JAKARTA SELATAN
PROPOSAL SKRIPSI
NAMA : KIKI MAILAN RISKI
NIM : 13402428
JENJANG STUDI : STRATA SATU (S1)
PROGRAM STUDI : AKUNTANSI
SULTAN AGUNG
PEMATANGSIANTAR
2016
BAB I
PENDAHULUAN
D. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam pembahasan penelitian ini penulis menyusun
sistematika penulisan. Sistematika penulisan ini akan menggambarkan keselarasan
isi penulisan skripsi ini. Adapun sistematika penulisan proposal skripsi ini adalah
sebagai berikut :
Bab satu adalah bab yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan dan kegunaan penelitian serta sistematika penulisan. Uraian teoritis,
penelitian terdahulu, kerangka pemikiran, anggapan dasar dan hipotesis merupakan
inti dari tinjauan pustaka yang terdapat pada bab dua.
Metodologi penelitian yang meliputi desain penelitian, objek penelitian, ruang
lingkup penelitian, definisi operasional variabel, populasi dan sampel, jenis data,
sumber data, teknik pengumpulan data, alat pengumpulan data, dan teknik analisa
data diuraikan pada bab tiga. Pada bab empat penulis menguraikan gambaran
umum perusahaan yang diteliti.
Pada bab lima Analisis dan Evaluasi, penulis menguraikan tentang analisis
dan evaluasi yang dilakukan penulis dengan menggunakan uji statistik deskriptif, uji
kualitas data, uji asumsi klasik dan model regresi linear berganda. Sebagai penutup
dalam penulisan proposal skripsi ini akan dijelaskan kesimpulan dan saran yang
akan diuraikan pada bab enam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Uraian Teoritis
1. Dasar-dasar Perpajakan
a. Pengertian pajak
Ditinjau dari jumlah pendapatan yang diterima oleh negara, penerimaan pajak
merupakan penerimaan yang dominan dari seluruh penerimaan negara. Banyak
para ahli memberikan bahasan tentang pajak, tetapi pada intinya mempunyai
maksud dan tujuan yang sama. Berikut ini adalah beberapa pengertian mengenai
pajak oleh para ahli.
Menurut Waluyo (2009:2) pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang
dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-
peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang
langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan.
Berdasarkan Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 pajak adalah kontribusi wajib pada
negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebasar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa pajak
merupakan peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negarauntuk
membiayai pengeluaran rutin dan “surplus”-nya digunakan untuk public saving yang
merupakan sumber utama membiayai ublic investment.
b. Fungsi Pajak
Menurut Mardiasmo (2009:1), fungsi pajak adalah sebagai berikut:
1) Fungsi Penerimaan (Budgetary)
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluarannya.
2) Fungsi Mengatur (Regulatory)
c. Asas Pemungutan Pajak
Menurut Madiasmo (2009:7), asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
1) Asas domisili (asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak yang
bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun
dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri.
2) Asas sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dai wilayahnya
tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.
3) Asas kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.
d. Cara Pemungutan Pajak
Menurut Resmi (2009:9) cara pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
a) Stelsel Pajak
Dalam stelsel pajak ada 3 cara pemungutan pajak dilakukan:
1) Stelsel Nyata (riil stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata, sehingga
pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak yakni setelah
penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui. Kelebihan stelsel ini adalah
pajak yang dikenakan realistis. Kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan
pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui)
2) Stelsel Anggapan (fictive stelsel)
Pengenaan pajak berdasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-
undang, sebagai contoh penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun
sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah ditetapkan besarnya pajak yang
terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dibayar
tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
b) Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo (2009:7) ada beberapa sistem pemungutan pajak, yaitu:
1) Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah
(fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri-cirinya:
a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang pada fiskus.
b) Wajib pajak bersifat pasif.
c) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
2) Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib
pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya:
a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak itu
sendiri.
b) Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak
yang terutang.
3) With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak
ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak
ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.
2. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Menurut Mardiasmo (2009:23) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah
nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi
perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib
pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Menurut Resmi (2009:26), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah suatu
sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal
diri atau identitas wajib pajak.
Berdasarkan beberapa definisi diatas, penulis menyimpulkan bahwa Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah sarana dalam administrasi perpajakan yang
diberikan kepada wajib pajak yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau
identitas wajib pajak.
Semua wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan
sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal
Pajak untuk dicatat sebagai wajib pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP). Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek
pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau yang diwajibkan untuk
pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak
Penghasilan 1984 dan perubahannya (Diana dan Setiawati, 2009:4).
a. Tata Cara Pendaftaran NPWP
Wajib pajak mengisi Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak dan/atau
Formulir Permohonan Pengukuhan PKP secara lengkap dan jelas serta ditanda
tangani oleh wajib pajak atau kuasanya dan menyerahkannya kepada petugas
pendaftaran wajib pajak. Jika permohonan ditandatangani oleh orang lain, harus
memiliki surat kuasa khusus.
