Anda di halaman 1dari 24

Laporan Praktik Kerja Lapangan

“ANALISIS PENGHITUNGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PPN


PADA CV. BANGUN RUMAH PADA TAHUN 2019”

Disusun Oleh:
Maria Fransiska Prabasari Nisk
18.H1.0058

PROGRAM STUDI PERPAJAKAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2021
Laporan Praktik Kerja Lapangan

“ANALISIS PENGHITUNGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PPN


PADA CV. BANGUN RUMAH PADA TAHUN 2019”

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya

Pada Program Studi Perpajakan Fakultas Ekonomi Dan Bisnis

Universitas Katolik Soegijapranata Semarang

Disusun Oleh:
Maria Fransiska Prabasari Nisk
18.H1.0058

PROGRAM STUDI PERPAJAKAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia adalah negara berkembang, sebagai negara berkembang
Indonesia melakukan pembangunan di segala bidang agar dapat
mewujudkan pembangunan tersebut Indonesia memerlukan dana yang
besar. Sumber penerimaan dana di Indonesia terdapat beberapa macam
salah satunya adalah pajak.
Pajak merupakan sumber penerimaan terbesar di Indonesia,
terdapat banyak jenis pajak diantaranya Pajak Penghasilan (PPh), Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Materai
(BM), Bea Perolehan Hak atas Tanah atau Bangunan yang tergolong pajak
pusat. Pada tingkat daerah juga terdapat berbagai jenis pajak diantaranya
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Restoran dan lain-lain
sebagainya.
Pajak sendiri mempunyai pengertian yang dijelaskan oleh Prof. Dr.
Rochmat Soemitro, S.H., yaitu iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan
undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa
timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Mardiasmo (2016:3)
Pajak digolongkan menjadi dua jenis yaitu Pajak Langsung dan
Pajak Tidak Langsung. Pajak langsung dibebankan secara langsung
kepada Wajib Pajak dan kewajiban untuk membayarnya tidak dapat
dialihkan ke orang lain. Sedangkan Pajak tidak langsung adalah pajak
yang dapat dialihkan kewajiban membayarnya kepada pihak lain yang
dianggap sebagai pihak akhir dalam transaksi.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah jenis pajak tidak langsung.
Secara umum PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi dalam
negeri yang dihitung atas nilai tambah, yang memisahkan pemikul beban
pajak dengan penanggung jawab penyetoran pajak dan mendapatkan
eksistensi objek pajak sebagai faktor dominan yang menimbulkan
kewajiban pajak. Untung Sukardji (2014: 12)
Setiap pengusaha dalam bentuk Orang Pribadi atau badan yang
melakukan kegiatan usaha atau dalam kegiatan usahanya menghasilkan
barang, impor atau ekspor barang, melakukan kegiatan perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean wajib
kenakan pajak dan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi
seorang Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Setelah melaporkan usahanya dan dikukuhkan sebagai PKP, maka
wajib hukumnya untuk melakukan pemungutan, penyetoran, dan
melaporkan PPN yang terutang. Penghitungan PPN terutang digunakan
untuk mengetahui besarnya pajak terutang yang nantinya akan disetorkan
ke kas negara.
CV. Bangun Rumah adalah perusahaan yang bergerak dibidang
jual beli bahan bangunan dan merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Sebagai PKP wajib untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN.
Setelah dilakukan observasi terdapat dua kesalahan yang terjadi pada
tahun 2019 akhir bulan yang bersamaan telah disetorkannya PPN ke kas
negara, konsumen membatalkan pembelian karena barang yang dikirimkan
oleh CV. Bangun Rumah tidak sesuai dengan dipesan dan terdapat
kesalahan dalam pencatatan kode barang yang menyebabkan nama barang
dan harga barang yang berbeda, yang mengakibatkan faktur yang telah
dibuat harus dilakukan revisi dan mengharuskan dilakukannya pembetulan
Surat Pemberitahuan Pajak (SPT).
Dari latar belakang yang dijabarkan tersebut penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “ANALISIS PENGHITUNGAN,
PENYETORAN, DAN PELAPORAN PPN PADA CV. BANGUN
RUMAH PADA TAHUN 2019”
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas penulis merumuskan masalah yang


akan dibahas sebagai berikut:

1. Bagaimana mekanisme penghitungan PPN yang dilakukan oleh CV.


Bangun Rumah?
2. Bagaimana mekanisme Penyetoran PPN yang dilakukan oleh CV. Bangun
Rumah?
3. Bagaimana mekanisme Pelaporan PPN yang dilakukan oleh CV. Bangun
Rumah?

