Salah satu proses administrasi pajak yang sangat berperan penting dalam pengamanan penerimaaan negara
adalah pemeriksaan pajak. Pada tahun 2003, mulai digencarkan Pemeriksaan Kriteria Seleksi walaupun
sebenarnya telah diperkenalkan sejak tahun 1999. Karakteristik khas dari jenis pemeriksaan ini adalah
peranan komputerisasi agar pemilihan wajib pajak menjadi lebih obyektif dan memenuhi rasa keadilan bagi
wajib pajak.
Penelitian ini mencoba menganalisis pelaksanaan pemeriksaan kriteria seleksi yang telah dilakukan
Direktorat Jenderal Pajak. Data yang digunakan bersumber dari literatur-literatur, peraturan pemeriksaan,
dan sumber lainnya. Kesemuanya digunakan untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan jenis pemeriksaan
ini.
Abstrak
Sebagai konsekuensi administrasi pajak yang menganut sistem self assessment, pihak pemerintah haruslah
secara sistematis menata dan menguji kepatuhan wajib pajak. Biasanya, keterbatasan personil
mengakibatkan ketidakmungkinan setiap SPT diperiksa dengan cermat, sehingga dibutuhkan sebuah
program investigasi dan pemeriksaan pajak yang terencana dengan baik. Sistem pemeriksaan kriteria
seleksi bertujuan mengefektifkan pengujian kepatuhan wajib pajak sehingga mampu menjaga penerimaan
negara serta menumbuhkan respek wajib pajak terhadap langkah pemeriksaan pajak itu sendiri. Lebih jauh
lagi, program tersebut haruslah memiliki kemampuan mencapai target rencana tahun ini, untuk tahun depan
tidak dapat ditawartawar harus dapat menentukan SPT-SPT yang akan diperiksa.
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari buku-buku, majalah-majalah, koran,
peraturan perundang-undangan dan sumber tertulis lainnya. Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh
landasan teori sebagai pemecahan masalah serta acuan terhadap fenomena atau kondisi yang terjadi.
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa jenis pemeriksaan dapat berubah tiap tahunnya Selain itu terjadi
peningkatan volume pemeriksaan yang cukup tinggi yang mengakibatkan pula pemeriksaan terus menerus
atas seorang wajib pajak. Tetapi di lain pihak, dengan diterapkannya kebijakan pemeriksaan kriteria seleksi,
target penerimaan pajak dari pemeriksaan pajak dapat tercapai walaupun tidak terjadi pada seluruh Kantor
Wilayah.
Permalink http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=81065
Dalam hal nilai pembelian tersebut tidak melebihi jumlah Rp1 juta dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah
maka atas pengadaan atau pembelian barang tersebut tidak dipotong/dipungut PPh Pasal 22. 2) Atas pembelian bukubuku
pelajaran umum,kitab suci,dan buku-buku pelajaran agama, PPN terutang dibebaskan. 3) Mengawasi agar pemenuhan
kewajiban bea meterai berkaitan dengan dokumendokumen, seperti kontrak, invoice, atau bukti pengeluaran uang
(kuitansi) dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku.
B.Kewajiban perpajakan bagi bendaharawan/pengelola dana BOS pada sekolah bukan negeri atau pesantren
salafiyahadalah: 1) Tidak mempunyai kewajiban memungut PPh Pasal 22 karena tidak termasuk sebagai pihak yang
ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22. 2) Atas pembelian buku-buku pelajaran umum,kitab suci dan buku-buku
pelajaran agama, PPN terutang dibebaskan. 3) Mengawasi agar pemenuhan kewajiban bea meterai berkaitan dengan
dokumendokumen seperti kontrak, invoice, atau bukti pengeluaran uang (kuitansi) dilaksanakan sesuai ketentuan yang
berlaku.
II. Kewajiban perpajakan yang terkait dengan penggunaan dana BOS, baik pada sekolah negeri, sekolah swasta maupun
pesantren salafiyah, dialihkan untuk membayar honor tukang bangunan atau tukang kebun yang melaksanakan kegiatan
pemeliharaan atau perawatan sekolah.
Semua bendaharawan/ penanggung jawab dana BOS di masing-masing unit penerima dana BOS harus memotong PPh
Pasal 21 dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Jika upah harian atau rata-rata upah harian yang diterima tidak melebihi
Rp110.000 dan jumlah seluruh upah yang diterima dalam bulan takwim yang bersangkutan belum melebihi Rp1, 1 juta,
maka tidak ada PPh Pasal 21 yang dipotong.
