Anda di halaman 1dari 7

KERANGKA PENGUKURAN KINERJA DJP

Di Indonesia, implementasi pengukuran kinerja pada setktor publik tidak terlepas


dari reformasi yang terjadi pada tahun 1998. Peristiwa tersbut membawa perubahan pada
banyak bidang, termasuk mendorong pelaksanaan reformasi birokrasi. Tujuan reformasi
birokrasi adalah mewujudkan tata kelola keuangan negara yang profesional, amanah, dan
tepat arah (good governance) serta membangun kepercayaan publik melalui peningkatan
pelayanan publik. Sementara itu, untukj memastikan keberhasilan pencapaian tujuan
reformasi birokrasi dan sejalan dengan good governance itu sendiri, maka diperlukan
suatu sistem penilaian kinerja sebagai bagian dari sistem pengelolaan kinerja pada
organisasi pemerintah (Kementerian Keuangan Republik Indoneisa, 2011).
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) merupakan salah satu organisasi pemerintah yang
sangat vital bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Organisasi ini memiliki fungsi yang
penting dalam penerimaan negara. DJP memiliki tugas utama menghimpun pajak pusat
(dalam tulisan ini selanjutnya disebut sebagai pajak). Sementara pajak merupakan
sumber utama pendapatan negara. Dalam APBN 2015, penerimaan pajak berkontribusi
pada 67% pendapatan negara, atau ditargetkan sebesar Rp1.201,7 trilun rupiah
(Direktorat Jenderal Anggaran, 2014).
Dalam rangka pelaksanaan kontrol dan evaluasi atas DJP dan satuan kerja di
bawahnya dalam menjalankan tugasnya tersebut, perlu dilaksanakan suatu penilaian
kinerja. Adapun penilaian kinerja pada DJP secara mendetail akan dibahas pada bagian ini.
1. Dasar Hukum
Mengingat DJP merupakan institusi pemerintahan, pada dasarnya penilaian pada DJP
didasarkan pada ketentuan perundang-undangan. Berikut ini merupakan beberapa
peraturan yang mengatur mengenai penilaian kinerja pada DJP.
a. Instruksi Presiden 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
b. Keputusan Kepala LAN Nomor 589/1X/6/Y/99 tentang Pedoman Penyusunan
Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
c. Keputusan Lembaga Administrasi Negara Nomor 239/IX/6/8/2003 tentang
Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara
e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara
f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
g. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional
h. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004 tentang
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKAKL).
i. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan
Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP)
j. Peraturan Menteri PAN Nomor PER/09/M.PAN/5/2007 tahun 2007 tentang Pedoman
Umum Penetapan Indikator Kinerja Utama di Lingkungan Instansi Pemerintah.
k. Peraturan Menteri PAN Nomor PEW-20/M.PAN 1111/2008 tahun 2008 tentang
Penyusunan Indikator Kinerja Utama.
l. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Nomor
29 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja dan Pelaporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
m. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 249/PMK.02/2011 tentang
Pengukuran dan Evaluasi Kinerja atas Pelaksanaan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian / Lembaga

n. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 454/KMK.01/2011 tentang Pengelolaan


