memilih judul
“ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI WAJIB PAJAK TERHADAP PENENTUAN CARA
PERHITUNGAN PPH TERUTANG PADA WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DI JAKARTA UTARA”.

B. Perumusan Masalah
Pajak Penghasilan adalah pajak langsung yang dikenakan kepada badan atau orang pada tingkat penghasilan tertentu.
Semakin tinggi penghasilan rata-rata masyarakat dan industri suatu bangsa, berarti semakin tinggi harapan pemerintah
untuk memperoleh pemasukan dari sektor PPh. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan wajib pajak orang
pribadi dalam menentukan salah satu cara perhitungan pajak penghasilan neto (NPPN) serta keuntungan apa saja yang
akan diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam penggunaan salah satu cara perhitungan pajak penghasilan terutang
tersebut.
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Adakah pengaruh dari faktor jenis
usaha, jumlah peredaran bruto selama satu tahun dan tingkat pendidikan (tahun sukses) terhadap penerapan penghitungan
PPh menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) pada wajib pajak orang pribadi di Jakarta Utara”.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor jenis usaha, jumlah peredaran bruto selama
satu tahun dan tingkat pendidikan (tahun sukses) terhadap penerapan penghitungan PPhb menggunakan norma
penghitungan penghasilan neto (NPPN) pada wajib pajak orang pribadi di Jakarta Utara.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai :
1. Memberikan informasi secara empiris dan masukan kepada wajib pajak orang pribadi dalam hal penentuan cara
perhitungan pajak penghasilan berdasarkan pengaruh dari faktor-faktor seperti jenis usaha, jumlah peredaran bruto, dan
tingkat pendidikan (tahun sukses).
2. Memberikan referensi tambahan, bahan literatur dan acuan untuk penelitian lebih lanjut mengenai metode perhitungan
yang akan digunakan oleh wajib pajak orang pribadi di Jakarta Utara dalam menghitung pajak penghasilan yang terutang.

E. Batasan Penelitian
Mengingat keterbatasan waktu, fasilitas, tenaga, serta biaya yang dikeluarkan, maka dalam penelitian ini penulis hanya
terfokus untuk memilih wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau profesi di wilayah Jakarta Utara.
Sedangkan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini akan penulis batasi, yaitu pada pengaruh dari faktor jenis
usaha, jumlah peredaran bruto selama satu tahun, dan tingkat pendidikan (tahun sukses) terhadap penerapan perhitungan
PPh menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) Dalam penelitian ini, penulis juga berusaha untuk
mengetahui pendapat wajib pajak orang pribadi terhadap penggunaan norma penghitungan penghasilan neto dalam
menentukan besarnya pajak penghasilan. Hal tersebut dapat diperoleh penulis melalui data-data yang telah dikumpulkan
dari wawancara langsung terhadap responden.

Menimbang Sunset Policy

Bulan Desember ini adalah saat-saat terakhir bagi masyarakat untuk memanfaatkan kebijakan Sunset Policy. Melalui
Sunset Policy, masyarakat dan unit usaha yang memiliki penghasilan kena pajak wajib memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP). Direktorat Jenderal Pajak juga memberikan insentif kepada pemilik NPWP, yakni tidak akan diperiksa,
dan bagi masyarakat yang bepergian ke luar negeri tidak lagi diwajibkan membayar fiskal.

Melalui kebijakan Sunset Policy, Ditjen Pajak hendak meningkatkan jumlah pembayar pajak di Indonesia. "Kipi Sunset
Policy dan kebijakan perpajakan harus dilihat dengan kritis dengan menelaah latar belakangnya. Pertama, pajak saat ini
menjadi andalan penerimaan bagi negara. Sebelum tahun 2000, kontribusi pajak hanya berada pada kisaran 60 persen.
Kini pajak menjadi sumber pemasukan utama bagi anggaran pendapatan dan belanja negara. Pada APBN 2008, pajak
memberikan kontribusi 68,3 persen dari total penerimaan negara atau Rp 609,22 triliun. Pada APBN 2009, penerimaan
dan pajak akan meningkat menjadi 71,1 persen dari total penerimaan negara atau Rp 726,28 tribun.

Bila dilihat lebih detail, kontribusi terbesar disumbang oleh pajak penghasilan, baik badan maupun perorangan, yang
besarnya mencapai 50 persen dari total pendapatan pajak Karena itu, NPWP menjadi instrumen penting bagi Ditjen Pajak
untuk meningkatkan pendapatan dari pajak penghasilan. Bila semua pembayar pajak memiliki NPWP, diharapkan mereka
yang memiliki penghasilan kena pajak akan membayar pajak.