1.3 Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah diatas dapat diketahui tujuan penulisan Laporan


Praktik Kerja Lapangan yaitu :

1. Agar penulis dan pembaca mengetahui bagaimana mekanisme


penghitungan PPN yang dilakukan oleh CV. Bangun Rumah.
2. Agar penulis dan pembaca mengetahui bagaimana mekanisme penyetoran
PPN yang dilakukan oleh CV. Bangun Rumah.
3. Agar penulis dan pembaca mengetahui bagaimana mekanisme pelaporan
PPN yang dilakukan oleh CV. Bangun Rumah.

1.4 Manfaat Penulisan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada


beberapa pihak antara lain:

1. Bagi Penulis
Dengan adanya studi kasus ini penulis dapat menambah ilmu pengetahuan
sekaligus mendapatkan gambaran secara langsung tentang tata cara
penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
2. Bagi CV. Bangun Rumah
Hasil penulisan ini merupakan masukan yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi penghitungan, penyetoran, dan pelaporan PPN agar CV.
Bangun Rumah dapat memaksimalkan laba yang didapat.
3. Bagi KKP Pelita
Sebagai bahan evaluasi dan bagi KKP Pelita
4. Bagi Pembaca
untuk menambah pengetahuan serta referensi tentang analisis
penghitungan, penyetoran, dan pelaporan PPN.

5. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan bertujuan untuk memberikan gambaran secara


umum mengenai rangkaian pembahasan yang penulis tuliskan dalam Laporan
Praktik Kerja Lapangan. Sistematika yang penulis gunakan adalah sebagai
berikut :

BAB 1 PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis membahas mengenai latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika
penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI


Dalam bab ini dijelaskan tentang mekanisme pengkreditan pajak
yang berdasar pada teori-teori perpajakan yang berhubungan dengan
uraian topik permasalahan yang menjadi bahan pembahasan. Teori
tersebut digunakan penulis sebagai dasar dalam pemecahan masalah yang
akan penulis uraikan.

BAB III GAMBARAN UMUM DAN METODE PENELITIAN


Bab ini berisi gambaran umum Kantor Konsultan Pajak Pelita yang
meliputi sejarah, profil, struktur organisasi dan deskripsi tugas. Selain itu
penulis juga menguraikan metode penelitian yang digunakan dalam
menyusun Laporan Praktik Kerja Lapangan ini.

BAB IV PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis membahas analisa hasil penelitian dan
pembahasan masalah yang dilakukan oleh KKP Pelita terhadap kliennya
yaitu CV. Bangun Rumah.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


Dalam bab ini penulis memberikan kesimpulan serta saran
berdasarkan hasil pembahasan dari analisa yang dilakukan oleh KKP
Pelita terhadap klien yaitu CV. Bangun Rumah dalam bab sebelumnya.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Dasar-dasar Dan Definisi Perpajakan


Definisi pajak menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang
perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada pasal 1 ayat 1 berbunyi
pajak adalah kontribusi wajib pada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dari definisi tersebut, Menurut Mardiasmo (2016:3) dapat disimpulkan
bahwa pajak memiliki unsur-unsur:
1. Iuran dari rakyat kepada negara.
2. Iuran atau kontribusi yang dibayarkan rakyat berupa uang dengan yang
melakukan pemungutan pajak adalah negara.
3. Berdasarkan Undang-Undang.
4. Pajak yang dipungut memiliki kekuatan hukum berupa undang-undang
serta aturan dalam pelaksanaanya.
5. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung
dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak, wajib Pajak tidak dapat
mendapatkan timbal balik secara langsung dari pemerintah.
6. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran
digunakan untuk seluruh masyarakat Indonesia.

