Anda di halaman 1dari 54

PENGARUH JUMLAH WAJIB PAJAK, PEMERIKSAAN PAJAK, PENAGIHAN

PAJAK DAN KEGIATAN SOSIALISASI PERPAJAKAN TERHADAP

PENERIMAAN PAJAK DI KANTOR PELAYANAN PAJAK (KPP)

Oleh:

Nama: Ivena Vallerie Susan

NIM: 31170245

Skripsi di ajukan sebagai salah satu syarat untuk

Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

Program Studi Akuntansi

Konsentrasi Perpajakan

INSTITUT BISNIS dan INFORMATIKA KWIK KIAN GIE

JAKARTA

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan

karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul

“Pengaruh jumlah wajib pajak, pemeriksaan pajak, penagihan pajak dan jumlah sosialisasi

terhadap efektivitas penerimaan pajak” Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada jurusan akuntansi konsentrasi

perpajakan Kwik Kian Gie School Of Bussines

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan bimbingan, arahan,

bantuan dan dukunngan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis

mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada:


BAB I

Alenia Pengantar:

Penulis di dalam bab I ini akan membahas tentang latar belakang masalah mengenai

fenomena-fenomena penerimaan pajak di kantor pelayanan pajak yang berhubungan

dengan jumlah wajib pajak, pemeriksaan pajak penerimaan pajak dan sosialisasi

perpajakan

Dari berita dan fenomena di atas, penulis menyimpulkan dan meneliti penelitian

sebelum nya dan pada akhirnya peneliti dapat mengidentifikasi masalah, memberikan

Batasan masalah, Batasan penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan juga

manfaat penelitian.

A. Latar Belakang Masalah

Pengeluaran tahunan Indonesia sangat besar dan membutuhkan modal Biaya

ini cukup untuk menutupi biaya-biaya ini. Pengeluaran digunakan Menangani segala

macam hal, termasuk pembangunan infrastruktur dan pengeluaran untuk kepentingan

umum Personil, belanja komoditas, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi,

belanja hibah, Bantuan sosial dan belanja lainnya.

Di sisi lain, pemerintah juga membutuhkan penerimaan untuk menutupi

seluruh pengeluaran negara setiap tahunnya. Penerimaan negara tersebut diperoleh

dari berbagai sektor, yaitu dari penerimaan dalam negeri dan hibah. Penerimaan

dalam negeri terdiri dari penerimaan dari sektor pajak dan penerimaan dari sektor

bukan pajak. Sedangkan penerimaan dari sektor bukan pajak terdiri dari penerimaan

sumber daya alam, bagian laba Badan Usaha Milik Negara, dan penerimaan bukan

pajak lainnya.
Salah satu pendapatan terpenting negara adalah departemen perpajakan. Ini

Jelasnya, pendapatan departemen perpajakan terus meningkat dari tahun ke tahun.

Pada saat yang sama, pendapatan dari sektor migas dulu menjadi sumber pendapatan

utama Negara, sekarang tidak bisa diharapkan sebagai sumber pendapatan fiskal

Keadaan kontinu. Karena sumber minyak dan gas alam tidak terbarukan, Tidak bisa

update, suatu saat nanti minyak dan gas akan habis. Pada saat yang sama, departemen

pajak dapat memperbarui sesuai dengan perkembangan ekonomi kapan saja dan dari

masyarakat itu sendiri.

Penerimaan perpajakan merupakan penerimaan yang terdiri dari pajak dalam

negeri dan pajak perdagangan internasional. Sumber untuk membiayai pengeluaran-

pengeluaran negara salah satunya ialah dari penerimaan pajak. Pada di masa

mendatang penerimaan pajak di harapkan akan semakin meningkat supaya dapat

tercapai kemandirian dalam pembiayaan negara.

Komponen perpajakan ini merupakan penyumbang yang paling besar dalam

pendapatan negara. Yang pada tahun ini masih mengalami kontraksi, penerimaan

perpajakan tumbuh cenderung negative dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang

diketahui mengalami perlambatan di sebabkan oleh kegiatan ekonomi yang cenderung

memang melambat dan pemanfaatan insentif fiscal. Ini di sampaikan oleh Menkeu,

Sri Mulyani Indrawati pada konfersi pers: APBN Kinerja dan Fakta secara virtual

pada selasa (22/9).

Dikutip dari penjelasan Menkeu bahwa penerimaan pajak sampai agustus

2020 Rp. 676,9 triliun atau 56,5% dari target penerimaan pajak tahun ini yang di

dasarkan dari Perpres 72 Th. 2020, dapat di simpulkan penerimaan pajak sampai ke

akhir agustus adalah konraksi sebesar 15,6%


Ia melanjutkan bahwa penurunan tersebut sangat tajam terjadi di penerimaan

pajak penghasilan dari Minyak dan Gas atau PPH Migas yang bisa dilihat mengalami

kontraksi yang cukup dalam yaitu 45,2% jika di bandingkan dengan agustus di tahun

lalu yang hanya sebesar Rp. 39,5 triliun.

Penerimaan pajak Non-Migas juga mengalami kontraksi sebesar 14,1% jika di

bandingkan dengan tahun 2019 lalu. Penerimaan pajak Non-Migas mencapai Rp.

655,3 triliun sampai dengan agustus ini. Angka tersebut di dapat berdasarkan

komposisi yang di sampaikan Mentri Keuangan, di antaranya ada PPH non-Migas

sebesar Rp.386,2triliun, PPN sebesar Rp. 255,4 triliun, PBB sebesar Rp. 9,7 triliun

dan pajak lain-lain nya yang sebesar Rp. 4 triliun.

Sementara itu, dilihat dari oenerimaan di Kapabean dan cukai hingga akhir

agustus 2020, mampu mencatatkan pertumbuhan sebesar 1,8%. Penerimaan cukai

mengalami pertumbuhan positif sebesar 4,9% dengan total penerimaan Rp. 97,7

triliun, sementara dengan pajak perdagangan internasional mengalami kemunduran

9,3% dengan penerimaan Rp. 23,5 triliun.

Dilihat dari sektor usaha pun Menkeu menjelaskan bahwa semua usaha tanpa

terkecuali mengalami kemunduran atau negative growth dari tahun ke tahun.

Dikarenakan kondisi pandemic covid-19, PSBB pun di terapkan dan menekan

aktvitas usaha, yang menjadi penyebab utama nya kontraksi penerimaan. Selain itu

juga, insentif fiscal untuk covid-19 yang mulai di manfaatkan dari April lalu juga

menambahkan tekanan penerimaan.

Dari sector industry khususnya pengelolahan pun mengalami kontraksi sebesar

16%, penerimaan sector perdagangankontraksi 16,3%, dari sector keuangan dan

asuransi mengalami pertumbuhan minus sebesar 5,5%, dari industry real estate
mengalami mnus 15,1%, sektor pengembangan -35,7% serta dari sector transportasi

dan Gudang -10,4%

Banyak factor yang berpengaruh terhadap penerimaan pajak terutama di KPP,

beberapa dari nya adalah jumlah wajib pajak, pemeriksaan pajak, penagihan pajak dan

kegiatan sosialisasi perpajakan.

Pengaruh jumlah wajib pajak sangatlah penting tidak hanya untuk

kesejahteraan negara tapi berimbas besar untuk kesejahteraan rakyat juga. Penerimaan

pajak yang di bayarkan dari masyarakat menjadi sumber utama dalam APBN. Hasil

dari pembayaran pajak masyarakat digunakan untuk pembangunan negara yang dari

hasil pembangunan tersebut dapat di nikmati Kembali oleh masyarakat. Untuk

kesejahteraan warga negara, pendapatan negara bersifat rutin. Maka dari itu sangat

pentinglah peranan pajak bagi negara. Semakin besar jumlah wajib pajak yang

membayar pajak, maka semakin besar juga APBN negara yang dapat di gunakan lebih

efisien lagi untuk membangun negara yang lebih berfasilitas dan baik.

Menurut penelitian dari (Indraswono, 2017), pengujian pada penelitian nya

terdukung, yaitu yaitu penerimaan pajak berpengaruh positif terhadap jumlah wajib

pajak. Ia menyimpulkan bahwa penerimaan pajak berpengaruh positif terhadap

jumlah wajib pajak dengan koefisien regresi menunjukkan arah positif yang berarti

semakin banyak jumlah wajib pajak, maka akan semakin banyak juga penerimaan

pajak. Sedangkan menurut penelitian (Hanif et al., 2015) membuktikan bahwa jumlah

wajib pajak yang terdaftar tidaklah berpengaruh terhadap penerimaan pajak., hal ini

selaras dengan penelitian sebelum nya yang di kutip dari penelitian (Hanif et al.,

2015) milik Herawati dan Rifa yang di dalam penelitian nya tidak terdapat pengaruh

signifikan antara jumlah wajib pajak dengan penerimaan pajak. Tetapi sedangkan
penelitian dari (W & Saputra, 2009) yang terdaftar berpengaruh terhadap penerimaa

pajak penghasilan.