Kedua, meskipun kontribusi pajak penghasilan besar, jumlah wajib pajak resmi di Indonesia sangat sedikit. Data pada
2007 menunjukkan jumlah wajib pajak badan hanya 1,35 juta dan perorangan cuma 5,14 juta. TV ital pembayar pajak,
baik badan maupun perorangan, hanya 6,6 juta. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan total usia produktif di
Indonesia yang mencapai 170 juta. Seharusnya ada lebih banyak penduduk Indonesia yang membayar pajak sehingga,
melalui Sunset Policy, Ditjen Pajak hendak menambah jumlah pembayar pajak di Indonesia

Korupsi pajak

Walaupun pajak merupakan penyumbang terbesar pendapatan pemerintah, sesungguhnya pajak sangat rawan terhadap
korupsi. Berbagai survei persepsi Transparency International, seperu Bribery Perception Index dan Global Corruption
Barometer, menunjukkan tingginya tingkat korupsi di sektor pajak. Meskipun pada survei tahun-tahun berikutnya posisi
Pajak menurun-terutama karena posisinya "diambil alih" oleh polisi dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai institusi
terkorup-Pajak masih dianggap sebagai salah satu institusi yang rawan korupsi. Apalagi belum ada penegakan hukum di
sektor pajak seperti halnya di Bea dan Cukai.

Modus utama korupsi di sektor pajak adalah negosiasi antara pembayar pajak dan petugas pajak, sehingga uang yang
seharusnya masuk ke kas negara justru masuk ke kantong petugas pajak. Akibatnya, negara dirugikan dalam jumlah sangat
besar. Namun, Udak mudah membuktikan korupsi dalam penagihan pajak karena korupsi pajak adalah korupsi yang saling
menguntungkan. Pembayar pajak diuntungkan karena akhirnya membayar lebih kecil dari totalkewajibannya, sedangkan
petugas pajak diuntungkan karena mendapatkan uang suap.

Meskipun tidak mudah dibuktikan, rendahnya tax ratio Indonesia merupakan indikasi kuat adanya korupsi pajak. Tax ratio
adalah perbandingan pendapatan pajak yang bisa dipungut oleh pemerintah dibandingkan dengan produk domestik bruto
(PDB). Penerimaan pajak akan meningkat bila ekonomi mengalami pertumbuhan karena pertumbuhan akan meningkatkan
PDB, dan pada akhirnya juga akan meningkatkan nilai nominal pajak yang diperoleh pemerintah. Tax ratio yang rendah di
Indonesia bisa dilihat sebagai petunjuk awal tentang tingginya tingkat korupsi di pajak. Seperti pernah diungkapkan oleh
Faisal Basri dan Kwik Kian Gie, ratusan triliun rupiah uang negara lenyap karena praktek korupsi di perpajakan.

Sayangnya, kritik dari para pengamat ekonomi itu tidak mendapat respons yang memadai dan pemerintah. Dalam APBN
2009, tax ratio hanya 13,7 persen, mengalami sedikit peningkatan dibanding realisasi tahun 2004-2007 yang berada pada
kisaran 12 persen dan tahun 2000-2003 yang berada pada kisaran 11 persen. Target pada 2009 juga masih jauh dari angka
yang beberapa tahun lalu pernah diminta Presiden agar ratio meningkat menjadi 19 persen. Padahal, pada umumnya, lax
ratio negara-negara sedang berkembang bisa mencapai 15-20 persen, bahkan untuk ukuran negara maju tar ratio bisa
mencapai 30 persen (Gunadi, 2008).

Potensi korupsi di sektor pajak semakin besar karena Ditjen Pajak menolak audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan. BPK
tidak bisa melakukan audit atas pemungutan pajak sehingga penyebab rendahnya tax mho tidak bisa dikonfirmasi
Celakanya, gugatan judicial review yang diajukan oleh BPK ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Vonis MK ini semakin
memperkuat rezim ketertutupan Ditjen Pajak.

Peluang korupsi di sektor pajak juga sangat besar karena akumulasi kekuasaan pada Ditjen Pajak. Mekanisme komplain
melalui pengadilan pajak diragukan efektivitasnya karena pengadilan pajak berada di bawah Ditjen Pajak. Sangat sulit
mengharapkan pengadilan pajak bisa memberikan putusan yang adil bila kedudukannya tidak dipisahkan dan Ditjen Pajak.

Akuntabilitas pajak

Dengan akuntabilitas yang rendah dan potensi korupsi yang tinggi, penambahan jumlah NPWP justru berpeluang
meningkatkan korupsi pajak. Apalagi penambahan jumlah pemegang NPWP belum tentu akan meningkatkan pendapatan
pemerintah dengan signifikan. Kuncinya justru pada peningkatan tax ratio.