2)Jika upah harian atau rata-rata upah harian yang diterima tidak melebihi Rp110.000, namun jumlah seluruh upah yang
diterima dalam bulan takwim yang bersangkutan telah melebihi Rp1, 1 juta, maka pada saat jumlah seluruh upah telah
melebihi Rp1, 1 juta harus dipotong PPh Pasal 21 sebesar 5 persen atas jumlah bruto upah setelah dikurangi PTKP yang
sebenarnya.
3)Jika upah harian atau rata-rata upah harian yang diterima lebih dari Rp110.000 dan jumlah seluruh upah yang diterima
dalam bulan takwim yang bersangkutan belum melebihi Rp1, 1 juta maka harus dipotong PPh Pasal 21 sebesar 5 persen
dari jumlah upah harian atau rata-rata upah harian di atas Rp110 ribu.
4)Jika upah harian atau rata-rata upah harian yang diterima lebih dari Rp110 ribu dan jumlah seluruh upah yang diterima
dalam bulan takwim yang bersangkutan telah melebihi Rp1, 1 juta, maka pada saat jumlah seluruh upah telah melebihi
Rp1, 1 juta, harus dihitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong dengan menerapkan tarif 5 persen atas
jumlah bruto upah setelah dikurangi PTKP yang sebenarnya. (*)
Purwo Yuwono
Sumber : okezone
Tanggal: 09 Agustus 2008
Analisi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Waib Pajak Terhadap Penentuan Cara Perhitungan
PPH Terhutang Pada Wajib Pajak Orang Pribadi Di Jakarta Utara
Pajak merupakan salah satu sumber yang cukup penting bagi penerimaan negara guna pembiayaan pembangunan di
akhir-akhir ini. Kontribusi pajak terhadap pembangunan telah menyamai atau bahkan lebih besar dari sektor minyak dan
gas sebagai sumber dana pembangunan. Penelitian ini merupakan replikasi dari Heny (2003) yang berjudul “Analisis
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Menentukan Cara Perhitungan PPh Terutang di
Surakarta” yang dilakukan pada tahun 2003. Dalam penelitian ini obyek penelitian adalah wajib pajak orang pribadi di
Jakarta Utara.
Tujuan studi dalam penelitian ini adalah pengujian hipotesis dengan menggunakan analisis regresi linier berganda.
Penelitian ini ingin membuktikan dan menunjukkan pengaruh perhitungan pajak penghasilan sesuai Undang-undang No.
17 Tahun 2000. Dalam penelitian ini yang ingin diteliti adalah faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan penghitungan
PPh menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN).
Hasil penelitian ini adalah: (1) Hasil analisis regresi menunjukkan harga R sebesar 0,173 menunjukkan bahwa korelasi
antara perhitungan PPh dengan jenis usaha cukup kuat dan koefisien determinasi sebesar 0,030 atau angka adjusted R
square adalah 0,010, (2) Nilai R sebesar 0,537 menunjukkan korelasi antara perhitungan PPh dengan peredaran bruto
cukup kuat dan koefisien determinasi sebesar 0,289 atau angka adjusted R square adalah 0,281, (3) Hasil regresi
menunjukkan nilai R sebesar 0,310 berarti korelasi antara perhitungan PPh dengan pendidikan terakhir/tahun sukses cukup
kuat dan koefisien determinasi adalah 0,096 atau angka adjusted R square adalah 0,087, (4) Persamaan regresi: Y = 5,130
+ 0,799P.Bruto + 0,235 Pend - 0,415Home industry + 0,120 Profesi, dengan variabel jenis usaha dagang sebagai
benchmark (pembanding), (5) Hasil uji t regresi variabel dummy diperoleh nilai signifikansi sebesar (Dagang = 0,750,
Home industri = 0,098, Profesi = 0,388) lebih dari 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel dummy tidak
mempengaruhi penentuan perhitungan pajak penghasilan, (6) Hasil uji t regresi terhadap masing-masing variabel
menunjukkan variabel peredaran bruto selama satu tahun mempengaruhi penentuan perhitungan pajak penghasilan,
variabel tingkat pendidikan mempengaruhi penentuan perhitungan pajak penghasilan, (7) Hasil Uji F disimpulkan ada
pengaruh jenis usaha, jumlah peredaran bruto, dan tingkat pendidikan (tahun sukses) terhadap penentuan perhitungan
pajak penghasilan.