Selain mengisi Formulir Pendaftaran, wajib pajak harus menyertakan data
pendukung yang perlu, diantaranya sebagai berikut (Tansuria,2010:3):
1) Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan/tidak menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas:
Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia, atau paspor bagi orang asing.
2) Untuk Wajib Pajak Badan
a) Akte pendirian dan perubahan atau surat keterangan penunjukkan dari kantor pusat
bagi Bentuk Usaha Tetap.
b) NPWP Pimpinan atau Penanggung Jawab Badan.
c) Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia atau paspor bagi orang asing
sebagai penanggung jawab.
3) Untuk Bendahara sebagai Pemungut atau Pemotong:
a) Surat penunjukkan sebagai Bendahara
b) Kartu Tanda Penduduk Bendahara
4) Untuk Join Operation sebagai Wajib Pajak Pemungut atau Pemotong:
a) Perjanjian kerjasama/Akte Pendirian sebagai Join Operation.
b) Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia, atau paspor bagi orang asing
sebagai penanggung jawab.
c) NPWP Pimpinan/Penanggung Jawab Joint Operation.
Bagi pemohon yang berstatus cabang, Wajib Pajak Orang Pribadi pengusaha
tertentu atau wanita kawin tidak pisah harta harus memiliki NPWP Kantor
Pusat/domisili suami.
b. Fungsi NPWP
Menurut Mardiasmo (2009:22), fungsi Nomor Pokok Wajib Pajak yaitu:
1. Sarana dalam administrasi perpajakan.
2. Tanda pengenal diri atau Identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya
3. Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan.
4. Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi
perpajakan.
c. Format NPWP
NPWP terdiri dari 15 digit yaitu 9 digit pertama merupakan kode wajib pajak yang
mengindikasikan apakah wajib pajak yang dimaksud adalah orang pribadi atau
badan atau pemungut bendaharawan, dan 6 digit berikutnya merupakan kode
administrasi perpajakan. Contoh NPWP 08.516.767.0-823.000, dapat dijabarkan
sebagai berikutnya (Tansuria,2010:1)
08 : identitas wajib pajak orang pribadi
516.767 : nomor urut/nomor registrasi
0 : cek digit (sebagai alat pengaman agar tidak terjadi
pemalsuan dan kesalahan NPWP)
823 : kode KPP (KPP Pratama Bitung)
000 : kode pusat/suami atau cabang/istri
d. Penghapusan NPWP dan persyaratannya
Penghapusan nomor pokok wajib pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak
apabila memenuhi syarat sebagai berikut (Tansuria 2010:8):
1. Wajib pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/ atau obejektif,
misalnya wajib pajak orang pribadi meninggal dunia dan tidak meninggalkan
warisan.
2. Wajib pajak badan dalam rangka likuidasi atau pembubaran karena penghentian
atau penggabungan usaha.
3. Wanita yang sebelumnya telah memiliki NPW dan menikah tanpa membuat
perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.
4. Wajib pajak bentuk badan usaha tetap yang menghentikan usahanya di Indonesia.
5. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak sudah selesai
dibagi.
6. Dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapus NPWP dari wajib
pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
e. Sanksi Tidak Mendaftarkan Diri
Sanksi bagi seseorang yang diwajibkan memiliki NPWP namun tidak mendaftarkan
diri untuk memperoleh NPWP menurut pasal 39 ayat 1 Undang-undang nomor 28
tahun 2007, adalah sebagai berikut:
1) Setiap orang yang dengan sengaja:
a. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
b. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak
atau usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
c. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan
d. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar
atau tidak lengkap
e. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
f. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya
g. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak
memperhatikan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain
h. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan
yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-
line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11);atau
i. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling
banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar
2) Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjjadi 2
(dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana dibidang
perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjadi pidana
penjara yang dijatuhkan.
3) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak
atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah
restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan
dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau
kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.
3. Penagihan Pajak
Menurut Rahayu (2010:197) pengertian dalam pasal 1 butir 9 Undang-undang
no.19 Tahun 2000 penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung
pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau
memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus memberitahukan
surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan
penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
a. Pengelompokkan Penagihan Pajak
Menurut Suandy (2008:173), penagihan pajak dapat dikelompokkan menjadi (2) dua,
yaitu penagihan pasif dan penagihan aktif:
1. Penagihan Pajak Pasif
Penagihan pajak pasif dilakukan dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP),
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan (SKPKBT), surat keputusan pembetulan yang menyebabkan pajak
terutang menjadi lebih besar, surat keputusan keberatan yang menyebabkan pajak
terutang menjadi lebih besar. Jika dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari belum
dilunasi, maka tujuh hari setelah jatuh tempo akan diikuti dengan penagihan pajak
secara aktif yang dimulai dengan menerbitkan surat teguran.