Salah satu strategi yang bisa dipergunakan adalah mengawasi dengan ketat petugas pajak serta mendorong KPK dan aparat
penegak hukum untuk mulai melakukan penegakan hukum di sektor pajak. Tentu saja dibutuhkan peran masyarakat untuk
turut mengawasi-tidak hanya penggunaan, tapi juga proses pemungutan pajaknya. Sungguh tidak adil bila masyarakat siap
diperiksa karena telah memiliki NPWP, sementara Pajak justru semakin tertutup dan tidak akuntabel. Karena itu, slogan
Ditjen Pajak harus diubah "Lunasi pajaknya, awasi penggunaannya, dan awasi juga penagihan pajaknya". Sudah saatnya
sumber utama keuangan pemerintah ditingkatkan akuntabilitasnya dan dibersihkan dari korupsi.
Ditulis oleh
J. Danang Widoyoko, wakil koordinator indonesia corruption watch

BAB I
PENDAHULUAN
 
1.1.  Latar Belakang
Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus-menerus dan berkesinambungan yang bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materil maupun spiritual. Untuk  dapat merealisasikan tujuan tersebut perlu
banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu
bangsa atau negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu mengali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa
pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama (Waluyo & Ilyas, 2003 :
4). Oleh karena itu, setiap lapisan masyarakat harus berpartisipasi aktif agar pajak benar-benar dapat digunakan untuk
kepentingan bersama.
Total penerimaan pajak selalu meningkat dari tahun ke tahun. Dari sisi Pertumbuhan penerimaan Kanwil DJP WP
Besar diketahui bahwa secara total realisasi penerimaan pada tahun 2004 mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan
yaitu sebesar 80% (Anual Report, 2004 : 9). Begitu juga pada tahun 2006, target penerimaan pajak tahun 2006 ini
meningkat sebesar 19,26% bila dibandingkan dengan penerimaan pajak tahun 2005. Namun, peningkatan ini sebenarnya
belum sesuai dengan yang diharapkan. Misalnya, pada tahun anggaran 2006 Kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak
(Kanwil DJP) Wajib Pajak Besar mempunyai tugas untuk menghimpun penerimaan pajak sebesar Rp 84.891,01 milyar.
Dari jumlah tersebut yang berhasil direalisasikan adalah sebesar Rp 75.414,59 milyar atau hanya sebesar 88,83 % dari
target yang telah ditetapkan oleh pimpinan Direktorat Jenderal Pajak (Annual Report, 2006 : 3).  Hal ini juga memicu
departemen keuangan pesimistis target penerimaan negara tahun 2007 akan tercapai, sehingga dilakukan penurunan
targetan penerimaan negara dari sektor pajak untuk tahun 2007 (Aprianto, 2007).
Adanya kesenjangan antara jumlah wajib pajak (WP) yang terdaftar dengan jumlah WP yang membayar pajak juga
masih menjadi sebuah tantangan yang harus diselesaikan. Contohnya dari total 158.000 WP di DJP Kantor Wilayah
Sumatera Selatan (Sumsel) dan Kepulauan Bangka Belitung (Babel) sepanjang bulan Januari-Juli 2007 yang telah
membayar baru berjumlah 151.834 WP. Dengan perincian 5.602 WP yang mendapat Surat Teguran, 539 WP mendapat
Surat Paksa (SP), 8 WP mendapat Surat Perintah Melakukan Penyitaan dan 16 WP yang rekeningnya diblokir dan 1 WP
yang mendapat pencegahan keluar negeri. Jumlah ini tidak hanya WP badan tetapi juga wajib pajak perorangan (Bijak,
2007 : 8). Banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi.
Menurut Mardiasmo ada dua jenis hambatan mengapa hal tersebut terjadi, yaitu hambatan yang berupa perlawanan
pasif dan perlawanan aktif. Perlawanan pasif berupa keengganan masyarakat membayar pajak yang disebabkan oleh
beberapa hal seperti perkembangan intelektual dan moral masyarakat dan sistem perpajakan yang cukup sulit dipahami
masyarakat. Sedangkan, perlawanan aktif  meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditunjukan kepada
fiskus dengan tujuan menghindari pajak (Mardiasmo, 2003 : 8-9). Banyak usaha yang telah dilakukan oleh dirjen pajak
untuk menyelesaikan atau minimal mengurangi hambatan ini, dari reformasi sistem dan pengawasan yang ada sampai
pada sosialisasi dan penyuluhan atau pemberian pemahaman kepada calon WP
(http://www.perbendaharaan.go.id/perben/modul/terkini/index.php?id=681).
Penyelesaian untuk hambatan-hambatan yang ada terhadap pemungutan pajak sesungguhnya bukan hanya
tanggung jawab atau kerja Dirjen pajak atau pemerintah saja, melainkan tanggung jawab bersama. Mahasiswa sebagai
calon WP sebenarnya dapat terlibat secara langsung untuk ikut menyelesaikan hambatan ini. Atas dasar inilah maka
penulis tertarik untuk menulis karya tulis ilmiah yang berjudul “Penerapan Direct Marketing Oleh Mahasiswa Dalam
Meningkatkan Kesadaran Wajib Pajak  Akan Pentingnya Pajak”.
1.2.  Rumusan Masalah
Dari ulasan diatas, adapun yang menjadi rumusan permasalahan tulisan ini adalah ”Bagaimana Penerapan Direct
Marketing Oleh Mahasiswa Dalam Meningkatkan Kesadaran Wajib Pajak  Akan Pentingnya Pajak?”
1.3.  Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan karya tulis ini adalah diharapkan dapat menjadi solusi
dalam upaya mengatasi hambatan yang terjadi pada pemungutan pajak.