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa faktor peredaran bruto dan pendidikan terakhir/tahun sukses
mempengaruhi penentuan perhitungan pajak, sedangkan faktor jenis usaha tidak mempengaruhi penentuan perhitungan
pajak. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa faktor jenis usaha, pendidikan terakhir/tahun sukses dan jumlah peredaran
bruto memiliki pengaruh secara bersama-sama terhadap penentuan perhitungan pajak penghasilan wajib pajak orang
pribadi di Jakarta Utara.
BAB I
PENDAHULUAN
B. Perumusan Masalah
Pajak Penghasilan adalah pajak langsung yang dikenakan kepada badan atau orang pada tingkat penghasilan tertentu.
Semakin tinggi penghasilan rata-rata masyarakat dan industri suatu bangsa, berarti semakin tinggi harapan pemerintah
untuk memperoleh pemasukan dari sektor PPh. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan wajib pajak orang
pribadi dalam menentukan salah satu cara perhitungan pajak penghasilan neto (NPPN) serta keuntungan apa saja yang
akan diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam penggunaan salah satu cara perhitungan pajak penghasilan terutang
tersebut.
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Adakah pengaruh dari faktor jenis
usaha, jumlah peredaran bruto selama satu tahun dan tingkat pendidikan (tahun sukses) terhadap penerapan penghitungan
PPh menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) pada wajib pajak orang pribadi di Jakarta Utara”.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor jenis usaha, jumlah peredaran bruto selama
satu tahun dan tingkat pendidikan (tahun sukses) terhadap penerapan penghitungan PPhb menggunakan norma
penghitungan penghasilan neto (NPPN) pada wajib pajak orang pribadi di Jakarta Utara.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai :
1. Memberikan informasi secara empiris dan masukan kepada wajib pajak orang pribadi dalam hal penentuan cara
perhitungan pajak penghasilan berdasarkan pengaruh dari faktor-faktor seperti jenis usaha, jumlah peredaran bruto, dan
tingkat pendidikan (tahun sukses).
2. Memberikan referensi tambahan, bahan literatur dan acuan untuk penelitian lebih lanjut mengenai metode perhitungan
yang akan digunakan oleh wajib pajak orang pribadi di Jakarta Utara dalam menghitung pajak penghasilan yang terutang.
E. Batasan Penelitian
Mengingat keterbatasan waktu, fasilitas, tenaga, serta biaya yang dikeluarkan, maka dalam penelitian ini penulis hanya
terfokus untuk memilih wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau profesi di wilayah Jakarta Utara.
Sedangkan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini akan penulis batasi, yaitu pada pengaruh dari faktor jenis
usaha, jumlah peredaran bruto selama satu tahun, dan tingkat pendidikan (tahun sukses) terhadap penerapan perhitungan
PPh menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) Dalam penelitian ini, penulis juga berusaha untuk
mengetahui pendapat wajib pajak orang pribadi terhadap penggunaan norma penghitungan penghasilan neto dalam
menentukan besarnya pajak penghasilan. Hal tersebut dapat diperoleh penulis melalui data-data yang telah dikumpulkan
dari wawancara langsung terhadap responden.
Bulan Desember ini adalah saat-saat terakhir bagi masyarakat untuk memanfaatkan kebijakan Sunset Policy. Melalui
Sunset Policy, masyarakat dan unit usaha yang memiliki penghasilan kena pajak wajib memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP). Direktorat Jenderal Pajak juga memberikan insentif kepada pemilik NPWP, yakni tidak akan diperiksa,
dan bagi masyarakat yang bepergian ke luar negeri tidak lagi diwajibkan membayar fiskal.
Melalui kebijakan Sunset Policy, Ditjen Pajak hendak meningkatkan jumlah pembayar pajak di Indonesia. "Kipi Sunset
Policy dan kebijakan perpajakan harus dilihat dengan kritis dengan menelaah latar belakangnya. Pertama, pajak saat ini
menjadi andalan penerimaan bagi negara. Sebelum tahun 2000, kontribusi pajak hanya berada pada kisaran 60 persen.
Kini pajak menjadi sumber pemasukan utama bagi anggaran pendapatan dan belanja negara. Pada APBN 2008, pajak
memberikan kontribusi 68,3 persen dari total penerimaan negara atau Rp 609,22 triliun. Pada APBN 2009, penerimaan
dan pajak akan meningkat menjadi 71,1 persen dari total penerimaan negara atau Rp 726,28 tribun.