2. Penagihan Pajak Aktif
Penagihan pajak aktif merupakan kelanjutan dari penagihan pajak pasif, dimana
dalam upaya penagihan ini fiskus berperan aktif dalam arti tidak hanya mengirim
surat tagihan ata surat ketetapan pajak tetap, akan diikuti dengan tindakan sita, dan
dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang.
3. Tahapan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
a) Penagihan pajak dilakukan dengan terlebih dahulu menerbitkan surat teguran oleh
pejabat.
b) Jika wajib pajak mengajukan keberatan atas SKPKB, SKPKBT, jangka waktu
pwlunasan pajak untuk jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan
keberatan sebesar pajak yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir hasil
pemeriksaan tertangguh selama satu bulan sejak tanggal penerbitan surat
keputusan keberatan.
c) Jika wajib pajak mengajukan banding atas surat keputusan keberatan, sehubungan
dengan SKPKB, atau SKPKBT, jangka waktu pelunasan pajak tertangguh selama
satu bulan sejak tanggal penerbitan putusan banding.
d) Surat teguran tidak diterbitkan terhadap penanggung pajak yang telah disetujui
untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
e) Penerbitan surat teguran.
f) Penyampaian surat teguran dapat dilakukan:
1) Secara langsung.
2) Melalui pos.
3) Melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti penagihan surat
g) Jika jumlah utang pajak tidak dilunasi oleh penanggung pajak setelah lewat 21 (dua
puluh satu) hari sejak tanggal disampaikan surat teguran, surat paksa diterbitkan
oleh pejabat dan diberitahukan secara langsung oleh juru sita pajak kepada
penanggung pajak.
h) Surat paksa juga dapat diterbitkan dalam hal:
1) Telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus terhadap penanggung pajak,
atau
2) Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam
keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
i) Juru sita pajak melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus tanpa menunggu
tanggal jatuh tempo pembayaran dalam kondisi:
1) Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau
berniat untuk itu
2) Penanggung pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai
dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan
yang dilakukannya di Indonesia.
3) Terdapat tanda-tanda bahwa penanggung pajak akan membubarkan badan usaha,
memekarkan usaha, memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang
dikuasainya, atau melakukan perbuatan bentuk lainnya.
4) Badan usaha akan dibubarkan oleh negara atau terjaadi penyitaan atas barang
penanggung pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
j) Surat paksa diberitahukan oleh juru sita pajak dengan pernyataan dan penyerahan
salinan surat kepada penanggung pajak.
k) Surat paksa akan diberitahukan kepada orang pribadi atau badan.
l) Jika penanggung pajak atau pihak yang dimaksud menolak untuk menerima surat
paksa, juru sita pajak meninggalkan surat paksa tersebut dan mencatatnya dalam
berita acara bahwa penanggung pajak tidak mau menerima surat paksa dan surat
paksa dianggap telah diberitahukan.
m) Jika pemberitahuan surat paksa tidak dapat dilaksanakan, surat paksa disampaikan
melalui pemerintah daerah setempat.
n) Jika tempat tinggal, tempat usaha, atau tempat kedudukan wajib pajak atau
penanggung pajak tidak diketahui, penyampaian surat paksa dilaksanakan dengan
menempelkan salinan surat paksa pada papan pengumuman kantor pejabat yang
menerbitkannya, mengumumkan melalui media massa atuu dengan cara lain.
o) Jika pelaksanaan surat paksa harus dilakukan diluar wilayah kerja pejabat, pejabat
yang menerbitkan surat paksa tersebut meminta bantuan kepada pejabat yang
wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan surat paksa.
p) Jika setelah lewat 2x24 jam sejak surat paksa diberitahukan kepada penanggung
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan utang pajak tidak dilunasi oleh
penanggung pajak, pejabat menerbitkan surat perintah melaksanakan penyitaan.
q) Berdasarkan surat perintah melaksanakan penyitaan, juru sita pajak melaksanakan
penyitaan terhadap barang milik penanggung pajak.
r) Jika penanggung tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak setelah
lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan, pejabat
melakukan pengumuman lelang.
s) Pengumuman lelang dilakukan satu kali, sedangkan untuk barang tidak bergerak
dilakukan 2 (dua) kali.
t) Jika penanggung pajak tidak melunasi utang ajak dan biaya penagihan pajak setelah
lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak pengumuman lelang, pejabat melakukan
penjualan barang sitaan penanggung pajak melalui kantor lelang negara.