Menurut (Haryani et al., 2015) peran dari penerimaan pajak sangatlah penting

untuk kemandirian dari pembangunan negara, dikarenakan itu merupakan salah satu

sumber penerimaan yang di terima negara dari dalam negeri dan yang paling utama

selain dari gas bumi dan minyak yang di gunakan untuk APBN. Dari sisi ekonomi,

penerimaan negara yang paling berpotensial adalah dari penerimaan sector pajak, dari

penerimaan sector pajak tersebut pemerintah dapat membiayai sarana-sarana dan

prasarana public di semua sektor kehidupan bermasyarakat yang seperti layanan

komunikasi, air, listrik dan sosial. Berbagai fasilitas lain nya juga di tunjukan untuk

membutuhi pembangunan. Definisi penerimaan pajak yang di kemukakan oleh

(suryadi, 2006) menyebutkan bahwa, “penerimaan pajak merupakan sumber

pembiayaan negara yang dominan baik untuk belanja rutin maupun pembangunan”

Menurut penelitian yang di buat oleh (Herryanto & Toly, 2013) menyimpulkan

dari penelitian mereka bahwa pemeriksaan pajak secara parsial berpengaruh

signifikan terhadap penerimaan pajak di KPP Pratama Surabaya, hamper mirip

dengan penelitian yang di buat oleh (Ratna Sari & Afriyanti, 2012) yang menghasilkan

kesimpulan wajib pajak dan pemeriksaan pajak yang di lakukan secara simultan

berpengaruh signifikan dalam penerimaan pajak. Sedangkan menurut penelitian dari

(Rahman, 2018) menunjukan bahwa variabel pemeriksaan pajak tidak berpengaruh

signifikan terhadap penerimaan pajak pada KPP Pratama di Makasar Utara.

Dari penelitian yang di teliti oleh (Wahdi et al., 2019) penagihan pajak di

definisikan sebagai Tindakan menagih supaya penanggung pajak dapat melunasi

hutang pajak dengan mengingatkan ataupun menegur, memberi surat paksa,

melaksanakan penagihan sekaligus dan seketika, melaksakan penyitaan, mengusulkan


pencegahan, melakukan penyanderaan harta dan juga menjual barang yang disita yang

biasanya di lakukan di pelelangan, terkecuali untuk asset-aset terntentu yang berupa

surat-surat berharga, modal-modal pada perusahaan lain, dan piutang.

Menurut penelitian dari (Wahdi et al., 2019) hasil nya menunjukan bahwa

penagihan pajak di KPP Pratama Semarang Tengah dengan berbagai cara yang layak

dan bisa di lakukan seperti surat teguran dan penyitaan, surat teguran, surat paksa

tidaklah efektif. Sedangkan dilihat dari penelitian (Meiliawati, 2013) penagihan pajak

di KPP Kosambi berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak, variable

pemeriksaan dan penagihan pajak yang secara bersamaan juga dibuktikan

berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak.

Kegiatan sosialisasi perpajakan perlu untuk di lakukan dalam penyuluhan

pajak yang berupa seperti program ekstensifikasi yang terus menerus di lakukan oleh

Direktorat Jendral pajak. Dalam rangka mencapai tujuan agar masyarakat mengerti

dan mematuhi pajak , maka kegiatan sosialisasi penyuluhan tentang pajak dibagi ke

dalam tiga focus yaitu kegiatan sosialisasi bagi wajib pajak baru, kegiatan sosialisasi

untuk calon wajib pajak, dan kegiatan sosialisasi untuk wajib pajak yang sudah

terdaftar. Dilakukan hal tersebut bertujuan agar masyarakat dapat mengerti tentang

pentingnya pajak dan juga menjaring wabij pajak baru. Kegiatan sosialisasi bagi wajib

pajak baru di tujukan agar dapat meningkatkan kepatuhan dan pemahaman dalam

memenuhi wajib perpajakan nya.

Penelitian yang dilakukan oleh (Herryanto & Toly, 2013) disimpulkan bahwa

kegiatan sosialisasi perpajakan tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan

Pajak Penghasilan di KPP Pratama Surabaya Sawahan, sedangkan menurut (Y.N, 2013)

sosialisasi perpajakan berpengaruh terhadap penerimaan pajak. Penelitian (Herryanto

& Toly, 2013) menyimpulkan bahwa pemeriksaan pajak secara parsial berpengaruh
signifikan terhadap penerimaan Pajak Penghasilan di KPP Pratama Surabaya

Sawahan.

Berdasarkan fenomena, penelitian pro dan kontra dan juga latar belakang di

atas, maka penulis melakukan memutuskan untuk menulis penelitian dengan judul

“Pengaruh Jumlah Wajib Pajak, Pemeriksaan Pajak, Penagihan Pajak dan

Kegiatan Sosialisasi Perpajakan Terhadap Penerimaan Pajak di KPP”

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang di atas maka dapat di identifikasikan beberapa masalah

yang diangkat untuk dibahas lebih lanjut. Masalah-masalah tersebut antara lain:

1. Apakah jumlah wajib pajak pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak?

2. Apakah pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak?

3. Apakah penagihan pajak berpengaruh terhadap pemeriksaan pajak?

4. Apakah kegiatan sosialisasi perpajakan berpengaruh terhadap pemeriksaan pajak?

5. Apakah Self-Assesment system sudah berjalan dengan efektif

6. Apakah kesadaran wajib pajak mempengaruhi penerimaan pajak?

7. Kendala apa saja yang di alami KPP dalam melakukan penagihan pajak?

8. Hal apa saja yang menyebabkan penagihan pajak?

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas, maka untuk

memperjelas permasalahan, penulis hanya membatasinya pada:

1. Apakah jumlah wajib pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak?

2. Apakah pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak?


3. Apakah penagihan pajak berpengaruh terhadap pemeriksaan pajak?

4. Apakah kegiatan sosialisasi perpajakan berpengaruh terhadap pemeriksaan pajak?

D. Batasan Penelitian

Penulis membatasi

Berdasarkan batasan masalah di atas, penulis membatasi penelitian yang akan

dilakukan sebagai berikut:

1. Berdasarkan aspek waktu, penelitian dilakukan pada tahun 2018 sampai 2020

2. Berdasarkan aspek objek, pengamatan pada Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan

Pajak Cakung II

3. Penelitian ini menggunakan data yang di peroleh langsung dari Kantor Pelayanan

Pajak Cakung II periode 2018-2020

E. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah diatas, maka penulis merumuskan

masalahnya menjadi:

“Apakah Jumlah Wajib Pajak, Pemeriksaan Pajak, Penagihan Pajak dan Kegiatan

Sosialisasi Perpajakan Berpengaruh Terhadap Penerimaan Pajak di Kantor Pelayanan

Pajak”

F. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin di capai pada penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah jumlah wajib pajak berpengaruh

terhadap penerimaan pajak


2. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah penagihan pajak berpengaruh

terhadap penerimaan pajak.

G. Manfaat Penelitian

1. Bagi Akademik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis untuk menambah

pengetahuan dan wawasan mengenai pengaruh jumlah wajib pajak dan penagihan

pajak terhadap penerimaan pajak.

2. Bagi Wajib Pajak

Hasil penelitian ini di harapkan dapat di gunakan sebagai informasi dan

pengetahuan mengenai pengaruh jumlah wajib pajak dan penagihan pajak

terhadap penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak

3. Bagi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cakung Dua

4. Hasil penelitian yang dilakukan dapat bermanfaat atau menjadi tambahan

informasi bagi kantor pelayanan pajak Pratama Cakung Dua untuk mengatasi

kelemahan-kelemahan dalam hubungan nya dengan pemeriksaan dan penagihan

pajak, sehingga ini dapat dilaksanakan dengan baik dapat membantu

meningkatkan penerimaan pajak


BAB II

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

A. Tinjauan Pustaka

1. Perpajakan

a. Definisi Pajak

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomer 16 tahun 2009, Definisi pajak berbunyi

sebagai berikut:

“kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat

memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung

dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Secara ringkas, Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang berasal dari

iuran rakyat kepada kas Negara. Pemungutan pajak ini berdasarkan undang-undang yang

dapat dilaksanakan tanpa menerima imbalan jasa yang dapat langsung ditampilkan dan

digunakan untuk membayar biaya umum dan pembangunan fasilitas umum yang disepakati

(berlawanan dengan prestasi). Perpajakan saat ini merupakan salah satu sumber pendapatan
terbesar bagi pembangunan nasional untuk mencapai kesejahteraan rakyat.

Pengertian pajak menurut (Waluyo, 2019) adalah iuran kepada negara (yang dapat di

paksakan) yang terutang oleh yang wajib membayar menurut peraturan-peraturan dengan

tidak mendapat prestasi-kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang tujuannya adalah

untuk menyediakan dana bagi pengeluaran umum yang berkaitan dengan tugas negara yang

menyelenggarakan pemerintahan.