1.4.  Manfaat Penulisan


Adapun manfaat penulisan ini adalah :
1.      Bagi pemerintah : Sebagai salah satu alternatif metode yang digunakan untuk meningkatkan kesadaran WP.
2.      Bagi Mahasiswa : Memberikan gambaran salah satu partisipasi yang dapat dilakukan oleh mahasiswa dalam
menyelesaikan pemasalahan bangsa khususnya pada hambatan pemungutan pajak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian  Pemasaran
            Pemasaran adalah sistem keseluruhan dari kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga,
mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan kepada pembeli yang ada
maupun pembeli potensial (Swatha & Sukotjo, 2002:179). Konsep pemasaran (marketing concept) adalah sebuah falsafah
bisnis yang menyatakan bahwa pemuasan kebutuhan konsumen merupakan syarat ekonomi dan sosial bagi kelangsungan
hidup perusahaan.
Direct marketing is a sub-dicipline and type of marketing.  Ada 2 hal yang membedakan direct marketing (DM)
dengan jenis pemasaran yang lain. Pertama, DM adalah sebuah usaha dalam bentuk mengirimkan pesan secara langsung
kepada konsumen tanpa campur tangan atau mengolah data terlebih dahulu. Kedua, DM selalu memiliki kefokusan pada 
pemasaran dengan karakter khusus yang sering disebut dengan istilah "call-to-action." Jenis-jenis DM yang paling sering
digunakan seperti suat langsung  atau direct mail,  telemarketing dan Pemasaran melalui email atau Email Marketing
(http://en.wikipedia.org/wiki/Direct_marketing)
 
Jadi direct marketing adalah jenis pemasaran yang dilakukan tanpa perantara dan penjual dapat langsung 
berkomunikasi dengan konsumen  (www.wikipedia.org ).
2.2. Pengertian Pajak
Pajak adalah iuran rakyat yang harus dibayarkan kepada kas negara berdasarkan undang-undang —sehingga dapat
dipaksakan— dengan tidak  mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma
hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang
merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia. Terdapat
bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :
 Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak
mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
 Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-
undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya
yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk
membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk
membiayai public investment.
 Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, pajak adalah suatu
pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib
dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan
proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Jadi, secara umum pajak dapat diartikan sebagai iuran yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak kepada negara
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan terlebih dahulu yang digunakan untuk pengeluraan – pengeluaran negara dalam
menjalankan pemerintahan.
2.3. Pembagian Pajak Menurut Golongan, Sifat Dan Pemungutannya
1. Menurut golongan
a. Pajak langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus
menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan. Contoh : Pajak Penghasilan.
b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan ke pihak lain. Contoh : Pajak
Pertambahan Nilai
2. Menurut Sifat
a. Pajak subjektif adalah pajak yang berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya,
dalam arti memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan.
b. Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan
Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai.
2. Menurut pemungut dan pengelolanya
a. Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah
tangga negara. Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan
b. Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah
tangga daerah. Contoh : Pajak reklame, pajak hiburan

2.4. Fungsi Pajak


Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan
pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk
pengeluaran pembangunan.
Berdasarkan hal di atas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
 Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk
menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat
diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja
barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah,
yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus
ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor
pajak.
 Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa
digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri
maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam
negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
 Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas
harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di
masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efesien.
 Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk
juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat.