Bila dilihat lebih detail, kontribusi terbesar disumbang oleh pajak penghasilan, baik badan maupun perorangan, yang
besarnya mencapai 50 persen dari total pendapatan pajak Karena itu, NPWP menjadi instrumen penting bagi Ditjen Pajak
untuk meningkatkan pendapatan dari pajak penghasilan. Bila semua pembayar pajak memiliki NPWP, diharapkan mereka
yang memiliki penghasilan kena pajak akan membayar pajak.
Kedua, meskipun kontribusi pajak penghasilan besar, jumlah wajib pajak resmi di Indonesia sangat sedikit. Data pada
2007 menunjukkan jumlah wajib pajak badan hanya 1,35 juta dan perorangan cuma 5,14 juta. TV ital pembayar pajak,
baik badan maupun perorangan, hanya 6,6 juta. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan total usia produktif di
Indonesia yang mencapai 170 juta. Seharusnya ada lebih banyak penduduk Indonesia yang membayar pajak sehingga,
melalui Sunset Policy, Ditjen Pajak hendak menambah jumlah pembayar pajak di Indonesia
Korupsi pajak
Walaupun pajak merupakan penyumbang terbesar pendapatan pemerintah, sesungguhnya pajak sangat rawan terhadap
korupsi. Berbagai survei persepsi Transparency International, seperu Bribery Perception Index dan Global Corruption
Barometer, menunjukkan tingginya tingkat korupsi di sektor pajak. Meskipun pada survei tahun-tahun berikutnya posisi
Pajak menurun-terutama karena posisinya "diambil alih" oleh polisi dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai institusi
terkorup-Pajak masih dianggap sebagai salah satu institusi yang rawan korupsi. Apalagi belum ada penegakan hukum di
sektor pajak seperti halnya di Bea dan Cukai.
Modus utama korupsi di sektor pajak adalah negosiasi antara pembayar pajak dan petugas pajak, sehingga uang yang
seharusnya masuk ke kas negara justru masuk ke kantong petugas pajak. Akibatnya, negara dirugikan dalam jumlah sangat
besar. Namun, Udak mudah membuktikan korupsi dalam penagihan pajak karena korupsi pajak adalah korupsi yang saling
menguntungkan. Pembayar pajak diuntungkan karena akhirnya membayar lebih kecil dari totalkewajibannya, sedangkan
petugas pajak diuntungkan karena mendapatkan uang suap.
Meskipun tidak mudah dibuktikan, rendahnya tax ratio Indonesia merupakan indikasi kuat adanya korupsi pajak. Tax ratio
adalah perbandingan pendapatan pajak yang bisa dipungut oleh pemerintah dibandingkan dengan produk domestik bruto
(PDB). Penerimaan pajak akan meningkat bila ekonomi mengalami pertumbuhan karena pertumbuhan akan meningkatkan
PDB, dan pada akhirnya juga akan meningkatkan nilai nominal pajak yang diperoleh pemerintah. Tax ratio yang rendah di
Indonesia bisa dilihat sebagai petunjuk awal tentang tingginya tingkat korupsi di pajak. Seperti pernah diungkapkan oleh
Faisal Basri dan Kwik Kian Gie, ratusan triliun rupiah uang negara lenyap karena praktek korupsi di perpajakan.
Sayangnya, kritik dari para pengamat ekonomi itu tidak mendapat respons yang memadai dan pemerintah. Dalam APBN
2009, tax ratio hanya 13,7 persen, mengalami sedikit peningkatan dibanding realisasi tahun 2004-2007 yang berada pada
kisaran 12 persen dan tahun 2000-2003 yang berada pada kisaran 11 persen. Target pada 2009 juga masih jauh dari angka
yang beberapa tahun lalu pernah diminta Presiden agar ratio meningkat menjadi 19 persen. Padahal, pada umumnya, lax
ratio negara-negara sedang berkembang bisa mencapai 15-20 persen, bahkan untuk ukuran negara maju tar ratio bisa
mencapai 30 persen (Gunadi, 2008).
Potensi korupsi di sektor pajak semakin besar karena Ditjen Pajak menolak audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan. BPK
tidak bisa melakukan audit atas pemungutan pajak sehingga penyebab rendahnya tax mho tidak bisa dikonfirmasi
Celakanya, gugatan judicial review yang diajukan oleh BPK ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Vonis MK ini semakin
memperkuat rezim ketertutupan Ditjen Pajak.