Tapi dalam definisi di atas lebih memfokuskan pada fungsi buudgeter dari pajak, sedangakn

pajak masih mempunyai fungsi lain nya yaitu fungsi mengatur. Menurut (Waluyo, 2019)

apabila memperhatikan coraknya, dalam memberikan batasan pengertian pajak dapat di

bedakan dari berbagai macamragam nya, yaitu dari segi ekonomi, segi hukum, segi sosilogi

dan sebagainya. Hal ini juga akan mewarnai titik berat yang diletakan nya, sebagai contoh:

segi penghasilan dan segi daya beli, namun kebanyakan lebih bercorak kepada ekonomi

Beberapa kutipan pajak menurut parah ahli lain nya sebagai berikut.

(1) Menurut (Seligman, n.d.) dalam buku Essay In Taxtation yang di terbitkan di

amerika menyatakan pengertian pajak berbunyi “Tax is compulsary contribution

from the person, to the goverment to depray the expenses incurred in the common

interest of all, without reference to special benefit conferred”. Dari definisi di atas

terlihat adanya kontribusi seseorang yang di tunjukan kepada negara tanpa adanya

manfaat yangditunjukan secara khusus pada seseorang. Memang demikian halnya


bahwa bagaimanapun juga pajak itu ditunjukan manfaat nya kepada masyarakat.

(2) Menurut pandangan (Taylor, 1950) dalam buku The Economics of Public Finance

memberikan batasan pajak seperti yang di sebutkan di atas hanya menggantikan

without reference dengan little reference

(3) Pengertian pajak menurut (Feldmann, 1949) dalam buku De Over Heidsmiddelen

Van Indonesia (Terjemahan): Pajak adalah suatu prestasi yang dipaksakan secara

sepihak oleh dan terutang kepada pengusaha (menurut norma yang berlaku

umum), tanpa ada kontra prestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutupi

pengeluaran umum.

(4) Pengertian pajak menurut Dr. Soeparman S dalam disertasinya yang berjudul

“Pajak Berdasarka Asas Gotong Royong” menyatakan: “Pajak adalah iuran wajib

berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma

hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalan

mencapai kesejahteraan umum”. Dari definisi di atas tidak tampak istilah

“dipaksakan” karena bertitik tolak pada istilah “iuran wajib”. Sisi lainnya yang

berhubungan dengan kontraprestasi menekankan pada mewujudkan kontraprestasi

itu diperlukan pajak.

(5) Prof Dr. (Soemitro, 1965). dalam buku nya Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak

Pendapatan menyatakan: “Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan

undang-undang (yang dapat dipaksakan) tanpa menerima jasa timbal balik (kontra
prestasi). Dapat langsung ditampilkan dan digunakan untuk membayar

pengeluaran umum ”

Dari pengertian-pengertian tersebut, (Waluyo, 2019) menyimpulkan bahwa ciri-ciri yang

melekat pada pengertian pajak adalah sebagai berikut.

(1) Pajak dipungut menurut undang-undang dan anggaran pelaksanaannya yg sifatnya

bisa di paksakan.

(2) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individual

oleh pemerintah.

(3) Pajak dipungut negara baik pemerintah sentral juga pemerintah daerah.

(4) Pajak diperintukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Yang bila dari

pemasukan nya, masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai punlic

investment.

(5) Pajak juga mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur.

b. Tinjauan pajak dari berbagai aspek

Masalah perpajakan tidaklah sederhana hanya sekedar menyerahkan sebagian

penghasilan atau kekayaan seseorang kepada negara, tetapicoraknya terlihat bermacam-

macam bergantung kepada pendekatan nya. Dalam hal seperti inilah pajak dapat didekati atau

pun ditinjau dari berbagai aspek.


(1) Aspek Ekonomi

Dari sudut pandang ekonomi, pajak adalah penerimaan negara yg dipakai buat

mengarahkan kehidupan rakyat menuju kesejahteraan. Pajak sebagai motor penggera

kkehidupan ekonomi masyarakat. Meskipun kehidupan ekonomi sebagian besar

dijalankan dengan mengandalkanmekanisme pasar bebas, mekanisme tersebut tidak

akan berjalan apabila tidak ada pemerintah. Agar dapat menjalankan pemerintahan

yang mampu menggerakkan secara efektif mekanisme pasar bebas, pemerintah

memerlukan pajak dari masyarakat. Pemerintah memberikan pelayanan yang

merupakan suatu kepentingan umum (public utilities) untuk kepuasan bersama,

sehingga pajak yang mengalir dari masyarakat akhirnya kembali lagi untuk

masyarakat.

Hal ini berkaitan erat dengan kebijakan ekonomi yang mengarah ke dukungan

pemenuhan kenaikan pendapatan masyarakat melalui distribusi pendapatan. Didalam

negara yang menganut ekonomi bebas seperti negara kita, semua orang pasti ingin

dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan atau keinginan mereka, cukup makan,

tersedianya perumahan yang memadai, pelayanan kesehatan yang baik, fasilitas

pendidikan yang cukup, dan sebagainya. semua dapat dicapai jika pemerintah dapat

menyediakan prasarana-prasarana untuk menunjang pembangunan ekonomi.

Prasarana yang di sebutkan dapat berupa jalan, jembatan, pelabuhan, air, listrik, dan

lain sebagainya. Jika prasarana ekonomi kurang memadai, otomatis perekonomian


tidak dapat berkembang. Prasarana ekonomi tersebut erat kaitannya dengan

pertumbuhan ekonomi. Tanpa adanya pertumbuhan ekonomi, negara tidak akan

mampu meningkatkan kesejahteraan warganya. Demikian pula, tanpa jarak serta

tanpa kesadaran membayar pajak, pemerintah tidak dapat meningkatkan prasarana

ekonominya. Maka dikarenakan hal tersebut, diperlukan usaha untuk mengerahkan

dana investasi yang bersumber dari tabungan masyarakat, tabungan pemerintah, serta

penerimaan devisa yang berasal dari ekspor dan jasa.

Pengerahan dana investasi tersebut harus ditingkatkan secepat mungkin,

sehingga bantuan dari luar negeri semakin berkurang. Perlu diperhatikan dalam

beberapa tahun anggaran. Pemerintah selalu mengalami defisit anggaran, hal ini perlu

disampaikan kepada pembayar pajak bahwa ekonomi nasional tidak selalu baik.

Untuk melindungi sesuatu yang lebih penting, sering kali pemerintah harus

melaksanakan kebijakan yang seolah-olah bertentangan (counter productive) dengan

dunia usaha sebagai contoh untuk menurunkan inflasi, pemerintah melakukan

kontraksi moneter atau dapat disebut sebagai kebijakan uang ketat, agar tingkat

bunga perbankan naik. Keadaan seperti yang di sebutkan tidak dapat dijadikan dalih

ataupun alasan bagi Wajib Pajak untuk melalaikan kewajibannya.

(2) Aspek Hukum

Hukum Pajak di Indonesia mempunyai hierarki yang jelas dengan urutan,

yaitu Undang Undang Dasar 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,


Keputusan Presiden, dan sebagainya. Hierarki tersebut dijalankan dengan ketat,

peraturan yang tingkatannya lebih rendah tidak diperbolehkan bertentangan dengan

peraturan yang tingkat nya lebih tinggi. Pajak merupakan masalah keuangan negara.

Dasar-Dasar yang digunakan pemerintah yang di peruntukan mengatur masalah

keuangan negara yaitu Pasal 23A Amandemen UUD 1945 (pajak dan pungutan lain

yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang).

Meskipun UUD 1945 (sebelum amandemen) sudah berlaku sejak negara merdeka

(diganti antara tahun 1950 sampai 1959, kemudian diberlakukan kembali dengan

Dekrit Presiden tahun 1959).

Undang-undang pajak di Indonesia masih menggunakan undang-undang

zaman kolonial Belanda sampai pembaruan perpajakan selesai tahun 1983. Undang-

undang kolonial pada saat itu adalah Aturan Bea Meterai 1932, Ordonansi Pajak

Perseroan 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan 1932, dan Ordonansi Pajak Pendapatan

1944. Didalam rangka reformasi perpajakan nasional Indonesia, pemerintah bersama

dengan DPR berhasil melahirkan undang-undang perpajakan yang baru, yaitu

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan, UUD No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, UUD No 8 Tahun

1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, Undang-

Undang Nomor 13 mengenai Bea Meterai. Dalam undang-undang di atas terdapat


pula aspek hukum dengan mencantumkan sanksi-sanksi hukum apabila Wajib Pajak

lalai atau sengaja tidak menunaikan kewajibannya membayar pajak Selanjutnya

dilakukan pembaruan kembali pada tahun 1994 dan pada tahun 1997 terdapat pula

undang-undang baru yang diundangkan. Pada tahun 1997 telah diundangkan yaitu

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak,

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,

UndangUndang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa,

dan UndangUndang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan.