2.5. Teori yang Mendasari Pemungutan Pajak


Menurut R. Santoso Brotodiharjo SH, dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ada beberapa teori yang
mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu:
1. Teori asuransi, menurut teori ini, negara mempunyai tugas untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya
baik keselamatan jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut diperlukan biaya
seperti layaknya dalam perjanjian asuransi deiperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini dianggap
sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori ini banyak ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan
perusahaan asuransi.
2. Teori kepentingan, menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah adanya kepentingan dari masing-masing
warga negara. Termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan
perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori ini banyak ditentang, karena pada
kenyataannya bahwa tingkat kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada
perlindungan jaminan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang yang miskin justru dibebaskan dari beban
pajak.
2.6. Hambatan Pemungutan Pajak
1. Perlawanan pasif
Masyarakat enggan membayar pajak, dapat disebabkan antara lain karena :
a.       Perkembangan intelektual dan masyarakat
b.      Sistem perpajakan yang mungkin sulit dipahami masyarakat
c.       Sistem control tidak dapat dilakukan atau dilaksankan dengan baik
2. Perlawanan aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan
tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain :
a.       Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang – undang.
b.      Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang – undang (menggelapkan
pajak).
2.7. Karakteristik Mahasiswa
Edward Shill mengkategorikan mahasiswa sebagai lapisan intelektual yang memiliki tanggung jawab sosial yang
khas. Shill menyebutkan ada lima fungsi kaum intelektual yakni mencipta dan menyebar kebudayaan tinggi, menyediakan
bagan-bagan nasional antar bangsa, membina keberdayaan bersama, mempengaruhi perubahan sosial dan memainkan
peran politik. Arbi Sanit memandang, mahasiswa cenderung terlibat dalam tiga fungsi terakhir. Sementara itu, Samuel
Huntington menyebutkan bahwa kaum intelektual di perkotaan merupakan bagian yang mendorong perubahan politik
yang disebut reformasi.
Menurut Arbi Sanit ada empat faktor pendorong bagi peningkatan peranan mahasiswa dalam kehidupan politik.
Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horison yang luas
diantara masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di
Universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang diantara angkatan muda. Ketiga,
kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik dikalangan mahasiswa. Di Universitas, mahasiswa yang berasal dari
berbagai daerah, suku, bahasa dan agama terjalin dalam kegiatan kampus sehari-hari. Keempat, mahasiswa sebagai
kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise dalam
masyarakat dengan sendirinya merupakan elit di dalam kalangan angkatan muda. Secara garis besar, menurut Sarlito
Wirawan, ada sedikitnya tiga tipologi atau karakteristik mahasiswa yaitu tipe pemimpin, aktivis, dan mahasiswa biasa.
Pertama, tipologi mahasiswa pemimpin, adalah individu mahasiswa yang mengaku pernah memprakarsai,
mengorganisasikan, dan mempergerakan aksi protes mahasiswa di perguruan tingginya. Mereka itu umumnya
memersepsikan mahasiswa sebagai kontrol sosial, moral force dan dirinya leader tomorrow. Mereka cenderung untuk
tidak lekas lulus, sebab perlu mencari pengalaman yang cukup melalui kegiatan dan organisasi kemahasiswaan.
Kedua, tipologi aktivis ialah mahasiswa yang mengaku pernah aktif turut dalam gerakan atau aksi protes
mahasiswa di kampusnya beberapa kali (lebih dari satu kali). Mereka merasa menyenangi kegiatan tersebut, untuk mencari
pengalaman dan solider dengan teman-temannya. Mahasiswa dari kelompok aktivis ini, juga cenderung tidak ingin cepat
lulus, namun tidak ingin terlalu lama. Mereka tidak terlalu mempersepsikan diri sebagai leader tomorrow namun
pengalaman hidup perlu dicari di luar studi formalnya. Sudah barang tentu jumlah mereka itu lebih banyak daripada
kelompok pemimpin.
Ketiga, tipologi mahasiswa biasa adalah kelompok mahasiswa di luar kelompok pemimpin dan aktivis yang
jumlahnya paling besar lebih dari 90%. Sesungguhnya cenderung pada hura-hura yaitu kegiatan yang dapat memberikan
kepuasan pribadi, tidak memerlukan komitmen jangka panjang dan dilakukan secara berkelompok atau bersama-sama.
Mereka ingin segera lulus, bahkan tidak sedikit mahasiswa yang tidak segan-segan dengan cara menerabas (nyontek,
membuat skripsi "Aspal" dan lain-lain) agar segera lulus. Apakah hal ini merupakan indikator kurangnya dorongan
prestatif di kalangan mahasiswa, masih perlu diteliti.
            Fakta membuktikan, dinamika kehidupan bangsa dan mahasiswa pada umumnya banyak dimotori oleh tipe
pemimpin dan aktivis ini. Meskipun secara kuantitas kecil tetapi mereka mampu menjadi pendorong dan agen utama
perubahan dan dinamika kehidupan kampus (Turmudzi, 2005). Mahasiswa tipe pemimpin dan aktivislah yang lebih
berpotensi untuk menjalankan metode direct marketing dalam upaya meningkatkan kesadaran WP.
2.8. Kondisi Psikologis Mahasiswa
            Secara psikologis, mahasiswa sedang berada pada sebuah fase transisi dari remaja akhir menuju dewasa awal. Pada
masa ini mahasiswa mengalami perubahan yang penting bagi perkembangan psikososialnya. Menurut Erikson
perkembangan psikososial pada usia seperti ini berada pada tahap identity versus identity confusion, yaitu tahap dimana
mahasiswa tengah mengalami pencarian identitas diri. Mahasiswa mengacu kepada identitas yang berupa suatu prestasi
atau penghargaan. Pada tahap ini pula, terdapat kesetiaan yang sangat tinggi terhadap komunitas yang ia ikuti, sehingga
muncul rasa bangga dan pembelaan terhadap komunitas tersebut (Erikson dalam
http://lovetoco.blogspot.com/2007/04/membentuk-komitmen-membangun-bangsa.html).
2.9. Organisasi Kemahasiswaan
Dinamika kehidupan mahasiswa tidak bisa dilepaskan dari wadah atau organisasi yang menjadi instrumen
bagaimana gagasan atau program berusaha diwujudkan, baik organisasi intra maupun ekstra kampus. Organisasi
kemahasiswaan intra perguruan tinggi merupakan wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah perluasan
wawasan dan peningkatan kecendikiawanan serta integritas kepribadian mahasiswa untuk mewujudkan tujuan pendidikan
tinggi.
Mengingat mahasiswa merupakan bagian dari civitas akademika dan sebagai generasi muda dalam tahap
pengembangan dewasa muda, maka dalam penataan organisasinya disusun berdasarkan prinsip dari, oleh, dan untuk
mahasiswa dan merupakan subsistem dari perguruan tinggi yang bersangkutan.
Pengalaman selama ini menunjukkan, perguruan tinggi yang telah berhasil membentuk organisasi kemahasiswaan
sesuai prinsip-prinsip tersebut cenderung akan diterima oleh para mahasiswa dan memperoleh partisipasi secara optimal.
Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa kegiatan kemahasiswaan di perguruan tinggi maupun antarkampus dapat
berjalan dengan lancar.
Perlu dicatat, dewasa ini kecenderungan organisasi kemahasiswaan yang bernuansa keilmuan dan profesi yang
kegiatannya antarkampus. Bahkan kadang-kadang berdimensi internasional cukup meningkat. Hal ini, jelas memerlukan
uluran tangan pimpinan perguruan tinggi, baik dalam aspek bimbingan keilmuan maupun dukungan biaya yang tidak
ringan. Keterlibatan ikatan profesi senior mereka dan dunia usaha, diharapkan dapat menunjang kegiatan ini (Isprajin
Brotowibowo, 2000).
BAB III
METODE PENULISAN
3.1. Tempat dan Waktu Penulisan
Penulisan karya tulis ini dilakukan di Indralaya pada bulan Oktober 2007.
3.2. Metode Penulisan
Metode yang digunakan pada penulisan karya tulis ini adalah metode studi pustaka atau Library Research. Metode
Studi pustaka adalah mengambil dan mengkaji teori-teori yang relevan dengan permasalahan yang dibahas pada karya
tulis ini berupa, tinjauan, sintesis atau ringkasan dan kepustakaan.
Ruang lingkup kegiatan studi pustaka pada karya tulis ini adalah mencakup kegiatan–kegiatan seperti mencari,
mempelajari dan menganalisa literatur-literatur yang relevan. Jenis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data
sekunder berupa bukti, catatan, atau laporan historis yang telah disusun dalam arsip (data dokumenter yang dipublikasikan
atau yang tidak dipublikasikan). Data sekunder dalam penulisan ini meliputi literatur dari perpustakaan, internet serta
sumber-sumber data sekunder lainnya.
3. 3 Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan dari jenis data diatas, maka dalam penelitian ini teknik pengumpulan data/ informasi yang digunakan
adalah:
1.                Studi literatur yaitu mencari data dengan membaca dan mempelajari sumber-sumber bacaan berupa buku-
buku, majalah, artikel, makalah seminar, tabloid maupun surat kabar yang dianggap relevan dengan permasalahan
yang dibahas.
2.                Intuisi subjektif, yaitu melibatkan pendapat penulis terhadap masalah yang sedang dibahas. Dalam hal ini
pembahasan masalah dan analisis permasalahan terbatas pada kemampuan penulis berdasarkan wawasan dan
pustaka yang dimiliki penulis.