4. Hak Wajib Pajak/Penanggung Pajak
Wajib pajak/penanggung pajak berhak dalam penagihan pajak, sebagai berikut
(Sumarsan, 2010:70):
a) Meminta juru sita pajak memperlihatkan kartu tanda pengenal juru sita pajak.
b) Menerima salinan surat paksa dan salinan berita acara penyitaan.
c) Menentukan urutan barang yang akan dilelang.
d) Meminta kesempatan terakhir untuk melunasi utang pajaknya, termasuk biaya
penyitaan, iklan dan biaya pembatalan lelang, serta melaporkan pelunasan tersebut
kepada kepala KPP yang bersangkutan sebelum pelaksanaan lelang.
e) Membatalkan lelang jika penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak sebelum pelaksanaan lelang.
5. Kewajiban Wajib Pajak/Penanggung Pajak
a) Membantu juru sita pajak dalam melaksanakan tugasnya, dengan cara:
1) Memperbolehkan juru sita pajak memasuki ruangan, tempat usaha/tempat tinggal
wajib pajak/penanggung pajak.
2) Memberikan keterangan lisan atau tertulis yang diperlukan.
b) Barang yang disita dilarang dipindahtangankan, dihipotikkan, atau disewakan.
4) Penerimaan Pajak
Penerimaan negara terdiri dari penerimaan dalam negeri Pemerintah, dan
hibah. Penerimaan dalam negeri Pemerintah terdiri atas penerimaan perpajakan dan
Penerimaan Negara Bukan Pajak (Dumairy,1997).
Dewasa ini pajak merupakan tumpuan pemerintah dalam menjalankan roda
pemerintahan, penerimaan pajak merupakan sumber penerimaan negara terbesar
saat ini yaitu mencapai 80% dari penerimaan negara. Direktorat Jenderal Pajak
sebagai bagian dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia mempunyai
tanggung jawab untuk menarik pajak dari masyarakat. Belakangan ini masyarakat
lebih kritis dan berani dalam menyuarakan keinginannya akan pelayanan yang baik,
khususnya pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Seiring dengan
bertambahnya beban yang harus ditanggung masyarakat, bertambah pula
tuntutan masyarakat akan tersedia pelayanan publik yang berkualitas tinggi.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai salah satu institusi pemerintah di bawah
Kementerian Keuangan yang mengemban tugas untuk mengamankan penerimaan
pajak negara dituntut untuk selalu dapat memenuhi pencapaian target penerimaan
pajak yang senantiasa meningkat dari tahun ke tahun di tengah tantangan
perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial maupun ekonomi di masyarakat.
Berdasarkan kewenangan dalam pemungutannya, pajak dapat digolongkan
menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Dari kedua jenis pajak tersebut, yang akan
diuraikan berikut ini hanyalah jenis-jenis pajak pusat karena hanya pajak pusat yang
merupakan penerimaan pemerintah pusat yang menjadi bagian dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Jenis pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) sesudah reformasi perpajakan 1983 adalah sebagai berikut :
a. Pajak Penghasilan (PPh)
Menurut Mansury (2002), PPh sesuai undang-undang tentang pajak penghasilan
adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib
pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Supramono dan Damayanti (2005) menambahkan bahwa pajak penghasilan
adalah pungutan resmi oleh pemerintah yang ditujukan kepada masyarakat yang
berpenghasilan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
b. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPN dan PPnBM)
Menurut Supramono dan Damayanti (2005) Pajak Pertambahan Nilai adalah
pajak yang dikenakan terhadap setiap pertambahan nilai dari suatu produk atau jasa
yang dihasilkan oleh pengusaha kena pajak. Sedangkan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan terhadap barang-barang yang
tergolong mewah.
c. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pajak Bumi dan Bangunan menurut Supramono dan Damayanti (2005) adalah
pajak yang dikenakan terhadap bumi dan tubuh bumi serta bangunan yang terletak
di atas bumi tersebut. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985
tentang pajak bumi dan bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 12 tahun 1994 pajak yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan.
Yang dimaksud bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di
bawahnya, sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau
dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau bangunan.
d. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2000 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak
yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Supramono dan
Damayanti (2005) berpendapat bahwa BPHTB adalah penyerahan sebagian dari
nilai ekonomis dari perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Peran penerimaan pajak sangat penting bagi kemandirian pembangunan,
karena pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara dari dalam negeri
yang paling utama selain dari minyak dan gas bumi untuk mendanai Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jika dilihat dari sisi ekonomi, penerimaan
dari sektor pajak merupakan penerimaan negara yang potensial, karena melalui
pajak pemerintah dapat membiayai sarana dan prasarana publik diseluruh sektor
kehidupan, seperti sarana transportasi, air, listrik, pendidikan, kesehatam,
keamanan, komunikasi, sosial dan berbagai fasilitas lainnya yang ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan.