Dalam era reformasi ini telah pula dilakukan pembaruan terhadap undang-

undang perpajakan meliputi: Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000

tentang Pajak Penghasilan, UndangUndang Nomor 18 tentang Pajak Pertambahan

Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2000 tentang Penagihan Pajak menggunakan Surat Paksa dan UUD No 20 Tahun

2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Undang-Undang Nomor

28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Demikian pada tahun 2007 telah

dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan yang telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007


yang berlaku efektif tahun 2008 diubah dengan UUD No 16 Tahun 2009 (Undang-

Undang KUP).

Menyusul diundangkannya Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36

Tahun 2008 yang diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 2009. Disusul dengan

diberlakukannya UndangUndang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan

Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang berlaku per 1 April 2010 sebagai

perubahan ketiga.

Keseluruhan tentang ketentuan peraturan UUD ini memberikan dasar hukum

dalam pemungutan pajak. Disertai dengan kelengkapan sarana per UUD diharapkan

pemerintah dapat menegakkan law enforcement di bidang perpajakan. Pada masa

tahun 2016, telah juga diterbitkan UUD No. 11 Tahun 2016 mengenai Pengampunan

Pajak yang berlaku sejak 1 Juli 2016.

(3) Aspek Keuangan

Menurut (Waluyo, 2019) di buku nya ‘Perpajakan Indonesia’ edisi 12,

Pendekatan dari aspek keuangan ini tercakup dalam aspek ekonomi hanya lebih

menitik beratkan pada aspek keuangan. Pajak dilihat sebagai kontribusi yang sangat

penting di dalam penerimaan negara. Jika di lihat dari penerimaan negara, kondisi

keuangan negara ridak lagi semata-mata dari penerimaan negara berupa minyak dan

gas bumi, tetapi lebih berupaya untuk menjadikan pajak sebagai primadona

penerimaan negara. Dikarenakan hal tersebut, struktur penerimaan negara sudah


bergeser dalam beberapa dasawarsa terakhir ini. Tabungan pemerintah yang

merupakan selisih antara penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin merupakan

salah satu sumber dana untuk pembiayaan bangunan.

Alat ukur yang digunakan sebagai indikator efektif dan produktifnya

pemungutan pajak yaitu dalam fungsinya pengumpulan penerimaan negara

berupapajak. Kecenderungan umum dengan semakin maju suatu sistem pajak suatu

negara, semakin tinggi rasio pajak (tax ratio).

Perbandingan antara penerimaan pajak dan jumlah produk domestik bruto

(PDB) atau ratio pajak di indonesia tahun 2010 baru mencapai 11,1% yang

diharapkan rasio pajak dapat meningkat untuk setiap tahun nya, sehingga dapat

tercipta kemandirian dalam pembiayaan nasional.

(4) Aspek Sosiologi

Pada aspek sosiologi ini bahwa pajak ditunjau dari segi masyarakat yaitu

menyangkut akibat atau dampak terhadap masyarakat atas pungutan dan hasil apakah

yang dapat di sampaikan kepada masyarakat.

Pajak sebagai sumber penerimaan negara untuk membiayai pengeluaran rutin

dan juga digunakan untuk membiayai pembangunan sangatlah jelas dengan

pembangunan ini di biayai oleh masyarakat. Oleh karena itulah, upaya meningkatkan

penerimaan negara dari sector pajak sangatlah penting, karena dana yang di himpun
berasal dari rakyat (private saving) atau berasal dari pemerintah (public saving).

Demikian dapat terlihat bahwa dari pajak terdapat sasaran yang dikehendaki adalah

memberikan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara merata dengan

melakukan pembangunan di berbagai sektor.

c. Fungsi Pajak

Seperti yang sudah diketahui ciri-ciri khas yang melekat pada pengertian pajak

dari berbagai definisi, terlihat adanya dua fungsi pajak yaitu sebagai berikut.

(1) Fungsi Penerimaan (Budgeter)

Sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran pengeluaran

pemerintah. Adalah fungsi dari pajak, Contoh nya: dimasukkan nya pajak dalam

APBN sebagai

(2) Fungsi Mengatur (Reguler)

Fungsi pajak yang lain nya adalah sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan

kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh: terhadap minuman-minuman

keras, pajak di kenakan lebih tingg. Demikian pula terhadap barang mewah.

d. Perbedaan pajak dan jenis pungutan lainnya

Berikut jenis pungutan yang di lakukan oleh pemerintah selain pajak beserta

perbedaan nya dengan pajak adalah sebagai berikut.


(1) Retribusi

Dibandingkan dengan perpajakan, jenis perpajakan seperti perpajakan memiliki arti

lain. Retribusi umumnya berkaitan langsung dengan pengembalian kinerja, karena

pembayaran hanya untuk mendapatkan prestasi dari pemerintah Misalnya,

pembayaran uang sekolah, tiket terminal, kartu langganan.

Pungutan retribusi di Indonesia didasarkan pada UUD No 28 Tahun 2009 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam Pasal 1 no UUD dimaksud menyebutkan

bahwa retribusi daerah, yang selanjutnya disebut retribusi, adalah pungutan daerah

sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan

dan/ataupun diberikan pemerintah daerah diperuntukan kepentingan orang pribadi

atau badan.

Untuk tata cara pemungutannya, retribusi tidak dapat diborongkan dan retribusi

dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan Retribusi Daerah atau dokumen yang

dipersamakan. Pelaksanaan penagihannya dapat dipaksakan. Dalam hal wajib

retribusi tertentu kepada mereka tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang

membayar, dikenakan sanksi administrasi, berupa bunga sebesar 2% (dua persen)

setiap bulan dari retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan

menggunakan Surat Tagihan Retribusi Daerah (STRD).

(2) Sumbangan
Pengertian sumbangan ini tidak boleh dicampurkan dengan retribusi. Dalam retribusi

dapat ditunjuk seseorang yang menikmati kontraprestasi dari pemerintah, sedangkan

pada sumbangan seseorang mendapatkan prestasi justru tidak dapat di tunjuk, tetapi

golongan tertentu yang dapat menikmati kontraprestasi. Sebagai contoh sumbangan

untuk bencana alam.

e. Pengertian dan kedudukan hukum pajak

Kekuasaan perpajakan adalah milik pemerintah. Di semua negara hukum

Beberapa hal harus diatur dalam undang-undang. Seperti koleksi di Indonesia Pasal

23A Perubahan UUD 1945 mengatur tentang perpajakan dan tax Perpajakan wajib

lainnya untuk kepentingan nasional diatur dengan undang-undang. Menurut hukum,

perpajakan adalah transfer kekayaan transfer Community-to-government, mendanai

pengeluaran negara dengan tidak memperoleh dana Kontras langsung. Perpindahan

kekayaan dapat juga karena hibah atau Kemungkinan perampokan atau perampokan.

Oleh karena itu, semua tindakan Sebagai contoh perpajakan, beban rakyat harus

ditentukan dengan undang-undang.

Selanjutnya, keseluruhan peraturan-peraturan yang meliputi kewenangan

pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada

masyarakat melalui kas negara termasuk dalam ruang lingkup pengertian hukum

pajak. Mengingat pengaturan ini menyangkut hubungan hukum antara negara dengan

orang pribadi atau badan yang mempunyai kewajiban membayar pajak, hukum pajak
merupakan bagian hukum publik.

Hukum pajak mengatur pula hubungan hukum antara negara dan orang-orang

atau badanbadan hukum yang mempunyai kewajiban membayar pajak (Wajib Pajak).

Hukum pajak sebenarnya mempunyai ruang lingkup yang luas, tidak hanya menelaah

keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dihubungkan dengan pengenaan pajak dan

merumuskan serta menafsirkan peraturan hukum dengan memperhatikan ekonomi dan

keadaan masyarakat, hukum pajak memuat unsur hukum pidana dan peradilan seperti

yang termuat dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan

Penyelesaian Sengketa Pajak yang diberlakukan

sejak tanggal 1 Januari 1998. Selanjutnya diperbarui dengan Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang berlaku mulai tanggal

diundangkan yaitu pada tanggal 12 April 2002. Secara global bahwa hukum terbagi

dalam dua kelompok besar yaitu hukum publik dan hukum perdata. Hukum publik

mencakup hukum pidana, hukum tata usaha negara, dan hukum tata negara. Hukum

perdata mencakup hukum perdata dalam arti sempit (burgelijke wetboek-BW) dan

hukum dagang (wetboek van koophandel-WK). Menyimak uraian sebelumnya dapat

digambarkan bahwa hukum publik ini adalah hukum yang mengatur hubungan hukum

antara pemerintah dengan warganya, sedangkan dalam hukum perdata ini adalah

hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang pribadi di dalam masyarakat.

Hukum tata usaha negara atau hukum administrasi negara adalah serangkaian
peraturan hukum yang mengatur semua cara kerja dan pelaksanaan wewenang yang

langsung dari lembaga-lembaga negara serta aparatnya dalam melaksanakan tugas

masing-masing. Kedudukan hukum pajak ini merupakan bagian dari hukum tata

usaha negara. Akan tetapi, ahli hukum pajak seperti Prof. Dr. P.J. A. Adriani

menghendaki hukum pajak ini dapat berdiri sendiri yang merupakan ilmu

pengetahuan terlepas dari hukum tata usaha negara dengan alasan bahwa hukum pajak

ini mempunyai tugas yang bersifat lain dibandingkan dengan hukum administrasi.