Peluang korupsi di sektor pajak juga sangat besar karena akumulasi kekuasaan pada Ditjen Pajak. Mekanisme komplain
melalui pengadilan pajak diragukan efektivitasnya karena pengadilan pajak berada di bawah Ditjen Pajak. Sangat sulit
mengharapkan pengadilan pajak bisa memberikan putusan yang adil bila kedudukannya tidak dipisahkan dan Ditjen Pajak.
Akuntabilitas pajak
Dengan akuntabilitas yang rendah dan potensi korupsi yang tinggi, penambahan jumlah NPWP justru berpeluang
meningkatkan korupsi pajak. Apalagi penambahan jumlah pemegang NPWP belum tentu akan meningkatkan pendapatan
pemerintah dengan signifikan. Kuncinya justru pada peningkatan tax ratio.
Salah satu strategi yang bisa dipergunakan adalah mengawasi dengan ketat petugas pajak serta mendorong KPK dan aparat
penegak hukum untuk mulai melakukan penegakan hukum di sektor pajak. Tentu saja dibutuhkan peran masyarakat untuk
turut mengawasi-tidak hanya penggunaan, tapi juga proses pemungutan pajaknya. Sungguh tidak adil bila masyarakat siap
diperiksa karena telah memiliki NPWP, sementara Pajak justru semakin tertutup dan tidak akuntabel. Karena itu, slogan
Ditjen Pajak harus diubah "Lunasi pajaknya, awasi penggunaannya, dan awasi juga penagihan pajaknya". Sudah saatnya
sumber utama keuangan pemerintah ditingkatkan akuntabilitasnya dan dibersihkan dari korupsi.
Ditulis oleh
J. Danang Widoyoko, wakil koordinator indonesia corruption watch
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus-menerus dan berkesinambungan yang bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materil maupun spiritual. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut perlu
banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu
bangsa atau negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu mengali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa
pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama (Waluyo & Ilyas, 2003 :
4). Oleh karena itu, setiap lapisan masyarakat harus berpartisipasi aktif agar pajak benar-benar dapat digunakan untuk
kepentingan bersama.
Total penerimaan pajak selalu meningkat dari tahun ke tahun. Dari sisi Pertumbuhan penerimaan Kanwil DJP WP
Besar diketahui bahwa secara total realisasi penerimaan pada tahun 2004 mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan
yaitu sebesar 80% (Anual Report, 2004 : 9). Begitu juga pada tahun 2006, target penerimaan pajak tahun 2006 ini
meningkat sebesar 19,26% bila dibandingkan dengan penerimaan pajak tahun 2005. Namun, peningkatan ini sebenarnya
belum sesuai dengan yang diharapkan. Misalnya, pada tahun anggaran 2006 Kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak
(Kanwil DJP) Wajib Pajak Besar mempunyai tugas untuk menghimpun penerimaan pajak sebesar Rp 84.891,01 milyar.
Dari jumlah tersebut yang berhasil direalisasikan adalah sebesar Rp 75.414,59 milyar atau hanya sebesar 88,83 % dari
target yang telah ditetapkan oleh pimpinan Direktorat Jenderal Pajak (Annual Report, 2006 : 3). Hal ini juga memicu
departemen keuangan pesimistis target penerimaan negara tahun 2007 akan tercapai, sehingga dilakukan penurunan
targetan penerimaan negara dari sektor pajak untuk tahun 2007 (Aprianto, 2007).
Adanya kesenjangan antara jumlah wajib pajak (WP) yang terdaftar dengan jumlah WP yang membayar pajak juga
masih menjadi sebuah tantangan yang harus diselesaikan. Contohnya dari total 158.000 WP di DJP Kantor Wilayah
Sumatera Selatan (Sumsel) dan Kepulauan Bangka Belitung (Babel) sepanjang bulan Januari-Juli 2007 yang telah
membayar baru berjumlah 151.834 WP. Dengan perincian 5.602 WP yang mendapat Surat Teguran, 539 WP mendapat
Surat Paksa (SP), 8 WP mendapat Surat Perintah Melakukan Penyitaan dan 16 WP yang rekeningnya diblokir dan 1 WP
yang mendapat pencegahan keluar negeri. Jumlah ini tidak hanya WP badan tetapi juga wajib pajak perorangan (Bijak,
2007 : 8). Banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi.