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Analisis Penyelesaian Hambatan-Hambatan dalam Pemungutan Pajak
Telah banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam mnyelesaikan permasalahan – permasalahan pajak
mulai dari revisi perundang-undangan, modernisasi dan reformasi sistem dan pengawasan, education tax sampai
pemberlakuan zero tolerance kepada penjahat pajak. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini pemerintah telah
melakukan beberapa kali revisi perundang-undangan. Hal ini memperlihatkan bahwa memang harus ada penyelarasan atau
penyesuaian yang dilakukan agar peraturan mengenai perpajakan sesuai dengan kondisi yang terjadi saat ini.
Modernisasi dan reformasi pada sistem dan pengawasan perpajakan memberikan dampak kemajuan yang sangat
baik pada penerimaan pajak. Seperti yang diungkapkan oleh Herry purnomo:
“Modernisasi di kantor pajak juga berhasil mendongkrak penerimaan 23-40 persen per tahun lebih besar ketimbang
kenaikan pajak nasional 20 persen per tahun. Sedangkan di kantor Perbendaharaan negara, perubahan terlihat pada
layanan yang cepat dan bebas pungli.  Pengurusan dokumen pencairan anggaran cukup satu jam, tak lagi satu hari”
(http://www.perbendaharaan.go.id/perben/modul/terkini/index.php?id=2140 )
Modernisasi Perpajakan atau yang lebih dikenal dengan Sistem Administrasi Modern (SAM) perpajakan, meliputi
Sistem Administrasi Perpajakan, Reformasi Sistem Teknologi Informasi Perpajakan dan Reformasi Pengelolaan Sumber
Daya Manusia (Aparat Pajak) yang kesemuanya bertujuan untuk memberikan rasa puas dan pelayanan terbaik untuk para
Wajib Pajak.
Bentuk modernisasi dan reformasi yang telah dilakukan oleh dirjen pajak seperti, Single Identity Number(SIN)
dengan sistem ini, kantor pajak mampu mendeteksi kekayaan seseorang cukup dengan mengetahui nomor KTP-nya.
Bahkan, belum lama ini Dirjen Pajak telah melayani pengisian pajak dengan sistem on line yang dikenal dengan IT Filling
dengan sistem ini masyarakat wajib pajak tak perlu lagi antre untuk membayar pajak. Cukup dengan menggunakan
.komputer di kantor atau di rumah, semuanya akan beres
SIstem pelayanan lainnya yang telah dilakukan adalah adanya website, Call Center , SMS Tax, Complaint Center
dalam mempermudah komunikasi antara wajib Pajak dengan Kantor Pelayanan Pajak. Termasuk pula adanya tax
knowledge base untuk mempermudah petugas pelayanan dalam mencari peraturan perpajakan dan touched screen dan
leaflet TPT  (Tempat Pelayanan Terpadu).
            Dirjen Pajak juga berusaha untuk menanamkan pemahaman akan pentingnya pajak baik kepada calon wajib pajak
maupun wajib pajak itu sendiri. Kegiatan ini juga meliputi dialog – dialog perpajakan yang diadakan di sekolah – sekolah
dan kampus. Sebagai contoh kegiatan Tax Goes to Campus di UNPAD tahun 2006 guna memberikan pemahaman tentang
pajak kepada mahasiswa sejak dini.
            Usaha – usaha diatas sangat cocok diterapkan pada masyarakat dengan tingkat pendidikan menengah ke atas.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua wajib pajak dapat mengakses dan menerima dampak dari usaha tersebut.
Untuk itu diperlukan sebuah metode yang dapat menjangkau semua lapisan masyarakat seperti direct marketing.
4.2  Penerapan Direct Marketing oleh Mahasiswa dalam Meningkatkan Kesadaran akan Pentingnya Wajib Pajak
Direct marketing adalah salah satu metode yang dapat dijadikan alternatif dalam melakukan sosialisasi sekaligus
pemberian pemahaman kepada semua lapisan masyarakat yang termasuk wajib pajak dimana pun mereka berada.
Mahasiswa dapat mengambil peran dalam pemasaran, dengan langsung turun ke masyarakat memberikan
pengetahuan dan informasi tentang pentingnya pajak. Sehingga perlawanan pasif dari Wajib Pajak dapat diminimalisir.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa kendala dalam pemungutan pajak salah satunya adalah keengganan
masyarakat membayar pajak karena  kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pajak, misalnya untuk apa pajak dan
berapa besar pajak yang harus dibayarkan. Dengan metode direct marketing yang ditawarkan ini, mahasiswa dapat turun
langsung ke Wajib pajak dan memberikan arahan serta transfer ilmu dan pemahaman tentang pajak. Hal ini dinilai akan
lebih efektif dalam menjangkau seluruh lapisan masyarakat WP yang tersebar di seluruh Indonesia.
Ada banyak alasan mengapa mahasiswa yang menjadi pelaku DM. Edward Shill mengkategorikan mahasiswa
sebagai lapisan intelektual yang memiliki tanggung jawab sosial yang khas. Sebagai generasi penerus dan calon wajib
pajak maka mahasiswa dituntut untuk memiliki pengetahuan yang memadai tentang pajak serta menerapkannya langsung
dalam kehidupan. Mahasiswa sebagai kalangan yang sebagian besar dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat
selayaknya dapat memberikan kontribusi dalam menyelesaikan permasalahan bangsa khususnya dalam meningkatkan
kesadaran WP terhadap pentingnya pajak.
          Selain alasan diatas, mengacu pada pendapat Arbi Sanit tentang empat faktor pendorong bagi peningkatan peran
mahasiswa dalam kehidupan politik,  ada tiga hal yang menjadi alasan mengapa mahasiswa dianggap sebagai bagian dari
masyarakat yang paling tepat untuk menjadi pelaku dalam strategi ini. Ketiga hal tersebut adalah:
1. Mahasiswa merupakan kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik.
Mahasiswa memiliki horizon yang luas diantara masyarakat. Apalagi ditambah dengan waktu yang
cukup lama menduduki bangku sekolah sehingga mahasiswa  telah mengalami proses sosialisasi politik
yang terpanjang diantara angkatan muda. Kesimpulan yang bisa diambil adalah mahasiswa termasuk
kedalam kelompok masyarakat yang mempunyai dasar intelektual . Edward Shill mengatakan bahwa salah
satu fungsi kaum intelektual adalah bisa mempengaruhi perubahan sosial  sehingga keberadaan mahasiswa
sebagai pelaku dalam proses DM ini diharapkan mampu menggerakkan fungsinya sehingga bisa berperan
efektif dalam penyadaran pada masyarakat.
2. Kehidupan kampus mempunyai gaya kehidupan yang unik di kalangan mahasiswa.
Di universitas mahasiswa berasal dari daerah, suku, bahasa dan agama yang berbeda pada lingkungan
yang variatif  sehingga mahasiswa mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi dengan seluruh lapisan
masyarakat, tanpa memandang latar belakang social, suku, agama dan lain-lain. Dengan begitu, DM yang
aplikasinya harus berhadapan dengan seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali, dapat dengan mudah
dilakukan oleh mahasiswa yang memang terbiasa dengan itu.
3. Mahasisawa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur
perekonomian dan prestise dalam masyarakat dengan sendirinya elit dikalangan angkatan muda.
Jadi, secara tidak langsung mahasiswa menempati posisi yang cukup terpandang dengan elit di mata
masyarakat  sehingga ketika mahasiswa yang berbicara danmenjadi pelaku utama DM dapat cukup
didengar oleh masyarakat secara umum.
 