Namun pandangan lainnya bahwa kemandirian hukum pajak ini kurang tepat karena

terlihat bahwa hukum pajak terlepas dari hukum lainnya.

f. Hukum pajak dengan hukum perdata

Hukum pajak ini mempunyai kaitan yang erat dengan hukum perdata terutama terlihat

masalah dasar pemungutan pajak yang di kenali yaitu adanya peristiwa keadaan dan

perbuatan. Ketiga hal tesebutdijadikan sebagai tatbestand yang di tuangkan dalam

undan-undang pajak. Walaupun demikian terdapat para ahli yang menyatakan

bukanlah hal demikian yang menjadikan timbulanya hubungan tetapi lebih dekat

dengan masalah ajaran di bidang hukum yaitu lex specialis lex derogat lex generale

bahwa hukum yang khusus menyampingkan hukum yang umum.

Dari segi hukum perdata, hukum perpajakan selalu mencari kemungkinan dasar

pemungutan pajak berdasarkan perbuatan hukum perdata. Dari segi hukum pidana,

undang-undang perpajakan juga memuat ancaman pidana terhadap wajib pajak yang
melanggar ketentuan perpajakan dan dalam penegakannya harus mengacu pada

ketentuan hukum pidana.

Hukum perpajakan merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur tentang

hubungan antara pemerintah (Fiskus) sebagai pemungut pajak dengan rakyatnya yaitu

wajib pajak. Hukum perpajakan menganut asas perpajakan jika terpenuhi dua syarat,

yaitu syarat objektif dan syarat subyektif. Baik syarat obyektif maupun syarat

subyektif berkaitan erat dengan ketentuan hukum perdata. Berikut ini akan dibahas

hubungan antara hukum perpajakan dan hukum perdata ditinjau dari persyaratan

objektif dan subjektif.

Hubungan erat sangatlah mungkin antara hukum pajak dan hukum perdata karena

banyak istilah yang dapat dipergunakan didalam hukum pajak dengan prinsip yang di

pegang adalah pengertian dalam hukum perdata tidaklah selalu di atur dalam hukum

pajak..

Beberapa contoh konkret yang terlihat yaitu istilah “tempat tinggal” atau disebut

domisil yang keduanya mengatur tentang masalah ini. Seperti berikut

(1) Pasal 2 ayat (6) UU Pajak Penghasilan: tempat tinggal orang pribadi atau

tempat kedudukan badan di tetapkan oleh DJP dilihat dari keadaan yang

sebenarnya

(2) Pasal 17 BW menyatakan bahwa setiap orang dianggap mempunyai tempat


tinggal dimana ia menempatkan pusat kediaman nya. Dalam hal ini tempat

kediaman di anggap tempa tinggal.

g. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana

Bentuk ancaman pidananya tertuang dalam KUHP dan juga tertuang dalam undang-

undang lain yang memberikan sanksi pidana kepada pihak yang melanggar ketentuan

perundang-undangan, misalnya dirumuskan sanksi pidana yang ada dalam undang-

undang lain dalam tindak pidana ekonomi, tindak pidana subversi, tindak pidana

korupsi, tindak pidana pajak, dan sebagainya.

Ketentuan tindak pidana di bidang perpajakan terdapat dalam Pasal 38 sampai dengan

Pasal 43 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata

Cara Perpajakan, Pasal 24 sampai dengan Pasal 27 UU Pajak Bumi dan Bangunan dan

Pasal 14 UU Bea Materai.

Pasal 39 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP

yang menyatakan: “Setiap orang yang dengan sengaja: a.............e. memperlihatkan

pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah

benar; atau............"

Pada permasalahan di atas terlihat adanya unsur kesengajaan pemalsuan dokumen

yang mengakibatkan: perbuatannya merugikan penerimaan negara. Bentuk ancaman

atau sanksi pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling lama 6
(enam) tahun. 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Sedangkan Pasal 263 KUHP juga mengatur masalah pemalsuan.

h. Penafsiran dalam hukum pajak

Penafsiran hukum adalah upaya untuk menjelaskan, menjelaskan, dan menegaskan

baik dalam arti memperluas atau membatasi atau menyempitkan hukum

ada untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Beberapa tafsir yang diakui dalam

fikih adalah sebagai berikut.

(1) Penafsiran tata Bahasa

Interpretasi tata bahasa adalah interpretasi yang didasarkan pada pengucapan

ketentuan hukum dan berpedoman pada makna kata yang terkait. Dalam kalimat

yang digunakan oleh hukum. Arti dari kata ini adalah Menurut tata bahasa atau

kebiasaan, seperti makna dalam penggunaan sehari-hari.

(2) Penafsiran sahih

Jenis penafsiran yang sahih ini adalah penafsiran yang pasti atas arti kata-kata

sebagaimana yang diberikan oleh pembuat undang-undang. Sebagai contoh

arti kata tahun pajak dalam UU KUP disebutkan “masa 1 (satu)

tahun kalender kecuali Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang berbeda

dengan tahun kalender".

(3) Penafsiran historis


Dalam penafsiran historis ini, penafsiran di dasarkan pada hal berikut

(a) Sejarah hukum

Dasar sejarah terjadinya hukum dapat ditelaah “makna yang terkandung”.

(b) Sejarah undang-undang

Dasar sejarah perundang-undangan dapat ditelaah pada saat

pembentukannya hukum sebagai contoh pengenaan “sanksi administratif

berupa denda”.

(4) Penafsiran sistematis

Interpretasi sistematis adalah interpretasi dengan memperhatikan urutan

berkaitan dengan bunyi pasal-pasal lain, baik dalam undang-undang maupun

dengan undang-undang lainnya.

(5) Penafsiran sosiologis

Penafsiran sosiologis adalah penafsiran yang mengingat maksud dan tujuan

hukum. Ini penting karena kebutuhan berubah seiring waktu

(6) Penafsiran ekstensif

Interpretasi ekstensif adalah memperluas arti kata-kata dalam aturan

sehingga suatu peristiwa dapat disebut dalam ketentuan itu. Sebagai contoh:

arus listrik, termasuk benda.

(7) Penafsiran restriktif

Interpretasi restriktif adalah interpretasi dengan cara mempersempit makna kata-


kata dalam suatu undang-undang, misalnya “kerugian” tidak termasuk kerugian

yang tidak berwujud” seperti sakit, cacat, dan lain-lain.

(8) Penafsiran analogis

Interpretasi analogis adalah interpretasi suatu hukum dengan memberikan analogi

(perumpamaan) tentang kata-kata yang sesuai dengan asas hukum sehingga

peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, maka dianggap sesuai dengan

aturan mengatakan.

(9) Penafsiran a contrario

Interpretasi a contrario adalah cara menafsirkan hukum berdasarkan

bertentangan dengan ketentuan itu. Dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-

Undang Pajak Penghasilan disebutkan bahwa: yang menjadi objek pajak adalah

penghasilan dengan nama apapun dan dalam bentuk apapun

termasuk:

"g. dividen dengan nama dan dalam bentuk apa pun termasuk dividen dari

perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha

koperasi."

Dari pernyataan di atas disebutkan bahwa yang menerima dividen tidak dibatasi

sehingga pihak yang menerima dividen dapat berupa wajib pajak badan atau wajib

pajak orang pribadi. Perlu juga diingat dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f yang

menyatakan:
"dividen dan bagian laba yang diterima atau diperoleh Perseroan Terbatas sebagai

Wajib Pajak dalam negeri dan seterusnya"

berarti sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh Tax bahwa dividen yang

diterima Wajib Pajak badan tidak termasuk objek pajak apabila memenuhi

persyaratan bahwa dividen berasal dari cadangan laba ditahan dan kepemilikan

sahamnya paling sedikit 25% dari jumlah modal disetor. Bagaimana jika penerima

dividen adalah Wajib Pajak Orang Pribadi? Tidak diatur dalam paragraph Namun

perlu memperhatikan Pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh. Pengenaan Pajak Penghasilan

terhadap Wajib Pajak orang pribadi ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19

Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Atas Dividen yang Diterima atau diperoleh

Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikenakan Pajak Penghasilan sebesar: 10%

dan bersifat final.

Cara penafsiran di atas berlaku secara umum dalam hukum perpajakan. Namun

mengutip pendapat Santoso Brotodiharjo (1991) bahwa sampai sekarang Subyek

perselisihan adalah interpretasi analogi. Mengingat perkembangan dari waktu ke

waktu juga bisa berubah.

i. Hukum Pajak Formal dan Hukum Pajak Materil

Undang-undang perpajakan mengatur hubungan antara pemerintah (fiskus) sebagai

pemungut pajak dengan wajib pajak. Jika dilihat dari materinya, hukum perpajakan

dibagi menjadi dua, sebagai berikut:


(1) Hukum pajak materiil memuat norma-norma yang menjelaskan keadaan

perbuatan, peristiwa hukum kena pajak (benda), pihak kena pajak (subyek),

berapa banyak pajak yang dikenakan, segala sesuatu tentang timbul dan lenyapnya

hutang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan pembayar pajak.