Kinerja Di Lingkungan Kementerian Keuangan
o. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-105/PJ/2012 Pedoman Pengelolaan Kinerja di
Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
p. Peraturan Pemerintah tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
q. Peraturan Kepala Bappenas No 5 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana strategis K/L
r. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 40 Tahun 2010 tentang Rencana strategis
Kementerian Keuangan
s. Keputusan Dirjen Pajak nomor tentang Rencana Strategis DJP Tahun 2012-2014
2. Jenis Pengukuran Kinerja pada DJP
a. Model yang Umum Digunakan
Model pengukuran kinerja ini biasa digunakan oleh ahli ekonomi atau pembuat
kebijakan baik secara informal maupun formal dalam menilai kinerja DJP.
Setidaknya terdapat beberapa jenis pengukuran ini sebagai berikut.
i. Realisasi Penerimaan Perpajakan
Yaitu jumlah penerimaan perpajakan yang dapat direalisasikan oleh DJP dalam
suatu periode. Biasanya dalam speriode triwulanan, semesteran, maupun
tahunan.
ii. Tax coverage ratio
Yaitu perbandingan antara besarnya pajak yang telah dipungut dibandingkan
dengan besarnya potensi pajak yang dapat dipungut.
iii. Presentase Realisasi perpajakan
Merupakan perbandingan antara Yaitu perbandingan antara besarnya pajak
yang telah dipungut dibandingkan dengan besarnya target penerimaan
perpajakan. Berbeda dengan pengukuran sebelumnya, karena biasanya ini
potensi pajak merupakan dasar untuk menetapkan target penerimaan
perpajakan. Sehingga potensi perpajakan tidak selalu sama dengan target
penerimaan pajak.
iv. Tax Ratio
Merupakan perbandingan penerimaan perpajakan terhadap produk domestik
bruto yang akan menunjukkan jumlah penerimaan pajak yang dipungut dari
setiap rupiah pendapatan nasional.
Keempat model tersebut menggunakan unsur penerimaan perpajakan dalam
penilaian kinerja DJP, khusunya Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Penggunaan unsur
penerimaan relefan dengan fungsi utama DJP, yaitu fungsi menghimpun
penerimaan perpajakan. Namun, penerimaan perpajakan tidak sepenuhnya
dipengaruhi oleh faktor internal DJP, tetapi juga faktor eksternal seperti kondisi
ekonomi makro, kondisi sosial Wajib Pajak, bahkan kondisi politik dalam negeri.
Sehingga, jika pengukuran kinerja ditujukan untuk menilai sejauh mana usaha
dilakukan oleh suatu organisasi dalam mencapai tujuannya, maka hal ini kurang
relevan.
Penggunaan target penerimaan perpajakan sebagai faktor pengukuran kinerja
juga dapat membiaskan penilaian. Penentuan target tersebut bersifat subjektif,
bahkan kadang bersifat politis. Menurut Idham Ismail (Ismail, 2009) penentuan
besarnya target penerimaan tiap KPP selama ini didasarkan pada data historis
penerimaan pajak tahun sebelumnya, ditambah proyeksi penerimaan Wajib Pajak
yang baru terdaftar, ditambah data historis pembayaran pajak Wajib Pajak yang
pindah dari KPP lain, dikurangi data historis pembayaran pajak Wajib Pajak yang
pindah ke KPP lain. Hasil ini kemudian ditambah dengan proyeksi kenaikan
penerimaan pajak yang diadaptasi dari asumsi makro dalam APBN seperti inflasi
dan pertumbuhan ekonomi, untuk menentukan besarnya target penerimaan pajak
tahun berjalan.
Penentuan target penerimaan seperti model di atas mempunyai kelemahan
yaitu target penerimaan belum tentu mencerminkan potensi pajak yang ada di
wilayah kerja KPP Pratama tersebut, karena tidak memperhitungkan besarnya tax

base yang dihadapi KPP Pratama tersebut. Sehingga ada kemungkinan KPP
Pratama yang realisasi penerimaan pajaknya melampaui target penerimaan terjadi
karena basis pajaknya jauh di atas target penerimaan. Sebaliknya, KPP Pratama
yang realisasi penerimaan pajaknya tidak dapat melampaui target penerimaan ,
terjadi karena basis pajaknya be rada di bawah target penerimaan.

b. Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah


Reformasi pada tahun 1998 mempengaruhi munculnya perubahan di segala
bidang, termasuk reformasi dalam pengelolaan kinerja organisasi pemerintahan.
Salah satu aturan yang mencoba merubah hal ini adalah Instruksi Presiden 7 Tahun
1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang bertujuan untuk
mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja instansi pemerintah sebagai salah satu
prasyarat untuk terciptanya pemerintah yang baik dan terpercaya. Salah satu
output dari peraturan ini adalah kewajiban organisasi untuk menyusun Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP).
Setiap unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berkewajiban
menyiapkan, menyusun dan menyampaikan laporan kinerja secara periodik dan
melembaga, sebagai pertanggungjawaban atas tingkat pencapaian tujuan dan
sasaran DJP. Pelaporan ini dimaksudkan sebagai sarana mengkomunikasikan
capaian kinerja DJP dalam satu tahun anggaran. LAKIP selanjutnya disusun dengan
memperhatikan Kontrak Kinerja, Rencana Strategis DJP, Crash Program DJP dan
RKA-KL Tahun Anggaran yang telah ditetapkan serta pedoman teknis penyusunan.
Secara umum LAKIP meliputi pengukuran kinerja organisasi dari dua aspek,
yaitu aspek kinerja serta aspek keuangan. Pengukuran kinerja tersebut digunakan
sebagai dasar untuk menilai tingkat capaian (keberhasilan/kegagalan) pelaksanaan
kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka
mewujudkan visi dan misi DJP.
Aspek kinerja berusaha menilai organisasi berdasarkan suatu indikator kinerja,
yaitu ukuran kuantitaif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian
suatu kegiatan yang telah ditetapkan. Indikator kinerja tersebut juga diperlukan
dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja dan evaluasi kinerja setiap program
sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga (RKAKL). Sedangkan aspek keuangan berusaha menilai alokasi
dan sumber pembiayaan beserta realisasi anggaran untuk membiayai program,
disertai penjelasan mengenai realisasi anggaran.
Kembali soal indikator kinerja, berdasarkan Pasal 10 Peraturan Menteri Negara
PAN Nomor: PER/09/M.PAN/5/2007 tanggal 31 mei 2007 tentang Pedoman Umum
Penetapan Indikator Kinerja Utama di Lingkungan Instansi Pemerintah, lndikator
kinerja utama digunakan instansi pemerintah untuk tujuan berikut ini.
Perencanaan jangka menengah

Perencanaan tahunan
Penyusunan dokumen penetapan kinerja
Pelaporan akuntabilitas kinerja
Evaluasi kinerja instansi pemerintah, dan
Pemantauan dan pengendalian kinerja pelaksanaan program dan kegiatankegiatan.

Terkait dengan format pelaporan LAKIP, berikut ini merupakan beberapa hal
yang harus terdapat di dalam pelaporan LAKIP yang disampaikan oleh DJP dan
instasi di bawahnya.
i. Pengantar
Pada bagian ini disajikan kata pengantar dari pimpinan unit kerja, tentang
bagaimana alur penyusunan sasaran strategis, program, kegiatan dan

ii.

iii.

iv.

v.

subkegiatan,
bagaimana
kondisi
umum
pelaksanaan
program/kegiatan/subkegiatan pada tahun yang bersangkutan serta apa
komitmen dari seluruh jajaran unit kerja dalam pencapaian sasaran.
Ikhtisar Eksekutif
Pada bagian ini disajikan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam
rencana stratejik serta sejauh mana unit kerja mencapai tujuan dan sasaran
utama tersebut, serta kendalakendala yang dihadapi dalam pencapaiannya.
Disebutkan pula langkah-langkah apa yang telah dilakukan untuk mengatasi
kendala tersebut dan langkah antisipatif untuk menanggulangi kendala yang
mungkin akan terjadi pada tahun mendatang
Pendahuluan
Pada Bagian ini dijelaskan hal-hal umum tentang unit kerja (tupoksi) serta uraian
singkat mandat apa yang dibebankan kepada unit kerja, peran strategis instansi
yang bersangkutan serta sistematika pelaporan
Rencana Strategis dan Penetapan Kinerja
Pada bagian ini disajikan gambaran singkat mengenai: Rencana Stratejik dan
Rencana Kinerja. Pada awal bab ini disajikan gambaran secara singkat sasaran
yang ingin diraih unit kerja pada tahun yang bersangkutan serta bagaimana
kaitannya dengan capaian visi dan misi DJP. Rencana Stratejik berisi Uraian
singkat tentang rencana stratejik unit kerja, mulai dari visi dan misi DJP, tujuan,
sasaran serta kebijakan dan program unit kerja. Sedangkan Penetapan Kinerja
menyajikan penjelasan mengenai Sasaran Strategis (SS), Indikator Kinerja,
realisasi tahun lalu dan target tahun yang bersangkutan
Akuntabilitas Kinerja.
Pada bagian ini disajikan beberapa hal terkait capaian Indikator Kinerja Utama
(IKU), evaluasi dan analisis atas kinerja, kinerja lainnya yang berisi
kegiatankegiatan ad hoc dan kinerja yang tidak terukur di dalam BSC, serta
akuntabilitas keuangan.
Adapun capaian IKU dijabarkan dalam suatu tabel seperti berikut ini.
Sasaran Strategis