2.2 Fungsi Pajak


Berdasarkan definisi pajak tersebut, terdapat dua fungsi pajak berdasarkan
Mardiasmo (2016:4), yaitu:
1. Fungsi Anggaran (Budgetair)
Pajak berfungsi sebagai salah satu sumber dana bagi penerimaan untuk
membiayai pengeluaran negara
2. Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Contoh:
a. Pajak tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi
konsumsi minuman keras.
b. Pajak tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk menekan
gaya hidup yang konsumtif.

2.3 Pengelompokan Pajak


Pengelompokan Pajak yang dikutip dari Mardiasmo (2016:7), yaitu:
1. Pajak menurut golongannya dibedakan menjadi 2 yaitu:
a. Pajak langsung, merupakan pajak yang ditanggung secara mandiri oleh
Wajib Pajak yang tidak dapat dilimpahkan maupun dibebankan kepada
orang lain. Contoh: PPh dan PBB.
b. Pajak tidak langsung, merupakan pajak yang tanggung jawabnya dapat
dibebankan maupun dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: PPN
2. Pajak menurut sifatnya dibedakan menjadi 2 yaitu:
a. Pajak Subjektif, merupakan pajak yang hanya melihat pada subjeknya
dan memperhatikan kondisi dari wajib pajak. Contoh: Pajak
Penghasilan (PPh), dikenakan kepada semua orang yang telah
memiliki penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
b. Pajak Objektif, merupakan pajak yang hanya melihat pada objeknya
tetapi tanpa melihat kondisi Wajib Pajak. Contoh: Pajak Pertambahan
Nilai (PPN), tarif 10% akan dikenakan terhadap barang atau jasa kena
pajak yang dibeli tanpa melihat kondisi Wajib Pajak seperti tempat
tinggal, penghasilan dan sebagainya.
3. Pajak menurut lembaga pemungutnya dibedakan menjadi 2 yaitu:
a. Pajak Pusat, merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat
yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara,
contoh: PPh dan PPN.
b. Pajak Daerah, merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah
yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran daerah
yang dialokasikan pada provinsi maupun kota/kabupaten. Contoh:
Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak
Hiburan.

2.4 Sistem Pemungutan Pajak


Sistem Pemungutan Pajak yang dikutip dari Mardiasmo (2016:9), yaitu:
a. Official Assessment System, merupakan sistem pemungutan dengan
memberi wewenang kepada pemerintah atau fiskus pajak untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maka dalam hal ini
keberhasilan pemungutan pajak yang terutang berdasarkan tingkat
keberhasilan dari fiskus pajak.
b. Self Assessment System, merupakan sistem pemungutan pajak yang
memberi kewenangan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor
dan melaporkan pajak terutang dari Wajib Pajak tersebut. Maka dalam Self
Assessment System peran dari Wajib Pajak sangat menentukan berapakah
banyaknya pajak terutang yang didapatkan negara.
c. Withholding System, merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut
terhadap pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Contoh dari pihak ketiga
yaitu bendahara suatu instansi atau perusahaan.

2.5 Asas Pemungutan Pajak


Dalam memungut pajak dikenal beberapa asas pemungutan perpajakan
berdasarkan Mardiasmo (2016,9), yaitu:
1. Asas Domisili (asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak
yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan dari dalam
maupun luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri.
2. Asas Sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
3. Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.

2.6 Stelsel Pajak


Stelsel Pajak adalah sebuah sistem pemungutan pajak yang digunakan untuk
menghitung besarnya pajak yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak. Dalam
stelsel pajak terdapat 3 cara pemungutan pajak yang dilakukan, yaitu:
1. Stelsel Nyata (Riil Stelsel)
Pemungutan pajak yang didasarkan pada objek atau penghasilan yang
diperoleh sesungguhnya (Penghasilan nyata atau Pajak Penghasilan).
Kelebihan dari stelsel ini adalah pajak yang dikenakan realistis dan
kelemahannya adalah baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah
penghasilan riil diketahui).
2. Stelsel Anggapan (Fictive Stelsel)
Jenis pemungutan pajak ini yang didasarkan pada anggapan yang diatur
oleh suatu undang-undang. Anggapan yang dimaksud di sini dapat
bermacam-macam jalan pikirannya, tergantung pada aturan pajak yang
berlaku. Kelebihan dari stelsel ini adalah pajak dapat dibayarkan selama
tahun berjalan tanpa harus menunggu pada akhir tahun dan kelemahannya
adalah stelsel ini adalah pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak tidak
berdasarkan keadaan yang sesungguhnya.
3. Stelsel Campuran
Kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Contoh penerapan
stelsel campuran adalah mekanisme PPh Pasal 25/29.
(https://klikpajak.id/blog/berita-regulasi/mengenal-penerapan-stelsel-pajak-di-
indonesia/ )