Menurut Mardiasmo ada dua jenis hambatan mengapa hal tersebut terjadi, yaitu hambatan yang berupa perlawanan
pasif dan perlawanan aktif. Perlawanan pasif berupa keengganan masyarakat membayar pajak yang disebabkan oleh
beberapa hal seperti perkembangan intelektual dan moral masyarakat dan sistem perpajakan yang cukup sulit dipahami
masyarakat. Sedangkan, perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditunjukan kepada
fiskus dengan tujuan menghindari pajak (Mardiasmo, 2003 : 8-9). Banyak usaha yang telah dilakukan oleh dirjen pajak
untuk menyelesaikan atau minimal mengurangi hambatan ini, dari reformasi sistem dan pengawasan yang ada sampai
pada sosialisasi dan penyuluhan atau pemberian pemahaman kepada calon WP
(http://www.perbendaharaan.go.id/perben/modul/terkini/index.php?id=681).
Penyelesaian untuk hambatan-hambatan yang ada terhadap pemungutan pajak sesungguhnya bukan hanya
tanggung jawab atau kerja Dirjen pajak atau pemerintah saja, melainkan tanggung jawab bersama. Mahasiswa sebagai
calon WP sebenarnya dapat terlibat secara langsung untuk ikut menyelesaikan hambatan ini. Atas dasar inilah maka
penulis tertarik untuk menulis karya tulis ilmiah yang berjudul “Penerapan Direct Marketing Oleh Mahasiswa Dalam
Meningkatkan Kesadaran Wajib Pajak Akan Pentingnya Pajak”.
1.2. Rumusan Masalah
Dari ulasan diatas, adapun yang menjadi rumusan permasalahan tulisan ini adalah ”Bagaimana Penerapan Direct
Marketing Oleh Mahasiswa Dalam Meningkatkan Kesadaran Wajib Pajak Akan Pentingnya Pajak?”
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan karya tulis ini adalah diharapkan dapat menjadi solusi
dalam upaya mengatasi hambatan yang terjadi pada pemungutan pajak.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Analisis Penyelesaian Hambatan-Hambatan dalam Pemungutan Pajak
Telah banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam mnyelesaikan permasalahan – permasalahan pajak
mulai dari revisi perundang-undangan, modernisasi dan reformasi sistem dan pengawasan, education tax sampai
pemberlakuan zero tolerance kepada penjahat pajak. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini pemerintah telah
melakukan beberapa kali revisi perundang-undangan. Hal ini memperlihatkan bahwa memang harus ada penyelarasan atau
penyesuaian yang dilakukan agar peraturan mengenai perpajakan sesuai dengan kondisi yang terjadi saat ini.
Modernisasi dan reformasi pada sistem dan pengawasan perpajakan memberikan dampak kemajuan yang sangat
baik pada penerimaan pajak. Seperti yang diungkapkan oleh Herry purnomo:
“Modernisasi di kantor pajak juga berhasil mendongkrak penerimaan 23-40 persen per tahun lebih besar ketimbang
kenaikan pajak nasional 20 persen per tahun. Sedangkan di kantor Perbendaharaan negara, perubahan terlihat pada
layanan yang cepat dan bebas pungli. Pengurusan dokumen pencairan anggaran cukup satu jam, tak lagi satu hari”
(http://www.perbendaharaan.go.id/perben/modul/terkini/index.php?id=2140 )
Modernisasi Perpajakan atau yang lebih dikenal dengan Sistem Administrasi Modern (SAM) perpajakan, meliputi
Sistem Administrasi Perpajakan, Reformasi Sistem Teknologi Informasi Perpajakan dan Reformasi Pengelolaan Sumber
Daya Manusia (Aparat Pajak) yang kesemuanya bertujuan untuk memberikan rasa puas dan pelayanan terbaik untuk para
Wajib Pajak.
Bentuk modernisasi dan reformasi yang telah dilakukan oleh dirjen pajak seperti, Single Identity Number(SIN)
dengan sistem ini, kantor pajak mampu mendeteksi kekayaan seseorang cukup dengan mengetahui nomor KTP-nya.