IKU

Target

Realisasi

vi. Penutup
Mengemukakan tinjauan secara umum tentang tingkat capaian, permasalahan
dan kendala utama yang berkaitan dengan kinerja unit kerja yang bersangkutan
serta strateji pemecahan masalah yang akan dilaksanakan di tahun mendatang.
vii. Lampiran
Berisi formulir pengukuran kinerja dan dokumen lainnya yang dipandang perlu
untuk dilampirkan. Adapun format formulir pengukuran kinerja dapat berupa
tabel beikut ini.
Sasaran
Strategis

Indikator
Kinerja

Target

Realisasi

Subkegiatan

Output/
Komponen

Anggaran
Pagu

Realisasi

Jika kita memperhatikan karakteristik dari LAKIP, maka pendekatan model


pengukuran kinerja dengan sistem ini memiliki pendekatan yang lebih baik
daripada model sebelumnya. Di dalam LAKIP kinerja DJP dan satker di bawahnya
tidak hanya diukur berdasarkan penerimaan perpajakan maupun presentase
realisasinya yang memiliki beberapa kekurangan sebagaimana dijelaskan pada
bagian sebelumnya. Di dalam LAKIP juga diperhitungkan kinerja DJP berdasarkan
IKU lainnya yang terdapat di dalam Balance Score Card masing-masing unit
pelaporan seperti aspek pelayanan serta aspek pembelajaran organisasi.
Di dalam LAKIP juga digunakan sistem berjenjang untuk mengkaitkan antara visi
dengan kegiatan. Dengan demikian, antara kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan
oleh suatu organisasi akan dapat ditelusuri kaitannya dengan program unit atau
instansi yang lebih tinggi, bahkan sistem ini dapat menjamin keterkaitan antara

kegiatan yang dilaksanakan dengan pencapaian visi dan misi pemerintah. Demikian
pula dalam mengevaluasi kinerja, juga dipakai sistem berjenjang
Namun, jika kita memperhatikan format pengukuran kinerja, kita tidak
menemukan suatu pembobotan perhitungan yang pada akhirnya menghasilkan
suatu nilai tungal. Nilai tunggal tersebut berguna dalam penilaian organisasi
maupun perbandingan kinerja antar organisasi untuk keperluan insentif organisasi.
Disamping itu, sistem pembobotan juga berguna untuk mendistribusikan nilai suatu
IKU, karena pada dasarnya ukuran keberhasilan suatu IKU bisa memiliki nilai yang
lebih tinggi dibandingkan dengan IKU lainnya. Misalnya IKU yang bersifat strategis
memiliki nilai yang lebih tinggi daripada IKU yang bersifat administratif saja.
Meskipun sudah mengakomodir IKU di dalam dokumen BSC, IKU di dalam LAKIP
tidak diklasifikasikan berdasarkan perspektif di dalam BSC. IKU masih
diklasifikasikan berdasarkan sasaran strategis berdasarkan unit organisasi.
Perspektif di dalam BSC memberikan gambaran bagaimana posisi suatu IKU, baik di
dalam suatu organisasi dalam kontribusinya mendukung IKU yang menjadi tujuan
utama organisasi maupun posisinya di antara IKU yang lainnya. Ditambah dengan
ketiadaan pembobotan IKU, maka presentasi tabel pengukuran kinerja sulit
mencerminkan kinerja suatu organisasi.
Disamping itu, jika kita memperhatikan format pelaporan LAKIP, format tersebut
relatif rumit. Sehingga pembaca laporan cenderung hanya membaca ringkasan
eksekutif saja.
c. Balanced Score Card
Dengan dimulainya program reformasi birokrasi yang ditetapkan melalui
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30/KMK.01/2007 tentang Reformasi Birokrasi
Departemen Keuangan (saat ini Kementerian Keuangan) maka dimulai juga
manajemen kinerja Kemenkeu berbasis Balanced Scorecard (BSC).
Pengelolaan kinerja berbasis BSC di lingkungan Kementerian Keuangan
(Kemenkeu) didasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 12/ KMK.01/2010
tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Departemen Keuangan yang telah
diperbaharui dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 454/KMK.01/2011
tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Kementerian Keuangan. Keputusan
tersebut mengatur tentang penetapan pengelola kinerja, kontrak kinerja,
penyusunan dan perubahan peta strategi, Indikator Kinerja Utama (IKU), dan target,
serta pelaporan capaian kinerja triwulanan kepada Menteri Keuangan.
Pada dasarnya BSC Kemenkeu harus diturunkan (cascaded) ke seluruh unit
organisasi yang ada di bawahnya. BSC Kemenkeu ini disebut Kemenkeu-Wide
sedangkan setelah di-cascade ke unit organisasi di bawahnya yaitu ke eselon I
disebut Kemenkeu -One, ke eselon II disebut Kemenkeu -Two, ke eselon III disebut
Kemenkeu -Three, ke eselon IV disebut Kemenkeu -Four, dan kelevel pelaksana
disebut Kemenkeu -Five. Sehingga, setiap tujuan kinerja dari Kemenkeu akan
diturunkan kepada unti di bawahnya sampai dengan pelaksana. Di sisi lain,
pencapaian setiap unsur organisasi Kemenkeu pada akhirnya mendukung
pencapaian Kemenkeu. Dengan kata lain, konsep BSC dapat digunakan sebagai
pengukuran kinerja sekaligus perencanaan kinerja.
DJP sebagai salah satu unit eselon I di bawah Kemenkeu juga
mengimplementasikan konsep BSC ini. Adapun implementasinya menggunakan
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-105/PJ/2012 tentang Pedoman Pengelolaan
Kinerja di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
Dokumen BSC organisasi DJP terdiri dari peta strategis dan Indikator
Utama.Berikut ini merupakan peta strategis DJP pada tahun 2014 yang merupakan
hasil cascade dari peta strategis Kemenkeu Wide berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 29/KMK.01/2014 tentang Penetapan Peta Strategi dan Indikator
Utama Tingkat Kementerian dan Unit Eslon I di Lingkungan Kementeran Keuangan
Tahun 2014.