2.7 Pajak Pertambahan Nilai


2.7.1 Pengertian PPN
Pajak Pertambahan Nilai Menurut Kementerian Keuangan adalah
pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa
dalam peredarannya dari konsumen. PPN merupakan jenis pajak yang
tidak langsung, maksudnya pajak tersebut dapat dibebankan oleh pihak
lain.
Menurut UU No.42 tahun 2009 Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak
yang dikenakan atas konsumsi barang atau jasa di dalam daerah pabean
yang dikenakan bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi.

2.7.2 Objek Pajak Pertambahan Nilai


PPN akan dikenakan berdasarkan Mardiasmo (2016:341), atas:
1. Pengusaha melakukan penyerahan barang kena pajak didalam Daerah
Pabean.
2. Pengusaha melakukan penyerahan jasa kena pajak didalam Daerah
Pabean.
3. Impor Barang Kena Pajak.
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean didalam Daerah Pabean.
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean didalam Daerah
Pabean.
6. Ekspor BKP Berwujud dan Tidak Berwujud oleh PKP
7. Kegiatan membangun sendiri yang tidak digunakan untuk tempat
usaha oleh Orang Pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri
dan orang lain.
8. Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang
Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.

2.7.3 Pengusaha Kena Pajak (PKP)


Pengusaha Kena Pajak atau yang dikenal dengan singkatan PKP
merupakan Pengusaha yang telah melakukan penyerahan barang
maupun jasa kena pajak yang dapat dikenakan pajak yang telah diatur
berdasarkan peraturan perundang-undangan PPN 1984. Mardiasmo
( 2016: 338).
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 Pasal 2
menyatakan bahwa pengusaha yang telah melakukan penyerahan
Barang dan/atau Jasa Kena Pajak, Ekspor Barang Kena Pajak yang
berwujud serta tidak berwujud dan Ekspor Jasa Kena Pajak yang telah
memiliki Pendapatan Bruto selama 1 tahun lebih dari 4.800.000.000
diwajibkan untuk mendaftarkan diri untuk pengukuhan sebagai
Pengusaha Kena Pajak. Sedangkan, pengusaha yang telah melakukan
penyerahan Barang dan/atau Jasa Kena Pajak, Ekspor Barang Kena
Pajak yang berwujud serta tidak berwujud dan Ekspor Jasa Kena Pajak
yang telah memiliki Pendapatan Bruto selama 1 tahun kurang dari
4.800.000.000 dapat memilih untuk mendaftarkan diri untuk
pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak atau tidak mendaftarkan
diri.

2.7.4 Barang Kena Pajak (BKP)


Menurut Untung Sukardji (2014, 20) Barang Kena Pajak (BKP)
adalah barang berwujud, barang bergerak, barang tidak bergerak,
barang tidak berwujud. Namun pada dasarnya semua barang bisa
dikenakan PPN kecuali barang-barang yang diatur pada Peraturan
Pemerintah nomor 144 tahun 2000.
1. Pengecualian Barang Kena Pajak
Pada awalnya semua barang diasumsikan sebagai Barang Kena
Pajak. Tetapi tidak semua barang termasuk dalam kategori sebagai
Barang Kena Pajak. Terdapat barang yang dikecualikan sebagai
Barang Kena Pajak yang membuat barang tersebut tidak terkena PPN
sesuai dengan Undang-Undang.
Terdapat jenis barang yang tidak dikenakan PPN yang dibagi
menjadi beberapa kelompok barang yaitu Untung Sukardji (2014: 21):
a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil
langsung dari sumbernya.
b. Barang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat banyak
yang dianggap sangat dibutuhkan.
c. Minuman dan makanan yang disajikan dalam restoran, warung,
rumah makan, hotel, serta sejenisnya, yaitu meliputi minuman
dan makanan (baik dikonsumsi di tempat maupun tidak),
termasuk minuman serta makanan dari jasa catering ataupun
usaha jasa boga:
d. Surat berharga seperti saham, obligasi dan lain-lain, emas
batang dan juga uang.