            Secara real ada dua program atau cara yang ditawarkan penulis dalam direct marketing ini, yaitu:
1.      Take and Give Program (T&G).
         T&G adalah program kerjasama antara institusi pendidikan (Perguruan Tinggi) dengan dirjen pajak. Bentuk program
kerjasama ini adalah Perguruan tinggi menyediakan sumber daya manusia yaitu mahasiswa sedangkan  Dirjen pajak
menganggarkan dana untuk pelaksanaannya. Teknisnya adalah DM oleh mahasiswa dimasukkan dalam kurikulum
pendidikan. Dapat dalam bentuk program Kuliah Kerja Nyata, mata kuliah umum ataupun mata kuliah pilihan.
         Program kerjasama ini adalah program yang bersifat mutualisme, semua pihak akan mendapat keuntungan.
Perguruan tinggi sebagai salah satu tempat pencetak generasi bangsa dituntut untuk dapat merealisasikan amanat undang-
undang dasar 1945. Mencerdaskan dan mendidik moral bangsa. Selain kecerdasaan intelektual yang terukur dengan indeks
prestasi, mahasiswa juga diharapkan memiliki moralitas yang baik, peduli dan cinta tanah air serta peka terhadap
perubahan yang terjadi. Dan program ini adalah salah satu usaha untuk mewujudkan atau melatih hal tersebut.
            Mahasiswa akan semakin terlatih kepekaan sosialnya karena mereka akan terjun langsung kemasyarakat dan
bertemu dengan tipe orang-orang yang beraneka ragam. Khusus untuk kalangan mahasiswa yang telah memperoleh teori
tentang pajak di bangku kuliah, program ini akan semakin memperdalam pemahaman dan memberikan pengalaman
belajar yang lebih nyata.
Keuntungan yang akan didapat oelh Dirjen Pajak adalah akan meningkatkan jumlah penerimaan pajak. Dengan alasan,
Wajib pajak telah benar-benar faham akan pentingnya pajak karena keberhasilan DM yang telah dilakukan oleh mahasiswa
sesuai dengan alasan-alasan yang telah dipaparkan diatas
2.Open Rekruitmen (OR) yang dilakukan oleh Dirjen Pajak untuk menjaring mahasiswa sebanyak-banyaknya agar mau
berkontribusi melakukan Direct Marketing dengan akomodasi dan transportasi dibiayai oleh dirjen Pajak.
 
