Anda di halaman 1dari 3

1.

Analisa keuangan yang dilakukan suatu perusahaan tidak saja dilakukan terhadap satu periode
saja, tetapi diperlukan adanya analisa komparatif (comparative analysis) sehingga dapat dilihat suatu
hubungan atau kecenderungan yang bersifat signifikan. Dengan adanya kebutuhan akan analisa
komparatif, maka analisa keuangan dapat dibagi atas tiga jenis (Robert Ang, 1997:18.22), yaitu:

a. Intracompany Basis Suatu perbandingan (komparatif) dalam internal perusahaan yang berfungsi
untuk mendeteksi adanya perubahan-perubahan financial perusahaan atau kecenderungan (trend)
yang significant.

b. Intercompany Basis Suatu perbandingan dengan perusahaan lain yang memberikan suatu
pandangan terhadap posisi kompetitif perusahaan yang bersangkutan. Biasanya perusahaan yang
dijadikan basis perbandingan adalah perusahaan yang menjadi leader dalam industrinya atau
perusahaan yang berada pada industri yang sama dan besarnya sama atau perusahaan kompetitor.
10

c. Industry Averages Suatu perbandingan dengan rata-rata industri atau norma industri dari industri
yang sama dengan perusahaan yang akan dianalisa sehingga bisa memberikan informasi sejauh
mana posisi relatif perusahaan tersebut

2. a. Intracompany Basis, Perhitungan rasio keuangan suatu perusahaan akan mengacu pada laporan
keuangan utama yang diterbitkan perusahaan – lebih mengacu pada neraca, laporan laba rugi, dan
laporan arus kas. Jika hasil rasio yang didapatkan tidak memuaskan, manajemen perusahaan dapat
melakukan evaluasi dan perbaikan kinerja.

b. Intercompany basis, Analisis rasio keuangan ini menggunakan pendekatan industry dengan
melakukan perbandingan nilai rasio ROA, ROE, PER, PBV atau rasio lainnya yang ideal dengan
perusahaan lain. Contohnya analisis rasio keuangan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) dengan
membandingkannya dengan rasio keuangan perusahaan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP)
yang memiliki sektor yang sama dibidang manufaktur. Sehingga dapat dinilai secara tepat
perusahaan mana yang memiliki rasio keuangan terbaik.

c. Industry Averages, Analisis ini melakukan perbandingan rasio keuangan yang serupa selama
periode tertentu, seperti dalam 3, 5 atau 10 tahun terakhir. Sebagai contoh, investor ingin melihat
rasio profitabilitas perusahaan dengan menggunakan rasio return on asset (ROA) dan return on
equity (ROE), investor tinggal melihat berapa nilai ROA dan ROE perusahaan selama periode
tertentu, sebutlah periode tahun yaitu 2016-2020. Dari hasil analisis tersebut, investor dapat
mengambil beberapa kesimpulan dan keputusan tertentu.

https://www.invesnesia.com/rasio-keuangan#1_A
1.

1. Asas Equality (Keseimbangan atau Keadilan), Pada asas ini menyatakan bahwa dalam hal
pemungutan pajak, negara harus menyesuaikan dengan kemampuan dan juga penghasilan yang
diperoleh atau diterima dari Wajib Pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif atau seenaknya
sendiri dalam hal melakukan pemungutan pajak terhadap Wajib Pajak. Jadi, dalam asas ini
menyiratkan bahwa Wajib Pajak yang memiliki kemampuan lebih dan harta yang dimiliki juga banyak,
maka pemungutan pajak yang dibebankan kepadanya juga dengan tarif yang tinggi disesuaikan
dengan kemampuan ekonomis yang dimilikinya.

2. Asas Certainty (Kepastian Hukum), Asas ini menunjukkan bahwa semua pungutan pajak harus
didasarkan pada Undang-Undang (UU) yang berlaku, sehingga bagi pihak-pihak yang melanggar atas
pungutan pajak ini akan dikenakan sanksi hukum yang sesuai dengan Undang-Undang (UU).
Penetapan pajak harus dilakukan secara transparan sesuai dengan hukum yang berlaku, yaitu
Undang-Undang (UU).

3. Asas Convinience of Payment (Tepat Waktu), Dalam asas ini, pungutan pajak harus berdasarkan
dengan saat yang tepat bagi Wajib Pajak (saat yang paling baik). Misalnya adalah disaat wajib pajak
baru menerimakan penghasilannya atau menerima hadiah. Hal ini bertujuan agar Wajib Pajak tidak
merasa dibebani atau keberatan atas pajak yang dipungut.

4. Asas Efficiency (Efisiensi atau Ekonomis), Asas ini terkait dengan biaya pemungutan pajak yang
diusahakan untuk dapat sehemat mungkin. Asas ini menjadi patokan agar tidak terjadi biaya
pemungutan pajak yang lebih besar dari hasil pemungutan pajak. Hal ini menunjukkan bahwa dalam
pemungutan pajak harus dilakukan secara tepat dan benar agar tujuan dari pemungutan pajak ini
dapat tercapai.

2.

Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang diresmikan pada 7 Oktober 2021
memberikan beberapa perubahan terkait perpajakan di Indonesia. Salah satu perubahan yang
diresmikan dalam UU HPP adalah adanya perubahan tarif PPh Orang Pribadi atau yang biasa disebut
OP Dalam Negeri. Sebelumnya, tarif pajak yang digunakan dalam perhitungan PPh Orang Pribadi
Dalam Negeri diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan pasal 17 ayat 1.
Pada aturan tersebut terdapat empat lapisan tarif pajak. Namun pemerintah telah mengubah lapisan
tarif tersebut melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Tarif terbaru PPh
Orang Pribadi Dalam Negeri terdiri dari lima lapisan yaitu ditambahkannya lapisan tertinggi sebesar
35 persen terhadap Penghasilan Kena Pajak (PKP) di atas lima milyar per tahun. Serta diperluasnya
rentang lapisan terendah yaitu tarif pajak lima persen berlaku untuk Penghasilan Kena Pajak sampai
dengan Rp 60 juta per tahun. Perhitungan perubahan tersebut berlaku untuk tahun 2022. Perubahan
tarif PPh tersebut tidak diikuti dengan perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Aturan PTKP
tetap mengacu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016. Jadi, aturannya tetap sama
seperti sebelum adanya perubahan tarif PPh Orang Pribadi Dalam Negeri dimana apabila ada
masyarakat yang penghasilan nettonya berada di bawah PTKP maka tidak diwajibkan untuk
membayar pajak. Hal yang membedakan adalah dengan adanya perubahan tarif PPh, dapat
menurunkan pajak terutang Orang Pribadi Dalam Negeri yang penghasilannya menengah sampai
rendah. Serta meningkatkan pajak terutang Orang Pribadi yang penghasilannya tinggi yaitu di atas
lima milyar setahun. Sehingga tercapainya prinsip keadilan yang lebih kuat. Contohnya jika Orang
Pribadi berstatus belum menikah dan tidak memiliki tanggungan yang berpenghasilan netto Rp 110
juta setahun, maka pendapatannya sebesar Rp 54 juta tidak dikenakan pajak karena termasuk PTKP
Orang Pribadi. Kemudian sisanya yang Rp 56 juta akan dikenakan pajak pada lapisan pertama yaitu
lima persen. Sehingga pajak terutang orang pribadi tersebut selama setahun adalah Rp 2.800.000.

Anda mungkin juga menyukai