Sebagai contoh: undang-undang Pajak Penghasilan.

(2) hukum perpajakan formil, berisi tentang bentuk/tata cara mewujudkan hukum

perpajakan materiil menjadi kenyataan, undang-undang perpajakan formal ini

berisi antara lain:

(a) tata cara untuk penetapan uang pajak

(b) hak fiskus untuk melakukan pengawasan terhadap Wajib Pajak mengenai

keadaan, tindakan, yang menimbulkan hutang pajak

(c) Kewajiban Wajib Pajak sebagai contoh pelaksanaan

pembukuan/pencatatan, dan hak Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan

dan banding.

Di negara kita Indonesia, hukum pajak formal telah dipergunakan dalam UU no 28

Th. 2007 mengenai perubahan ketiga atas UU no 6 Th. 1983 mengenai ketentuan

umum dan tata cara perpajakan. dengan peraturan pergantian UU telah di ubah

menjadi UU no 16 Th. 2009

j. Pembagian Pajak menurut Golongan,

Sifat dan Pemungutan nya Pajak di kelompokan sebagai 3 golongan seperti berikut
(1) Menurut pembebanan atau golongan, dibagi seperti berikut

(a) Pajak langsung

adalah pajak yang bebannya tidak dapat dialihkan

pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang

bersangkutan. Contoh: Pajak Penghasilan.

(b) Pajak Tidak Langsung

adalah pajak yang bebannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh:

Pajak Pertambahan Nilai.

(2) Menurut Sifat

Pembagian pajak menurut sifatnya dimaksudkan untuk membedakan dan

pembagiannya didasarkan atas ciri-ciri utamanya adalah sebagai berikut.

(a) Pajak Subjektif

adalah pajak yang pemungutan/pembebanannya berasal dari atau

berdasarkan subjeknya, yang kemudian dicari kondisi objektifnya, dalam

arti memperhatikan keadaan Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan.

(b) Pajak Objektif

Merupakan pajak turunan atau pajak berdasarkan objek, tidak ada

Perhatikan situasi wajib pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah.

(3) Menurut Pemungutan dan Pengelolah


(a) Pajak Pusat

Adalah pajak yang dipungut dan digunakan oleh pemerintah pusat untuk

menyediakan dana untuk negara. Contoh: pajak penghasilan, pajak

pertambahan nilai, dan pajak penjualan

Barang mewah, pajak bumi dan bangunan, dan bea materai.

(b) Pajak Daerah

Pajak yang dipungut dan digunakan oleh pemerintah daerah dan

diberikan dana kepada keluarga atau rumah tangga setempat. Contoh:

pajak reklame, pajak hiburan, biaya perolehan hak atas tanah dan

bangunan (BPHTB), Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkotaan dan

Perdesaan (PBB P2).

k. Perlawanan Terhadap Pajak

Mengingat betapa pentingnya peran masyarakat untuk membayar pajak dalam peran

sertanya menanggung pembiayaan negara, maka dituntut kesadaran warga negara

untuk memenuhi kewajiban kenegaraan. Terlepas dari kesadaran sebagai warga

negara, pada sebagian besar masyarakat tidak memenuhi kewajiban membayar pajak.

Dalam hal demikian timbul

perlawanan terhadap pajak. Perlawanan terhadap pajak dapat dibedakan menjadi

perlawanan pasif dan perlawanan aktif.

(1) Perlawanan Pasif


Perlawanan pasif berupa hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan

mempunyai hubungan erat dengan struktur ekonomi. Perlawanan Aktif

(2) Perlawanan Aktif

Perlawanan aktif secara nyata terlihat pada semua usaha dan perbuatan yang

secara langsung ditujukan kepada pemerintah (fiskus) dengan tujuan untuk

menghindari pajak.

l. Asas-Asas Pemungutan Pajak

Untuk mencapai tujuan pemungutan pajak, prinsip-prinsip pemungutan harus dipatuhi

dalam memilih alternatif pemungutan, agar terjadi keserasian dalam pemungutan

pajak dengan tujuan dan prinsip yang masih diperlukan yaitu pemahaman tentang

perlakuan pajak tertentu. Prinsip pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan oleh

Adam Smith dalam Buku An Inquiri into the Nature and Cause of the Wealth of

Nations menyatakan bahwa pemungutan pajak harus didasarkan pada prinsip-prinsip

berikut.

(1) Equality

Pemungutan pajak harus adil dan merata, yaitu pajak dikenakan kepada masyarakat

yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan

sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil artinya setiap Wajib Pajak

menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sesuai dengan kepentingan dan

manfaatnya diminta.
(2) Certainity

Penetapan pajak itu tidak ditentukan oleh sewenang-wenang pihak otoritas pajak.

Oleh karena itu, Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak

yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran.

(3) Convenience

Kapan wajib pajak harus membayar pajak harus sesuai dengan perkembangan zaman

tidak menyulitkan wajib pajak. Misalnya: pada saat Wajib Pajak memperoleh obtain

pendapatan. Sistem pengumpulan ini disebut pay as you earn.

(4) Economy

Menurut ekonomi, biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban perpajakan

untuk Wajib Pajak diharapkan seminimal mungkin, serta beban yang ditanggung

Pembayar pajak

Asas keadilan dalam asas peraturan perundang-undangan perpajakan serta asas

pelaksanaannya harus dipatuhi, meskipun keadilan itu sangat relatif.

Menurut Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave dalam buku Public Finance

Secara Teori dan Praktek ada dua macam prinsip keadilan pemungutan pajak, yaitu

sebagai berikut.

(1) Benefit Priciple

Dalam sistem perpajakan yang adil, setiap wajib pajak harus membayar pajak sesuai

dengan manfaat yang dinikmati dari pemerintah. Pendekatan ini disebut pendapatan
dan pendekatan pengeluaran.

(2) Ability Priciple

Dalam pendekatan ini, disarankan agar pajak dibebankan kepada wajib pajak atas

kemampuan dasar untuk membayar.

Masalah Keadilan di dalam penagihan pajak, dibedakan sebagai berikut

(1) Keadilan Horizontal

Pemungutan pajak dikatakan adil secara horizontal jika beban pajaknya sama

untuk semua wajib pajak Pajak yang memperoleh penghasilan yang sama dengan

jumlah tanggungan yang sama, terlepas dari jenis pendapatan atau sumber

pendapatan.

(2) Keadilan Vertikal

Keadilan dapat dirumuskan (horizontal dan vertikal) bahwa pemungutan pajak

adalah adil, jika orang-orang dalam kondisi ekonomi yang sama dikenakan pajak

yang sama, jadi jika tidak.

Seperti yang ditunjukkan Mansury, Pajak Penghasilan (sebagai contoh dalam

deskripsi ini) harus dikumpulkan sesuai dengan prinsip keadilan, maka diperlukan

kondisi keadilan sebagai berikut.

(1) Syarat keadilan horizontal sebagai berikut

(a) Definisi penghasilan

Ada semua kemampuan ekonomi tambahan yang termasuk dalam definisi


definisi pendapatan

(b) Globality

Semua kemampuan ekonomi tambahan adalah ukuran keseluruhan

kemampuan membayar (global ability to pay). Oleh karena itu, pendapatan

dijumlahkan sebagai objek pajak.

(c) Net Income

Kemampuan membayar adalah jumlah bersih setelah dikurangi semua biaya

yang termasuk dalam biaya untuk memperoleh, mengumpulkan, dan

mempertahankan pendapatan.

(d) Personal exemption

Pengurangan yang diberikan kepada Wajib Pajak orang pribadi berupa

penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

(e) Equal treatment for equals

Pengenaan pajak dengan perlakuan yang sama berarti bahwa semua

pendapatan dikenakan pajak dengan tarif yang sama terlepas dari jenis atau

sumbernya pendapatan.

(2) Syarat keadilan vertikal sebagai berikut

(a) Unequal treatment for the unequals

Besarnya tarif dibedakan oleh jumlah seluruh penghasilan atau jumlah seluruh

penghasilan atau jumlah seluruh tambahan kemampuan ekonomis (bukan


perbedaan jenis atau sumber penghasilan).

(b) Progresion

Wajib Pajak yang penghasilannya besar, harus membayar pajak yang besar

dengan persentase tarif yang besar.

Prinsip Pemungutan ini bertujuan untuk menjaga koleksi pajak tidak mengganggu

kemajuan ekonomi. Namun, kebijaksanaan itu mungkin

pemerintah diciptakan untuk mempengaruhi konsumsi masyarakat.