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1.  Direct marketing yang dilakukan oleh mahasiswa ditinjau sebagai salah satu metode yang tepat.
2.  Ada dua cara yang dapat dilakukan dalam menerapkan Direct Marketing yaitu Take and Give Program dan Open
Rekruitmen.
5.2 Saran
Mahasiswa diharapkan tidak hanya memiliki kewajiban teori saja tetapi diharapkan mampu menerapkannya dalam
kehidupan sehari dalam menyelesaikan berbagai permaslahan bangsa. Dengan karekteristik dan fungsi mereka yang
mayoritas diterima masyarakat memiliki potensi yang tinggi untuk dapat memberikan pengetahuan kepada Wajib Pajak
akan pentingnya pajak. Oleh karena itu, diharapkan bagi instansi terkait agar mampu memfungsikan mahasiswa sebagai
calon wajib pajak dalam membantu menyelesaikan permasalahan khususnya dalam hal sosialisasi pajak.
Tulisan ini juga diharapkan dapat menjadi wacana awal bagi pihak universitas agar metode ini dapat dimasukkan
ke dalam kurikulum pendidikan sehingga mahasiswa tidak hanya mendapatkan teori pajak dari bangku kuliah tetapi
mahasiswa dapat langsung mempraktekkan dalam kehidupan nyata.

Anda mungkin juga menyukai