e. Bea Materai
Dalam The Indonesian Tax in Brief disebutkan bahwa Bea Materai adalah pajak
atas dokumen yang dipakai masyarakat dalam lalu lintas hukum. Yang dimaksud
dengan dokumen disini adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti
dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seorang dan atau
pihak-pihak yang berkepentingan. Surat perjanjian, surat kuasa, surat pernyataan
dan akte adalah sebagian contoh dari dokumen yang dikenakan bea materai.
f. Bea Masuk
Menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang kepabeanan, yang
dimaksud bea masuk adalah pungutan oleh negara berdasarkan undang-undang
yang dikenakan terhadap barang-barang yang diimpor. Dengan adanya pungutan
tersebut, maka bea masuk selain berfungsi sebagai sumber penerimaan negara juga
sebagai pengatur arus impor, baik untuk barang konsumsi maupun barang yang
diperlukan industri dalam negeri. Dengan demikian, penerimaan bea masuk tidak
semata-mata ditujukan sebagai penerimaan untuk mengisi kas negara, tetapi juga
berfungsi sebagai alat pengaturan (regulator).
g. Cukai
Menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai, yang dimaksud
cukai adalah pungutan oleh negara berdasarkan undang-undang yang dikenakan
terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik perlu untuk
dibatasi, diawasi produksinya dan peredarannya, karena akan berpengaruh
langsung terhadap kesehatan dan ketertiban sosial. Dengan demikian, peranan
cukai tidak saja berorientasi pada penerimaan negara, melainkan
mempertimbangkan pula aspek pembatasan produksi dan konsumsi. Oleh karena
itu, dasar pertimbangan besarnya penerimaan cukai tergantung dari jumlah barang
yang kena cukai, tarif cukai dan harga dasar barang kena cukai.
h. Pajak Ekspor
Yang dimaksud dengan pungutan ekspor adalah pungutan negara yang
dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang akan diekspor. Pengaturan tarif
pajak ekspor ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan
memperhatikan harga patokan ekspor dan jumlah wajib pajak valuta asing.
Kebijakan yang ditempuh dalam pungutan pajak ekspor ini bertujuan untuk
mengendalikan harga pasar di dalam negeri. Khusus penerimaan perpajakan di
sektor Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), terhitung 1 Januari
2011 seluruh penerimaan dialihkan ke pemerintah daerah setempat, sedangkan di
sektor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sejak 1 Januari 2012 sebagian daerah,
telah mengalihkan penerimaan di sektor tersebut kepada Pemerintah Daerah.
Peranan penerimaan perpajakan sebagai salah satu sumber penting dalam
pembiayaan negara akan terus ditingkatkan dengan melakukan berbagai evaluasi
dan kebijakan penyempurnaan. Hal tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan sistem
perpajakan dapat lebih efektif dan efesien sejalan dengan perkembangan globalisasi
yang menuntut daya saing tinggi dengan negara lain. Dengan demikian, diharapkan
prinsip-prinsip perpajakan yang sehat seperti persamaan, kesederhanaan dan
keadilan dapat tercapai sehingga tidak hanya berdampak terhadap peningkatan
kapasitas fiskal, melainkan juga terhadap perkembangan kondisi ekonomi makro.
5) Pengaruh Kewajiban Kepemilikan NPWP dan Penagihan Pajak terhadap
Penerimaan pajak
Menurut Mardiasmo (2009:23) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah
nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi
perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib
pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Menurut Rahayu (2010:197) pengertian dalam pasal 1 butir 9 Undang-undang
no.19 Tahun 2000 penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung
pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau
memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus memberitahukan
surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan
penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
Peningkatan penerimaan pajak memegang peranan strategis karena akan
meningkatkan kemandirian pembiayaan pemerintah. Berbagai kebijakan pemerintah
untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak terus digulirkan. Salah
satu langkah yang dilakukan dalam meningkatkan penerimaan pajak yaitu dengan
diberlakukannya kewajiban kepemilikan NPWP bagi wajib pajak. Semua wajib pajak
yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self
assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk
dicatat sebagai wajib pajak dan sekaligus untuk mendapatkan NPWP. Kerjasama
fiskus dan wajib pajak diperlukan pula dalam meningkatkan penerimaan pajak
dimasa depan (Gisijanto, 2008).
Penagihan pajak merupakan serangkaian tindakan agar penanggung pajak
melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau
memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus memberitahukan
surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksankaan penyitaan, melaksanakan
penyanderaan, menjual barang yang telah disita. Sehingga penagihan pajak
berpengaruh pada penerimaan pajak.