Bahkan, belum lama ini Dirjen Pajak telah melayani pengisian pajak dengan sistem on line yang dikenal dengan IT Filling
dengan sistem ini masyarakat wajib pajak tak perlu lagi antre untuk membayar pajak. Cukup dengan menggunakan
.komputer di kantor atau di rumah, semuanya akan beres
SIstem pelayanan lainnya yang telah dilakukan adalah adanya website, Call Center , SMS Tax, Complaint Center
dalam mempermudah komunikasi antara wajib Pajak dengan Kantor Pelayanan Pajak. Termasuk pula adanya tax
knowledge base untuk mempermudah petugas pelayanan dalam mencari peraturan perpajakan dan touched screen dan
leaflet TPT (Tempat Pelayanan Terpadu).
Dirjen Pajak juga berusaha untuk menanamkan pemahaman akan pentingnya pajak baik kepada calon wajib pajak
maupun wajib pajak itu sendiri. Kegiatan ini juga meliputi dialog – dialog perpajakan yang diadakan di sekolah – sekolah
dan kampus. Sebagai contoh kegiatan Tax Goes to Campus di UNPAD tahun 2006 guna memberikan pemahaman tentang
pajak kepada mahasiswa sejak dini.
Usaha – usaha diatas sangat cocok diterapkan pada masyarakat dengan tingkat pendidikan menengah ke atas.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua wajib pajak dapat mengakses dan menerima dampak dari usaha tersebut.
Untuk itu diperlukan sebuah metode yang dapat menjangkau semua lapisan masyarakat seperti direct marketing.
4.2 Penerapan Direct Marketing oleh Mahasiswa dalam Meningkatkan Kesadaran akan Pentingnya Wajib Pajak
Direct marketing adalah salah satu metode yang dapat dijadikan alternatif dalam melakukan sosialisasi sekaligus
pemberian pemahaman kepada semua lapisan masyarakat yang termasuk wajib pajak dimana pun mereka berada.
Mahasiswa dapat mengambil peran dalam pemasaran, dengan langsung turun ke masyarakat memberikan
pengetahuan dan informasi tentang pentingnya pajak. Sehingga perlawanan pasif dari Wajib Pajak dapat diminimalisir.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa kendala dalam pemungutan pajak salah satunya adalah keengganan
masyarakat membayar pajak karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pajak, misalnya untuk apa pajak dan
berapa besar pajak yang harus dibayarkan. Dengan metode direct marketing yang ditawarkan ini, mahasiswa dapat turun
langsung ke Wajib pajak dan memberikan arahan serta transfer ilmu dan pemahaman tentang pajak. Hal ini dinilai akan
lebih efektif dalam menjangkau seluruh lapisan masyarakat WP yang tersebar di seluruh Indonesia.
Ada banyak alasan mengapa mahasiswa yang menjadi pelaku DM. Edward Shill mengkategorikan mahasiswa
sebagai lapisan intelektual yang memiliki tanggung jawab sosial yang khas. Sebagai generasi penerus dan calon wajib
pajak maka mahasiswa dituntut untuk memiliki pengetahuan yang memadai tentang pajak serta menerapkannya langsung
dalam kehidupan. Mahasiswa sebagai kalangan yang sebagian besar dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat
selayaknya dapat memberikan kontribusi dalam menyelesaikan permasalahan bangsa khususnya dalam meningkatkan
kesadaran WP terhadap pentingnya pajak.
Selain alasan diatas, mengacu pada pendapat Arbi Sanit tentang empat faktor pendorong bagi peningkatan peran
mahasiswa dalam kehidupan politik, ada tiga hal yang menjadi alasan mengapa mahasiswa dianggap sebagai bagian dari
masyarakat yang paling tepat untuk menjadi pelaku dalam strategi ini. Ketiga hal tersebut adalah:
1. Mahasiswa merupakan kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik.
Mahasiswa memiliki horizon yang luas diantara masyarakat. Apalagi ditambah dengan waktu yang
cukup lama menduduki bangku sekolah sehingga mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik
yang terpanjang diantara angkatan muda. Kesimpulan yang bisa diambil adalah mahasiswa termasuk
kedalam kelompok masyarakat yang mempunyai dasar intelektual . Edward Shill mengatakan bahwa salah
satu fungsi kaum intelektual adalah bisa mempengaruhi perubahan sosial sehingga keberadaan mahasiswa
sebagai pelaku dalam proses DM ini diharapkan mampu menggerakkan fungsinya sehingga bisa berperan
efektif dalam penyadaran pada masyarakat.