Prinsip pemungutan pajak juga dapat dibagi menjadi beberapa prinsip, yaitu sebagai

berikut:

(1) Menurut Falsafah Hukum

Hukum perpajakan harus didasarkan pada keadilan. Selanjutnya, keadilan ini

sebagai prinsip pengumpulan pajak. Untuk menyatakan keadilan atas hak negara

untuk memungut pajak, muncul beberapa teori dasar, sebagai berikut.

(a) Teori Asuransi

Dalam perjanjian asuransi, pembayaran asuransi diwajibkan. Premi

dimaksudkan sebagai pembayaran untuk upaya melindungi orang dari semua

kepentingan, seperti keselamatan atau keamanan properti mereka. Teori

Asuransi ini menyamakan pembayaran premi dengan pembayaran pajak.

Meskipun sebenarnya menyatakan bahwa premi tidak benar.

(b) Teori Kepentingan


Dalam teori bunga ini, perhatian diberikan pada beban pajak yang harus

dipungut dari Publik. Beban ini harus didasarkan pada kepentingan semua

orang tugas pemerintah, termasuk perlindungan jiwa dan harta benda. Karena

itu, Pengeluaran negara untuk melindunginya ditanggung oleh masyarakat.

(c) Teori gaya pikul

Teori ini mengandung pengertian bahwa dasar keadilan pemungutan pajak

terletak pada pelayanan yang diberikan negara kepada masyarakat berupa

perlindungan jiwa dan harta. Oleh karena itu, demi perlindungan, maka

masyarakat akan membayar pajak sesuai dengan gaya pundak seseorang.

(d) Teori Bakti

Teori kesalehan ini juga dikenal sebagai teori kewajiban pajak mutlak. Teori ini

didasarkan pada Negara memiliki hak mutlak untuk memungut pajak. Di sisi

lain, masyarakat memberikan tanda baktinya ke negara

(e) Teori asas daya beli

Teori ini didasarkan pada pelaksanaan kepentingan umum individu atau negara,

sehingga lebih menitikberatkan pada fungsi pengaturan. Ini dianggap sebagai

dasar untuk pengumpulan pajak non bunga yang adil

(2) Asas Yuridis

Nyatakan keadilan. Hukum perpajakan harus memberikan perlindungan hukum dalam

UU. Dasar hukum perpajakan di Indonesia adalah yang pertama kepada negara atau
warganya. Oleh karena itu, pemungutan pajak harus didasarkan pada 23A

Amandemen UUD 1945.

(3) Asas Ekonomis

Dilihat pada uraian sebelumnya, pajak memiliki fungsi regular dan fungsi anggaran.

Prinsip ekonomi ini menekankan pada gagasan yang diinginkan negara kehidupan

ekonomi masyarakat agar terus meningkat. Untuk itu, pemungutan pajak harus

dilakukan upaya-upaya agar tidak menghambat kelancaran perekonomian sehingga

kehidupan perekonomian tidak terganggu.

(4) Asas pemungutan pajak lain nya

Ada tiga prinsip yang digunakan untuk memungut pajak dalam Pajak Penghasilan,

adalah sebagai berikut.

(a) Asas tempat tinggal

Negara memiliki hak untuk memungut semua pendapatan wajib pajak. Hal ini

di pungut berdasarkan tempat tinggal wajib pajak. Wajib Pajak yang

berdomisili di Indonesia dikenakan pajak penghasilan Diterima atau diperoleh,

dari Indonesia atau dari luar Negara (Pasal 4 UU PPh).

(b) Asas Kebangsaan

Pengenaan pajak dikaitkan dengan suatu negara. Prinsip ini berlaku untuk

setiap orang asing yang berada di Indonesia untuk membayar pajak.

(c) Asas Sumber


Negara berhak untuk memungut pajak atas penghasilan yang diperoleh dari

di negara yang memungut pajak. Dengan demikian, Wajib Pajak menerima

atau memperoleh penghasilan dari Indonesia yang dikenakan pajak di

Indonesia tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.

2. Cara Pemungutan Pajak

(1) Stelsel Pajak

Didasarkan menjadi 3 cara dalam pemungutan nya seperti berikut

(a) Stelsel nyata

Perpajakan didasarkan pada objek nyata (penghasilan), jadi

Retribusi hanya dapat diselesaikan pada akhir tahun pajak, yaitu pada

Pendapatan sebenarnya adalah Pajak yang lebih realistis. Kerugiannya adalah pajak

baru bisa Dikumpulkan pada akhir periode (setelah mengetahui pendapatan

sebenarnya).

(b) Stelsel anggapan

Pengenaan pajak didasarkan pada asumsi yang diatur oleh undang-undang,

sebagai contoh; pendapatan satu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya

sehingga pada awal tahun pajak dapat ditentukan besarnya pajak yang terutang

untuk tahun pajak berjalan. Keuntungan dari sistem ini adalah pajak yang

dibayarkan selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun. Kerugiannya

adalah pajak yang dibayarkan tidak berdasarkan keadaan sebenarnya


(c) Stelsel campuran

Stelsel ini merupakan gabungan antara stelsel asli dan stelsel dugaan. Di

pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan asumsi, maka

pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya.

Jika jumlah pajak menurut kenyataan lebih besar dari pajak menurut anggapan,

wajib pajak harus menambah kekurangannya. Dan sebaliknya, jika lebih kecil,

maka kelebihannya bisa direklamasi.

(2) Sistem Pemungutan Pajak

System pemungutan pajak di bedakan sebagai berikut

(a) Sistem Official Assesment

Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan kewenangan

pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri

sistem penilaian resmi adalah sebagai berikut.

i. Kewenangan untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada

fiskus.

ii. Wajib pajak bersifat pasif

iii. Hutang pajak timbul setelah surat ketetapan pajak diterbitkan oleh fiskus.

(b) Self Assesment System

Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberi wewenang,

kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung,


memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang

harus dibayar. Sistem Withholding Sistem ini merupakan sistem pemungutan

pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau

memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak

3. Tarif Pajak

Pemungutan pajak tidak terlepas dari keadilan. Dengan keadilan dapat menciptakan

keseimbangan yang sangat penting bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam

menetapkan tarif, berdasarkan keadilan. Dalam menghitung pajak yang terutang

digunakan tarif tariff pajak. Tarif pajak adalah tarif untuk menghitung jumlah pajak

yang terutang (pajak yang harus dibayar) dibayar). Besarnya tarif pajak dapat

dinyatakan sebagai persentase. Dalam Pajak Penghasilan Beberapa tarifnya adalah

sebagai berikut.

(1) Tarif Marginal

Tingkat persentase ini berlaku untuk kenaikan basis pajak. Sebagai contoh,

Tarif Pajak Penghasilan menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang

Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi (lihat contoh tarif progresif) tarif

marginal untuk setiap tambahan penghasilakn di kenakan pajak yang dari 0 sampai

dengan Rp.50.000.000 sebesar 5% yang juga di ikuti setiap pajak tambahan

penghasilan kena pajak yang di berikan pada penghasilan di atas Rp.50.000.000

sampai dengan Rp.250.000.000 sesuai dengan tarif marginal 15% dan seterusnya
(2) Tarif efektif

Tarif efektif pajak yang harus atau berlaku diterapkan atas dasar pengenaan pajak

tertentu.

Ada 4 tarif pajak yang berhubungan dengan pola presetase tarif pajak, adalah sebagai

berikut.

(1) Tarif pajak sebanding

Tarif pajak proporsional adalah tarif pajak dalam bentuk persentase tetap dari jumlah

berapa yang menjadi dasar pengenaan pajak. Contoh: dikenakan Pajak Pertambahan Nilai

10% atas penyerahan Barang Kena Pajak.

(2) Tarif Pajak Progresif

Tarif pajak progresif adalah tarif pajak yang persentasenya menjadi lebih besar jika:

jumlah yang menjadi dasarnya semakin besar. Misalnya, Tarif tarif pajak Pajak

Penghasilan tahun 2009 yang berlaku di Indonesia bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

itu adalah:

(a) 0 – Rp.50.000.000 = 5%

(b) Di atas Rp. 50.000.000 – Rp. 250.000.000 = 15%

(c) Di atas Rp. 250.000.000 – Rp. 500.000.000 = 25%

(d) Di atas Rp. 500.000.000 = 30%

Tarif progresif di bagi menjadi beberrapa bagian dilihat dari kenaikan tarifnya

(a) Tarif Progresif Progresif


Presentase kenaikan pajak nya semakin besar

(b) Tarif Progresif tetap

Kenaikan presentase pajak nya tetap

(c) Tarif Progresif Degresif

Kenaikan presentase pajak nya semakin kecil

(3) Tarif Pajak Degresif

Tarif pajak degresif adalah persentase tarif pajak yang menurun ketika jumlahnya

yang menjadi dasar pengenaan pajak menjadi semakin besar.

(4) Tarif Pajak Tetap

Dalam tarif pajak tetap ini adalah tarif dalam bentuk jumlah yang tetap (jumlah yang

sama) berapapun jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak. Karena itu, jumlah

pajak yang terutang adalah tetap. Misalnya: tarif bea materai.