B. Penelitian Terdahulu
Penulis merujuk pada beberapa penelitian terdahulu dalam melakukan penelitian,
yaitu:
Tabel 1
Penelitian Terdahulu
C. Kerangka Pemikiran
Menurut Sugiyono (2008:88), kerangka pemikiran adalah model konseptual
tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktr yang telah diidentifikasi
sebagai masalah yang penting. Kerangka pemikiran bertujuan untuk memberikan
gambaran secara ringkas tentang isi dari penelitian, sehingga penelitian dapat
terarah sesuai dengan maksud dan tujuan yang diharapkan.
Kewajiban Kepemilikan NPWP (X1)
1. Fungsi NPWP
2. Pendaftaran NPWP
3. Format NPWP
4. Penghapusan NPWP
-Sanksi
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat terlihat dalam Gambar 1 berikut:
Setyaw
an
X1 X2 Y (2007:
Mardiasmo (2009) Suandy (2008) Gisijanto dan Syahab (2008) 50)
Tansuria (2010)
Waluyo (2009)
Peneri
maan
Pajak
(Y)
1. Pajak
Pusat
Penagihan Pajak (X2)
1. Pengelompokan
penagihan pajak
2. Tahapan penagihan pajak
Vegirawati (2011:67)
Dilandaskan
Gambar 1
Kerangka Pemikiran
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, dapat dinyatakan bahwa variabel
independen (X1) dan (X2) mempengaruhi variabel dependen (Y). Dalam hal ini,
variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kewajiban
Kepemilikan NPWP dan Penagihan Pajak, sedangkan variabel dependennya
Penerimaan Pajak. Pada variabel independen (X1), uji yang dilakukan adalah Uji
Normalitas dan untuk variabel independen (X2) uji yang digunakan adalah Uji
Multikolonieritas, sedangkan pada variabel dependen (Y) uji yang digunakan adalah
Uji Heteroskedastisitas.
D. Anggapan Dasar dan Hipotesis
1. Anggapan Dasar
Anggapan dasar menurut Surakhmad dan Arikunto (2006:58), adalah sebuah
titik pemikiran yang kebenarannya diterima oleh penyelidik dan dapat dijadikan
landasan berpikir selanjutnya dalam penulisan penelitian ini. Anggapan dasar dalam
penelitian ini adalah: “Kewajiban Kepemilikan NPWP dan Penagihan Pajak
berpengaruh terhadap Penerimaan Pajak”
2. Hipotesis
Menurut Sugiyono (2010:64) Hipotesis merupakan jawaban sementara
terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah
dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban
yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada
fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi, hipotesis juga
dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian,
belum jawaban yang empiris. Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. H0 = 0, artinya kewajiban kepemilikan NPWP dan penagihan pajak tidak berpengaruh
terhadap penerimaan pajak baik secara parsial maupun simultan di KPP Pratama di
wilayah Jakarta Selatan.
2. H0 ≠ 0, artinya kewajiban kepemilikan NPWP dan penagihan pajak berpengaruh
terhadap penerimaan pajak baik secara parsial maupun simultan di KPP Pratama di
wilayah Jakarta Selatan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
B. Objek Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis mengambil objek penelitian pada Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) di wilayah Jakarta Selatan, dan yang menjadi objek dalam
penelitian ini adalah petugas pajak (fiskus) yang berada di KPP Pratama di wilayah
Jakarta Selatan.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data yang berkaitan
terhadap variabel dependen, yaitu penerimaan pajak. Penelitian ini dilakukan pada
KPP Pratama Kebayoran Baru Dua, KPP Pratama Kebayoran Baru Tiga dan KPP
Pratama Tebet.
D. Definisi Operasional Variabel
hal-hal yang biasanya jatuh ke dalam wilayah subjektif perasaan dan sikap.