2. Kehidupan kampus mempunyai gaya kehidupan yang unik di kalangan mahasiswa.
Di universitas mahasiswa berasal dari daerah, suku, bahasa dan agama yang berbeda pada lingkungan
yang variatif sehingga mahasiswa mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi dengan seluruh lapisan
masyarakat, tanpa memandang latar belakang social, suku, agama dan lain-lain. Dengan begitu, DM yang
aplikasinya harus berhadapan dengan seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali, dapat dengan mudah
dilakukan oleh mahasiswa yang memang terbiasa dengan itu.
3. Mahasisawa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur
perekonomian dan prestise dalam masyarakat dengan sendirinya elit dikalangan angkatan muda.
Jadi, secara tidak langsung mahasiswa menempati posisi yang cukup terpandang dengan elit di mata
masyarakat sehingga ketika mahasiswa yang berbicara danmenjadi pelaku utama DM dapat cukup
didengar oleh masyarakat secara umum.
Secara real ada dua program atau cara yang ditawarkan penulis dalam direct marketing ini, yaitu:
1. Take and Give Program (T&G).
T&G adalah program kerjasama antara institusi pendidikan (Perguruan Tinggi) dengan dirjen pajak. Bentuk program
kerjasama ini adalah Perguruan tinggi menyediakan sumber daya manusia yaitu mahasiswa sedangkan Dirjen pajak
menganggarkan dana untuk pelaksanaannya. Teknisnya adalah DM oleh mahasiswa dimasukkan dalam kurikulum
pendidikan. Dapat dalam bentuk program Kuliah Kerja Nyata, mata kuliah umum ataupun mata kuliah pilihan.
Program kerjasama ini adalah program yang bersifat mutualisme, semua pihak akan mendapat keuntungan.
Perguruan tinggi sebagai salah satu tempat pencetak generasi bangsa dituntut untuk dapat merealisasikan amanat undang-
undang dasar 1945. Mencerdaskan dan mendidik moral bangsa. Selain kecerdasaan intelektual yang terukur dengan indeks
prestasi, mahasiswa juga diharapkan memiliki moralitas yang baik, peduli dan cinta tanah air serta peka terhadap
perubahan yang terjadi. Dan program ini adalah salah satu usaha untuk mewujudkan atau melatih hal tersebut.
Mahasiswa akan semakin terlatih kepekaan sosialnya karena mereka akan terjun langsung kemasyarakat dan
bertemu dengan tipe orang-orang yang beraneka ragam. Khusus untuk kalangan mahasiswa yang telah memperoleh teori
tentang pajak di bangku kuliah, program ini akan semakin memperdalam pemahaman dan memberikan pengalaman
belajar yang lebih nyata.
Keuntungan yang akan didapat oelh Dirjen Pajak adalah akan meningkatkan jumlah penerimaan pajak. Dengan alasan,
Wajib pajak telah benar-benar faham akan pentingnya pajak karena keberhasilan DM yang telah dilakukan oleh mahasiswa
sesuai dengan alasan-alasan yang telah dipaparkan diatas
2.Open Rekruitmen (OR) yang dilakukan oleh Dirjen Pajak untuk menjaring mahasiswa sebanyak-banyaknya agar mau
berkontribusi melakukan Direct Marketing dengan akomodasi dan transportasi dibiayai oleh dirjen Pajak.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Direct marketing yang dilakukan oleh mahasiswa ditinjau sebagai salah satu metode yang tepat.
2. Ada dua cara yang dapat dilakukan dalam menerapkan Direct Marketing yaitu Take and Give Program dan Open
Rekruitmen.
5.2 Saran
Mahasiswa diharapkan tidak hanya memiliki kewajiban teori saja tetapi diharapkan mampu menerapkannya dalam
kehidupan sehari dalam menyelesaikan berbagai permaslahan bangsa. Dengan karekteristik dan fungsi mereka yang
mayoritas diterima masyarakat memiliki potensi yang tinggi untuk dapat memberikan pengetahuan kepada Wajib Pajak
akan pentingnya pajak. Oleh karena itu, diharapkan bagi instansi terkait agar mampu memfungsikan mahasiswa sebagai
calon wajib pajak dalam membantu menyelesaikan permasalahan khususnya dalam hal sosialisasi pajak.
Tulisan ini juga diharapkan dapat menjadi wacana awal bagi pihak universitas agar metode ini dapat dimasukkan
ke dalam kurikulum pendidikan sehingga mahasiswa tidak hanya mendapatkan teori pajak dari bangku kuliah tetapi
mahasiswa dapat langsung mempraktekkan dalam kehidupan nyata.