4. Hapusnya Hutang Pajak

Jika Anda melihat munculnya utang pajak, bahwa utang pajak itu muncul karena surat

keputusanvpajak (pengajaran formal), pengajaran ini diterapkan dengan sistem penilaian

resmi. Beda dengan bahan ajar bahwa utang pajak timbul karena undang-undang. Ajaran

ini diterapkan untuk sistem penilaian diri. Penghapusan utang pajak disebabkan oleh hal-

hal sebagai berikut:

(1) Pembayaran

Hutang pajak yang melekat pada wajib pajak akan dihapuskan karena pembayaran
pajak dijadikan kas negara.

(2) Kompensasi

Keputusan yang ditujukan untuk mengkompensasi hutang pajak dengan tagihan

seseorang di bukan pajak tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, ganti rugi terjadi

ketika Wajib Pajak memiliki tagihan berupa kelebihan pembayaran pajak. Jumlah

lebih bayar Pajak yang diterima sebelumnya oleh wajib pajak harus dikompensasikan

dengan pajak lain yang terutang, kompensasi ini dikenal sebagai kompensasi

pembayaran. (perhatikan Pasal 11 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan).

(3) Daluwarsa

Kedaluwarsa didefinisikan sebagai kedaluwarsa penagihan. Hak untuk melakukan

penagihan pajak, telah lewat waktu lima tahun sejak terutangnya pajak atau akhir

masa pajak, bagian dari tahun pajak atau tahun pajak yang bersangkutan. Hal ini

untuk memberikan kepastian hukum ketika utang pajak sudah tidak dapat ditagih lagi.

Namun, berakhirnya pemungutan pajak tangguhan antara lain dapat terjadi apabila:

diberikan surat peringatan dan surat paksaan.

(4) Pembebasan

Utang pajak tidak berakhir dalam arti yang tepat, tetapi karena dihapuskan.

Pengecualian umumnya tidak diberikan kepada prinsipal pajak, melainkan sanksi

administrasi.
(5) Penghapusan

Penghapusan utang pajak ini sama dengan pembebasan, tetapi diberikan

karena keadaan Wajib Pajak, misalnya: keadaan keuangan Wajib Pajak.

Dalam prakteknya benar bahwa piutang pajak adalah untuk fiskus atau utang pajak

jika dilihat dari segi Wajib Pajak yang tata caranya diatur dengan atau berdasarkan

peraturan menteri keuangan yang kewenangannya diberikan oleh Pasal 24 UU KUP.

Jumlah piutang pajak dari fiskus yang tidak dapat ditagih lagi, antara lain karena

Wajib Pajak telah meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau

kekayaan, Wajib Pajak badan yang telah selesai proses kepailitannya atau Wajib

Pajak yang telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai subjek pajak dan hak untuk

memungut pajak telah berakhir. Melalui penghapusan piutang pajak ini dapat

diperkirakan jumlah efektif saldo piutang pajak yang dapat ditagih atau dicairkan.

Pengaturan penghapusan piutang pajak untuk daerah tertentu terjadi sebagai akibat

dari peristiwa tertentu seperti contoh peristiwa di daerah Maluku dan sebagainya,

selain itu bisa juga pengaturan secara umum.

B. Penelitian Sebelumnya

No Nama Peneliti dan Judul penelitian Variable Hasil penelitian


Tahun Penerbitan penelitian
1 Yosi Widiya Sari Pengaruh Tingkat Tingkat  kepatuhan wajib pajak
Kepatuhan Wajib kepatuhan badan sangat besar
Pajak Badan, wajib pajak peranannya dalam
(2015)
Pemeriksaan badan, meningkatkan
Pajak, dan pemeriksaan penerimaan pajak
Penagihan Pajak pajak dan penghasilan.
terhadap penagihan  variabel pemeriksaan
Peningkatan pajak pajak tidak berpengaruh
Penerimaan Pajak signifikan terhadap
Penghasilan pada peningkatan penerimaan
Kantor Pelayanan pajak
Pajak Pratama  penagihan pajak
Tampan Kota berpengaruh signifikan
Pekanbaru terhadap peningkatan
penerimaan pajak.
2 Marisa Herryanto Pengaruh Kesadaran  kesadaran Wajib Pajak
dan Agus Arianto Kesadaran Wajib Wajib berpengaruh negatif
Toly (2013) Pajak, Kegiatan Pajak, secara parsial terhadap
Sosialisasi Kegiatan penerimaan Pajak
Perpajakan, dan sosialisasi Penghasilan di KPP
Pemeriksaan Pajak perpajakan Pratama Surabaya
terhadap dan Sawahan.
Penerimaan Pajak pemeriksaan  kegiatan sosialisasi
Penghasilan di pajak perpajakan tidak
KPP Pratama berpengaruh signifikan
Surabaya Sawahan terhadap penerimaan
Pajak Penghasilan di
KPP Pratama Surabaya
Sawahan
 pemeriksaan pajak
secara parsial
menyimpulkan bahwa
pemeriksaan pajak
secara parsial
berpengaruh signifikan
terhadap penerimaan
Pajak Penghasilan di
KPP Pratama Surabaya
Sawahan
3 Fatmawati A. Pengaruh Pemeriksaan  Berdasarkan hasil
Rahman (2018) Pemeriksaan Pajak Pajak analisis regresi linear
Terhadap sederhana, diketahui
Penerimaan Pajak bahwa pemeriksaan
Penghasilan Badan pajak atas SPT PPh
Pada Kantor wajib pajak badan
Pelayanan Pajak berpengaruh terhadap
Pratama Makassar penerimaan PPh Badan.
Utara  pemeriksaan pajak atas
SPT PPh Badan yang
diperiksa tidak
memberikan pengaruh
yang besar (sedang)
terhadap penerimaan
PPh Badan.
 pemeriksaan pajak atas
SPT PPh Wajib Pajak
Badan tidak
berpengaruh signifikan
terhadap penerimaan
PPh Badan pada KPP
Pratama Makassar Utara
di Kota Makassar.
4 Wielda Permata Pengaruh Kesadaran  kesadaran wajib pajak
Sari (2015) Kesadaran Wajib wajib pajak, berpengaruh terhadap
Pajak, Kegiatan kegiatan penerimaan pajak
Sosialisasi sosialisasi penghasilan orang
Perpajakan, perpajakan, pribadi
Pemeriksaan Pajak pemeriksaan  kegiatan sosialisasi
dan Jumlah Wajib pajak dan perpajakan berpengaruh
Pajak yang jumlah terhadap penerimaan
Terdaftar terhadap wajib pajak pajak penghasilan orang
Penerimaan Pajak yang pribadi
Penghasilan Orang terdaftar  pemeriksaan pajak tidak
Pribadi di Kpp erpengaruh terhadap
Pratama Pekanbaru penerimaan pajak
Tampan penghasilan orang
pribadi. Hasil
5 Cahyo Indraswono Pengaruh Jumlah Jumlah  Jumlah wajib pajak
(2017) Wajib Pajak Orang wajib pajak berpengaruh positif
Pribadi dan Badan orang terhadap penerimaan
Terhadap pribadi dan pajak
Penerimaan Pajak badan  Teknologi informasi
Indonesia dengan berpengaruh positif
Kepatuhan terhadap kepuasan wajib
Pelaporan Pajak pajak
Sebagai Variabel  Kepuasan wajib pajak
Pemoderasi tidak berpengaruh
terhadap kepatuhan
wajib pajak.
6 Yunita Wahyu PENGARUH Efektivitas  efektivitas sosialisasi
Febri Y.N (2017) EFEKTIVITAS sosialisasi perpajakan berpengaruh
SOSIALISASI perpajakan terhadap penerimaan
PERPAJAKAN dan tingkat pajak. Besar kontribusi
DAN TINGKAT kepatuhan pengaruh efektivitas
KEPATUHAN wajib pajak sosialisasi perpajakan
WAJIB PAJAK terhadap penerimaan
TERHADAP pajak cukup tinggi.
REALISASI  tingkat kepatuhan wajib
PENERIMAAN pajak berpengaruh
PAJAK terhadap penerimaan
pajak.

C. Kerangka Pemikiran
Penerimaan pajak di kantor pelayanan pajak dapat di pengaruhi oleh banyak factor,

beberapa di antara nya adalah jumlah wajib pajak, pemeriksaan pajak, penagihan pajak

dan jumlah sosialisasi pajak yang di lakukan di kantor pelayanan pajak tersebut

D. Hipotesis

Jumlah wajib pajak dan pemeriksaan pajak berpengaruh positif terhadap

penerimaan pajak di KPP

Penulis dapat memberikan hipotesis tersebut berdasarkan dari penelitian-penelitian

sebelum nya yang berhasilkan positif dan juga di lihat dari fakta bahwa semakin banyak

masyarakat yang terdaftar menjadi wajib pajak meningkatkan penerimaan pajak di kantor

pelayanan pajak

Anda mungkin juga menyukai