Tujuannya agar peneliti dapat mencapai suatu alat ukur yang sesuai dengan
memasukkan proses atau operasionalnya alat ukur yang digunakan untuk kualifikasi
Tabel 2
1. Menyerahkan formulir
permohonan
Pendaftaran pendaftaran dan
NPWP formulir permohonan
pengukuhan PKP
mengisi Formulir
Permohonan
Pendaftaran
Wajib Pajak
dan/atau
Formulir
Permohonan
Pengukuhan
PKP secara
lengkap dan
jelas serta
ditanda tangani
oleh wajib pajak
atau kuasanya
dan
menyerahkannya
kepada petugas1. Penggunaan NPWP
pendaftaran dapat memudahkan
wajib pajak. petugas dalam
menentukan Wajib
Format NPWP Pajak yang akan
diperiksa
1. Sengaja tidak
mendaftarkan diri atau
menyalahgunakan
Sanksi
Penagihan Pajak Pengelompokan1. Penagihan pajak pasif Skala
(X2) penagihan pajak2. Penagihan pajak aktif
Interval
merupakan 1. Surat teguran
serangkaian dilayangkan oleh wajib
tindakan agar Tahap pajak sampai tanggal
penanggung pajak penagihan pajak jatuh tempo
melunasi utang 2. Surat teguran tidak
pajak dan biaya perlu diterbitkan bila
penagihan pajak wajib pajak menyetujui
dengan menegur pembayaran secara
atau angsuran
memperingatkan. 3. Penerbitan surat paksa
diterbitkan apabila
penanggung pajak
tidak memenuhi
ketentuan
4. Pemberitahuan surat
paksa diterbitkan
apabila penanggung
pajak tidak memenuhi
ketentuan
sebagaimana
tercantum dalam
keputusan persetujuan
angsuran atau
penundaan
pembayaran pajak
5. Penagihan seketika
dan sekaligus
penagihan pajak tanpa
menunggu tanggal
jatuh tempo
pembayaran terhadap
seluruh utang pajak
dan semua jenis pajak,
masa pajak dan tahun
pajak
6. Penyitaan barang milik
wajib pajak sesuai
dengan peraturan
penyitaan yang
diterbitkan oleh
pejabat setempat
7. Penyitaan tambahan
barang yang telah
disita tidak cukup
untuk melunasi biaya
penagihan pajak dan
utang pajak
8. Pencabutan sita
dilaksanakan apabila
penanggung pajak
telah melunasi biaya
penagihan pajak dan
utang pajak
1. Populasi
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
populasi bukan hanya orang, tetapi juga objek dan benda-benda alam yang lain.
Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada objek/subjek yang dipelajari,
tetapi meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh subjek/objek itu. Populasi
dalam penelitian ini adalah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama di wilayah
Jakarta Selatan.
2. Sampel
sama bagi setiap unsur-unsur anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Jenis
sampling berarti unit sampel yang ditarik mudah dihubungi, tidak menyusahkan,
mudah untuk mengukur dan bersifat kooperatif. Dengan demikian maka peneliti
memilih pelayanan pajak dan penagihan pajak sebagai sampel penelitian. Dalam
Pelayanan Pajak (KPP) Pratama di wilayah Jakarta Selatan antara lain, KPP
Pratama Kebayoran Baru Dua, KPP Pratama Kebayoran Baru Tiga dan KPP
kebebasan untuk memilih sampel dengan cepat dari elemen populasi yang datanya
mudah diperoleh peneliti. Sampel yang diambil dalam penelitian ini menggunakan
dari Isaac dan Michael. Hal ini dikarenakan ukuran populasi diketahui dan asumsi
dan penagihan yaitu sekitar 230 orang dengan tingkat kesalahan 5%. Maka jika
dilihat dari total keseluruhan petugas pajak tersebut, didapat sampel yaitu berjumlah
149 sesuai dengan tabel penentuan jumlah sampel dari populasi tertentu yang
F. Jenis Data
1. Data Kualitatif
kalimat, kata atau gambar. Yang digolongkan sebagai data kualitatif dalam penelitian
ini adalah sejarah singkat Kantor Pelayanan Pajak, dan juga gambaran umum
2. Data Kuantitatif
digolongkan sebagai data kuantitatif dalam penelitian ini adalah kuesioner yang
G. Sumber Data
1. Data Primer
Menurut Sugiyono (2009:103), data primer adalah sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data. Data primer dalam penelitian ini adalah
2. Data Sekunder
dikumpulkan oleh pihak lain atau lembaga pengumpul data dan dipublikasikan
kepada masyarakat pengguna data. Data sekunder dalam penelitian ini adalah
secara langsung kepada pegawai pajak divisi pelayanan dan penagihan pada KPP
2. Kuesioner (questionnaires)
pada KPP Pratama. Kemudian diolah berdasarkan kriterita yang telah ditentukan.
Skala yang digunakan dalam tingkat pengukuran adalah skala interval atau
sering disebut skala LIKERT yaitu skala yang berisi 5 tingkat preferensi jawaban.
Menurut Ghozali (2011:47), skala likert dikatakan interval karena pernyataan sangat
setuju mempunyai tingkat atau prefensi yang “lebih tinggi” dari setuju dan setuju
“lebih tinggi” dari ragu-ragu. Masing-masing jawaban dari 5 alternatif jawaban yang
Tabel 3
2. Setuju (S) 4
3. Ragu-Ragu (RR) 3
4. Tidak Setuju (TS) 2
Alat pengumpulan data yang digunakan penulis adalah berupa alat tulis,
jaringan internet, printer, laptop dan perekam suara yang digunakan untuk
Uji asumsi klasik digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran-
pelanggaran yang terdapat pada model regresi linier sederhana yang telah dibuat.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel
pengganggu dan residual memiliki distribusi normal. Salah satu cara untuk melihat
membentuk satu garis lurus diagonal dan ploting data residual akan dibandingkan
dengan garis diagonal. Jika distribusi data residual normal, maka garis yang
data (titik) pada sumbu diagonal dari grafik atau dengan melihat histogram dari
1) Jika data menyebar disekitar garis diagonal atau grafik histogramnya menunjukkan
atau grafik histogram tidak menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi
Uji statistik lain yang dapat digunakan untuk menguji normalitas residual adalah
a) Jika nilai signifikansi > 0,05, maka data berdistribusi secara normal.