2.7.5 Jasa Kena Pajak


Menurut Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
menjelaskan bahwa Jasa Kena Pajak merupakan jasa yang dapat
berupa kemudahan, fasilitas, hak yang sudah tersedia untuk dipakai
yang dapat dikenai menurut Undang-Undang.
1. Penyerahan Jasa Kena Pajak
Menurut Pasal 1 ayat 7 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
menjelaskan bahwa Penyerahan Barang Kena Pajak merupakan suatu
kegiatan penyerahan jasa kena pajak yang dilakukan oleh Pengusaha
Kena Pajak.
2. Pengecualian Jasa Kena Pajak
Awalnya semua jasa yang diberikan diasumsikan sebagai Jasa
Kena Pajak. Tetapi tidak semua jasa termasuk dalam kategori sebagai
Jasa Kena Pajak. Terdapat barang yang dikecualikan sebagai Jasa
Kena Pajak yang membuat jasa tersebut tidak terkena PPN sesuai
dengan Undang-Undang.
Terdapat jenis jasa yang tidak dikenakan PPN yang dibagi menjadi
beberapa kelompok jasa yaitu Mardiasmo (2016: 335):
a. Jasa yang termasuk dalam pelayanan kesehatan medis.
b. Jasa yang termasuk dalam bidang pelayanan sosial.
c. Jasa bidang pelayanan pengiriman surat dengan perangko.
d. Jasa bidang keuangan.
e. Jasa bidang asuransi.
f. Jasa yang termasuk dalam bidang keagamaan.
g. Jasa bidang pendidikan.
h. Jasa dalam bidang kesenian dan hiburan termasuk semua jasa
yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan.
i. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan dan tidak tujuan
komersial seperti Iklan Keluarga Berencana yang dilakukan
oleh pemerintah.
j. Jasa angkutan umum di darat maupun di laut dan jasa angkutan
udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri.
k. Jasa tenaga kerja.
l. Jasa bidang perhotelan.
m. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka
menjalankan pemerintahan secara umum.
n. Jasa penyediaan tempat parkir.
o. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam yang
dibuat oleh pemerintah dan pihak swasta.
p. Jasa pengiriman uang dengan menggunakan wesel pos.
q. Jasa dalam bidang katering.

2.7.6 Tarif Pajak Pertambahan Nilai


1. Tarif PPN
Menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
menjelaskan bahwa tarif pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebesar
10% dan tarif atas Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak sebesar 0%.
2. Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
Menurut Mardiasmo (2016:343) Untuk menghitung besarnya
pajak, diperlukan adanya DPP. Pajak terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif dengan DPP. DPP adalah jumlah harga jual, nilai
ekspor atau impor atau nilai lain yang telah ditetapkan oleh Menteri
Keuangan

2.7.7 Cara Menghitung PPN


Cara menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah
dengan mengalikan Tarif Pajak Pertambahan Nilai dengan Dasar
Pengenaan Pajak.
PPN Terutang = Tarif PPN x Dasar Pengenaan Pajak
Pajak Pertambahan Nilai ini merupakan pajak keluaran yang dipungut
oleh Pengusaha Kena Pajak. Bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli
merupakan Pajak Masukan

2.7.8 Pembayaran PPN


Saat Wajib Pajak melakukan transaksi yang dapat dikenakan pajak,
maka Wajib Pajak harus membayar sesuai dengan batas pembayaran
pajak yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan. Batas Pembayaran Pajak yang terkait dengan PPN dikutip
dari Mardiasmo (2016: 39), yaitu:
a. PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu masa pajak dapat
disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa
pajak berakhir.
b. PPN dan PPnBM Bendaharawan Pemerintah dapat diserahkan paling
lambat tanggal 7 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
c. PPN dan PPnBM selain Bendaharawan Pemerintah dapat disetorkan
paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
2.8 Faktur Pajak
Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP.
Faktur Pajak dibuat pada Mardiasmo (2016: 349):
1. Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
2. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi
sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan
Jasa Kena Pajak;
3. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap
pekerjaan; atau
4. Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.

Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan


BKP dan/atau penyerahan JKP yang paling sedikit memuat Mardiasmo (2016:
349) :
1. Nama, alamat, dan NPWP yang menyertakan BKP atau JKP;
2. Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP;
3. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan
harga;
4. PPN yang dipungut;
5. PPnBM yang dipungut;
6. Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
7. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

2.9 Surat Pemberitahuan (SPT)


2.9.1 Pengertian SPT

Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 Surat


Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan dan/ atau pembayaran pajak, objek dan/ atau bukan
objek pajak, dan/ atau harta kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan (KUP). (www.pajak.go.id )

2.9.2 Fungsi SPT

Menurut Mardiasmo (2016: 35) fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib


Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya
terutang dan untuk melaporkan tentang:
1. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri atau
melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu masa atau
satu tahun masa pajak.
2. Penghasilan yang merupakan objek pajak atau bukan objek pajak.
3. Harta dan kewajiban.
4. Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau
pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1(satu) masa
pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakn.
(https://www.online-pajak.com/seputar-efiling/spt-surat-pemberitahuan)
2.9.3 Batas Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPN

Batas waktu penyampaian SPT Masa yang berkaitan dengan


penyampaian SPT PPN yang dikutip dari (Mardiasmo, 2016: 39) adalah:

Tabel 2.9.3 Batas Penyampaian SPT PPN


PPN dan PPnBM Pengusaha Kena Tanggal 20 bulan berikutnya
Pajak setelah Masa Pajak Berakhir

PPN dan PPnBM Bendaharawan 14 hari setelah Masa Pajak


berakhir
Bendaharawan Pemerintah

PPN dan PPnBM Selain 20 hari setelah Masa Pajak


Bendaharawan berakhir
selain Pemerintah

Bendaharawan

Sumber: (Mardiasmo, 2016: 39)

2.9.4 Pembetulan SPT

Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat


Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan dengan menyampaikan
pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
melakukan tindakan:
1. Verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak.
2. Pemeriksaan,
3. Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Dalam pembetulan SPT dinyatakan rugi atau lebih bayar, maka batas
penyampaian Pembetulan SPT tersebut paling lama 2 tahun atau 24 bulan
selama daluwarsa penetapan. (Mardiasmo, 2016: 37).
Apabila Wajib Pajak melakukan pembetulan sendiri pada SPT
Tahunan yang menyebabkan utang pajak lebih besar maka akan dikenakan
sanksi administrasi bunga sebesar 2% per bulan atas jumlah pajak yang
kurang bayar. Sedangkan, apabila Wajib Pajak melakukan pembetulan
sendiri pada SPT Masa yang menyebabkan utang pajak lebih besar, maka
akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan
atas jumlah pajak yang kurang bayar. Waktu keduanya dihitung sejak saat
penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian
dari bulan dihitung 1 bulan. (Mardiasmo, 2016: 37).
BAB III