Secara lebih rinci, peta strategis tersebut dijelaskan di dalam Indikator Kinerja
Utama DJP sebagai berikut.
PERSPEK
TIF
Stakeholde
r
Pelanggan

Proses
Internal

BOBOT

PENJELASAN IKU

30%

Jumlah Penerimaan Pajak

20%

Indeks Kepuasan Pengguna Layanan

20%

Presentase Penyampaian SPT melalui e-filling


Persentase Tingkat Kepatuhan Formal WP
Presentase panggilan call center terjawab
Tingkat Kepuasan Pengguna Layanan DJP
Tingkat efektifitas penyuluhan dan humas

Pembelajar
an
dan
Pertumbuh
an

30%

Presentase WP terdaftar
Audit Coverage Ratio
Tingkat efektivitas pemeriksaan pajak
Persentase keberhasilan pelaksanaan joint audit
Persentasi hasil penyidikan yang dinyatakan lengkap
oleh Kejaksaan
Presentase pencairan piutang pajak
Indeks Kesehatan Organisasi
Presentase implementasi inisiatif transformasi
kelembagaan
Persentase penyelesaian pembangunan dan
pengembangan modul sistem informasi yg dapat
dikaitkan dengan Renstra DJP
Persentase pejabat yang telah memenuhi standar
kompetensi jabatan
Persentase penyerapan anggaran dan pencapaian
output belanja

TARGET
Rp 1.110,19
T
3,94 (skala
5)
100%
70%
81%
71 (skala
100)
71 (skala
100)
40,2%
100%
85%
72%
50%
25%
68 (skala
100)
100%
100%
81%
95%

Di dalam penyampaian laporan kinerja berdasarkan model BSC, unit organisasi


akan melakukan perhitungan Nilai Kinerja Organisasi (NKO) dengan tabel berikut ini.

Dalam perhitungan tersebut, setiap IKU akan memiliki bobot yang berbeda,
demikian pula setiap perspektif sesuai dengan ketentuan yang disepakati
sebelumnya. Pelaporan dilaksanakan setiap triwulanan untuk mengantisipasi
adanya perubahan target akibat perubahan asumsi penyusunan kontrak kinerja di
dalam BSC.
Jika kita membandingkan model BSC ini dengan LAKIP, maka model ini memiliki
beberapa kelebihan sebagai berikut.
i.
Tampilan laporan yanglebih sederhana dan lebih mudah dipahami oleh
pembaca laporan.
ii.
Adanya aspek pembobotan dalam penilaian IKU
iii.
Adanya Nilai Kinerja Organisasi yang dapat digunakan sebagai acuan penilaian
kinerja organisasi secara keseluruhan serta dasar pemberian insentif
organisasi.

Anda mungkin juga menyukai