b) Jika nilai signifikansi < 0,05, maka data tidak berdistribusi secara normal.
b. Uji Heteroskedastisitas
Jika variancedari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut
2011:139).
tidaknya pola tertentu pada grafik scaterplot. Jika ada pola tertentu maka
mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas. Tetapi jika tidak ada pola yang
jelas serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka
c. Uji Multikolonieritas
adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model regresi yang baik
orthogonal adalah variabel independen yang nilai korelasi antar sesama variabel
independen sama dengan nol. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolonieritas
1) Nilai Tolerance/lawannya
Nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF tertinggi (karena VIF =
multikolonieritas adalah nilai tolerance < 0,10 atau sama dengan nilai VIF > 10 dan
tidak ada multikolonieritas dalam model regresi jika nilai tolerance > 0,10 atau sama
kepemilikan NPWP dan penagihan pajak pada objek penelitian di KPP Pratama di
untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2010:8). Metode yang
Analisis regresi linear berganda adalah hubungan secara linear antara dua
atau lebih variabel independen (X1, X2,….Xn) dengan variabel dependen (Y).
Analisis ini untuk memprediksikan nilai dari variabel dependen apabila nilai variabel
pemeriksaan pajak (X2), penagihan pajak (X3) dan penerimaan pajak (Y), maka
akan digunakan model analisa regresi linier berganda adalah sebagai berikut:
Y = a + b1X1 + b2 X2 + e
Keterangan :
Y : penerimaan pajak
a : konstanta
e : error
Dalam output SPSS, koefisien determinasi terletak pada Model Summaryb. Jika nilai
nilai RSquare yang telah disesuaikan. Menurut Santoso (2001) bahwa untuk regresi
2013:120).
1) Koefisien Korelasi
derajat huungan linier antara satu variabel dengan variabel lain. Koefisien
korelasi adalah nilai yang menunjukan kuat/tidaknya hubungan linier antar dua
variabel. Koefisien korelasi biasa dilambangkan dengan huruf r dimana nilai r dapat
hubungan yang kuat antara dua variabel tersebut dan nilai r yang mendekati 0
antara dua variabel tersebut. Jika bernilai + (positif) maka kedua variabel tersebut
memiliki hubungan yang searah. Dalam arti lain peningkatan X akan bersamaan
dengan peningkatan Y dan begitu juga sebaliknya. Jika bernilai – (negatif) artinya
Correlation adalah nilai yang menunjukan keeratan hubungan linier dua variabel
dengan skala data interval atau rasio. Rumus yang digunakan adalah:
semakin kuat, tetapi jika koefisien tersebut mendekati angka 0 berarti korelasi
c. Uji Hipotesis
Uji hipotesis yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah uji t (uji
parsial) dan uji F (uji simultan). Adapun uji hipotesis tersebut adalah sebagai berikut:
atau bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-
sama terhadap variabel dependen/terikat. Hipotesis nol (H0) yang hendak diuji,
H0 : b1 = b2 = …… = bk = 0
alternatifnya (HA) tidak semua parameter secara simultan sama dengan nol, atau:
Ha : b1 ≠ 2 ≠b……..k≠ 0b
1) Quick look: bila nilai F lebih besar dari pada 4 maka Ho dapat ditolak pada derajat
Fhitunglebih besar dari pada nilai Ftabel, maka Ho ditolak dan menerima Ha
(Ghozali, 2011:98).
1) Quick look: bila jumlah degree of freedom (df) adalah 20 atau lebih, dan derajat
kepercayaan sebesar 5%, maka Ho yang menyatakan bi = 0 dapat ditolak bila nilai t
lebih besar dari 2 (dalam nilai absolut). Dengan kata lain kita menerima hipotesis
2) Membandingkan nilai statistik t dengan titik krisis menurut tabel. Apabila nilai statistik
Uji hipotesis dilakukan dengan uji t untuk menguji signifikansi koefisien regresi
a. Apabila thitung > ttabel atau probabilitas < 0,05 berarti Ha diterima atau Ho ditolak, artinya
b. Apabila thitung < ttabel atau probabilitas > 0,05 berarti Ho diterima atau Ha ditolak, artinya
kewajiban kepemilikan NPWP dan penagihan pajak tidak berpengaruh positif dan