3.1 Sejarah Berdirinya KKP Pelita


Seorang bernama Kho Thao Khi, sekitar tahun 1925 dari Tiongkok, suku
Tio Chiu, waktu itu berusia sekitar 22 tahun, lulusan Sekolah Ekonomi di
Swalow, datang ke Indonesia. Beliau bekerja sama dengan seorang bernama
Drs. The Bing Liang, membuka kantor Belasting Consulent (Konsultan Pajak)
di kota Semarang.
Drs.The Bing Liang melayani Klien yang laporan keuangannya
menggunakan Bahasa Belanda, sedangkan Kho Thao Khi melayani Klien
yang laporan keuangannya yang berbahasa Tionghoa.
Sampai pada suatu saat mereka berpisah, karena Drs. The Bing Liang
pindah rumah ke kota Magelang dan menetap disana, sedangkan Kho Thao
Khi tetap tinggal di kota Semarang. Kemudian Kho Thao Khi melanjutkan
usaha Konsulen Pajak tersebut dengan memakai nama Kantor “Th. K Kho”
Accountancy, dan berkantor di Jalan Bubaan, no. 16 Semarang.
Seorang bernama Oei Djien Poen (Daniel Widji Prasetyo), kelahiran
Kudus, 18 Mei 1935, telah menamakan Sekolah Menengah Ekonomi Atas
(SMEA) Negeri di Semarang pada tahun 1958 dan langsung bekerja di Kantor
Konsulen Pajak tersebut. Dengan bekal tambahan ilmu Diploma Tata Buku
Bon A dan Bon B, serta ditambah ilmu mengetik cepat dan Steno.
Oleh karena sakit tua dan ambien dan beliau tidak berani berobat (harus
dioperasi), maka dengan kondisi tubuhnya yang semakin melemah akhirnya
Tuan Kho Thao Khi meninggal dunia pada tahun 1973.
Dikarenakan pada waktu itu pegawai lain sudah mengundurkan diri dan
anak-anak dari Kho Thao Khi tidak ada yang meneruskan pekerjaan ayahnya,
maka DW. Prasetyo yang melanjutkan pekerjaan Konsultan Pajak dengan
tetap menumpang kantor pada Perusahaan Firma “Wap Hap Kongsie” di jalan
Bubaan no. 16 Semarang, atas kebaikan dari Tuan Tan Long Tjhang dan Tuan
Lie Tjek Kiong (sampai saat ini).
Pada tahun 1979, oleh Direktorat Jenderal Pajak dilakukan penertiban para
Konsultan Pajak, dengan Keputusan Menteri Keuangan No.
465/KMK/04/1978 Tanggal 28 November 1978 setiap Konsultan Pajak wajib
memiliki izin Praktek. Guna memperoleh Surat Izin Praktek tersebut, untuk
pertama kali para Konsultan Pajak wajib mengikuti Penataran selama sebulan
penuh dan diberi Sertifikat Brevet C. Saat itu untuk wilayah Semarang dan
sekitarnya tidak lebih dari 20 orang saja. Dengan pembaruan izin tersebut
maka DW. Prasetyo memberi nama baru untuk Kantornya dengan nama
Kantor Konsultan Pajak “PELITA”.
Seiring dengan berjalannya waktu, Bapak DW. Prasetyo mendidik anak-
anaknya yang telah selesai sekolah untuk melanjutkan profesinya sebagai
Konsultan Pajak resmi (terdaftar) dan mengabdi kepada Negara dibidang
perpajakan dan membantu masyarakat khusus para pengusaha dalam hal
menjalankan kewajibannya membayar pajak kepada Negara.
Dari 6 (enam) anak, ada 3 (tiga) anak dari Bapak DW. Prasetyo yang
mewarisi profesi ini sebagai Konsultan Pajak di Semarang, diantaranya adalah
Jafet Atur Prasetyo, Jusak Budi Prasetyo dan Jericho Firman Prasetyo. Dan
sampai saat ini Kantor Konsultan Pajak “PELITA” telah terdaftar resmi dalam
Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI).
Adapun dari Jericho Firman Prasetyo memulai membuka kantor cabang
Konsultan Pajak Pelita yang baru di Jalan Damarwulan no. 24A, Semarang
pada tahun 2007. Hingga sampai saat ini kantor cabang ini masih berdiri dan
turut aktif dalam setiap kegiatan yang sehubungan dengan perpajakan seperti
mengikuti seminar-seminar yang diselenggarakan oleh IKPI dan bekerja sama
dengan lembaga pendidikan Universitas Katolik Soegijapranata. Semarang
dalam membina para mahasiswa Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi
Perpajakan ketika menjalankan program magang kerja sehubungan dengan
tugas praktek mata kuliah yang sedang diambil.
Selama berjalannya waktu maka Kantor Konsultan Pajak Pelita cabang
Damarwulan ini mengembangkan dirinya dengan mengikuti ujian Brevet
untuk mendapatkan Ijin Praktek demi usaha jasa yang lebih profesional dalam
melayani klien dan berhubungan dengan Kantor Pajak. Sementara di brevet
yang baru dipegang adalah Brevet A, atas nama istri dari Bapak Jericho, yang
bernama Ibu Agustin Fitriani Djirnawan, dengan no. izin praktik
KEP-2133/IP. A/PJ/2015
Sampai saat ini Brevet yang sudah ada belum dapat ditingkatkan ke Brevet
B dikarenakan tidak dapat mengikuti ujian Brevet pada hari Sabtu, dimana
Keluarga Besar Prasetyo memegang kepercayaan dari Gereja Kristen Advent
bahwa setiap hari Sabtu/ Sabat tidak melakukan urusan duniawi seperti
aktivitas berdagang, bertransaksi maupun ujian-ujian, karena hari tersebut
dikhususkan untuk ibadah atau aktivitas rohani. Sehingga dalam menjalankan
aktivitas kantor pun, Kantor Konsultan Pajak Pelita baik yang dipusat maupun
yang dicabang-cabang jika setiap hari Sabtu libur dan tidak melakukan
kegiatan bisnis apapun.
Catatan sejarah ini ditulis secara umum dengan tujuan menjadi kenangan
masa silam, dan dibaca oleh para klien, Petugas Pajak, masyarakat secara
umum, pelajar dan mahasiswa serta menjadi pelengkap Profile Kantor
Konsultan Pajak “Pelita”. Dan secara khusus untuk menambah kekayaan
sejarah Kota Semarang bahwa keberadaan Konsultan Pajak di Kota Semarang
sudah ada sejak tahun 1925.
3.2 Metode Penulisan
3.2.1 Jenis Data
Jenis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini
terdapat dua jenis, yaitu:
1. Data Primer, yakni data yang berupa wawancara yaitu informasi
tentang bagaimana proses perhitungan PPN dan bagaimana proses
penerapannya.
2. Data Sekunder, yakni data yang didapat secara tidak langsung oleh
penulis yang mana didapat dengan mengumpulkan dan mencari
data. Dalam penelitian ini data sekunder yang dipakai adalah
laporan penjualan dari CV. Bangun Rumah, serta laporan pajak
pertambahan nilai (SPT Masa PPN) dari perusahaan periode 2019
3.2.2 Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data Laporan Praktik Kerja Lapangan penulis
menggunakan dua metode, yaitu:
1. Metode Studi Dokumen, pada metode ini penulis melakukan
pengumpulan informasi data penjualan tiap bulan pada tahun 2019
milik CV. Bangun Rumah dan melalui beberapa sumber dari media
cetak yaitu buku yang ditulis oleh Mardiasmo dan Kautsar Riza
serta media elektronik yaitu internet resmi untuk memperoleh
informasi dan peraturan terbaru tentang perpajakan.
2. Metode Wawancara (Interview), pada metode ini penulis
melakukan wawancara kepada sumber dengan tujuan untuk
memperoleh informasi tentang sejarah berdirinya KKP Pelita dan
uraian persoalan dari CV. Bangun Rumah.

3.2.3 Metode Analisis Data

Metode analisis data digunakan dalam menganalisis Penerapan


Pajak Pertambahan Nilai serta pelaporan SPT Masa PPN dalam
kesesuain Peraturan Perundang Undangan. Penulis menganalisis data
menggunakan metode Deskriptif Kuantitatif, yaitu metode yang
digunakan dengan mengolah data angka dengan rumus perhitungan
dengan aturan perpajakan yang berlaku dan mengumpulkan,
menyajikan serta menganalisis data sehingga diperoleh gambaran yang
cukup jelas tentang masalah yang dihadapi. Kemudian akan ditarik
suatu kesimpulan mengenai penghitungan, pelaporan serta penyetoran
PPN sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.

Berikut ini adalah tahapan yang dilakukan penulis untuk


menjabarkan uraian persoalan:.

1. Penulis melakukan kegiatan magang yang dilakukan di Kantor


Konsultan Pajak Pelita untuk mencari informasi atau sebuah data
yang dibutuhkan dalam laporan praktik kerja lapangan.
2. Mengumpulkan informasi yang relevan dari hasil wawancara
secara langsung terhadap orang-orang yang terkait dengan
perpajakan internal perusahaan.
3. Mengumpulkan dokumen-dokumen pendukung terhadap
pembahasan penerapan Pajak Pertambahan nilai seperti : faktur
pajak, SPT Masa, dan laporan penerimaan yang diperoleh oleh CV.
Bangun Rumah.
4. Mengolah data secara terperinci mengenai perlakuan yang harus
dilakukan jika terjadi kesalahan dalam penghitungan, penyetoran,
dan pelaporan pajak pertambahan nilai dan kesesuaiannya terhadap
peraturan undang-undang Pajak Pertambahan Nilai pada
perusahaan yang bersangkutan berdasarkan data yang ada.

Anda mungkin juga menyukai